Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RAHASIA SEBUAH HATI (NO SARA)

Bimabet
Asik nih udah ada actionnya, abis celup-celupan lanjut adu jotos hahaha
 
Terimakasih atas updatenya Om Suhu Ekdanta......
Kami tetap selalu menunggu kelanjutan ceritanya, kapan Om Suhu ada waktu utk merenung, menghayal dan menuangkan dalam sebuah cerita yang indah.....
 
Terakhir diubah:
BAGIAN 12

Denta Pov

Jeruji besi tua nan dimakan karat telah menjadi pembatasku dengan dunia luar. Bangku reyot beralaskan kasur lapuk, tempat dimana aku duduk bersila dan merenung tentang kehidupanku yang terhempas. Lampu 5 watt pada ruangan pengap dan bau hanya sebagai penerangan seadanya, dan lampu itu telah membantu mengasah ingatanku, menikah dan memiliki anak, hingga berubah menjadi mimpi buruk karena pengkhianatan istriku. Dari balik jeruji ini, aku berusaha menenangkan diri.

Baru saja satu jam berada dalam sel tahanan, rasanya seperti sudah bertahan-tahun. Penjara memang tempat yang sangat mengerikan bagi para penghuninya. Mata dan pikiranku pun terus terjaga, merenungi nasib yang kian tak pasti. Aku bingung, aku seperti berada di persimpangan jalan yang semu, yang aku sendiri tak mengerti mengapa aku bisa berada di sini. Sungguh tidak ada kejelasan dari kehidupanku. Seperti terombang-ambing dalam lautan dunia yang begitu menyedihkan.

Tiba-tiba pintu penjara terbuka. Seorang polisi berpakaian kedinasan masuk ke dalam sel tahananku. Aku langsung terperangah dan langsung turun dari bangku reyot. Aku langsung berkata dengan nada lega dan senang, “Ah syukurlah … Kamu datang.”

“Sekarang keluarlah! Dan jangan membuat keonaran lagi!” Suara polisi berbadan tinggi besar begitu galak dan kecewa.

“Baik kang. Terima kasih sudah mengeluarkan aku dari sini.” Kataku sembari menerima dompet, kunci mobil dan smartphoneku dari tangannya yang sempat ‘disita’ polisi.

Dia tidak menjawab dan berjalan keluar dari sel tahanan. Aku berjalan di belakangnya tanpa berkata-kata. Polisi di depanku ini adalah Kapolsek tempat aku ditahan. Dia adalah kakak sepupuku, anak dari kakak ayahku. Suherman namanya. Sebeluma aku ditahan, aku sempat menelepon kakak sepupuku ini. Ya, sekarang aku sudah dibebaskan atas kuasa dan kewenangannya. Secepatnya aku meninggalkan Polsek dan kembali ke cafe di mana aku menghajar Andrew menggunakan ojeg pangkalan.

Hanya 15 menit berselang, aku sampai di cafe dan membawa mobilku pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, aku mandi dan mengganti pakaian, lalu tidur. Walaupun tidur di tempat yang nyaman, namun aku tidak merasa nyenyak. Rupanya pikiran yang kacau ini sampai membuatku tidak bisa tidur dengan nyaman. Aku sering terbangun di tengah malam kemudian melamun dan tidur lagi.

Aku bangun dari tidurku, kucari smartphoneku dengan mata masih terpejam. Kubuka mataku sedikit, dan yang benar saja sudah pukul 08.45 pagi. Aku segera bangkit dari tempat tidur, mengambil handuk dan ke kamar mandi. Selesai mandi dan berpakaian, secepatnya aku memburu garasi. Saat membuka pintu garasi, aku melihat sebuah taksi berhenti di depan rumahku. Sontak, mataku terbelalak mengarah pada wanita yang baru saja keluar dari taksi. Wida nampak layu sambil melangkah mendekatiku. Dia menatapku dengan mata sembab. Aku tetap berdiri di tempatku, seolah-olah terpaku oleh sesuatu yang mengerikan.

“Pa … Bisakah kita bicara dulu di dalam?” Pintanya saat sudah berhadapan denganku.

Aku jawab dengan anggukan kemudian berjalan ke pintu mobilku. Dari dalam mobil aku ambil amplop besar berwarna coklat pemberian Jessica. Setalahnya, aku masuk ke dalam rumah melalui pintu garasi. Ya, aku akan sudahi semuanya, jadi dia bisa bebas melakukan apa pun tanpa merasa terganggu olehku. Tak seberapa lama, aku sampai di ruang tengah hampir bebarengan dengan Wida. Dan kami berdua pun duduk di sofa tunggal berhadap-hadapan yang dipisah oleh meja kaca.

Sekali lagi Wida menatapku beberapa saat dengan mata sembabnya, sebelum akhirnya berkata, “Pa … Mama yakin papa sudah tahu semuanya. Apa yang mama perbuat di belakang papa. Untuk itu mama minta maaf. Sebenarnya mama tidak ingin ini terjadi, tapi akhirnya terjadi juga. Mama berusaha menutup-nutupinya, tapi akhirnya papa tahu juga. Mama tidak bermaksud menyakiti hati papa, makanya mama bermain di belakang papa. Mama berharap papa mau memaafkan mama.”

Sambil berusaha meredam kemarahanku, aku pun bertanya, “Kenapa kamu melakukan ini semua?” Aku tidak ingin lagi memanggilnya dengan sebutan ‘mama’, karena dia sudah tidak layak menyandang gelar kehormatan itu.

“Karena mama menyukainya. Mama menyukai kehidupan kedua mama itu. Dan yang harus papa pahami juga mama menempatkan kehidupan keluarga kita adalah kehidupan pertama mama. Mama akan selalu mempertahankan kehidupan kita, walaupun mama mempunyai kehidupan kedua. Mama menginginkan keduanya berjalan beriringan bersama-sama.” Jelasku yang sukses membuat ulu hatiku seakan berpindah ke kerongongan.

Hatiku geram bukan main, namun aku masih bisa menahannya. Aku pun berkata, “Aku tidak mengerti kehidupan pertama dan keduamu. Yang aku pahami adalah kamu sudah merusak rumah tangga kita. Kamu telah menghancurkannya dengan begitu kejam. Perlu kamu ketahui juga, rasa cinta dan kasih sayangku padamu sudah hancur lebur oleh pengkhianatanmu. Kamu yang telah melenyapkan kepercayaanku. Semuanya tinggal puing-puing keruntuhan dan tidak ada yang bisa diperbaiki lagi.” Aku menjeda perkataanku sambil melihat mimiknya yang sangat ketakutan itu. “Aku ingin bercerai.” Kataku yang langsung disambarnya.

“Tidak! Jangan katakan itu lagi! Mama tidak ingin bercerai!” Wida berteriak setengah histeris.

Sebenarnya aku cukup terkejut dengan penolakan Wida, tetapi kemarahanku lah yang lebih mendominasi, “Apa lagi yang kamu perjuangkan? Semuanya sudah tidak dipertahankan. Aku sudah tidak lagi mencintaimu, bahkan aku jijik melihatmu. Dipertahankan rasanya akan sia-sia. Semuanya akan terasa hambat dan penuh kepura-puraan.”

“Tidak pa … Kita bisa memperbaikinya bersama-sama.” Wida terus menolak keinginanku untuk bercerai.

“Memperbaikinya? Tidak ada cara untuk memperbaikinya, Wida!” Kataku tegas.

“Bisa pa … Bisa … Papa bergabunglah dengan mama di kehidupan kedua mama. Mama yakin papa akan menyukainya.” Katanya bersungguh-sungguh.

“Sudah aku katakan, aku tidak mengerti maksud kehidupan keduamu.” Ujarku keras.

“Kehidupan penuh kesenangan dan kebahagiaan. Kebebasan dan seks. Ikutlah dengan mama.” Katanya.

“Hah! Kehidupan seperti ini maksudmu?” Kataku sambil melempar amplop besar ke atas meja yang sedari tadi ada di tanganku. Wida pun mengambil amplop tersebut. Seketika matanya melebar setelah melihat isi dari amplop tersebut. Tak lama, terdengar isak tangisnya. Aku pun melanjutkan perkataanku, “Seandainya kamu bilang sebelum terjadi, mungkin aku akan mempertimbangkannya. Tapi kamu telah membohongi dan membodohiku dengan bersembunyi dariku. Itu yang tidak bisa aku maafkan. Aku anggap kamu telah berkhianat dan menyakiti sanubariku. Untuk itulah aku berniat menceraikanmu.”

“Tidak! Aku tidak ingin bercerai! Aku mencintaimu, pa … Aku ingin tetap kita bersama. Aku melakukan ini tanpa hati, hanya fisikku saja. Hati dan pikiranku masih bersama papa. Aku mohon pa, hentikan niatan papa untuk bercerai.” Wida tetap pada pendiriannya yang jelas aku sangat tidak mengerti.

“Tidak … Detik ini juga, jatuh talakku untukmu. Sejak saat ini kamu bukan lagi istriku, dan aku bukan lagi suamimu.” Kataku sambil bangkit dari duduk dan berlalu begitu saja.

“Tidak! Aku menolaknya! Aku akan tetap menjadi istrimu!” Teriak Wida yang kini benar-benar histeris.

Aku tidak memperdulikannya. Segera saja aku masuk ke dalam mobil dan keluar dari garasi. Saat aku mundur menuju pintu gerbang, aku melihat koper besar kepunyaan Wida sudah berada di teras rumah. Rupa-rupanya sopir taksi meletakkan koper itu di sana. Bunyi ban mobil berdecit menggesek aspal, aku langsung tancap gas untuk segera pergi dari rumah. Aku mengatur nafas yang sudah menghimpitku karena sejak tadi aku menahan luapan amarahku. Laju kendaraanku semakin berkurang seiring dengan redanya kemarahanku.

Sesampainya di toko bangunan, aku menyibukkan diri agar pikiran kusut ini segera terurai. Dikhianati memang sakit. Namun menghindar bukanlah jalan terbaik, melainkan harus melawan meskipun otak akan berperang dengan hati. Sebenarnya, aku ingin hidup seperti pensil, yang lama-lama akan habis tetapi meninggalkan tulisan yang indah dalam kehidupan. Namun jalan kehidupan tidak bisa aku perkirakan. Apa yang sudah aku rencanakan jadi berantakkan. Apa yang diharapkan ternyata pergi begitu saja.

Aneh! Walau aku menyibukan diri dengan pekerjaan, namun hati dan pikiranku tidak bisa tenang. Perasaanku terus berkecamuk, seolah ada pertempuran hebat dalam dadaku yang tiada henti. Akhirnya aku memutuskan untuk menemui Dewi. Kulajukan mobilku membelah jalanan kota sambil merenungkan nasib diri. Sejujurnya aku tidak tahu bagaimana cara terbaik untuk mengatasi hal ini. Hal terbaik yang mungkin bisa aku lakukan adalah bertahan. Bertahan dengan rasa sakitnya. Bertahan terhadap kebingungan yang terjadi. Bertahan dengan berdoa, atau sekedar berdiam diri untuk tidak melakukan hal-hal yang membahayakan diri sendiri. Bertahan dengan membayangkan hal-hal yang masih ingin aku capai.
-----ooo-----​

Wida Pov

Kurasakan seluruh tubuhku menggigil bukan karena kedinginan, tetapi oleh cekaman ketakutan. Tepat pukul 06.00 subuh, Lusi meneleponku dan mengatakan Andrew cedera patah tulang rusuk karena dihajar suamiku, Denta. Ketakutanku berlipat-lipat tatkala Lusi memberitahukan kalau Denta telah mengetahui hubungan gelapku dengan Andrew. Saat itu juga, aku meminta pulang pada Siska setelah menceritakan kegentingan yang sedang aku hadapi. Dengan menggunakan helikopter, aku diantar ke bandara. Untungnya aku mendapat tiket keberangkatan pesawat ke Bandung pukul 07.15 pagi. Aku tiba di Bandung sekitar pukul 07.55 dan langsung menyewa taksi untuk mengantarkanku ke rumah. Saat tiba di rumah, aku melihat suamiku akan pergi. Saat itu aku bersyukur masih bisa menjumpainya di rumah.

Dan sekarang, aku menangis. Aku buang ketakutanku dengan menangis. Ya, aku benar-benar takut kalau aku dan Denta bercerai. Aku tidak ingin bercerai karena aku sangat mencintainya. Aneh memang kedengarannya, aku mencitai suamiku pada saat yang bersamaan aku juga mencintai kehidupan baruku. Cintaku untuk suamiku adalah pikiran, tindakan, dan perasaan setiap saat, sedangkan cintaku pada kehidupanku yang baru hanyalah sebatas fisik dan nafsu belaka.

Alasan lain yang membuatku ingin bertahan dengan suamiku adalah anak-anak. Aku tidak ingin anak-anakku mengalami pengalaman buruk yang pernah aku jalani. Sejak usiaku 7 tahun, kedua orangtuaku berpisah dan aku adalah korban dari perpisahan mereka. Aku hidup dengan orangtua tiri yang tidak pernah menyukaiku dan tidak pernah berbuat baik padaku. Aku seperti hidup di dunia yang asing. Kesedihan, kekecewaan dan kemarahan kupendam sendiri. Saat itu kehidupanku begitu sangat menyedihkan. Perceraian akan meninggalkan beberapa masalah yang mungkin tak pernah terpikirkan. Walau anggapan akan lolos dari satu masalah, tetapi masalah lain akan muncul mengiringi perpisahan itu. Faktor kejiwaan anak, biasanya luput dari pikiran pasangan yang bercerai. Meski sang anak jauh hari telah ‘dipersiapkan’ menghadapi perpisahan kedua orangtuanya, di satu waktu sang anak akan merasakan bahwa ada yang kurang dalam kehidupannya. Dan itulah yang aku alami.

Tidak! Aku tidak akan bercerai. Aku akan mempertahankan keluargaku ini sekuat tenaga. Aku akan mencari jalan, bagaimana caranya aku tetap menjadi istri Denta, sementara Denta menerima kehidupanku yang lain di luar sana. Jika perlu, aku akan ajak Denta ikut menikmati duniaku yang baru. Intinya, aku tidak ingin bercerai dan tidak ingin meninggalkan dunia baruku.

Aku berdiri sambil mengusap air mataku. Aku tarik napas dalam-dalam. Rasa pesimisku mulai muncul, dan berbaur banyak pertanyaan di otakku. Mampukah aku mewujudkan keinginanku itu? Sejenak aku menatap foto-foto diriku yang tidak layak dipertontonkan. Aku pungut satu-satu lalu membakarnya di halaman belakang. Setelah semua foto terbakar, aku pergi ke teras untuk mengambil koper dan membawanya ke kamarku. Aku jatuhkan tubuh di atas kasur dengan smartphone di tangan, kemudian aku menelepon Lusi.

“Hallo …” Sapa Lusi di sana.

“Denta ingin menceraikanku.” Desahku langsung pada inti pembicaraan.

“Kurasa itu lebih baik untukmu, Wid.” Ujar Lusi.

“Tidak, Lus … Sama sekali tidak baik. Aku sangat mencintainya. Aku tidak ingin bercerai dengannya.” Kataku.

“Kalau begitu pertahankanlah.” Ujar Lusi dengan nada sedikit kecewa.

“Dia sudah menjatuhkan talak tiga padaku. Tapi aku menolaknya. Lus … Apakah talaknya itu sah walau aku menolaknya?” Aku tanyakan pertanyaan itu pada Lusi sangat beralasan, karena Lusi adalah sarjana hukum dan dia pernah magang di kantor pengacara.

“Belum sah menurut hukum. Kamu masih berstatus istrinya. Begini penjelasannya. Jika dilihat dari hukum agama, adanya kata ‘cerai’ dan ‘talak’ sudah menjadi lafadz talak yang sharih. Oleh karena itu, keluarnya salah satu dari kedua kata itu dari suami kepada istri, berarti talak satu sudah jatuh. Tetapi kita hidup di negara hukum. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI), talak didefinisikan sebagai ikrar suami yang dilakukan di hadapan Pengadilan Agama dan merupakan salah satu penyebab dari putusnya perkawinan. Jadi intinya begini, talak oleh suami di luar Pengadilan Agama sah hanya berdasarkan hukum agama. Tapi, talak tersebut jadi tidak sah berdasarkan hukum negara Indonesia. Hal ini juga berarti bahwa ikatan perkawinan tersebut belum berakhir atau belum putus berdasarkan hukum.” Jelasnya membuatku terperangah dan senang.

“Jadi aku masih menjadi istrinya?” Tanyaku berbunga-bunga. Semangatku mulai bangkit. Aku ternyata masih bisa bertahan. Aku masih bisa mempertahankan keutuhan keluargaku.

“Ya, kamu masih menjadi istrinya sebelum Pengadilan Agama menyatakan sebaliknya.” Jawab Lusi.

“Oh Tuhan … Syukurlah …” Aku benar-benar merasa lega.

Aku dan Lusi akhirnya ngobrol seputar keadaan Andrew yang masih terbaring di rumah sakit. Aku pun sempat berbicara dengan Andrew yang mengatakan keanehan yang luar biasa karena Denta seperti bukan Denta yang dikenalnya. Denta yang sekarang begitu buas dan menakutkan. Tiba-tiba aku merasakan hal yang sama. Aku merasa Denta yang sekarang bukanlah suamiku. Perangainya jauh berubah. Dulu, Denta tidak pernah memperlihatkan kemarahannya padaku, tetapi tadi dia benar-benar marah karena mungkin masalah yang ia hadapi sangat menyinggung perasaannya. Tak lupa, aku meminta maaf kepada Andrew atas nama suamiku yang membuatnya harus dirawat di rumah sakit.

Tak lama berselang, aku pun menyudahi pembicaraan dengan Andrew dan Lusi yang sedang berada di rumah sakit. Walau pikiranku masih berantakan, tetapi mendengar informasi dari Lusi tadi membuat hatiku mulai tenang, bahkan aku bisa tersenyum. Aku tentu akan berharap ada hal baik yang terjadi dalam hidupku. Tapi aku berusaha tidak menggantungkan harapanku terlalu tinggi. Aku akan meletakkan harapanku di posisi yang rendah terlebih dahulu, kemudian aku melihat kapabiltas yang aku punya. Kalau memang harapanku ini sudah tercapai baru aku mulai menyusun rencana untuk tujuan yang lebih besar. Dengan begitu, aku yakin harapanku untuk mempersatukan kedua kehidupanku akan berjalan dengan baik.

Aku bangkit dari tempat tidur kemudian membereskan pakaian yang ada di dalam koper dan kumasukkan dalam lemari. Saat sedang asik membereskan baju, tiba-tiba smartphoneku berdering. Aku lihat layar smartphone dan tertera nama Abdi di sana. Langsung saja aku terima teleponnya.

“Halo …” Sapaku pada Abdi di seberang sana.

“Kata istriku kamu sudah pulang … Di mana posisimu sekarang?” Tanya Abdi.

“Aku di rumah.” Jawabku.

“Segera temui aku di mall BCD. Aku tunggu di di parkiran selatan. Ada info yang harus kamu ketahui.” Ucap Abdi sangat serius.

“Info apa?” Tanyaku penasaran. Tentu saja aku penasaran karena mall BCD adalah tempat di restoran Dewi berada di sampingnya.

“Cepat temui aku saja. Nanti kamu akan tahu sendiri.” Katanya dan sambungan telepon pun terputus.

Rasa penasaranku memang tidak bisa dibendung lagi. Instingku berkata kalau Abdi memang mempunyai informasi yang akan mengejutkanku. Setelah memastikan penampilanku di depan cermin, segera aku memburu mobilku di garasi. Tak lama, aku sudah meluncur ke lokasi yang diminta Abdi. Untungnya jalanan tidak begitu padat, sehingga dalam setengah jam kurang aku sampai di parkiran selatan mall BCD. Aku langsung bisa melihat Abdi sedang berdiri di samping mobilnya. Kuparkirkan mobilku di samping mobil pria yang sedang menungguku itu.

“Syukurlah kamu datang cepat.” Abdi menyambutku dengan mimik khawatir.

“Ada apa?” Tanyaku saat sudah berada di hadapannya.

“Ayo, ikuti aku!” Ajak Abdi sambil menarik tanganku.

Sambil berpegangan aku mengikuti langkah Abdi yang agak terburu-buru. Ia mengajakku ke bagian belakang mall. Setelah sekitar dua menit berjalan menyusuri koridor, aku sampai di bagian belakang restoran milik Dewi yang berupa taman asri. Kami tiba di sisi taman yang lumayan rindang oleh pepohonan dan Abdi menyuruhku untuk bersembunyi di balik salah satu pohon. Setelah itu, Abdi menunjuk ke suatu arah untuk aku melihatnya.

Seketika itu juga, mataku melotot, tetapi tak sampai copot, melihat pemandangan yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Terlihat dua sejoli sedang bercanda menikmati suasana. Mereka begitu mesra dengan tatapan yang seolah-olah mereka sudah saling memiliki. Dadaku bergetar saat melihat si pria merangkul bahu wanita itu dan si wanita mencium pipi kanan si pria. Tiba-tiba hatiku seperti bergemelatuk dan berdenyut nyeri. Saat itu juga, hatiku terkena panas semburan kebencian dan kemarahan.

“Aku mengetahui suamimu dan sahabatmu itu mempunyai hubungan beberapa hari yang lalu. Sahabatmu itu mungkin lupa dengan wajahku. Sekitar empat hari yang lalu, aku makan di sini dan aku melihat suamimu dan sahabatmu itu begitu mesra. Sejak saat itu aku memata-matai mereka. Di tempat inilah mereka selalu bermesraan. Dan beberapa hari belakangan suamimu selalu menginap di sini.” Jelas Abdi yang menambah amarahku memuncak.

“Aku akan ke sana!” Kataku namun segera dicegah Abdi.

“Tidak perlu! Jangan ganggu mereka sekarang. Biarkan mereka menikmati kemesraan mereka. Dan aku pikir kamu bisa menjadikan momen ini sebagai pembenaran atas apa yang telah kamu lakukan. Bukankah suamimu sudah mengetahui kamu bermain di belakangnya. Nah, ini adalah serangan balasan yang bisa kamu jadikan alasan pembenaran tindakanmu.” Jelas Abdi masuk akal juga.

Aku segera merekam aksi suamiku dengan Dewi menggunakan smartphoneku. Setelah merasa cukup, aku dan Abdi perlahan meninggalkan lokasi. Kami kembali ke area parkir selatan mall. Setelah berbincang-bincang beberapa menit, kami pun meninggalkan parkiran dan kembali ke tempat masing-masing. Walaupun ucapan Abdi ada benarnya, hal ini bisa menjadi alasanku untuk tetap menjaga keutuhan rumah tanggaku, tetapi perasaanku masih belum bisa ‘disembuhkan’ oleh rasa sakitnya. Aku tidak bisa menahannya, perasaanku terluka. Aku masih bisa menerima jika suamiku ‘main’ dengan wanita yang tidak aku kenal. Tetapi kali ini Denta berhubungan dengan Dewi, sahabatku.

Apakah perasaan seperti ini yang Denta rasakan ketika mengetahui aku berhubungan dengan Andrew?” Hatiku berkata-kata.

Berkali-kali aku menarik napas dan mencoba bersikap tenang. Tapi tetap saja aku tak bisa menghilangkan perasaan tidak enak ini. Aku terus menarik napas panjang untuk mengurangi perasaanku yang bercampur-aduk. Lumayan juga, akhirnya gejolak di hatiku sedikit mereda. Ya, aku akan menganggap ini adalah hasil impas dari apa yang telah aku perbuat. Hatiku juga sedang bergemuruh dengan hebatnya, tapi kalau memang dengan ini dia bisa bahagia, maka aku akan mengikhlaskannya.
-----ooo-----​

Skip Time

Hari sudah gelap. Matahari sudah berganti bulan. Bintang-bintang pun mulai bertebaran memancarkan sinar terbaiknya. Sudah satu jam lebih aku terus berdebat dengan suamiku tentang masa depan rumah tangga kami. Satu jam yang lalu, Denta sudah mengemasi pakaiannya dan ingin pergi dari rumah. Tetapi aku menahannya, lalu terjadilah debat yang panjang dan tak berkesudahan. Hati memang panas, ketika dia marah-marah, namun aku berusaha tetap tenang. Aku berpikiran untuk marah juga tetapi tidak bisa diwujudkan dalam tindakan. Seakan-akan ada kekuatan yang menahanku.

“Tidak! Aku tidak sudi lagi bersama-sama satu rumah denganmu!” Teriak Denta cukup memekikan telinga.

“Kenapa? Apakah mama sudah begitu menjijikan di mata papa. Coba papa berkaca dulu, apakah papa sudah layak menilai mama sebagai manusia menjijikan. Bukankah papa juga melakukan hal yang sama dengan mama?” Kataku kini tak kalah kerasnya.

“Aku melakukannya karena kamu. Jika saja kamu tidak melakukan hal yang menjijikan, aku juga tidak akan melakukannya.” Katanya masih dengan luapan emosi. Lagi-lagi aku melihat keanehan pada diri suamiku. Pria yang lemah lembut itu kini berubah menjadi makhluk yang sangat ganas.

“Itu bukan alasan untuk menilai mama menjijikan.” Kataku.

Perdebatan kami semakin panjang. Deretan rincian kerugian dia ucapkan, dari yang masuk akal sampai yang membuatku mual. Kata-kata kasar pun kadang sering keluar darinya. Dengan sabar aku hadapi semuanya. Rasa sakit dalam hati dengan keluarnya kata-kata kasar itu sebenarnya sudah menumpuk di relung hati. Kata ‘jalang’ dan ‘pelacur’ dengan enteng keluar dari mulutnya, tanpa dia saring terlebih dahulu. Rasa cinta yang begitu besar dalam hati mulai tertutup rasa sakit karena perkataan kasar yang Denta lontarkan. Sebesar apapun rasa cinta jika disakiti dengan sikap dan kata-kata kasar ternyata bisa sirna dengan sendirinya.

“Sekarang terserah papa … Kalau papa mau pergi dari rumah ini, mama tidak akan melarangnya. Tapi perlu papa tahu, mama akan melawan upaya perceraian yang papa ajukan. Mama masih ingin mempertahankan rumah tangga ini demi anak-anak saja.” Kataku sejujur-jujurnya.

“Nikmati kehidupan jalangmu!” Maki Denta sambil berlalu dengan menarik koper besarnya.

Aku hanya tersenyum miris, tak ada lagi yang harus aku sedihkan. Jika saja aku tidak memikirkan nasib anak-anakku sudah barang tentu aku menerima perceraiannya dengan senang hati. Aku pikir Denta sudah sangat berubah. Aku sama sekali tidak mengenalnya lagi. Dia tidak ubahnya seperti binatang buas yang haus darah. Sejak detik ini, aku membencinya. Akan aku bisikan kata-kata itu di setiap detik waktuku. Sampai kapan pun juga aku akan selalu membencinya, sangat membencinya! Aku akan selalu membencinya sampai aku mati.

Sambil selonjoran di sofa, aku tersenyum sendiri. Ternyata semua ini ada hikmahnya. Aku akan ambil segi postifnya. Dengan tidak adanya Denta di sisiku, maka aku akan semakin bebas melakukan apa yang aku inginkan. Dari dulu cita-citaku hanya satu, aku ingin jadi orang yang bahagia, dan sekarang aku merasa bahagia. Aku bahagia dengan keberadaanku, aku menikmati kehidupanku layaknya burung yang terbang dengan bebas. Aku tak ingin sebuah keterikatan, aku ingin berpetualang.

Tiba-tiba lamunanku buyar oleh suara smartphone yang tergeletak di atas meja. Buru-buru aku ambil ponsel pintarku lalu melihat identitas yang sedang berusaha menghubungiku. Aku melihat layar dan terbelalak melihat nama yang ada di layar. Aku pikir aku sedang menyaksikan sebuah keajaiban dunia, karena nama yang terlihat di atas layar adalah ayah kandungku. Aku sudah tidak ingat lagi, kapan terakhir kali ayah meneleponku, yang pasti itu sudah sangat lama. Dengan tangan gemetar aku menggeser ke atas ikon berwarna hijau di atas layar.

“Hallo, ayah …” Sapaku.

“Wida … Apakah benar kamu akan bercerai dengan suamimu karena kamu selingkuh?” Tiba-tiba ayah bertanya seperti itu dengan suara bertanya. Aku seperti mendengar petir menyambar. Seperti ada batu besar terhempas di hatiku. Tentu aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu, karena lidahku kelu tetapi telingaku terbuka lebar seperti mataku. “Wida!” Kini ayah berteriak membuat telingaku pengang.

“I..iya … Ayah …” Kataku terbata-bata dan terucap begitu saja tanpa aku sadari.

“Jadi begitu ya … Jadi kamu selingkuh di belakang suamimu … Bagus! Bagus! Bagus! Kau memang seperti ibumu tukang selingkuh. Aku tidak sudi mempunyai anak sepertimu. Sejak saat ini kau bukan lagi anakku! Jangan temui aku lagi! Kau anak durhaka!” Terdengar jelas kemurkaan ayahku.

“Ta..tapi … Ayah …” Aku tak sempat menyelesaikan ucapanku karena tiba-tiba sambungan telepon terputus.

Aku benar-benar shock dengan ucapan ayah barusan, sampai aku tidak bisa berpikir jernih lagi. Pikiranku bercabang kemana-mana. Aku bisa merasakan badanku bergetar hebat. Kepalaku seakan terikat tali tambang dan ditarik dengan keras dari dua sisi sehingga akan memecahkan kepalaku dan mengeluarkan isi-isinya. Kakiku menjadi lemas dan tak kuasa untuk berdiri. Aku pun jatuh berlutut sambil mengeluarkan air mata. Belum juga aku pulih dari shock attack yang aku alami, smartphoneku berdering lagi. Dengan tubuh masih bergetar aku melihat layar ponsel pintarku. Lagi-lagi aku harus terkejut hingga menambah kepanikanku. Kini aku melihat nama ibu kandungku di layar. Awalnya aku enggan menerima telepon ibu, namun aku harus menerimanya.

“Hallo …” Sapaku pada ibu dengan nada sedih.

“Wida … Apa yang telah kamu perbuat? Video mesummu tersebar di sini. Semua orang sekarang menggunjingkanmu. Oh, Wida … Kamu sudah membuat malu keluargamu di sini …” Ujar ibu yang untuk kesekian kalinya aku diterjang shock. Ada video mesum diriku? Video mesum seperti apa? Jangan-jangan video yang ditunjukkan Uci padaku beberapa waktu yang lalu? Entah apa yang kurasakan saat ini, aku tidak bisa menjelaskannya. Rasanya aku ingin pingsan saja. “Wida …!!!” Ibu memanggil.

“Bu … A..aku …” Saking paniknya aku tak bisa berkata-kata.

“Oh Wida … Ini sangat memalukan …” Terdengar sekali kalau ibuku terisak.

Lama tak ada kata-kata, yang aku dengar adalah tangisan ibuku di speaker smartphoneku. Dan tak lama berselang, terdengar suara sambungan telepon terputus. Aku limbung dan hampir tak sadarkan diri, sekuat tenaga aku mencoba untuk tetap terjaga walau kabar ini meruntuhkan seluruh relung jiwaku. Tangis pun tak henti mengalir dari kelopak mata yang rasanya hampir tak mampu terbuka lagi. Kepalaku kini terasa melayang, pandanganku mengabur, dan akhirnya aku jatuh pingsan.

Entah berapa lama aku pingsan. Saat mataku terbuka sebuah dilema menyelinap, akankah harus kututup kembali mataku? Dengan tertatih aku mencoba berdiri dan mengambil smartphoneku yang tergeletak di lantai. Kulihat ada retakan kecil di layarnya. Aku sempoyongan untuk menggapai sofa. Walau sudah terbangun dari pingsan, aku tak bisa menghentikan tangisku. Semua perasaan negatif yang terbalut dalam kegelisahan ini sangat menyiksaku.

Sambil terisak, aku coba menghubungi Abdi. Saat ini aku memerlukan seseorang untuk menolongku. Aku butuh teman bicara. Setelah beberapa kali suara sambungan, Abdi akhirnya menjawab panggilanku.

“Hallo …” Sapa Abdi si sana.

“Abdi, datang ke rumahku ya …” Pintaku.

“Ke rumahmu?” Abdi tentu sangat terkejut.

“Ya, ke rumahku. Gak apa-apa, suamiku sudah pergi dari rumah ini.” Jawabku.

“Oh … Kalau begitu tunggu lah. Aku pasti datang.” Jawabnya dan langsung saja aku memutuskan sambungan telepon.

Aku terduduk lemas, meringkuk di atas sofa, memegangi lutut tak berdosa ini, mencoba merapikan hatiku. Semua kejadian ini tidak pernah aku bayangkan. Bagaimana bisa video mesumku bisa tersebar di kampung halamanku. Siapapun yang melakukannya sudah tidak mempunyai hati nurani. Dengan begitu teganya menyebarkan aibku. Dia benar-benar sudah tidak menganggapku lagi. Dan hanya ada dua orang yang bisa melakukan ini, yaitu Denta atau Uci.

Aku mengeratkan geraham gigi dalamku kuat-kuat karena tindakan ini. Amarahku meledak-ledak dalam hati, kemarahanku meronta-ronta ingin sekali membalas perbuatannya, siapa pun itu. Hutang nyawa dibalas nyawa. Mereka harus membayar harganya. Aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan membalas mereka. Bahkan akan lebih buruk dari ini. Mereka akan merasakan sakit yang lebih daripada rasa sakit yang aku rasakan saat ini.

Aku terperangah saat mendengar suara mesin mobil di halaman rumahku. Dengan susah payah aku berdiri lalu berjalan ke pintu depan. Ternyata Abdi sudah sampai. Aku langsung memeluk tubuhnya dan menangis di dadanya. Dia mengusap kepalaku dengan lembut. Lama aku tenggelam di dalam tangis dengan posisi yang sama. Tiba-tiba Abdi menggendongku dan aku melingkarkan tangan di lehernya. Setelah Abdi menutup pintu dengan kaki, ia membawaku ke ruang tengah. Abdi pun duduk di sofa dengan masih tubuhku dalam pangkuannya.

“Berhentilah menangis ratuku. Aku tidak bisa melihatmu menangis.” Kata Abdi pelan namun begitu menenangkan.

Seperti hipnotis, aku pun berhenti menangis lalu menatap wajahnya, “Apa yang akan kamu lakukan kalau aku disakiti?”

Abdi menatapku dengan kening berkerut, “Seberapa berat rasa sakitmu itu, seberat itu pula aku akan membalasnya.”

“Kamu akan membalaskan sakit hatiku?” Tanyaku.

“Ya … Aku akan membalaskan sakit hatimu.” Jawab Abdi sangat menenangkan hatiku.

“Rasa sakitku ini sudah diluar batas kemampuanku. Mereka sudah memperlakukanku dengan begitu kejam. Denta dan Uci sekarang musuh terbesarku. Aku ingin membalaskan rasa sakitku ini atas perbuatan mereka terhadapku.” Kemudian aku menceritakan semua peristiwa yang aku alami pada Abdi, termasuk video mesum yang mereka sebarkan di kampung halamanku. “Aku yakin kalau mereka berdua pelaku penyebaran videoku itu.” Aku mengakhiri penuturanku.

“Mereka benar-benar tidak berperikemanusiaan. Mereka layak mendapat balasannya.” Ujar Abdi yang terlihat sangat marah.

“Kalau begitu … Apa rencana kita?” Tanyaku sangat bernafsu.

“Mungkin lebih kita bicarakan dengan Lusi. Biasanya Lusi punya ide yang brilian. Lagi pula, kita membutuhkan teman yang lain untuk rencana pembalasan ini.” Ungkap Abdi sangat masuk akal.

“Kalau begitu, aku akan telepon Lusi.” Kataku sembari turun dari pangkuan Abdi.

Aku pun mengambil smartphone milikku lalu menghubungi Lusi. Tentu aku menceritakan kejadian-kejadian yang membuatku marah dan ingin membalas perbuatan Denta dan Uci. Sudah kuduga, Lusi sangat mendukung aksi balas dendamku. Lusi mengatakan akan datang ke tempatku sekarang juga. Senag rasanya mempunyai teman yang mengerti akan aku. Akhirnya aku dan Abdi ngobrol sambil menunggu kedatangan Lusi.

Bersambung
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd