Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (REPOST) Istriku dan Mang Tukang Sayur

Status
Please reply by conversation.
semangat repost y, msh byk part yg blm
PROLOG
Bagian 1: Tidak Sengaja
Bagian 2 : Tarik Ulur
Bagian 3 : Tali Asmara
Bagian 4 : Terbawa Suasana
Bagian 5 : Tak Sampai Juga
Bagian 6 : Terlanjur
Bagian 7 : Terima
Bagian 8 : Terselesaikan
Bagian 9 : Terharu
Bagian 10 : Terlalu Berani
Bagian 11 : Terbayang
Bagian 12 : Tak Lagi Malu
Bagian 13 : Tujuan Dan Harapan
Bagian 14 : Terulang Kah?
Bagian 15 : Tusukan
Aku belum baca yg part 15 dmna ya
 
Part 13 Sungguh Terharu

Hujan sore itu sudah reda saat aku mengantarkan Mang Dedi keluar dari rumahku menuju motornya. Kami berjalan bergandengan tangan menyusuri teras rumah layaknya pesangan kekasih yang tengah dimabuk asmara.

Sebenarnya ada sedikit perasaan kecewa, karena sudah saatnya kami kembali pada realita kami masing-masing. Mang Dedi kembali menjadi penjual sayur langgananku, dan akupun kembali menjadi seorang istri yang berlangganan di dagangannya.

"Aku pulang dulu Dik!" Ucap Mang Dedi naik ke atas motornya.

Badanku sebenarnya masih lemas, vaginaku pun masih terasa berdenyut-denyut dan ngilu ketika aku berjalan. Namun aku tak rela melepas kepergian Mang Dedi begitu saja. Aku masih ingin berlama-lama dengannya, masih ingin memadu kasih sampai batas waktu yang tak bisa ku tentukan.

Tapi aku menahan diri untuk tidak memberitahunya, "Hati-hati Mas!" balasku tersenyum.

Mang Dedi lalu mengangguk pelan, kemudian dia memelukku dan memberikan kecupannya pada bibirku. Untuk sebentar, aku membalas ciumannya tersebut sehingga kami saling pagut memagut bibir di depan rumahku tanpa sedikitpun khawatir dengan keadaan sekitar.

"Sudah Mas! Nanti diliat orang.." Ucapku menjauhkan badan.

Mang Dedi lalu mengangguk mengerti,
"Lain kali aku mampir lagi Dek Liya" ucapnya tersenyum menyalakan motor dan kemudian berlalu menghilang dari pandanganku.

Setelah Mang Dedi pergi, kulangkahkan kakiku masuk kembali ke dalam kamar. Kulihat anakku Tasha masih tertidur dengan pulas dan kurebahkan badanku di sampingnya. Aku kemudian termenung menatap langit-langit kamarku dengan perasaan lelah namun puas disaat yang bersamaan.

"Maafkan Umi, Abi.." Ucapku merasa bersalah, tak kuasa membela diriku sendiri saat kulihat suamiku menatap tersenyum dari dalam foto yang menggantung di dinding kamar.

Tapi perasaan bersalah itu tak bertahan lama, karena aku dengan segenap hati meyakinkan diriku bahwa ini juga merupakan kesalahan suamiku yang selama ini tak pernah membuatku puas dalam hal bercinta. Jangankan untuk puas, tau bahwa wanita bisa orgasme saja tidak.

Aku pun tak bisa menahan diri untuk tidak membuat perbandingan antara suamiku dan Mang Dedi. Mulai dari tutur kata, perlakuan hingga caranya, Mang Dedi memang jauh lebih unggul dibandingkan dengan suamiku.

Bahkan sampai saat ini saja, masih dapat ku rasakan setiap rasa yang tersisa dalam tubuhku setelah persetubuhan terlarangku dengan Mang Dedi itu. Masihku bayangkan bagaimana perkasanya tukang sayur itu menggagahiku sehingga dapat membuatku terbang ke puncak kenikmatan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Masih pula aku merasakan bagaimana cumbuan dan pelukannya yang begitu hangat itu

membalut tubuh ranumku yang kesepian ini.

"Lain kali aku mampir lagi Dek Liya.." Kata Mang Dedi tiba-tiba saja terputar dalam benakku.

Aku mengulum senyum, seperti orang gila berguling-guling diatas kasur dengan jantung yang berdebar-debar terus mengingat wajah dan perkataan Mang Dedi itu. Senyum terus terpancar di bibirku hingga membuat rahangku lelah membayangkan kalau hubungan terlarang kami masih akan berlanjut.

"Ada yang lagi seneng nih kayaknya." kaget suara suamiku yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu.

Aku langsung terduduk membenarkan ekspresiku, "Eh, Abi kapan pulang??" tanyaku tergagap.
"Baru aja nih" balasnya masuk ke dalam kamar dan membuka baju. "Oh iya, Abi bawa sesuatu buat Umi" lanjutnya meraih kantong celananya.

Suamiku tersebut lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah yang berbentuk seperti kotak perhiasan, "Apaan tuh Bi??" tanyaku penasaran.

"Supriiseeeeeeee!!!" teriak suamiku membuka kotak kecil itu. Didalamnya kulihat ada sebuah cincin emas yang ukurannya lebih besar dari cincin pernikahanku.

Aku terlonjak kaget, antara senang dan sedikit bersalah, "Buat Umi?" tanyaku ragu.

"Woiya dong. Masa' buat cewe lain" balas suamiku dengan sangat senang.

Tiba-tiba saja, air mataku menetes dengan sendirinya. Satu persatu bulir-bulir air mata itu turun dalam kumpulan rasa bersalah yang menyesaki dadaku. Lengkap dengan pemikiran bahwa aku telah begitu jahat mengkhianati pria sebaik suamiku ini.

"Loh?? looh?? kok Umi nangis??" tanya suamiku bingung.

Aku tak menjawab dan terus menangis. Seolah sedang menyesali perbuatan yang sebenarnya secara sadar aku lakukan dan benarkan. Tapi melihat bagaimana wajah lelah suamiku itu tersenyum tanpa tau sedikitpun aku telah mengkhianatinya, membuat hatiku seperti terisis perlahan-lahan.

Aku kemudian memeluk tubuh suamiku dengan erat, "Maafin Umi, Bi!! Maafin Umi belum jadi istri yang baik buat Abi.." Ucapku menangis tersedu-sedu.

"Umi sudah jadi yang terbaik buat Abi kok!! Abi gak akan minta lebih" balas suamiku mengelus kepalaku.

Segera saja setelah itu ku hamburkan badanku pada tubuh suamiku dan langsung kuciumi bibirnya. Suamiku terlihat kaget dengan serangan ku tersebut namun dia tampak senang dengan caraku menciumnya. Segala perasaan bersalah dalam hatikupun, aku coba tuangkan dalam pagutanku seolah ingin menghilangkannya.

Tapi semakin dalam ciumanku pada suamiku tersebut, semakin perih rasanya hatiku ketika teringat bahwa bibirku ini tak lagi suci untuknya. Bibir mungilku ini telah dikotori oleh bibir pria lain selain dirinya yang bahkan belum sempat aku cuci dan bersihkan.

"Maafkan aku Bi!" batinku terus memagut suamiku.


Aneh rasanya aku malah tiba-tiba bernafsu dan menggebu. Membayangkan bagaimana tadinya aku menggunakan bibir yang sama ketika melayani tukang sayur langgananku tadi. Walau rasanya aku seperti menghinakan suamiku sendiri, namun justru ada sebuah dorongan batin yang membuatku semakin ingin melanjutkannya.

"Umi udah mandi??" tanya suamiku menghentikan ciuman kami.

Aku lalu menggeleng membalasnya, " Belum Bi!" jawabku singkat.

"Mandi bareng yuk!" ajak suamiku girang.

Jantungku tiba-tiba berdegub tidak karuan, aku teringat dan takut kalau tubuhku masih menyisakan bekas-bekas ciuman Mang Dedi yang pasti akan dilihat oleh suamiku jika kami mandi bersama, " Abi mandi sendiri aja gih!" kataku menolak.

"Loh?? kok gitu?? Ayolah Mi!! kita gak pernah mandi bareng loh.." bujuk suamiku masih bersemangat.

Aku menjadi sangat bimbang dibuatnya. Kalaupun ingin menolak, aku harus menolak dengan alasan yang cukup kuat. Sementara aku juga sedikit kasihan menolak ajakan suamiku tersebut karena aku sendiri yang membangkitkan gairah bercintanya.

"Kalau gitu Umi duluan masuk ke kamar mandi ya.. nanti Abi nyusul!!"

Ucapku menemukan sebuah solusi. Aku akan melihat dulu keadaan badanku sebelum memutuskan untuk mandi bersama suamiku atau tidak.

"Kok gitu Mi??" tanya suamiku heran.

Aku kemudian berdiri dan menggodanya, "Mau mandi bareng apa enggak??" tanyaku padanya.

"Mau... mauu..." jawab suamiku mengangguk-angguk girang menerima persyaratanku.

Aku kemudian meraih handuk yang menggantung di bagian belakang pintu kamarku dan berjalan menuju kamar mandi sambil menghela nafas dalam-dalam. Setibanya disana, aku dengan secepat kilat melucuti baju gamis, hijab dan pakaian dalamku sehingga tubuhku benar-benar telanjang.

Dari pantulan cermin yang ada di kamar mandi, aku mencoba mematut seluruh bagian badanku untuk melihat apakah ada bekas ciuman ataupun gigitan Mang Dedi disana. Beruntung setelah aku berputar-putar melihatnya, hanya ada beberapa bekas merah pada bagian dadaku yang terlihat seperti bekas gigitan nyamuk.

"Aman!!" batinku menghela nafas lega.

Setelah itu, kunyalakan keran shower air hangat untuk mengguyur tubuhku sebentar sambil menghilangkan degub jantungku yang seperti ingin meloncat keluar. Selang beberapa menit kemudian, badanku pun akhirnya rileks dibawah kucuran air yang membuat nyaman itu.

"Umi curang!" Ucap suamiku yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar mandi.

Reflek saja aku tiba-tiba menutup bagian dadaku takut bekas merah cumbuan Mang Dedi masih terlihat, "A--abi main masuk aja!!" protesku padanya.

"Loh? Umi kenapa coba?? Abi udah pernah liat semua masih aja ditutupin segala" balasnya mendekatiku.

"U--umi kan kaget Bi!" balasku masih tergugup.

Dalam kucuran air hangat yang mengguyur badan kami berdua itu, suamiku kemudian memeluk tubuhku dari belakang dan langsung menciumi leherku. Aku cukup dibuat kaget dengan serangannya tersebut karena suamiku sebelumnya tidak pernah melakukannya.

"Umi seksi banget.." bisik suamiku memuji.

Ada sedikit perbedaan dari sikap suamiku saat dia meraba pinggang dan punggungku. Biasanya jika dia ingin bercinta, dia tidak akan membuang-buang waktu untuk mencium dan merabatubuhku. Namun kali ini, suamiku tampak sabar sehingga akupun perlahan-lahan hanyut dan badanku jadi berdesir mulai merasakan gairah.

"Bihh.." desahku lirih.

Aku sedikit menggelinjang saat tangan suamiku mulai menyentuh kedua payudaraku dengan pelan. Kupejamkan mataku menikmati sensasi nikmat yang dialirkan dari puting payudaraku ke seluruh bagian syaraf yang ada di tubuhku. Hatiku tiba-tiba menjadi senang, jarang-jarang diperlakukan selembut ini oleh suamiku.

Air hangat terus mengguyur tubuhku yang semakin rapat dengan badan suamiku. Dapat ku rasakan dibagian pinggulku penis miliknya sudah menegang menekan-nekan dengan kuat bongkahan daging kenyal pantatku.

Tak sampai disana saja, kedua tangan suamiku kini bergerak ke bawah perlahan-lahan merabai bagian paha dan selangkanganku. Beberapa kali pula rabaannya tersebut singgah dengan lembut di bagian vaginaku.

"Disanahh Bi!!" pintaku lirih menahan tangannya di vaginaku.

Seolah mengerti, tangan kanan suamiku akhirnya bergerak nakal menggosok-gosok pelan bibir vaginaku yang basah oleh air hangat, sedangkan tangan kirinya aktif menelusuri bagian perut dan payudaraku.

"Uhhh... eemmmhhhh" lenguhku tertahan.

Dari belakang suamiku menciumi pundakku dengan kecupan-kecupan pelan yang terkadang berubah liar menjadi hisapan-hisapan dan gigitan kecil ke bagian punggungku. Aku menjadi terheran-heran dengan perubahan sikap suamiku tersebut. Begitu penasaran dimana dia mempelajarinya.

"Abiihh.. koookk enakk sihh???"

lenguhku manja membalikkan badanku menghadapnya.

Seketika suamiku langsung menyambar wajahku dengan ciuman liarnya bertubi-tubi. Aku bahkan sampai megap-megap kehabisan nafas diantara guyuran air hangat dan ciumannya. Gairahku menjadi sangat bergejolak naik hingga ku balas pagutan suamiku dengan bibir dan mulutku tak kalah ganasnya.

Tak mau kalah dengan perlakuan suamiku tersebut, aku pun kemudian menunjukkan kemampuan baruku dengan meraba-raba bagian tubuh suamiku dengan tangan. Jemariku menyentuh penisnya yang menegang sambil sedikit memberi pijatan-pijatan ringan di batangnya.

"Ouughh.. Mihh!!" giliran suamiku yang melenguh nikmat.

Sekilas aku teringat dengan adegan percintaanku bersama Mang Dedi dimana aku dengan beraninya mengulum penis pria penjual sayur itu dengan mulutku. Rasanya aku ingin memberikan hal yang sama pada suamiku agar keadaan menjadi imbang antara mereka dan tak ada perasaan bersalah dalam hatiku.

Dengan secepat kilat aku kemudian melepaskan ciumanku pada bibir suamiku dan langsung bertekuk lutut di hadapan selangkangannya.

"U-umi?" suamiku terheran.

Belum sempat dia mencerna apa yang akan aku lakukan, aku langsung menyambar dan menggenggam penisnya lalu ku kocok dengan pelan-pelan sambil kuciumi kepala batangnya.


"Ouughhh.." Badan suamiku menggelinjang dan mulutnya mengerang.

Aku mendongakkan wajahku ke atas melihat ekspresi suamiku yang merem melek keenakan. Kubuka mulutku dengan lebar dan kuarahkan penis suamiku tersebut ke dalam kulumanku hingga semuanya amblas tak bersisa.

"Ouuhh gilaa.. Umiiihh!" racau suamiku memegangi rambutku.

Karena ukuran penis suamiku yang kecil, aku dengan begitu mudah mengulum penisnya lebih dalam dan dengan bebas menggerakkan lidahku bermain-main diseluruh batangnya. Suamiku dengan sangat bernafsu ikut menggenjotkan penisnya dalam kulumanku yang terasa sangat licin dan basah.

"Enakk bangettt Umiii!!!" desah suamiku tak henti-henti.
Suamiku tampak sangat menikmati kulumanku tersebut hingga penisnya terasa makin menegang dan membesar dalam mulutku. Kuhisap-hisap dengan kuat seluruh batangnya tersebut seperti mengharapkan sesuatu keluar dari sana.

Selang tak berapa lama kemudian, akupun merasakan gairahku sudah tak bisa di tahan lagi. Vaginaku terasa sudah berkedut-kedut minta dimasuki oleh sesuatu. Dan dengan cekatan aku merayap naik pada tubuh suamiku dan mendorongnya pelan di closet duduk yang ada disana.

Suamiku menurut saja saat ku raih batang penisnya yang kecil dan menegang sangat keras itu sambil ku arahkan pada liang vaginaku. Mata suamiku nanar melihat aku yang seperti kerasukan setan ingin segera menuntaskan birahi ini.


"Umi masukin ya Bi!” ucapku meminta izin.

Kuturunkan sedikit pinggul dan pantatku ke ujung penisnya dengan sedikit tergesa-gesa karena dorongan nafsu yang begitu kuat. Entah kenapa rasanya aku sangat bernafsu saat ini dan menuntut penyelesaian secepat mungkin.

"Aaaachhhh..." kami berdua mendesah bersama saat aku menurunkan pinggulku lebih ke bawah lagi.

Batang penis suamiku itu melesak masuk seluruhnya dengan sangat mudah karena ukurannya yang kecil. Sedangkan vaginaku sudah sangat licin, hangat dan basah oleh cairan pelumas yang keluar begitu banyak dari liangnya.

Beberapa detik aku hanya diam menikmati sensasi tusukan batang suamiku tersebut. Walau tak sepenuh dan sesesak saat dimasuki penis Mang Dedi, namun rasanya cukup mengisi vaginaku yang masih punya daya jepit yang lumayan kuat itu.

"Umii makin pinter bikin Abi enak sekarang!" Puji suamiku meraih kedua payudaraku.

Aku tersenyum mencium bibirnya, " Abi juga tumben ga buru-buru.." balasku menggoyangkan pinggul.

Suamiku meringis merasakan goyangan pantatku yang kemudian kupompa dengan pelan-pelan. Posisiku yang saat ini berada diatas dan seperti menunggangi kuda itu, membuatku merasakan kenikmatan luar biasa setiap kali aku bergerak.

Tusukan suamiku itu semakin terasa nikmat karena aku dapat dengan leluasa mengarahkan bagian-bagian dalam liang
vaginaku yang paling menimbulkan rasa nikmat saat tersentuh penis suamiku.

"Abihh.. Ohhhh.. Bii!!" desisku semakin bersemangat.

Badanku duduk di atas badan suamiku, sedang pinggul dan pantatku terus kuayunkan mengocok liang vaginaku dengan penis miliknya. Bunyi gesekan kelamin kami yang basahpun terdengar berkecipak karena cairan vaginaku sudah sangat banyak meleleh keluar.

Namun sayang, baru sekitar dua menitan aku menggenjotkan vaginaku dengan penuh semangat. Nafas suamiku sudah mendengus-dengus tak beraturan pertanda dia akan keluar sebentar lagi. Aku sudah menduga akan seperti ini jadinya sehingga akupun tak terlalu kecewa mengetahui suamiku tersebut akan ejakulasi.


"Umiihh.. Abii keluarrr" teriaknya begitu kencang meremas payudaraku dengan begitu kuat.

Tapi entah kenapa tubuhku tiba-tiba bergerak secara sendirinya mencabut tusukan penis suamiku seperti tidak rela kalau cairan itu masuk kesana. Alih-alih keluar di dalam, suamiku memuntahkan spermanya di badanku dengan sangat banyak dan berkali-kali lipat dari biasanya.

"CROOTT!!! CROTTT!! CROTTT!!! CROOTTTTT!!"

Sekitar empat tembakan kuat keluar dari ujung penis suamiku sambil diiringi tembakan-tembakan kecil setelahnya. Kupeluk dan kudekap erat badan suamiku agar dia dapat menikmati puncak kenikmatannya dengan sempurna. Kurasakan betul, penis suamiku yang terhimpit di perutku masih berkedut-kedut memuntahkan spermanya.

Suamikupun kemudian langsung lemas terduduk dan tak bertenaga.

"Apa yang aku lakukan??" batinku.

Aku sadar tidak mengizinkan sperma suamiku masuk ke dalam liang vaginaku setelah aku teringat bahwa didalamnya sudah ada benih Mang Dedi yang masuk lebih dulu. Entah apa yang aku pikirkan, tapi tubuhku seolah berkata kalau aku tak ingin dibuahi untuk sementara waktu selain oleh benih Mang Dedi.
 
Part 14 Sangat Berani

Tidak terasa, tiga hari sudah waktu berlalu semenjak persetubuhan terlarangku dengan Mang Dedi pada sore itu. Hari demi hari berlalu begitu cepat. Malam demi malampun kulalui dengan perasaan kalut dan bingung, antara harus merasa senang atau bersalah disaat yang bersamaan.

Semenjak kejadian itu pula, aku kemudian mengkondisikan hubunganku dengan Mang Dedi seperti biasa lagi. Meski aku tidak menjauhinya, namun setiap kami bertemu aku selalu berpura-pura seperti tidak terjadi apa-apa diantara kami.

Kuakui bahwa sebenarnya aku rindu akan dekapan dan cumbuan hangat tubuhnya pada diriku. Bahkan ketika kami masih rutin bertemu setiap pagi saat aku berbelanja, Mang Dedi selalu memanfaatkan momen itu untuk merayu dan menjamah tubuhku meminta untuk mengulang kejadian terlarang kami.

Tapi dengan halus selalu ku tolak ajakannya tersebut. Bukan bermaksud untuk menjadi munafik, namun aku benar-benar sudah mulai dihantui perasaan bersalah karena telah berselingkuh di belakang suamiku. Martabat dan harga diri yang harusnya mati-matian ku bela itupun, kini telah rusak oleh nafsu yang menutupi akal dan pikiran sehatku.

Dampaknya jadi sangat terasa setiap kali aku melayani suamiku di ranjang, yang terbayang olehku hanyalah sosok Mang Dedi saja. Terbayang akan caranya memuaskanku, terbayang pula akan penis besar tak bersunat miliknya yang selalu
perkasa membuatku berkelojotan penuh nikmat.

Seks dengan suamiku yang sebelumnya masih bisa aku nikmati itupun, terasa semakin lebih hambar karena aku mulai membanding-bandingkannya dengan cara Mang Dedi melakukannya denganku.

Walau suamiku sudah mengalami kemajuan dalam caranya bercinta sekalipun, namun tetap saja masih belum bisa menyaingi keperkasaan Mang Dedi yang benar-benar membuat ku kelojotan itu.

"Cuma di pegang-pegang doang nih Mbak?" Ucap Mang Dedi tiba-tiba menyadarkanku.

Aku menoleh padanya dan sadar bahwa saat ini aku masih berada di tempat Mang Dedi berjualan, "Eh, Maaf Mang.. Aku melamun" balasku tersenyum salah tingkah.

Seperti biasa, di depan orang banyak aku dan Mang Dedi selalu memanggil satu sama lain dengan sebutan formal agar orang-orang tidak terlalu ngeh dengan kedekatan kami berdua.

"Pagi-pagi udah ngelamun aja Uni!! Gak dapet jatah dari suami ya??" Celetuk salah satu ibu-ibu yang sedang berbelanja.

Suasana kemudian menjadi riuh karena semuanya jadi tertawa, "Ah.. Bu Retno udah kayak peramal nih..." balasku mengimbangi candaan salah satu ibu-ibu yang bernama Retno tersebut.

Namun sebenarnya aku juga menyembunyikan rasa malu karena apa yang Bu Retno katakan itu cukup benar. Akan tetapi jatah yang kumaksud disini bukanlah yang dari suamiku, melainkan
"Saya kan udah berumah tangga lebih dari 30 tahun Uni!! Udah hapal sama gerak geriknya" balas Bu Retno lagi.

Tapi kemudian Mang Dedi ikut menimpali, "Nanti saya yang jatahin" ucapnya mengerlingkan mata padaku.

Sontak keadaanpun bertambah riuh dengan teriakan dan tawa ibu-ibu pada Mang Dedi. Semua ibu-ibu yang ada disanapun sesekali bercanda membully Mang Dedi dengan sebutan halu dan sebagainya.

"Ngimpi bener lu Dedi!! Kebanyakan halunya.." cetus Bu Retno yang paling gencar meledeknya.

Mang Dedipun tak kalah bersemangat membela dirinya sendiri, "Yeee.... siapa tau Mbak Liyanya khilaf dan mau sama saya" balasnya.


"Hahaha. Sampai kura-kura jadi presiden juga, kamu gak bakal bisa dapetin yang macam Uni Liya ini Dedi!!" Jawab salah satu Ibu-ibu lagi.

"Wah.. wah.. meremehkan saya ini Ibu-ibu. Tidak tau kalian kalau saya sudah jadian sama Mbak Liya.. lya gak Mbak??" balas Mang Dedi kini membawaku.

Aku sebenarnya tidak suka dengan cara bercandanya yang terus-menerus menyerempet ke arah hubungan terlarang kami tersebut. Tapi mengingat saat ini kami dalam kondisi dan suasana beramai-ramai, aku mencoba menahan rasa marahku.

"Enggak tuh.. sejak kapan??" Ucapku dengan ketus.

Seketika itu juga tawa para ibu-ibu
disana kembali pecah melihat bagaimana aku menolak Mang Dedi secara gamblang tersebut. Bahkan ada yang meledek kalau bujang lapuk penjual sayur seperti Mang Dedi tidak akan pernah bisa mendapatkan wanita seperti aku.

Walau pada kenyataannya, tukang sayur yang tengah mereka bully dan katai itu ternyata sudah benar-benar pernah mendapatkan tubuhku dan menggumulinya dengan begitu perkasa.

Tapi baik aku dan Mang Dedi tentu saja hanya diam dan ikut saja dengan riuhnya candaan dan ledekan mereka tersebut.

Selang tak berapa lama kemudian, kehebohan para ibu-ibu itupun akhirnya berakhir. Satu persatu dari mereka berpamitan pulang usai berbelanja kebutuhan masing-masing. Dan seperti biasanya, aku menjadi orang yang terakhir yang pulang.


"Tega banget aku di bully sama mereka.." Rajuk Mang Dedi tiba-tiba memelukku.

Aku terlonjak kaget dan memberontak dari pelukannya, "Mas jangan dong!! nanti diliat orang" protesku celingak-celinguk melihat keadaan sekitar. Takut kalau ada yang melihat kami.

"Hehehe. Sorry sayang" balasnya terkekeh melapaskan pelukan.

"Mas tuh ya! Liat-liat situasi sedikit napa!!" kataku menaikkan nada karena memang aku merasa tak senang dengan caranya.

"Abis aku kangen banget sama kamu Dek Liya.." rayunya dengan dengan manja.

Aku kemudian melayangkan cubitan di pinggangnya, "Tapi gak begitu juga Mas! !" ucapku ketus sambil mengeluarkan dompet.


"Loh?? loh?? Dek Liya udah mau pulang??" tanya Mang Dedi heran.

Aku mengangguk, "Iya. Udah di tungguin sama suami" balasku berbohong.

"Gak mau nyantai dulu gitu sama aku ?" Tanya Mang Dedi menepuk pantatku tiba-tiba.

Sekali lagi aku mencubitnya, "Mas tolong ya!! Aku gak suka!!" Kataku dengan nada yang marah.

"Tapi sama yang ini suka kan?" Ucap Mang Dedi tiba-tiba mengeluarkan penisnya dari balik celana dengan begitu berani.

Sontak aku kaget dan reflek mendekat menahan celananya, "Mas apaan sih!! jangan begitu!!" Ucapku protes sambil melihat-lihat keadaan sekitar lagi.


Rasanya benar-benar takut dilihat oleh orang.

"Abisnya Dek Liya nolak aku terus.." ucapnya merajut dan cemberut.

"Mas tolong!! aku udah punya suami" balasku meminta pengertiannya.

Tapi Mang Dedi tampak tidak mau mendengarkanku, "Kemaren aja kamu desah-desah sama kontolku"

"PLAAAAAKKKK"

Tanganku reflek menampar pipinya. Sudah habis kesabaranku dari tadi meladeni cara Mang Dedi yang selalu saja memperlakukanku layaknya wanita murahan. Aku tau kalau aku yang membukakan pintu pada hubungan terlarang ini, membiarkan Mang Dedi menikmati tubuh dan ragaku sekali, tapi bukan untuk hal seperti ini aku
melakukannya.

"Cukup Mas! Aku gak suka dengan caramu" Ucapku menatap tajam matanya.

Mang Dedi tampak cukup shock dengan tamparan ku tersebut dan meringis memegangi pipinya dengan telapak tangannya.

Perlahan-lahan, pandanganku mulai mengabur oleh gumpalan air mata yang kemudian jatuh membasahi pipiku. Hatiku terasa sangat sakit, perih didadaku menjalar ke setiap syaraf yang ada di tubuhku hingga membuat badanku terasa sangat lemas.

Tak pernah aku merasakan diriku sehina ini sebelumnya, diperlakukan bak wanita murahan yang gampang dirayu dan dijamah oleh laki-laki lain semaunya.

"De--dek??" panggil Mang Dedi yang terlihat kaget melihatku menangis.

Dengan mata yang berkaca-kaca aku menatapnya, "Apa aku terlihat murahan di matamu Mas?" tanyaku padanya.

"Tidak.. tidak sama sekali Dek Liya. Kamu wanita terbaik yang ada buat aku" balasnya mendekat memegang tanganku.

Aku lalu menghempaskan tangan, " Lalu kenapa kamu perlakukan aku seperti salah satunya!!" teriakku sedikit kencang tak peduli kalau orang di sekitarku bisa mendengarnya.

"Dek.. Aku--"

"Aku apa Mas?? Mas pikir aku murahan?? Karena itu Mas memperlakukan aku seenaknya saja?? Iyaa???" Ucapku yang terus menangis.

"Ma--maafkan aku Dek.. aku tidak bermaksud-"


"Tidak bermaksud apa Mas?" Tanyaku memotong pembicaraannya.

"Tidak bermaksud membuatku semakin merasa bersalah??? Aku sudah punya suami Mas!! aku sudah mengkhianati dia demi kamu!!" Sambungku mencecarnya.

"Maafkan aku Dek.. Maafkan aku.." Ucapnya dengan lirih.

Bersamaan dengan itu, air mata yang tadi berusaha aku tahan kembali membuncah keluar, "Aku bukan wanita seperti itu Mas!! aku tidak seperti itu!" balasku menyangkal tatapannya.

"Aku tau Dek Liya... Aku yang salah" jawab Mang Dedi terus mengaku.

"Kamu duduk dulu disini ya.." lanjutnya menarik tanganku masuk ke dalam pos ronda.


Dengan lemas aku mengikuti Mang Dedi yang kemudian menuntunku duduk di lesehan bambu yang menjadi saksi bisu awal perbuatan terlarang kami. Ku hempaskan tangannya yang memegang tanganku, dan aku menunduk. Menatap kakiku yang menapak lantai pos ronda itu.

Beberapa menit ku habiskan dengan diam dan menahan tangisku yang semakin membuatku sesegukan berkali-kali. Kurasakan Mang Dedi memegang bahuku sambil kemudian merendahkan tubuhnya hingga wajahnya sejajar dengan wajahku. Namun aku membuang muka ke arah lain, tak ingin menatapnya.

Sekuat hati aku menafikkan diri, berkata dalam hatiku bahwa aku bukanlah wanita murahan. Menyangkal setiap pikiran buruk itu sambil mengucap kata-kata penenang berulang kali agar hatiku ikut tenang.
Tapi jauh dari lubuk hatiku, aku tau kalau sebenarnya aku adalah perempuan itu. Perempuan yang tak bisa menahan godaan nafsunya, seorang istri yang tak dapat menjaga kesucian pernikahannya, dan seorang wanita yang dengan rela membiarkan laki-laki lain menikmati tubuhnya.

"Aku tau sayang..Aku tau pengorbanan besarmu untukku.. Maafkan aku" Ucapnya begitu lembut.

Mang Dedi bergerak menelangkupkan tangannya pada pipiku dan menyeka air mataku dengan ibu jarinya. "Aku sayang sama kamu" ucapnya tiba-tiba.

"Aku memang terlihat seperti ini, tapi yakinlah setiap hari aku berdoa agar kamu bisa jadi milikku Dek Liya" lanjutnya mengecup pelan bibirku.

Tapi dengan begitu cepat aku tahan bahunya, "Jangan Mas!! Jangan lagi" Pintaku setengah memohon.

Ini tidak boleh terjadi dan terulang lagi. Aku sudah punya keluarga, dan sudah sekali mengkhianatinya. Satu-satunya cara agar aku bisa keluar dari kubangan dosa ini adalah dengan tidak mengulangi kesalahanku dan tetap menjaga kesetiaan ini saja.

Namun Mang Dedi tak menyerah, Kenapa Dek Liya? Aku sangatlah mencintaimu. Tolong jangan tolak aku" rayunya setengah berbisik. 66

Aku terdiam, mendengar Mang Dedi terus mengucapkan kata-kata mesra itu sambil menatap mataku dalam-dalam seolah ingin menunjukkan kebenaran dan keseriusannya.

Mang Dedi lalu menarik pelan daguku mempertemukan bibir kami. Dia
mengecup dan sedikit melumatnya hingga detak jantungku dibuat berdegup kencang. Bibirnya mulai melumat pelan dan begitu mesra bibirku.

Perasaankupun menjadi tidak karuan. Antara takut kembali hanyut dan senang bercampur dengan rangsangan yang mulai menjalari tubuhku kembali.

"Mashh..." Ucapku masih mencoba melepaskan diri dengan niat yang setengah-setengah itu.

"Tenanglah Dek Liya. Aku tidak akan menyakitimu" balasnya menenangkanku.

Aku terpejam merasakan hatiku menghangat oleh ciuman dan mendengar ucapannya tersebut. Mulai lagi luluh dengan kata bualan yang belum aku ketahui benar atau tidak, namun dengan sangat cepat dapat mampu menghapus nada keragu-raguan yang ada dalam diriku.


Dengan lemas aku mengikuti Mang Dedi yang kemudian menuntunku duduk di lesehan bambu yang menjadi saksi bisu awal perbuatan terlarang kami. Ku hempaskan tangannya yang memegang tanganku, dan aku menunduk. Menatap kakiku yang menapak lantai pos ronda itu.

Beberapa menit ku habiskan dengan diam dan menahan tangisku yang semakin membuatku sesegukan berkali-kali. Kurasakan Mang Dedi memegang bahuku sambil kemudian merendahkan tubuhnya hingga wajahnya sejajar dengan wajahku. Namun aku membuang muka ke arah lain, tak ingin menatapnya.

Sekuat hati aku menafikkan diri, berkata dalam hatiku bahwa aku bukanlah wanita murahan. Menyangkal setiap pikiran buruk itu sambil mengucap kata-kata penenang berulang kali agar hatiku ikut tenang.

Tapi jauh dari lubuk hatiku, aku tau kalau sebenarnya aku adalah perempuan itu. Perempuan yang tak bisa menahan godaan nafsunya, seorang istri yang tak dapat menjaga kesucian pernikahannya, dan seorang wanita yang dengan rela membiarkan laki-laki lain menikmati tubuhnya.

"Aku tau sayang..Aku tau pengorbanan besarmu untukku.. Maafkan aku" Ucapnya begitu lembut.

Mang Dedi bergerak menelangkupkan tangannya pada pipiku dan menyeka air mataku dengan ibu jarinya. "Aku sayang sama kamu" ucapnya tiba-tiba.

"Aku memang terlihat seperti ini, tapi yakinlah setiap hari aku berdoa agar kamu bisa jadi milikku Dek Liya" lanjutnya mengecup pelan bibirku.

Tapi dengan begitu cepat aku tahan Bahunya, "Jangan Mas!! Jangan lagi" Pintaku setengah memohon.

Ini tidak boleh terjadi dan terulang lagi. Aku sudah punya keluarga, dan sudah sekali mengkhianatinya. Satu-satunya cara agar aku bisa keluar dari kubangan dosa ini adalah dengan tidak mengulangi kesalahanku dan tetap menjaga kesetiaan ini saja.

Namun Mang Dedi tak menyerah, Kenapa Dek Liya? Aku sangatlah mencintaimu. Tolong jangan tolak aku" rayunya setengah berbisik. 66

Aku terdiam, mendengar Mang Dedi terus mengucapkan kata-kata mesra itu sambil menatap mataku dalam-dalam seolah ingin menunjukkan kebenaran dan keseriusannya.

Mang Dedi lalu menarik pelan daguku mempertemukan bibir kami. Dia mengecup dan sedikit melumatnya hingga detak jantungku dibuat berdegup kencang. Bibirnya mulai melumat pelan dan begitu mesra bibirku.

Perasaankupun menjadi tidak karuan. Antara takut kembali hanyut dan senang bercampur dengan rangsangan yang mulai menjalari tubuhku kembali.

"Mashh..." Ucapku masih mencoba melepaskan diri dengan niat yang setengah-setengah itu.

"Tenanglah Dek Liya. Aku tidak akan menyakitimu" balasnya menenangkanku.

Aku terpejam merasakan hatiku menghangat oleh ciuman dan mendengar ucapannya tersebut. Mulai lagi luluh dengan kata bualan yang belum aku ketahui benar atau tidak, namun dengan sangat cepat dapat mampu menghapus nada keragu-raguan yang ada dalam diriku.
"Bodohh.. kamu memang bodoh Liya! !" batinku berteriak dengan sangat kencang.

Baru beberapa saat yang lalu aku membela diri dengan mengatakan bahwa aku bukanlah wanita murahan yang gampang dirayu. Namun lihat sekarang, aku seperti termakan dengan omonganku sendiri dan kena getahnya saat membiarkan Mang Dedi menciumiku.

Bahkan aku senantiasa membuka bibirku untuknya. Membiarkan nafas kami saling menghembus dengan lambat, manis dan memabukkan diantara ciuman terlarang itu.

"Ya Tuhan, Maafkan aku" lagi-lagi aku berteriak dalam hati.

Lambat laun tangisku berhenti dan mengering, mulut yang tadinya menolak itu kini malah mendesah lirih merasakan ujung lidah Mang Dedi bergerak terpaut dalam gerakan yang erotis menyusuri setiap rongga dalam mulutku.

Aku menggeliat, merasakan posisiku sudah mulai tak nyaman oleh birahi yang dibangkitkan oleh Mang Dedi. Apalagi tangannya sekarang mulai menggerayangi badanku, mengirim rangsangan demi rangsangan yang semakin membuatku hanyut dalam permainannya.

"Aku kangen sama kamu Dek Liya.." ucap Mang Dedi tersenyum.

"Kamu mau maafin aku kan??"
sambungnya lagi bertanya.

Ingin rasanya sekali lagi aku menampar wajahnya tersebut karena sudah kembali meruntuhkan tembok pertahananku dengan mudah. Aku lagi-lagi hanyut hanya dengan sedikit kata rayu dan sebuah gerakan yang menipu itu.

Aku lalu mengangguk, menyerahkan lagi keraguan terakhirku padanya, "Janji ga gitu lagi??" ucapku menuntut.

"Aku janji sayang" balas Mang Dedi tersenyum sumringah padaku.

Kuseka mataku yang daritadi basah itu lalu berdiri bangkit, "Yasudah kalau gitu aku mau pulang" kataku merapikan baju.

Namun Mang Dedi menahan tanganku, "Tapi aku masih kangen sama kamu Dek.. Bantu aku sekali ini saja.." pintanya memelas dan memohon padaku.

Aku kemudian melihatnya sebentar dalam diam, mencari-cari sebuah alasan kenapa aku harus mau mengabulkan permintaannya yang sudah pasti akan mengarah pada penyelewengan lagi.

"Aku harus bantu apa Mas??" tanyaku
mendengus ikut merasa kasihan.

"Jangan marah ya tapi!!" Ucapnya terdiam sebentar. Lalu dia menarik nafas melanjutkan, "Aku mau diemutin sama kamu.." sambungnya dengan berani.

"HAAHH??" Ucapku tidak percaya dengan apa yang dia katakan barusan.

Mang Dedi lalu manyun, "Tuh kan marah lagi" ucapnya menyerah.

Tapi sebenarnya, kali ini aku tak marah mendengar permintaan cabulnya itu. Justru badanku malah merasa sedikit aneh dibuatnya karena tiba-tiba saja darahku berdesir panas dingin dan jantungku berdebar sangat cepat dibuatnya.

Permintaan Mang Dedi yang begitu kotor itu, malah sukses membuat badanku bergelinjang geli merasakan vaginaku berdenyut saat aku ikut terbayang adegan dimana aku sebagai seorang istri dan seorang muslimah yang taat sedang mengulum kejantanan Mang Dedi tempat umum seperti ini.

Apalagi ketika aku secara sadar betul bahwa laki-laki penjual sayur itu juga merupakan seorang non muslim yang berbeda denganku.

"Ohh.. ada apa ini??" batinku seperti menggeliat.

Aku menyapukan pandanganku ke sekitar melihat apakah ada orang yang lewat, "Di--disini Mas??" tanyaku tergugup ragu.

"Iya Dek. Sebentar saja kok.." pintanya sudah tidak sabaran.

"Ka--kalau ada orang liat gimana??" tanyaku masih sangat ragu.

Mang Dedi lalu menarik badanku merapat ke arah dinding, "Duduk disini Dek. Gak bakalan ada orang yang liat dari luar" ucapnya menjelaskan.

Aku berdiam diri sejenak, menimbang apa yang harus aku lakukan. Ragu awalnya untuk memenuhi permintaan gila Mang Dedi tersebut mengingat kondisi dan situasi yang rawan seperti ini.

Namun diam-diam aku merasa tertantang, birahiku malah naik semakin menggebu-gebu membayangkan betapa nakalnya aku jika mau menuruti keinginan gila tersebut.

Dan lagi-lagi, ada perasaan aneh yang menyembul dalam hatiku saat ingin merasakan seperti apa rasanya menakalkan diri dengan cara yang belum pernah aku lakukan sebelumnya.

"Sebentar saja!" ucapku mengangguk
pelan menyetujui sambil memastikan kembali keadaan di sekitar.

Mang Dedi tersenyum girang, “lya sebentar saja" Ucapnya menuntunku.

Bak seekor kerbau yang di cucuk hidungnya, aku kemudian menurut saja saat Mang Dedi menyuruhku berlutut tepat diantara selangkangannya.

Posisiku saat ini sedikit bersandar membelakangi tembok pos ronda yang lumayan tinggi tersebut, sehingga dari luar tak ada yang dapat menyaksikan keberadaanku yang ada di bawah Mang Dedi.

"Bukain dong sayang!" kata Mang Dedi saat aku hanya melihat saja.

Jantungku tiba-tiba berdetak lebih cepat lagi dan adrenalinku jadi terpacu. Hatiku sedikit memberontak dan berkata bagaimana kalau seandainya ada orang yang melihat kami.

Namun aneh aku tak dapat menahan tanganku yang bergerak sendiri menurunkan resleting celana pendek yang dipakai oleh Mang Dedi. Pelan-pelan kugunakan tanganku menjangkau penis besar yang berada didalamnya tersebut dan mengeluarkannya.

Seketika penis itu meloncat keluar menampar wajahku, "Hehehe... maaf sayang sudah tegang" kekeh Mang Dedi mengelus kepalaku.

Aku menggeleng sebentar menatap tak percaya. Tubuhku langsung meremang ketika bau khas penis Mang Dedi yang menyengat dari biasanya itu menembus hidungku. Aku bahkan bisa merasakan wajahku memanas sampai ke bagian telinga belakangku.
"Ini dia!!" batinku girang saat aku kembali berjumpa dengan penis besar nan perkasa milik Mang Dedi yang tempo hari sudah memberikan kenikmatan luar biasa padaku.

Aku berdeham kecil. Tenggorokanku mendadak tersendat dan kering. Butuh kendali diri yang kuat untuk sekadar menatap batang penis besar yang berada di depanku tersebut.

"Kenapa sayang?? Kamu kan udah pernah melihat dan merasakannya." rayu Mang Dedi melihatku seperti terpatung di antara selangkangannya.

Harus kuakui memang, berapa kalipun aku melihat kejantanan Mang Dedi, aku tidak bisa berhenti dibuat takjub dan terangsang olehnya. Batang itu terlihat hitam kecoklatan dan nampak begitu perkasa sekaligus seksi dimataku.


Apalagi dengan ujungnya yang tersembunyi malu-malu di dalam kulupnya yang tidak disunat itu. Yang entah bagaimana seolah menghipnotisku untuk segera menjilat dan merasainya.

Dengan masih sedikit ragu, aku menjulurkan tanganku pelan untuk menyentuh dan memegangi penis Mang Dedi. Seperti biasa, aku reflek hanya meremas batang kejantanan yang tak disunat itu terlebih dahulu dengan sesekali memberikan pijatan-pijatan lembut sampai batang itu menjadi mengeras dan membesar.

Hangat, berdenyut dan keras. Itulah tiga kata yang bisa menggambarkan bagaimana rasanya penis Mang Dedi di dalam genggamanku tersebut. Tampak terlalu besar pula hingga aku harus mengerahkan kedua tanganku untuk memegangnya.
Kuarahkan tanganku ke bagian pangkal penis Mang Dedi dan kutarik kulupnya ke bawah dengan pelan. Sehingga kini kepala penisnya yang berwarna pink itu menyembul keluar fari tempatnya.

"Ho...Ho... udah pinter kamu melayani kontol tak disunat Dek Liya" racau Mang Dedi dengan seenaknya.

Aku tak mempedulikan omongan kotornya tersebut dan memajukan bibirku mengecup ujung penis Mang Dedi yang sedikit basah oleh cairan yang keluar dari lubang kencingnya. Rasanya amat tidak asing, sedikit ada asinnya, tapi tidak seasin itu.

Namun aku tetap mengecup penis itu tanpa merasa jijik sama sekali. Dengan mulutku, aku kemudian membasahi kepala penis Mang Dedi dengan air liur dan
mengulum hanya pada bagian kepala yang berbentuk seperti jamur itu.

Licin, dan nikmat. Aku menghisap dengan kuat dan melepaskannya beberapa kali hingga membuat Mang Dedi menggelinjang geli.

"Ooughhh.." Dia mengerang memegangi kepalaku yang terbungkus hijab.

Aku kembali meraih penis Mang Dedi, kali ini langsung ku masukkan sedalam mungkin ke dalam mulutku. Kuhisap dan kuputar lidahku di dalam sana, lalu ku tarik lagi keluar untuk mengambil nafas.

Menyisakan sedikit batangnya dalam mulutku dan kembali mendorongnya masuk hingga ujung kejantanan Mang Dedi itu menumbuk pada tenggorokanku.

Aku terbatuk sebentar, melepas
batang penis itu. Air mataku bahkan keluar sedikit, dan Mang Dedipun tersenyum melihatku. "Pelan-pelan aja sayang.. jangan buru-buru begitu." ucapnya memberikan saran.

Aku lagi-lagi tak menjawab. Perlahan-lahan kumasukan kembali penis Mang Dedi pada mulutku dan ku hirup air liurku yang meleleh di batang kejantanannya itu.

Penuh rasanya mulutku, Semakin lama aku menghisap penis Mang Dedi, semakin lupa pula aku bahwa saat ini kami tengah berada di pos ronda dan aku menghisap kejantanan lelaki lain selain suamiku.

Perasaanku yang diselubungi nafsu syahwat itu membuatku semakin buta dan bernafsu memaju mundurkan kepalaku mengocok penis keras Mang Dedi yang penuh menusuk langit-langit dan
tenggorokanku.

Sedang dilanda nafsu berat itu, tiba-tiba saja samar aku mendengat suara anakku Tasha yang berbicara dengan lantangnya dari kejauhan.

"Caca mau es krim Abi!!! Pokoknya mau es kriimm!!"

DEGHHH!! Aku langsung terkejut. Tiba-tiba tubuhku kehilangan tenaga dalam sekejap mata. Napasku tertahan dan jantungku berdegub sangat kencang. Aku mencoba menarik kepalaku dan mengeluarkan penis Mang Dedi dari mulutku.

Namun seketika itu aku gagal karena Mang Dedi menahan kepalaku serapat mungkin di selangkangannya, "Ssssttt... jangan bergerak Dek Liya! Ada suami dan anakmu" ucap Mang Dedi meletakkan telunjuknya di bibir.
Ternyata dugaanku benar. Ada Tasha dan suamiku yang mendekat ke arah kami saat kudengar pula nada suamiku berbicara, "lya sayang.. nanti siang kalu kamu udah makan kita beli es krim" ucap suamiku terdengar membujuk Tasha.

"Kok sepi Mang?? Pada kemana?" Lanjut suamiku bertanya pada Mang Dedi.

Jantungku terasa semakin mau copot mendengar suara suamiku semakin dekat dengan tempatku yang sedang mengulum penis Mang Dedi. Ini benar-benar sesuatu hal yang sangat gila yang pernah aku perbuat. Berselingkuh nyari di depan suamiku sendiri.

"Iya nih Da, udah pada balik" jawab Mang Dedi dengan santainya.

Mang Dedi mengeliatkan badan dan menggerakkan pinggul memompa penisnya di mulutku. Sekuat tenaga aku
mencubit pahanya melarang agar dia tidak bergerak karena takut ketahuan. Tapi Mang Dedi terus saja memegang kepalaku dan memasukkan penisnya semakin dalam pada mulutku.

"Mang, gak liat istri saya?" Tanya suamiku lagi.

"Tadi udah kesini Uda. Nyari terong katanya" balas Mang Dedi. Sementara di bawah sini aku tak henti-hentinya berusaha memberontak untuk melepaskan diri.

"Hahaha. Iya nih Mang. Istri saya emang paling suka makan terong" balas suamiku dengan bodohnya. Tidak tau kalau di depannya saat ini aku sedang mencicipi "Terong" lelaki lain.

Mang Dedi lalu terkekeh menatapku ke bawah, "Iya kayaknya Mbak Liya emang paling suka sama terong" ucapnya seolah
sedang meledekku.

Bukannya merasa marah dengan candaan Mang Dedi tersebut, aku justru merasakan vaginaku semakin berdenyut-denyut melakukan perbuatan yang sangat tabu dan nakal seperti ini di depan suamiku sendiri.

Walau dia tak menyadari sama sekali, tapi itu semua sudah cukup membuat adrenalinku begitu terpacu. Wajahku semakin memanas, badanku seakan menggigil panas dingin dibuatnya. Namun kini aku malah semakin ingin pula melanjutkannya.

"Halo om baik" ucap Tasha tiba-tiba ikut menyapa Mang Dedi.

Mang Dedi lalu membalas melambaikan tangannya, "Halo Caca" jawabnya tersenyum.


Aku sempat lupa bahwa Mang Dedi dan Tasha sudah pernah bertemu sebelumnya. "Caca sudah kenal sama Om ini?" Tanya suamiku heran.

"Udah Abi.. Ini kan Om baik" jawab Tasha dengan gemasnya.

"Loh? Baik kenapa emangnya?" Tanya suamiku sekali lagi.

Sontak aku tersadar kemana arah pembicaraan ini, "Om baik mau bantuin Caca punya adek Bi.." balas Tasha dengan polosnya.

Hampir saja aku tersedak oleh penis Mang Dedi mendengar Tasha anakku dengan gamblang berbicara seperti itu pada Abinya. Aku malah ikut mengutuk diriku karena belum sempat melarang Tasha berbicara kepada suamiku perihal masalah "buat membuat adik" tempo hari.

"Oh ya??" Teriak suamiku penuh nada sindiran.

Namun Mang Dedi dengan cekatan membela dirinya, "Haha.. Becanda itu Uda !! Saya cuma bermaksud mau ngasih boneka buat jadi Adek-adekan Caca" balas Mang Dedi berkilah.

Sementara dibawah sini aku semakin gencar saja menjilat penis Mang Dedi dengan mulutku sambil sesekali mengurut batangnya yang besar. Dalam hati aku cukup girang melihat Mang Dedi seperti kewalahan di interogasi suamiku disaat bersamaan dengan serangan mulut dan lidahku pada penisnya.

"Emang Caca kenal sama Om ini dimana?" Tanya suamiku sekali lagi.

Tasha terdengar berdiam sebentar lalu menjawabnya, "Kan Om nya mandi di rumah kita Bi.." balasnya yang lagi-lagi jujur.

Baik aku dan Mang Dedi sama-sama terkejut dan semakin berkelojotan salah tingkah saat mendengar jawaban dari Tasha.

Di tengah pembicaraannya dengan anakku tersebut. Mang Dedi semakin blingsatan menerima layanan mulutku pada batang penisnya. Tubuhnya semakin menegang saat bibirku menyedot kedua biji batangnya secara bergantian.

Entah darimana aku mempelajari cara seperti itu, namun dengan nafsu yang begitu membara membuatku berpikir kalau hal tersebut perlu dilakukan untuk menambah kepuasan Mang Dedi.

"Waduh.. kapan itu?" Selidik suamiku
sekali lagi.

Mang Dedi kemudian memotong, Hehehe...Hari selasa kemarin Mas.. kebetulan saya mau pinjam jas hujan sama Mbak Liya, tapi karena gak ketemu jadi saya neduh dulu di rumah" balasnya menjelaskan seperti maling yang kedapatan. 11

Dibawah sini aku terus bermain-main dengan Penis Mang Dedi yang sudah sangat keras dengan aroma khasnya itu. Kemudian kujilati dari buah pelirnya terus naik kebatang dan kumainkan lidahku berputar-putar dikepala jamurnya.

"Kok istri saya ga pernah bilang ya?" Tanya suamiku belum merasa puas.

"Mungkin lupa Uda, lagian itu ga penting-penting amat. Saya kebetulan numpang mandi karena udah basah kuyup duluan" lanjut Mang Dedi membalas.



Tidak puas bermain-main dengan batang kemaluannya saja, mulutku lalu bergeser ke bawah menyusuri guratan urat yang memanjang dari ujung kepala kemaluan Mang Dedi hingga ke pangkalnya.

Semakin lama semakin membuatku bernafsu pula akibat aroma penis Mang Dedi yang memabukkan dan adrenalinku yang terpacu saat melakukan perselingkuhan secara diam-diam ketika ada suamiku tersebut.

Namun setelah tak berapa lama berbincang dengan suamiku, Mang Dedi menunduk ke arahku dan berbisik, "Aku mau keluar" ucapnya memberi aba-aba.

Seketika aku jadi gelagapan, karena sebentar lagi Mang Dedi akan memuntahkan cairan spermanya. Sedangkan aku bingung harus
memuntahkan dimana, sementara penisnya saja masih tertanam di mulutku dengan begitu mantap.

"Yaudah kalau gitu saya mau pamit dulu Mang! Kalau liat istri saya, tolong bilangin saya nyari dia" Ucap suamiku terdengar tiba-tiba.

Aku sedikit bisa bernafas lega karena setidaknya suamiku akan pergi saat Mang Dedi akan mengeluarkan cairan spermanya. Sehingga aku dapat dengan cepat mengeluarkan penis Mang Dedi dari dalam mulutku.

"Oougghh. Mantep sekali!!! Aku mau ngecrot di mulutmu Dek Liya" racau Mang Dedi terlepas.

Dugaanku ternyata amat sangat salah. Karena setelah suamiku pergi, Mang Dedi mengerang dan mengeram keras menahan kepalaku di penisnya hingga membuat

kemaluan besarnya itu makin masuk ke dalam menyentuh tenggorokanku.

"Mmppphh.... mmmmppphh..."
protesku dengan mulut tertahan.

Dalam usahaku yang memberontak itu pulalah, Tiba-tiba saja kerongkonganku terasa tersiram oleh cairan hangat yang langsung mengalir jatuh ke dalam perutku dengan begitu banyak.

CROOTTT!!! CROOTTT!!! CROOOTTT!!! CROOTTTT!!

Aku tersadar kalau Mang Dedi telah mengeluarkan spermanya dalam mulutku sampai aku menelannya secara langsung. Tubuh Mang Dedi yang bergetar itupun langsung aku dorong sekuat tenaga sehingga dia jatuh tersungkur di lantai dengan penis yang masih menembakkan spermanya.



"PLAAAAKKKKK!!!" lagi-lagi ku tampar wajah Mang Dedi.

 
Part 15
Terbayang-bayang

Dalam perjalananku pulang ke rumah, aku mencoba menata hatiku yang penuh dengan rasa cemas tak terkira. Perasaan berdosa karena telah berbohong terhadap suamiku benar-benar menjadi beban buatku. Aku ingin segera bertemu dengannya untuk memastikan kalau dia tak salah paham mendengar perkataan Tasha tadi.

Aneh memang karena sekarang aku tak lagi merasa bersalah ketika berselingkuh dengan Mang Dedi. Justru kesalahpahaman kecil seperti inilah yang membuatku lebih khawatir, karena aku merasa lebih takut ketahuan dibanding melakukan penyelewengan itu sendiri.

"Kamu sudah benar-benar gila Liya" batinku menggeleng-geleng mengingat
kelakuanku di pos ronda tadi.

Sebenarnya perasaan birahiku masih saja menggebu-gebu dalam dada. Terlalu sulit melupakan kejadian saat aku terpaksa menelan cairan sperma Mang Dedi ke dalam mulutku. Walau ada perasaan jijik yang membuatku sedikit mual, namun ternyata rasa cairan putih itupun tak seburuk yang kubayangkan sebelumnya. Atau mungkin aku malah sedikit menyukainya, karena sperma Mang Dedi terasa begitu gurih, asin, pahit dan sedikit manis saat aku menelannya.

Tapi sebelum aku mengakui, harga diriku bergerak lebih cepat sehingga aku dengan sengaja melayangkan tamparan ke wajah Mang Dedi. Bukan marah karena dia menumpahkan spermanya di mulutku, tapi kesal karena dia tidak meminta ijin terlebih dahulu.

Akupun meninggalkan Mang Dedi
dalam keadaan terheran begitu saja. Sengaja pula tak ku bayar sayuran yang kubeli darinya karena aku merasa gemas dan kesal dengan perbuatannya tersebut.

Sifat jahil dan suka bercanda yang dimiliki Mang Dedi memang adalah alasan utama kenapa aku ingin dekat dengannya dari awal, karena aku membutuhkan hiburan saat aku merasa kesepian di tinggal suamiku. Akan tetapi kalau sudah kelewatan seperti ini, akupun merasa harus segera bertindak agar dia tak semena-mena terhadapku.

"Darimana Mi..??" sapa suamiku yang ternyata menyambut di depan pintu rumah.

Aku sedikit terkaget lalu memasang senyum palsu seperti seorang pemain sinetron, "Dari konter Bi!! Umi beli kuota" jawabku membohonginya.

"Pantesan tadi Abi nyari ke Mang Dedi gak ada.." balas suamiku mengambil barang belanjaanku dari tangan.

Kami berdua kemudian berjalan masuk ke dalam rumah menuju dapur, Emangnya Abi ngapain cari Umi segala??" tanyaku berpura-pura.

"Itu tadi Caca merengek minta Es Krim mulu!! Abi bilang nunggu Umi balik belanja.. Eh dianya malah pengen nyusulin kamu katanya" balas suamiku menjelaskan.

"Trus anaknya mana??" tanyaku lagi.

Suamiku memonyongkan bibirnya ke dalam kamar, "Itu lagi video call-an sama neneknya. Dia lagi cerita mau punya adik" jawab suamiku.

"Uhuukk.. uhukk.." aku terbatuk kaget. "Mau punya adik darimana??"
tanyaku merasa menggigil.

"Tau tuh. Katanya dari Om Baik" jawab suamiku dengan nada penuh sindiran.

Aku berpura-pura memalingkan wajah mengambil air minum, "Mang Dedi? ?" tanyaku berusaha sesantai mungkin.

"Iya. Umi kok tau??" balas suamiku bertanya.

"Kemaren katanya mau beliin boneka buat Caca sih. Buat jadi Adek-adekan" jawabku memberi alasan yang sama seperti alasan Mang Dedi.

Akan tetapi suamiku tampaknya sudah mulai sedikit curiga, "Umi kok gak ngomong sih kalau Mang Dedi pernah dateng ke rumah?? pake numpang mandi pula!" tanyanya penuh selidik.

"Umi lupa Bi! Lagian itu udah dua hari
yang lalu.." jawabku duduk di meja makan.

Kurasakan lututku sebenarnya sangat lemas dan jantungku berdegub sangat kencang memberitahukan kebohongan demi kebohongan pada suamiku sendiri untuk menutupi perbuatan terlarangku. Namun disetiap kali suamiku memakan kebohonganku tersebut, ada perasaan puas yang begitu aneh melegakan hatiku.

"Iya tapi kenapa sampai mengizinkan dia mandi di rumah kita segala??" lanjut suamiku bertanya.

Aku menatap balik, "Kasihan Bi! Dia udah basah kuyup sampai disini" balasku menjelaskan.

"Kalau udah basah kuyup kenapa gak sekalian pulang aja??" suamiku masih belum menyerah.

Namun kali ini aku kehabisan alasan untuk menjawabnya, "Maksud Abi apaan?"
tanyaku berbalik.

"Engga ada maksud apa-apa!" balas suamiku berkilah.

"Trus kenapa nanya-nanya kayak menuduh Umi gitu??" tanyaku lagi.

Kali ini suamiku yang menatap balik, " Umi merasa tertuduh??" tanyanya padaku.

Aku tiba-tiba terdiam. Otakku berusaha mencari alasan yang tepat untuk menjawab. Tapi aku semakin gugup seperti seorang penjahat yang berusaha berkilah saat di interogasi, namun akhirnya tertangkap basah juga.

"Kok diam??" tanya suamiku sekali lagi.

Aku mengangkat kedua bahuku, "Abi mau Umi jawab kayak apa??" tanyaku.

"Gak tau! Mungkin sedikit kejujuran"
kata suamiku.

"Jujur tentang apa?? Umi cuma
ngobrol doang sama Mang Dedi" balasku
semakin berkilah.
Namun tampaknya suamiku malah
semakin yakin dengan tuduhannya, "Abi
gak nuduh Umi berbuat apa-apa loh tadi.
Eh ternyata kalian mengobrol juga”
ucapnya penuh nada sindiran.
"Emang Umi gak boleh ngobrol sama
orang selain Abi gitu?? Abi aja udah jarang
ngobrol sama Umi.." Ucapku tak kalah
ingin menyindirnya.
Beruntung tampaknya sindiranku lah
yang lebih terasa oleh suamiku, dia
tergagap. “A—Abi-"
"Abi apa?? Abi kerja gitu??" ucapku
memotong obrolannya. "Selama ini Umi
udah nyoba tahan dan mengerti sama Abi,
tapi kalau Abi kayak gini Umi juga gak bisa
diam” lanjutku mencecarnya.

Suamiku masih terdiam, "Umi
kesepian Bi!! Anakmu kesepian juga!!
setiap hari Abi berangkat sebelum dia
bangun, pulang-pulang setelah dia tidur.
Gimana gak kesepian coba????" teriakku
dengan lantang.
Mungkin tadi aku memulai obrolan ini
dengan sebuah kebohongan karena ingin
menutupi perselingkuhanku. Akan tetapi
tampaknya obrolan inipun akhirnya dapat
ku manfaatkan sebagai sarana meluapkan
emosi dan ketidaksukaan terhadap
suamiku yang terus-terusan bekerja itu.
“Ma—maafin Abi, Mi!” ucap suamiku
memelas.
Aku tertawa kecut, “Dan sekarang??
Abi punya masalah kalau Umi ngobrol
sama orang??" tantangku membalikkan
tuduhannya tadi menjadi bumerang yang menyerangnya sendiri.

"Maaf Umi. Abi benar-benar tidak tau" balasnya menatap lembut padaku.

Aku kemudian berdiri dari meja makan, "Terserah Abi saja!" ucapku ketus meninggalkannya.

Aku lalu pergi ke dalam kamar dan merebahkan diriku diatas kasur dengan perasaan berkecamuk tak bisa dijelaskan. Marah karena aku sudah mulai hilang kendali dan tidak tahu diri. Sedih karena sudah membohongi suamiku. Dan lega karena berhasil mengungkapkan uneg-uneg yang selama ini aku tahan-tahan.

Tak kusadari tiba-tiba saja air mataku telah melompat keluar membasahi pipiku. Aku kembali merasa jijik dan hina dengan diriku sendiri. Seandainya saja waktu itu aku tidak tergoda nafsu untuk berselingkuh, mungkin saat ini aku tidak akan pernah bertengkar dengan suamiku.

Entah sampai kapan pula akan kutanggung rasa bersalah ini. Tetapi setidaknya aku masih beruntung karena suamiku belum mengetahui kalau istri yang selama ini dikenalnya sebagai seorang perempuan alim itu, sudah merelakan tubuhnya di gauli dan dinikmati oleh pria lain selain dirinya.

Sampai ketika malam menjelangpun, baik aku dan suamiku masih berdiam diri tak saling menyapa satu sama lain. Ini adalah pertengkaran kami untuk pertama kalinya selama masa enam tahun kami menjalani pernikahan. Dan sunggu rasanya sangat tidak mengenakkan dihati dan pikiranku.

"Mi! Udah tidur??" sapa suamiku dari sebelah.



Walau sedang marahan, kami berdua masih tidur diatas ranjang yang sama. " Belum.. kenapa?" tanyaku membalik badan.

"Abi mau minta maaf" Ucap suamiku menggapai tanganku. "Maafin Abi udah nuduh Umi macem-macem. Maafin Abi juga karena udah terlalu sering ninggalin Umi demi kerjaan" lanjutnya setengah berbisik.

"Itu doang??" tanyaku mengangkat alis.

Suamiku terlihat bingung, "Emangnya ada lagi Mi??" tanyanya heran.

"Ada. Minta maaf karena Abi gak pernah bisa muasin Umi di ranjang" balasku dalam hati.

"Kok diem??" tanya suamiku sekali lagi.

Aku menggeleng, "Gapapa Bi! Umi juga minta maaf karena lupa ngasih tau Abi tentang Mang Dedi" ucapku yang lagi-lagi berbohong.

"Engga, Umi gak perlu minta maaf soal itu. Abi tau Umi cuma pengen punya temen ngobrol" jawab suamiku seolah mengerti.

Aku lalu tersenyum, "Jadi gak cemburu lagi nih?" tanyaku menyindirnya.

"Eleehh.. Siapa juga yang cemburu sama tukang sayur.." jawab suamiku berkilah.

"Itu tadi apaan nuduh-nuduh istrinya kalau bukan cemburu?" sindirku lagi.

Suamiku seketika cemberut, "Abis dianya bilang mau bikinin Adek buat Caca. Abi kan cemburu!!" balasnya padaku.

"Itumah Abi aja yang salah paham
sama omongan Caca.. Masa' Mang Dedi
mau bikin Umi hamil!! Yang bener aja!!" kataku tiba-tiba berdesir mengucap kata " Hamil" tersebut.

"Iya juga sih. Kagak mungkin juga ya" ucapnya mengangguk-angguk. "Yaudah deh kalau gitu Umi temenan aja sama Mang Dedi" lanjut suamiku bersemangat.

"Loh kok gitu??" tanyaku penasaran.

"Katanya Umi butuh temen ngobrol??" tawar suamiku.

Aku tersenyum meledeknya, "Yakin ga cemburu??" tanyaku sekali lagi.

"Yakin" angguk suamiku dengan cepat. "Lagian kayaknya Mang Dedi orang baik" lanjut suamiku berusaha menilai.

"Ah Masa'?? tadi aja ada yang cemburu banget.." ucapku meledek.


"Iya kayaknya. Lagian dia ga pernah godain Umi jugakan walau udah berduaan di rumah??" tanya suamiku menebak.

Entah setan apa yang datang menghampiriku saat itu, aku malah merasa ingin sedikit menggoda suamiku, " Emang Abi tau??" ucapku mendekat pelan kearahnya.

"Ga tau juga sih" balas suamiku menelan ludah. "E--emangnya dia godain Umi??" tanya suamiku tergugup saat dengan sengaja kuelus bagian selangkangannya.

"Kalau Umi digodain gimana Bi?? cemburu gak??" tanyaku semakin memancing jawaban dari suamiku.

Mendadak hatiku dipenuhi perasaan aneh yang tak pernah kualami sebelumnya. Suatu perasaan yang sangat sukar untuk kulukiskan dengan kata-kata saat aku
tertantang oleh birahi untuk menggoda suamiku dengan cara seperti ini.

"Ya.. Ce-cemburu pasti Mi!" balas suamiku menatapku dengan tatapan tidak percaya.

Aku kemudian tertawa, "Kok tegang begini??" tanyaku menggapai penisnya dari balik celana dan meremasnya pelan.

"Kerjaan Umi kan!" ucap suamiku merenguh memejamkan matanya.

"Umi gak digodain sih. Cuma dibilang cantik aja Bi" ucapku mulai mengurut-urut penis suamiku dari dalam celananya.

Namun suamiku malah semakin melenguh, "Ouughh... Tr-trus apa lagi??" tanya suamiku di sela-sela nafasnya yang semakin memburu.

"Mang Dedi bilang Umi tipe wanita dia banget" jawabku mempercepat kocokan.

Hatiku semakin girang melihat ekspresi suamiku yang tampak keenakan merasapi genggaman dan pijatan tanganku pada batang penisnya. Lambat-laun sentuhanku pada penis suamiku tersebut seakan ikut menjalarkan sensasi-sensasi aneh dalam tubuhku. Bahkan ketika aku dengan sengaja mengucap-ngucap nama Mang Dedi, sensasinya pun menjadi bertambah membuatku menggelinjang tanpa kusadari.

"Oouugghh.. enakk Mi!!" desah suamiku kembali keluar dari mulutnya.

Tak mau kalah dengan tanganku yang memberikan servis pada penisnya, suamiku tiba-tiba menyusupkan tangannya masuk ke dalam celana tidurku. Aku hanya bisa menggelinjang saat jemari suamiku itu akhirnya menekan tepat pada luaran vaginaku.


"U-umi basah??" tanya suamiku terheran.

Aku kemudian mengangguk mempercepat kocokanku pada penisnya saat tangan suamiku tersebut ikut mengalirkan getaran pada bagian tubuhku yang paling peka. Tanpa bisa kutahan-tahan lagi, cairan vaginaku terasa basah membersit keluar dari dalam lorongnya, meleleh membasah kepermukaan tangan suamiku.

Aku merasa malu sekali. Mengapa bisa seperti ini? Mengapa aku jadi bergejolak hanya karena membayangkan pujian-pujian Mang Dedi sambil menggoda suamiku. Apakah memang aku sudah setergantung ini kepada tukang sayur itu?

"Ohhh.. enakk Masshh!!" balasku mendesah tanpa sengaja membayangkan kalau bukan suamikulah yang sedang
meraba tubuhku.


Namun beruntung tampaknya suamiku tak menyadari hal itu karena dia juga tengah fokus merasakan nikmat akibat kocokan tanganku yang semakin cepat pada penisnya.

"Ughhh.. mau keluar Mi!" ucap suamiku tiba-tiba saja melemahkan gerakan tangannya di vaginaku.

Dengan secepat kilat, aku reflek menggantikan tangan suamiku tersebut dengan tanganku kiriku sendiri sambil yang kanannya tetap terus mengocok penis suamiku. Aku bergerak mengikuti instingku sendiri dengan mencolok-colok lubang vaginaku merasakan nikmat itu mulai menemui ujungnya.

Dibarengi dengan erangan suamiku yang tiba-tiba keluar, akupun kemudian merasakan hantaman gelombang
kenikmatan yang bersumber dari kelanjar syarafku yang paling peka, gelombang yang sudah aku kenali itupun serasa meledak begitu saja menerjang bendungan pertahanku.

"Ouuughhhh...." lenguhku begitu panjang.

Tubuhku bergetar dan menggelinjang diatas kasur seakan terbang ke awang-awang. Membuat vaginaku ikut berkedut-kedut ribuan kali seperti memancarkan kehangatan di sepanjang lorongnya. Aku merasakan orgasme yang datang kali ini sangat berbeda, karena begitu cepat dan mendadak sehingga aku tak sadar sedang berada di samping suamiku.

"U-umi gapapa??" tanya suamiku tergagap melihatku sedang dilanda puncak birahi.


Dalam sisa kesadaranku pun kemudian aku mengangguk pelan, " Gapapa Bi! Umi cuma keenakan" ucapku menatap langit-langit kamar.

Terbayang wajah Mang Dedi tersenyum menyeringai.
 
Nunggu yg TS kelarin ampe part 14, mungkin nanti ada yg post part 15. Lagi pula dsini baru ampe part 9 koq,msh lama k part 14
Yang versi repost ini gak ada part 15 dengan judul tusukan dan gak ada scene Liya pingsan dan pastinya gak ada scene Anal. Soalnya yang versi repost ini adalah versi remake yang di upload di aplikasi sebelah dan saya pernah baca sampai tamat hehe
 
Yang versi repost ini gak ada part 15 dengan judul tusukan dan gak ada scene Liya pingsan dan pastinya gak ada scene Anal. Soalnya yang versi repost ini adalah versi remake yang di upload di aplikasi sebelah dan saya pernah baca sampai tamat hehe
masih di ragukan versi remake bukan suhu penulis aslinya
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd