Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RAHASIA SEBUAH HATI (NO SARA)

BAGIAN 10

Denta Pov

Tak ada angin, tak ada hujan, amarahku berkobar-kobar tanpa alasan yang jelas. Aku ingin memukul orang, sepertinya tak ada salahnya jika memukuli samsak pagi ini. Entah sudah berapa lama aku memukuli samsak di hadapanku, tetapi tak ada rasa lelah sedikit pun, bahkan aku semakin garang menghajar samsak untuk melampiaskan amarahku. Tanpa henti aku melakukan pukulan-pukulan lurus dilanjutkan dengan tendangan ke arah samsak merah. Tendangan dan pukulanku terlihat cukup kuat. Samsak itu tampak berayun-ayun sesuai dengan irama pukulan dan tendanganku.

“Istirahatlah dulu!” Terdengar suara baritone yang cukup berat dan menggema. Tentu saja aku tahu si pemilik suara.

Aku pun menghentikan latihanku dan menoleh kepada pelatihku yang bernama Darman. Kang Darman adalah pria tinggi kekar berusia 40 tahun. Dia adalah pemilik sekaligus pelatih sasana kick boxing ini. Setelah mengatur napas, aku pun menghampirinya. Kang Darman menyodorkan tangan kanannya yang sedang memegang sebotol air mineral dingin padaku. Segera saja aku ambil botol mineral itu lalu menuangkan isinya ke dalam tubuhku.

“Amarah perlu kita kendalikan. Orang yang tidak bisa mengendalikan amarah cenderung untuk melakukan hal-hal yang tidak rasional terhadap orang lain. Lebih sering, kata-kata menyakitkan diucapkan dan akan memengaruhi hubungan. Kemarahan juga memiliki efek kesehatan. Efek kesehatan yang umum dari kemarahan termasuk sakit kepala, depresi, insomnia, dan masalah pencernaan. Saat seseorang sedang marah, risiko stroke, tekanan darah tinggi, atau serangan jantung juga lebih tinggi. Jadi, kendalikan amarahmu.” Ujar Kang Darman yang sepertinya tahu kalau aku sedang meluapkan amarah.

“Entahlah kang … Hari ini aku merasa ingin marah saja. Aku juga tidak tahu apa penyebabnya. Tiba-tiba saja amarahku meledak-ledak begitu saja.” Ujarku sembari mengambil handuk kecil yang kugantungkan di dinding, lalu kuelap butiran keringat yang menempel di wajah dan leherku.

“Walaupun itu kecil dan tersembunyi, pasti ada penyebab kamu begitu marah. Tidak mungkin tidak ada penyebabnya. Yang kecil dan tersembunyi itu harus kamu musnahkan, karena lama-lama akan menjadi bara api yang besar. Kalau kamu mau, ceritakan padaku penyebab kemarahanmu.” Kata Kang Darman yang lagi-lagi seakan tahu isi hatiku.

Aku sebenarnya tidak suka membuka kesusahanku pada orang lain. Namun entah kenapa, kali ini aku sangat ingin membaginya pada Kang Darman. Setelah menghela napas aku pun berkata, “Aku curiga sama istriku, kang. Aku curiga kalau istriku ada main dengan laki-laki lain.”

Aku lihat mata Kang Darman membulat dengan alis terangkat. Satu detik berikutnya Kang Darman pun berkata, “Kalau begitu kamu harus membuktikan kecurigaanmu itu biar tuntas.”

“Aku sudah melakukannya kang, tapi aku tidak melihat bahwa istriku bermain serong. Tapi, kenapa hatiku ini seperti meyakinin kalau istriku serong. Aku sudah memata-matainya dan hasilnya nihil.” Kataku.

“Walaupun kamu tidak menemukan istrimu bermain curang di belakangmu, tetapi kamu masih curiga?” Tanya Kang Darman dengan raut wajah heran.

“Ya … Aku merasa yakin istriku berbuat curang di belakangku.” Jawabku.

“Hhmmm…” Kang Darman bergumam sambil memainkan dagunya yang berjenggot tipis. “Apakah kamu pernah dengar detektif perselingkuhan?” Tanya Kang Darman kemudian dan aku sontak memandang wajahnya.

“Apa itu detektif perselingkuhan?” Tanyaku penasaran.

“Sesuai dengan namanya, detektif perselingkuhan adalah jasa detektif swasta spesialis pencari bukti perselingkuhan. Kalau kamu tertarik, aku punya detektif perselingkuhan yang dapat dipercaya.” Kata Kang Darman.

“Oh … Boleh juga. Aku bisa minta nomor kontaknya?” Aku sungguh bersemangat.

“Dia bukan orang jauh, masih di Bandung.” Ujar Kang Darman sembari mengeluarkan ponsel pintarnya.

Aku lantas mencatat nomor kontak detektif perselingkuhan yang diberikan Kang Darman. Ternyata detektif itu adalah seorang wanita yang bernama Jessica. Setelah ngobrol ringan dengan pelatihku, aku segera membasuh diri lalu berganti pakaian. Sekitar pukul 10.10 pagi, aku keluar sasana dan langsung menuju pusat kota. Di tengah perjalanan, aku menelepon detektif perselingkuhan yang bernama Jessica.

“Hallo … Dengan siapa saya bicara?” Terdengar suara merdu seorang wanita di speaker smartphoneku.

“Saya, Denta … Saya mendapat nomor ini dari Kang Darman. Menurut Kang Darman, tetah adalah seorang detektif. Saya membutuhkan jasa teteh.” Kataku seramah mungkin.

“Oh … Kang Darman itu kakak saya. Baiklah, kapan kita bisa ketuan?” Katanya membuat aku tersenyum sendiri. Rupa-rupanya Kang Darman sudah menjadi agen pemasaran untuk adiknya.

“Kalau bisa sekarang. Saya sedang dalam perjalanan ke pusat kota.” Jawabku.

“Baiklah. Kita ketemuan di cafe BS yang letaknya di Jalan Baranang Siang.” Ujarnya penuh semangat.

“Ok … Saya segera ke sana.” Kataku dan sambungan telepon pun terputus.

Aku menginjak pedal gas mobilku lebih dalam lagi untuk membuat laju mobilku semakin kencang. Jalanan lumayan lengang sehingga membuat perjalananku lumayan lancar tanpa harus menunggu kemacetan seperti biasanya terjadi. Tak sulit menemukan cafe yang ditentukan Jessica. Akhirnya aku sampai juga di tempat tujuan. Aku pun masuk ke dalam cafe. Begitu masuk ke dalam cafe suara musik terdengar ke seluruh penjuru cafe. Saat aku hendak menelepon Jessica, tiba-tiba aku melihat lambaian tangan dari pojok cafe. Aku yakin lambaian tanganku terarah padaku, pasalnya tidak ada lagi pengunjung cafe kecuali aku dan wanita itu. Bergegas aku menghampiri si pemilik tangan dan akhirnya aku pun sudah berhadapan dengannya.

“Apakah teteh bernama Jessica?” Tanyaku sesopan mungkin.

“Benar … Aku yakin sekarang aku berhadapan dengan Denta. Karena wajahnya sesuai dengan foto yang kakakku kirim.” Katanya yang membuatku tersenyum.

“Apakah sudah pesan makanan dan minuman?” Tanyaku lagi.

“Aku belum pesan apa-apa. Sengaja menunggumu.” Katanya lagi.

Aku langsung ke kasir dan memasan makanan dan minuman untuk dua orang. Setelah itu, aku kembali ke meja di mana Jessica berada. Kami pun mulai saling berkenalan lagi agar lebih akrab. Kami berbincang-bincang seputar pekerjaan kami sebelum pada pembicaraan inti. Kuperhatikan wanita di depanku ini lumayan cantik. Kutaksir usianya sekitar 37 tahunan, di atas sedikit dari usiaku. Tak lama, pesanan pun datang dan kami mulai menyantap hidangan.

“Jadi apa permasalahanmu?” Tanya Jessica yang sepertinya dia mulai mengajak pada pokok bahasan.

“Istriku … Aku curiga istriku selingkuh.” Jawabku to the point.

“Bisa aku mendapat fotonya dengan identitasnya.” Pinta Jessica.

“Sangat bisa.” Jawabku. Kemudian aku mengirim beberapa foto Wida ke smartphone milik Jessica. Kemudian Jessica menanyakan identitas Wida padaku yang kemudian dia catat di buku kecil yang ia bawa.

“Kenapa kamu mencurigai istrimu?” Tanya Jessica setelah selesai mencatat identitas istriku.

“Awalnya aku mendapat informasi yang tersirat dari keponakanku. Aku yakin dia tahu kalau istriku selingkuh, tetapi keponakanku itu tidak mau memberitahukan padaku. Alasannya dia takut merusak rumah tanggaku. Bahkan dia menyuruhku untuk mencari bukti sendiri.” Jawabku seadanya.

“Tanda-tanda yang lain?” Jessica terus bertanya.

“Ada beberapa perubahan kecil yang bisa aku tangkap. Istriku lebih pendiam dari biasanya. Smartphonenya selalu dekat dengannya dan dikunci, padahal sebelumnya dia tidak seperti itu. Mungkin yang paling ekstrem, istriku berani keluar malam sendiri sekarang yang sebelum-sebelumnya dia tidak pernah melakukannya.” Jawabku lagi.

Saat ini, Jessica terus mengajukan pertanyaan seputar istriku dan pasti kujawab sejujur-jujurnya sepanjang pengetahuanku. Terakhir Jessica mengucapkan nilai nominal untuk pembayaran jasanya. Sungguh, aku agak terkejut dengan harga yang ia tawarkan. Aku tidak menyangka akan sebesar itu. Lima puluh juta rupiah yang ia bagi dalam tiga kali pembayaran, dan itu adalah rentang kerjanya dalam waktu sebulan. Tetapi entah kenapa, aku tidak melakukan penawaran, yang ada aku mentransfernya dua puluh juta rupiah untuk pembayaran termin pertama.

“Selama penyelidikan usahakan kamu pura-pura baik di rumah. Jangan membuat istrimu merasa dicurigai. Kalau bisa buat keadaan yang membuat dirinya bebas, misalnya kamu pulang kerja sampai larut malam, atau pergi ke luar kota dan sebagainya. Pokoknya beri istrimu ruang untuk pergi keluar rumah sesering mungkin.” Pinta Jessica.

“Baik.” Aku menyetujuinya.

Transaksi usai dan kami pun berpisah. Aku pun kembali ke tempat kerjaku dan melakukan aktivitas seperti biasanya. Dengan bekerja adalah salah satu cara menghibur diri dari kekalutanku. Melakukan pekerjaan selalu mampu membuat pikiranku lebih segar, seperti sayuran hijau yang dibilas air. Semakin sibuk, semakin besar keinginan untuk melakukan semua pekerjaan sekaligus.
-----ooo-----​


Wida Pov

Aku telah sampai di depan gedung yang kutuju, setelah itu aku memasuki lobby gedung dengan sangat semangat. Siang ini kulihat banyak orang berkumpul di lobby gedung, dengan berbagai macam gaya yang disandang, dengan berbagai raut muka terpampang. Setelah aku perhatikan lebih seksama, ternyata sebagian besar adalah anggota Bermuda Community yang kutemui malam tempo hari saat acara pembukaan perusahaan oleh Robby di gedung ini. Ya, kini aku berada di gedung Bermuda Community untuk menemui Siska. Aku dan Siska memang sudah berjanji akan bertemu di lantai enam gedung Bermuda Community.

Aku memasuki lift dan berharap secepat mungkin sampai ke lantai enam. Akhirnya aku sampai juga di lantai enam. Aku berjalan menyusuri koridor. Mataku menelisik mencari pintu yang bertuliskan ‘Siska Mayla Ananta’. Tak lama aku menemukan pintu itu dan langsung saja aku menekan bel yang berada di kanan atas pintu. Aneh juga kantor Siska ini, aku tidak bisa mengetuk pintu dan hanya bisa menekan bel untuk menemuinya. Sekitar satu menit berselang, pintu pun terbuka. Siska menyambutku dengan pelukan dan ciuman pipi kiri dan kanan.

“Ayo masuk!” Ajak Siska dan aku pun mengikuti langkah Siska masuk ke dalam ruangannya.

Aku begitu takjub melihat ruangan yang baru saja aku masuki. Ruangan kerja Siska layaknya seperti kamar hotel kelas presiden suite yang harga sewanya satu setengah juta untuk tiga jam. Aku mulai memperhatikan sekeliling. Terdapat kursi dan meja kerja yang sangat indah di sisi barat ruangan yang di belakangnya terdapat setumpuk rak-rak buku besar. Sofa besar berada di sisi utara berpadu dengan televisi 42 inch. Aku lebih terkejut lagi ketika menengok ke sisi selatan yang ternyata sebuah kamar tidur yang cukup luas. Benar-benar seperti hotel mewah.

“Indah sekali …” Kataku penuh ketakjuban.

“Ruanganmu juga sama seperti ini kalau kamu mau bekerja denganku di sini.” Ucap Siska yang membuatku harus menahan napas.

“Benarkah?” Aku masih tak percaya.

“Ya … Kita duduk di sini.” Ajak Siska padaku untuk duduk di sofa yang empuk dan sangat indah.

“Rasanya aku tidak akan berpikir lagi. Aku akan segera pindah kantor.” Kataku menggebu-gebu.

“Kalau begitu … Ini kontrak kerjamu. Baca dulu hati-hati sebelum menandatanganinya.” Siska menyodorkan map yang ada di atas meja, lalu kuambil dan kubaca isi kontrak kerjaku itu.

Kubaca perjanjian kerja di tanganku dengan hati-hati. Tidak ada yang aneh, semuanya tampak wajar. Ada hak dan kewajiban dan juga job description atau uraian jabatan. Namun ketika aku membaca gajiku yang tertera di sana, sekali lagi aku harus menghentikan napas dengan mulut sedikit menganga. Aku sungguh tidak percaya angka yang tertera dalam kontrak kerja ini. 85 juta rupiah adalah gaji yang ditawarkan kepadaku. Pendapatan setahun aku bekerja menjadi ASN.

“Kenapa?” Tanya Siska sambil tersenyum.

“Benarkah gajiku sebesar ini?” Tanyaku masih dalam keadaan tidak percaya.

“Ya …” Jawab Siska singkat.

Aku melanjutkan membaca kontrak kerjaku itu dan akhirnya selesai juga. Tanpa berpikir lagi, aku segera bubuhi tanda tanganku dalam kontak kerja ini dan memberikannya kepada Siska. Ya, keputusanku sudah sangat bulat untuk bekerja di perusahaan yang bernama Bermuda Community. Setelah ngobrol sekitar sepuluh menitan, Siska mengajakku melihat ruangan kerjaku. Ternyata ruangan kerjaku berhadap-hadapan dengan ruangan kerja Siska yang dipisahkan oleh koridor selebar dua meter. Aku hampir berteriak saking senangnya, ruang kerjaku hampir sama dengan ruang kerja Siska. Buru-buru aku masuk ke dalam kamar tidur dan di sana terdapat perlengkapan sebagaimana aku mempunyai kamar tidur di rumah, tapi bedanya barang-barang yang ada di kamar ini serba lux. Tidak sampai di situ, aku masuk ke kamar mandi dan di sini terdapat bathtub. Sungguh luar biasa anugerah yang telah kuterima ini.

“Ada empat direktur dan empat wakil di perusahaan ini. Semuanya mendapat fasilitas yang sama. Di lantai enam ini juga ada ruangan fitness untuk para direktur dan wakilnya.” Jelas Siska.

“Ini sangat mewah sekali …” Gumamku.

“Wida … Robby bilang fasilitas yang dia berikan harus dibayar dengan loyalitasmu. Kamu harus berjuang mati-matian untuk mengurus dan membesarkan perusahaannya ini. Bila kita berhasil, bonus besar akan mengalir pada kita.” Ungkap Siska.

“Ya, aku berjanji akan loyal pada perusahaan ini. Kalau perlu nyawaku sebagai taruhannya.” Kataku bersungguh-sungguh dan Siska pun tersenyum senang.

Setelah puas melihat-lihat, aku pun berpamitan kepada Siska karena aku harus kembali ke kantor. Dengan langkah panjang dan cepat, aku bergegas menuju mobil yang terparkir di depan gedung. Setelah menyalakan mesin dan mengubah parsneling, aku menjalankan mobil keluar dari pelataran parkir. Ini membahagiakan, aku merasa bahagia mendapat pekerjaan yang sangat menjanjikan. Sungguh, ini seperti ketika aku jatuh cinta pada seseorang. Aku merasa orang paling beruntung sedunia karena bisa mendapat pekerjaan dengan gaji yang fantastis saat ini. Aku yakin penghasilan suamiku pun terlewat jauh olehku, mungkin hanya separuh dengan gajiku. Inilah awal menuju masa depan yang lebih cerah.
-----ooo-----​

Denta Pov

Setelah bekerja seharian dan menjalani rutinitas yang padat, tubuh dan pikiranku menjadi kelelahan. Jika dibiarkan terus-menerus, lama-lama aku bisa stres dan berakibat kehilangan semangat untuk bekerja. Setelah menutup toko, aku berniat untuk menikmati teh hangat. Menikmati secangkir teh hangat memang dipercaya dapat menurunkan tingkat stres. Menurut penelitian, teh mampu menurunkan level hormon stres dalam tubuh. Jadi, menyeduh teh saat bersantai dan meminumnya selagi hangat bisa menjadi cara menghilangkan stres yang mudah untuk dilakukan.

Sekarang aku sedang melaju ke tempat di mana aku bisa mendapatkan teh hangat yang paling nikmat. Tematnya tidak jauh, hanya butuh 15 menit aku menjangkaunya. Akhirnya aku sampai di sebuah mall dan kuparkirkan kendaraanku di sisi barat gedung mall. Tinggal berjalan sedikit, akhirnya aku menemukan restoran masakan Jepang yang letaknya persis di sebelah gedung mall. Saat memasuki restoran, langsung saja mataku bertemu dengan mata tajam bak silet itu. Aku tersenyum sambil menganggukan kepala kepada si pemilik mata, lalu menghampirinya.

“Apakabar?” Sapaku pada wanita di depanku.

“Kabarku seperti kemarin, selalu kesal kalau melihatmu.” Katanya agak kasar, tapi aku tahu kalau dia sedang bercanda.

Aku tersenyum lalu berkata, “Ingin teh hangat.”

“Itu saja?” Tanyanya dengan wajah mengkerut.

“Ya, itu saja …” Jawabku sambil berlalu dari hadapannya.

Aku mencari tempat yang agak sepi. Setelah melihat ke sekeliling restoran, aku menemukan meja kosong yang letaknya agak tersembunyi di sudut ruangan. Segera aku menuju ke meja tersebut. Restoran ini lama sekali tidak kuinjak, mungkin lebih dari enam bulan. Dulu aku sering makan di restoran ini bersama Wida. Restoran yang mempunyai nilai sejarah bagiku.

“Kamu sendirian?” Tanya wanita pemilik restoran sambil meletakkan teh hangat di mejaku.

“Iya …” Jawabku singkat sambil mengangkat gelas teh hangatku.

“Kenapa Wida tidak kamu ajak?” Tanyanya lagi. Tentu saja wanita di depanku ini mengenali istriku karena dia sahabatnya. Wanita pemilik restoran ini bernama Dewi.

“Dia mungkin masih di kantornya atau masih di jalan.” Jawabku lalu menyeruput teh hangat hasil karya Dewi yang sangat nikmat.

“Seharusnya kamu itu lebih perhatian sama istrimu. Jangan terlalu ngurusin kerjaan melulu. Sekali-kali istrimu itu diajak main atau wisata.” Kata Dewi dengan suara melunak.

“Mungkin sekarang sudah terbalik, Wi … Istriku yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Dia bahkan menolak kuajak pulang ke kampung halamannya dengan alasan sibuk.” Ungkapku lalu menyeruput kembali teh hangat.

“Benarkah? Dia menolak ajakanmu pulang ke kampung?” Suara Dewi seakan tak percaya.

“Begitulah …” Responku singkat.

“Kalian ini semakin bersebrangan saja.” Ucap Dewi sembari geleng-geleng kepala.

Teh hangat buatan Dewi memang tiada duanya. Aku sampai meminta Dewi kembali membulatkan teh. Akhirnya kami pun terlibat obrolan seru, mulai dari tawa lembut hingga tergelak. Rasanya seperti bukan sedang berada di sebuah restoran. Santai sekali. Dewi dengan ramah menemaniku mengobrol walau harus diselingi oleh pekerjaannya.

“Denta … Sekarang kamu kok lain ya …?” Ujar Dewi sambil tersenyum kecil.

“Lain apanya?” Tanyaku penasaran.

“Sekarang kamu suka ngobrol. Gak seperti dulu, diem melulu.” Ungkap Dewi dengan tatapannya yang menyelidik.

“He he he … Kamu juga lain, Wi …” Kataku dengan nada bercanda.

“Lain apanya?” Tanta Dewi terlihat penasaran.

“Kamu lebih cantik.” Jawabku.

Dewi terhenyak dengan mata yang membeliak bulat. Wajahnya jelas memberitahuku bahwa dia sedang terkejut. Sejujurnya, aku pun ikut terkejut dan heran. Kok, bisa-bisanya aku mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak aku katakan. Sebenarnya aku sadar hal itu tidak pantas. Tetapi kenapa aku mengatakannya juga. Anehnya lagi, aku tidak merasa malu apalagi bersalah.

“Kamu mengatakan apa tadi?” Dewi mulai menampakan wajah seriusnya.

“Maaf … Aku keceplosan …” Kataku berkilah.

“Nggak! Aku ingin dengar sekali lagi!” Suara Dewi tambah serius.

Tiba-tiba aku merasa ditantang dan akhirnya aku mengulangi perkataan yang ingin Dewi dengar, “Kamu lebih cantik, Wi …”

“Hi hi hi … Kamu gila!” Tiba-tiba Dewi bangkit dari duduknya dan pergi begitu saja. Tapi aku melihat pipinya merona karena tersipu.

Entah kenapa, dadaku bergemuruh seperti ada sesuatu yang mengguncang nuraniku. Adrenalinku seakan terpacu cepat saat melihat Dewi. Aku mengamatinya. Serasa tak pernah bosan untuk melihat dirinya berada dalam jarak pandangku. Dewi yang kini berusia 29 tahun yang juga seorang istri simpanan dari pengusaha asal Jepang memang memiliki wajah manis, dengan bentuk tubuhnya yang begitu semok, pantatnya yang bohay membulat membuat aku yang melihatnya berdecak kagum. Ditambah lagi dengan buah dadanya yang membusung ukuran 34C dan sangat montok itu, semakin menambah keseksiannya benar-benar menggiurkan.

Ah … Ada apa dengan diriku?” Batinku berteriak. Aku buru-buru menghalau pikiran buruk yang bercokol di kepalaku. Aku pejamkan mata dan memusatkan pikiran pada hak-hal yang positif. “Kenapa hanya ada pikiran mesum di kepalaku?” Batinku berteriak lagi.

Saat membuka mata, langsung terlihat Dewi sedang memandangku. Wanita itu tersenyum genit seakan-akan menggodaku. Saat itulah dorongan syahwatku kembali menyergapku. Aku coba lawan godaan ini sebisa mungkin. Aku menarik napas kuat-kuat dan melepaskannya pelan. Menata gelora hati yang masih berkecamuk hebat sambil menunduk dan memejamkan mata.

“Hei! Kamu kenapa?” Entah sejak kapan tiba-tiba Dewi sudah berada di hadapanku.

“Aku tidak tahu.” Jawabku setelah menengadahkan kepala.

“Wajahmu pucat sekali. Apa kamu sakit?” Tanya Dewi lagi sangat khawatir.

“Aku tidak sakit … Tapi …” Sungguh apa yang kurasakan sudah di luar kemampuanku. Aku tak kuasa menahannya.

“Kamu istirahat di kamarku. Kamu itu sakit. Biar aku panggilkan dokter.” Ujarnya lantas berdiri dari duduknya dan selanjutnya Dewi menarik tanganku.

Harusnya aku menolak, tetapi seperti ada yang menggerakkan tubuhku, aku mengikuti tarikan tangan Dewi. Pikiranku benar-benar keruh. Tak bisa dimungkiri, terbesit dalam pikiranku untuk menggagahi Dewi. Aku ingin bercinta dengan wanita ini. Dewi membawaku ke subuah kamar di lantai dua restorannya. Aku yang berada di belakangnya langsung menutup pintu dengan tumitku, sementara tanganku yang sejak tadi dipegang Dewi kugunakan untuk menarik tubuhnya. Dewi pun terjerembab dan jatuh di pelukanku. Dewi memekik kecil dengan wajahnya yang menghadapi ke wajahku.

Sungguh, apa yang aku lakukan adalah hal paling gila seumur hidupku. Entah apa yang ada di otakku saat aku dengan lancangnya mencium bibirnya dengan lumatan sedikit kasar. Bibirku mendominasi ke dalam bibir Dewi sepenuhnya. Aku tahu Dewi sangat terkejut, namun itu tidak lama. Akhirnya Dewi pun membalas lumatan bibirku. Kami saling hisap bibir. Aku masukan lidahku ke rongga mulutnya, dan kedua lidah kami pun saling beradu satu sama lain.

Tak lama, Dewi mengalungkan tangannya ke leherku dan memperdalam ciumannya. Sementara mulut kami masih saling berpagutan, sedangkan tanganku meremas bongkahan pantatnya yang berhasil menciptakan rasa geli dan membuatnya bergeliat menahan rasa itu. Kemudian tanganku mencoba menyentuh payudaranya, aku meremas begitu pelan, dan tetap ciumanku masih di dalam bibirnya.

"Hmmpp...ugh!" Dewi melenguh, membuat labido di dalam diri semakin menaik.

Aku mencoba membuka kancing kemeja yang ia pakai, kini tangan Dewi berada di kedua pipiku sembari mencium bibirku ini. Bra yang ia pakai terpajang di sana, lalu mulutku menuruni lehernya hingga dadanya.

"Ughh ... Aaashh …" Dewi melenguh panjang di telingaku.

Tanganku mencoba melepaskan kemeja dari badannya, dan tak begitu susah. Kemeja itu terlempar begitu saja di lantai. Tinggallah kini badan atasnya hanya menggunakan bra. Lalu, aku mencoba melepaskan jepitan branya yang berada di punggung tanpa melihatnya, karena aku masih sibuk menciumi kedua payudaranya. Aku melepaskan ciumanku, setelah jepitan branya terlepas, Dewi pun melepaskan branya. Aku termenung sejenak, melihat keindahan lekuk tubuhnya yang kini setengah bugil. Aku melihat payudara menggelantung, bulat dan kencang, sungguh indah! Aku langsung menerkam payudara itu dengan mulutku.

"Ugghh…!!!" Erangan panjang terdengar di kamar ini, itu adalah suara Dewi.

Dalam sekali hentakan aku berhasil menggendongnya dengan gaya bridal. Aku melangkah dengan sedikit sempoyongan karena tak terbiasa dengan gendongan seperti ini. Apalagi aku yang tak melihat jalan, karena mulutku masih bermain dengan payudaranya. Aku dudukan ia di atas meja bundar yang berada di tengah ruangan. Dewi mengacak-acak rambutku yang sudah tak teratur berkat tangannya yang tak tahan karena hisapanku di payudara miliknya.

Tiba-tiba Dewi mencoba melepaskan kemeja yang kukenakan, dan aku peka terhadap hal itu. Aku membantunya melepaskan kemejaku dengan membukai kancing-kancingnya. Dewi memandangi tubuh milikku yang tak pernah aku tunjukkan pada siapa pun selain istriku. Ia memegang perutku yang bak roti sobek, dan mencium leherku dengan begitu sensual. Aku memeluknya dengan penuh rasa nafsu yang sudah sangat memuncak.

"Ugghh..." Aku melenguh di telinganya saat ia mencium area leherku. Dan tiba-tiba saja ia memegang juniorku yang sudah menegang sedari tadi dan masih berlapis dengan celana panjang yang aku pakai. "UGHHH!!" Aku benar-benar melenguh begitu enak, ini saja baru diluarnya ia pegang. Tidak bisa aku bayangkan jika tanpa sehelai benang pun menutupinya.

Kini giliranku yang mencoba untuk melepaskan kancing roknya yang masih ia pakai, dia paham akan kemauan aku. Dia sedikit menaikan pantatnya, membantuku memudahkan melepaskan rok miliknya. Dan dalam kehitungan ketiga, rok itu langsung turun dari kaki Dewi yang menggelantung di meja bundar miliknya. Aku melihat underwear yang masih ia pakai, sudah sangat basah. Tanganku yang jahil menggosok di belahan yang ada di pangkal pahanya.

"Aasshh....ughh!!!" Dia melenguh kenikmatan, rasanya melihat dia seperti ini begitu membuat nafsuku makin naik.

Dia melepaskan kancing celanaku juga, dan tanpa pikir panjang aku melepaskannya sendiri tanpa bantuannya. Kejantananku mencuat dengan gagahnya, dia melihat hal itu. Wajahnya seketika memerah dan malu. Beberapa saat aku juga memperhatikan kejantananku yang mengacung dengan kerasnya. Aku lumayan terkejut, kenapa kejantananku seakan terlihat lebih tebal dan lebih panjang dari biasanya. Ah, mungkin aku sangat bernafsu saat ini sehingga darah banyak berkumpul di alat vitalku.

"Maaf!" Tanpa pikir panjang aku gendong Dewi ala bridal style, lalu kulemparkan tubuhnya di atas kasur. Dia terlentang, aku menarik underwear miliknya. Dan, Tuhan! Ini benar-benar membuat aku makin bernafsu. Vaginanya terlihat begitu menggoda, merah merekah saat Dewi membuka lebar kedua pahanya, seakan memanggilku untuk segera menerkamnya.

"Bolehkah aku memasukinya?"Godaku sambil tersenyum. Dewi mengangguk tanpa ragu.

Tanpa membuang kesempatan, penisku yang sudah tegang segera kurarahkan ke lubang kemaluan itu. Sedikit demi sedikit, kepala penisku mulai menembus kemaluan Dewi. Penisku dengan gagah menembus lipatan vaginanya, hingga menjebol habis kemaluannya yang teduh itu. Aku mendorong penis tegangku dengan kuat, lalu aku mulai mengeluar-masukkan batang penisku di dalam rongga nikmatnya untuk berbagi kenikmatan dengan Dewi.

“Oohh… oohh… sshh… aahh…” Desahan dan erangan kami saling bersahutan.

Kami betul-betul menikmati permainan. Vagina Dewi terasa hangat sekali membungkus penisku. Kedua tangan kami saling berpegangan. Suara benturan antara dua alat kelamin kami terdengar begitu jelas. Aku bisa merasakan batang kejantananku sedang dipijat lembut oleh otot-otot vagina Dewi yang kuat itu, rasanya seperti disedot-sedot. Rambut hitam panjang Dewi yang lurus itu menutupi wajah cantiknya bahkan beberapa menutupi punggungnya yang putih mulus. Batang kemaluanku terlihat sangat penuh di liang kemaluan wanita cantik ini, bahkan gelambir pada bibir dalam vagina miliknya semakin lebar yang keluar.

Kira-kira lima belas menit kemudian aku mulai merasa dinding vagina Dewi berdenyut dan cengramannya semakin kencang. Desahan Dewi pun semakin liar. Tak lama kemudian aku merasakan ada cairan yang membanjiri penisku dari dalam vaginanya. Dewi memekik dengan tubuh mengejang. Wajahnya pun agak memerah melepas orgasmenya. Aku berhasil mengantarnya meraih orgasme. Untuk beberapa saat aku mengendurkan genjotanku. Kulihat Dewi tersenyum simpul.

Kemudian kami berganti posisi. Dewi nungging di atas kasur sambil berpegang pada kepala ranjang, kemudian kutembus liang kenikmatan wanita itu dengan penisku. Jepitannya masih sangat terasa. Kedua tanganku memegangi pinggul Dewi yang ikut maju-mundur karena goyanganku. Kuusap pantat Dewi yang halus dan mulus. Batang penisku seperti digiling oleh daging lembut dan licin. Sungguh nikmatnya luar biasa.

Bosan dengan posisi tersebut, kami berganti lagi. Kali ini aku duduk di atas kasur dan Dewi duduk di atas tubuhku. Ternyata Dewi cukup lihai memimpin permainan. Pinggulnya tak hanya maju-mundur tetapi juga memutar-mutar sehingga memberi sensasi nikmat yang luar biasa pada penisku. Aku memeluk tubuh montok Dewi erat-erat hingga payudara wanita itu menempel di wajahku. Lidahku segera menjulur keluar untuk menikmati kenyalnya puting susu Dewi. Sesekali kugigit dengan pelan. Wanita itu berkali-kali menjerit di tengah desahan nikmatnya. Setelah beberapa menit kemudian, birahiku semakin nelangsa ingin diredakan.

“Aaahh.. Aaahh.. Wi.. Aku udah mau nyampe nih..” Desahku. Dewi terkekeh sambil terus mendekap kepalaku.

“Ssshh.. iya.. aku juga nih, tungguin yaa…” Desah Dewi seraya mencium bibirku. Lumatan bibir Dewi membuatku semakin tak kuasa menahan kendali. Kucengkeram pinggang Dewi yang tengah bergoyang hebat agar wanita itu berhenti bergoyang. “Ssshh.. kenapa sayang?” Tanya Dewi.

Aku tersenyum dan berkata, “Nggak pa-pa, nunda sebentar Wi.. hihihi” Dewi mencubit dadaku gemas.

“Dasar ya!” Desahnya manja. Wanita itu memeluk tubuhku erat.

“Terusin Wi…!” Bisikku sambil menjilati telinganya.

Tubuh Dewi kembali bergoyang. Ah, betul-betul nikmat. Kami berdua sama sekali tidak menghiraukan kegaduhan yang ditimbulkan oleh gesekan kelamin kami. Yang pasti, aku dan Dewi ingin segera mendapat puncak kenikmatan. Gairahku pun semakin memuncak, dan aku juga mulai merasa dinding vagina Dewi berdenyut-denyut.

“Sayang.. bareng ya.. keluarin di dalam aja.. Aku KB kok..” Desah Dewi yang kujawab dengan anggukan.

Dewi semakin mempercepat goyangannya. Aku pun membantu dengan menggoyangkan pinggangku. Ah, penisku semakin cepat keluar masuk vagina Dewi, dan aku mengeluarkan lahar panasku. Entah berapa kali penisku menyemprotkan cairan sperma kuat-kuat ke dalam vagina Dewi.

“Aaawww.. Kamu duluan ya sayang.. hi hi hi hi…” Dewi terkekeh di sela deahannya.

Aku tersenyum kecut seraya memeluk tubuh Dewi. Dengan sisa-sisa yang ada aku mencoba menggenjot tubuhku untuk membuat Dewi mencapai puncak. Dan akhirnya ….

“Aaaaahh.. Ssssshh…” Dewi kembali mengeluarkan desahan panjang seiring membanjirnya vagina wanita itu.

Dengan tubuh agak lemas kami berpelukan. Penisku masih tertancap di dalam vagina Dewi. Wajah kami saling berhadapan dengan raut wajah tidak percaya dengan apa yang kami lakukan. Aku sendiri merasa tindakanku ini di luar kendaliku.

“Apa yang telah kita lakukan?” Tiba-tiba Dewi bersuara.

“Aku tidak tahu … Maafkan aku Wi … Aku lepas kontrol …” Jawabku yang merasa heran.

Tiba-tiba Dewi menangkap wajahku dengan kedua telapak tangannya sambil bertanya, “Apakah kamu menyesal?”

“Aku tidak menyesal. Aku hanya takut kamu marah.” Jawabku.

“Ssstt… Makasih ya sayang. Aku udah lama banget nggak ngerasa kayak gini.” Ucap Dewi di sela-sela kecupan bibirnya.

“Iya… Makasih juga untuk pengalamannya.” Jawabku.

Dewi memelukku dengan gemas dan melumat bibirku habis-habisan. Setelahnya, kami pun tertawa bersama-sama. Semua ini membuat kami merasa lucu. Benar-benar tak pernah terbayangkan kalau aku dan Dewi akan seperti ini. Tak ada rasa bersalah dan penyesalan. Dan yang jelas, kami sama-sama menikmatinya.

Akhirnya aku dan Dewi mandi bersama dan mengulangi percintaan kami lagi di kamar mandi, sebelum akhirnya menyudahi bersih-bersih badan dan berpakaian kembali. Aku pun langsung berpamitan pada Dewi untuk pulang dan berjanji akan datang lagi besok. Sepanjang perjalanan pulang, aku terus berpikir dengan apa yang terjadi pada diriku. Jujur saja, aku merasa bukan menjadi diriku sendiri. Aku merasakan perubahan yang besar dalam diriku yang sebenarnya tidak aku rencanakan. Perubahan itu berjalan begitu saja tanpa aku merancangnya. Tentu saja perubahan yang aku rasakan terjadi sangat cepat dan tiba-tiba. Entahlah, aku tidak mengerti dan selamanya akan tidak mengerti.

Sekitar pukul 20.10 malam, aku sampai di rumah. Aku lihat istriku di ruang tengah sedang asik dengan ponsel pintarnya. Saat melihatku datang, Wida segera bangkit dan mengajakku ke dapur untuk makan malam. Aku makan malam sendiri sementara Wida hanya menemaniku sambil terus bercerita. Dari raut wajahnya menunjukkan kalau dia sedang bahagia.

“Pa … Mama mau pindah kerja. Mama mendapat pekerjaan yang lebih menjanjikan.” Katanya yang sukses membuatku melongo dan terkejut.

“Pindah kerja? Bukankah posisi mama di kantor sekarang sudah sangat menjanjikan?” Tanyaku terheran-heran.

“Iya sih pa … Tapi di tempat kerja yang baru lebih menjanjikan. Gaji mama berlipat-lipat dari gaji yang sekarang. Tau gak pa, gaji mama di kantor yang baru menjapai 85 juta sebulan.” Katanya yang membuatku melongo untuk kedua kalinya.

“Wow! Gaji apa sebesar itu?” Tanyaku jadi penasaran.

“Mama jadi wakil direktur.” Ucapnya sembari mengulum senyum.

Edan! Tahu-tahu istriku menjadi wakil direktur. Untuk mencapai posisi wakil direktur bukanlah pekerjaan mudah. Tiba-tiba perasaanku menjadi tidak enak karena merasakan kejanggalan dari pekerjaan istriku. Tapi, aku tidak mengutarakan perasaanku ini pada Wida. Ya, aku berpura-pura senang dan mendukungnya. Aku katakan pada istriku kalau aku menyerahkan semua keputusan di tangannya, asalkan dia senang dan bahagia.
Bersambung
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd