Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RAHASIA SEBUAH HATI (NO SARA)

BAGIAN 18


Denta Pov

Kebakaran yang melanda rumahku ternyata membawa berkah tersendiri buatku. Pak Soemitro benar-benar mengganti rumahku. Beliau malah membelikan satu rumah persis bersisian dengan rumahku yang terbakar sehingga kini rumahku menjadi dua bagian yang menjadi satu. Tetanggaku itu memang sudah lama ingin menjual rumahnya dan dibeli oleh Pak Soemitro untukku. Dalam perencanaan, rumahku akan terdapat kolam renang dan taman di tengah rumah. Sudah sewajarnya aku berterima kasih pada sang konglomerat itu.

Sudah satu minggu sejak terbakarnya rumahku, untuk sementara aku tinggal di rumah kontrakan masih dalam lingkungan kompleks. Aku tidak perlu mengisi peralatan rumah tangga karena sudah tersedia semuanya. Kendaraanku pun kini adalah Sedan Camry milik Siska yang diberikan olehnya, sebagai hadiah atas terbebas dirinya dari kungkungan Robby. Pada saat ini hidupku mulai terasa membaik dan lebih tenang.

Aku hanya tersenyum-senyum sendiri saat melihat Uci cemberut karena kesal pada dirinya sendiri. Aku tahu dia ingin sekali bercinta, tetapi pas hari ketiga setelah percintaan pertamanya, dia kedatangan tamu bulanan. Tentu saja pantrangan bagiku untuk menggauli wanita yang sedang haid. Aku tidak mengatakan apa-apa, tapi Uci sadar kalau berhubungan badan kala haid itu akan merusak kesehatannya.

“Uci … Apakah kamu jadi mau operasi plastik?” Tanyaku saat kami berada di ruang tengah menyaksikan acara televisi sehabis makan malam.

“Uci malah udah daftar. Rencananya hari rabu depan mulai operasi pertama.” Jawab Uci.

“Operasi pertama? Memang berapa kali operasi?” Tanyaku ingin tahu.

“Sekitar tujuh kali operasi om …” Jawabnya lagi genit.

“Wow! Kalau kamu sudah cantik, kayaknya om mau setiap hari nindihin Uci.” Candaku.

“Ihk! Si om!” Uci mendelik tapi langsung tersenyum.

“Tau gak … Punya kamu itu ngangenin.” Bisikku. Uci mencubit tanganku keras sampai aku berteriak. Setelahnya, aku tertawa terbahak-bahak.

“Om …” Tiba-tiba suara Uci menjadi sangat serius.

“Ya, ada apa?” Tanyaku yang juga ikut menjadi serius.

“Uci bermimpi ketemu Eyang Ratih. Eyang bilang kalau Tante Wida akan datang pada om. Tante Wida mendapat pengampunan dari para leluhur. Tante Wida disumpah untuk taat dan patuh sama om. Kalau dia membangkang maka Tante Wida akan terkena kutukan leluhur.” Jelas Uci membuat keningku berkerut.

“Om yakin mimpimu itu benar dan nyata. Tapi om gak akan menerima begitu saja walau leluhur kita mengampuni dosa-dosanya. Om ingin sekali membalas tantemu itu.” Kataku yang merasa kurang setuju dengan pengampunan wanita jalang itu.

“Om … Aku pikir sih, Tante Wida sudah sadar akan kesalahannya dan menyesal karena telah melukai hati om. Oleh karena itu, sudah saatnya om menerima kembali Tante Wida. Jangan menyimpan dendam lagi pada ibu dari anak-anak om.” Kata Uci memang tidak ada yang salah.

“Entahlah, Ci … Om sudah tidak lagi mencintai dan menyayanginya. Cinta dan kasih sayang om sudah hilang sama sekali. Sulit untuk kembali lagi. Om sangat membencinya.” Kataku sejujur-jujurnya.

“Jangan begitu om.” Ujar Uci sembari memeluk tanganku dan menyandarkan kepalanya di bahuku.

Otakku berputar cepat mengurai satu persatu perasaan di hati. Aku mati rasa saat ini dan kurasa semua cinta dan sayangku sudah sirna ditelan kekecewaan dan kebencian. Tidak ada lagi yang tersisa diantara aku dan dia. Jika pun dipaksakan, aku menyadari bahwa semuanya tidak akan lagi sama seperti dulu. Mungkin aku butuh waktu untuk meluapkan emosi dari kekecewaanku, dan tentu saja aku butuh waktu untuk mencintai dan menyayanginya lagi.

“Om … Lihat …!” Seru Uci sembari bangkit lalu mengambil remote. Volume televisi membesar.

Aku pun menyimak berita yang ditayangkan televisi. Seorang pria dan seorang wanita ditemukan tewas dalam hutan tutupan di wilayah Kabupaten Cianjur. Kedua mayat itu ditemukan pertamakali oleh tiga warga Karamat, Desa terdekat dari hutan. Kapolres mengatakan, saat itu tiga warga Karamat sedang berburu burung di kawasan hutan setempat. Kedua mayat itu ditemukan dalam posisi telungkup di tepi sungai. Mereka lalu kembali ke Desa Karamat dan melaporkan ke kepala desa. Saat ditemukan, kondisi kedua mayat masih utuh. Namun, sudah mulai membusuk. Warga langsung mengevakuasi dengan berjalan kaki sejauh 12 kilometer dari TKP menuju Desa Karamat. Kematian korban dudiga karena tersesat di dalam hutan tutupan, hutan yang dikeramatkan warga sekitar.

“Mereka itu Lusi dan Abdi.” Ujar Uci.

“Ya, mereka sudah menerima balasannya.” Kataku.

“Bagaimana dengan Tante Wida?” Tanya Lusi sembari menatapku.

“Itu yang om tidak mengerti. Kenapa Eyang Ratih memberinya pengampunan?” Memang aku bingung dengan keputusan leluhurku itu.

“Pasti ada maksudnya om …” Lirih Uci.

Tiba-tiba smartphoneku berbunyi dan ketika kuperiksa ternyata ada nama Siska tertera di layar. Aku geser tombol berwarna hijau itu, lalu meletakan alat komunikasiku di telinga.

“Hallo …” Sapaku pada Siska.

“Mas … Apakah kamu lihat berita di televisi?” Tanyanya langsung pada inti masalah.

“Ya … Mereka sudah tewas. Maafkan aku …” Aku jadi tidak enak hati.

“Gak apa-apa mas … Malah aku merasa lega karena beban pikiranku berkurang.” Sahut Siska yang membuatku ikut lega.

“Syukurlah …” Kataku sambil tersenyum sendiri.

“Mas … Bisakah datang ke rumahku?” Pinta Siska dan aku mendengar suara berisik di belakangnya.

“Kayaknya sedang ada pesta di rumahmu.” Tebakku.

“Benar mas … Ada perayaan hari kebebasan kami. Maksudku kebebasan para permaisuri Robby. Mereka semua ngumpul di sini. Oh ya, Robby sudah dilenyapkan oleh Pak Soemitro. Katanya Robby dibunuh dan mayatnya dikubur di pulau terpencil. Jadi sekarang kami bebas dan saat ini sedang merayakan kebebasan kami.” Ujar Siska.

“Oh begitu ya … Baiklah! Aku segera meluncur.” Kataku penuh semangat.

“Ditunggu ya mas …” Kata Siska.

“Iya.” Jawabku lalu sambungan telepon terputus.

Aku pun bersiap-siap untuk bertandang ke tempat Siska. Setelah berpamitan pada Uci, aku segera melajukan kendaraanku. Dan kendaraanku pun melaju dengan kecepatan sedang. Jalanan lumayan lancar padahal biasanya jam selepas maghrib seperti sekarang ini padat kendaraan. Sekitar 40 menit berselang, akupun sudah sampai di rumah Siska. Tentu aku disambut Siska dengan penampilan yang luar biasa seksi. Siska mengenakan sheath dress ketat selutut, tanpa lengan, bernuansa biru navy. Ada belahan kecil pada bagian dada dan paha, membuat lekuk tubuh indahnya menguarkan aura seksi dan elegan dalam waktu yang bersamaan. Aku dibawa masuk ke ruang tengah dan mataku semakin jernih saja tatkala menyaksikan para wanita cantik bak bidadari menyapaku dengan senyuman manis mereka.

“Girls … Ini pria yang kuceritakan … Denta …” Seru Siska pada para wanita cantik itu.

“Hai …!” Para wanita berkata hampir bersamaan dengan lambaian tangan gemulai mereka.

Aku membalas mereka hanya dengan senyuman dan anggukan kepala. Siska selanjutkan memperkenalkan satu persatu wanita-wanita itu. Sungguh, aku seperti sedang dikelilingi para bidadari. Tidak salah Robby memilih mereka sebagai permaisurinya. Mereka benar-benar cantik yang ditunjang tubuh seksi mempesona. Aku sampai ‘ngiler’ melihat mereka. Jernih otakku keruh menguasai. Bahkan bila aku mampu untuk membeli mimpi untuk meniduri mereka semua. Pasti akan aku gadaikan kenyataan ini.

“Aaawww!!!” Aku berteriak saat merasakan cubitan Siska di perutku.

“Jangan mesum.” Bisik Siska.

Aku terkekeh kecil dan merasa malu karena kata hatiku terbaca oleh Siska. Aku masih saja lupa kalau aku sedang bersama orang yang bisa membaca kata hati. Tiba-tiba para wanita bergerak ke samping belakangku seakan mereka sedang melakukan drama opera. Tak lama berselang, jantungku berdegup kencang. Otakku membeku seketika. Beberapa detik, aku dibuat tercengang oleh penglihatanku. Dalam jarak lima langkah di hadapanku, Wida berdiri kaku diapit oleh dua wanita di kiri kanannya. Dia menatapku penuh harap.

Aku belum bisa mengeluarkan suara, masih tidak percaya jika dihadapanku ini Wida. Apalagi tubuh wanita itu terlihat lebih kurus dari terakhir kami bersama. Namun satu hal yang tidak bisa aku pungkiri, saat ini aku seperti sedang melihat malaikat tak bersayap. Kecantikannya mengalahkan semua wanita yang ada di sini. Namun, kecantikannya itu tidak mampu menutupi luka yang ia torehkan padaku. Perihal luka yang aku rasa, tentu tak mudah untuk mengobatinya. Terlampau menyakitkan, hingga sangat sulit walau hanya sekadar ingin melupakan.

Entah apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa selalu saja terbayang akan kisah kelam masa lalu? Sejenak aku merenungkan, mencari penyebab rasa sakit dan sesak yang masih mengahantuiku sampai saat ini. Ternyata, rasa sakit itu masih ada karena jiwaku masih tertinggal di masa lalu. Percuma melupakan sekuat tenaga jika aku sendiri membiarkan diri ini terjebak dan terus merasakan sakit yang tak terobati.

“Dia sangat menyesal dengan apa yang telah dia perbuat terhadapmu, mas. Maafkan lah dia, beri dia kesempatan untuk membalas kesalahannya padamu. Maafkan dia mas, maafkan luka itu, dan maafkan masa lalu. Mudah-mudahan ketenangan hati akan memeluk dan mengobati lukamu.” Ucap Siska yang telah berada di sampingku.

“Aku tidak yakin bisa memaafkannya. Aku menganggap dia sudah mati.” Ujarku sembari berjalan meninggalkan ruangan.

“Mas … Tuhan saja selalu memaafkan, tak memandang berapa banyak dosa yang telah kita lakukan! Apalagi kita yang hanya seorang manusia, maka tidak ada alasan kita sebagai manusia untuk tidak memaafkan manusia lain. Apalagi dia istrimu, ibu dari anak-anakmu.” Siska berusaha membujukku. Dia mengikuti langkahku dan tiba-tiba tangannya meraih tanganku dan menahan langkah kakiku. Selanjutnya Siska berkata lagi, “Dengan memaafkannya, mas akan memperoleh ketenangan lahir maupun batin. Berbeda jika mas justru memilih untuk mendendam, itu hanya akan terus menghantui dengan bayangan masa lalu yang menambah rasa sakit mas sendiri. Memaafkan tak sekedar memaafkan, mas juga harus mengikhlaskan. Hanyalah sia-sia jika mas hanya memaafkan secara lisan, namun tidak dibarengi keseriusan ikhlas dari hati. Karena, dengan keikhlasanlah yang bisa menciptakan ketenangan lahir dan batin.”

“Beri aku waktu …” Kataku sembari melepaskan pegangan tangan Siska.

Aku secepatnya keluar dari rumah Siska. Kulajukan mobilku keluar gerbang, kemudian meluncur kencang kembali ke rumahku. Sepanjang perjalanan hati mengukir rintih, aku pun merenung sejenak tentang semua yang terjadi belakangan ini. Aku merenung perjalanan hidupku selama bersamanya. Entah kesadaran dari mana, akhirnya aku menyadari bahwa aku harus membalas dendam pada Wida. Jika aku menjauh maka tidak mungkin bisa aku membalaskan sakit hatiku ini. Ya, aku harus mendekat bukan menjauh.

Akhirnya aku memutar balik mobil yang kukendarai untuk kembali ke rumah Siska. Tidak memakan waktu lama, aku sampai lagi di rumah wanita yang memintaku untuk memaafkan Wida. Kini aku sudah berada di depan pintu utama rumahnya. Dengan tangan gemetar aku menekan bel rumah. Aku terus berkonsentrasi pada hatiku untuk tetap netral karena Siska akan mengetahui maksudku kembali ke rumahnya. Sebisanya aku sembunyikan kata hatiku. Beberapa detik berselang, pintu pun terbuka. Siska tersenyum sembari menarik tanganku. Aku dibawanya masuk ke dalam sebuah ruangan, dan di sanalah Wida berada sedang menanti kedatanganku.

Siapa sangka aku berhadapan dengannya kini. Wida tak bicara. Diam dan memperhatikan. Berdebar, dalam hening yang tak bisa kugambar. Aku hanya bisa diam. Rindu dan duka ini menyesaki dada tanpa ampun. Bagaimana caranya bisa kukatakan pada dia. Tahun-tahun yang kuhabiskan bersamanya, dia hancurkan begitu saja.

"Sayang … Maafkan mama …" Aku bisa merasakan milyaran kasihnya saat menyapaku. Dia tahu, aku tak mungkin memaksakan diri. Dia tahu lemahku, dia tahu kurangku, dan ini semua membuatku beku. “Mama berjanji akan menjadi istri papa yang terbaik. Mama berjanji akan selalu taat dan patuh sama papa. Mama juga siap untuk mendapatkan hukuman dari papa. Mama ingin kita bersatu lagi. Kita bersama-sama membangun lagi rumah tangga kita yang sudah mama hancurkan. Berilah mama kesempatan untuk berbakti pada papa.”

"Jangan mengulang ide gila itu lagi sampai kapan pun. Kita akan tetap berdua sampai tua, jika itu mau Tuhan bagi kita." Kataku dan tiba-tiba Wida berlari dan ingin memelukku, tetapi aku menolaknya. “Aku masih ingin menghukummu.” Kataku kemudian.

Mata Wida sedikit membulat dan berkata, “Mama siap menerimanya.”

Kuletakkan kedua tanganku di bahunya. Wida tersenyum bahagia. Menatapku hangat. Wida mendekatkan tubuhnya dan memelukku erat. Dia menangis dalam pelukanku. Aku tak bicara dan menyuruhnya untuk berhenti. Aku hanya diam dan menunggunya hingga berhenti menangis. Orang mungkin akan berkata bahwa tak seharusnya aku menerimanya kembali ke dalam kehidupanku, memang seharusnya tidak. Aku peluk tubuhnya dengan perasaan hati yang berbunga-bunga. Aku tidak boleh menunjukkan perasaan negatif padanya di dekat Siska. Akhirnya, aku bawa Wida ke rumahku, rumah kontrakanku. Dan sejak saat inilah aku mulai merencanakan hukuman apa yang terbaik untuknya.​

-----ooo-----​

Wida Pov

Waktu terus bergulir sakit tetap mengukir. Waktu terus bergulir tanpa bisa aku menghentikannya. Dan tanpa aku sadari, aku pun hanyut terbawa oleh arus waktu. Yang hampir terlupakan, sudah dua tahun aku mengalami tekanan batin. Aku sudah selesai menjalani masa hukumanku. Hukuman yang begitu berat terasa kini usai sudah. Bukannya aku terpaksa menerima hukuman dari suamiku, ini memang pilihanku sendiri, ini adalah takdir yang sudah aku tentukan sendiri. Aku menerima hukuman untuk menjadi ‘cuckquean’ selama dua tahun. Ya, aku harus rela Denta memiliki pasangan di luar sana selama dua tahun. Aku menerima hukuman tersebut dengan lapang dada karena memang aku lah penyebab pangkal masalah yang terjadi selama ini. Aku tidak mempermasalahkan berapa banyak ‘teman kencan’ suamiku dan berapa sering dia berkencan, asalkan dia kembali ke rumah. Pada saat yang sama, aku hanya menjadi ibu rumah tangga yang patuh pada suami.

Aku menjalani hukuman yang diberikan Denta dengan ikhlas. Awalnya memang terasa sangat berat. Denta menjelma sebagai orang asing yang sangat dingin padaku. Dia jarang mengajakku bicara bahkan menatapku saja ia seperti enggan, dan aku juga tidak berinisiatif mengajaknya bicara duluan, karena aku tidak tahu harus bicara apa dengannya. Pernah aku menangis karena Denta benar-benar menghukumku dengan tidak berperasaan. Aku rasanya ingin bunuh diri saat memergoki Denta sedang bercinta dengan Uci di rumahku sendiri. Keduanya tidak memperdulikan aku yang memergoki mereka. Sepertinya mereka sengaja memperlakukan aku demikian karena tak ada rasa risih dari mereka. Bahkan sejak saat itu, Denta dan Uci malah terang-terangan melakukan hubungan seksual di depan mataku. Uci yang telah bertransformasi menjadi wanita cantik hasil dari operasi plastik menjadikan Denta seperti tergila-gila padanya. Bisa aku gambarkan situasi di rumahku bahwa Denta dan Uci sudah layaknya sebagai suami-istri, sedangkan aku menjadi ‘babu’ mereka.

Namun dengan berjalannya waktu aku mulai bisa membiasakan diri dengan hukumanku ini. Aku sekarang terbiasa dengan sikap dingin Denta dan hubungannya dengan Uci. Dan tak terasa, sudah dua tahun aku menjalani penderitaan ini. Nyatanya situasi tidak berubah sama sekali, dua tahun bukan waktu yang sebentar untuk terombang-ambing pada gelombang penderitaan lahir dan batin. Aku tetap diperlakukan sama yaitu menjadi ‘babu’ di rumahku sendiri. Sementara Denta dan Uci semakin mesra dan romantis.

Ada satu hal yang membuatku sangat bahagia adalah aku diperkenankan bekerja lagi oleh Denta. Aku kembali pada pekerjaanku di perusahaan Siska, kembali menjadi wakilnya. Namun, gajiku tidak sebesar pertama aku bekerja, kini hanya 12 juta per bulannya. Perusahaan yang Siska pimpin sekarang murni perusahaan trade bukan perusahaan tempat mencuci uang seperti yang Robby lakukan. Tetapi aku tidak mempermasalahkannya, yang aku harapkan dengan bekerja adalah mengusir kejenuhan dan kepedihan di rumah.

Hari ini pekerjaanku lumayan menumpuk, kepalaku rasanya hampir pecah. Bolak-balik berjalan ke ruangan Siska untuk hanya sekedar meminta tanda tangan yang tak kunjung ia tanda-tangani karena pekerjaanku terkoreksi terus olehnya. Siska memandangku dengan tatapan sendu. Ia pun meletakkan berkas hasil kerjaku di bawah lipatan tangannya. Matanya terus memandangku, bibirnya melengkung memamerkan senyuman kecilnya yang hangat.

“Hati dan pikiranmu tidak berada di sini. Apakah ada yang ingin kamu ceritakan padaku, agar suasana hati dan pikiranmu normal kembali?” Tanya Siska dengan kelemah-lembutannya.

Tiba-tiba air mataku menetes. Aku menundukkan kepalaku agar tak terlihat olehnya. Tak lama aku pun berkata, “Aku sudah tak tahan lagi. Aku ingin pergi dari rumah. Masa hukumanku sudah selesai, jadi aku ingin sekali pergi. Tapi aku takut akan kutukan leluhurku.”

Aku mengatakan demikian karena Siska pasti tahu apa yang aku maksud. Aku sering ‘curhat’ padanya tentang masalahku. Siska sangat tahu posisiku, dia pasti mengerti. Aku kemudian menyusut air mataku dengan tissue, kemudian menengadahkan wajahku padanya. Siska masih tersenyum, wajahnya seolah menunjukkan bahwa ia telah mendapat sebuah jawaban.

“Melihat perbuatan Denta padamu, aku yakin leluhurmu juga bersedih. Leluhurmu itu merasakan juga penderitaanmu. Jadi menurutku kamu sekarang sudah bebas dan bisa menentukan nasibmu sendiri. Jika kamu mau pergi, bicarakan baik-baik dengan suamimu.” Ucap Siska penuh penekanan.

“Apakah itu akan berhasil?” Tanyaku yang kini seperti muncul harapan baru.

“Percayalah padaku … Kamu hanya perlu percaya …” Ujarnya.

Walaupun masih ada sedikit keraguan, namun pada dasarnya aku mempercayai ucapan Siska. Beberapa kali ucapan Siska terbukti nyata dan terasa olehku. Aku sudah menganggap kalau Siska mempunyai kekuatan yang diluar nalar. Apa yang dia katakan selalu menjadi kenyataan.

“Baiklah … Aku akan bicara padanya.” Kataku sambil menghela napas lega.

Aku pun kembali bekerja, pikiran dan hatiku mulai sinkron akibat pembicaraanku dengan Siska barusan. Aku harus bicara dengannya. Jika tidak, aku akan menyesal seumur hidup. Ya, aku juga mempunyai kehidupan sendiri yang perlu aku jalani untuk mendapatkannya kembali. Tidak bisakah aku memutuskan kehidupanku. Cukup! Aku tidak mau seperti ini selamanya, aku juga manusia normal bukan robot apalagi ‘babu’, aku bebas bergaul dan Denta tidak berhak mengaturku lagi.

Aku mengambil smartphoneku lalu mendial sebuah nomor. Dadaku berdegub tak karuan ketika nada sambung terdengar. Untuk sesaat membiarkan nada sambung terdengar sebelum suara bariton dan lembut itu memanggil namaku.

“Ya, ma …” Itu suara Denta.

“Pa … Apakah punya waktu siang ini? Mama ingin ngajak papa makan siang di restoran. Ada yang ingin mama bicarakan sama papa …” Kataku.

“Ya, bisa. Dimana?” Tanyanya.

“Di dekat kantor mama. Nama restorannya Abadi. Hanya beberapa meter dari kantor mama.” Jawabku.

“Baiklah …” Ucapnya dan langsung saja sambungan telepon terputus.

Saat aku letakkan ponselku lagi di atas meja. Bunyi pesan whatsapp masuk. Dan Denta mengirimiku emoticon cinta. Aku hampir tak percaya dengan apa yang baru saja kulihat. Rasa hatiku menjadi campur aduk tak karuan. Bagaikan terjebak dalam labirin berisi mawar yang cantik tetapi mematikan pada tangkainya. Bingung, cemas, sedih dan bahagia menjadi satu. Di satu sisi aku masih berharap bisa mempertahankan rumah tangga kami, pasti ada banyak dukungan yang diberikan saat kami kembali bersama. Tetapi di sisi lain, aku sadar, sekarang aku merasa cinta dan sayangku sudah menyusut jauh. Rasa cintaku seperti akan pudar. Dalam sirna walang rindu pun menghilang dimamah sakitnya jiwa dan hati selama ini. Dan kini cintaku seakan tak bertuan.

Tak terasa jam istirahat pun tiba. Aku segera keluar kantor dan berjalan ke restoran tempat aku dan Denta akan ketemuan. Ketika masuk, aku disambut oleh pegawai restoran yang mengenakan seragam. Tentu aku memilih tempat duduk yang lesehan, selain tempatnya di pojokan yang sepi juga tidak banyak dilalui orang-orang sehingga aku akan bebas berdiskusi dengan Denta nantinya. Pelayan pun datang memberikan daftar menu manakan. Aku katakan bahwa aku sedang menunggu seseorang. Pelayan itu pun membungkuk hormat lalu pergi dari hadapanku. Sekitar lima menit berselang, Denta pun datang. Dia langsung menghampiriku dan duduk di depanku dengan meja sebagai pembatas kami berdua.

“Papa mau makan apa?” Tanyaku sebagai pembuka.

“Pilihkan saja.” Ujarnya masih dengan nada datarnya.

Tanpa berlama-lama, aku segera mencatat makanan yang aku pesan di kertas pesanan. Pesananku jatuh pada ikan gurame, sayur asam, sambal, tahu dan tempe. Setelahnya, aku memanggil pelayanan kemudian memberikan pesananku padanya. Seraya kami berdua menunggu makanan datang, aku mulai menceritakan semuanya. Aku mengingatkan Denta kalau masa hukumanku sudah selesai. Aku utarakan juga duka-duka selama aku menjalani hukuman itu. Sampai tak sadar, air mataku menetes saking merasa menderita mengungkapkan perasaanku selama ini.

“Pa … Mama ingin tahu perasaan papa sekarang ini. Apakah papa masih mencintai dan menyayangi mama?” Pertanyaan itu adalah akhir dari keseluruhan ceritaku.

Kusampaikan perlahan pada Denta apa yang menjadi ganjalan di hatiku. Aku tahu Denta bisa memahami, tetapi raut wajahnya penuh keraguan menatapku. Tak lama, Denta pun berkata, “Papa tidak tahu, apa papa masih bisa mencintai dan menyayangi mama seperti dulu lagi. Tapi, percayalah! Masih ada yang tersisa dan masih bisa dipupuk kembali. Oleh karena itu, kasih papa waktu untuk menjawab pertanyaan mama tadi. Jawaban papa bukan hanya dengan perkataan tetapi juga dengan sikap papa pada mama. Berilah papa waktu dua bulan untuk menjawabnya.”

Aku pun tersenyum miris sebelum menanggapi ucapan Denta, “Mama akan beri waktu untuk papa dua bulan, tapi satu permintaan mama yang harus papa penuhi. Mama tidak ingin Uci ada di rumah kita. Jika papa ingin bermesra-mesraan dengan Uci, lebih baik lakukanlah di luar. Karena mama akan membawa lagi anak-anak ke rumah kita. Mama tersiksa terpisah dengan anak-anak yang papa titipkan di Cianjur. Sekarang anak-anak akan tinggal bersama kita lagi.”

“Ya … Papa penuhi permintaan mama.” Jawabnya sambil menganggukan kepala.

Beberapa menit kemudian pesanan pun datang dan tanpa menunggu lama kami langsung menyantap hidangan. Tak banyak yang kami perbincangkan saat ini. Hanya basa-basi sekadarnya saja seolah tak ada topik yang enak untuk dibahas bersama. Suasana begitu hambar, tak ada lagi candaan renyah dari mulut kami. Aku dan Denta seperti malas untuk memulai kehangatan seperti yang pernah kita alama dulu. Setelah melewati waktu yang membosankan, akhirnya makan siang pun usai. Sudah saatnya kami berpisah.

“Pa … Izinkan mama untuk menginap di tempat Siska malam ini.” Kataku saat kami sudah berada di luar restoran.

“Ya …” Jawab Denta singkat sembari berjalan ke arah mobilnya.

Tanpa basa-basi lagi Denta kemudian pergi dengan mobilnya meninggalkan restoran. Setelah mobil Denta tak terlihat lagi oleh pandangan, baru lah aku berjalan ke kantorku lagi. Sepanjang berjalan aku berpikir, rasanya sangat sulit untuk mengembalikan rasa cinta seperti yang pernah ada. Aku pun pesimis bisa seperti dulu lagi, mencintainya lagi adalah usaha yang sia-sia belaka. Jika hidup adalah seni tanpa penghapus, maka cintaku pada Denta adalah warna hitam yang paling tampak dalam lukisan kehidupanku. Rasa cintaku sudah berkurang bahkan nyaris hilang. Itu semua karena perasaan terlukaku yang sangat dalam, meskipun aku sadar bahwa semuanya karena hukuman yang harus aku jalani.

Aku kembali bekerja untuk menyelesaikan tugas-tugasku sebaik-baiknya dan kembali fokus pada pekerjaanku. Setelah hari yang berat ini, aku kembali menyibukkan diri dengan bekerja. Meskipun beberapa kali bayangan percakapanku dengan Denta saat di restoran kembali muncul dalam ingatanku, membuatku beberapa kali menghembuskan napas panjang untuk menenangkan diri. Hingga waktu pulang tiba, bayangan itu tetap saja muncul di kepala. Apa yang diucapkan Denta tadi ternyata membuatku seakan menelan pil kekecewaan yang mengoyak hati dan perasaan.

“Hei! Apakah kamu jadi akan menginap di rumahku?” Tiba-tiba Siska datang memasuki ruanganku.

“Jadi dong … Tunggu sebentar ya …” Ucapku dibuat senormal mungkin. Aku berusaha menekan kegelisahanku yang kian memuncak, membendung arus kekecewaan yang mulai mengalir deras.

Aku dan Siska kemudian keluar kantor dan pulang ke rumah atasan sekaligus sahabatku ini. Kami mengendarai mobil masing-masing. Dan hanya beberapa menit saja aku sampai di rumahnya. Untuk beberapa saat kami ngopi di dapur, kemudian dilanjutkan mandi dan mengganti pakaian. Aku pun tersenyum saat Siska memberiku dress transparan sebatas lutut sebagai pakaian gantiku. Setelah badan kami wangi dan segar, aku dan Siska duduk di ruang tengah dengan santai sembari menikmati wine dan rokok dengan ditemani beberapa makanan ringan. Aku pun menceritakan pertemuanku dengan Denta tadi siang pada Siska. Aku merasa Siska pun kecewa yang ditunjukkan dengan raut wajahnya.

“Denta seharusnya tidak berbuat sekejam itu. Dia seharusnya memegang komitmennya, gak boleh plin-plan seperti itu. Dua tahun hukuman adalah waktu yang sangat lama. Kamu sudah menjalankannya dengan sebaik-baiknya. Giliran sudah selesai, dia malah membuat masalah. Itu tidak adil.” Ujar Siska mengungkapkan kekecewaannya.

“Yang aku sangat kecewa, dia sudah tidak menyayangiku lagi. Memang aku pun punya perasaan yang sama. Aku juga tidak mencintai dan menyayanginya lagi. Tapi, aku berharap dengan sikapnya yang kembali seperti dulu, aku bisa menumbuhkan rasa sayang dan cintaku lagi. Tapi kenyataannya, dia sama ragunya denganku. Yang aku inginkan dia merangkulku, dan aku pasti akan menyambutnya.” Jelasku.

“Sudahlah … Lebih baik kita rayakan kebebasanmu dengan cara kita sendiri.” Sahut Siska sembari menuangkan lagi wine ke gelasku dan ke gelasnya.

Kami pun ngobrol banyak hal. Sekitar satu jam obrolan itu mengalir. Santai, penuh persaudaraan, dan persahabatan. Kadang diselingi guyonan segar. Kadang serius membicarakan program-program pekerjaan. Tertawa pun juga sesekali terlepas. Wine yang kami minum menambah keseruan obralan kami. Semua beban-bebanku seakan terangkat. Pikiranku melayang. Ini sungguh luar biasa!

Sekitar pukul 19.00 malam, terdengar suara bel rumah berbunyi yang mengalun dengan lembut. Siska beranjak dari tempatnya untuk membukakan pintu. Tidak lama setelah itu, Siska kembali bersama tiga orang pemuda tampan. Pemuda-pemuda itu datang dengan membawa pizza. Aku terkejut tatkala Siska mengatakan padaku terang-terangan kalau mereka akan menghiburku sebagai perayaan kebebasanku. Aku segera menarik Siska ke dapur, aku ingin berbicara dengannya berdua saja.

“Sis … Aku tidak ingin melakukannya. Aku takut!” Kataku lumayan sengit.

“Kamu tidak akan apa-apa. Percayalah padaku.” Jawab Siska begitu yakin.

“Tapi …” Ucapanku langsung dipotongnya.

“Sssshhh … Nikmati saja malam ini. Aku yang akan bertanggung jawab atas leluhurmu.” Ujar Siska.

Tentu saja aku terperanjat hebat saat mendengar ucapannya itu. Sungguh, aku tak pernah bicara pada siapapun perihal kutukan leluhurku. Tetapi Siska tahu, bagaimana dia bisa tahu. Kepalaku yang sedang terkontaminasi alkohol tak mampu mencerna dengan baik atas apa yang baru saja terjadi. Aku hanya bisa terdiam, mematung di tempat sambil menatap wajahnya.

Tiba-tiba Siska menarik tanganku dan mengajak kembali ke ruang tengah. Akhirnya aku diperkenalkan pada ketiga pemuda tampan ini. Rivan, Erik dan Alvin adalah nama mereka. Kesemuanya berusia sekitar 20 sampai 25 tahunan. Awalnya aku masih merasa takut untuk membaurkan diri, namun perlahan rasa takut itu sirna dengan sendirinya. Aku mulai menikmati suasana yang ada. Waktu berlalu dalam suasana bahagia. Kami semua saling bicara dengan santai satu sama lain. Kami ngobrol sambil menikmati pizza, tidak banyak namun cukup untuk kami semua.

“Wid … Aku duluan ya? Aku akan sama Rivan. Kamu akan diservice sama Erik dan Alvin.” Ucap Siska sembari berdiri lalu mengajak Rivan ke kamarnya.

“Hi hi hi … Makasih …” Sahutku.

Erik dan Alvin kemudian menggodaku dengan ketampanan mereka yang membuat urat hornyku tiba-tiba menegang. Keduanya lalu mengajakku ke kamar yang diperuntukkan buatku. Sesampainya di kamar, aku pun ditelanjangi mereka dan dengan mesra meletakkan tubuh telanjangku di atas kasur. Erik dan Alvin pun melepas seluruh pakaiannya. Kami ngobrol-ngobrol sejenak diselingi senda gurau hingga akhirnya aku yang meminta karena gairahku sudah sangat membuncah, hal itu dipercepat oleh tangan-tangan mereka yang selalu merangsang titik-titik sensitifku.

Erik kemudian berinisiatif melakukan yang pertama. Erik menarikku sedikit ke depan mendekatkan penisnya pada vaginaku lalu mengarahkan benda itu pada sasarannya. Ah, vaginaku benar-benar terasa sesak dan penuh dijejali oleh penisnya yang perkasa itu. Cairan vaginaku melicinkan jalan masuk baginya. "Enak sekali," batinku berteriak. Nikmatnya tiada duanya saat milik Erik terasa semakin keras di dalam.

“Eengghh... Ketat abis, memek mbak emang sipp!” Ceracau Erik.

Erik menggenjot tubuhku dengan liar, semakin tinggi tempo permainannya, semakin aku dibuatnya kesetanan. Sementara Alvin sedang asyik bertukar ludah denganku, lidahku saling jilat dengan lidahnya yang ditindik, tanganku menggenggam penisnya dan mengocoknya. Tangan Alvin meraih payudaraku dan meremasnya lembut. Aku benar-benar merasakan nikmatnya service yang diberikan dua pemuda ini, dan aku sungguh merindukan semua ini, aku merindukan dunia kebebasanku.

Aku merintih, melenguh dan mengerang merasakan semua kenikmatan ini. Tubuhku menggelepar seperti ikan terlempar ke darat merasakan kenikmatan ini. Aduh, sungguh nikmat rasanya tak terkirakan, makin menggelinjang aku merinding seluruh tubuhku merasakan sensasi yang selalu aku dambakan. Kedua pemuda tampan ini menyetubuhiku secara bergantian. Aku berteriak-teriak kecil, tak tahan menerima kenikmatan yang bertubi-tubi. Kuremas kain seprai kasurku, rasanya nikmat sekali. Otot-ototku menegang, wajahku semakin sayu mendapatkan service luar biasa dari Erik dan Alvin. Aku lemas tak berdaya setelah bercinta dengan mereka. Entah berapa kali aku orgasme, aku tidak tahu. Yang aku ketahui hanyalah kepuasan seks yang tiada tara malam ini.​

-----ooo-----​

Cuaca pagi ini cukup cerah untuk mengawali hari. Aku dan Siska duduk di sofa panjang setelah para pemuda berpamitan dan pergi meninggalkan rumah Siska. Jujur, masih ada keraguan yang menyelip di hati kecilku, aku belum sepenuhnya dapat menerima hal-hal yang dianjurkan Siska. Ya, aku masih takut termakan kutukan leluhur, walau Siska sudah meyakinkan diriku.

“Sis … Kemarin kamu mengatakan akan bertanggung jawab atas leluhurku. Kamu seperti tahu tentang diriku. Ya, aku memang mempunyai janji pada leluhurku untuk taat dan patuh pada suami, jika tidak aku akan dikutuknya. Aku tidak pernah mengatakan itu pada siapa pun, tapi kamu sepertinya tahu.” Kataku mengawali pembicaraan serius.

“Kamu hanya perlu percaya saja.” Tukasnya sangat sederhana. Tapi justru aku tambah penasaran.

“Tapi Sis … Jika tidak ada penjelasan, aku masih takut. Aku mohon, hilangkan rasa takutku ini.” Kataku memaksa.

“Leluhurmu itu bernama Eyang Ratih Prameswasari, bukan?” Ucap Siska membuat mataku terbelalak. Tidak kusangka Siska mengetahui leluhurku itu. Siska tersenyum melihat ekspresiku lalu melanjutkan ucapannya, “Aku telah bertemu dengan Eyang Ratih Prameswasari dan beliau turut bersedih melihat penderitaanmu. Beliau sudah mencabut kutukannya dan bahkan ingin sekali memberi pejaran pada suamimu yang dianggap beliau sudah diluar batas kemanusiaan.”

Aku benar-benar terkejut mendengar penjelasan darinya, semua terasa berputar. Dunia begitu sempit hingga semua nampak berkutat di situ saja. Rasanya, aku ingin tidak percaya dengan apa yang kudengar. Namun, semua ini logis. Informasi ini tidak ada yang salah. Akhirnya aku menduga kalau Siska mempunyai ‘ilmu’ yang tidak dimiliki oleh manusia biasa. Perkataanya selalu benar dan nyata, tidak pernah sekali pun meleset. Makanya aku sangat mempercayai sahabat sekaligus atasanku ini.

“Ja..jadi kamu sudah bertemu beliau?” Tanyaku dengan suara lirih yang masih bernuansa kaget.

“Ya …” Jawabnya singkat sambil tersenyum.

Entah apa yang sedang kurasakan, namun yang jelas aku sangat bahagia, ya bahagia di atas bahagia. Aku langsung memeluk Siska dan menangis di bahunya. Aku menangis bukan karena sedih, aku menangis bahagia. Akhirnya penderitaanku usai juga. Sementara Siska berusaha menenangkanku dengan mengusap-usap punggungku.

“Semuanya sudah berakhir.” Ujar Siska lemah lembut.

“Terima kasih … Terima kasih …” Ucapku pelan di tengah isakanku.

Siska mengurai pelukanku lalu berkata, “Sekarang, bagaimana rencanamu dengan Denta?”

“Aku tidak tahu. Aku bingung. Aku sudah tidak lagi mencintainya, tetapi ada sedikit keinginan untuk mempertahankan rumah tanggaku. Tapi entahlah, aku sangat bingung.” Jawabku lingung.

“Ya, sudah. Lebih baik kita lihat bagaimana ke depannya. Tapi aku sarankan, untuk saat ini kamu pura-pura taat dan patuh dulu pada Denta. Jangan memperlihatkan tindakan yang membuat dia marah dan kecewa. Kalau bisa kamu berpura-pura mesra.” Jelas Siska.

“Sepertinya kamu punya rencana?” Tanyaku jadi penasaran.

“Ya, tapi gak tahu akan berhasil atau tidak. Hanya waktu yang bisa menjawabnya.” Jawab Siska.

“Apa yang kamu rencanakan?” Tanyaku semakin penasaran.

“Aku ingin memberi pelajaran pada Denta.” Siska tersenyum dan kubalas dengan senyuman juga.

Kemudian Siska menceritakan rencananya untuk memberi pelajaran pada Denta. Aku terkejut sekaligus kagum akan rencana yang dibuat Siska. Tentu saja aku terlibat dalam rencana Siska tersebut, dan bahkan aku lah pemeran utamanya. Intinya, Siska ingin Denta ditinggalkan oleh semua orang yang dekat dengannya, Denta akan dibuat terisolasi dengan dunia luar, Denta akan dibuat seakan dia hidup sendiri, dan hanya aku yang berada di sisinya. Hingga pada satu masa, Denta akan sangat membutuhkanku, di situlah aku akan meninggalkannya juga. Memang Siska tidak menjamin keberhasilan atas rencananya itu, tetapi patut dicoba.

Bersambung
 
Denta pasti punya mksd dan tujuan dan sengaja melakukan itu... Kalo gak kesannya malah wida jadi korbannya... Dan biasanya mmg pembalasan itu jauh lbh kejam hehehe
 
Jadinya balas berbalas dan mbulet.
Seperti judi, ga ada yg menang, semuanya kalah
 
Itu lah yang di rasakan denta saat wida selingkuh tapi wida masih ingin mempertahankan rumah tangga nya, sakit kan wida diperlakukan sama waktu kamu memperlakukan denta seperti tu,

Bahkan kamu menyiksa nya dengan obat perangsang dan melihat kamu d entot dan bilang kamu ingin hamil anak mereka, dan ingin menguras harta denta untuk membesarkan anak orang lain.... Gmn kalau kamu diperlakukan seperti ini juga, apa kamu bisa tahan??

Balas dendam denta masih ringan, dan si wida seakan akan paling teraniaya... Ingat semua ini bermula dari kamu wida

Dan aneh nya si wida ingin membalasnya lg.. Melihat sifat denta yang cenderung pendendam, apa si wida nggak takut denta akan membalasnya lg...

Memang si wida itu seharusnya mati saja saat hukuman leluhurnya tu agar denta bisa melupakan sakit hati nya itu...

Maaf ya hu panjang komentar nya hahaha
Silahkan d lanjut lg.... Penasaran gmn kelanjutan nya
 
Setelah wida berhasil membalas denta akhirnya wida fan berbaikan lagi dan bersatu....malah sekarang wida dan denta balik menyerang para leluhurnya 🤭😄😄😄😄
Wadaw ono opo kie kok mubeng² saling balas hahahaha maaf sehu cuma sekedar canda🙏🙏🙏
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd