Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RAHASIA SEBUAH HATI (NO SARA)

Menurut ane sih ada 3 opsi yg bisa d ambil Denta :
1.Menceraikan Wida dan mencari wanita lain
2. Membalas perlakuan wida + orang" Yang telah berhubungan dengan wida, karna pasti setiap orang yg ada di bermuda comunity mempunyai orang yg mereka sayangi, itu bisa jadi alat untuk membalas dendam.
3. Ikuti arus dengan ikut bergabung dengan bermuda comunity
 
BAGIAN 8

Wida Pov

Sebatang rokok di tangan, kuhisap dalam-dalam dan menghembuskannya secara serampangan untuk sekedar menghalau udara dingin yang menembus tulang. Sejauh mata memandang dari ketinggian pegunungan, kulihat kerlap-kerlip lampu perkotaan yang terlihat begitu kecil nan mungil. Silir-semilir angin malam membelai. Sayup-sayup pohon pinus bergoyang diterpanya. Ah! Tenang sejenak. Menikmati indahnya suasana malam di bawah redup sinar rembulan. Kulepas sedikit resahnya kehidupan.

“Minumlah ini biar hatimu sedikit tenang.” Ujar Lusi sambil memberikan gelas kecil padaku.

“Apa ini?” Tanyaku sembari menelisik minuman yang diberikan Lusi.

“Itu adalah wine. Cicipi dulu, Kalau kamu tidak suka jangan diteruskan.” Jawabnya.

Aku tahu kalau minuman di tanganku mengandung alkohol, tetapi aku malah menyeruputnya sedikit. Menarik sekali rasa minuman ini, seketika badanku menghangat dari atas ke bawah, diakhiri dengan sensasi kecut dan manis bersoda yang menyegarkan. Aku lantas menyeruputnya lagi, dan ternyata aku menyukainya.

“Jangan terlalu banyak nanti kamu mabuk. Cukup untuk menghangatkan badan saja.” Ucap Lusi memperingatiku.

“Mana yang lain?” Tanyaku pada Lusi. Maksudku menanyakan Andrew dan Abdi.

“Mereka di ruang karoke. Apakah kamu mau bergabung?” Ajak Lusi.

“Tidak … Aku di sini saja. Aku lebih suka memandangi lampu-lampu di sana.” Kataku sembari memandang lampu-lampu kota di bawah sana.

“Jangan terlalu dipikirkan, Wida … Kamu tidak bersalah. Seharusnya suamimu bertanggung jawab atasmu. Tapi suamimu gagal sampai tidak peduli dengan keadaannya istrinya sendiri hanya karena takut. Jika saja dia tegas, aku yakin kamu tidak akan pergi bersama kami.” Jelas Lusi.

“Entahlah Lus … Sekarang aku merasa menyesal sudah menyakiti perasaan suamiku. Dibalik kelemahannya itu, sebenarnya dia orang yang sangat baik. Tak sekali pun dia memarahiku. Dan ya, aku masih mencintainya.” Kataku sejujur-jujurnya.

“Aku yakin suamimu baik-baik saja. Dia pasti akan menyambutmu lagi di rumah. Lebih baik lupakan dulu sejenak suamimu itu. Kita nikmati saja suasana di sini. Lihat lampu-lampu itu! Indah bukan?” Kata Lusi sembari menunjuk lampu kota di bawah sana.

Seperti bintang, kelap-kelip lampu tampak berkilau dan menghias sejauh mata memandang. Aku melihat banyak lampu yang menyala. Benar-benar seperti lautan bintang. Hanya saja, kalau mau melihat 'bintang' yang ini, aku harus menunduk bukan mengadah ka atas. Keindahan yang aku lihat membuat hatiku sedikit tenang, apalagi Lusi selalu mengajakku berbincang. Aku dan Lusi akhirnya terlibat dalam obrolan santai sambil menikmati wine dan rokok. Jika saja hatiku terbebas dari rasa yang tidak mengenakan, aku pastikan tempat ini adalah tempat yang bisa membuatku senang.

Akhirnya kami berempat memutuskan untuk pulang, karena hari telah melewati tengah malam. Sepanjang perjalanan kami berempat lebih banyak diam, hanya suara musik yang mengalun dan menemani kami. Sekitar pukul 02.00 malam, aku pun turun dari mobil milik Abdi dan berjalan sempoyongan ke teras rumahku. Tentu saja aku menolak bantuan Andrew dan menyuruhnya segera pergi dari rumahku.

Saat aku sampai pintu, ternyata pintu terkunci. Aku sudah menekan bel rumah beberapa kali namun tak kunjung suamiku keluar. Aku coba menghubungi Denta melalui smartphone, namun smartphone suamiku tidak aktif. Aku menjadi panik karena aku terjebak di luar rumah. Aku pandangi sekelilingku dan melihat pot bungaku sedikit bergeser. Segera saja aku memburu pot bunga tersebut dan mengangkatnya. Benar saja dugaanku, aku menemukan kunci rumah di bawah pot bunga yang aku angkat. Tapi, setelah kuperhatikan kunci yang kupegang bukanlah kepunyaan suamiku, ini kunci cadangan yang kuberikan pada Uci.

Secepatnya aku membuka pintu dan menutupnya lagi. Rumah sangat gelap di dalam. Tak ada lampu yang menyala selain lampu di teras rumah. Kunyalakan lampu ruangan tengah, selanjutnya bergerak ke kamar. Kamar kosong melompong tak berpenghuni. Dengan kepala agak pening, aku susuri setiap sudut rumah, dan hasilnya suamiku tidak berada di rumah. Aku pun kembali ke kamar dan langsung terjun ke atas kasur.

Apa yang telah kuperbuat?” Batinku menjerit.

Rasa menyesal mulai menggerayangi hatiku, sebebas dan sesenang dengan kehidupanku saat ini, tetap saja aku tidak akan pernah lupa dengan kenangan indah bersamanya. Selama satu tahun berpacaran dan lima tahun berumah tangga banyak sekali kisah hidup yang tidak pernah akan aku lupakan. Dan pada akhirnya, aku menangis meratapi nasibku di kamar. Aku tidak tahu harus bagaimana menyikapi semua ini. Akhirnya, aku tertidur sembari mengobrak-abrik kenangan masa lalu yang melintas di pikiranku tanpa permisi.
-----ooo-----​

Denta Pov

Dimana ini?

Tempat dimana aku berada adalah tempat seperti sebuah aula besar yang semuanya serba putih. Aku tidak tahu dimana ini, seharusnya aku berada di rumah. Aku mengedarkan pandangan ke segala penjuru arah, sisi kanan dan sisi kiri, tak ada apa-apa di sekitar. Tak lama, aku menangkap bayangan sosok manusia. Ada seseorang yang sedang mendekat dari sisi yang berlawanan.

“Kamu pasti bingung dimana kamu sekarang.” Bayangan itu berbicara dan yang kudengar adalah suara wanita.

Seorang wanita cantik berbicara kepadaku. Dengan rambut hitam panjang, kulit putih, wajah cantik, tinggi sekitar 170 cm dan bentuk tubuh yang sempurna juga ukuran payudara yang lumayan besar, dikemas dengan memakai gaun putih membuat siapa saja jatuh cinta, entah itu laki laki ataupun perempuan. Sejenak aku terdiam karena aku belum pernah melihat wanita yang secantik ini, bahkan wanita cantik yang pernah aku lihat tidak bisa dibandingkan dengannya.

“Benar … Aku bingung.” Akhirnya aku berkata tanpa mengalihkan pandangan pada wanita cantik itu dengan suara yang kentara sangat gugup. Karena ini pertama kalinya aku bertemu wanita super cantik dan entah kenapa membuaku lebih gugup daripada ketika aku berbicara dengan wanita lain.

“Tidak perlu gugup begitu, aku akan jelaskan. Pertama tama aku adalah leluhurmu yang hidup ratusan tahun sebelummu.” Ucapnya yang membuatku menggeleng-gelengkan kepala.

Aku tak percaya sekaligus terkejut. “Apakah aku sedang bermimpi?” Hatiku berkata-kata. Pertama saat pertama kali aku membuka mata aku melihat tempat yang semuanya serba putih ditambah kemunculan wanita cantik ini merupakan hal klise novel, novel isekai yang pernah kubaca dulu. Aku tahu kalau ini hanya mimpi belaka, tetapi ini seperti nyata. Buktinya aku sadar kalau aku sedang bermimpi saat ini.

Wanita cantik yang mengaku leluhurku itu pun berkata lagi dengan nada lembut, “Denta … Kamu tidak perlu gugup. Tenangkan dirimu!”

Aku mencoba menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam, “Baiklah, aku minta maaf, tolong jelaskan apa yang sedang terjadi?” Tanyaku kemudian.

“Aku melihat dan merasakan penderitaanmu. Kamu adalah orang yang baik, bahkan terlalu baik. Kebaikanmu sering disalahgunakan orang, sampai kamu sering dimanfaatkan orang yang punya modus, karena kamu terlalu baik. Denta, jadi orang baik itu tidak salah, tapi bukan juga menjadi lemah. Jadilah orang yang kuat tetapi jangan kasar. Jadilah orang yang baik tapi jangan lemah. Jadilah orang yang kuat, berani, dan ambil keputusan yang tepat dalam hidupmu. Jangan biarkan orang lain mempermainkanmu atau mengatur apa yang seharusnya kamu rasakan. Kamu akan sedih kalau mereka menyuruhmu sedih atau kamu akan senang kalau mereka menyuruhmu senang. Kamu bukan robot atau remot, kamu manusia dan kamu berhak merasakan apa saja yang mau kamu rasakan.” Katanya begitu mengena di hati.

“Aku tahu kalau aku ini lemah dan penakut. Tapi itu sudah bawaanku. Aku tidak tahu caranya mengatasi rasa takut dan kelemahanku. Maka dari itu, untuk menutupi kelemahanku, aku selalu berbuat baik pada siapapun. Dengan berbuat baik pada orang lain, aku berharap akan ada yang menolongku jika aku mendapat kesulitan.” Kataku setengah mengeluh.

“Kamu harus membangkitkan keberanianmu dengan cara berlatih. Kamu tidak bisa menunggu keberaniamu datang hanya dengan menunggu dan berdiam diri. Keberanian itu akan datang jika kamu mengundangnya. Maka berlatihlah niscaya keberanianmu akan datang.” Jelas leluhurku.

“Berlatih? Caranya?” Tanyaku mulai bersemangat. Entah kenapa tiba-tiba saja muncul harapan di dadaku.

“Orang itu tidak jauh darimu. Dia selalu menghormatimu dan menjagamu. Ikuti saja apa yang dia mau. Nanti kamu akan merasakan kebangkitan keberanianmu.” Jawabnya.

“Siapa dia?” Tanyaku namun tiba-tiba leluhurku itu hilang dalam sekejap mata.

Aku tertegun di tempatku berdiri, otakku masih mencerna apa yang dikatakan wanita cantik yang mengaku leluhurku tadi. Dan tiba-tiba saja sebuah cahaya menabrak wajahku yang membuat mataku menjadi silau. Sontak saja aku menutup mataku. Dan saat kubuka mata, yang pertama kulihat adalah langit-langit ruangan yang berwarna putih. Aku melirik ke kiri dan ke kanan. Ada Uci yang terlelap di sisi ranjangku dengan menelengkupkan kepalanya di atas dua tangannya yang terlipat. Aku bangun dari tempat tidur yang sudah aku tiduri dan aku baru sadar kalau ternyata aku berada di rumah sakit. Aku langsung ingat, aku jatuh pingsan. Aku memegangi kepalaku yang agak pening dan mengubah posisiku menjadi duduk.

“Om … Oh syukurlah … Om sudah sadar.” Pekik Uci.

“Kenapa om ada di sini? Siapa yang membawa om ke sini?” Tanyaku sambil memperbaiki posisi dudukku.

“Uci dan tetangga rumah, om. Uci khawatir terjadi apa-apa sama om.” Jawab Uci sembari memegang tanganku.

“Terima kasih ya Uci … Yang om ingat, om pingsan karena kepala om sakit sekali.” Kataku.

“Uci pangilkan dokter dulu ya om … Tunggu sebentar. Om jangan kemana-mana.” Suara Uci penuh kekhawatiran.

Aku biarkan Uci memanggil dokter, sementara pikiranku mengelana pada mimpi yang barusan aku alami. Aku ingat betul semua perkataan wanita cantik itu. Orang yang bisa membangkitkan keberanianku bukanlah orang jauh. Dia selalu menghormatiku dan menjagaku. “Apakah dia Uci?” batinku berkata. Ya, perkiraanku orang tersebut adalah Uci. Tapi yang jelas aku harus mencari tahu.

Tak lama, dokter pun datang dan memeriksaku. Setelah pemeriksaan dokter bilang bahwa keadaanku baik-baik saja dan tidak ada masalah apa pun. Hanya saja dokter menyarankan agar aku jangan terlalu banyak pikiran. Karena waktu masih pukul 03.35 malam menjelang subuh, aku pun memutuskan untuk menunggu hari menjadi terang. Aku isi waktu dengan ngobrol bersama Uci.

“Sebenarnya apa yang terjadi sebelum om pingsan?” Tanya Uci.

Aku sebenarnya sungkan mengatakannya pada Uci, tapi aku pikir Uci perlu tahu dan akhirnya aku berkata, “Tantemu marah-marah karena om tidak melarang sahabat om untuk mengajak tantemu keluar jalan-jalan.”

“Sahabat om yang bule itu bukan?” Uci menyambar ucapanku.

“Benar.” Jawabku singkat.

“Dia tidak pantas disebut sahabat. Pantasnya disebut musuh.” Tiba-tiba Uci menggeram, kentara sekali kemarahannya.

Kemudian aku melanjutkan ceritaku, “Tantemu menganggap kalau om itu sudah diinjak-injak martabat om oleh sahabat om yang bernama Andrew. Seharusnya om melarang tantemu, tapi om malah diam. Itu yang menyebabkan tantemu marah-marah.”

“Ya, iyalah … Seharusnya om tegas melarang tante untuk pergi. Kenapa om tidak melakukannya?” Suara Uci agak meninggi.

“Om takut … Om tidak bisa menolak.” Lirihku dibarengi perasaan malu mengungkapkan kelemahanku.

“Om … Jadi orang baik itu tidak salah, tapi bukan juga menjadi lemah. Jangan biarkan orang lain mempermainkan om atau mengatur apa yang seharusnya om rasakan.” Ucap Uci yang membuatku terperanjat. Bukankah itu ucapan wanita cantik yang mengaku leluhurku dalam mimpiku tadi.

Aku tatap wajahnya dan muncul keyakinan bahwa orang yang dimaksud leluhurku itu adalah Uci. Aku ambil tangannya dan berkata, “Ajari om untuk menjadi pemberani.”

“Eh … I..iya om … Uci akan me..ngajari om …” Jawabnya gugup.

“Terima kasih.” Kataku sembari melepaskan tangannya. Aku tahu kalau Uci menjadi gugup karena gadis ini tidak biasa disentuh oleh laki-laki.

“Baiklah om … Ucii bukannya mau mengajari om, tapi Uci mau menjadikan om orang yang mempunyai pendirian dan kuat. Uci melihat om selalu mengalah saja. Sama karyawan saja selalu mengalah. Mulai sekarang om harus tegas pada siapa pun. Kalau menurut om A, ya karyawan harus menuruti A juga. Jangan takut menghadapi keadaan yang belum kita ketahui.” Jelas Uci berapi-api.

“Baiklah … Akan om coba.” Jawabku.

“Dan satu lagi om … Om harus menjauhi si bule. Percayalah sama Uci, dia orangnya jahat.” Kata Uci lagi yang membuatku heran.

“Kamu mengatakan itu pasti punya alasan.” Aku coba menyelidiki perkataan Uci.

“Belum saatnya Uci katakan alasannya om … Tapi suatu saat nanti om akan mengetahuinya.” Jawab Uci.

Aku tidak ingin memperpanjang obrolan tentang Andrew. Kemudian aku mengalihkan tema pembicaraan seputar pekerjaan. Harus aku akui, sejak Uci bekerja padaku, toko-toko milikku semakin maju dan rapi. Memang, Uci sangat keras pada karyawan-karyawanku, dan anehnya semua karyawanku tunduk dan patuh padanya. Mungkin karakter kerasnya yang akan Uci ajarkan padaku.

Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi. Aku dan Uci mengurus administrasi rumah sakit. Setelahnya, kami keluar rumah sakit. Aku dibonceng Uci keluar dari area rumah sakit. Uci tidak membawaku ke rumah atau ke tempat kerja melainkan membawaku ke sasana Tiger Boxing Academy, tempat orang belajar beladiri Boxer atau kick boxing. Aku dipaksa Uci untuk mendaftar sebagai murid di sasana itu. Aku tidak menolak karena aku tahu maksud Uci. Ini adalah salah satu cara untuk membuatku menjadi pemberani.

Saat jam menunjukkan pukul 08.30 pagi, aku dan Uci keluar sasana setelah membereskan segala macam syarat kepesertaan. Dan kini Uci membawaku ke arah rumah. Sepanjang perjalanan Uci terus mengatakan kalau aku harus tegas pada istriku dan bila perlu memantau semua aktivitasnya. Sebenarnya aku bisa menangkap isi pembicaraan Uci yang sepertinya mencurigai tantenya ada main dengan Andrew. Ya, aku lumayan terpukul juga tetapi itu harus dibuktikan dulu, jangan sampai menjadi fitnah.
-----ooo-----​



Wida Pov

Aku pun terbangun. Saat membuka mata betapa terkejutnya aku. Cahaya matahari sudah menerobos masuk jendela kamarku. Ketika melihat jam dinding, aku menghela napas. Ternyata jam sudah menunjukkan pukul 08.40 pagi. Segera saja aku turun dari tempat tidur lalu berjalan ke kamar mandi. Setelah selesai mandi, berpakaian dan berdandan, aku mengambil smartphone dalam tas kerjaku. Aku langsung menghubungi kantor meminta izin untuk tidak masuk kerja dengan alasan sakit. Kemudian aku menelepon pengasuh anak-anakku, dan ternyata kedua anakku masih belum mau pulang.

Kemana perginya dia?” Hatiku bertanya tentang keberadaan suamiku.

Aku coba menelepon suamiku, tapi tetap smartphonenya tidak aktif. Aku kemudian menghubungi Uci, dan teleponnya tidak aktif juga. Akhirnya aku putuskan untuk pergi ke toko bangunan milik suamiku. Aku keluarkan mobil dari garasi dan melajukannya dengan kecepatan sedang menuju tempat kerja Denta. Sesampainya di toko bangunan kepunyaan suamiku, semua karyawan toko mengatakan belum melihat Denta dan Uci. Setelah itu, kulanjutkan ke toko bangunan kedua, ketiga, dan keempat, aku tidak menemukan suamiku dan keponakanku. Dan sejak saat itulah aku mulai khawatir, jangan-jangan suamiku pergi meninggalkanku.

Oh Tuhan … Temukanlah suamiku. Aku ingin meminta maaf padanya.” Batinku menjerit lagi.

Aku menangis saat mengendarai mobil menuju rumahku. Sebenarnya, aku tidak ingin terjadi seperti ini. Yang aku inginkan adalah mencari kesenangan di luar tetapi keluarga utuh. Aku sama sekali tidak berniat menyakiti hati suamiku. Benar-benar aku menyesal sekarang, kenapa aku tidak bisa menahan emosi kemarin malam. Aku terlalu menuruti hawa nafsuku. Jika saja aku sabar mungkin kejadian ini tidak akan terjadi.

Sesampainya di rumah aku duduk sendirian di ruang tengah. Pandanganku memang ke layar televisi, tetapi pikiranku melayang-layang entah kemana. Aku hanya bisa merutuki diri sendiri. Mencaci ketololan yang menjerumuskan hingga separah ini. Sekarang aku baru merasakan kehilangan. Seakan sebagian dari diri ini tercabut, dihempas dan hilang. Tak ada lagi senyumannya, tak ada lagi hangatnya sapa, semua menjadi sepi, hening dan kelam. Aku tak mengerti akan begini hebatnya arti kehilangan.

Aku mendengar suara mesin motor yang sangat kukenali, lalu aku berlari ke luar rumah. Di sana, suamiku baru saja turun dari motor matic kepunyaan Uci. Aku memburu suamiku dengan berlari dan memeluknya begitu erat. Hatiku begitu senang dan lega mendapati suamiku pulang ke rumah. Aku menangis di dadanya. Suamiku tak mengatakan apapun hanya mengelus punggungku dengan lembut. Tubuh suamiku seperti obat penenang bagiku.

“Hentikan tangis mama. Malu diliat tetangga.” Ujarnya menyadarkanku.

“Papa kemana saja?” Tanyaku sembari melirik Uci yang mukanya terlihat masam. Aku terkesiap saat melihat sorot mata Uci. Mata yang aku yakini sebagai tatapan kebencian.

“Aku jalan-jalan sama Uci.” Jawabnya.

Aku semakin menatap wajah keponakanku itu. Uci masih terus menatapku dengan tatapan kebencian yang tersirat banyak kesakitan. Tiba-tiba saja ada perasaan curiga. Tetapi segera kutepis jauh-jauh. Aku yakin kalau suamiku tidak akan melakukan hal yang sedang aku pikirkan. Denta terlalu takut melakukannya. Aku langsung menarik tangan suamiku dan masuk ke dalam rumah, langsung menuju dapur. Terdengar mesin motor menjauh dari rumahku, tapi aku tidak memperdulikannya. Segera saja aku membuat sarapan untuk Denta.

“Maafin mama ya pa … Kemarin mama kebawa emosi. Seharusnya mama tidak melakukan hal konyol seperti itu pada papa. Maafin mama ya pa …” Ujarku sambil menahan tangis disela kegiatan masakku.

“Ya … Tidak apa-apa.” Jawabnya dengan suara yang begitu tenang.

“Semalam papa kemana sama Uci?” Akhirnya aku bertanya juga dengan pertanyaan yang sebenarnya enggan kutanyakan.

“Papa dan Uci ada di toko jalan kemuning. Ada masalah cukup serius di toko itu. Papa dan Uci membereskannya sampai subuh. Subuhnya papa putar-putar kota sama Uci. Papa sudah lama tidak tahu perkembangan di kota ini.” Jawabnya begitu natural.

“Kenapa smartphone papa sama Uci mati? Mama neleponin papa dari malam?” Tanyaku lagi menyelidik.

“Smartphone papa mati.” Jawabnya.

“Papa bikin mama khawatir saja.” Kataku dengan nada protes.

“Ya … Maafin papa.” Katanya.

Walaupun ada sedikit ganjalan di hati, namun aku bersyukur kalau suamiku kembali ke rumah. Bagaimana pun, aku ingin rumah tanggaku tetap utuh, tapi aku tidak mau hidup dalam lingkaran kejenuhan. Hidup cuma sekali, dan aku ingin bahagia. Kini aku bertekad, aku akan menjalani dua kehidupanku sebaik-baiknya. Tidak ada yang tersakiti oleh karena itu aku harus lebih berhati-hati.
-----ooo-----​

Kulihat suamiku tertidur sangat lelap. Aku menjadi yakin kalau suamiku memang semalaman membereskan masalah di perusahaannya. Tidak biasanya Denta tidur di tengah hari seperti ini. Aku sangat jarang bahkan boleh dibilang tidak pernah melihatnya tidur siang seperti ini. Segera saja aku sambar kunci mobilku dan melajukannya ke toko bangunan di mana Uci bekerja. Ada hal yang ingin kubicarakan dengan keponakanku itu mengingat sikapnya yang kurang bersahabat padaku tadi pagi.

Dalam waktu 20 menit, aku sampai di toko bangunan. Setelah memarkirkan mobil, aku langsung saja ke ruangan yang biasa suamiku sebut dengan kantor. Aku menyuruh salah satu karyawan untuk memanggil Uci. Aku duduk di sofa menunggu Uci datang. Akhirnya orang yang kutunggu datang juga. Air mukanya benar-benar masam dan matanya menatapku tajam.

“Duduklah!” Kataku yang dibuat setenang mungkin. Tanpa berkata-kata Uci pun duduk di seberangku. “Kamu itu kenapa? Tante merasa sedang dimusuhimu.” Aku membuka pembicaraan serius.

“Yang harus bertanya adalah aku. Kenapa tante mengkhianati Om denta?” Kata-kata Uci sangat tajam dan langsung menghujam ulu hatiku.

“Maksud kamu apa?” Tanyaku dengan perasaan yang mulai tidak enak.

“Tante jangan pura-pura. Tante tahu apa yang aku maksud.” Katanya lagi membuat aku mati kutu. Bahkan hati kecilku pun tak bisa menjawabnya, seolah aku tak bisa menemukan cara lagi untuk menghindar.

“Tante tak tahu apa yang kamu bicarakan.” Aku bertahan sebisa mungkin.

Uci lantas mengambil smartphone miliknya dari saku celana. Jari-jarinya bergerak dengan liar di atas layar smartphonenya. Tak lama smartphoneku berdering tanda ada pesan whatsapp yang masuk. Aku segera mengambil alat komunikasiku itu. Uci mengirimku video. Aku sangat terkejut ketika menyaksikan video yang dikirim Uci. Video pendek yang menampilkan diriku yang sedang bercinta dengan Andrew. Seketika itu juga tanganku mulai bergetar hebat. Aku mengingatkan diri sendiri bahwa aku tidak boleh terkena panic attack dalam keadaan seperti ini.

“Ba..bagaimana ka..kamu mendapatkannya?” Tanyaku terbata-bata dan bergetar tanpa berani menatap wajah keponakanku itu.

“Tante tidak perlu tahu bagaimana aku mendapatkannya. Sekarang aku tahu kalau tante adalah pengkhianat. Aku tidak percaya kalau tante bisa melakukan perbuatan senista itu.” Kata-kata Uci sangat pedas dan begitu menohok. Tetapi aku tidak bisa melawannya karena dia berhasil menunjukkan fakta yang tak terbantahkan.

“Uci …” Aku menengadahkan kepala dan menatapnya penuh harap, “Tante mohon … Rahasiakan ini semua. Jangan sampai om kamu tahu … Tante mohon.” Kataku memelas.

“Aku memang tidak berniat memberitahukan ini pada Om Denta. Aku juga tidak ingin rumah tangga tante bubar gara-garaku. Tapi perlu tante ketahui, sejak aku mengetahui perbuatan tante ini, aku sangat membencimu. Maaf! Aku harus kembali kerja.” Katanya sambil berlalu dari hadapanku.

Aku mengurut dada pelan, sesak rasanya seperti ada batu besar yang menghalangi oksigen masuk. Terbongkar sudah semua kebusukanku selama ini. Apakah aku masih bisa berkata ‘untung’, karena Uci tidak memberitahukannya pada Denta. Entahlah, namun yang jelas ini adalah sinyal bahaya. Tentu saja aku harus mengantisipasinya agar situasinya tidak semakin parah.

Aku yang tak mau berlama-lama di sini, segera memburu mobilku. Langsung saja aku meninggalkan toko bangunan suamiku dan kembali ke rumah. Saat aku hampir sampai, aku parkirkan mobil di sisi jalan kompleks. Aku ambil ponsel pintar dalam tas, dan aku langsung menghubungi Lusi.

“Hallo, Wida … Bagaimana keadaannya sekarang?” Sapa Lusi di seberang sana.

“Gawat Lus … Keponakanku tahu kalau aku selingkuh. Dia punya bukti video segala.” Kataku panik.

“Keponakanmu? Keponakanmu tahu?” Sepertinya Lusi sedang terkejut.

“Ya, Lus … Dia nyimpan video saat aku dan Andrew bercinta. Bagaimana ini Lus?” Aku pun meminta sarannya.

“Sebentar dulu … Apakah keponakanmu itu memberitahukan penemuannya pada suamimu?” Tanya Lusi.

“Tidak … Dia bilang tidak akan memberitahukan itu pada suamiku karena dia tidak mau menjadi pengrusak rumah tanggaku.” Jawabku.

“Syukurlah … Saranku, kamu harus mendekati keponakanmu itu. Baik-baiklah sama dia dan minta menghapus videonya.” Lusi memberikan saran.

“Aku rasa tidak mungkin, Lus … Dia bilang juga kalau dia sangat membenciku.” Jawabku.

“Hhhmm … Begitu ya … Dia akan jadi bom waktu buat kamu, Wid. Suatu saat nanti keponakanmu itu akan menyusahkan kamu. Kamu harus mengambil tindakan tegas.” Ujar Lusi.

“Tindakan bagaimana?” Tanyaku penasaran.

Ada keheningan beberapa detik lamanya, sebelum akhirnya Lusi bersuara lagi, “Bagaimana kalau keponakanmu itu kita tarik menjadi anggota genk kita. Tapi kamu harus rela kalau keponakanmu seperti kita-kita ini. Maksudku menjadi orang yang mengaggungkan kebebasan dan kesenangan.”

“Oh ya, aku setuju.” Jawabku antusias.

“Sekarang ceritakan sifat-sifat keponakanmu itu.” Pinta Lusi.

“Keponakanku itu orangnya pendiam gak banyak bicara, sedikit tomboy, nggak bergaul dan galaknya minta ampun.” Jawabku menceritakan sifat-sifat Uci yang umum.

“Baiklah … Nanti aku akan mengirim utusan yang bisa membuatnya seperti kita. Untuk sementara kamu jaga jarak dulu. Biarkan utusanku yang meng-handle keponakanmu.” Kata Lusi.

“Baik. Mudah-mudahan caramu berhasil.” Kataku berharap.

“Tenang saja. Percayakan padaku.” Sahut Lusi.

“Ok kalau begitu. Nanti kita lanjut lagi. Sekarang aku harus mengurus suamiku dulu.” Aku tutup pembicaraan.

“Ok, bye …”

“Bye …”

Sambungan telepon terputus. Aku pun melanjutkan perjalanan pulang yang hanya beberapa menit saja. Sesampainya di rumah, suamiku masih tertidur pulas. Aku memutuskan untuk menonton televisi di ruang tengah. Ya, untuk saat ini mungkin lebih baik aku cooling down dulu. Aku akan membatasi aktivitasku di luar rumah untuk menjernihkan suasana di rumah hingga normal kembali. Saat sedang asik menonton televisi, smartphoneku berdering. Ah, Andrew meneleponku. Walaupun kesal, aku menerima juga teleponnya.

“Jangan meneleponku dulu, keadaan masih panas!!” Aku langsung memarahinya dengan suara pelan.

“Aku hanya ingin bicara sama Denta. Teleponnya mati.” Ujar Andrew.

“Kamu juga jangan menemui Denta dulu. Pokoknya jauhi dia dulu sebelum keadaan kembali normal. Suasananya masih panas.” Lanjutku.

“Baiklah … Pantas saja aku tadi dimarahi oleh gadis yang mengaku keponakanmu. Dia malah menyerangku.” Kata Andrew lagi.

“Makanya menjauh lah dulu sebelum keadaan di sini normal.” Kataku masih dengan suara pelan.

“Ok …” Langsung saja sambungan telepon terputus.

Kusandarkan punggung pada sofa untuk perlahan meredakan tekanan dalam dada. Pikiranku masih saja dipenuhi dengan Uci. Bagaimana aku bisa seceroboh itu. Benar kata Lusi bahwa Uci adalah bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak. Aku berharap Lusi bisa mengatasinya.

Entah sudah berapa lama aku menonton televisi. Dari tadi aku hanya berbaring dan berbaring. Aku pun bangkit dari sofa lalu berjalan menuju kamar. Aku tersenyum saat melihat suamiku sudah duduk di sisi tempat tidur. Matanya masih sayu terlihat sekali kalau kesadarannya belum terkumpul semua. Aku menghampirinya dan duduk di sisinya.

“Pa … Gimana kalau sore ini kita jalan-jalan. Mama ingin ngajak papa ke Lembang.” Kataku lemah lembut.

Denta menoleh ke arahku, tiba-tiba dia merangkulku sambil berkata, “Sekarang sudah terlalu siang ke sana, yang ada macet. Sabtu atau minggu pagi saja kalau mau ke sana.”

“Ya papa …” Aku mengeluh sedikit kecewa.

“Lagi pula, sekarang papa mau ngecek toko-toko papa.” Katanya sambil mencium pipiku lalu bangkit dan berjalan ke kamar mandi.

Aku tidak bisa memaksa tetapi memang tidak salah apa yang dikatakan suamiku tadi. Hari sudah terlalu sore dan kemacetan akan terjadi di sepanjang jalan karena bersamaan dengan waktu para pegawai atau karyawan pulang kerja. Akhirnya aku meminta izin pada suamiku untuk menjemput anak-anak di rumah pengasuh. Setelah mendapat izinnya, aku langsung meluncur ke rumah pengasuh anak-anakku.
-----ooo-----​


Denta Pov

Usai mandi dan berpakaian rapi, aku keluarkan mobil dari garasi, lalu melaju ke toko bangunanku. Aku langsung menuju ke Toko Kemuning, yaitu toko bangunanku yang berada di Jalan Kemuning. Tak sampai setengah jam, aku pun sampai di tempat tujuan. Kebetulan Uci juga berada di Toko Kemuning. Uci memberikan laporan seperti biasanya. Setelah memeriksa laporan tersebut, kuajak Uci ke sebuah coffee shop yang letaknya tak jauh dari toko bangunanku. Sambil menikmati kopi racikan barista, aku dan Uci ngobrol ringan masih seputar pekerjaan.

“Uci … Tadi pagi kamu cerita sama om seolah-olah kamu mencurigai tantemu selingkuh. Dan dari ceritamu itu, kerasa sekali kalau kamu gak suka sama sahabat om yang orang bule itu. Sebenarnya apa yang kamu ketahui tentang tantemu dengan sahabat om itu?” Tanyaku dengan nada pelan. Kulihat Uci langsung menunduk sembari memainkan jarinya di gelas. Kentara sekali kalau dia gugup. “Uci katakan saja, om tidak akan marah kok.” Bujukku.

“Tidak om … Uci tidak tahu apa-apa tentang mereka.” Jawab Uci.

“Om tahu kalau kamu sedang berbohong. Kamu terlihat sekali kalau sedang berbohong. Kamu tidak pandai berbohong. Katakan saja, apa yang kamu ketahui.” Kini aku sedikit memaksa.

“Tidak …” Ucap Uci lemah sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Ya sudah kalau nggak mau ngejawab. Tapi sekarang om merasa yakin kalau tantemu memang ada apa-apa dengan Andrew. Bukan saja kamu yang tidak mau menjawab pertanyaan om, tapi juga saat Andrew dengan entengnya mau mengajak tantemu jalan-jalan dan dengan entengnya pula tante mau pergi dengannya. Dari situ om pun sudah menduga kalau tantemu ada main dengan Andrew. Dan yang perlu kamu ketahui, pingsannya om disebabkan oleh kekecewaan yang teramat sangat pada tantemu.” Jelasku.

“Om maafkan Uci.” Keponakanku itu semakin menundukkan wajahnya.

“Kenapa harus meminta maaf? Kamu gak salah apa-apa kok?” Kataku.

“Maaf om … Uci gak mau rumah tangga om berantakan gara-gara Uci. Anggap saja Uci gak tau apa-apa. Sebaiknya om cari tahu sendiri apa yang terjadi dengan Tante Wida. Dan Uci harap, om tidak menduga-duga atau berprasangka. Om harus menemukan bukti yang nyata.” Ucap Uci dengan nada sendu.

“Ya … Om akan mencari buktinya.” Kataku agak kecewa karena aku tidak berhasil mendapatkan informasi dari Uci. Untuk beberapa detik kami tidak berbicara apa-apa. Akhirnya aku yang memulai bicara lagi, “Waktu om di rumah sakit, om bermimpi bertemu dengan leluhur om. Seorang wanita sangat cantik, rambutnya hitam dan panjang. Dia ngasih wejangan sama om. Kurang lebih begini, jadi orang baik itu tidak salah, tapi bukan juga menjadi lemah. Jangan biarkan orang lain mempermainkan om. Dan itu wejangan sama persis yang kamu ucapkan pada waktu kamu menasehati om.”

“Leluhur om? Wanita canti berambut panjang?” Ucap Uci agak menggumam. Tak lama Uci berkata kembali, “Apakah om waktu mimpi merasa nyata atau merasa tidak sedang bermimpi?”

“Iya … Perasaan om seperti nyata.” Jawabku.

“Gak salah lagi. Uci pernah dengar kalau perempuan yang datang pada om adalah leluhur kita.” Ucapan Uci langsung aku penggal.

“Sebentar … Leluhur kita? Maksudmu leluhur om denganmu juga?” Taknyaku tak mengerti.

“Om ini gimana sih … Satu kampung kita di Cianjur sebenarnya satu saudara. Kita mempunyai satu kakek buyut yang masyarakat menyebutnya Arya Wiratanu Datar. Bahkan makamnya masih ada di kampung kita.” Jelas Uci.

“Kok, om gak tau ya?” Kataku sambil tersenyum.

“Nah … Perempuan cantik yang om temui dimimpi itu adalah nenek dari Arya Wiratanu Datar yang bernama Ratih Prameswasari.” Jelas Uci lagi.

“He he he … Kamu tahu dari mana silsilah leluhur kita?” Tanyaku dengan nada bercanda.

“Aku diceritakan kakek. Aku bahkan hapal nama-nama leluhurku sampai lima belas generasi.” Jawabnya dengan tersenyum.

“Ok … Jadi apa artinya mimpi didatengi leluhur kita?” Tanyaku lagi.

“Aku tidak tahu artinya sebenarnya. Tapi menurut cerita kakek, kalau didatengi oleh Ratih Prameswasari sebaiknya kita meminta sesuatu yang kita inginkan. Kata kakek pasti dikabulkan dan menjadi kenyataan.” Jawab Uci.

“Duh … Om kalau tau begitu pasti minta kaya …” Candaku.

“Om ini gimana sih? Om itu sudah kaya. Minta yang lain dong, misalnya minta disukai cewek-cewek sampai om dikejar-kejar cewek.” Balas canda Uci.

“He he he … Kamu ini ada-ada aja.” Aku terkekeh mendengar ucapan Uci.

“Tapi om … Kata orang-orang kalau kita menginap di makam Ratih Prameswasari, ada kalanya dia datang dan mengabulkan permintaan orang yang didatangi.” Kata Uci.

“Hhhmm … Sebenarnya om gak percaya sama yang begituan. Tapi, memang ada keanehan saat om mimpi bertemu dengannya. Jiwa om menjadi tenang dan damai seperti sekarang ini. Ya, om merasakannya.” Kataku sejujur-jujurnya.

“Nah … Gimana kalau kita sekali-kali berkunjung ke makam Ratih Prameswasari? Siapa tahu kita mendapat wangsit.” Ujar Uci sembari terkekeh.

“Boleh juga. Kalau perlu secepatnya kita realisasikan, sekalian nengok orangtua. Gimana kalau hari Sabtu depan?” Ajakku.

“Ayo om! Uci juga kangen mama.” Uci menyambutnya dengan antusias.

Aku dan Uci melanjutkan obrolan hingga jam 19.00 malam. Dan kami pun akhirnya pulang ke rumah masing-masing. Entah kenapa, aku ingin sekali bertemu lagi dengan leluhurku yang bernama Ratih Prameswasari. Ada kerinduan yang mulai menetes dalam jiwa pada leluhurku itu. Jika aku dipertemukan lagi, aku hanya minta dipeluknya. Aku hanya ingin dimanjanya. Melihat kecantikannya, membuatku tak kuasa menahan diriku untuk tidak merindukannya.

Bersambung
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd