Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RAHASIA SEBUAH HATI (NO SARA)

BAGIAN 14

Denta Pov

Matahari baru saja muncul ke permukaan, cahayanya pun belum terasa, masih terasa dingin. Aku dan Uci sampai di kediaman orangtua Uci. Aku dan Uci langsung disambut oleh berondong pertanyaan oleh tuan rumah, bahkan oleh sanak saudara terdekat yang mengetahui kedatangan kami. Diberondong oleh banyak orang yang penasaran tentang video porno yang diperankan Wida membuatku tak bisa lagi mengelak. Aku sudah memberitahukan hanya setengah saja selalu disusul oleh pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Akhirnya, mau tidak mau aku ceritakan kronologis kejadian sedetaik-detailnya. Aku tidak tahu lagi bagaimana image Wida di keluarga besarnya, yang jelas hancur sehancur-hancurnya. Semua keluarga sepakat untuk tidak lagi menerima Wida sebagai anggota keluarga karena dicap telah membuat aib keluarga besar.

Hampir dua jam aku melayani berbagai pertanyaan, sampai juga pada akhir sesi. Semua yang berkumpul pulang ke rumah masing-masing. Saking lelah dan mengantuk, aku langsung tergeletak di atas tikar. Sampai akhirnya aku tertidur dengan sendirinya. Entah berapa lama aku tertidur, tiba-tiba badanku terasa bergoyang-goyang dan kudengar suara Uci memanggil namaku.

“Om … Om Denta … Bangun …” Suara Uci yang pelan cukup mampu membuatku terbangun.

“Oh ya … Jam berapa ini?” Tanyaku yang baru setengah sadar.

“Sudah jam empat sore.” Jawab Uci dan sontak aku sepenuhnya sadar dan bangkit.

“Jam empat sore?” Benar-benar aku terkejut. Ternyata aku tidur sangat lama.

“Hi hi hi … Iya jam empat sore. Lebih baik om mandi dulu terus makan. Ini pakaian ganti om. Tadi ibu Uci yang beli di pasar terus dicuci dulu, dijemur dan disetrika.” Ujar Uci sambil memberikan pakaian baru dan harum padaku.

“Terima kasih Uci. Tapi ngomong-ngomong, apakah kamu istrirahat?” Tanyaku khawatir dengan kondisi keponakanku ini.

“Uci tadi istirahat, sama seperti om langsung tidur di kamar. Tapi Uci bangun jam satu siang.” Jawabnya sambil tersenyum.

Aku pun segera mandi dan berganti pakaian. Kusimpan pakaian kotor dalam keranjang yang ada di kamar mandi. Aku kemudian makan ditemani Uci yang hanya menikmati kopi pahit. Aku heran, kenapa Uci begitu menyukai kopi tanpa gula? Apa yang ia nikmati? Aku tanyakan itu padanya dan Uci menjawab kalau dia suka kopi pahit saat dirinya masih balita dan menjadi kebiasaan meminum kopi pahit sampai sekarang.

“Uci … Om jadi ingat … Bagaimana kamu bisa berada di rumah om dan menolong om tadi malam?” Tanyaku yang tiba-tiba teringat akan pertolongan Yang Maha Kuasa melalui tangan Uci saat diriku diintimidasi oleh Wida dan temannya.

Uci tersenyum tipis dan berkata, “Saat om pulang dari kosan, Uci langsung pergi ke tempat Iqbal. Laki-laki itu tidak ada di rumahnya. Uci cari terus dan Uci teleponin terus sampai gak sengaja Uci melihat mobil Iqbal di parkiran minimarket dekat rumahnya. Akhirnya Uci berhasil menemukan Iqbal dan Uci tanya apakah dia melihat video porno tante Wida dan mengirimkannya ke Cianjur. Dia gak mau ngaku, tapi Uci yakin kalau dia pengirimnya. Kalau maling untuk mau ngaku emang harus digebukin dulu. Ya, Uci gebukin si Iqbal dan Uci ambil ponselnya. Dan ternyata benar, di ponselnya ada video Tante Wida dan beberapa nomor keluarga Cianjur. Di situ Uci semakin yakin kalau Iqbal adalah pelakunya. Terus Uci periksa ponsel Iqbal. Secara gak sengaja Uci membuka pesan whatsapp terbarunya. Di situ Uci tahu kalau temannya Iqbal yang bernama Lusi akan mencelakai Om Denta di rumah Tante Wida. Dari situ Uci langsung pergi ke rumah Tante Wida dan menemukan om terikat.” Jelas Uci.

“Terima kasih ya Uci. Kalau gak ada kamu, om mungkin hanya tinggal nama. Tantemu dan teman-temannya ternyata orang yang sanagat berbahaya. Om pernah dikasih tahu sama teman om kalau tantemu dan komplotannya adalah orang-orang yang kejam dan keji. Saat itu om tidak percaya, tapi setelah om merasakan kekejaman mereka, om sangat percaya dengan ucapan temen om itu.” Kataku.

“Sebenarnya siapa mereka itu, om?” Tanya Uci.

“Komplotan mereka bernama Bermuda Community. Bermuda Community sebenarnya LSM yang bergerak di bidang kegiatan-kegiatan sosial. Tapi, itu hanya kedok saja. Bermuda Community adalah kumpulan orang-orang yang berpaham kebebasan sebebas-bebasnya. Ketua mereka bernama Robby yang menurut om sih orang yang bernama Robby itu penjahat kelas kakap yang dilindungi pemerintah. Katanya sih anggota Bermuda Community kebal hukum jadi gak aneh mereka menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya. Intinya mereka itu orang-orang berbahaya yang harus dijauhi. Sekalinya berkonfrontasi dengan maka keselamatan kita sangat terancam.” Jelasku.

“Termasuk masalah om dengan Tante Wida.” Ujar Uci sambil menatapku lekat-lekat.

“Ya, termasuk di antaranya.” Kataku sambil menghela napas.

“Berarti termasuk juga masalah Uci dengan Iqbal?” Tanya Uci lagi.

“Ya … Keselamatan kita sedang terancam. Kita sudah berkonfrontasi dengan mereka. Lihat saja bagaimana tantemu memperlakukan om begitu keji.” Jawabku lagi.

Aku menghentikan obrolan saat orangtua Uci datang dan bergabung di meja makan. Kami langsung terlibat obrolan yang masih membahas video mesum Wida. Kasus itu menjadi berita besar yang sensasional di masyarakat sekitar. Sepertinya kasus video porno Wida sudah menjadi trending dan diperbincangkan ratusan ribu kali di sini. Tak terasa waktu sudah menjelang maghrib. Aku bersikap-siap sembahyang berjamaah di masjid. Saat keluar rumah, aku dikejutkan oleh dua mobil polisi yang berhenti di depan rumah. Kemudian beberapa polisi bergerak ke arahku.

“Apakah benar ini kediaman Suciwati?” Tanya seorang polisi dengan suara gaharnya.

“Benar.” Jawabku. Suciwati adalah nama lengkap Uci.

“Apakah anda orangtuanya?” Tanya si polisi lagi.

“Bukan …” Jawabku.

“Ada apa ya pak?” Tiba-tiba ayah Uci keluar dari dalam rumah.

“Apakah anda orangtua Suciwati?” Tanya si polisi pada Bapak Uci.

“Be..benar … A..da apa ya pak?” Tanya Bapak Uci terdengar mulai gelisah.

“Anak bapak telah melakukan penganiayaan yang menyebabkan luka berat. Kami akan menjemput anak bapak untuk diproses secara hukum.” Ungkap si polisi yang berhasil membuat kepalaku berputar-putar.

“Oh tidak … Ja..jangan!” Suara Bapak Uci gemetar.

“Sebentar pak … Apakah bapak punya bukti kalau keponakan saya telah melakukan penganiayaan berat?” Tanyaku berusaha menahan aparat hukum di depanku.

“Semuanya akan kita buka di kantor. Maaf, tolong serahkan Suciwati kepada kami.” Ujar si polisi masih dengan suara datarnya.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa karena mereka adalah aparat penegak hukum yang mempunyai kuasa dan kewenangan untuk menangkap seseorang. Aku pun ke dalam rumah dan mencari Uci. Yang aku temui adalah Ibu Uci yang sedang menangis di dapur. Ibu Uci berbisik padaku kalau Uci sudah pergi kabur saat tahu dirinya akan ditangkap. Ibu Uci mengatakan padaku kalau Uci menungguku di pinggir hutan yang menuju petilasan Ratih Prameswasari. Cepat-cepat aku keluar memberitahukan kepada para polisi kalau Uci tidak ada di rumah.

Para polisi langsung menggeledah rumah orangtua Uci untuk menangkap Uci yang disangka mereka disembunyikan. Tentu saja polisi-polisi itu tidak dapat menemukan orang yang mereka cari. Setelah puas maka para polisi bergerak cepat kembali ke mobil dan pergi entah kemana. Aku pun langsung berpamitan untuk mengejar Uci setelah berpamitan pada orangtua Uci dan membawa perlengkapan camping yang sengaja disiapkan Ibu Uci. Aku terus berlari menuju sisi hutan ke arah petilasan Ratih Prameswasari yang aku estimasi akan memakan waktu sekitar dua jam lebih.

Aku terus berlari tanpa lelah, meski napas dalam dada bergemuruh tidak beraturan. Yang pasti aku hanya ingin menyusul Uci. Aku sangat khawatir akan keselamatannya. Keringat sudah bercucuran, sampai bajuku basah seperti mandi. Tapi tak menyurutkan kakiku untuk terus berlari. Untungnya aku dibantu sinar bulan untuk melalui track lariku yang naik turun dan penuh dengan bebatuan. Akhirnya, aku sampai juga di sungai, lokasi di mana Uci menungguku.

“Om …” Itu suara Uci tapi aku tidak melihat keberadaannya. Kuedarkan pandangan namun luput terdeteksi karena di tempat ini lumayan gelap. “Om … Di sini …” Ucapnya lagi dan kini aku melihat kilatan lampu senter yang menyala kilat.

Aku secepatnya bergerak ke arah sinyal lampu senter dan aku pun menemukan Uci sedang bersembunyi di balik pohon besar. Tiba-tiba tubuhku terasa lemas dan jatuh terduduk di atas rumput. Baru terasa kalau tenagaku terkuras berlari-lari dengan membawa beban yang cukup berat. Aku lepas ransel yang berisi peralatan camping lalu membaringkan tubuh di atas rumput.

“Om … Sini Uci pijitin.” Kata Uci sembari duduk di samping tubuhku.

“Gak usah … Om cukup berbaring saja.” Kataku.

“Maaf ya om. Uci sudah merepotkan om.” Suara Uci terdengar frustrasi.

“Gak apa-apa Uci … Kamu jangan bicara begitu. Malah om yang merasa bersalah sudah melibatkan kamu sejauh ini. Om tahu kalau kamu membela om dan kamu seperti ini gara-gara om.” Kataku berusaha membesarkan hatinya.

“Tidak begitu juga om. Uci hanya ingin berpijak di jalan yang menurut Uci benar. Uci menilai om yang benar dan Tante Wida yang salah. Jadi Uci pasti akan ikut dengan om.” Ungkap Uci.

Aku tersenyum miris mendengar penuturan Uci barusan. Jika ditelisik lebih jauh, kehidupanku sekarang ini jauh dari kata normal. Jauh dari harapan. Aku sedang dipaksa kuat dengan segala cobaan. Cobaan datang silih berganti. Siapa yang patut disalahkan? Apakah menyalahkan keadaan? Takdir? Menyalahkan Tuhan? Atau diri sendiri? Ah, rasanya aku terlalu berlebihan. Aku tahu semua ini jalan Tuhan. Ketika kembali menikmati kehidupan dengan berbagai cobaan, tetaplah tersenyum untuk melewatinya. Walau pahit itu pasti dan dapat dirasakan, namun aku mencoba menelaah lebih dalam lagi, bukankah kadang kepahitan dalam hidup dapat dijadikan sebagai obat di kemudian hari? Ya, aku harus optimis bahwa aku akan bahagia di kemudian hari. Masa depanku ada di hadapanku saat ini. Bagiku masa depan merupakan kenyataan yang terjadi hari ini.

“Om … Apa kita akan beristirahat di sini atau meneruskan perjalanan?” Tanya Uci yang membuyarkan lamunanku.

“Kalau menurutmu bagaimana?” Tanyaku balik.

“Kalau Uci memilih terus jalan. Tanggung om Cuma sejam lagi perjalanan.” Jawabnya.

“Kalau begitu … Mari kita kemon …” Kataku sembari bangkit dan menggendong ransel kembali.

Perjalanan ke petilasan Ratih Prameswasari pun dilanjutkan. Kami berdua menyusuri sungai untuk mencapai hulu. Entah kenapa, tak ada rasa takut sedikit pun, malah yang ada aku sangat menikmati perjalanan malam ini. Lagi-lagi aku harus berterima kasih kepada bulan yang sinarnya menyinari jalan kami. Aku jadi terbiasa untuk melewati medan sulit, loncat dari batu ke batu, atau berjalan di air sungai yang dangkal.

Tak terasa, kami pun sampai di petilasan Ratih Prameswasari. Kami pun mendirikan tenda dan menyalakan lampu baterai sebagai penerangan. Karena aku dan Uci sudah sangat kelelahan, kami pun tidur bersamaan tanpa memperdulikan lagi keadaan sekitar. Kami percaya kalau leluhur kami akan menjaga kami. Akhirnya aku dan Uci terlelap memasuki alam mimpi masing-masing.

Ya, aku sekarang sedang bermimpi. Dalam mimpiku itu aku tahu kalau aku sedang bermimpi. Aku berada di taman yang sama dengan taman yang tempo hari kusinggahi. Di sinilah aku bertemu dengan Eyang Ratih Prameswasari. Saat aku mengedarkan pandangan, mataku melihat Uci sedang memetik bunga. Tentu aku terkejut. Kenapa aku menemukan Uci di mimpiku. Lantas aku melangkah mendekatinya.

“Uci … Sedang apa kamu di sini?” Tanyaku terheran-heran.

“Sama seperti om … Uci juga sedang menunggu kedatangan Eyang Ratih.” Ujarnya santai tampak tak terganggu dengan kedatanganku.

“Apakah kamu sadar kalau kamu sedang bermimpi?” Tanyaku penasaran.

“Ya om … Uci sedang bermimpi. Sama seperti om juga, kan …” Sahut Uci sembari menoleh ke arahku dan tersenyum. Ah, memang tak masuk di akal. Otakku tak sampai untuk memikirkan keajaiban ini.

“Selamat datang cucu-cucuku.” Aku dan Uci terperanjat. Ternyata Eyang Ratih Prameswasari benar-benar menjumpai kami berdua.

Aku menjura dengan menangkupkan kedua telapak tangan sambil berkata, “Terima kasih Eyang Ratih. Terima kasih telah sudi menemui kami.”

Eyang Ratih melayang mendekatiku dan Uci dan berkata, “Aku yang berterima kasih pada kalian. Aku senang masih ada keturunanku yang mau berkunjung ke sini. Kunjungan kalian sangat membahagiakanku. Orang-orang sekarang sudah terpengaruh perkembangan teknologi dan budaya asing, sehingga banyak yang melupakan leluhurnya. Padahal dengan mengunjungi para leluhur, banyak berkah yang akan didapat.”

“Iya Eyang … Memang kami berkunjung ke Eyang ini ada maksud tertentu. Kami memang membutuhkan bantuan Eyang.” Tiba-tiba Uci bersuara. Aku melotot pada Uci yang sangat serampangan berbicara dengan Eyang Ratih. Aku harap Uci menjaga tata krama. Bagaimana pun Eyang Ratih adalah leluhur yang spesial.

“Kamu jaga sikapmu …” Kataku pada Uci.

“Cucuku yang satu ini memang begitu. Uci sudah sangat sering menemuiku dan ada kekuatan yang selalu bisa menemukan aku dengan Uci. Tidak semua keturunanku yang bisa menemuiku karena terhalang sesuatu yang membuatku tidak bisa menemui mereka. Hanya keturunanku yang mempunyai hati yang bersih saja yang bisa aku temui, termasuk dirimu Denta.” Ungkap Eyang Ratih.

“Oh jadi, Uci sering menemui Eyang rupanya …” Sekarang aku baru mengerti kenapa Uci seperti sudah biasa dengan Eyang Ratih Prameswasari.

“Ya …” Jawab Eyang Ratih sembari tersenyum. Kemudian Eyang Ratih melanjutkan ucapannya, “Aku tahu kalau kalian sedang menghadapi masalah yang berat. Aku bisa merasakannya dari aura kalian. Sebenarnya apa yang terjadi pada kalian?”

“Saya dan Om Denta sedang dicari dan diancam oleh orang-orang jahat dan berbahaya. Orang-orang ini sangat berkuasa dan tidak bisa dilawan dengan kekuatan biasa. Eyang, berikan aku dan Om Denta kekuatan yang bisa mengalahkan mereka. Aku dan Om Denta ingin sekali menumpas komplotan mereka.” Ujar Uci.

“Aku bukan makhluk yang serba bisa, aku pun bukan dewa yang memiliki banyak ilmu. Ilmuku hanya sedikit. Sekarang ini aku hanya bisa membekali kalian dengan satu ilmu saja untuk kalian bedua. Aku akan kasih kalian ilmu gendam. Ilmu gendam adalah ilmu olah kebatinan yang digunakan untuk memanipulasi kehendak orang lain. Orang yang terkena ilmu gendam bagaikan kerbau di cocok hidungnya. Dia akan menuruti apa yang kamu kehendaki. Tapi, ilmu gendam hanya bisa digunakan dalam jarak 10 tumbak, tidak bisa jauh.” Jelas Eyang Ratih.

Kemudian Eyang Ratih Prameswasari melatih aku dan Uci cara menggunakan ilmu gendam. Tak susah-susah karena energi gaibnya telah ada di tubuhku dan Uci. Kami hanya menghapal mantra dan teknik penggunaannya. Tidak lebih setengah jam aku dan Uci sudah bisa menggunakan ilmu gendam tersebut.

“Terima kasih Eyang.” Kataku sambil menjura hormat.

“Tapi aku berpesan pada kalian. Jangan terlalu mengandalkan ilmu dariku itu. Kalian harus menggunakan akal kalian untuk mengalahkan musuh-musuh kalian. Ilmu yang aku beri hanya untuk membantu saja.” Kata Eyang Ratih Prameswasari.

“Benar Eyang … Musuh kami sekarang ini orang kuat yang kebal hukum. Dia punya kekuasaan dan kekuatan yang sangat besar, juga anak buahnya banyak sekali. Sementara kami hanya berdua.” Kataku.

Eyang Ratih Prameswasari pun tersenyum dan berkata, “Dulu ada kerajaan yang bernama Jampang Manggung di daerah Cianjur ini. Raja Jampang Manggung adalah raja yang sakti mandraguna. Raja yang tak terkalahkan. Pasukannya pun tangguh dan diisi oleh orang-orang sakti. Kerajaan Padjadjaran yang ingin menguasai Kerajaan Jampang Manggung selalu kalah oleh Jampang Manggung. Akhirnya Raja Padjadjaran mengirim orang untuk menyusup ke istana Kerajaan Jampang Manggung. Singkat cerita, orang suruhan Kerajaan Padjadjaran itu menjadi salah satu orang kepercayaan Raja Jampang Manggung. Baru di situlah utusan Kerajaan Padjadjaran bisa membunuh Raja Jampang Manggung dengan memberinya racun.”

“Ah, aku mengerti … Jadi untuk mengalahkan kelompok Bermuda Community, kita harus melawannya dari dalam.” Seru Uci heboh sekali.

“Mungkin itu salah satu cara yang bisa kalian pergunakan untuk mengalahkan musuhmu.” Ujar Eyang Ratih Prameswasari.

“Terima kasih eyang … Terima kasih atas masukannya.” Kataku sambl menjura hormat lagi.

“Kalau begitu, kembalilah! Berjuanglah! Doaku selalu menyertai kalian.” Ujar Eyang Ratih Prameswasari dan tiba-tiba saja penglihatanku menjadi gelap gulita.

Ketika aku membuka mata, aku sadar bahwa semua telah berubah, dan yang aku lihat adalah terpal tenda. Aku menoleh ke samping, ternyata Uci sudah tidak ada di sisiku. Ah, ternyata hari sudah pagi. Matahari sudah menampakan dirinya dan sinarnya terlihat terang. Aku keluar dari tenda. Uci sedang memasak sesuatu. Aku hampiri keponakan itu lalu berjongkok di depan api unggun sambil menunggu mie instan matang.

“Jadi … Apa rencana kita?” Tanyaku.

“Kok masih bertanya sih om? Ya, kita harus masuk ke kelompok mereka.” Jawab Uci ringan.

“Bukan kita … Tapi aku. Kamu tidak boleh masuk ke Bermuda Community. Kamu belum cukup umur.” Kataku.

“Eh! Uci kan sudah 20 tahun?” Uci protes keras padaku.

“Tidak Uci … Kamu tidak boleh bergabung!” Kataku tegas dan tidak ingin dibantah lagi.

Tak lama, mie instan yang dimasak Uci matang. Kami pun menyantap makanan sederhana ini dengan lahap. Rasanya sangat enak, mungkin karena kami kelaparan. Setelah selesai sarapan, aku dan Uci membersihkan bekas kemah kami. Setelah itu, kami turun untuk kembali ke rumah. Aku salut sama Uci. Walau dia tahu berstatus sebagai buronan, namun dia tidak ragu untuk datang ke rumahnya, kemudian bersama-samaku kembali ke Bandung.
-----ooo-----​

Wida Pov

Sudah tiga hari aku bekerja di perusahaan yang baru menjabat sebagai wakil direktur. Ku sangat menikmati pekerjaan baruku karena tidak terlalu menguras tenaga dan pikiran. Aku hanya memeriksa pekerjaan staf-staf yang berada di bawah kuasaku. Keahlianku adalah perencanaan sehingga aku ditempatkan di bagian perencanaan dan pengembangan bisnis. Siska pun ternyata expert masalah hal perencanaan bisnis. Aku tidak menyangka akan hal itu. Aku dan Siska akhirnya menjadi partner kerja yang solid.

Dalam tiga hari itu, pikiranku masih belum ajeg tentang masalah Denta dan Uci. Mereka masih saja menghantui hari-hariku. Ada rasa takut yang masih belum sirna dari pikiranku. Mereka bagai duri dalam daging. Sampai kapan pun, aku tidak akan bisa hidup tenang selama mereka belum dilemahkan atau bahkan dilenyapkan. Sementara itu, Denta dan Uci belum juga bisa ditemukan meskipun Uci sudah ditetapkan sebagai DPO atas kasus penganiayaan berat yang ia lakukan pada Iqbal.

Sore ini langit begitu gelap dan hujan deras. Mobilku bergerak menerobos hujan menuju rumah. Setelah hampir satu jam terjebak macet, akhirnya aku sampai di rumah. Aku parkirkan mobil di garasi kemudian masuk ke dalam rumah melewati pintu samping. Aku tersenyum saat mendengar suara anak-anakku di ruang tengah. Namun seketika itu juga senyumku hilang, langkahku terhenti.

“Sudah pulang …” Kata pria yang sedang duduk di sofa tanpa menengokku. Pria itu sedang bermain dengan anak-anakku. Aku langsung terkena shock attack. Betapa tidak, pria itu adalah Denta. “Hei! Kenapa malah berdiri di situ? Kemarilah!” Pinta Denta dan aku mendekati lalu duduk di sofa seberangnya.

“Mau apa kamu ke sini?” Tanyaku kaku.

“Mau apa??? Ini rumahku. Kenapa mama bertanya seperti itu?” Jawabnya sangat santai. Aku terkesiap setelah Denta menyebutku dengan sebutan ‘mama’.

“Ma..maaf … Mama hanya terkejut saja.” Hatiku pun melunak dan mencoba bersahabat dengannya.

“Lihat ma …! Lihat anak-anak kita. Rasanya tidak adil buat mereka kalau kita terus-terusan bermusuhan dan saling bertentangan. Mereka lah yang akan menjadi korban keegoisan kita. Aku pikir saatnya kita membangun lagi rumah tangga kita yang rusak ini demi anak-anak kita.” Katanya sembari menatapku mesra.

Sungguh, aku hampir tidak percaya. Sekarang Denta mau berdamai denganku. Sepertinya misiku berjalan mulus. Aku pun tersenyum dan berkata, “Iya pa … Memang kita terlalu egois dan mengorbankan kepentingan anak. Mama sangat senang papa bicara begitu, tapi papa juga harus menerima kehidupan mama yang lain. Maaf ya pa, mama tidak bisa meninggalkannya.”

“Papa mengerti dan papa sudah memikirkannya beberapa hari ini. Ya, papa akan menerima kehidupan bebas mama tetapi papa juga minta perlakuan yang sama. Papa menginginkan juga seperti mama.” Katanya dan aku terlonjak kemudian duduk di pangkuan suamiku.

“Itu kan yang mama tawarkan kemarin itu pa … Papanya saja yang keras kepala.” Kataku lalu mengecup bibirnya.

“Belum telat kan kalau papa menerima tawaran itu?” Tanyanya dengan nada bercanda.

“Tentu belum pa … Selamat datang di dunia kebebasan. Oh, aku sangat bahagia … Terima kasih suamiku …” Ujarku dan kembali mengecup bibirnya.

Inilah kehidupan yang aku impikan. Nyaman tidak nyaman namun inilah kehidupan yang selalu penuh dengan perubahan. Diperlukan sebuah kearifan untuk menyikapinya. Aku tahu Denta akan berubah dan sejalan denganku. Sekarang aku tak perlu lagi taku dan khawatir dengan masa depanku. Jalan lurus membentang menuju kebahagiaan dan kesenangan yang hakiki. Hari ini adalah hari yang paling istimewa, hari yang berbahagia dan mengharukan karena akhirnya aku bisa seiring dan sejalan dengan suamiku tercinta. Andai saja aku tidak halangan hari ini, sudah barang tentu aku akan mengajak suamiku bercinta. Aku akan membuatnya bahagia. Aku akan membuatnya menyenangi dengan apa yang sudah aku pilih.

“Ma … Maafin papa tentang video mama yang tersebar di Cianjur. Mama perlu tahu kalau keluarga besar di Cianjur sangat marah sama mama. Mereka sudah tidak menganggap mama lagi anggota keluarga besar. Tapi mama harus percaya, bukan papa dan bukan juga Uci yang mengirim video itu. Video itu dikirim oleh Iqbal atas keteledoran Uci. Makanya Uci sangat marah dan memberi pelajaran kepada Iqbal yang sudah lancang menyebarkan video mama.” Jelas Denta.

“Oh gitu ya … Tapi mama gak peduli, yang penting mama mendapatkan papa kembali.” Jawabku tak ambil pusing.

Akhirnya keluarga bersatu kembali. Tak ayal, aku kabarkan berita bahagia ini kepada Lusi. Lusi pun ikut senang dengan berita baik ini, dan semua permasalahan dia anggap selesai. ‘Tidak ada lagi pertentangan, tidak ada lagi permusuhan, kita semua bersaudara,’ begitu kata Lusi menyambut kedatangan suamiku. Lantas aku meminta Lusi untuk menjadikan Denta sebagai anggota Bermuda Community. Lusi menyetujuinya asalkan Denta memenuhi syarat sebagai anggota Bermuda Community.

Saat makan malam, aku utarakan keinginanku agar Denta menjadi anggota Bermuda Community. Awalnya Denta menolak dengan alasan tidak mempunyai waktu. Tetapi setelah aku desak, akhirnya Denta pun menyetujui permintaanku. Aku terangkan bahwa ada syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi anggota Bermuda Community. Dan Denta pun tertawa terbahak-bahak saat aku menjelaskan syarat utama untuk menjadi anggota Bermuda Community bagi pria adalah memiliki kelamin yang panjang minimalnya 16 sentimeter. Sebenarnya aku juga tidak yakin dengan persyaratan itu mengingat kejantanan Denta berukuran normalnya orang Asia. Denta menjawab tidak tahu saat aku tanya berapa panjang kira-kira kejantanannya, tetapi dia bilang kalau tidak diukur maka tidak akan tahu berapa panjang alat kelamin miliknya. Aku segera mengambil mistar lalu mencoba untuk mengukur panjang kejantanan suamiku.

“Ayo! Kita ukur!” Kataku setelah berdiri di sampingnya.

“Kenapa buru-buru … Kita habiskan dulu makan kita.” Katanya.

“Mama gak sabar ingin tahu panjang punya papa. Berbaliklah pa …” Paksaku.

Denta menggeser kursinya hingga menghadapku lalu kusuruh dia menurunkan celananya. Saat kejantanannya tak terhalangi lagi oleh kain celana, mataku terbelalak selebar-lebarnya. Lagi-lagi aku dibuat tak percaya yang kali ini oleh penglihatanku. Mulutku sampai menganga tatkala menyaksikan kejantanan Denta yang setengah bangun itu. Dalam keadaan seperti itu saja perkakas milik Denta begitu besar dan panjang. Sejenak aku hanya tertegun karena benar-benar aku dibuat tidak percaya dengan pemandangan indah ini.

“Ma …! Kenapa malah ngelamun?” Tanyanya membuatku sadar dari keterkejutanku.

“Mama … Gak percaya …” Lirihku sambil memandang mata Denta.

“Tambah besar kan ma …” Godanya sambil memegang penisnya sendiri.

“I..iya … Ba..bagaimana bisa …?” Tanyaku masih dalam keadaan tidak percaya. Sungguh aku masih belum percaya dengan apa yang sedang aku saksikan ini.

“Papa terapi alat kelamin waktu di Cianjur … Ya, beginilah hasilnya.” Jawabnya yang menghilangkan ketidak-percayaanku.

“Oh … Jadi begitu ya …” Aku lantas tersenyum.

Perlahan aku berlutut di antara paha suamiku dan melumat penisnya yang begitu besar dan panjang. Aku lumat dengan liar, sehingga membuat dia mengerang keenakan dan penisnya semakin membesar dan keras. Mulutku terasa sesak oleh penisnya. Aku coba menelan habis penisnya ke dalam mulutku sampai terasa kena di dinding tenggorokanku. Tak lama aku sudahi blow job ini.

“Wow! Luar biasa!” Aku memekik kagum sambil mengukur kepanjangan penis Denta. “Ya, Tuhan!!!” Aku memekik lagi ternyata panjangnya mencapai 20 sentimeter.

“Kayaknya aku gak ditolak menjadi anggota Bermuda Community.” Canda Denta.

“Papa akan menjadi anggota Bermuda Community. Mama sangat yakin. Tapi papa harus difoto dulu untuk disebar pada anggota wanita, untuk dijadikan penilaian mereka. Jika voting papa mencapai suara mayoritas maka papa sah menjadi anggota Bermuda Community.” Kataku sambil tak bosan-bosannya tanganku mempermainkan penis Denta.

“Ya sudah … Lakukan segera!” Ucap Denta sembari berdiri dari duduknya.

Aku memotret Denta dengan kamera smartphone, sementara dia memotretku dengan sepasang matanya. Memang suamiku ini tampan juga, apalagi saat dia telanjang bulat. Aku terus memotret dengan berbagai pose. Setelah merasa cukup, aku langsung mengirim hasil jepretanku kepada Lusi untuk disebar ke anggota wanita Bermuda Community. Selain itu, aku mengirim identitas Denta juga.

“Kalau saja mama gak datang bulan, mama ingin sekali merasakan kontol papa yang baru ini.” Kataku sembari menelisik foto kejantanan Denta di layar smartphoneku.

“Ha ha ha … Papa jamin mama akan ketagihan.” Godanya membuatku terkekeh pelan.

“Bukan hanya mama, tapi semua perempuan anggota Bermuda Community juga pasti ketagihan.” Balas godaku.

“Wow! Menarik sekali.” Ujarnya.

Dan malam ini kami berdua menghabiskan malam dengan ngobrol. Seperti bunga matahari, aku seperti mendapatkan kehidupan yang baru, yang belum pernah aku rasakan. Lengkap sudah kehidupanku sekarang, impianku tercapai, yaitu menjalani dua kehidupan secara bersama-sama. Istimewanya lagi, Denta sekarang masuk dalam duniaku juga, dunia yang penuh kebebasan dan kesenangan. Tentu saja sekarang aku bisa tidur sangat nyenyak yang beberapa hari ini tidak pernah aku rasakan.
-----ooo-----​

Denta Pov

Kulihat jam di tanganku menunjukkan pukul 15.00 sore. Sudah lebih satu jam aku berada di coffee shop dan telah menghabiskan dua gelas kopi. Tiba-tiba smartphone berdering tanda pesan whatsapp masuk. Aku lihat pesan itu lalu tersenyum. Segera saja aku keluar dari coffee shop dan berjalan menyeberangi jalan lalu kakiku memasuki pelataran sebuah hotel. Terburu-buru aku memasuki lobby hotel dan langsung ke lantai delapan melalui tangga. Pas di ujung tangga lantai ke delapan aku bertemu Uci yang memberikan kode jempol ke atas.

“Teman-temannya sudah keluar dari kamarnya.” Kata Uci yang kubalas dengan anggukan.

“Kamu awasi tempat ini!” Perintahku.

“Baik om …” Jawab Uci.

Aku berjalan di koridor yang sisi kiri dan kanannya terdapat pintu-pintu. Hanya beberapa langkah saja, aku akhirnya berhenti di depan pintu kamar hotel yang disewa Andrew. Aku buka topi dan maskerku, kemudian aku ketuk pintu kamar hotel tempat Andrew menginap. Pintu pun terbuka, aku langsung menyeringai. Kulihat Andrew terkejut tapi sesaat. Mantan sahabatku itu lalu menganggukan kepala dan membalas senyumku. Tapi gesturenya itu sangat kaku.

“Bagaimana kabarmu, kawan?” Tanyaku seramah mungkin.

“Aku baik.” Jawabnya terdengar sangat grogi atau mungkin ketakutan.

“Apakah aku akan dipersilahkan masuk?” Tanyaku lagi.

“Maaf, Denta … Aku perlu istirahat. Aku baru saja keluar dari rumah sakit. Aku tidak bisa istirahat enak di sana. Ya, skarang aku mau istrirahat dulu. Datanglah di lain hari.” Ujarnya sembari mendorong daun pintu untuk ditutupnya.

Secepatnya aku panting ilmu gendam yang aku kuasai dan menyuruh Andrew tetap membuka pintu. Aku tersenyum dalam hati karena aku bisa menggunakan ilmu gaibku ini. Aku melangkah masuk ke dalam kamar hotel dan menyuruh Andrew menutup. Tak berselang lama, aku dan Andrew sudah duduk berhadapan di sofa hotel. Aku menatap tajam Andrew yang tak pernah memandang mataku sejak awal.

“Aku tak akan berlama-lama, Andrew. Maksudku datang ke sini, aku hanya ingin meminta ganti rugi atas perbuatanmu menggauli istriku. Kamu tahu? Gara-gara perbuatanmu itu, rumah tanggaku hampir berantakan dan itu ada harganya yang harus kamu bayar.” Kataku langsung pada inti pembicaraan.

“Aku dan istrimu melakukannya suka sama suka. Jadi aku tidak harus membayar apapun padamu.” Jawab Andrew dengan suara bergetar.

“Jangan memaksaku, Andrew … Aku bisa saja berbuat kasar padamu.” Kataku sarat dengan ancaman.

Tiba-tiba Andrew berdiri sambil berteriak, “Keluar! Atau aku akan memanggil security untuk menyeretmu keluar!”

“Baiklah … Kau memaksaku untuk kasar. Ketahuilah Andrew, aku bisa membunuhmu tanpa harus tanganku berlumuran darah. Dan aku tidak akan menjadi tersangka pembunuhan, karena yang akan membunuhmu adalah dirimu sendiri.” Kataku masih sangat santai.

“Fuck You! Keluar dari kamarku!” Andrew mengarahkan telunjuknya ke pintu.

Aku geleng-geleng kepala. Seketika itu juga aku mengaktifkan ilmu gendamku. “Kau akan berjalan ke balkon hotel dan berdiri di sisinya. Pergilah ke sana! Dan jangan berkata apa-apa. Kau hanya boleh menganggukan dan menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaanku.”

Andrew pun berjalan menuruti perintahku. Dia berjalan menuju balkon hotel dan berdiri di sisinya. Aku yang berdiri di belakang Andrew mulai mengancamnya. Aku bisa saja membuatnya loncat dari balkon ini dan yang pasti dia akan mati seketika. Andrew menggeleng-gelengkan kepala dan mengangkat tangannya yang sepertinya menyuruhku berhenti. Aku pun membawa Andrew kembali ke dalam kamar hotel dan duduk di tempat semula.

“Sekarang kau boleh bicara tapi pelan dan tidak boleh berteriak.” Kataku masih dengan ilmu gendam yang aktif.

“Kau … Pu..punya ilmu se..setan.” Ucap Andrew sembari terus menggelengkan kepalanya. Terdengar sekali kalau bule di depanku itu sedang menahan tangisnya.

“Bukan ilmu setan. Yang setan itu yang menggunakan keilmuannya untuk keburukan …” Kataku sambil tersenyum.

“Baiklah … Aku akan membayar ganti rugi. Berapa yang kamu minta?” Tanyanya dengan suara gemetaran.

“Aku minta 20 milyar.” Jawabku ringan. Aku tahu dia pasti mempunyai uang sebanyak itu.

“Apa? Apa kamu sudah gila?” Ucap Andrew terkejut tapi dengan suara pelan.

“He he he … Harga kemaluan istriku memang segitu harganya, kawan. Apalagi kau telah menggunakannya beberapa kali.” Kataku setengah bercanda.

“Kau tidak bisa memerasku seperti itu!” Andrew bertahan.

“Kalau begitu! Pergilah ke neraka!” Kataku dan langsung Andrew terpengaruh lagi oleh ilmu gendamku. Ia berdiri dan berjalan ke arah balkon.

“Baik-baik Denta … Hentikan …! Hentikan ini …!” Pekik Andrew.

Aku pun menghentikannya dan mengembalikan Andrew ke sofa tempatnya duduk. Akhirnya, Andrew mengambil smartphone dan melakukan transfer uang sebanyak 20 miliar ke rekeningku. Aku langsung tertawa terbahak-bahak setelah transaksi selesai dilakukan. Masih dalam pengaruh ilmu gendamku, Andrew kusuruh membuang smartphone miliknya keluar dari balkon. Setelah aperintahku terlaksana, aku keluar kamar hotelnya. Dengan langkah cepat, aku menghampiri Uci yang masih menunggu di ujung tangga.

“Eksekusi dia 10 menit lagi, setelah om kembali ke coffee shop.” Perintahku pada Uci.

“Siap om …” Jawab Uci sembari mengacungkan jempolnya.

Aku berlari menuruni tangga. Tak lama, aku sampai di lobby hotel lalu keluar dari gedung hotel. Setelah menyeberangi jalan, aku masuk ke dalam coffee shop hendak ke tempatku semula. Namun tiba-tiba ada suara wanita yang memanggilku sambil melambai-lambaikan tangannya di ujung ruangan.

“Mas Denta …” Panggilnya dengan tangan melambai-lambai.

Mataku menyipit, keningku mengerut tajam, aku bertanya-tanya dalam hati, “siapa dia?” Sebab aku tidak mengenalnya. Hanya karena ingin menghormati wanita cantik itu, akhirnya aku berjalan ke arahnya. Aku pun tersenyum dan menganggukan kepala sebagai salam perkenalkan.

“Maaf … Siapa ya?” Tanyaku sesopan mungkin.

Dia pun berdiri lalu menyodorkan tangannya, “Namaku Siska. Aku atasan istrimu.”

Lumayan terhenyak juga. Ternyata wanita cantik di depanku ini adalah atasan Wida. “Oh, maaf … Saya pikir siapa.”

“Hi hi hi … Maaf mengagetkanmu. Aku tahu kamu dari aplikasi pendaftaran keanggotaan Bermuda Community.” Katanya.

“Oh, begitu ya …” Kini aku mengerti kenapa wanita yang bernama Siska ini mengenali wajahku.

“Ya, aku sudah menyetujui keanggotaanmu.” Katanya lagi.

“Terima kasih.” Kataku sembari tersenyum.

Tiba-tiba terdengar suara jeritan yang disusul dengan jeritan-jeritan yang lain. Suasana menjadi kacau. Para pengunjung coffee shop berhamburan keluar. Belum lagi diluar sana, keadaan benar-benar tidak menentu. Aku dan Siska cepat-cepat keluar ingin mengetahui kenapa orang-orang berteriak dan chaos.

“Ada apa ya pak?” Tanyaku pada seseorang yang sedang berdiri di trotoar jalan.

“Ada orang bunuh diri. Dia loncat dari atas hotel.” Jawabnya. Tentu saja aku pura-pura terkejut.

“Apa? Bunuh diri?” Pekikku penuh drama.

Sejenak aku dan Siska berbaur dengan masyarakat yang masih membicarakan kejadian bunuh diri penyewa hotel. Sebelum akhirnya aku dan Siska kembali ke dalam coffee shop. Masih dengan tema bunuh diri, aku dan Siska melanjutkan obrolan sambil menikmati hidangan yang disajikan pelayan coffee shop. Tentu saja aku tidak memperdulikan kejadian bunuh diri tersebut, yang kuperhatikan kini wajah cantik wanita yang sekarang menjadi partner ngobrolku.

Bersambung
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd