Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RAHASIA SEBUAH HATI (NO SARA)

Kirain ceritanya fokus di wida denta dan abdi. Ternyata seperti cerita lainnya tentang sekte. Hmm sukses aja buat ts
 
BAGIAN 7


Wida Pov

Pagi ini aku baru saja selesai mandi, suamiku sudah pergi ke tempat kerjanya. Setelah memilih-milih baju, akhirnya aku mengenakan dress pendek berwarna pink berenda dengan model off shoulders. Dress ini adalah pemberian Lusi yang tidak pernah aku pakai sebelumnya. Setelah itu, aku keluar kamar dan menuju kamar Andrew. Pria bule tampan itu belum juga bangun walau waktu sudah menunjukkan pukul 08.15 pagi. Kubuka pintu kamarnya, dan aku tersenyum ketika melihat kejantanan supernya setengah keras. Rupanya Andrew tidur tanpa mengenakan baju.

Aku berjalan perlahan mendekati tempat tidur Andrew lalu sangat hati-hati duduk di tepian kasur. Aku elus penisnya dengan sedikit tekanan. Hanya sebentar penis itu sudah bangkit. Bangkit dan bangkit. Keras dan mengeras, dan akhirnya benar-benar keras. Andrew membuka matanya sambil tersenyum. Niat awal hanya menyentuh, namun aku tidak tahan, perlahan aku kocok penisnya, terasa penisnya semakin menghangat, semakin mengembang, jantungku berdegup kencang, aku merasakan sentakan-sentakan kecil dari dalam dadaku, vaginaku tiba-tiba membanjir.

Segera saja aku berdiri lalu meninggalkan celana dalamku, kemudian aku naik ke atas ranjang dan memposisikan diri di atas tubuh Andrew. Aku mengangkangi tubuhnya yang rebah telentang di atas kasur. Ada sedikit rasa senang karena ini merupakan salah satu posisi favoritku. Aku tanpa ragu menuntun penisnya ke arah vaginaku dan aku mengambil posisi menduduki tubuhnya. Dengan bernafsu kugoyangkan pinggulku di atas tubuh Andrew, bahkan aku ikut membantu kedua belah telapak tangannya meremasi payudaraku.

“Aaahh … Sarapan pagi yang lezat.” Ucap Andrew setengah mendesah.

Aku semakin menggila, aku tidak perduli lagi dengan apapun, aku semakin cepat mengocok penis Andrew di dalam vaginaku. Aku tidak dapat lagi menahan suaraku. Aku menjerit dan mengerang sejadi-jadinya. Terdengar suara erangan Andrew yang semakin keras, mengimbangi suaraku, dan tidak henti-hentinya menggumamkan keketatan vaginaku.

15 menit dalam posisi 'woman on top' sampai akhirnya tubuhku bergetar seperti menggigil lalu, "Aaahh...!!" Lenguhan panjang keluar dari mulutku. Aku merasa peredaran darahku menjadi sangat lancar, pori-poriku terasa terbuka lebar. Aku tidak dapat melihat apa-apa lagi, semuanya menjadi putih, ketika satu sentakan besar seolah terasa dari vaginaku mendorong ke dada, dan terluapkan keluar. Aku mencengkeram erat dada Andrew, sambil melolong. Hentakan yang sangat kuat meledak dari dalam tubuhku. Aku orgasme dengan sangat dahsyat, semua gerakan terhenti, sampai beberapa detik aku tidak dapat bergerak. Akhirnya, tubuhku melemas dan ambruk ke depan, ke dalam pelukan Andrew. Dia peluk tubuhku sambil penisnya tetap dalam vaginaku.

Tapi tampaknya Andrew belum juga keluar, kembali tubuhku dipompanya. Tubuhku bergoyang di atas tubuhnya. Posisi ini tidak begitu lama karena Andrew menggulingkan tubuhku hingga kini tubuhku tertindih oleh tubuhnya. "Egghh... Ketat sekali...." Erang Andrew sambil terus mengocok penisnya. Tangannya yang lebar tak henti-hentinya meremas dadaku. Aku menggelinjang di bawah tubuh Andrew. Dia begitu macho dan menggairahkan. Gerakannya, kocokannya, goyangannya terasa begitu nikmat sekali. Dia mengenjotku tanpa henti, sampai akhirnya aku terlempar lagi ke alam orgasme dengan mencakar punggungnya. Gaya permainan Andrew sangat beda, sangat kasar dan ganas, dia seolah tidak memperdulikan aku, hanya memperdulikan kenikmatan yang sedang dirasakannya. Mungkin bagi kebanyakan wanita hal ini sangat tidak mengenakkan, namun aku sangat suka seperti ini.

Semakin lama permainan ranjang ini semakin panas dan brutal. Andrew mengocokku dengan berbagai posisi. Tiba-tiba dia mencabut penisnya. Terasa ada yang hilang dari vaginaku. Tak lama, dia dengan kasar menarikku dan menelungkupkanku. Dengan cepat dia mengambil posisi diantara pahaku, dan melebarkannya, sekaligus membenamkan kejantanannya.

"Aaahh … Bokongmu indah sekali...!!!" Erangnya

Aku tidak perduli lagi dengan pujian Andrew. Sergapan dan hantaman rasa nikmat terus kuterima dan membuatku hanya bisa pasrah dalam kenikmatan. Mulutku tak sanggup menahan kenikmatan yang terus menjalari seluruh syarafku. Rasanya aku sudah tidak dapat lagi menahan gelombang orgasme yang ketiga kalinya. Aku mengejar orgasmeku.

“Harder…!!! Fuck me harder…!!!” Aku menjerit seperti kesetanan.

Tentu teriakanku tadi membuat Andrew seperti mengamuk. Dia mengocok penisnya begitu cepat, seolah hendak mengantarku ke puncak kenikmatanku. Sama seperti sebelumnya, seolah ada satu pukulan yang besar. Dadaku terasa menghentak. Aku mengejang dan berteriak, “Aku keluaaaar…!!!!!” Aku seolah tidak sadar lagi. Semua kembali menjadi putih.

Antara sadar dan tidak, aku merasa di tengah-tengah orgasmeku, Andrew mencabut penisnya dan membaringkan aku yang tidak berdaya terlentang lagi. Andrew menusukku lagi, mengocokku lagi. Aku yang masih dilanda kenikmatan puncak seperti terkena gelombang tsunami yang menghantam pantai bertubi-tubi. Orgasmeku seperti tiada henti karena kocokan Andrew yang semakin cepat, tusukannya semakin kuat. Tiba-tiba tubuh Andrew mengejang dan terdengar erangan klimaksnya. Aku yang terpejam merasakan cairan hangat di sekujur dada dan perut bahkan leherku. Sejenak aku terkapar lemas meresapi sisa-sisa orgasmeku. Begitu pula dengan Andrew yang terlentang di sampingku.
-----ooo-----​

Author Pov

Mulut gadis itu menganga, mata melotot ke arah dua insan berlainan jenis kelamin baru saja menyelesaikan senggama mereka. Sudah tiga menit si gadis menyaksikan pergulatan panas kedua insan tersebut. Gadis itu menekan dadanya, shock dengan temuan yang sangat mengejutkan ini. Dia hampir tidak percaya jika tidak melihatnya sendiri.

Perlahan si gadis menjauhi dari kamar itu, dan terus berjalan menuju kamar om dan tantenya. Tak lama, si gadis menemukan sebuah kuitansi di meja kerja omnya. Tanpa berlama-lama dia menyambar kuitansi tersebut dan secepatnya keluar dari rumah. Tak lupa dia mengunci kembali pintu depan rumah dengan sangat berhati-hati, agar tidak terdengar suara. Sekarang si gadis berlari memburu motor matic miliknya dan langsung meninggalkan rumah yang baru saja ia masuki.

Si gadis terus tancap gas dan melaju kencang. Hasratnya untuk cepat sampai di tempat kerja membuatnya memacu motornya melaju dengan kecepatan tinggi. Gadis itu mengalami serangan panik dan ia shock berat karena kejadian yang baru saja ia lihat. Dia sangat tidak menyangka kalau tantenya bisa melakukan perbuatan sehina itu, apalagi perbuatan tersebut dilakukan di rumahnya sendiri.

Hanya duapuluh menit si gadis sampai di tempat kerjanya. Dengan kaki gemetar dia berjalan ke kantor omnya. Ia pun langsung memberikan kuitansi tersebut pada pria yang sedang asik menghitung hasil dagangan satu bulan kebelakang.

“Terima kasih …” Ucap Denta sambil menerima kuitansi dari tangan si gadis. Denta melihat kalau tangan si gadis gemetaran. Denta pun mendongak sambil menelisik kondisi koponakannya itu, “Kamu kenapa, Uci? Kamu sakit?” Tanya Denta yang mendapati seluruh tubuh keponakannya itu gemeteran.

Sejenak Uci berpikir keras. Apakah dia harus mengatakan apa yang dilihatnya tadi di rumah? Ada perang batin yang luar biasa. Namun pada akhirnya Uci pun berkata dengan suara bergetar, “Ng..nggak om … Uci hanya kedinginan.”

Setelah mengucapkan itu, Uci pun langsung berlalu dari hadapan Denta. Sementara itu, Denta hanya melongo keheranan melihat sikap keponakannya tersebut. “Ada apa dengan dia?” Hati Denta bertanya. Denta melihat kejanggalan yang ditunjukkan oleh Uci. Tetapi langsung Denta abaikan. Pria itu kembali mengutak-atik pekerjaannya yang belum usai.
-----ooo-----​

Wida Pov

Terpaksa aku harus mengulangi mandiku lagi. Kini aku berpakaian gamis dipadu dengan jilbab. Berkali-kali aku cek penampilanku di cermin besar di kamar. Semua tampak oke dan wajar. Dandananku pun tidak berlebihan. Setelah memastikan tidak ada yang kurang aku keluar kamar. Aku melihat Andrew sudah berpakaian rapi sedang menungguku di ruang tengah.

“Apa kamu mau sarapan dulu?” Tanyaku pada Andrew.

“Aku sudah kenyang sama vaginamu. Lebih baik kita langsung saja berangkat.” Ucap Andrew dan aku memanyunkan bibirku. Andrew tertawa terbahak-bahak sambil menyimpan botol air mineral yang tinggal setengah lagi isinya di atas meja.

Kami pun pergi menuju rumah Lusi, jalanannya sudah terlihat ramai meskipun hari masih terhitung pagi dan hari libur. Karena obrolan kami yang hangat, tak terasa kami sampai di rumah Lusi. Dan ternyata Abdi sudah duluan sampai. Aku pun memburu Abdi dan memeluknya.

“Aku merindukanmu, sayang …” Ucapku benar-benar tulus.

“Aku juga.” Balas Abdi dan kami pun berciuman.

“Ehem!” Terdengar deheman Lusi. Karuan saja kami melepaskan ciuman lalu tersenyum bersama.

“Apakabarnya Lusi …” Giliran Andrew yang menyapa Lusi.

“Baik Mister Big Cock … Kamu semakin tampan saja.” Sahut Lusi. Andrew dan Lusi pun berpelukan dan berciuman.

“Ehem!” Aku berdehem. Kami berempat pun tertawa.

“Bagaimana kabarmu, mas bro …” Kini Abdi menjabat tangan Andrew.

“Aku selalu baik. Kalau gak salah, kita bertemu dua tahun yang lalu. Sekarang kamu terlihat agak kurusan.” Ujar Andrew pada Abdi.

“Aku sengaja menguruskan badan.” Jawab Abdi.

Akhirnya kami berempat berkumpul di ruang tengah. Ditemani minuman hangat dan makanan ringan juga rokok, kami ngobrol sangat hangat. Obrolannya mengalir bebas, sebebas-bebasnya, bertema bebas dan menyangkut banyak hal. Sangat antusias sampai-sampai kami susah menyela di antara kalimat-kalimat yang meluncur dari mulut kami. Saat sedang asik ngobrol, smartphoneku berbunyi. Ternyata Denta meneleponku. Aku bangkit dari sofa dan berjalan ke dapur dan terus ke halaman belakang rumah. Segera saja aku menggeser icon hijau di layar smartphone ke atas.

“Iya pa …” Sapaku.

“Apakah waktu mama pergi, Andrew sudah bangun?” Tanya suamiku. Denta pikir aku pergi pagi-pagi sebelum Andrew bangun. Dan tentu saja aku tersenyum dalam hati.

“Dia masih tidur pa … Emangnya kenapa?” Sekarang aku pintar berbohong.

“Nggak ada apa-apa … Hanya ingin tau saja.” Ujar Denta.

“Ah papa ini … Mama kira ada apa. Kalau mau ngurusin temen papa itu, ya papa harus pulang.” Godaku.

“Gak mungkin papa pulang ke rumah. Ya udah, nanti papa telepon dia.” Katanya.

“Baik pa …” Sahutku.

Sambungan telepon pun terputus, aku geleng-geleng kepala sambil menyunggingkan senyum. Entah kenapa, sekarang aku merasa ringan membohongi suamiku. Lagi pula, aku tidak mungkin berkata jujur padanya. Alu kembali ke riungan di ruang tengah dan tiba-tiba saja Abdi meraih dan menarik tanganku hingga aku duduk di pangkuannya. Aku memekik kaget namun aku tak menolak atas perlakuannya, bahkan aku membenarkan posisi duduknya hingga nyaman.

“Siapa yang meneleponmu?” Tanya Lusi yang tetap dengan senyum khasnya.

“Suamiku … Dia menanyakan Andrew. Disangkanya Andrew masih tidur.” Jawabku lalu menoleh kepada pria bule yang sedang asik memakan kue.

“Terus, kamu bilang apa?” Tanya Lusi lagi.

“Ya aku bilang tidak tahu.” Jawabku.

“Aku sebenarnya menyukainya. Denta itu memang mempunyai rasa pertemanan yang kuat. Tapi …” Andrew menghentikan ucapannya.

“Tapi apa?” Kini Lusi bertanya pada Andrew dengan nada penasaran.

“Wida … Bolehkah aku membicarakan suamimu?” Tanya Andrew padaku dan kujawab dengan anggukan. “Ini tentang sifat buruknya.” Andrew menatapku serius.

“Ya, gak apa-apa. Katakan saja. Aku jadi penasaran.” Jawabku.

“Baiklah …” Kata Andrew sembari membersihkan tangannya dengan Tissue. Lalu Andrew pun meneruskan perkataannya, “Denta itu pengecut, dia orang tidak punya nyali. Dia itu tidak berani mempertahankan haknya padahal dia benar. Denta akan diam dan membiarkannya berlalu begitu saja.” Kata Andrew sembari geleng-geleng kepala.

“Bernyali kecil …” Sambar Lusi.

“Ya, dia memang bernyali kecil bahkan boleh kubilang dia tidak punya nyali. Wida, waktu kita makan malam bersama, kamu merasakan kan kalau aku memuji dan merayumu di depan suamimu?” Tanya Andrew padaku.

“Ya, berasa banget. Sampai aku malu loh. Aku takut suamiku marah pada saat itu.” Jawabku.

“Seharusnya dia marah … Kalau Denta punya nyali, seharusnya dia marah. Tapi kenyataannya dia diam malah ikut menikmati rayuanku pada istrinya. Seandainya kalau Denta tahu aku mengawini istrinya, aku yakin Denta akan diam, tak berani marah. Paling-paling dia bersedih lalu membiarkannya begitu saja.” Jelas Andrew lagi.

“Kamu serius? Separah itukah?” Tanyaku tak percaya.

“Ya, suamimu memang parah. Tabiatnya itu sudah tertanam kuat sejak kecil. Yang aku tahu, Denta sering diperlakukan kasar oleh orangtuanya. Benar dimarahi, salah dikasari sampai disiksa. Jadi Denta selalu merasa takut untuk bertindak karena pikirannya takut salah melulu. Masa kecil Denta memang sangat kelam.” Jelas Andrew yang membuatku merasa iba juga. Selama ini suamiku tidak pernah menceritakan masa kecilnya padaku.

“Berarti dia termasuk orang yang mempunyai gangguan kepribadian dong.” Ujar Lusi.

“Maksudnya?” Tanyaku pada Lusi.

“Banyak jenis dari gangguan kepribadian. Untuk kasus suamimu termasuk jenis gangguan kepribadian kategori tidak bisa membela diri sendiri. Aku lupa istilah ilmiahnya. Orang-orang seperti suamimu ini cenderung pasrah dan mengalah dengan keadaan.” Jelas Lusi.

“Kalau suami Wida seperti itu. Bagaimana bisa dia menjadi pengusaha yang sukses?” Tiba-tiba Abdi mengajukan pertanyaan yang sangat masuk akal.

“Orang yang mengidap gangguan kepribadian kategori tidak bisa membela diri itu bukan berarti dia tidak bisa melakukan apa-apa. Mereka pasrah dan mengalah pada keadaan pada kasus-kasus yang tertentu dan menurutnya berat. Mungkin untuk urusan bisnis atau pekerjaan Denta tidak mempunyai masalah maka dari itu usahanya lancar dan maju. Tapi, untuk urusan perselingkuhan mungkin dia akan sangat tidak berdaya.” Jelas Lusi lagi.

“Memang sih, Denta itu orangnya kurang komunikatif dan tidak percaya diri. Kadang jika di perusahaannya ada masalah malah aku yang disuruhnya maju untuk membereskan permasalahan itu.” Kataku.

“Intinya … Sekarang kamu tidak perlu takut pada suamimu untuk keluar malam … Hi hi hi …” Ujar Lusi yang memang selalu mengajakku keluar malam untuk bersenang-senang. Dan selama ini aku selalu menolaknya dengan alasan takut suami.

“Hi hi hi … Nanti akan aku coba.” Jawabku.

Abdi yang tidak banyak bicara sejak tadi, tiba-tiba tangannya menggerayangi dadaku. Payudaranya mulai diraba, diusap, dan diremas berulang-ulang. Tubuhku bereaksi terhadap sentuhannya, tidak dapat menjaga untuk tidak meregang pada jari-jarinya. Tentu saja remasan jemari Abdi di payudaraku membangkitkan hasrat di dalam tubuhku.

“Hi hi hi … Kau harus bisa belajar bercinta di depan orang lain. Suatu saat nanti kamu pun akan bercinta di depan banyak orang.” Kata Lusi seperti sedang memberikan semangat padaku.

“Bukankah aku juga akan melihat orang lain bercinta di depanku?” Responku pada Lusi.

“Hi hi hi … Aku akan memperlihatkannya padamu.” Ujar Lusi yang langsung bangkit lalu menghampiri Andrew.

Kulihat Lusi berjongkok di depan Andrew dan tanpa ragu-ragu membuka kancing celana pria bule itu dan menariknya ke bawah. Aku pun terkikik saat mengetahui Andrew tidak mengenakan celana dalam sehingga kejantanannya langsung keluar dari sarangnya. Lusi lantas membelai-belai penis Andrew dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya mempermainkan kedua bola Andrew.

“Fuck! Kau memegangnya terlalu keras!” Andrew memekik.

“Jangan berisik! Nikmati saja.” Balas Lusi. Aku dan Abdi pun tertawa.

Kini wajahku beralih pada Abdi. Kami saling tersenyum. Saat itu juga aku tempelkan bibirku pada bibirnya. Tak lama kami berciuman, tiba-tiba aku melihat Andrew sudah menggendong Lusi. Aku dan Abdi hanya senyum-senyum melihat tingkah mereka. Lalu Andrew menggendong Lusi berputar-putar. Bibir keduanya tampak berpagutan mesra. Sambil tetap berciuman mereka menuju kamar Lusi.

Lalu Abdi meraihku dan memelukku sambil berkata, “Nyusul yuk..!” Ajak Abdi dengan langsung menggendongku.

Di kamar, Andrew dan Lusi saling berpelukan dan berciuman di atas tempat tidur berukuran king size. Mereka terlihat sedang melakukan pemanasan. Aku turun dari gendongan Abdi. Kulepas semua pakaianku hingga telanjang bulat, setelah itu ganti kulucuti pakaian Abdi sampai tak bersisa. Penis Abdi belum bangun penuh, jadi masih setengah kencang. Dengan berbimbingan tangan kami naik ke atas kasur lalu berbaring di samping Lusi dan Andrew. Kulihat kini Lusi telah telentang dan Andrew menindihnya, Andrew mulai mengangkat pinggulnya dan dihunjamkannya dengan penuh perasaan sampai tubuh Lusi melengkung sambil melenguh penuh kenikmatan.

Kutarik Abdi dan segera aku telentangkan diriku. Aku ingin penis Abdi yang tegak berdiri segera menusukku mengisi relung vaginaku. Sementara Andrew dan Lusi menikmati saat-saat indah itu, aku membiarkan Abdi membuka kedua pahaku lebar-lebar dan mengarahkan penisnya ke vaginaku yang telah merekah. Perlahan-lahan, mili demi mili aku rasakan benda itu mulai memasuki vaginaku sebelum akhirnya benda keras itu telah dengan sempurna berada di peraduannya. Kemudian Abdi menindihku dan memelukku dengan sepenuh perasaan. Aku sepenuhnya berkonsentrasi pada apa yang sedang kurasakan. Abdi mulai bergerak keluar masuk dan aku menerimanya dengan diam, tanpa gerakan karena tanpa diperintah pun saraf-saraf nikmat di sepanjang lorong vaginaku bekerja, mula-mula hanya gerakan-gerakan halus.

Akhirnya aku mulai menggoyangkan pinggulku, memancing kenikmatan yang lebih. Aku merasakan sensasi yang luar biasa nikmatnya. Vaginaku yang sudah licin terasa penuh sesak kemasukan penisnya yang besar, sangat terasa penisnya menggesek vaginaku yang sudah basah berlendir itu. Aku memeluknya dan mencium bibirnya dengan agresif, Abdi menyambut ciumanku. Nafasku memburu kencang, lidahku saling mengait dengan lidahnya, saling menyedot. Aku mengangkangkan pahaku lebar-lebar, supaya Abdi lebih mudah menyodokan penisnya keluar masuk. Keluar masuk penis Abdi sampai menimbulkan suara berdecak-decak karena vaginaku sudah sangat basah.

Napas kami berempat saling berkejaran, seolah-olah melakukan perjalanan panjang yang melelahkan. Entah sudah berapa menit, akhirnya akupun orgasme. Cairanku membanjir membasahi sprei. Di sebelah, Lusi juga mengerang keras saat menjemput orgasmenya. Sementara Abdi dan Andrew, yang sama-sama belum keluar, bertukar pandang penuh arti. Dan seperti sudah bisa ditebak, mereka pun saling menukar pasangan; aku kini disetubuhi oleh Andrew, sementara Abdi menindih tubuh molek Lusi.

Jam sudah menunjukkan pukul 14.00 siang saat kami mengakhiri permainan itu. Sudah tak terhitung berapa kali aku orgasme, begitu juga dengan Lusi. Harus ku akui kalau kedua laki-laki yang menggagahi aku dan Lusi adalah pejantan tangguh yang sama-sama mempunyai skill yang mumpuni dalam membahagiakan wanita di atas ranjang. Kami berempat pun secara bergantian membersihkan badan dan berpakaian kembali, sebelum akhirnya kami berkumpul di dapur. Saat ini kami sedang menikmati makan siang. Makanannya dipesan Lusi menggunakan jasa ojek online.

“Bermuda Community sudah lama vakum. Gimana kalau kita bikin acara?” Lusi mengajukan usulan.

“Boleh juga.” Sahut Andrew bersemangat.

“Di tempat tugasku tempo hari, ada daerah yang terputus dan terisolasi karena jembatan penghubung antar desanya ambruk kena banjir bandang. Kalau mau kita adakan acara di sana. Tempatnya bagus dan indah, cocok untuk wisata juga.” Jelas Abdi.

“Ya sudah … Aku akan mengajukan proposal pada Robby. Mudah-mudahan proposalku di-acc.” Ucap Lusi bersemangat.

“Aku bisa ikut gak?” Tanyaku dengan nada memelas.

“Hi hi hi … Tentu dong. Kamu bisa ikut. Kamu kan sudah menjadi anggota Bermuda Community.” Ungkap Lusi yang membuat mataku membesar.

“Kamu serius, Lus?” Tanyaku berharap-harap cemas.

“Sebenarnya belum sih … Keanggotaanmu baru disetujui oleh 30 pria, tapi tinggal delapan lagi. Aku yakin kalau dalam beberapa hari ke depan mencapai kuota. Makanya aku bilang kamu sudah menjadi anggota Bermuda Community saat acara kita ini terlaksana.” Jelas Lusi dan aku pun tersenyum dan mengangguk senang.

“Nah … Tanggal 30 bulan ini adalah hari senin dan tanggal merah. Kita pergi tanggal 28 nya.” Saran Abdi.

“Begitu ya … Kalau begitu aku harus segera mengirim proposal pada Robby.” Sambut Lusi.

Aku hanya bisa mendengar pembicaraan Lusi, Abdi, dan Andrew tentang rencana aksi Bermuda Community. Sampai tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 sore. Aku kemudian pamit untuk pulang duluan, sementara Abdi dan Andrew masih ingin bersama di rumah Lusi. Kini mobilku melaju di jalan raya. Lumayan padat sehingga perjalananku agak terhambat. Sekitar pukul 17.00 sore, aku sampai di rumah. Seperti rutinitasku sehari-hari aku mulai memasak makan malam untuk suamiku.

Sebelum selesai memasak, suamiku datang. Seperti biasa dia selalu mencium keningku saat pulang dari tempat kerjanya. Tapi entah kenapa aku merasa hambar mendapat perlakuan itu, aku tak merasakan apa-apa, mungkin aku sudah bosan dicium kening olehnya. Sebenarnya aku ingin Denta mengajakku ngobrol atau bercanda, tapi buktinya suamiku itu lebih memilih masuk kamarnya. Aku tahu yang dia lakukan di sana yaitu mandi, dan setelahnya dia akan menonton televisi menyaksikan berita-berita yang disiarkan oleh stasiun televisi favoritnya sebelum melaksanakan sembahyang maghrib dan makan malam. Ya, begitulah kehidupanku sehari-hari di rumah. Sangat monoton dan tak berwarna.

Saat aku asik melamun, tiba-tiba smartphoneku berdering. Aku lap tanganku yang basah lalu mengambil alat komunikasiku itu di atas meja. Ternyata pengasuh anakku yang mengirim pesan Whatsapp yang mengatakan kalau kedua anakku tidak ingin pulang karena di rumahnya banyak anak seusia anak-anakku yaitu anak dari saudaranya yang datang dari luar kota. Aku pun memberinya izin. Setelah mengirim pesan kepada pengasuh anakku, aku kembali ke wastafel untuk mencuci peralatan bekas masak.

Aku menegakkan badan saat mendengar suara Andrew di ruang tengah. Aku pikir Andrew akan menginap di rumah Lusi, nyatanya dia sudah berada di rumahku saat ini. Langsung saja aku memburu pintu yang menghubungkan dapur dan ruang tengah, namun langkahku terhenti tepat di balik pintu saat mendengar pembicaraan mereka yang menurutku sangat serius. Aku malah mengintip dari balik pintu dan mendengarkan percakapan mereka.

“Denta …! Aku masih baik padamu, aku masih meminta izin padamu untuk membawa istrimu. Aku bisa saja membawa Wida tanpa harus meminta izinmu terdahulu.” Suara Andrew terdengar agak meninggi.

“Tapi ini sudah sangat sore sebentar lagi malam. Tidak baik buat istriku kalau keluar malam-malam.” Denta coba membantah permintaan Andrew.

“Tidak baik menurutmu, tetapi baik buat dia. Aku yakin Wida sangat ingin ikut denganku. Sekali lagi aku meminta ijinmu untuk membawa Wida. Maafkan aku jika aku akan membawanya tanpa izinmu.” Kata-kata Andrew semakin kasar.

Menyedihkan memang. Suamiku hanya mengalihkan pandangannya ke jendela ruangan tanpa berani menatap wajah Andrew. Aku melihatnya seperti anak kecil yang sedang dimarahi orangtuanya. Denta begitu lemah dan tidak bisa membela diri. Benar-benar aku merasa kecewa, sedih dan sakit hati. Denta benar-benar tidak punya harga diri di hadapan Andrew.

“Baiklah! Aku akan membawa istrimu sekarang.” Ujar Andrew sambil melangkah ke arahku.

Aku semakin kecewa saat Denta hanya terdiam, tidak ada usaha untuk mencegah Andrew. Kecewa yang memuncak membuat amarahku meluap. Aku langsung masuk ke ruang tengah sebelum Andrew sampai di pintu. Aku berjalan ke arah Denta melewati Andrew yang kini tegak berdiri di tempatnya. Sikap Denta yang lemah itu membuat hatiku meradang. Tak lama aku sudah berdiri di dekat suamiku yang lemah itu.

“Apakah papa mau membiarkan istrinya dibawa orang lain?” Tanyaku keras sambil memandang wajahnya yang terlihat pucat pasi.

“Oh … Ti..tidak …” Lirih Denta yang terkesan dipaksakan.

“Kalau begitu lawan dia!” Aku setengah memekik sambil jari telunjukku mengarah pada Andrew.

“Ma..maksud mama …?” Tanya suamiku dengan kepanikan super tinggi.

“Ya Tuhan … Apakah papa tidak merasa dipermalukan olehnya? Apakah papa tidak merasa diinjak-injak harga diri papa olehnya?” Kini aku memekik sambil menahan tangis.

Kulihat wajah Denta semakin pucat seperti mayat. Seumur hidup bersamanya aku baru kali ini melihat suamiku ketakutan yang luar biasa seperti yang terjadi saat ini. Ironisnya, aku malah tambah kecewa dan marah. Bagaimana bisa dia melindungiku sedangkan dia sendiri tidak mampu melindungi dirinya sendiri. Hal seperti ini membuat bara api di hatiku semakin tersulut. Kemarahan dan kekecewaan tumbuh subur pada orang yang bernama Denta.

“Ayo Andrew! Kita pergi!” Kataku sangat dingin sambil masih terus menatap wajah Denta yang pucat.

“Baik … Teman-teman kita sudah menunggu cukup lama.” Sahut Andrew.

Aku dan Andrew pun pergi meninggalkan suamiku yang sangat payah itu. Bagiku, Denta tidak layak menjadi suami. Ini kerana dia gagal memberikan perlindungan yang seharusnya dia lakukan walau nyawa sebagai taruhannya. Saat diluar rumah, aku melihat mobil sedan biru tua milik Abdi. Tak banyak bicara lagi, aku memburu mobil itu dan langsung masuk ke dalamnya. Aku membanting tubuhku di jok belakang yang disampingku sudah ada Lusi.

“Hei … Kenapa wajahmu masam begitu?” Tanya Lusi sembari memegangi tanganku.

“Cepatlah pergi dari sini!” Hanya itu yang bisa kukatakan dengan nada kesal.

Mobil pun mulai bergerak setelah Andrew duduk di sebelah Abdi yang sedang memegang kemudi. Untuk sementara waktu, kami berempat tidak bersuara. Di satu sisi, aku benar-benar marah pada Denta. Namun di sisi lain, aku juga merasa kecewa pada teman-temanku ini.

“Kenapa kalian melakukan ini semua?” Akhirnya aku bersuara, mempertanyakan tindakan teman-temanku yang menurutku sudah diluar batas kewajaran.

“Tidak ada maksud apa-apa … Kami hanya ingin mengajakmu jalan-jalan. Bukankah kamu ingin melihat dunia malam?” Ujar Lusi lemah lembut.

“Tapi tidak begini caranya!” Protesku keras.

“Kamu tenang saja, Wida … Denta akan baik-baik saja. Dia selalu akan menunggumu. Percayalah padaku.” Ujar Andrew.

Aku terdiam dengan perasaan yang kacau balau. Saat ini aku tidak bisa melukiskan perasaanku antara marah, bersalah, kecewa, sedih, bingung, takut, hampir semua perasaan negatif berkumpul menjadi satu. Aku meratapi perasaan hatiku, bulir air itu tak tahan kubendung, aku pun mulai terisak. Tiba-tiba Lusi merangkul tubuhku, sebelah tangannya mengusap-usap tanganku. Itu sudah cukup untuk membuat hatiku luluh, cukup untuk kuketahui kalau dia benar-benar memperhatikan aku. Aku pun menyenderkan kepala di bahunya sambil berusaha menentramkan hati.
-----ooo-----​

Author Pov

Uci memperhatikan kepergian mobil sedan biru itu dengan rahang menguras dan jemari tangan terkepal kuat. Sejak tadi Uci memang bersembunyi dekat mobil sedan biru tersebut saat dirinya melihat pria bule yang dilihatnya tadi pagi keluar dari dalamnya. Uci memutuskan untuk memarkirkan motornya di pinggir jalan dan bersembunyi di balik pohon besar. Setelah menunggu sekitar lima menit, Uci melihat tantenya keluar rumah dan berjalan menuju mobil sedan yang terparkir di depan rumah. Uci pun melihat si pria bule mengikuti tantenya di belakang. Setelah mobil sedan biru itu bergerak menjauhi rumah, barulah Uci keluar dari tempat persembunyian. Uci lantas mengendarai motor maticnya memasuki halaman rumah.

Uci begitu geram melihat kelakuan adik ibunya tersebut. Menurutnya ini sudah sangat keterlaluan. Ingin sekali dia melaporkan tantenya itu pada keluarga besar di Cianjur. Tetapi, dia pikir itu akan merusak rumah tangga dari orang yang telah membantu dirinya. Uci takut kalau dirinya dicap sebagai orang yang tidak tahu membalas budi dan perusak rumah tangga orang lain. Dia memutuskan untuk tidak ikut campur dengan masalah rumah tangga om dan tantenya. Uci percaya lambat laun masalah ini akan terbongkar dengan sendirinya.

Uci segera masuk ke dalam rumah sambil memanggil-manggil Denta. Uci terkejut setengah mata saat dirinya memasuki ruang tengah. Uci panik luar biasa saat mendapati omnya pingsan dengan wajah pucat tergeletak di karpet dekat sofa. Gadis itu mencoba mengembalikan kesadaran Denta dengan menggoyang-goyangkan tubuh Denta namun hasilnya nihil. Uci menangis karena bingung harus melakukan apa. Dengan kepanikan tingkat dewa, Uci langsung keluar rumah untuk meminta bantuan. Kebetulan tetangga omnya yang rumahnya bersebelahan sedang ada di luar.

“Pak .. Tolong …! Tolong …! Om saya … Om saya pingsan …!” Teriak Uci sudah sangat panik.

Laki-laki itu pun langsung berlari masuk rumah Denta sambil menyuruh Uci memanggil warga yang lain. Uci menurut dan langsung meminta pertolongan kepada warga yang lain. Tak lama, beberapa warga sudah berkumpul di rumah Denta. Akhirnya Denta pun dibawa ke rumah sakit terdekat oleh seorang warga. Uci mengikuti mobil yang membawa omnya yang masih tidak sadarkan diri hingga di rumah sakit. Uci terus mengikuti kemana omnya dibawa sampai Denta di tempatkan di ruang perawatan setelah dilakukan proses pemeriksaan. Uci pun kini duduk di sisi ranjang perawatan di mana Denta tergeletak masih tidak sadarkan diri.

“Apakah kamu saudara tuan ini?” Tiba-tiba seorang perawat menyadarkan Uci dari lamunannya.

“Iya benar.” Sahut Uci sambil bangkit dari duduknya.

“Tolong tanda tangani ini.” Sang perawat menyodorkan form administrasi yang kemudian ditandatangani Uci.

“Suster … Apakah om saya akan baik-baik saja?” Tanya Uci sembari mengembalikan form administrasi kepada si perawat.

“Om kamu akan baik-baik saja. Om kamu hanya mengalami shock yang lumayan berat. Tapi keadaan tubuhnya baik-baik saja.” Jelas sang perawat sangat ramah.

“Terima kasih suster …” Lirih Uci.

Uci pun duduk lagi di tempatnya semula. Sambil memandangi wajah Denta, dia terus merutuki Wida sebagai wanita pengkhianat dan jalang. Uci begitu marah kepada tantenya, bisa-bisanya Wida menyelingkuhi suaminya. Padahal Uci tahu kalau omnya sangat menyayangi Wida. Namun lagi-lagi Uci tidak ingin membuat keributan. Uci pun tidak memberitahukan kondisi Denta pada keluarga besar Cianjur. Biarlah untuk sementara masalah ini hanya dirinya yang tahu. Uci akan menunggu Denta siuman dan melakukan apa yang akan Denta perintahkan padanya.

Bersambung
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd