Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RAHASIA SEBUAH HATI (NO SARA)

BAGIAN 17


Denta Pov

Aku terbangun saat mendengar dering smartphoneku. Mataku menyipit mencoba menyesuaikan dengan kondisi kamar yang gelap gulita. Aku meraba-raba mencari alat komunikasiku yang tiada henti berdering. Akhirnya bisa aku gapai juga. Aku melihat nama di layar ponsel pintarku membuat raut wajahku menjadi terpengarah. Ternyata Siska yang sedang berusaha menghubungiku. Aku menggeser tombol hijau, menjawab telepon dari wanita cantik penuh misteri itu.

“Hallo …” Sapaku masih dengan suara serak khas bangun tidur.

“Denta, berhati-hatilah! Robby mengirim satu pasukan untuk menangkap dan membunuhmu. Segeralah keluar dari rumahmu sekarang juga!” Ucap Siska dan sontak aku bangkit terperanjat.

“Oh … Ya …” Kataku langsung memutuskan hubungan telepon.

Aku berlari keluar kamar dengan hanya menggunakan lampu senter dari smartphoneku. Aku pikir lebih baik rumahku dalam keadaan gelap gulita saja dengan harapan para penyergapku beranggapan kalau aku tidak sedang berada di rumah. Aku segera menutup dan mengunci pintu serta jendela akses masuk ke dalam rumah. Aku sendiri memilih berada di luar, bersembunyi di taman kompleks yang letaknya beberapa blok dari rumah. Kemudian aku menelepon Uci untuk menjemputku. Terdengar nada sambung, tanda smartphonenya aktif. Selang beberapa saat kemudian Uci mengangkatnya.

“Hallo om …” Terdengar suara seraknya.

“Uci … Jemput om di taman kompleks. Rumah om akan ada yang menyerang. Robby mengirim sepasukan untuk menangkap om.” Kataku tak beraturan.

“Tunggu di situ om!” Kini suara Uci mendadak tegas dan sambungan teleponku terputus.

Secara normal perjalanan dari tempat Uci ke tempatku ini akan memakan waktu sekitar 20 menitan. Tetapi sudah 25 menit aku menunggu, Uci belum juga datang. Berkali-kali aku melihat jam di layar smartphone, rasanya seperti naik roller coaster. Aku harus menghadapi ancaman, ketegangan, dan bahaya. Akhirnya aku bisa bernapas lega, karena melihat motor Uci berhenti di sisi jalan. Segera aku keluar dari tempat persembunyian dan memburu keponakanku itu.

“Om … Lihat!” Tiba-tiba Uci menunjuk ke sebuah arah.

Aku langsung mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk Uci. Aku pun tekejut ketika tampak asap hitam membumbung tinggi menghiasi langit malam ini. Raungan sirene mulai terdengar silih berganti. Ada kebakaran yang terjadi tak jauh dari tempatku. Tanpa berkata apa-apa, Uci melajukan motornya meninggalkan aku di taman. Firasat buruk mulai berkecamuk di benakku sambil terus memandangi kepulan asap yang kian menebal. Hanya dua menit berselang, Uci datang ke tempatku lagi.

“Rumah om yang kebakaran.” Ujar Uci setengah panik.

“Bukan kebakaran, tapi dibakar.” Kataku sambil geleng-geleng kepala.

“Robby?” Tanya Uci.

“Ya … Siapa lagi?” Jawabku.

“Sekarang gimana?” Tanya Uci.

“Kita pergi saja dari sini.” Jawabku sembari naik ke atas motor Uci.

Kami pun pergi meninggalkan taman kompleks. Uci membawaku ke tempat kosnya. Aku pikir kos Uci adalah tempat teraman sementara untuk menghindari pasukan yang dikirim Robby. Sekitar 30 menit kami sampai di tempat tujuan. Aku dan Uci masuk ke kamar kos. Langsung saja Uci membuatkan aku kopi dan duduk bersila di lantai beralaskan karpet beludru. Aku nikmati dulu kopi buatan Uci sekedar untuk menenangkan diri. Belum sempat aku berbicara dengan Uci, smartphoneku berdering. Aku lihat layar ponsel pintarku. Tampak nama Siska. Aku segera menerima teleponnya.

“Hallo …” Sapaku pada Siska di seberang sana.

“Kamu di mana?” Tanya Siska terdengar sangat khawatir.

“Aku bersembunyi di suatu tempat.” Jawabku.

“Syukurlah kamu selamat.” Ucapnya bernada lega.

“Siska … Beri tahu aka alamat Robby. Aku harus melenyapkannya sesegera mungkin. Karena jika dibiarkan dia akan membahayakan orang lain terutama karyawan-karyawanku. Anak buahnya baru saja membakar rumahku.” Kataku tegas.

“Tidak! Bukan begitu caranya! Andai saja kamu bisa datang ke rumahku. Kita bisa langsung membawa Robby ke Pak Soemitro. Masalahnya ada belasan anak buah Robby berjaga di sekitar rumahku.” Ujar Siska seperti yang kebingungan.

“Datang ke rumahmu? Maksudmu?” Tanyaku yang memang kurang menangkap maksud ucapan Siska.

“Robby sedang berada di rumahku sekarang ini. Dia kuberi obat tidur dan sedang tak sadarkan diri. Jika kamu bisa melumpuhkan semua anak buahnya. Kita bisa bawa Robby ke rumah Pak Soemitro. Nanti biar aku yang bicara dengan Pak Soemitro kalau Robby bukan lah anak kandungnya.” Ungkap Siska yang tentu saja sangat menggembirakan buatku.

“Berikan alamatmu … Aku akan segera ke sana.” Sahutku sambil berdiri.

“Apakah kamu sanggup melumpuhkan semua anak buahnya?” Tanya Siska penuh keraguan.

“Kita lihat saja nanti. Sekarang, berikan saja alamatmu.” Kataku tegas.

“Baik … Akan aku kirim alamatnya sekarang.” Jawab Siska.

Aku pun mengajak Uci untuk melakukan misi ini. Aku dan Uci kemudian meluncur di jalan raya. Tak lama, aku mendapatkan alamat Siska yang ia kirim melalui aplikasi whatsapp. Dengan sangat pede Uci membawa motornya melaju kencang tanpa ada perasaan takut. Uci menggeber motor dengan kecepatan 80-90 km/jam karena jalanan lumayan kosong dan hanya sesekali berpapasan dengan kendaraan lain. Kurang lebih 45 menit berselang, aku sampai di alamat yang diberikan Siska.

Aku menemukan sebuah gerbang besar dari besi yang warnanya kehitaman. Dua orang bertubuh kekar berdiri di depannya. Dengan langkah santai aku menghampiri mereka. Kedua laki-laki tinggi besar itu langsung menatapku dengan tatapan curiga, seakan sedang menebak isi kepalaku.

“Maaf bapak-bapak, saya mau numpang tanya. Apakah ini benar rumahnya Ibu Siska?” Tanyaku berpura-pura dengan nada seramah mungkin.

“Benar! Ada keperluan apa?” Tanya salah seorang dari mereka dengan wajah sangar.

“Oh begini …” Kataku dan langsung mengaktifkan gendamku. “Aku ingin kalian mengumpulkan seluruh teman-temanmu di sini. Semuanya! Jangan ada yang tersisa!” Itu adalah titah bermuatan ilmu saktiku.

“Baik.” Sahut mereka berdua hampir bersamaan.

Aku menunggu mereka di luar gerbang. Tak lama Uci menghampiriku. Aku menyuruh Uci untuk menggendam orang-orang yang keluar agar mereka berdiri di sisi dan berbaris. Satu persatu orang-orang pun berkeluaran dari dalam dan Uci dengan sukses membuat mereka menjadi robot. Sampai juga pada hitungan ke-18 dan orang suruhanku menyatakan bahwa semua teman-temannya sudah berada di sini semua.

“Kalian semua berjaga-jaga di sini! Patuhi semua perintah perempuan ini! Kalian mengerti?!” Kataku.

“Siap!” Semua menjawab serempak.

Aku kemudian masuk melewati gerbang besar. Di hadapanku tampak sebuah rumah besar dengan pilar-pilar megah seperti istana. Aku berjalan ke arah pintu utama. Aku segera menyadari sesuatu yang janggal. Pintu ini tidak tertutup rapat. Aku pun mendorong pintu jati tersebut kemudian masuk ke dalam rumah. Dengan kewaspadaan tingkat tinggi, aku edarkan pandangan ke setiap sudut ruangan. Tiba-tiba terlihat sebuah pintu terbuka, aku langsung menghela napas saat mengetahui bahwa Siska lah yang keluar dari balik pintu itu.

“Kamu berhasil?” Tanya Siska terheran-heran. Kedua matanya membulat seakan tak percaya atas apa yang dilihatnya.

“Menurutmu bagaimana aku bisa sampai di sini?” Candaku.

“Oh, Tuhan …” Siska berlari dan tiba-tiba saja memelukku.

“Hei! Bukan saatnya mesra-mesraan … Sekarang kita harus segera pergi dari sini.” Aku coba memperingatinya.

“Oh ya … Baiklah … Ikuti aku!” Ujar Siska sembari menarikku.

Aku mengikuti langkahnya dari belakang, dan di sinilah sekarang. Kamar yang luas yang dilengkapi perabotan serba lux dengan suasana hangat. Aku melihat sesosok sedang tergeletak di atas tempattidur besar yang aku yakini itu adalah Robby. Segera saja aku menghampirinya kemudian memanggul tubuh orang yang tidak berdaya itu.

“Aku ganti baju dulu!” Seru Siska.

“Bawa saja bajumu dan ganti di mobil.” Kataku sembari menatapnya.

“Hanya sebentar.” Siska memelas.

“Baiklah. Aku tunggu di luar.” Kataku lalu berjalan keluar kamar.

Siska ternyata menepati janjinya, hanya sekitar dua menit dia keluar kamar dengan setelan berbeda. Kini Siska memakai kemeja putih dipadu dengan rok katun sebatas lutut. Siska mengajakku ke garasinya. Siska menuju sebuah Sedan Camry keluaran terbaru lalu membuka pintu belakang. Aku letakkan tubuh Robby di jok belakang kemudian mengikat tangan dan kakinya kuat-kuat dengan tambang plastik. Aku pikir ini adalah tindakan prefentif bila tiba-tiba dia terjaga dari tidurnya walaupun Siska mengatakan Robby tidak akan terbangun hingga besok pagi.

Setelah dirasa semuanya siap, aku yang berada di belakang kemudi mengeluarkan mobil dari garasi. Sebelum aku berangkat ke Jakarta, aku mewanti-wanti Uci untuk menahan para anak buah Robby sekitar satu jam. Uci pun mengangkat jempolnya tanda setuju. Setelah itu, aku membesut Sedan Camry milik Siska untuk secepatnya sampai di kediaman Pak Soemitro. Saat perhatianku sedang fokus ke jalanan, tiba-tiba terdengar suara Siska.

“Pak … Saya sedang menuju rumah bapak sekarang membawa Robby. Mungkin sekitar 2 sampai 3 jam saya baru akan sampai di rumah bapak.” Katanya entah pada siapa.

“Ya … Aku akan menunggumu.” Sahut orang yang diajak bicara Siska. Aku bisa mendengarnya karena Siska mengaktifkan speaker smartphone miliknya.

“Terima kasih, pak.” Ucap Siska.

“Sama-sama. Hati-hatilah.” Sahut orang tersebut.

“Siapa?” Tanyaku sesaat setelah Siska meletakkan smartphonenya di pangkuannya.

“Pak Soemitro …” Jawab Siska sambil tersenyum.

“Hah! Kok bisa?” Aku sungguh terperanjat. Aku tak percaya kalau Siska sudah berhubungan dengan Pak Soemitro.

“Jadi begini ceritanya … Aku menemukan aliran dana yang mencurigakan ke perusahaanku. Beberapa hari ini aku coba telusuri asal muasal dana tersebut. Oh ya, Robby beberapa hari yang lalu menyuntikan modal sebesar 205 milyar ke perusahaanku. Setelah aku selidiki ternyata uang itu hasil penjualan aset perusahaan milik Pak Soemitro yang dikelola Robby. Aku tanyakan hal ini pada Pak Soemitro dan Pak Soemitro tidak tahu menahu tentang hal itu. Akhirnya aku dan Pak Soemitro berkesimpulan kalau Robby telah menggelapkan aset. Jelas, Pak Soemitro sangat marah pada Robby. Di situ aku baru masuk mempengaruhi Pak Soemitro kalau Robby memang berniat jahat padanya. Pak Soemitro pun memerintahkan anak buahnya untuk menangkap Robby. Robby dan anak buahnya ternyata lari ke tempatku dan aku sudah memberitahukan Pak Soemitro tentang hal ini. Kayaknya Pak Soemitro senang kalau aku berhasil membuat Robby tak sadarkan diri dan membawa Robby kepadanya.” Jelas Siska panjang lebar.

“Hhhmm … Berarti pekerjaan kita sudah hampir selesai.” Kataku sangat senang.

“Ya … Nanti sekalian aku ingin memberitahukan Pak Soemitro kalau Robby bukan lah anak kandungnya. Lengkap sudah penderitaan Robby.” Ujar Siska lalu memegang tanganku yang sedang berada di perseneling.

“Aku senang sekali. Ternyata aku tak perlu bersusah payah untuk melumpuhkan Robby. Tadinya aku berniat akan membunuhnya karena dia telah membakar rumahku. Dan ternyata kamu sudah punya cara untuk menjatuhkan dan melenyapkan Robby.” Kataku.

“Tenang saja … Rumahmu pasti akan diganti sama Pak Soemitro …” Ujar Siska dan kami pun terkekeh riang.

Di jalan tol aku melajukan mobil dengan kecepatan di atas standar yang ditetapkan. Jalan tol antara Bandung dan Jakarta aku tempuh hanya dalam waktu satu jam saja. Tak terasa, aku sudah masuk Kota Jakarta dan terus melaju menuju rumah Bapak Soemitro. Singkat cerita, aku pun sampai di tempat tujuan. Aku memasuki halaman rumah seluas lapangan sepakbola. Tepat jam 12.15 malam, aku memarkirkan kendaraan tepat di depan teras rumah megah milik Pak Soemitro. Anak buah Pak Soemitro menggotong Robby yang masih tak sadarkan diri, sementara aku dan Siska berjalan di belakang mereka. Tak lama, aku masuk di sebuah ruangan yang luas. Di sana aku melihat sosok yang selama ini aku lihat di televisi, yaitu sang konglomerat pemimpin para bandit di negeri ini.

“Silahkan duduk …” Kata Pak Soemitro sangat ramah padaku dan Siska. Kami berdua pun duduk di sofa dekat Pak Soemitro yang terlebih dahulu duduk di sofa tunggal.

“Terima kasih.” Ucapku sambil membungkuk hormat sebelum duduk.

“Aku yang seharusnya berterima kasih, karena telah menangkapkan bajingan ini untukku.” Sahut Pak Soemitro sumringah.

“Oh ya pak … Perkenalkan … Ini teman saya, namanya Denta.” Ucap Siska memperkenalkan aku pada Pak Soemitro.

“Senang mengenalmu …” Ujar Pak Soemitro yang kubalas dengan menangkupkan kedua telapak tangan.

“Pak … Apakah bapak sudah mengusut aset-aset bapak yang hilang?” Tanya Siska sangat bersemangat.

“Apa yang kamu laporkan hanya sebagian kecil saja. Aset-asetku sudah banyak yang hilang dan belum tahu disimpan diamana oleh Robby. Bahkan semua asetku di Sumatera sudah habis dia jual. Aku benar-benar kecolongan. Untung saja kamu memperingatkanku, kalau tidak habis semua harta bendaku.” Jelas Pak Soemitro yang terlihat sangat marah dan kecewa.

“Bapak perlu tahu, kenapa Robby berusaha menyelundupkan aset-aset bapak. Karena Robby ketakutan rahasia terbesarnya diketahui bapak. Teman saya ini lah yang tadinya akan menguak tabir rahasia Robby.” Ucap Siska yang sukses membuatku terperanjat. Aku tidak menyangka kalau Siska melemparkan masalah asal-usul Robby padaku.

“Oh … Apa rahasia yang dia sembunyikan dariku?” Pak Soemitro menatapku dengan tatapan terkejutnya.

Mau tidak mau aku harus mengikuti skenario yang dimainkan Siska. Aku mengangguk sejenak lalu berkata, “Saya menemukan fakta kalau Robby bukan lah anak kandung bapak.”

Mata Pak Soemitro terbelalak hebat dan wajahnya langsung menunjukkan keterkejutan yang tak tertandingi. Dia memperbaiki posisi duduknya sambil berkata, “Apakah kamu mempunyai bukti bahwa Robby bukan anak kandungku?”

“Baru sedikit saya mempunyai bukti-buktinya. Baru berupa informasi dari beberapa orang yang mengetahui asal-usul Robby. Jika saya ajukan bukti-bukti itu buat bapak, rasanya bapak tidak akan percaya. Untuk meyakinkannya, saya menyarankan agar bapak melakukan tes DNA. Dari situlah kita semua bisa yakin, apakah Robby keturunan bapak atau bukan.” Kataku.

“Hhhmm … Baiklah. Aku pasti akan melakukan tes DNA. Nah, sekarang. Aku akan memberi kalian hadiah atas jasa-jasa kalian membawa bajingan licik ini padaku.” Ucap Pak Soemitro sambil mengambil dua buah amplop dan memberikannya kepadaku dan Siska.

“Maaf pak … Boleh saya meminta sesuatu pada bapak?” Tiba-tiba Siska bersuara.

“Katakanlah!” Jawab Pak Soemitro sembari menatap wajah Siska.

“Robby telah membakar rumah Denta karena Denta telah berusaha membongkar identitasnya. Kalau bapak tidak keberatan, bapak menggantikan rumah Denta yang dibakar Robby.” Ungkap Siska.

“Hhhmm … Ya, aku akan ganti. Nanti ada tim yang akan memeriksa rumahmu dan membangunnya kembali.” Jawab Pak Soemitro sembari memandangku.

“Terima kasih pak.” Kataku dan sekali lagi aku menangkupkan kedua telapak tanganku.

“Sekarang kalian boleh pergi!” Ucap Pak Soemitro sembari bangkit dari duduknya.

Akhirnya aku dan Siska berpamitan dan keluar dari istana sang konglomerat. Aku merasakan rasa senang dan bahagia tak terkira. Aku bisa keluar dari masalah ini tanpa harus berbuat banyak hal. Akhirnya aku harus berterima kasih pada Siska. Bagaimana pun juga dialah yang sudah menyelesaikan permasalahanku. Aku tersenyum saat Siska mengatakan kalau akulah yang sudah menyelesaikan masalahnya. Jika saja tidak ada aku, mana mungkin Robby dengan sangat mudah dibawa ke hadapan Pak Soemitro.

“Sekarang, tinggal aku menyelesaikan masalahku dengan suamiku.” Ucap Siska.

“Apa rencanamu?” Tanyaku sambil tetap fokus pada setir kendaraan.

“Entahlah … Aku tidak punya rencana. Aku rasa suamiku sudah tidak lagi mencintaiku karena rasa kecewanya padaku. Akan aku serahkan semuanya padanya.” Jawab Siska terdengar sendu. “Oh ya, bagaimana denganmu? Apakah kamu sudah mempunyai rencana? Apa yang akan kamu lakukan pada istrimu?” Tanya Siska kemudian.

“He he he … Aku sudah memberinya pelajaran. Bahkan dengan dua temannya. Kurasa mereka sudah mati.” Kataku santai.

“Mati? Dua temannya?” Suara Siska terdengar sangat kaget.

“Ya … Kenapa?” Tanyaku jadi penasaran.

“Si..siapa dua te..temannya itu?” Aku gantian yang terkejut dengan suara Siska yang sarat dengan kesedihan.

“Namanya Lusi dan Abdi …” Jawabku sembari melirik sekilas padanya. Sekilat aku menemukan wajah Siska memucat.

“Ya Tuhan …” Lirihnya sambil menatapku dalam-dalam.

Aku segera menghentikan mobil di pinggir jalan tol. Kemudian aku menghadapkan wajahku ke wajahnya. “Ada apa? Kenapa kamu begitu bersedih?”​

Beberapa saat kemudian dia mulai meneteskan air mata dan suaranya memelan, “Abdi adalah suamiku …”

Bagai tersambar geledek di siang bolong. Mataku langsung terbelalak dan mulutku terngaga lebar, “Hah! Apa kataku? Abdi adalah suamimu?” Tanyaku sambil menatap tajam matanya.

“Ya … Dia suamiku …” Suara pelan dan serak menandakan kalau Siska sedang terpukul.

“Oh … Sungguh … Aku tidak tahu … Maafkan aku …” Aku langsung mengambil tangannya dan kugenggam erat.

Siska menghela napas berkali-kali lalu berkata, “Sudahlah … Semuanya sudah terjadi. Tidak bisa kembali lagi. Sebaiknya kita segera kembali.”

Perjalanan yang awalnya penuh kegembiraan berubah seratus delapan puluh derajat. Sepanjang perjalanan kami tidak berbicara sepatah kata pun. Hening tercipta, kami tenggelam dengan pikiran masing-masing. Bahkan aku tidak berani melihat wajahnya yang pasti sedang berduka. Benar-benar aku tidak menyangka kalau laki-laki itu adalah suaminya. Tapi aku pikir, Abdi layak mendapat hukuman dariku, karena dia juga salah satu orang yang membuat rumah tanggaku hancur lebur. Aku yakin kalau Abdi adalah salah satu pria yang pernah ‘mencicipi’ tubuh Wida.

“Benar … Abdi adalah salah satunya yang membuat Wida terjerumus dalam dunianya.” Tiba-tiba Siska bersuara setelah sekian lama terdiam.

“Oh … Apakah kamu tahu?” Tanyaku.

“Aku hanya menyampaikan apa yang dikatakan kembaranku.” Jawab Siska.

“Kamu membaca lagi hatiku, kan?” Tanyaku lagi.

“Ya … Kata kembaranku, Abdi lah yang memperkenalkan istrimu pada Bermuda Community. Sebelumnya, istrimu dan Abdi adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Tetapi istrimu meminta lebih kesenangan, dan Abdi kemudian memperkenalkan Bermuda Community kepada istrimu.” Jelas Siska.

“Jadi, kalau dari sisiku, Abdi memang pantas mati.” Kataku geram setelah mengetahui hubungan yang sebenarnya antara Abdi dan Wida.

“Ya …” Lirih Siska dengan wajah mengarah ke jendela pintu.

“Maafkan aku … Seandainya aku tahu kalau Abdi suamimu, mungkin aku akan mempertimbangkan untuk menghukumnya.” Kataku penuh keikhlasan.

“Tidak apa-apa … Sekarang aku pun baru tahu, kalau Abdi memang sudah tidak mencintaiku lagi. Dia ingin berdamai denganku semata-mata hanya mengejar uangku saja.” Ujar Siska sembari menyusut air matanya dengan tissue.

“Itu katamu atau kata kembaranmu?” Candaku.

“Kata kembaranku.” Jawab Siska dan aku senang saat dia mulai tersenyum lagi.

Suasana kembali menghangat karena kami sadar membicarakan masa lalu akan lebih menyenangkan jika berisi kenangan manis. Namun kenyataannya bahwa masa lalu juga berisi kenangan pahit yang jika bisa lebih baik dihapus saja dari garis hidup. Sayangnya, hal itu tak bisa dihapus, yang bisa kami lakukan, yaitu berusaha mengambil pelajarannya. Mengambil pelajaran dari sebuah peristiwa memang tak mudah. Namun, daripada larut dalam kenangan kelam, bukankah lebih baik mengubah kenangan pahit itu sebagai kekuatan. Masa lalu bukanlah tempat yang baik untuk hidup. Maju, karena hidup tidak menunggu.

Sekitar pukul 04.00, aku sampai di Bandung, di rumah Siska. Aku memutuskan untuk segera kembali ke tempatku karena banyak sekali yang harus aku urus, terutama rumahku yang terbakar. Akhirnya aku melanjutkan perjalananku dengan menggunakan mobil Siska karena Siska memaksaku untuk memakai kendaraannya. Mungkin karena masih subuh, jadi jalanan belum begitu padat oleh kendaraan, maka hanya setengah jam aku sampai di tempat kos Uci. Seperti biasa, Uci membuatkan kopi untukku. Kami pun duduk bersila berhadapan di lantai beralaskan karpet. Aku pun menceritakan semua kejadian semalaman ini kepada Uci.

“Jadi, Robby sudah fix tidak akan mengganggu lagi kita.” Ujar Uci sangat senang.

“Ya … Masalah kita sudah selesai. Saatnya kita membangun lagi kehidupan yang baru. Kita akhiri cerita masa lalu dengan cerita yang baru. Mudah-mudahan apa yang telah kita lalui tidak akan terulang kembali.” Kataku sambil mengambil amplop pemberian Pak Soemitro. “Ini untukmu …” Kataku kemudian sambil memberikan amplop di tanganku pada Uci.

Uci pun menerima amplop dari tanganku lalu membuka dan mengeluarkan isinya, “Oh Tuhan! Apa om serius?” Pekiknya membuatku terperangah.

“Iya buat kamu … Emangnya kenapa?” Tanyaku jadi penasaran.

“Ini kan cek om … Dan isinya …” Uci menatapku penuh keterkejutan. Matanya membola sempurna.

“Emangnya berapa?” Tanyaku semakin penasaran.

“Satu milyar …” Ucap Uci mendesah pelan.

Aku lantas tersenyum dan berkata, “Itu rejekimu … Masukkan saja pada tabunganmu …”

“Om …..” Tiba-tiba Uci bergerak dan memelukku. “Terima kasih om …” Ucapnya kemudian sembari duduk nyaman di pangkuanku.

“Sama-sama. Kamu layak mendapatkannya karena kamu sudah banyak membantu om.” Jujurku yang tak sadar melingkarkan tanganku di pinggangnya.

“Om … Uang ini bakal Uci pakai untuk ….” Uci tak meneruskan ucapannya.

“Untuk apa?” Tanyaku sambil menatap matanya.

Wajah Uci mendekat ke telingaku lalu berbisik, “Operasi plastik.”

Sontak aku tertawa ngakak, “Ha ha ha … Kamu sudah cantik. Kenapa harus operasi plastik.”

“Ah om … Om paling bisa berbohong. Kalau aku cantik, kenapa om selalu acuh sama aku.” Katanya tentu membuatku bingung.

“Acuh? Acuh bagaimana?” Tanyaku tak mengerti.

“Tuh kan … Om gak peka …” Lirihnya malu-malu sembari memalingkan wajahnya yang tiba-tiba merona.

Aku tahu sekarang apa yang dimaksud keponakanku ini. “Kamu ini keponakanku … Mana berani om macam-macam sama kamu.”

“Ternyata om pengecut.” Ucapnya masih dengan memalingkan muka.

Entah kenapa, tiba-tiba saja kelelakianku seperti terlecut dengan ucapannya. Hati dan tubuhku seolah merespon berlebihan, sementara akal sehatku menguap keluar dari kepalaku yang aku yakin berasap sekarang. Bisikan-bisikan hawa nafsu yang menyesatkan semakin kuat dan bisa kubendung. Uci telah membangunkan singa jantan yang tengah tertidur.

Aku ambil dagunya dan mencium bibirnya. Langsung saja bibir kami saling melumat satu sama lain. Desahannya mulai terdengar saat tanganku mulai menelusup ke dalam kaosnya. Tubuhnya mulai bergeliat saat tanganku menjamah buah dadanya yang mungil. Uci menikmati aktivitas yang sedang kulakukan . Kubuka kaos dan celana pendeknya. Kubawa dia ke atas tempat tidur lalu kuciumi setiap inchi lekuk tubuhnya. Membuat naluri lelakiku semakin memuncat.

“Oh … Om …” Uci mendesah saat bibirku sampai di pangkal pahanya yang masih terbalut celana dalam.

Tanganku menarik celana dalamnya dan dengan bantuan pahanya yang bergerak naik maka dengan mudah kulepaskan celana dalamnya. Telunjuk tangan kiriku bermain di selangkangannya. Rambut kemaluannya jarang dan pendek. Kubuka bibir vaginanya dengan jari tengah dan ibu jari. Telunjukku hanya bergerak masuk sedikit dan setelah menemukan tonjolan daging kecil, maka kubuat gerakan menggaruk di atas permukaannya. Setiap aku menggaruknya Uci mengerang.

"Oouuhh... Aaauhh... Ngngnggnghhk…"

Aku terus menstimulasi daerah kewanitaannya, ternyata vaginanya sudah sangat basah. Sekarang dia sudah benar-benar siap memberikan selaput daranya untuk kutembus, untuk pertama kalinya. Tapi aku tak ingin tergesa-gesa. Justru karena tahu bahwa Uci masih perawan, aku ingin memperlakukannya dengan lebih lembut di ranjang. Sambil terus ‘mengerjai’ kewanitaannya, aku melucuti pakaianku sendiri hingga tak bersisa. Setelah itu, kedua kaki Uci pun kubuka lebar. Aku berikan ciuman dan jilatan di kelaminnya untuk membuatnya lebih siap. Uci semakin terangsang dengan terus mengerang. Menikmati sensasi luar biasa untuk pertama kalinya.

“Oh, om … Eeeennak seekaliii ….” Rintihnya sambil meremasi rambutku.

Aku pun menyudahi ciumanku di vaginanya lalu bangkit dan memposisikan diri senyaman mungkin di antara kedua pahanya. “Kamu sudah siap?” Tanyaku kemudian.

“Lakukan om … Ambil perawanku om …” Uci memelas dan kujawab dengan anggukan kepala.

Lantas aku memposisikan kepala kejantananku tepat di bibir kemaluannya. Lalu mendorongnya pelan. Uci menutup mulutnya, memejamkan mata. Kusorongkan perlahan. Masuk sedikit demi sedikit. Uci mengeluarkan suara mengerang karena menahan sakit saat menerima kelamin laki-laki untuk pertama kalinya. Masih bagian kepalaku yang masuk di lorong nikmatnya, namun Uci sudah meringis-meringis. Kuyakini dia apa masih mau diteruskan apa cukup segini. Dia tetap ngotot mau diteruskan bahkan tangannya menarik pantatku untuk terus maju. Dengan gerakan hati-hati aku memajukan penisku sampai akhirnya terhalang oleh selaput daranya. Aku memaju mundurkan penisku sampai terasa lancar. Pada saat mentok, aku mulai membuat gerakan mengejan, sehingga menyebabkan penisku terasa lebih kaku. Demikian berulang-uang, hasilnya lumayan. Selaput daranya bisa tembus tanpa dia terasa terlalu sakit. Penisku mulai tenggelam perlahan-lahan. Dia meringis ketika aku menarik dan memajukan penisku.

“Apakah masih terasa sakit?” Tanyaku sambil bergerak perlahan.

“Sedikit om … Tapi rasanya enak om …” Rintihnya sambil meringis dan tersenyum.

Sekitar lima menit kemudian Uci mulai bisa menyesuaikan penisku makin lancar keluar masuk, meski terasa ketat sekali lubang vaginanya. Hampir 15 menit kemudian aku merasa sudah mulai akan ejakulasi, maka segera aku tarik. Dan muncratlah spermaku di perutnya. Uci memelukku, katanya karena barangku meski mengakibatkan sakit, tetapi di dalam rasanya enak, karena semua rongga memeknya terasa penuh. Untuk pertama kali, kujelaskan bahwa wanita tidak bisa merasakan nikmatnya atau sampai orgasme, karena rasa sakit mengganggu.

“Terima kasih ya om … Om sudah membuat Uci sebagai wanita.” Ucapnya dalam pelukanku.

“Untuk dua atau tiga hari, vaginamu masih akan terasa sakit. Tapi setelah itu kamu akan sangat menikmati persetubuhan.” Jelasku.

“Iya om … Nanti tiga hari lagi Uci mau minta lagi sama om …” Katanya malu-malu.

“Iya, nanti om kasih.” Jawabku.

Kami pun ngobrol sambil berpelukan dan tertidur setelahnya. Aku yang memang kelelahan dan mengantuk, tertidur sangat lelap. Entah berapa lama aku tertidur, namun yang jelas aku terbangun setelah hari sudah terang. Aku pun bangkit dari tempat tidur. Aku tersenyum saat melihat bercak darah pada sprei putihnya. Ada perasaan bangga tersendiri saat mengingat aku mendapatkan darah perawan untuk kedua kalinya. Segera saja aku ke kamar mandi dan membersihkan diri. Setelah itu, aku bersiap-siap mengurus rumahku yang terbakar tadi malam.​

-----ooo-----​


Wida Pov

Mataku terbuka saat sinar matahari menyentuh wajahku. Aku mendudukkan tubuhku di alas dedaunan dan berusaha mengembalikan kesadaran sepenuhnya. Sudah dua hari dua malam aku tersesat di hutan ini, baru kali ini aku bisa tertidur lelap. Aku menoleh ke kiri dan aku dikejutkan oleh tubuh Lusi yang membiru dan berkeringat seperti mandi. Tubuhnya menggigil hebat seperti sedang terkena demam tinggi.

“Lusi … Lusi … Kamu kenapa?” Tanyaku sangat panik.

Lusi tidak menjawab hanya gelengan kepalanya saja bergerak ke kiri dan ke kanan. Tak lama, Abdi datang menghampiri dan memeriksa tubuh Lusi. Abdi pun menghela napas dan mengatakan kalau Lusi terserang malaria. Akhirnya aku dan Abdi berusaha sebisa mungkin merawat Lusi. Aku pun menangis lagi dan lagi. Rasa frustasiku sudah sampai di tahap mengkhawatirkan. Di hari inilah kehidupanku tak ada artinya lagi, dan tak ada lagi harapan untuk hidup.

Aku tiada henti menangis meratapi nasibku kali ini, aku tidak tahu sampai kapan aku berada di sini dengan kondisi seperti saat ini. Tiba-tiba badanku pun terasa berat seakan seluruh tubuhku tidak bisa digerakan namun pikiranku bisa melayang dan terbang. Aku terbaring di tanah. Seluruh tubuhku berasa sangat kaku. Aku pun teringat mati, dan dalam hatiku terus berkata, “Tuhan jangan ambil nyawa ini, aku ingin hidup lebih lama lagi.

Aku terus membaca doa dengan semua sumber dayaku, doa apapun aku panjatkan. Aku terus berteriak dalam batin minta tolong kepada Eyang Ratih dan aku terus berteriak memohon pengampunannya. Aku merasa sangat takut hingga aku menetaskan air mata, namun lucunya air mata itu tidak keluar langsung dari mataku, hanya berasal dari suara batinku. Dan tiba-tiba saja di sekelilingku muncul kabut yang sangat tebal. Aku tak bisa melihat apa-apa selain kabut tebal. Tak lama, kabut pun menyusut pergi.

Sesaat setelah kabut benar-benar sirna, langsung saja aku terkejut hebat. Dalam kondisi seperti ini aku dapat melihat semua mahluk yang ada di sekitarku. Terutama seorang nenek dengan wajah datar kemudian muncul seorang laki-laki tua dengan roman muka tak bersahabat. Aku tidak mengenali keduanya dan kenapa mereka ada di sini. Kemudian banyak sekali anak kecil yang berkeliaran dan berlarian dengan membawa kotak. Siapakah mereka? Aku pun semakin ketakutan. Aku menjerit menanggis meminta tolong namun tidak ada yang bisa mendengarku. Kemudian muncul asap yang sangat besar dan membumbung di atasku. Aku pun merangkak mundur sambil terus menanggis. Tiba-tiba asap itu berubah menjadi sosok putri yang sangat cantik, tetapi lagi-lagi aku melihat wajahnya sarat dengan kemarahan.

Aku menatap wajah sang putri sambil menanggis sejadi-jadinya. Tak lama, sang putri menunjuk ke suatu arah. Aku menoleh ke tempat yang dia tunjuk. Mataku terbelalak saat melihat tubuhku yang berada di atas tanah serasa terbujur sangat kaku. Aku pun merangkak cepat ke tubuhku yang kaku di atas tanah itu dan berusaha menyatukan tubuhku dengan ragaku. Aku terus berusaha dan menanggis sesengukan. Aku tidak berhenti berusaha dengan keras, hingga aku merasa sangat ingin menyerah karena semua berasa sia-sia. Namun aku terus mencoba dan memaksakan diri.

“Kau seharusnya sudah mati, Wida. Tetapi kau mendapat pengampunan dariku.” Ujar sang putri begitu dingin.

Cepat-cepat aku merangkak ke bawah kakinya lalu bersujud. “Ampuni aku Eyang … Ampuni aku … Hiks … Hiks … Hiks … Aku memang bersalah. Aku sudah berkhianat … Ampuni aku … Hiks … Hiks … Hiks …” Kataku disela isak tangisku. Entah kenapa, aku merasa yakin sang ratu di hadapanku ini adalah Eyang Ratih.

“Kau harus berterima kasih pada kakek dan nenek buyutmu. Karena merekalah yang memintaku pengampunan untukmu.” Ucap Eyang Ratih dan aku teringat pada kakek-kakek dan nenek-nenek yang datang pertama padaku tadi.

“Aku ucapkan terima kasih, kakek dan nenek buyut …” Lirihku tanpa ingin mengangkat wajah. Aku tetap bersujud di bawah kaki Eyang Ratih.

“Aku akan memaafkanmu tapi dengan satu syarat, kau harus menjadi istri yang patuh dan taat pada suamimu. Kamu tidak boleh membantah apalagi membangkang suamimu. Segala keinginan dan perintahnya wajib kamu turuti. Jika kamu sekali saja menolak apalagi membangkan pada suamimu, aku kutuk kau akan sengsera dan menderita selama hidupmu. Kau paham!” Ujar Eyang Ratih dengan suara kemarahannya.

“Aku paham eyang … Aku paham …” Jawabku sesungguh hati.

Tiba-tiba pandanganku menjadi putih, aku hanya melihat warna putih di sekelilingku. Sekitar dua menit berselang, pandanganku normal. Aku melihat hijaunya dedaunan dan pohon-pohon di sekitarku. Entah berapa kali aku terkejut karena kini aku berada di sebuah makan tempat pertama kali aku berada di hutan ini. Aku pun memeluk batu nisan dari makan sambil menangis. Namun kali ini tangisanku adalah tangisan bahagia. Aku sangat bahagia karena mendapat pengampunan leluhurku.

“Mari neng … Kita pulang …” Suara itu mengejutkanku lagi. Aku menoleh ke sumber suara. Seorang kakek berambut putih dengan blankon di kepalanya sudah berada di dekatku.

“Kakek siapa?” Tanyaku sembari bangkit dan berdiri.

“Kakek adalah kuncen tempat ini. Kakek disuruh Eyang Ratih untuk mengantarkanmu pulang.” Jawabnya dan tentu saja aku sangat senang mendengarnya.

“Ta..tapi … Dimana teman-temanku, kek?” Tanyaku.

“Kakek tidak tahu, neng … Sekarang yang penting, eneng selamat dari hukuman leluhur.” Ujarnya sembari berjalan meninggalkanku begitu saja.

Aku yang tak mau berlama-lama lagi, segera mengikuti langkah sang kuncen. Aku tak peduli dengan Lusi dan Abdi. Sekarang, aku hanya peduli atas diriku sendiri. Aku belum ingin mati, aku masih ingin hidup lebih lama lagi. Aku bersyukur bahwa aku masih mendapat kesempatan hidup. Tak akan kusia-siakan kesempatan ini. Aku bertekad akan menjadi seorang istri patuh dan taat pada suami. Aku akan melakukan apa saja yang suamiku inginkan, asalkan aku masih bisa hidup dan tidak terkena kutukan leluhur. Berkali-kali aku panjatkan puji dan syukur kepada pencipta alam semesta karena aku terhindar dari maut.

Bersambung
 
Makasih updatenya hu, kiranya menjelang penamat cerita ni dengan ide dan alur cerita yg fresh banget. Watak2 brengsek Robby, Abdi dan Lusi udah mendapat pembalasan masing2, Uci juga udah resmi menjadi dewasa, Wida juga bernasib baik karena sempat tobat dan menyesali perbuatannya. Menunggu pengahiran cerita serta karya2 baru suhu atau season 2nya.
 
Terima kasih suhu atas updatenya, ending seperti apa yg akan di sajikan suhu @Ekdanta atas Rumah tangga Denta dan wida di tambah nasib uci yg keperawanan ya sudah di ambil denta, apakah uci jg akan di jadikan istri dan bagaimana Nasib siska ?
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd