Part 14 Sangat Berani
Tidak terasa, tiga hari sudah waktu berlalu semenjak persetubuhan terlarangku dengan Mang Dedi pada sore itu. Hari demi hari berlalu begitu cepat. Malam demi malampun kulalui dengan perasaan kalut dan bingung, antara harus merasa senang atau bersalah disaat yang bersamaan.
Semenjak kejadian itu pula, aku kemudian mengkondisikan hubunganku dengan Mang Dedi seperti biasa lagi. Meski aku tidak menjauhinya, namun setiap kami bertemu aku selalu berpura-pura seperti tidak terjadi apa-apa diantara kami.
Kuakui bahwa sebenarnya aku rindu akan dekapan dan cumbuan hangat tubuhnya pada diriku. Bahkan ketika kami masih rutin bertemu setiap pagi saat aku berbelanja, Mang Dedi selalu memanfaatkan momen itu untuk merayu dan menjamah tubuhku meminta untuk mengulang kejadian terlarang kami.
Tapi dengan halus selalu ku tolak ajakannya tersebut. Bukan bermaksud untuk menjadi munafik, namun aku benar-benar sudah mulai dihantui perasaan bersalah karena telah berselingkuh di belakang suamiku. Martabat dan harga diri yang harusnya mati-matian ku bela itupun, kini telah rusak oleh nafsu yang menutupi akal dan pikiran sehatku.
Dampaknya jadi sangat terasa setiap kali aku melayani suamiku di ranjang, yang terbayang olehku hanyalah sosok Mang Dedi saja. Terbayang akan caranya memuaskanku, terbayang pula akan penis besar tak bersunat miliknya yang selalu
perkasa membuatku berkelojotan penuh nikmat.
Seks dengan suamiku yang sebelumnya masih bisa aku nikmati itupun, terasa semakin lebih hambar karena aku mulai membanding-bandingkannya dengan cara Mang Dedi melakukannya denganku.
Walau suamiku sudah mengalami kemajuan dalam caranya bercinta sekalipun, namun tetap saja masih belum bisa menyaingi keperkasaan Mang Dedi yang benar-benar membuat ku kelojotan itu.
"Cuma di pegang-pegang doang nih Mbak?" Ucap Mang Dedi tiba-tiba menyadarkanku.
Aku menoleh padanya dan sadar bahwa saat ini aku masih berada di tempat Mang Dedi berjualan, "Eh, Maaf Mang.. Aku melamun" balasku tersenyum salah tingkah.
Seperti biasa, di depan orang banyak aku dan Mang Dedi selalu memanggil satu sama lain dengan sebutan formal agar orang-orang tidak terlalu ngeh dengan kedekatan kami berdua.
"Pagi-pagi udah ngelamun aja Uni!! Gak dapet jatah dari suami ya??" Celetuk salah satu ibu-ibu yang sedang berbelanja.
Suasana kemudian menjadi riuh karena semuanya jadi tertawa, "Ah.. Bu Retno udah kayak peramal nih..." balasku mengimbangi candaan salah satu ibu-ibu yang bernama Retno tersebut.
Namun sebenarnya aku juga menyembunyikan rasa malu karena apa yang Bu Retno katakan itu cukup benar. Akan tetapi jatah yang kumaksud disini bukanlah yang dari suamiku, melainkan
"Saya kan udah berumah tangga lebih dari 30 tahun Uni!! Udah hapal sama gerak geriknya" balas Bu Retno lagi.
Tapi kemudian Mang Dedi ikut menimpali, "Nanti saya yang jatahin" ucapnya mengerlingkan mata padaku.
Sontak keadaanpun bertambah riuh dengan teriakan dan tawa ibu-ibu pada Mang Dedi. Semua ibu-ibu yang ada disanapun sesekali bercanda membully Mang Dedi dengan sebutan halu dan sebagainya.
"Ngimpi bener lu Dedi!! Kebanyakan halunya.." cetus Bu Retno yang paling gencar meledeknya.
Mang Dedipun tak kalah bersemangat membela dirinya sendiri, "Yeee.... siapa tau Mbak Liyanya khilaf dan mau sama saya" balasnya.
"Hahaha. Sampai kura-kura jadi presiden juga, kamu gak bakal bisa dapetin yang macam Uni Liya ini Dedi!!" Jawab salah satu Ibu-ibu lagi.
"Wah.. wah.. meremehkan saya ini Ibu-ibu. Tidak tau kalian kalau saya sudah jadian sama Mbak Liya.. lya gak Mbak??" balas Mang Dedi kini membawaku.
Aku sebenarnya tidak suka dengan cara bercandanya yang terus-menerus menyerempet ke arah hubungan terlarang kami tersebut. Tapi mengingat saat ini kami dalam kondisi dan suasana beramai-ramai, aku mencoba menahan rasa marahku.
"Enggak tuh.. sejak kapan??" Ucapku dengan ketus.
Seketika itu juga tawa para ibu-ibu
disana kembali pecah melihat bagaimana aku menolak Mang Dedi secara gamblang tersebut. Bahkan ada yang meledek kalau bujang lapuk penjual sayur seperti Mang Dedi tidak akan pernah bisa mendapatkan wanita seperti aku.
Walau pada kenyataannya, tukang sayur yang tengah mereka bully dan katai itu ternyata sudah benar-benar pernah mendapatkan tubuhku dan menggumulinya dengan begitu perkasa.
Tapi baik aku dan Mang Dedi tentu saja hanya diam dan ikut saja dengan riuhnya candaan dan ledekan mereka tersebut.
Selang tak berapa lama kemudian, kehebohan para ibu-ibu itupun akhirnya berakhir. Satu persatu dari mereka berpamitan pulang usai berbelanja kebutuhan masing-masing. Dan seperti biasanya, aku menjadi orang yang terakhir yang pulang.
"Tega banget aku di bully sama mereka.." Rajuk Mang Dedi tiba-tiba memelukku.
Aku terlonjak kaget dan memberontak dari pelukannya, "Mas jangan dong!! nanti diliat orang" protesku celingak-celinguk melihat keadaan sekitar. Takut kalau ada yang melihat kami.
"Hehehe. Sorry sayang" balasnya terkekeh melapaskan pelukan.
"Mas tuh ya! Liat-liat situasi sedikit napa!!" kataku menaikkan nada karena memang aku merasa tak senang dengan caranya.
"Abis aku kangen banget sama kamu Dek Liya.." rayunya dengan dengan manja.
Aku kemudian melayangkan cubitan di pinggangnya, "Tapi gak begitu juga Mas! !" ucapku ketus sambil mengeluarkan dompet.
"Loh?? loh?? Dek Liya udah mau pulang??" tanya Mang Dedi heran.
Aku mengangguk, "Iya. Udah di tungguin sama suami" balasku berbohong.
"Gak mau nyantai dulu gitu sama aku ?" Tanya Mang Dedi menepuk pantatku tiba-tiba.
Sekali lagi aku mencubitnya, "Mas tolong ya!! Aku gak suka!!" Kataku dengan nada yang marah.
"Tapi sama yang ini suka kan?" Ucap Mang Dedi tiba-tiba mengeluarkan penisnya dari balik celana dengan begitu berani.
Sontak aku kaget dan reflek mendekat menahan celananya, "Mas apaan sih!! jangan begitu!!" Ucapku protes sambil melihat-lihat keadaan sekitar lagi.
Rasanya benar-benar takut dilihat oleh orang.
"Abisnya Dek Liya nolak aku terus.." ucapnya merajut dan cemberut.
"Mas tolong!! aku udah punya suami" balasku meminta pengertiannya.
Tapi Mang Dedi tampak tidak mau mendengarkanku, "Kemaren aja kamu desah-desah sama kontolku"
"PLAAAAAKKKK"
Tanganku reflek menampar pipinya. Sudah habis kesabaranku dari tadi meladeni cara Mang Dedi yang selalu saja memperlakukanku layaknya wanita murahan. Aku tau kalau aku yang membukakan pintu pada hubungan terlarang ini, membiarkan Mang Dedi menikmati tubuh dan ragaku sekali, tapi bukan untuk hal seperti ini aku
melakukannya.
"Cukup Mas! Aku gak suka dengan caramu" Ucapku menatap tajam matanya.
Mang Dedi tampak cukup shock dengan tamparan ku tersebut dan meringis memegangi pipinya dengan telapak tangannya.
Perlahan-lahan, pandanganku mulai mengabur oleh gumpalan air mata yang kemudian jatuh membasahi pipiku. Hatiku terasa sangat sakit, perih didadaku menjalar ke setiap syaraf yang ada di tubuhku hingga membuat badanku terasa sangat lemas.
Tak pernah aku merasakan diriku sehina ini sebelumnya, diperlakukan bak wanita murahan yang gampang dirayu dan dijamah oleh laki-laki lain semaunya.
"De--dek??" panggil Mang Dedi yang terlihat kaget melihatku menangis.
Dengan mata yang berkaca-kaca aku menatapnya, "Apa aku terlihat murahan di matamu Mas?" tanyaku padanya.
"Tidak.. tidak sama sekali Dek Liya. Kamu wanita terbaik yang ada buat aku" balasnya mendekat memegang tanganku.
Aku lalu menghempaskan tangan, " Lalu kenapa kamu perlakukan aku seperti salah satunya!!" teriakku sedikit kencang tak peduli kalau orang di sekitarku bisa mendengarnya.
"Dek.. Aku--"
"Aku apa Mas?? Mas pikir aku murahan?? Karena itu Mas memperlakukan aku seenaknya saja?? Iyaa???" Ucapku yang terus menangis.
"Ma--maafkan aku Dek.. aku tidak bermaksud-"
"Tidak bermaksud apa Mas?" Tanyaku memotong pembicaraannya.
"Tidak bermaksud membuatku semakin merasa bersalah??? Aku sudah punya suami Mas!! aku sudah mengkhianati dia demi kamu!!" Sambungku mencecarnya.
"Maafkan aku Dek.. Maafkan aku.." Ucapnya dengan lirih.
Bersamaan dengan itu, air mata yang tadi berusaha aku tahan kembali membuncah keluar, "Aku bukan wanita seperti itu Mas!! aku tidak seperti itu!" balasku menyangkal tatapannya.
"Aku tau Dek Liya... Aku yang salah" jawab Mang Dedi terus mengaku.
"Kamu duduk dulu disini ya.." lanjutnya menarik tanganku masuk ke dalam pos ronda.
Dengan lemas aku mengikuti Mang Dedi yang kemudian menuntunku duduk di lesehan bambu yang menjadi saksi bisu awal perbuatan terlarang kami. Ku hempaskan tangannya yang memegang tanganku, dan aku menunduk. Menatap kakiku yang menapak lantai pos ronda itu.
Beberapa menit ku habiskan dengan diam dan menahan tangisku yang semakin membuatku sesegukan berkali-kali. Kurasakan Mang Dedi memegang bahuku sambil kemudian merendahkan tubuhnya hingga wajahnya sejajar dengan wajahku. Namun aku membuang muka ke arah lain, tak ingin menatapnya.
Sekuat hati aku menafikkan diri, berkata dalam hatiku bahwa aku bukanlah wanita murahan. Menyangkal setiap pikiran buruk itu sambil mengucap kata-kata penenang berulang kali agar hatiku ikut tenang.
Tapi jauh dari lubuk hatiku, aku tau kalau sebenarnya aku adalah perempuan itu. Perempuan yang tak bisa menahan godaan nafsunya, seorang istri yang tak dapat menjaga kesucian pernikahannya, dan seorang wanita yang dengan rela membiarkan laki-laki lain menikmati tubuhnya.
"Aku tau sayang..Aku tau pengorbanan besarmu untukku.. Maafkan aku" Ucapnya begitu lembut.
Mang Dedi bergerak menelangkupkan tangannya pada pipiku dan menyeka air mataku dengan ibu jarinya. "Aku sayang sama kamu" ucapnya tiba-tiba.
"Aku memang terlihat seperti ini, tapi yakinlah setiap hari aku berdoa agar kamu bisa jadi milikku Dek Liya" lanjutnya mengecup pelan bibirku.
Tapi dengan begitu cepat aku tahan bahunya, "Jangan Mas!! Jangan lagi" Pintaku setengah memohon.
Ini tidak boleh terjadi dan terulang lagi. Aku sudah punya keluarga, dan sudah sekali mengkhianatinya. Satu-satunya cara agar aku bisa keluar dari kubangan dosa ini adalah dengan tidak mengulangi kesalahanku dan tetap menjaga kesetiaan ini saja.
Namun Mang Dedi tak menyerah, Kenapa Dek Liya? Aku sangatlah mencintaimu. Tolong jangan tolak aku" rayunya setengah berbisik. 66
Aku terdiam, mendengar Mang Dedi terus mengucapkan kata-kata mesra itu sambil menatap mataku dalam-dalam seolah ingin menunjukkan kebenaran dan keseriusannya.
Mang Dedi lalu menarik pelan daguku mempertemukan bibir kami. Dia
mengecup dan sedikit melumatnya hingga detak jantungku dibuat berdegup kencang. Bibirnya mulai melumat pelan dan begitu mesra bibirku.
Perasaankupun menjadi tidak karuan. Antara takut kembali hanyut dan senang bercampur dengan rangsangan yang mulai menjalari tubuhku kembali.
"Mashh..." Ucapku masih mencoba melepaskan diri dengan niat yang setengah-setengah itu.
"Tenanglah Dek Liya. Aku tidak akan menyakitimu" balasnya menenangkanku.
Aku terpejam merasakan hatiku menghangat oleh ciuman dan mendengar ucapannya tersebut. Mulai lagi luluh dengan kata bualan yang belum aku ketahui benar atau tidak, namun dengan sangat cepat dapat mampu menghapus nada keragu-raguan yang ada dalam diriku.
Dengan lemas aku mengikuti Mang Dedi yang kemudian menuntunku duduk di lesehan bambu yang menjadi saksi bisu awal perbuatan terlarang kami. Ku hempaskan tangannya yang memegang tanganku, dan aku menunduk. Menatap kakiku yang menapak lantai pos ronda itu.
Beberapa menit ku habiskan dengan diam dan menahan tangisku yang semakin membuatku sesegukan berkali-kali. Kurasakan Mang Dedi memegang bahuku sambil kemudian merendahkan tubuhnya hingga wajahnya sejajar dengan wajahku. Namun aku membuang muka ke arah lain, tak ingin menatapnya.
Sekuat hati aku menafikkan diri, berkata dalam hatiku bahwa aku bukanlah wanita murahan. Menyangkal setiap pikiran buruk itu sambil mengucap kata-kata penenang berulang kali agar hatiku ikut tenang.
Tapi jauh dari lubuk hatiku, aku tau kalau sebenarnya aku adalah perempuan itu. Perempuan yang tak bisa menahan godaan nafsunya, seorang istri yang tak dapat menjaga kesucian pernikahannya, dan seorang wanita yang dengan rela membiarkan laki-laki lain menikmati tubuhnya.
"Aku tau sayang..Aku tau pengorbanan besarmu untukku.. Maafkan aku" Ucapnya begitu lembut.
Mang Dedi bergerak menelangkupkan tangannya pada pipiku dan menyeka air mataku dengan ibu jarinya. "Aku sayang sama kamu" ucapnya tiba-tiba.
"Aku memang terlihat seperti ini, tapi yakinlah setiap hari aku berdoa agar kamu bisa jadi milikku Dek Liya" lanjutnya mengecup pelan bibirku.
Tapi dengan begitu cepat aku tahan Bahunya, "Jangan Mas!! Jangan lagi" Pintaku setengah memohon.
Ini tidak boleh terjadi dan terulang lagi. Aku sudah punya keluarga, dan sudah sekali mengkhianatinya. Satu-satunya cara agar aku bisa keluar dari kubangan dosa ini adalah dengan tidak mengulangi kesalahanku dan tetap menjaga kesetiaan ini saja.
Namun Mang Dedi tak menyerah, Kenapa Dek Liya? Aku sangatlah mencintaimu. Tolong jangan tolak aku" rayunya setengah berbisik. 66
Aku terdiam, mendengar Mang Dedi terus mengucapkan kata-kata mesra itu sambil menatap mataku dalam-dalam seolah ingin menunjukkan kebenaran dan keseriusannya.
Mang Dedi lalu menarik pelan daguku mempertemukan bibir kami. Dia mengecup dan sedikit melumatnya hingga detak jantungku dibuat berdegup kencang. Bibirnya mulai melumat pelan dan begitu mesra bibirku.
Perasaankupun menjadi tidak karuan. Antara takut kembali hanyut dan senang bercampur dengan rangsangan yang mulai menjalari tubuhku kembali.
"Mashh..." Ucapku masih mencoba melepaskan diri dengan niat yang setengah-setengah itu.
"Tenanglah Dek Liya. Aku tidak akan menyakitimu" balasnya menenangkanku.
Aku terpejam merasakan hatiku menghangat oleh ciuman dan mendengar ucapannya tersebut. Mulai lagi luluh dengan kata bualan yang belum aku ketahui benar atau tidak, namun dengan sangat cepat dapat mampu menghapus nada keragu-raguan yang ada dalam diriku.
"Bodohh.. kamu memang bodoh Liya! !" batinku berteriak dengan sangat kencang.
Baru beberapa saat yang lalu aku membela diri dengan mengatakan bahwa aku bukanlah wanita murahan yang gampang dirayu. Namun lihat sekarang, aku seperti termakan dengan omonganku sendiri dan kena getahnya saat membiarkan Mang Dedi menciumiku.
Bahkan aku senantiasa membuka bibirku untuknya. Membiarkan nafas kami saling menghembus dengan lambat, manis dan memabukkan diantara ciuman terlarang itu.
"Ya Tuhan, Maafkan aku" lagi-lagi aku berteriak dalam hati.
Lambat laun tangisku berhenti dan mengering, mulut yang tadinya menolak itu kini malah mendesah lirih merasakan ujung lidah Mang Dedi bergerak terpaut dalam gerakan yang erotis menyusuri setiap rongga dalam mulutku.
Aku menggeliat, merasakan posisiku sudah mulai tak nyaman oleh birahi yang dibangkitkan oleh Mang Dedi. Apalagi tangannya sekarang mulai menggerayangi badanku, mengirim rangsangan demi rangsangan yang semakin membuatku hanyut dalam permainannya.
"Aku kangen sama kamu Dek Liya.." ucap Mang Dedi tersenyum.
"Kamu mau maafin aku kan??"
sambungnya lagi bertanya.
Ingin rasanya sekali lagi aku menampar wajahnya tersebut karena sudah kembali meruntuhkan tembok pertahananku dengan mudah. Aku lagi-lagi hanyut hanya dengan sedikit kata rayu dan sebuah gerakan yang menipu itu.
Aku lalu mengangguk, menyerahkan lagi keraguan terakhirku padanya, "Janji ga gitu lagi??" ucapku menuntut.
"Aku janji sayang" balas Mang Dedi tersenyum sumringah padaku.
Kuseka mataku yang daritadi basah itu lalu berdiri bangkit, "Yasudah kalau gitu aku mau pulang" kataku merapikan baju.
Namun Mang Dedi menahan tanganku, "Tapi aku masih kangen sama kamu Dek.. Bantu aku sekali ini saja.." pintanya memelas dan memohon padaku.
Aku kemudian melihatnya sebentar dalam diam, mencari-cari sebuah alasan kenapa aku harus mau mengabulkan permintaannya yang sudah pasti akan mengarah pada penyelewengan lagi.
"Aku harus bantu apa Mas??" tanyaku
mendengus ikut merasa kasihan.
"Jangan marah ya tapi!!" Ucapnya terdiam sebentar. Lalu dia menarik nafas melanjutkan, "Aku mau diemutin sama kamu.." sambungnya dengan berani.
"HAAHH??" Ucapku tidak percaya dengan apa yang dia katakan barusan.
Mang Dedi lalu manyun, "Tuh kan marah lagi" ucapnya menyerah.
Tapi sebenarnya, kali ini aku tak marah mendengar permintaan cabulnya itu. Justru badanku malah merasa sedikit aneh dibuatnya karena tiba-tiba saja darahku berdesir panas dingin dan jantungku berdebar sangat cepat dibuatnya.
Permintaan Mang Dedi yang begitu kotor itu, malah sukses membuat badanku bergelinjang geli merasakan vaginaku berdenyut saat aku ikut terbayang adegan dimana aku sebagai seorang istri dan seorang muslimah yang taat sedang mengulum kejantanan Mang Dedi tempat umum seperti ini.
Apalagi ketika aku secara sadar betul bahwa laki-laki penjual sayur itu juga merupakan seorang non muslim yang berbeda denganku.
"Ohh.. ada apa ini??" batinku seperti menggeliat.
Aku menyapukan pandanganku ke sekitar melihat apakah ada orang yang lewat, "Di--disini Mas??" tanyaku tergugup ragu.
"Iya Dek. Sebentar saja kok.." pintanya sudah tidak sabaran.
"Ka--kalau ada orang liat gimana??" tanyaku masih sangat ragu.
Mang Dedi lalu menarik badanku merapat ke arah dinding, "Duduk disini Dek. Gak bakalan ada orang yang liat dari luar" ucapnya menjelaskan.
Aku berdiam diri sejenak, menimbang apa yang harus aku lakukan. Ragu awalnya untuk memenuhi permintaan gila Mang Dedi tersebut mengingat kondisi dan situasi yang rawan seperti ini.
Namun diam-diam aku merasa tertantang, birahiku malah naik semakin menggebu-gebu membayangkan betapa nakalnya aku jika mau menuruti keinginan gila tersebut.
Dan lagi-lagi, ada perasaan aneh yang menyembul dalam hatiku saat ingin merasakan seperti apa rasanya menakalkan diri dengan cara yang belum pernah aku lakukan sebelumnya.
"Sebentar saja!" ucapku mengangguk
pelan menyetujui sambil memastikan kembali keadaan di sekitar.
Mang Dedi tersenyum girang, “lya sebentar saja" Ucapnya menuntunku.
Bak seekor kerbau yang di cucuk hidungnya, aku kemudian menurut saja saat Mang Dedi menyuruhku berlutut tepat diantara selangkangannya.
Posisiku saat ini sedikit bersandar membelakangi tembok pos ronda yang lumayan tinggi tersebut, sehingga dari luar tak ada yang dapat menyaksikan keberadaanku yang ada di bawah Mang Dedi.
"Bukain dong sayang!" kata Mang Dedi saat aku hanya melihat saja.
Jantungku tiba-tiba berdetak lebih cepat lagi dan adrenalinku jadi terpacu. Hatiku sedikit memberontak dan berkata bagaimana kalau seandainya ada orang yang melihat kami.
Namun aneh aku tak dapat menahan tanganku yang bergerak sendiri menurunkan resleting celana pendek yang dipakai oleh Mang Dedi. Pelan-pelan kugunakan tanganku menjangkau penis besar yang berada didalamnya tersebut dan mengeluarkannya.
Seketika penis itu meloncat keluar menampar wajahku, "Hehehe... maaf sayang sudah tegang" kekeh Mang Dedi mengelus kepalaku.
Aku menggeleng sebentar menatap tak percaya. Tubuhku langsung meremang ketika bau khas penis Mang Dedi yang menyengat dari biasanya itu menembus hidungku. Aku bahkan bisa merasakan wajahku memanas sampai ke bagian telinga belakangku.
"Ini dia!!" batinku girang saat aku kembali berjumpa dengan penis besar nan perkasa milik Mang Dedi yang tempo hari sudah memberikan kenikmatan luar biasa padaku.
Aku berdeham kecil. Tenggorokanku mendadak tersendat dan kering. Butuh kendali diri yang kuat untuk sekadar menatap batang penis besar yang berada di depanku tersebut.
"Kenapa sayang?? Kamu kan udah pernah melihat dan merasakannya." rayu Mang Dedi melihatku seperti terpatung di antara selangkangannya.
Harus kuakui memang, berapa kalipun aku melihat kejantanan Mang Dedi, aku tidak bisa berhenti dibuat takjub dan terangsang olehnya. Batang itu terlihat hitam kecoklatan dan nampak begitu perkasa sekaligus seksi dimataku.
Apalagi dengan ujungnya yang tersembunyi malu-malu di dalam kulupnya yang tidak disunat itu. Yang entah bagaimana seolah menghipnotisku untuk segera menjilat dan merasainya.
Dengan masih sedikit ragu, aku menjulurkan tanganku pelan untuk menyentuh dan memegangi penis Mang Dedi. Seperti biasa, aku reflek hanya meremas batang kejantanan yang tak disunat itu terlebih dahulu dengan sesekali memberikan pijatan-pijatan lembut sampai batang itu menjadi mengeras dan membesar.
Hangat, berdenyut dan keras. Itulah tiga kata yang bisa menggambarkan bagaimana rasanya penis Mang Dedi di dalam genggamanku tersebut. Tampak terlalu besar pula hingga aku harus mengerahkan kedua tanganku untuk memegangnya.
Kuarahkan tanganku ke bagian pangkal penis Mang Dedi dan kutarik kulupnya ke bawah dengan pelan. Sehingga kini kepala penisnya yang berwarna pink itu menyembul keluar fari tempatnya.
"Ho...Ho... udah pinter kamu melayani kontol tak disunat Dek Liya" racau Mang Dedi dengan seenaknya.
Aku tak mempedulikan omongan kotornya tersebut dan memajukan bibirku mengecup ujung penis Mang Dedi yang sedikit basah oleh cairan yang keluar dari lubang kencingnya. Rasanya amat tidak asing, sedikit ada asinnya, tapi tidak seasin itu.
Namun aku tetap mengecup penis itu tanpa merasa jijik sama sekali. Dengan mulutku, aku kemudian membasahi kepala penis Mang Dedi dengan air liur dan
mengulum hanya pada bagian kepala yang berbentuk seperti jamur itu.
Licin, dan nikmat. Aku menghisap dengan kuat dan melepaskannya beberapa kali hingga membuat Mang Dedi menggelinjang geli.
"Ooughhh.." Dia mengerang memegangi kepalaku yang terbungkus hijab.
Aku kembali meraih penis Mang Dedi, kali ini langsung ku masukkan sedalam mungkin ke dalam mulutku. Kuhisap dan kuputar lidahku di dalam sana, lalu ku tarik lagi keluar untuk mengambil nafas.
Menyisakan sedikit batangnya dalam mulutku dan kembali mendorongnya masuk hingga ujung kejantanan Mang Dedi itu menumbuk pada tenggorokanku.
Aku terbatuk sebentar, melepas
batang penis itu. Air mataku bahkan keluar sedikit, dan Mang Dedipun tersenyum melihatku. "Pelan-pelan aja sayang.. jangan buru-buru begitu." ucapnya memberikan saran.
Aku lagi-lagi tak menjawab. Perlahan-lahan kumasukan kembali penis Mang Dedi pada mulutku dan ku hirup air liurku yang meleleh di batang kejantanannya itu.
Penuh rasanya mulutku, Semakin lama aku menghisap penis Mang Dedi, semakin lupa pula aku bahwa saat ini kami tengah berada di pos ronda dan aku menghisap kejantanan lelaki lain selain suamiku.
Perasaanku yang diselubungi nafsu syahwat itu membuatku semakin buta dan bernafsu memaju mundurkan kepalaku mengocok penis keras Mang Dedi yang penuh menusuk langit-langit dan
tenggorokanku.
Sedang dilanda nafsu berat itu, tiba-tiba saja samar aku mendengat suara anakku Tasha yang berbicara dengan lantangnya dari kejauhan.
"Caca mau es krim Abi!!! Pokoknya mau es kriimm!!"
DEGHHH!! Aku langsung terkejut. Tiba-tiba tubuhku kehilangan tenaga dalam sekejap mata. Napasku tertahan dan jantungku berdegub sangat kencang. Aku mencoba menarik kepalaku dan mengeluarkan penis Mang Dedi dari mulutku.
Namun seketika itu aku gagal karena Mang Dedi menahan kepalaku serapat mungkin di selangkangannya, "Ssssttt... jangan bergerak Dek Liya! Ada suami dan anakmu" ucap Mang Dedi meletakkan telunjuknya di bibir.
Ternyata dugaanku benar. Ada Tasha dan suamiku yang mendekat ke arah kami saat kudengar pula nada suamiku berbicara, "lya sayang.. nanti siang kalu kamu udah makan kita beli es krim" ucap suamiku terdengar membujuk Tasha.
"Kok sepi Mang?? Pada kemana?" Lanjut suamiku bertanya pada Mang Dedi.
Jantungku terasa semakin mau copot mendengar suara suamiku semakin dekat dengan tempatku yang sedang mengulum penis Mang Dedi. Ini benar-benar sesuatu hal yang sangat gila yang pernah aku perbuat. Berselingkuh nyari di depan suamiku sendiri.
"Iya nih Da, udah pada balik" jawab Mang Dedi dengan santainya.
Mang Dedi mengeliatkan badan dan menggerakkan pinggul memompa penisnya di mulutku. Sekuat tenaga aku
mencubit pahanya melarang agar dia tidak bergerak karena takut ketahuan. Tapi Mang Dedi terus saja memegang kepalaku dan memasukkan penisnya semakin dalam pada mulutku.
"Mang, gak liat istri saya?" Tanya suamiku lagi.
"Tadi udah kesini Uda. Nyari terong katanya" balas Mang Dedi. Sementara di bawah sini aku tak henti-hentinya berusaha memberontak untuk melepaskan diri.
"Hahaha. Iya nih Mang. Istri saya emang paling suka makan terong" balas suamiku dengan bodohnya. Tidak tau kalau di depannya saat ini aku sedang mencicipi "Terong" lelaki lain.
Mang Dedi lalu terkekeh menatapku ke bawah, "Iya kayaknya Mbak Liya emang paling suka sama terong" ucapnya seolah
sedang meledekku.
Bukannya merasa marah dengan candaan Mang Dedi tersebut, aku justru merasakan vaginaku semakin berdenyut-denyut melakukan perbuatan yang sangat tabu dan nakal seperti ini di depan suamiku sendiri.
Walau dia tak menyadari sama sekali, tapi itu semua sudah cukup membuat adrenalinku begitu terpacu. Wajahku semakin memanas, badanku seakan menggigil panas dingin dibuatnya. Namun kini aku malah semakin ingin pula melanjutkannya.
"Halo om baik" ucap Tasha tiba-tiba ikut menyapa Mang Dedi.
Mang Dedi lalu membalas melambaikan tangannya, "Halo Caca" jawabnya tersenyum.
Aku sempat lupa bahwa Mang Dedi dan Tasha sudah pernah bertemu sebelumnya. "Caca sudah kenal sama Om ini?" Tanya suamiku heran.
"Udah Abi.. Ini kan Om baik" jawab Tasha dengan gemasnya.
"Loh? Baik kenapa emangnya?" Tanya suamiku sekali lagi.
Sontak aku tersadar kemana arah pembicaraan ini, "Om baik mau bantuin Caca punya adek Bi.." balas Tasha dengan polosnya.
Hampir saja aku tersedak oleh penis Mang Dedi mendengar Tasha anakku dengan gamblang berbicara seperti itu pada Abinya. Aku malah ikut mengutuk diriku karena belum sempat melarang Tasha berbicara kepada suamiku perihal masalah "buat membuat adik" tempo hari.
"Oh ya??" Teriak suamiku penuh nada sindiran.
Namun Mang Dedi dengan cekatan membela dirinya, "Haha.. Becanda itu Uda !! Saya cuma bermaksud mau ngasih boneka buat jadi Adek-adekan Caca" balas Mang Dedi berkilah.
Sementara dibawah sini aku semakin gencar saja menjilat penis Mang Dedi dengan mulutku sambil sesekali mengurut batangnya yang besar. Dalam hati aku cukup girang melihat Mang Dedi seperti kewalahan di interogasi suamiku disaat bersamaan dengan serangan mulut dan lidahku pada penisnya.
"Emang Caca kenal sama Om ini dimana?" Tanya suamiku sekali lagi.
Tasha terdengar berdiam sebentar lalu menjawabnya, "Kan Om nya mandi di rumah kita Bi.." balasnya yang lagi-lagi jujur.
Baik aku dan Mang Dedi sama-sama terkejut dan semakin berkelojotan salah tingkah saat mendengar jawaban dari Tasha.
Di tengah pembicaraannya dengan anakku tersebut. Mang Dedi semakin blingsatan menerima layanan mulutku pada batang penisnya. Tubuhnya semakin menegang saat bibirku menyedot kedua biji batangnya secara bergantian.
Entah darimana aku mempelajari cara seperti itu, namun dengan nafsu yang begitu membara membuatku berpikir kalau hal tersebut perlu dilakukan untuk menambah kepuasan Mang Dedi.
"Waduh.. kapan itu?" Selidik suamiku
sekali lagi.
Mang Dedi kemudian memotong, Hehehe...Hari selasa kemarin Mas.. kebetulan saya mau pinjam jas hujan sama Mbak Liya, tapi karena gak ketemu jadi saya neduh dulu di rumah" balasnya menjelaskan seperti maling yang kedapatan. 11
Dibawah sini aku terus bermain-main dengan Penis Mang Dedi yang sudah sangat keras dengan aroma khasnya itu. Kemudian kujilati dari buah pelirnya terus naik kebatang dan kumainkan lidahku berputar-putar dikepala jamurnya.
"Kok istri saya ga pernah bilang ya?" Tanya suamiku belum merasa puas.
"Mungkin lupa Uda, lagian itu ga penting-penting amat. Saya kebetulan numpang mandi karena udah basah kuyup duluan" lanjut Mang Dedi membalas.
Tidak puas bermain-main dengan batang kemaluannya saja, mulutku lalu bergeser ke bawah menyusuri guratan urat yang memanjang dari ujung kepala kemaluan Mang Dedi hingga ke pangkalnya.
Semakin lama semakin membuatku bernafsu pula akibat aroma penis Mang Dedi yang memabukkan dan adrenalinku yang terpacu saat melakukan perselingkuhan secara diam-diam ketika ada suamiku tersebut.
Namun setelah tak berapa lama berbincang dengan suamiku, Mang Dedi menunduk ke arahku dan berbisik, "Aku mau keluar" ucapnya memberi aba-aba.
Seketika aku jadi gelagapan, karena sebentar lagi Mang Dedi akan memuntahkan cairan spermanya. Sedangkan aku bingung harus
memuntahkan dimana, sementara penisnya saja masih tertanam di mulutku dengan begitu mantap.
"Yaudah kalau gitu saya mau pamit dulu Mang! Kalau liat istri saya, tolong bilangin saya nyari dia" Ucap suamiku terdengar tiba-tiba.
Aku sedikit bisa bernafas lega karena setidaknya suamiku akan pergi saat Mang Dedi akan mengeluarkan cairan spermanya. Sehingga aku dapat dengan cepat mengeluarkan penis Mang Dedi dari dalam mulutku.
"Oougghh. Mantep sekali!!! Aku mau ngecrot di mulutmu Dek Liya" racau Mang Dedi terlepas.
Dugaanku ternyata amat sangat salah. Karena setelah suamiku pergi, Mang Dedi mengerang dan mengeram keras menahan kepalaku di penisnya hingga membuat
kemaluan besarnya itu makin masuk ke dalam menyentuh tenggorokanku.
"Mmppphh.... mmmmppphh..."
protesku dengan mulut tertahan.
Dalam usahaku yang memberontak itu pulalah, Tiba-tiba saja kerongkonganku terasa tersiram oleh cairan hangat yang langsung mengalir jatuh ke dalam perutku dengan begitu banyak.
CROOTTT!!! CROOTTT!!! CROOOTTT!!! CROOTTTT!!
Aku tersadar kalau Mang Dedi telah mengeluarkan spermanya dalam mulutku sampai aku menelannya secara langsung. Tubuh Mang Dedi yang bergetar itupun langsung aku dorong sekuat tenaga sehingga dia jatuh tersungkur di lantai dengan penis yang masih menembakkan spermanya.
"PLAAAAKKKKK!!!" lagi-lagi ku tampar wajah Mang Dedi.