Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RAHASIA SEBUAH HATI (NO SARA)

BAGIAN 9

Denta Pov

Umumnya laki-laki lebih dominan dalam penggunaan potensi rasionalitasnya dibandingkan perempuan. Maka laki-laki harus lebih mampu mengontrol emosi, tidak mudah baper, tidak mudah cemburu, tidak mudah curiga kepada istri. Tidak patut bagi laki-laki untuk selalu curiga dan berusaha mencari-cari kesalahan, kelemahan dan kekurangan pasangan. Jangan mudah curiga dan syak wasangka kepada istri. Penuhi jiwa istri dengan cinta, kasih sayang dan perhatian. Niscaya akan selalu bahagia. Itulah yang selalu kupegang selama aku berumah tangga dengan Wida. Bagiku memelihara rasa curiga dalam hidup berumah tangga adalah ibarat menanam tanaman beracun. Yang semakin lama akan meracuni hidupku perlahan-lahan dan menjadi silent killer. Hidup sudah tidak dapat lagi dinikmati. Teman-teman, sahabat dan kerabat semakin menjauh dariku dan akhirnya mungkin saja, anggota keluarga juga dicurigai.

Namun pemikiranku itu ternyata perlu dikaji ulang. Tidak kusangka, apa yang aku yakini selama ini dan apa yang aku perjuangkan ternyata suatu kesia-siaan. Rasa curigaku pun muncul. Segala yang dipertunjukan padaku memaksaku untuk curiga. Kepercayaan yang aku berikan pada Wida, justru menjerumuskanku, saking percayanya aku kepada Wida menciptakan bara datangnya rasa curiga. Aku curiga kepercayaanku telah dinodainya dengan hadirnya orang lain. Tetapi untuk saat ini aku masih menempatkan ‘percaya’ di angka satu, ‘curiga’ di angka dua. Setidaknya minimal percaya di angka 70% dan curiga di angka 30%. Artinya, aku harus masih membuktikan kecurigaanku itu.

Untuk membuktikan kecurigaanku, aku pun mulai memata-matai kelakuan Wida, baik di dalam maupun di luar rumah. Entah aku yang kurang beruntung atau aku yang tidak profesional, aku tidak menemukan tanda-tanda kecurigaanku terbukti. Istriku itu berlaku wajar dan normal. Sejauh pengamatanku, tidak ada gelagat yang mencurigakan dari apa yang Wida lakukan sehari-hari. Ya, hingga hari kelima sejak aku mulai mencurigainya, aku tidak menemukan apa-apa. Sekali lagi, hanya kewajaran dan kenormalan yang dipertunjukan istriku itu.

“Ma …” Panggilku pada Wida yang tengah menemani anak-anak yang sedang bermain balok kayu di lantai. Sudah menjadi kebiasaan kami, jika selepas makan malam kami berkumpul di ruang tengah.

“Ada apa pa?” Tanya Wida sembari menoleh ke arahku.

“Besok papa mau pulang ke Cianjur. Sudah lama papa tidak menengok ibu mertua. Apakah mama tidak punya acara untuk hari sabtu dan minggu? Kalau mama santai, ikut dengan papa ya?” Ajakku pada Wida.

Kuperhatikan istriku seperti sedang memikirkan sesuatu sebelum akhirnya berkata, “Mama tidak ikut pa … Hari seninnya mama sangat sibuk, mama takut kelelahan sepulang dari Cianjur.”

Aku pun tersenyum dalam hati. Bagiku penolakan Wida untuk pulang menjenguk orangtuanya adalah keajaiban dunia yang ke delapan. Biasanya Wida paling bersemangat jika diajak pulang kampung. Bahkan terkadang dia yang memaksaku untuk pulang ke kampung halaman. Tapi entahlah, apakah ini suatu kebetulan belaka? Aku tak tahu. Dan yang jelas hal ini merupakan catatan tersendiri untukku.

“Baiklah. Berarti papa akan pergi sama Uci saja.” Kataku.

“Ya, pa … Maafin mama ya pa … Mama tidak ikut.” Katanya lemah lembut.

“Ya.” Jawabku singkat.

Sunnguh, suatu keanehan dari penolakan Wida tersebut, dan itu mempertebal kecurigaanku. Selang beberapa detik, smartphone Wida berdering. Sesuatu yang tidak pernah aku perhatikan, sekarang aku perhatikan. Walau sekilat tetapi aku bisa melihat perubahan mimik yang tiba-tiba di wajah Wida. Ia tampak ragu melanjutkan gerakan tangannya. Kegamangan itu jelas terlihat di gesturenya. Kening istriku itu berkerut, menatap layar alat komunikasi yang sudah berada di tangannya.

“Hallo …” Sapa Wida pada si penelepon. Entah apa yang dibicarakan si penelepon, tapi tiba-tiba Wida berteriak lumayan keras, “Apa!!! Dimana?!” Pada saat ini, aku tak henti-hentinya mendapati kepanikan di raut wajah Wida yang begitu kentara. Tak lama kemudian, Wida menatapku sambil meletakkan smartphonenya di pangkuannya.

“Pa … Teman kantor mama kecelakaan. Sekarang ada di rumah sakit. Apakah mama boleh menengoknya?” Pintanya dengan sepenuh hati. Kemungkinan besar dia berkata jujur karena berkata sangat memelas.

“Papa antar ya?” Aku coba menawarkan bantuan.

“Oh … Tidak perlu pa. Mama gak akan lama. Lagi pula siapa yang menjaga anak-anak?” Masuk akal juga, tapi nada bicaranya itu sepertinya istriku sedang menyembunyikan sesuatu.

Tentu aku tidak bisa memaksa dan akhirnya aku memberinya izin untuk keluar. Wida langsung bergerak ke kamar. Sebenarnya aku tidak pernah curiga selama ini, sampai saat kejadian tempo hari yang membuatku harus menginap semalam di rumah sakit. Mungkin kecurigaanku terlalu berlebihan, tetapi apa yang ditunjukkan Wida malam ini adalah sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya, maka pantas aku menaruh curiga pada sikap istriku itu. Tak ayal, kecurigaanku semakin menebal dan kuputuskan untuk mengetahui sebab-musababnya setelah aku merasa banyak keanehan yang sangat layak dicurigai.
-----ooo-----​

Wida Pov

Aku bergegas ke kamar untuk mengganti pakaian santaiku dengan pakaian yang lebih layak untuk digunakan keluar rumah. Langkahku yang panjang dan tergesa-gesa membuat aku tidak menyadari bahwa sedari tadi gerak-gerikku berada dalam pengawasan Denta. Aku sampai balik arah saat hampir sampai pintu garasi setelah mendengar deheman suamiku. Agak sedikit berlari, aku menghampirinya.

“Maaf pa … Mama panik … Mama pamit pa …” Kataku kikuk lalu mencium pipinya.

“Hati-hati ma …” Katanya lemah lembut dan kujawab dengan senyuman dan anggukan kepala.

Aku berjalan cepat menuju garasi, memasuki mobil Honda Jazz keluaran 2018. Beranjak pergi meninggalkan rumahku. Mobilku melaju dengan kecepatan lumayan kencang karena aku ingin segera sampai di rumah sakit Darma Persada. Aku mendapat kabar dari Lusi jika Abdi kecelakaan dan dirawat di rumah sakit itu. Hatiku begitu kacau begitu juga pikiranku. Sungguh, aku benar-benar mengkhawatirkan Abdi, aku tidak mau terjadi apa-apa padanya. Bagaimana pun juga, Abdi adalah kekasihku, dia lah yang sangat berjasa mengenalkan pada dunia yang aku impikan.

Setelah hampir 20 menit berkendaraan, aku pun tiba di rumah sakit Darma Persada. Aku parkirkan kendaraanku dekat ruang gawat darurat sesuai dengan yang diperintahkan Lusi. Baru saja akan membuka pintu, aku melihat Lusi sedang berjalan cepat ke arahku. Segera saja aku keluar dari mobil dan menyambut kedatangan sahabatku itu.

“Masuk lagi ke mobilmu dan buka pintu samping!” Pinta Lusi sangat tergesa-gesa.

“Loh! Ada apa ini? Di mana Abdi?” Tanyaku terkejut bercampur heran.

“Nanti aku jelaskan di dalam mobil.” Katanya dengan tatapan yang memaksa.

Aku turuti saja perintahnya. Aku kembali masuk ke dalam mobil lantas membuka pintu samping untuk Lusi. Sahabatku itu langsung masuk dan menyuruhku mengikuti mobil sedan biru milik Abdi keluar lagi dari rumah sakit. Akhirnya Lusi pun mengatakan bahwa Robby secara mendadak memberikan instruksi kepada seluruh anggota Bermuda Community untuk berkumpul di kantornya yang baru. Robby telah membeli sebuah gedung di pusat kota Bandung yang akan digunakannya sebagai tempat menjalankan usahanya yang baru. Robby menginginkan para pegawai perusahaannya yang baru itu adalah dari anggota Bermuda Community.

“Jadi, sebenarnya Abdi tak apa-apa? Kamu bilang Abdi kecelakaan dan dirawat di rumah sakit hanya alasan agar aku bisa keluar dari rumah?” Tanyaku yang baru saja mengerti keadaan yang sebenarnya.

“Benar … Biar kamu mau keluar dan suamimu mengijinkanmu keluar.” Jawab Lusi enteng.

“Ya, ampun Lus … Kamu tahu kan aku sedang cooling down dengan suamiku. Kalau begini, aku takut suamiku jadi dingin lagi. Dia baru saja mesra padaku.” Aku menyesalkan tindakan Lusi.

“Wida … Aku harap kamu bisa lebih berani pada suamimu. Maksudku, kamu harus bisa menyetir suamimu. Buat keadaan rumah tanggamu itu seakan kamu yang menjadi raja. Buat keadaan keinginanmu harus dituruti suamimu. Kalau sudah begitu, kamu akan lebih bebas menentukan kehendakmu tanpa harus takut lagi dengan suamimu.” Tiba-tiba Lusi berkata yang tidak terduga seperti itu.

“Mana bisa, Lus … Yang ada aku akan ditinggalnya!” Kataku sambil tetap fokus mengikuti kendaraan Abdi di depanku.

“Percayalah padaku! Suamimu itu bisa kamu setir sesuai dengan keinginanmu. Contoh nyata, waktu kamu pulang malam bersama kami tempo hari, suamimu tidak memarahaimu bukan? Ya, wajar kalau cemberut sih, tapi intinya dia kembali kepadamu bukan?” Jelas Lusi masuk akal juga.

“Bagaimana caranya biar aku bisa menyetir suamiku?” Tanyaku jadi penasaran.

“Maaf ya Wid, aku mau bilang kalau suamimu itu lemah dan penakut. Gunakan kelemahannya itu. Menurutku, langkah pertama yang bisa kamu lakukan jangan takut pada suamimu. Buang jauh-jauh pemikiran takut suami marah. Sebagai contoh, kalau kamu ingin keluar malam, keluar lah tanpa harus meminta persetujuan suami. Kami tinggal bilang padanya akan keluar dan pulang malam. Laki-laki tipe suamimu tidak akan pernah melarangmu walaupun di hati kecilnya keberatan.” Jelas Lusi.

“Ya artinya dia kecewa dan sedih dong. Aku gak mau suamiku kecewa dan sedih.” Aku menangkis penjelasan Lusi karena berlawanan dengan pemikiranku.

“Kalau kamu terus merasa begitu, kamu tidak akan pernah menjadi raja di rumahmu. Kamu akan terus menjadi pembantu di rumahmu sendiri. Wida, aku pikir suamimu lama-lama akan terbiasa dengan kebiasaan barumu dan menerimanya sebagai sesuatu yang biasa.” Kata Lusi yang sepenuhnya belum bisa aku terima.

“Bagaimana kamu bisa berkata seperti itu. Kamu tidak mengenal suamiku.” Kataku.

“Pada umumnya laki-laki menganggap pasangan yang dicintainya sebagai prioritas utama. Laki-laki akan merasa takut tidak bisa berperan dengan baik sebagai seorang pasangan. Jika kamu yakin suamimu atau pasanganmu mencintai dan menyayangimu, maka pergunakan kesempatan itu untuk menunjukkan kekuasaanmu. Bangsa laki-laki itu sebenarnya lemah. Mereka akan menuruti semua kemauan kita asalkan hatinya telah jatuh pada kita.” Ungkap Lusi. Entah kenapa kali ini aku setuju dengan pendapatnya.

Tiba-tiba mobil Abdi di depanku belok kiri dan memasuki sebuah pintu gerbang besar setelah dua orang security membukanya. Aku pun mengikutinya. Ternyata sudah banyak mobil yang terparkir di sini. Aku memarkirkan kendaraanku berjejer diantara kendaraan yang lain, lalu keluar dari mobilku. Aku, Lusi, Abdi dan Andrew berjalan beriringan memasuki gedung tingkat empat. Tak lama, kami pun memasuki sebuah aula. Aku melihat di panggung aula itu terdapat meja panjang yang sudah dipenuhi oleh empat orang dan satu mimbar yang telah terisi oleh pembicara. Aku melihat ke tempat duduk yang telah dipenuhi oleh orang-orang yang aku yakini mereka adalah anggota Bermuda Community.

Ternyata aku datang terlambat karena acara sudah dimulai. Aku, Lusi, Abdi dan Andrew memilih duduk di barusan paling belakang. Aku pun mendengarkan pidato dari orang yang berada di mimbar sambil memperhatikan keadaan sekeliling. Ya, ampun! Aku melihat pria-pria tampan dan wanita-wanita cantik di sekelilingku. Tidak salah jika komunitas ini berisikan para dewa dan para bidadari dari khayangan.

“Dia itu Robby …” Bisik Lusi dan aku melihat ke arah mimbar.

“Ya, aku pernah lihat di televisi.” Balasku dengan berbisik juga.

Sejujurnya aku kurang menyimak pidato Robby yang menurutku membosankan. Tapi untungnya itu tidak berlangsung lama. Robby mengakhiri pidatonya yang langsung disambut tepuk tangan semua anggota Bermuda Community. Acara pun dilanjutkan dengan jamuan makan dan minum yang telah disediakan penyelenggara. Aku dan Abdi memilih untuk minum saja dan agak menjauh dari kerumunan. Sementara itu, Lusi dan Andrew berbaur dengan anggota komunitas di tengah aula. Beberapa kali aku berkenalan dengan anggota Bermuda Community. Tentu saja aku senang karena aku mendapatkan banyak teman baru.

“Aku akan ke toilet sebentar.” Tiba-tiba Abdi pergi dengan langkah tergesa-gesa.

“Jangan lama-lama.” Kataku yang tak dibalas Abdi. Laki-laki itu terus melangkah cepat meninggalkanku.

Baru saja aku akan mengambil gelas kedua, aku dikejutkan dengan sapaan seorang wanita cantik, “Hai …”

“Oh … Hai …” Balas sapaku.

“Kenalkan … Siska …” Katanya sembari mengulurkan tangannya.

“Wida …” Kataku lalu menjabat tangan wanita di depanku.

“Senang berkenalan denganmu.” Katanya lagi berbasa-basi.

“Aku juga.” Kataku sembari tersenyum.

“Apakah pria tadi adalah pasangan kencanmu?” Tiba-tiba Siska bertanya seperti itu.

“Em … Bisa dibilang begitu.” Jawabku malu-malu.

“Aku adalah istrinya.” Sontak aku terperanjat dan tiba-tiba tubuhku kaku. “Tenang saja. Tidak perlu gugup. Aku hanya ingin meminta pertolonganmu.” Lanjutnya penuh harap.

“Pertolongan? Pertolongan apa?” Tanyaku masih dalam keadaan terkejut.

“Tolong … Pertemukan aku dengan suamiku. Aku ingin sekali bicara dengannya. Dia selalu menghindariku. Dia marah padaku. Aku ingin menjelaskan sesuatu padanya, agar dia mengerti.” Ucapnya sungguh memelas.

“Oh … Akan aku usahakan. Tapi aku tak tahu akan bagaimana hasilnya.” Kataku.

“Aku mohon … Tolong usahakan agar dia mau berbicara denganku.” Suara Siska membuat hatiku terenyuh iba.

“Baiklah. Kamu tunggu di sini.” Kataku sembari meninggalkan Siska.

Aku berjalan ke arah Abdi menghilang. Aku sedikit tertahan dengan banyaknya orang-orang. Akhirnya aku sampai di ruang lain. Aku edarkan pandangan dan tiba-tiba aku melihat Abdi keluar dari sebuah pintu. Langsung saja aku menghampirinya.

“Abdi … Istrimu ingin bicara denganmu.” Aku langsung menodong Abdi.

“Hei! Dia ingin sekali bicara denganmu. Temuilah dulu. Ada sesuatu yang penting, yang ingin dia sampaikan.” Kataku memaksa.

“Aku tidak sudi melihat wajahnya.” Abdi tetap bertahan.

“Abdi … Dia kelihatan sangat berharap bisa berbicara denganmu. Dia sangat bersedih. Aku mohon, temuilah dia!” Kataku semakin memaksa.

“Aku tidak mau!” Abdi tetap pada pendiriannya.

“Kalau begitu! Jangan pernah lagi menemuiku!” Kataku pura-pura mengancam.

“Apa?! Oh, ayolah Wida. Kamu tidak bisa mengancamku seperti itu!” Abdi tampak kecewa.

“Kalau begitu! Temui istrimu!” Aku semakin mendramatisir.

“Baiklah!” Katanya sembari berlalu dari hadapanku.

Aku pun tersenyum, ternyata benar apa yang dikatakan Lusi tadi di mobil. Laki-laki itu memang makhluk lemah. Mereka itu akan mengikuti kemauan wanita asalkan hatinya jatuh dan bertekuk lutut pada wanita. Sekeras kepalanya Abdi, ternyata mau menuruti keinginanku dengan sedikit ancaman. Mungkin aku bisa mempraktekannya pada Denta. Ya, akan aku coba mempraktekannya di rumah.

Aku kembali ke aula untuk menyelesaikan acara. Aku lihat dari kejauhan Abdi dan istrinya sedang berdebat. Aku tak tahu apa yang terjadi di antara mereka. Namun sepertinya lumayan serius. Lebih baik aku membaur dengan teman-teman baruku. Aku lega melihat kebersamaan dan keceriaan mereka semua, mereka juga begitu bersahaja dan menyenangkan. Suasana pesta semakin semarak meskipun malam sudah semakin larut, karena semakin banyak anggota Bermuda Community yang aku kenal. Kami saling tukar kontak dan saling berjanjian akan bertemu lagi di kesempatan yang lain.

“Wida …” Tiba-tiba seseorang menyapaku dari arah belakang. Ah, ternyata Siska.

“Oh, hai! Bagaimana?” Tanyaku.

“Terima kasih sudah menolongku. Sekarang aku lega. Abdi mau memaafkanku.” Ungkapnya.

“Syukurlah.” Aku senang mendengarnya.

Aku dan Siska akhirnya ngobrol ke sana ke mari. Mungkin karena terbawa suasana, aku langsung akrab saja dengan Siska. Saat asik berbincang-bincang dengan Siska, datang seorang pemuda tampan. Dia memperkenalkan dirinya dengan nama Irham. Tiba-tiba Irham bertanya padaku dengan pertanyaan, “Apakah kamu punya waktu luang?” Tentu aku jawab ‘tidak.’ Tidak lama Irham pun berpamitan untuk bergabung lagi dengan yang lain.

“Kamu pasti belum tahu. Irham tadi sebenarnya ingin mengajakmu bercinta.” Kata Siska. Sontak aku pun terkejut.

“Bagaimana kamu tahu?” Tanyaku.

“Tadi dia bertanya, apakah kamu punya waktu luang? Itu sebenarnya kode seorang pria mengajak bercinta pada seorang wanita di Bermuda Community. Dalam keramaian seperti ini, laki-laki akan bertanya dengan pertanyaan seperti itu untuk mengajak wanita yang diincarnya bercinta.” Jelas Siska sambil tersenyum.

“Oh … Begitu ya …” Aku pun tersenyum. “Dari tadi aku banyak mendapatkan pertanyaan seperti itu, dan jujur aku heran kenapa laki-laki di sini sering menanyakan waktu luang.” Lanjutku. Siska pun terkekeh lalu memberitahuku kode-kode lain yang berlaku di Bermuda Community.

Dan akhirnya, Siska pun harus pergi, karena memang acara resmi sudah berkahir. Rasanya aku pun harus segera pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 malam. Aku mencari Lusi, Abdi dan Andrew tetapi tak kutemukan di aula. Aku kemudian bergerak keluar aula, di sini pun aku tidak menemukan mereka. Tidak perlu menunggu ketiganya, aku memutuskan untuk pulang sendiri. Segera saja, aku menuju parkiran. Kuperhatikan sudah banyak mobil yang meninggalkan lokasi.

Setelah 20 menit berkendaraan, akhirnya aku sampai juga di rumah. Aku langsung saja ke kamar dan mengganti pakaian kemudian berbaring di atas kasur samping suamiku. Denta tidur dengan damai, tak terganggu oleh kedatanganku. Sejenak aku membayangkan pengalaman menyenangkan saat berkumpul dengan anggota Bermuda Community, sebelum akhirnya aku terlelap tidur.
-----ooo-----​


Denta Pov

Saat matahari tepat berada di titik zenit atau di atas kepala, aku dan Uci sampai di kampung leluhur kami. Aku sempatkan ziarah ke makam kedua orangtuaku, sebagai bentuk kecintaanku pada mereka. Walaupun aku lahir dan dibesarkan di Bandung, namun kedua orangtuaku adalah asli penduduk desa ini. Mereka mengembara ke kota kelahiranku untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Aku berdoa di depan makam kedua orangtuaku semoga mereka mendapat tempat yang layak di sisi-Nya.

Setelah dari makam, aku mengantarkan Uci ke rumah orangtuanya. Tadinya aku berencana ingin berkunjung ke rumah mertuaku, tetapi aku tertahan cukup lama di rumah Uci, akhirnya aku memutuskan untuk menunda kunjunganku ke sana. Aku dan Uci kemudian pergi ke petilasan Ratih Prameswasari (petilasan adalah tempat keramat atau yang dikeramatkan karena dulunya pernah menjadi tempat tinggal, tempat singgah, ataupun makam dari orang-orang yang memiliki status tinggi di masyarakat misalnya raja, punggawa kerajaan atau kerabat raja, tokoh agama maharesi atau resi, syeh atau wali, pemimpin ataupun tokoh penting masyarakat, orang-orang sakti yang disegani karena kecerdasan, kesaktian atapun karena keluhuran budi pekertinya, red).

Untuk mencapai petilasan Ratih Prameswasari, aku dan Uci harus berjalan kaki karena medan yang harus ditempuh berupa perbukitan yang tidak bisa dilalui oleh kendaraan bermotor dengan waktu tempuh sekitar empat jam. Aku dan Uci berangkat meninggalkan desa melalui jalan setapak menuju hutan. Uci sebagai petunjuk jalan karena dia pernah tiga kali datang ke petilasan Ratih Prameswasari. Uci mengatakan padaku kalau dirinya menginap semalam di petilasan Ratih Prameswasari, sebelum mendapatkan tawaran pekerjaan dariku. Saat itu Uci memang berharap pertolongan leluhur kami itu untuk bisa meneruskan studinya. Keinginan Uci pun terkabul saat Wida meneleponnya menawarkan pekerjaan.

Semakin lama hutan semakin rapat dan penuh semak-semak. Diiringi oleh senandung merdu serangga hutan, kami terus berjalan. Suasana menenteramkan hati sungguh meringankan beban yang aku pikul. Hari ini kegiatan aku dan Uci hanyalah berjalan menyusuri sungai menuju lokasi petilasan. Sungai yang kami lalui meliuk-liuk dengan airnya yang bening. Kami berjalan mengikuti aliran sungai dan kadang menyeberanginya untuk berpindah punggungan.

Uci berjalan di depanku. Berjalan cepat menembus hutan seperti sudah tahu persis arah yang dituju meski tak ada jalan. Ia mengenakan kaos putih dan celana jeans, beralas kaki sepatu kets, dan aku tersenyum saat melihat Uci membawa golok panjang di pinggang. Perjalanan ini semakin menantang. Kami melintasi hutan dengan pepohonan besar yang kokoh akarnya, melintasi sungai yang alirannya tenang. Kepakan sayap burung rangkong yang menyerupai baling-baling helikopter terdengar semakin jelas seiring kami memasuki kawasan hutan lebih dalam lagi. Burung-burung rangkong dengan paruh menyerupai tanduk itu seolah berceloteh tak henti-hentinya menyambut kedatangan kami.

Berjalan berjam-jam sampai senja menjelang sungguh menguras tenaga. Apalagi di punggungku tergantung ransel peralatan camping. Di satu titik kami menemukan bangunan kayu tak berdinding yang dikelilingi pohon-pohon besar, yang memang menjadi tempat tujuan kami.

“Kita sudah sampai, om.” Kata Uci sambil berdiri di sisi bangunan kayu.

Di tengah bangunan kayu tersebut terdapat sebuah makam yang Uci yakini sebagai makam Ratih Prameswasari. Di sekeliling makam terdapat tumpukan batu bata dengan postur lebih lebar dan panjang. Aku pun berjongkok di sisi atas makam, lalu membacakan doa kepada Yang Maha Kuasa, agar jiwa si pemilik makam ditempatkan pada tempat yang pantas serta diberi kebahagiaan yang berlimpah ruah.

Aku dan Uci pun mendirikan tenda di dekat pohon rimbun dan ilalang di sisi kanan makam, kemudian istirahat sambil mengobrol santai. Karena hari sudah gelap, Uci menyalakan lampu baterai yang lumayan terang. Untuk malam ini kami cukup makan sepotong roti saja dan sebotol air mineral. Sambil mengisi waktu kami pun ngobrol ke sana ke mari.

“Uci … Apa kamu sudah punya pacar?” Tanyaku sedikit menggoda.

“Belum om …” Jawab Uci lirih.

“Kamu itu sebenarnya cantik. Asal mau berdandan sedikit, om yakin akan banyak cowok yang suka sama kamu. Kamu itu perempuan, feminim lah sedikit.” Aku memberikan saran pada Uci. Dia hanya tersenyum kecil.

“Om … Tiga hari yang lalu ada cowok yang ngajak kenalan sama Uci. Selama tiga hari itu dia selalu datang ke toko dan selalu ngajak makan di restoran. Tapi Uci menolak ajakannya. Kayaknya Uci suka sama cowok itu. Om, apakah Uci boleh pacaran?” Tanya Uci yang membuatku terperangah. Ternyata ada juga laki-laki yang suka pada Uci.

“Tentu saja boleh. Memang kamu sudah saatnya mengenal laki-laki.” Jawabku sangat senang mendengar kabar tak terduga ini.

“Terima kasih om.” Ucap Uci pelan.

“Siapa laki-laki itu?” Tanyaku penasaran.

“Namanya Iqbal. Dia masih kuliah tingkat akhir jurusan kedokteran. Kelihatannya dia baik dan sopan.” Jawab Uci.

“Wah, calon dokter ya. Mudah-mudahan berjodoh sama kamu.” Aku memberikan support pada keponakanku itu.

Tentu saja aku sangat senang dengan adanya pemuda yang menyukai Uci. Aku kira Uci tidak menyukai laki-laki mengingat karakternya yang tomboy dan jutex bahkan sedikit kasar. Kemudian Uci menceritakan pengalamannya berkenalan dengan pemuda yang bernama Iqbal tersebut. Aku melihat kebahagiaan dari siratan matanya. Aku pun menasehati Uci agar bisa menjaga dirinya dari segala sesuatu yang membahayakan seperti bahaya pergaulan bebas. Aku mewanti-wanti supaya tetap waras bergaul di zaman yang 'gila' seperti sekarang ini.
-----ooo-----​


Wida Pov

Desahan dan erangan kami menyatu memenuhi kamar ini, keringat kami bercampur menjadi satu. Aku memeluk pinggang Abdi erat, tubuhku menempel dengan tubuh Abdi. Gerakan erotis yang kami ciptakan membuat suasana malam ini semakin panas, dan gairah kami semakin meningkat. Entah sudah berapa ronde kami bercinta sejak tadi siang, aku sudah kehilangan hitungan. Namun, aku dan Abdi seperti tak pernah puas bercinta. Kami terus mengulanginya tanpa ada rasa lelah. Jeritan pelepasan kami pun melolong dengan indah di kamar ini. Aku dapat merasakan cairan hangat milik Abdi mengalir di rahimku. Kami terkulai lemas dengan Abdi yang masih menindihku.

“Apakah kamu gak merasa lapar?” Tanyaku pada pria yang masih bertengger di atas tubuhku.

“Sedikit.” Jawabnya.

“Gimana kalau kita makan dulu? Perutku minta diisi.” Ajakku dan dijawab senyuman dan anggukannya.

Kami pun turun ke lantai satu tanpa sehelai benang pun yang menempel di tubuh kami, lalu bersama-sama menuju dapur. Aku dan Abdi makan malam dengan menu seadanya, yaitu telur dadar dan nasi. Walaupun sangat sederhana namun makanan terasa nikmat di saat lapar. Kami pun makan sambil mengobrol ringan. Dan menikmati suasana yang indah ini.

“Aku suka sekali kamu berdamai dengan istrimu lagi. Dan aku kagum pada kalian berdua untuk berkomitmen saling mencintai walaupun kalian mempunyai pasangan lain. Aku kok jadi iri. Aku ingin seperti kalian.” Kataku yang tak bisa menyembunyikan kekagumanku.

“Kamu juga bisa kalau kamu mau.” Sahut Abdi.

“Kayaknya mustahil deh. Suamiku pasti tidak akan mau. Dia itu sangat anti dengan kehidupan bebas. Pikirannya masih orthodox, tidak bisa menerima hal-hal yang aneh menurutnya.” Jelas aku pesimis bisa seperti Abdi dan Siska.

“Ajak dia pelan-pelan. Siapa tahu dia menyukai dan sejalan denganmu.” Saran Abdi.

“Aku ragu bisa berhasil, tapi apa salahnya dicoba.” Aku pun tersenyum miris.

“Oh ya … Aku sepertinya akan bekerja di perusahaan baru Robby. Apakah kamu mau ikut?” Tanya Abdi mengganti tema pembicaraan.

“Aku tidak tertarik. Aku sudah nyaman dengan pekerjaanku yang sekarang.” Jawabku lalu membakar rokok putihku.

“Gajinya besar loh … Tiga kali lipat gaji kita sekarang. Belum lagi kalau ada tugas luar. Fee-nya berkali lipat dari yang kita terima di kantor kita.” Jelas Abdi yang membuatku terperangah.

“Masa?” Tanyaku tak percaya.

“Istriku yang memberitahuku. Dia juga ditunjuk Robby sebagai salah satu direktur di perusahaan barunya. Oh ya, istriku bilang, kalau kamu bersedia bekerja di perusahaan Robby, kamu akan diangkat wakil istriku. Kamu akan menjadi ibu wakil direktur.” Ungkap Abdi sambil tersenyum.

“Kamu serius?” Aku semakin terperangah.

“Apakah aku kelihatan sedang berbohong?” Canda Abdi sembari menunjuk mukanya sendiri.

“Ok … Jujur aku jadi tertarik. Apalagi gaji yang kudapat berlipat-lipat.” Ujarku penuh semangat.

“Kalau begitu, kamu temui istriku saja atau meneleponnya, supaya lebih jelas.” Kata Abdi.

“Baik! Aku akan menelepon Siska. Kayaknya aku akan pindah kerja.” Benar-benar aku sangat tertarik dengan tawaran itu.

Selesai makan, aku dan Abdi ‘ngamar’ kembali. Seperti ponsel sekarat yang dicolok lubang pengisian daya, tubuhku terasa nyaman dan bugar. Tak ada kata hanya tubuh kami yang saling berkomunikasi. Terdengar suara lenguhan penuh birahi dari kami. Irama bertambah cepat. Tubuh Abdi menindihku. Aroma parfum itu lagi, aroma pertama yang membuat libidoku terbit. Kenikmatan demi kenikmatan kami raih. Hingga kami lelah dan tanpa sadar kami pun terlelap menuju ke alam mimpi kami masing-masing.
-----ooo-----​


Denta Pov

Kulihat jam di smartphone sudah menunjukkan pukul 03.00 malam menjelang subuh. Kulihat Uci tertidur sangat nyenyak. Aku tidak tega membangunkannya, padahal sudah waktunya giliran jaga. Sementara itu, rasa kantukku sangat tidak tertahankan, kepalaku mulai pusing karena menahan kantuk. Sepertinya istirahat sebentar tidak akan masalah. Dalam posisi duduk bersila kupejamkan mata. Karena rasa kantukku yang sangat mengganggu, membuatku tertidur dan tidak peduli dengan apa yang akan terjadi.

Ketika aku berada di alam mimpiku, aku merasa bahwa yang kualami memanglah sebuah kenyataan. Tempat di mana aku berada kini tidak lagi serba putih, tetapi aku berada di sebuah taman yang indah. Aku seperti mengambang di alam semesta spiritual. Tiba-tiba saja aku melihat sosok wanita membelakangiku yang sedang memainkan bunga di tangkainya. Tak salah lagi dia adalah Ratih Prameswasari.

“Eyang Ratih …” Aku memanggilnya dengan suara lembut, dan segera saja aku menghampirinya.

“Ada keperluan apa kamu datang ke tempatku?” Leluhurku itu langsung bertanya sesaat aku berada di dekatnya. Aku tertegun dengan pertanyaan itu. Tidak ada keperluan khusus aku datang ke sini. Aku hanya ingin menemuinya saja.

“Saya hanya ingin bertemu dengan eyang saja.” Akhirnya aku menjawab dengan sejujur-jujurnya.

“Baiklah … Kamu sudah bertemu denganku. Sekarang pergilah! Bawalah ini!” Ucap Eyang Ratih Prameswasari.

Dua buah kelopak bunga mawar terbang mengarah padaku. Tak lama, Kelopak bunga mawar itu mengapung di hadapanku. Aku ambil kelopak mawar itu dan kugenggam erat. Saat menengadah, aku tidak lagi melihat Eyang Ratih Prameswasari di tempatnya. Dan tiba-tiba saja keadaan menjadi gelap gulita. Beberapa detik setelahnya, aku terbangun dari mimpiku. Kuedarkan pandangan ke sekeliling, ternyata aku berada dalam tenda, masih dengan posisi duduk bersila. Saat membuka kepalan tanganku, aku kaget dan tak menyangka, mulutku sedikit terbuka dan mataku terbelalak. Di telapak tanganku ada dua kelopak bunga mawar yang Eyang Ratih Prameswasari berikan padaku. Sejenak aku pandangi kelopak mawar itu sambil mengira-ngira manfaat dari benda ini. Jelas aku tidak mengerti, namun yang pasti benda ini ada manfaatnya.

“Om …” Tiba-tiba Uci bangun.

“Uci … Lihat ini!” Kataku sembari menunjukkan benda pemberian Eyang Ratih Prameswasari.

“Wow! Apakah itu pemberian Eyang Ratih Prameswasari?” Tanya Uci terkagum-kagum.

“Ya … Barusan Om tertidur dan bermimpi bertemu dengan beliau dan beliau memberikan ini pada om.” Kataku.

“Om beruntung banget mendapat pemberian dari Eyang Ratih Prameswasari.” Ujar Uci merasa senang.

“Tapi om gak tahu apa gunanya benda ini?” Kataku yang masih kebingungan.

“Kita bisa tanyakan sama kakek. Kakek biasanya tahu arti dari pemberian Eyang Ratih Prameswasari.” Kata Uci.

Apapun benda di tanganku ini, aku pikir pasti berguna bagiku. Kemudian aku simpan dua kelopak mawar itu dalam dompet. Setelahnya, aku membaringkan badan di atas tikar. Aku tak memperdulikan lagi Uci yang mengajakku ngobrol. Rasa ngantuk ini begitu hebat menyerang. Pada akhirnya aku tertidur dan tidak dapat bangkit kembali. Aku tidur sangat nyenyak. Pulas tanpa mimpi. Aku terbangun saat mendengar suara beberapa orang dari luar tenda, diantaranya suara Uci. Segera saja aku bangkit dan langsung keluar tenda. Kulihat Uci sedang berbicara dengan dua orang, satu diantaranya pria tua yang rambutnya sudah memutih dan kulitnya yang mengkerut karena usia.

“Om … Sini! Ada Kakek Nandar. Kuncen tempat ini.” Seru Uci begitu bersemangat. Aku pun menghampiri mereka lalu bersalaman kepada kedua orang asing tersebut. “Om … Coba tunjukkan bunga mawar pemberian Eyang Ratih Prameswasari pada Kakek Nandar.” Lanjut Uji yang membuatku mendelik. Seharusnya Uci tidak perlu memberitahukan perihal pemberian Eyang Ratih Prameswasari pada orang lain.

“Banyak orang yang bermalam di sini sampai berhari-hari bahkan berminggu-minggu hanya untuk bisa bertemu Eyang Ratih Prameswasari. Tetapi mereka tidak mendapatkan apa-apa. Sementara kamu hanya semalam saja sudah bisa bertemu dengan Eyang Ratih Prameswasari. Sungguh, kamu sangat beruntung.” Ujar pria yang lebih muda padaku.

“Kebetulan saja kang …” Kataku merendah.

“Boleh kami melihat pemberian dari Eyang Ratih Prameswasari?” Pinta pria itu.

Tanpa berkata-kata, aku keluarkan dompet dari saku celana, kemudian mengeluarkan dua kelopak mawar dari dalamnya. Aku berikan bunga pemberian Eyang Ratih Prameswasari pada kuncen tempat ini. Mata tuanya kemudian menelisik kelopak mawar yang sudah di tangannya. Dan tak lama, sang kuncen menatapku.

“Bunga yang satu berguna menumbuhkan kepercayaan diri. Sifatnya panas dan ganas. Cocoknya dipegang preman-preman pasar atau terminal. Benda ini akan menghilangkan rasa takutmu dan akan menimpakannya dalam hati musuh atau lawanmu. Bunga kedua adalah bunga pengasihan. Bunga ini mengeluarkan energi pengasihan yang bisa menarik lawan jenis. Bunga ini tidak hanya untuk pengasihan tetapi bisa untuk kewibawaan dan memudahkan dalam urusan pekerjaan.” Jelas Kakek Nandar.

“Wah … Kamu benar-benar beruntung.” Ujar pria yang lebih muda sembari menempuk-nepuk ringan bahuku.

Kakek Nandar akhirnya menyuruhku untuk menelan kedua kelopak mawar tersebut. Tanpa berpikir lagi, aku menuruti perkataan sang kuncen, dan kutelan kelopak mawar itu dengan bantuan air mineral. Kami berempat kemudian sarapan pagi bersama, setelahnya kami membersihkan makam Eyang Ratih Prameswasari. Memang hari ini adalah jadwal membersihkan petilasan Ratih Prameswasari yang dilakukan enam bulan sekali oleh sang kuncen. Saat matahari berada di tengah-tengah, pembersihan petilasan pun usai. Kami berempat kemudian turun dari bukti, meninggalkan makam Ratih Prameswasari menuju desa.

Sekitar pukul 18.00 sore, aku sampai di rumah Uci. Aku dan Uci hanya sebentar di sana. Setelah membersihkan badan dan makan malam, aku dan Uci pun berpamitan kepada tuan rumah untuk kembali ke Bandung. Sepanjang perjalanan aku dan Uci terus ngobrol, terutama masalah pekerjaan. Berakhir sudah jalan-jalan dan cerita di Cianjur. Perjalanan yang cukup menyenangkan, dan aku berniat akan sesering mungkin mengunjungi Eyang Ratih Prameswasari.

Bersambung
 
Terakhir diubah:
makin seru ceritanya .. gak sabar menunggu pembalasan terhadap org bermuda community nya .. lancrotkan hu.. lancarin update nya gak sabaran nih wkwkwk..
 
Kalo dari kubu wida di Backing banyak karakter , bahkan tidak menutup kemungkinan akan dapet backingan dari Roby yg merupakan penguasa.
Sementara kubu denta hanya ada Uci, mungkinkah nanti akan ada karakter" Lain yg mendukung Denta, mungkinn karakter perempuan yg mempunya power yg menyaingi power Roby, yang akan mendampingi denta. Tunjukan pada Wida dan orang" Anggota bermuda comunity pembalasan yg menyakitkan yang sudah membuat wida menghianati kepercayaan Denta.
 
Mungkin nanti pas denta tahu wida berselingkuh dan gabung bermuda comunity denta jangan bereaksi berlebih. Mungkin pura" Tidak tahu tapi di balik itu semua Denta menyusun rencana dan membangun kekuatan untuk membalas wida dan bermuda Comunity. Membalasnya bisa dengan langsung sekaligus seperti bom waktu atau bergeriliya balas satu persatu orang yg di belakang wida dan menciptakan ketakutan dan Rasa sakit pembalasan. Dan mungkin menurut ane sih harus ada sosok wanita pengganti wida nantiny karna wida tidak pantas untuk denta, seorang suami yg penyayang dan baik
 
Kalo dari kubu wida di Backing banyak karakter , bahkan tidak menutup kemungkinan akan dapet backingan dari Roby yg merupakan penguasa.
Sementara kubu denta hanya ada Uci, mungkinkah nanti akan ada karakter" Lain yg mendukung Denta, mungkinn karakter perempuan yg mempunya power yg menyaingi power Roby, yang akan mendampingi denta. Tunjukan pada Wida dan orang" Anggota bermuda comunity pembalasan yg menyakitkan yang sudah membuat wida menghianati kepercayaan Denta.
Mantap mang kayanya denta bakal dibantu sama leluhur²nya sepertinya disini bakal ada unsur mistisnya maaf ini mah hanya sekedar hayalan ane gan hehehehe
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd