Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RAHASIA SEBUAH HATI (NO SARA)

Kalo beneran wida bales dendam, denta harus lebih ganas dan kejam lg. Yg jadi pertanyaan bagaimana nanti caranta ts membuat wida merasa bersalah dan mau bertobat?
 
Heran gua sama wiinda dia yg salah dia yang pengen balas dendam..tobat Winda😁😁
yah orang namanya cerita esek esek (mesum) ya wajar lah kalau harus lebih dominan yang nyimpang nyimpang atau kurang rasional, ya masalahnya kalau di bikin yang selalu masuk akal ya justru kurang menarik sih . . . . . . . . .
 
BAGIAN 13

Denta Pov

Aku luar biasa terkejut saat mengetahui video adegan ranjang antara Andrew dan Wida tersebar di keluarga besar Cianjur. Aku mendapatkan kabar itu dari ibu mertuaku, bahkan beliau mengirimkan video tersebut padaku. Video yang ini berbeda dengan video yang aku punya. Dan yang pasti aku tidak segila itu. Aku tidak akan mengirim video yang membuat aib aku sendiri walaupun pemeran dalam video itu Wida. Tiba-tiba instingku mengarahkaku ke Uci dengan alasan Uci adalah orang pertama yang mencurigai tantenya berbuat serong hingga dia marah dan benci pada tantenya itu.

Aku yang sedang mengendarai mobil dengan tujuan kediaman Dewi langsung memutar arah menuju tempat kos Uci. Mobilku melaju cukup kencang. Setelah berkendaraan beberapa menit lamanya, mobilku berhenti di sebuah bangunan yang terbagi menjadi beberapa kamar. Aku parkirkan mobil di sisi jalan dan langsung menuju pintu kamar kos yang didiami Uci. Tak lama, aku sudah berada di depan pintu kamar kosnya, segera aku ketuk daun pintu di depanku. Setelah pintu terbuka nampak lah Uci dengan mimik kebingungan.

“Om … Ada apa?” Tanya Uci sambil menatapku dengan tatapan terheran.

“Apa kamu tidak tahu kalau di Cianjur sedang panas?” Aku balik bertanya pada Uci.

“Tidak … Emangnya ada apa om?” Tanya Uci lagi.

“Kamu yakin tidak tahu?” Aku mengulangi pertanyaanku.

“Sungguh om. Uci tidak tahu. Ada apa om?” Kulihat Uci memang sedang kebingungan.

“Boleh om masuk?” Pintaku.

Uci memberikan aku jalan hingga aku bisa melewatinya dan masuk ke dalam kamar kosnya. Uci membiarkan pintu terbuka. Dia mengikutiku dan kami pun duduk di lantai beralaskan karpet. Setelah itu, aku menceritakan kejadian tentang tersebarnya sebuah video porno yang diperankan Wida dan Andrew di keluarga besar Cianjur. Selanjutnya aku memperlihatkan video kiriman ibu mertuaku pada Uci. Pupil mata Uci melebar dan aku melihat keterkejutan di sana. Dan itu menandakan kalau keponakanku ini memang benar-benar tidak mengetahui kejadian yang baru saja aku ceritakan.

“Apakah kamu yang mengirimkan video ini pada keluarga kita?” Tanyaku walau tidak yakin.

“Ti..tidak om … Uci tidak mengirimkan video itu.” Sanggah Uci kepanikan.

“Uci … Om bukannya tidak percaya. Tapi om merasa kalau kamu menyembunyikan sesuatu sejak kasus tantemu mencuat. Om ingat betul kalau kamu mengatakan membenci tantemu untuk pertama kalinya. Sejak saat itu, om melihat kalau kamu benar-benar membenci tantemu dan tidak pernah mau lagi datang ke rumah om karena tidak ingin bertemu dengan tantemu. Uci, sudah saatnya kamu berterus terang sama om, karena om juga sudah menceraikan tantemu.” Jelasku perlahan dan berhati-hati.

“Oh … Maafkan Uci om … Padahal Uci tidak ingin om berpisah dengan tante. Makanya Uci selalu menyembunyikan fakta kalau Tante Wida berselingkuh dengan teman om yang bule itu. Tapi demi Tuhan, Uci tidak pernah mengirim video itu ke Cianjur. Jujur om, emang Uci mempunyai video itu, dan memang Uci yang merekamnya saat om menyuruh Uci mengambil kuitansi di rumah om. Dan Tante Wida sudah mengetahui kalau video itu Uci yang pegang.” Ungkap Uci.

“Oke … Berarti kamu memang yang merekam video itu?” Tanyaku.

“Ya.” Jawab Uci.

“Tapi kamu gak mengirim video rekamanmu itu ke Cianjur?” Tanyaku lagi.

“Ya.” Jawab Uci lagi sambil menganggukan kepala.

“Jadi … Ada orang lain yang mengirim video itu. Apakah ponselmu itu pernah dipegang atau dibuka orang lain?” Tanyaku seperti sudah menjadi seorang detektif.

Uci membulatkan lagi matanya dan memekik pelan, “Ya ampun … Iqbal … Iqbal lah yang pernah membuka-buka ponselku.”

Aku tak bisa lagi berkata-kata. Intuisiku pun mulai menjurus kalau pacar Uci lah sebagai tersangka utama atas kejadian ini. Entah bagaimana caranya, namun yang jelas tidak ada tersangka lain. Kulihat Uci segera menyambar alat komunikasi pipihnya dan berusaha menghubungi seseorang. Sepertinya Uci sedang menghubungi Iqbal. Tampak Uci kesal karena usahanya untuk menghubungi orang itu tidak mendapat respon.

“Sudahlah Uci … Bagaimana pun ini sudah terjadi. Sekarang lebih baik kamu menjauhi tantemu. Om yakin kalau tantemu sangat marah padamu. Sebisa mungkin kamu menghindarinya. Abaikan permintaan tantemu kalau dia ingin bertemu denganmu.” Kataku yang tidak ingin terjadi keributan antara tante dan keponakan.

“Ya om … Maafkan Uci om …” Ucapnya sangat sedih.

“Gak apa-apa … Ya, sudah. Om mau pamit. Oh ya, sekarang om tidak tinggal lagi di rumah. Om akan tinggal di hotel untuk sementara sebelum ngontrak rumah.” Kataku sembari berdiri.

“Ya, om … Maafin Uci ya om …” Uci terus meminta maaf padaku.

“Ya … Tenangkan saja dirimu.” Kataku lalu keluar dari kamar kosnya.

Aku pun melajukan mobilku perlahan, menuju restoran Dewi yang lumayan dekat dari posisiku sekarang. Kalau dipikir-pikir, memang ada baiknya juga video itu tersebar agar orang-orang tahu kalau Wida adalah seorang jalang. Ya, itung-itung karma dari apa yang telah ia perbuat. Aku pun jadi tertawa sendiri. Entah kenapa ada kepuasan tersendiri atas kejadian ini.

Tak terasa aku sudah sampai di tempat Dewi. Setelah memarkirkan mobil, aku berjalan menuju kamar Dewi di lantai dua melalui jalan samping restoran, karena restorannya sudah tutup. Kulihat jam di lengan yang menunjukkan pukul 22.15 malam. Restoran Dewi tutup jam 22.00. Aku pun mengetik pintu sesaat sampai di kamarnya, dan pintu pun terbuka. Aku hanya menghela napas saat melihat mata Dewi sembab oleh air mata. Aku langsung tahu kalau Dewi menangis disebabkan oleh masalahku dengan Wida.

“Istrimu marah-marah padaku. Istrimu sudah tahu hubungan kita.” Ujar Dewi sendu sambil memberiku jalan untuk masuk ke kamarnya.

“Biarkan saja … Gak usah dipikirkan. Aku juga sudah menceraikannya.” Kataku berusaha menenangkan dirinya.

“Istrimu bilang kalau kamu masih menjadi suaminya. Dia menolak perceraian dan akan melawanmu di pengadilan.” Ungkap Dewi lalu terdengar pintu dikunci.

“Aku tidak peduli. Jika dia mau ke pengadilan, akan aku layani. Pokoknya aku sudah tidak mengakuinya lagi sebagai istriku.” Kataku sembari duduk di sofa yang ada di ujung kanan kamar Dewi. Aku melihat gelas besar berisi teh hangat. Tanpa berpikir lagi, aku sambar gelas itu dan meneguk isinya.

“Aku merasa tidak enak sama Wida.” Ucap Dewi yang kini duduk di sebelahku.

“Hilangkan perasaan itu. Wida bukan lagi Wida yang kamu kenal dulu. Sekarang dia sudah mempunyai teman-teman yang lebih dia cintai daripadamu. Sekarang kamu punya aku. Aku akan menjadi teman yang paling spesial untukmu.” Kataku.

Cepat kuraih pundaknya, kulihat Dewi tersenyum dan bersandar di bahuku. Kami pun berbincang-bincang saling menguatkan, sebelum akhirnya kami naik ke tempat tidur. Kami berciuman penuh gairah. Belitan lidah kami saling tak mau kalah, sesekali dengan hisapan-hisapan. Saling menjamah antar bibir, mulai dari bagian atas hingga bawah. Menghasilkan desahan-desahan kecil yang terus membuat kami berdua kian membara akan gairah.

Aku menengadahkan kepala dan menatap wajahnya. Kepala Dewi mendongak dan sehingga lehernya terpampang, gaun tidur nya telah terbuka hingga menampakkan kedua bahu dan buah dada putih mulusnya. Napas Dewi terengah-engah. Dadanya naik-turun dengan cepat. Aku dapat merasakan jantungnya dan jantungku sendiri, berdebar cepat bagai makhluk kecil liar yang terperangkap dalam dekapanku. Bibir Dewi merekah sedikit, basah dan mengkilap. Matanya terpejam, menggodaku untuk meneruskan apa yang sedang kulakukan tadi. Bibirku kembali menciumi bibir wanita cantik itu, lebih panas, lebih mesra sambil membelai buah dadanya. Akhirnya tak sabaran lagi dengan pakaianku sendiri, aku menarik kausku melewati kepalaku. Kedua tangan Dewi membantuku melepaskan celana panjangku, bersamaan dengan tanganku menarik lepas gaun tidurnya.

Tubuh Dewi refleks melengkungkan punggungnya. Menginginkan ciuman dan belaian jari-jariku di kedua nipple-nya. Aku mengabulkan keinginannya dengan sedikit menggigit puting susunya. ”Sayanghh... Aaahhh…!” Dewi kembali mengerang.

Sensasinya semakin lama semakin menggetarkan. Aku ingin menikmatinya perlahan-lahan, namun kenikmatan belaian tangan Dewi di kejantananku terlalu dahsyat dan luar biasa, hingga aku tidak bisa konsentrasi sepenuhnya. Seluruh pembuluh darahku mengembang oleh gairah. Dan kurasa Dewi pun tenggelam dalam kenikmatan.

“Pelan-pelan ya sayang...” Dewi memiringkan kepalanya ke arahku ketika aku membalikkan tubuhnya membelakangiku. Ketegangan di wajahnya membuatku tertawa dalam hati. Kusentuh pipinya dan mencium bibirnya lembut dan lama. Perlahan-lahan menciumi leher dan tengkuknya, jemariku terus mengusap lembut kewanitaan Dewi yang sudah basah. Aku berusaha merelakskan tubuhnya yang tegang. Hingga sensasi hangat mulai terasa di sekujur tubuh Dewi.

Satu tanganku berpindah meluncur melewati bokong Dewi, menuruni bagian belakang pahanya dan jari tengahku berhenti di lipatan vaginanya. Erangan dan suara mendesah Dewi yang terputus-putus kembali memanaskan hasratku untuk melanjutkan kenikmatan ini menjadi semakin menggairahkan. Tangan kananku mengangkat kaki kanan Dewi menopangnya, perlahan-lahan memajukan kejantananku diantara lipatan vaginanya. Perlahan, sangat perlahan-lahan, aku tidak ingin Dewi merasa kesakitan karena kejantananku yang besar.

“Aaaahhh …..” Dewi pun merintih tatkala kejantananku mulai memasuki rongga kenikmatannya.

Rintihan Dewi membuat gairahku makin berkobar, memaju-mundurkan pinggulku lebih kencang lagi. Menit demi menit rintihan Dewi telah berganti dengan desahan-desahan pelan. Sesekali menyebutkan namaku dalam erangannya. Tangan Dewi bergerak kian kemari, mencari-cari leher dan mencengkram kepalaku yang berada di belakangnya agar mendekat dan lebih dekat lagi hingga bibirnya membuka untuk menerima ciumanku. Aku tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. Desahan dan erangan Dewi adalah suara paling seksi yang selalu kusuka. Gairahku berkobar-kobar mengambil-alih menggerakkan tubuhku dengan tempo yang semakin cepat. Tangan dan kejantananku bekerja dengan keras mencari kenikmatan. Hingga akhirnya kami pun meraih apa yang kami cari.

“Arghhh…” Kenikmatan puncak kami bagai luapan air bah. Menggetarkan jiwa. Rasa nikmat seperti tak berkesudahan.

Kami pun berbaring di kasur, dan saling berpelukan. Tidak banyak yang kami bicarakan karena Dewi kelelahan dan tertidur. Sementara aku masih saja terjaga. Tiba-tiba smartphoneku berdering sangat nyaring sampai membangunkan Dewi. Aku ambil alat komunikasiku itu. Aku mengerutkan keningku. Menatap tulisan yang ada di atas layar smartphoneku. Wida mengirim pesan whatsapp padaku.

“Siapa?” Tanya Dewi yang terbangun oleh suara dering smartphone.

“Wida …” Jawabku sambil menatap wajah Dewi.

“Buka saja.” Kata Dewi.

Aku pun menurut perkataan Dewi. Lalu kubuka pesan whatsapp dari Wida. Aku langsung terhenyak kaget membaca pesan yang dikirim Wida, “Pa, anakmu demam dan memanggil-manggilmu. Pulanglah dulu. Anakmu membutuhkan papanya. Segeralah pulang! Kasihanilah anakmu.” Tanpa berpikir panjang, aku segera saja mandi dan berpakaian. Bagiku, anak adalah harta paling berharga. Bagaimana pun, anak adalah amanah yang harus dijaga. Anak-anak adalah segala-galanya bagiku, maka aku harus menemuinya.

Aku pun pamit pada Dewi dan secepatnya berjalan ke mobilku di area parkir. Buru-buru kuhidupkan mesin mobil dan keluar dari area parkiran ini. Aku injak gas dalam-dalam, mobil pun melaju ke rumahku. Aku sangat khawatir dengan anakku. Memang, jika anakku sakit selalu menanyakan keberadaan papanya. Keadaan jalanan di tengah malam yang lengang seperti ini membuatku bisa memacu kendaraanku sangat cepat, dan hanya 20 menit dari keberangkatan, aku sudah sampai di tujuan. Akhirnya aku parkir di depan pintu garasi yang tertutup dan terkunci.

Aku turun dari mobil dan langsung menuju pintu rumah. Sebelum sempat mengetuk, pintu terbuka dan Wida dengan tanpa ekspresi dan tanpa bicara mempersilahkan aku masuk. Baru dua langkah masuk ke dalam rumah, sudut mataku menangkap sesuatu yang meluncur ke arahku. Aku refleks bergerak dan mencoba menghindar. Tapi, kecepatan benda yang meluncur itu melebihi kecepatanku bergerak. Akhirnya sebuah suntikan menancap di bahuku. Tanganku bergerak cepat mencabut suntikan itu dan melemparnya ke sembarang arah. Kini aku sadar jika aku sedang diperdaya. Masalahnya, aku melihat beberapa orang keluar dari persembunyian mereka.

“Kau menjebakku!” Teriakku pada Wida sambil menarik tubuh wanita jalang itu.

Maksud hati ingin menjadikan tubuhnya sebagai tameng, namun tiba-tiba mataku berkunang-kunang. Ya, aku bisa melihatnya walau pandanganku mengabur. Aku dapat melihat Wida tersenyum licik. Ia tersenyum puas seperti senyuman iblis betina. Tak lama, kepalaku terasa sakit yang begitu hebat. Pandanganku bukan lagi buram melainkan gelap. Akhirnya aku terjatuh lemas dan tak sadarkan diri. Inilah pertama kalinya dalam sejarah hidupku, aku pingsan dan tak berdaya.

Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Namun secara perlahan kesadaranku terkumpul. Aku mencoba membuka mataku dan melihat di sekelilingku. Tak perlu waktu lama untuk mengenali ruangan ini. Ya, aku berada di kamarku, mungkin kini lebih tepatnya adalah kamar mantan istriku. Kemudian aku melihat diriku yang terikat di sofa dengan tangan dan kaki diikat oleh tambang plastik hingga aku benar-benar tidak bisa bergerak. Aku coba melepaskan ikatan tambang yang meliliti tubuhku, namun sia-sia sampai aku kelelahan. Aku mulai kehilangan harapan bahwa lilitan tambang ini dapat melonggar.

“Hai! Papa sudah sadar rupanya!” Pekik suara yang sangat aku kenal.

Aku pun menoleh ke arah wanita jalang itu. Dan ya, dia benar-benar jalang karena pakaian yang ia kenakan saat ini adalah dress transparan di atas lutut yang tidak bisa menyembunyikan tubuhnya. Apalagi Wida tidak mengenakan apa-apa lagi di balik dress transparan itu, sehingga areola dan puting susunya yang hitam nampak jelas di balik gaunnya, juga rambut kemaluannya di area pangkal paha sangat terekspos.

“Lepaskan aku!” Kataku.

“Lepaskan? Oh tentu tidak sebelum papa melihat kehebatan dunia baru mama. Mama ingin sekali memperkenalkan papa dunia mama ini. Pasti papa menyukainya.” Ujarnya sembari berjalan genit di depanku dengan tangannya mengusap dan menyusuri wajahku.

“Aku tidak sudi! Lepaskan aku!” Kini aku berteriak.

“Hei … Sudah bangun ya …” Tiba-tiba terdengar suara wanita lain dari arah pintu. Aku yakin wanita itu teman Wida. Tapi dia memakai pakaian lengkap tidak seperti Wida.

“Pa … Ini temanku.” Ucap genit Wida yang sangat menjijikan.

Tiba-tiba si wanita yang baru masuk itu menyuntikan sesuatu di lengan bahuku. Entah zat apa yang ia masukan ke dalam tubuhku. Namun yang jelas tubuhku langsung menghangat dan rasanya begitu nyaman di tubuh. Si wanita pun tersenyum padaku sebelum akhirnya pun membelai wajahku.

“Tentu kamu penasaran dengan suntikanku ini. Aku akan kasih tahu. Barusan yang aku masukan ke dalam tubuhmu adalah afrodisiak yang sudah dimodifikasi. Oh ya, mungkin kamu tidak tahu afrodisiak itu apa. Afrodisiak adalah zat perangsang seksual. Kamu akan memerlukannya saat nanti kamu menyaksikan live istrimu yang cantik ini. Dan sekarang nikmati saja.” Ujarnya yang sukses membuatku terkejut. Sungguh, aku terkejut mendengar kata ‘live’. Tiba-tiba tubuhku merinding begitu hebatnya. Kira-kira aku sudah tahu kemana arah pembicaraannya.

“Pa … Apakah papa sudah siap?” Ujar Wida sangat memuakan.

“Kau benar-benar iblis … Kau adalah iblis berbentuk manusia!” Geramku sambil berusaha melepaskan diri dari ikatan tambang yang membelengguku.

“Oh, begitu ya … Kalau begitu, saksikanlah pertunjukan mama.” Katanya sembari berjalan di tempat tidur lalu naik ke atasnya.

Sial! Aku tak bisa berkutik, tak bisa menjauh dari tempat tidur yang jaraknya hanya dua meter. Sekali lagi, aku meronta-ronta ingin sekali mendapat keajaiban tambang ini melonggar dan terlepas. Saat aku meronta-ronta, masuklah dua pemuda yang aku perkirakan berusia 20 tahunan. Mereka telanjang bulat dan mereka pun naik ke atas tempat tidur di mana Wida sudah berpose mengangkang hingga vaginanya tampak jelas oleh mataku.

“Nikmati ya pa … Jangan memejamkan mata ya ... Hi hi hi …” Wida terkekeh senang, tapi aku menjadi mual mendengarnya.

“Kau benar-benar terkutuk, jalang!” Teriakku penuh amarah.

Kulihat kedua pemuda itu mulai merabai payudara Wida yang besar dan kencang. Aku langsung membuang muka dan menutup mata. Ini sudah penghinaan yang sulit untuk diterima. Terdengar cekikikan dari mereka bertiga. Aku merasa mereka sedang menertawakanku. Aku terus menutup mata. Tak sudi melihat perbuatan biadab mereka. Namun semakin lama tubuhku semakin panas, terutama di bagian perutku. Jantungku tiba-tiba berakselerasi lebih cepat, wajahku menghangat, dan aliran darah yang berdesir.

“Pa … Lihat pa … Oh, enak sekali pa … Memek mama dijilati seperti ini … Aaahh … Papa gak pernah kan jilatin memek mamah …” Suara Wida begitu menggugah.

Aku berusaha untuk bertahan dengan keadaanku, tak sedikit pun mataku terbuka. Tapi lagi-lagi tubuhku bereaksi lain. Rasa gairahku semakin menggebu-gebu, ketegangan ototku semakin meningkat. Apalagi saat mendengar desahan dan erangan jalang itu yang kian intens. Aku coba sekuat tenaga mencegah diriku terangsang. Tapi sayangnya semakin kuat aku menahannya, ternyata juniorku yang berada di bawah sana terbangun juga. Rangsangan itu terlalu kuat untuk aku tahan.

“Ah … Pa … Mama mau keluaarrr ….” Wida memekik pelan. Suaranya sangat mengganggu konsentrasiku.

Benar-benar aku sangat tersiksa. Di satu sisi aku tak sudi melihat perbuatan hina itu, tapi di sisi lain serangan dari dalam tubuhku begitu menggelora. Dia menerjangku bertubi-tubi tanpa henti, hingga aku kewalahan sendiri. Aku coba mengatur napasku untuk meredakan rangsangan dalam tubuhku, namun itu tidak membawa hasil, tetap saja tubuhku semakin dimakan oleh hasrat seksual yang begitu besar.

“Aaakkhh!!!” Aku berteriak dengan harapan siksaanku berhenti.

“Ada apa pa … Buka mata papa … Lihatlah memek mama basah …” Ucap Wida semakin menyengsarakanku.

Penyiksaan ini begitu berat aku alami. Semakin lama rangsangan di dalam tubuhku meluluhlantakkan pertahananku selaksa tertimpa segunung batu yang runtuh di atas kepalaku. Aku mulai meronta-ronta lagi, dan kali ini mataku terbuka. Betapa aku tersiksa oleh perihnya rasa, sedih, kecewa dan putus asa saat melihat Wida, ibu dari anak-anakku, digenjot oleh dua orang pemuda dari arah depan dan belakang. Wida tersenyum sambil menatapku genit, sesekali mendesah-desah saat penis di mulutnya ia lepas. Kerlingan genit penuh kenikmatan ia tunjukkan padaku, betapa dia sangat menikmatinya.

“Aaahh… Aaahh… Aaahh… Enak sekali pa … Oh, mama mau keluar laggiii…” Wida memekik dan tiba-tiba tubuhnya mengejang. Sementara pemuda yang menggenjotnya dari belakang semakin mempercepat sodokannya.

“Biadab … Lepaskan aku!” Teriakku kembali sambil menutup mata.

Rasa jijik yang membuatku mual bercampur dengan rangsangan seksual yang luar biasa membuat aku kehilangan akal. Tali yang mengikatku sangat kuat, sofa yang aku duduki sangat berat, tenagaku tidak cukup kuat untuk melepaskan diri. Aku terus meronta sampai tubuhku lemas, dan akhirnya aku pasrah. Kuletakkan belakang kepalaku ke sandaran sofa hingga menengadah. Sementara itu suara Wida semakin mengelitik hasrat seksualku. Aku merasakan kejantananku sangat keras dan tergencet celana yang aku pakai, hingga terasa sakit di bagian alat vitalku itu. Segala usaha telah aku lakukan, dan kini aku hanya bisa menunggu ‘binatang-binatang’ itu selesai.

Wida dan kedua pemuda itu semakin menggila. Ucapan-ucapan kotor bercampur erangan mereka membahana di kamar ini. Suara beradunya alat kelamin mereka pun terdengar jelas oleh telingaku. Hatiku menjerit agar siksaan ini segera berkahir. Mungkin permintaanku dikabulkan-Nya. Akhirnya tiga binatang itu mencapai klimaks juga, terutama kedua pemuda yang menggagahi Wida. Terdengar tawa renyah dari mereka.

“Enak sekali anak-anak … Silahkan istirahat dulu di luar. Malam masih panjang. Kita bisa mengulanginya lagi beberapa kali.” Ucap Wida dengan nada mesumnya.

Kedua pemuda itu pun tertawa lalu keluar kamar. Setelahnya, aku mulai berani menatap tubuh telanjang si jalang itu yang dipenuhi oleh sperma-sperma pejantannya. Aku terkesiap saat Wida mendekati padaku. Dia tetap tersenyum dan menatapku penuh kepuasan. Saat Wida berada di depanku, jari telunjuknya mengoles bagian kewanitaannya yang basah oleh cairannya sendiri dan yang pasti oleh sperma. Jari telunjuknya yang basah itu kemudian ia oleskan ke hidungku.

“Bajingan!” Aku memakinya dan perutku langsung terasa mual.

“Pa … Besok mama mau copot alat kontrasepsi mama. Mama mau hamil lagi ya pa … Tapi, bukan dari papa. Mama mau hamil dari benih pria-pria mama, entah punya siapa benih yang akan ada di perut mama. Tapi nanti itu adalah anak papa juga karena lahir di perkawinan kita.” Katanya yang sontak membuatku terbeliak.

“Dasar pelacur! Aku tak sudi menganggapmu istriku lagi!” Makiku namun tetap saja aku tak berdaya.

“Hi hi hi … Papa sayang … Percayalah! Suatu saat nanti papa akan ikut dengan mama.” Tangan Wida membelai wajahku. Aku ingin sekali menghajarnya, tapi aku hanya bisa menahan geram dan menahan konak.

“Bagaimana, Wid?” Tiba-tiba wanita yang tadi masuk kembali ke dalam kamar.

“Belum, Lusi … Kasian anak-anak ingin minum dan merokok dulu.” Jawab si jalang biadab itu.

“Hhhmm … Suamimu kelihatan kepayahan juga ya. Mukanya pucat banget.” Ujar si wanita yang dipanggil oleh Wida dengan sebutan Lusi.

“Lusi … Apakah kamu membawa surat perjanjianku?” Tanya Wida pada temannya.

“Ini …” Wanita yang bernama Lusi itu memberikan selembar kertas ukuran folio pada Wida.

“Pa … Ini surat pernyataan atau surat hibah penyerahan rumah dan toko-toko papa kepada mama. Tanda tangani ya pa, setelah papa menandatangani surat ini, kita akan membesarkan anak-anak kita yang seperti mama bilang tadi. Ya, mama ingin hamil lagi dari sperma-sperma kekasih mama, dan papa yang akan mengurus mereka.” Ucap Wida yang seakan aku mendengar petir di siang bolong.

“Dasar iblis betina! Apa yang sedang kau perbuat hah! Itu adalah harta bawaanku, kau tak berhak sejengkal pun atas toko-tokoku!” Teriakku sekeras-kerasnya saking marahnya.

“Benar kan kataku, Wid … Mana mau dia menyerahkan begitu saja. Emang harus kita paksa.” Kata Lusi.

“Pa … Jangan bertingkah bodoh. Tanda-tangani saja surat hibah ini, supaya papa terhindar dari siksaan Lusi. Begitu kan Lusi?” Ucap Wida begitu entengnya.

“Dengarkan ya Bapak Denta … Aku akan terus menyuntikan zat perangsang seksual padamu jika tidak mau menandatangani surat pernyataan hibah itu. Tadi kau sudah merasakannya bagaimana khasiat zat ku itu, bukan? Tetapi percayalah itu baru awal, yang kedua kontolmu akan diselubungi dengan benda ini. Benda ini akan membatasi ereksimu. Tetapi tenang, benda ini tidak akan membuatmu mati, hanya membuatmu menderita karena sakit dan impoten saja.” Jelas Lusi sembari memperlihatkan semacam selubung atau pipa yang terbuat dari karet sintesis dengan ukuran lobang pipa yang lumayan kecil. Aku bisa memastikan bila penisku dalam keadaan ereksi seperti sekarang ini, lobang itu tidak akan muat menampung ereksiku.

Amarahku sudah memuncak dan tambah muak dengan keberadaan kedua wanita ini, “Aku lebih baik impoten daripada harus menyerahkan rumah dan toko-tokoku. Lakukanlah sesukamu. Aku sudah siap!”

“Baiklah! Kamu akan merasakan bagaimana sakitnya kontolmu terjepit oleh karet sintesis ini saat kamu terangsang. Tapi tidak sekarang karena kontolmu masih tegang. Aku yakin, kamu akan menyerah juga.” Ancam Lusi.

“Hi hi hi … Aku sudah tidak sabar melihat suamiku menjerit minta tolong karena kontolnya tidak bisa mengambang di dalam lobang karet keras ini. Pa, maaf ya mama berbuat begini. Ini adalah bayaran yang pantas untuk papa yang sudah menyebarkan video mama. Mama harap papa mengerti dan tidak melawan. Kalau papa mau menandatangi surat ini, papa bisa pergi secara damai dari sini.” Kata Wida dengan seringai iblisnya.

“Aku tidak sudi! Pergilah ke neraka!” Kataku.

“Sudahlah, Wid … Percuma kita bujuk juga. Saatnya nanti dia pasti menandatanganinya. Sekarang kita minum-minum dulu di luar, sambil nunggu kontolnya menciut.” Kata Lusi sembari pergi dari hadapanku.

“Pikirkan baik-baik ya pa … Mumpung ada kesempatan.” Ucap Wida lalu memakai dress transparannya kembali, kemudian keluar dari kamar dan menutup pintunya.

Wida yang pernah aku anggap sebagai malaikat kini berganti menjadi iblis betina yang licik dan tak tahu malu. Dia begitu kejam telah memperlakukanku seburuk ini. Aku ingin sekali menangis, tapi bukan saatnya aku menangis. Aku pun berdoa pada Yang Maha Kuasa dan pada leluhurku, agar aku segera dibebaskan dari sini. Tiba-tiba saja terdengar bunyi dari arah jendela kamar. Bunyinya seperti seseorang yang sedang mencongkel sesuatu. Tak lama berselang, jendela kamar terbuka. Begitu luar biasanya kegembiraanku saat ini, hampir saja aku berteriak menyebut nama keponakanku yang baru saja masuk melalui jendela kamar.

“Uci … Oh terima kasih Tuhan … Terima kasih leluhur …” Kataku pelan memanjatkan syukur yang tak terhingga.

Uci menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya. Dengan cepat keponakanku itu menggunting tambang plastik yang mengikatku di beberapa bagian. Aku cukup khawatir juga karena Uci cukup lama menggunting tambang plastiknya. Sekitar 10 menit kemudian, tambang yang mengikatku terurai dan aku terbebas darinya. Secepatnya aku dan Uci keluar kamar dari jendela. Kami terus mengendap-endap melintasi taman belakang dan akhirnya aku berhasil keluar dari rumahku melewati pintu besi di bagian paling belakang taman. Tampa berlama-lama lagi, aku dan Uci segera pergi menaiki motor matic yang Uci kendarai.

“Bagaimana kamu bisa berada di rumah dan menemukan om di sana?” Tanyaku dengan hati super lega.

“Nanti Uci ceritakan. Sekarang kita harus pergi jauh dari sini.” Ucap Uci sangat masuk akal.

Motor yang kami tumpangi melaju kencang membelah jalanan kota. Untuk beberapa saat, aku tidak tahu Uci akan membawaku ke mana. Namun setelah itu, aku tahu kalau Uci sedang mengarahkan motornya ke Cianjur. Aku tak banyak bicara. Aku biarkan Uci membawaku ke sana. Malam semakin larut, laju motor pun semakin cepat. Jalanan yang kosong memungkinkan Uci mengendarai motornya dengan kecepatan maksimal. Tak ada pembicaraan selama perjalanan, hanya deru suara motor yang mengiringi perjalanan kami.
-----ooo-----​


Wida Pov

Gelak tawa membahana di rumahku, tepatnya di ruang tengah. Sekarang ini, di rumahku ada lima orang anggota Bermuda Community, yaitu Lusi, Abdi, Sam, Mike, dan tentunya aku sendiri. Sam dan Mike adalah anggota Bermuda Community region Bandung yang sengaja dibawa Lusi ke rumahku untuk membantu melaksanakan aksi balas dendamku. Mereka berdua masih terbilang muda. Usia mereka baru 20 tahun. Aku merasa puas dan senang dengan apa yang telah kuperbuat, di samping menikmati bercinta dengan daun muda, aku juga bisa membalas sakit hatiku pada suamiku, Denta.

Kami berlima berbincang-bincang ringan sambil menikmati wine dan rokok. Obrolan kami begitu panjang dan tak terarah. Terkadang terselip juga obrolan tentang Bermuda Community yang akan melebarkan sayapnya hingga keluar Pulau Jawa.

“Lus … Bagaimana kalau Denta tetap gak ingin menandatangani surat ini?” Tanyaku agak pesimis dengan rencana pengambil-alihan rumah dan usaha Denta.

“Dia akan menandatanganinya. Kamu tenang saja. Rasa sakit yang luar biasa bisa meluluhkan kegigihan orang. Pokoknya serahkan saja padaku dan kamu tinggal menikmati hasilnya.” Jawab Lusi penuh keyakinan.

“Tapi aku kasihan kalau dia sampai impoten.” Kataku.

“Kamu ini masih saja memikirkan dia. Buang saja laki-laki tak berguna itu. Kamu kan sudah punya banyak laki-laki yang lebih ganteng dan masih muda.” Lusi mengerling ke arah Sam dan Mike.

“Iya tante … Tante kan sudah punya kami.” Sahut Mike bersemangat.

“Em … Terserah aja deh. Emang sih, kenapa juga aku masih memikirkannya.” Kataku sambil tersenyum.

“Kamu bayangkan saja, jika kamu berhasil mengambil rumah dan toko-tokonya, kamu akan menjadi orang terkaya di wilayah ini.” Kata Abdi.

“Iya … Aku tahu …” Lirihku sambil membayangkan keuntungan yang akan aku peroleh dari usaha-usaha suamiku. Tentu saja sangat menggiurkan.

Saat seru-serunya ngobrol, tiba-tiba smartphone Lusi berdering tanda telepon masuk. Lusi mengernyitkan keningnya hingga kedua alisnya bertemu. Tak lama, Lusi pun menerima telepon dengan menempelkan alat komunikasinya itu ke telinganya.

“Hallo, Roy … Ada apa meneleponku malam-malam begini?” Suara Lusi terdengar tidak senang.

“Iqbal tante … Iqbal di rumah sakit.” Jawab sang penelepon yang disebut Lusi dengan nama Roy. Aku bisa mendengar percakapan mereka karena Lusi mengaktifkan speaker di smartphonenya.

“Apa?! Di rumah sakit?! Kenapa bisa?!” Lusi bangkit dari duduknya dan bersuara dengan nada terkejut.

“Iqbal disiksa wanita yang tante suruh dekati. Iqbal disiksa Uci sampai tak sadarkan diri. Sekarang dia di Rumah Sakit Advent.” Ungkap Roy yang sukses membuatku terperanjat.

“Uci ya …” Gumam Lusi sambil geleng-geleng kepala. “Terus, bagaimana keadaannya?” Tanya Lusi kemudian.

“Iqbal koma tante …” Jawab Roy.

“Kurang ajar!” Baru kali ini aku melihat mimik geram Lusi. Aku merasa kemarahan luar biasa dari sahabatku itu.

“Tante datanglah ke rumah sakit, karena tidak ada yang bertanggung jawab untuk administrasi perawatan Iqbal.” Ujar Roy di sana.

“Baiklah … Tunggu tante di sana.” Kata Lusi lalu memutuskan sambungan teleponnya.

Tiba-tiba Abdi berteriak dari depan kamar tidurku, “Denta kabur!”

“Apa?!” Giliranku berteriak saking terkejutnya.

“AH! INI PASTI PERBUATAN ANAK SIALAN ITU!” Lusi benar-benar murka. Tampak dari tubuhnya yang gemetaran dan kepalan tangannya.

“Oh …” Aku terduduk lemas. Aku mulai merasakan hal-hal yang negatif di dalam hatiku.

“Baiklah! Kalau begitu kita perang.” Ujar Lusi masih dengan amarahnya yang membabi buta.

“Kami menunggu perintah dari tante.” Terdengar suara Mike.

“Cari buruan kita. Tangkap mereka! Kamu tahu kan apa yang harus kamu lakukan.” Kata Lusi dengan mata menatapku tajam.

“Laksanakan tante!” Kedua anak muda itu menjawab serempak lalu berpakaian dan meninggalkan rumahku.

“Aku akan ke rumah sakit Advent. Apa kamu mau ikut?” Tanya Lusi padaku.

“Tidak … Aku di sini saja bersama Abdi.” Jawabku.

“Baiklah … Mobil suamimu menghalangi mobilku. Apakah kamu punya kunci cadangannya?” Tanya Lusi.

“Oh, ada …” Kataku yang langsung berjalan cepat ke kamarku dan mengambil kunci cadangan mobil Denta. Aku berikan kepada Abdi agar memarkirkannya di pinggir jalan depan rumah.

Aku duduk termenung di atas sofa, membiarkan kendaraan-kendaraan meninggalkan rumahku. Tadinya aku optimis dengan rencana Lusi yang tersusun dan tertata rapi. Tetapi dengan adanya kejadian ini, rasa optimisku menurun drastis. Aku malah berprasangka kalau Denta akan kembali padaku dengan membawa bencana. Entah kenapa, sekarang aku melihat Denta seperti malaikat maut yang tidak punya rasa takut. Sangat jauh berbeda dengan Denta yang kukenal sebelum masalahku ini muncul ke permukaan.

Ah, kenapa juga aku harus merasa takut. Toh, di belakangku banyak teman-teman yang pasti mendukungku. Paling sempurna adalah aku mempunyai Robby yang pastinya sangat bisa mengatasi masalah sepele seperti ini. Aku mulai bisa tersenyum lagi. Aku mendapatkan kekuatan dan aku memberitahu hatiku, “Tidak apa-apa! Semuanya pasti terkendali.”

Bersambung
 
Terakhir diubah:
Bermuda Community boleh punya uang dan kekuasaan, tapi ga ada yg bisa mengalahkan kekuatan leluhur dan keluarga.
Edan juga si Uci, bisa bikin koma orang hehehe.
Makin penasaran sama lanjutannya nih. Btw sorry ya om TS, sementara adegan SS nya ane skip dulu hehehehe
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd