Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RAHASIA SEBUAH HATI (NO SARA)

BAGIAN 4

Denta Pov

Entah kenikmatan apa yang ditawarkan oleh rokok, dan pastinya tak sebanding dengan kesehatan yang dipertaruhkan di kemudian hari. Tetapi nyatanya aku sekarang merokok. Entah sudah berapa lama aku tidak merasakan asap tembakau, namun nyatanya sekarang aku menghisapnya. Faktanya, merokok belum cukup untuk bisa menghilangkan kekalutanku. Kekalutanku ini dipicu oleh niat Pemerintah Daerah setempat menjual lahan tambang pasirku ke seorang pengusaha dari Jakarta, yang tentunya akan sangat mengganggu usahaku. Bukan saja aku, tetapi juga beberapa pengusaha tambang pasir merasakan hal yang sama dengan diriku.

“Sudah … Jangan terlalu dipikirkan. Kita memang bisa apa? Kalau pemerintah berkehendak, yang bisa kita lakukan hanya pasrah.” Ujar salah satu rekan pengusaha tambang pasir yang sejak tadi menemaniku di cafe dangdut yang sedang aku singgahi ini.

“Bukan begitu, Wan … Aku hanya menyesali saja. Kenapa pemerintah dengan begitu saja memutuskan perjanjian kerjasama dengan kita tanpa ada ganti rugi sama sekali. Seharusnya pemerintah terkena penalti karena membatalkan perjanjian secara sepihak.” Kataku geram.

“Aku peringatkan! Jangan berani kamu protes dengan keputusan ini. Nyawamu akan menjadi taruhannya. Kamu tahu kan, bupati daerah ini bisa melakukan apa saja tanpa terjerat hukum. Dia memang sangat licin dan licik.” Rekan pengusaha pasirku bernama Wawan coba memperingatiku.

“Aku juga berpikir seribu kali, Wan … Aku masih mau hidup.” Kataku yang secara tidak langsung mengakui ucapan Wawan barusan. Memang aku tidak bisa berbuat apa-apa karena penguasa sudah menentukan.

“Apakah kamu tahu, siapa pengusaha Jakarta yang mengambil tambang pasir kita?” Tanya Wawan padaku setelah menghembuskan asap rokoknya ke udara.

“Tadi yang aku dengar dari Bapak Bupati, namanya Robby. Dia pengusaha muda yang baru mau merintis usaha. Si Robby ini anak Pak Soemitro, konglomerat yang dekat dengan istana.” Jawabku.

“Pantas saja anak si Soemitro … La dia kan yang punya negara ini.” Seloroh Wawan dan aku menjadi geli mendengarnya.

“Bukan yang punya negeri ini, tapi mafia negeri ini.” Kataku lalu terkekeh.

“Hati-hati bicaramu. Nanti ditangkap dan lenyap.” Ujar Wawan dengan wajah serius.

Aku baru saja keceplosan. Sesungguhnya konglomerat bernama Soemitro itu adalah gembongnya para penjahat yang dilindungi pemerintah negara. Soemitro adalah seorang mafia yang merupakan pemimpin sistem bank di dunia kriminal seluruh Indonesia. Pengaruhnya sangat besar dan ia juga dikenal sebagai bandar judi terbesar di negeri ini. Menurut ‘kabar burung’ yang pernah aku dengar, soemitro dan gerombolannya sangat kejam dan tak segan menghilangkan nyawa manusia tanpa jejak.

Kulihat jam di tangan yang menunjukan pukul 01.12 malam. Anehnya aku sama sekali tidak mengantuk. Mungkin aku kebanyakan minum kopi di cafe dangdut ini. Belum lagi penyanyi-penyanyi dangdut di cafe ini yang menampilkan para perempuan seksi dengan ditandai pakaian minim dan lekuk bagian tubuh yang menonjol, mampu menggugah hasrat laki-laki. Entah begitu merdu nyanyian sang biduan atau karena lagunya favoritku, aku pun ikut berdendang. Sejenak terhanyut merelaksasi jiwa.

“Ha ha ha … Merdu juga suaramu.” Ucap Wawan seraya tertawa terbahak-bahak.

“Ah … Cuma latihan di kamar mandi.” Kilahku.

“Apa karena penyanyi yang cantik jadi kamu ikut bernyanyi.” Canda Wawan.

“Hhhmm … Dia gak cantik tapi seksi.” Jawabku.

“Ha ha ha …” Wawan tertawa lagi. “Hanya modal 500 ribu, kamu bisa membawanya ke kamar penginapanmu.” Candanya lagi.

“Tidak Wan … Aku masih ingat dosa.” Balas candaku.

“Aku kasih tau ya … Hidup itu jangan terlalu lurus. Jalan tol saja ada belokannya. Berbeloklah sekali-kali supaya kamu gak menyesal hidup.” Wawan memandangku serius.

“Bicara apa sih kamu ini. Aku sangat bahagia dengan kehidupanku. Aku tidak pernah menyesal dengan kehidupanku.” Aku mulai kesal pada rekanku ini.

“Ha ha ha … Jangan marah dong kawan! Aku hanya bilang kamu itu banyak yang naksir. Sayang aja kalau gak direspon. Ceweknya cantik-cantik lagi.” Ucap Wawan membuatku melongo.

“Aku ada yang naksir?” Aku sungguh tak percaya.

“Lihat cewek itu. Cewek berbaju merah … Arah jam Sembilan … Dia naksir berat sama kamu.” Ujar Wawan dan sontak aku menoleh ke samping kiri.

Seorang wanita yang lumayan cantik berdandan bak seorang artis. Dengan balutan dress merah ketat di atas lutut dan tanpa lengan, lekuk tubuh wanita itu terlihat jelas. Lalu aku mengalihkan pandanganku lagi kepada Wawan, kemudian aku menggeleng-gelengkan kepala.

“Ha ha ha … Kamu memang manusia lurus kawan.” Wawan kini memujiku.

“Aku manusia biasa, Wan. Aku juga punya nafsu dan keinginan. Tapi, aku tak bisa mengorbankan kebahagiaan keluargaku dengan menuruti nafsu dan keinginanku semata. Sejauh apapun kaki melangkah, keluarga adalah tempat ternyaman yang selalu aku rindukan untuk pulang.” Kataku.

“Ya, kamu beruntung mempunyai keluarga bahagia. Aku tak heran kalau kamu sangat menjaganya. Jaman edan seperti sekarang ini, sangat jarang menemukan orang sepertimu. Aku kagum padamu, kawan.” Wawan memujiku lagi.

“Terima kasih.” Kataku sambil tersenyum.

Malam semakin larut. Kesunyian menjabat perlahan. Semakin malam semakin pekat. Secangkir kopi sudah lelah berdiskusi. Saat aku melihat jam di tangan, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 02.20 malam. Sudah waktunya beranjak dari cafe ini dan kembali ke penginapan yang letaknya tidak begitu jauh dari cafe. Sesampainya di penginapan, kurebahkan tubuhku di atas kasur. Rasa penat begitu terasa malam ini. Bukan hanya penat secara fisik saja, tetapi juga penat secara psikis. Aku gelisah selama beberapa menit, namun menjelang dini hari akhirnya aku bisa tertidur juga.

Aku tidak tahu berapa lama aku tidur, sepertinya sebentar, karena suara adzan subuh begitu keras terdengar. Rupanya di sebelah penginapanku terdapat sebuah masjid. Aku bergegas ke kamar mandi untuk mandi dan wudhu. Setelahnya aku buru-buru ke masjid dan sembahyang berjamaah dengan penduduk sekitar. Aku keluar mesjid sekitar pukul 06.30, langsung saja aku berkemas untuk kembali ke kota dimana aku tinggal.

Pelan-pelan kujalankan mobilku meninggalkan area penginapan. Aku menyusuri jalan desa yang berbatu. Di kiri kanan tampak sawah menghijau dengan tanaman mentimun dan kacang panjang sebagai tanaman selingan setelah panen. Sekitar lima menit perjalanan sejak dari penginapan, aku melihat seorang pria tergopoh-gopoh menggendong putranya yang sakit. Pria tersebut terlihat kerepotan dan menahan lelah yang luar biasa. Jalanan yang kulewati saat ini memang sepi, tak ada kendaraan atau angkot yang melintasi jalan ini. Tentu saja aku merasa kasihan dan kuputuskan menepikan mobilku dan menghampirinya untuk sekedar bertanya atau menawarkan bantuan kecil.

“Akang mau kemana?” Tanyaku saat berhadapan dengan pria itu.

“Saya mau ke Puskesmas, pak … Anak saya sakit …” Suaranya terdengar parau dan berat, seperti sedang menahan tangis.

“Kalau begitu, saya antar. Mari kang!” Ajakku untuk menaiki mobil.

Tanpa membantah pria itu mengikutiku dan masuk ke dalam mobil. Setelah aku berada di belakang kemudi, aku lajukan lagi mobilku ke Puskesmas terdekat. Dengan petunjuk arah dari si pria di sampingku, akhirnya kami sampai di sebuah Puskesmas. Aku bersyukur karena anak yang sakit itu langsung mendapat perawatan intensif dari dokter dan perawat Puskesmas. Saat mengurus keperluan administrasi ternyata pria itu tidak mempunyai uang sepeser pun. Akhirnya aku tutup biaya pengobatan si anak dengan uangku.

“Terima kasih, pak … Terima kasih atas pertolongannya …” Ucap si pria yang sampai saat ini aku belum tahu namanya. Pria itu menyalami tanganku sangat erat sembari menunduk-nundukkan badannya.

“Sama-sama, kang … Jangan terlalu dipikirkan, yang penting anak akang selamat dan sehat kembali.” Kataku.

Kami pun menunggu informasi selanjutnya dari dokter, apakah anak itu bisa dibawa pulang atau perlu dirawat. Akhirnya aku dan si pria berkenalan. Dia memperkenalkan dirinya dengan menyebutkan namanya ‘Herman’ yang mengaku berusia 31 tahun. Tanpa aku minta, Herman bercerita kisah pahit hidupnya yang baru saja ditinggal pergi istrinya. Istri Herman yang bernama Yanti pergi bersama laki-laki kaya dari Jakarta. Yanti tega pergi meninggalkan suami dan anaknya yang sedang sakit parah demi laki-laki kaya itu.

“Apakah akang tahu siapa nama laki-laki yang membawa istri akang?” Tanyaku hati-hati.

“Namanya Robby … Katanya dia pemilik tambang pasir di daerah ini.” Jawab Herman.

Sontak jantungku seakan berhenti bekerja. Aku terkejut bukan kepalang sebab laki-laki yang merebut istri Herman adalah orang yang sama yang telah ‘merebut’ tambang pasirku. Ya, Robby anak Soemitro adalah orangnya. Oleh karena itulah aku hanya bisa ‘diam’. Sebenarnya aku lelah dengan kebungkaman ini. Ada ketidakadilan, ada kejahatan, ada kemunafikan. Aku tahu, mataku melihat, telingaku mendengar, hatiku merasakan, tetapi aku hanya bisa diam. Tak ada yang bisa kulakukan selain diam. Aku diam bukannya tak mampu bersuara lantang. Aku diam karena aku dipaksa diam. Diam adalah emas, namun dipaksa diam itu menyakitkan.

“Yang sabar aja ya kang. Semoga akang mendapat penggantinya yang lebih baik.” Kataku iba.

“Tidak pak! Saya tidak akan bisa mendapat penggantinya.” Katanya yang membuatku kembali terkejut.

“Loh?! Kenapa?!” Tanyaku setengah memekik.

“Saya dipaksa untuk tidak menceraikan istri saya yang dibawa Robby. Robby mengancam akan membunuh saya kalau saya berani menceraikan istri saya.” Ungkapnya pelan dan bergetar.

Mataku membulat sempurna. Aku seperti mendengar dongeng yang tak masuk diakal. Setelah keterkejutanku mereda barulah aku bertanya, “Apa akang percaya dengan ancamannya?”

“Laki-laki itu menodongkan pistol ke kepala saya. Bagaimana saya tidak percaya dengan ancaman dia?” Jawab Herman dan kali ini mampu menciutkan hatiku karena aku tahu siapa sebenarnya si Robby itu.

Di jaman edan ini, keculasan demi keculasan silih berganti berusaha menjatuhkan etika dan norma. Yang kuat menindas yang lemah nampaknya sudah menjadi hukum alam. Oleh karena itu, tragedi kemanusiaan terus saja terjadi. Sekali pun hidup di tengah kecanggihan teknologi, kehebatan perangkat komunikasi, dan kedigdayaan alat transportasi, ternyata kejahatan demi kejahatan menunjukkan kegarangan dan kebuasannya, tanpa ada daya dari manusia untuk mencegahnya. Bahkan, para penguasa dan orang-orang yang merasa dirinya dapat mempermainkan nasib manusia, dengan mudah dapat membalikkan fakta dan memanipulasi berita.

Dengan ancaman kehidupan seperti itu, kepada siapa orang-orang dapat mengadukan dan mengeluhkan penderitaannya, supaya dapat terlepas dari penindasan, teror, pemiskinan, pemberangusan hak-hak golongan lemah oleh golongan kaya dan kuat, pemerkosaan nilai kemanusiaan oleh penguasa dan super power melalui hukum, senjata berteknologi canggih, dan aparat negara yang sudah dimodifikasi berjiwa tanpa perikemanusiaan? Sekali lagi jawabannya hanya diam.

“Baiklah kang … Saya tidak bisa berlama-lama di sini. Saya harus kembali ke Bandung. Semoga anaknya lekas sembuh.” Kataku seraya bangkit dari bangku.

Herman pun langsung berdiri dan menyambar tanganku dan menciumnya seraya berkata, “Terima kasih pak … Terima kasih telah menolong anak saya. Saya doakan bapak mendapatkan balasan dari Yang Maha Kuasa berlimpah-limpah.”

“Sama-sama kang. Saya pamit.” Kataku dan berlalu dari hadapannya.

Aku keluar gedung Puskesmas dan menghampiri mobilku yang terparkir di halaman Puskesmas. Tak lama aku sudah di jalan kabupaten. Mobilku terus melaju dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan aku berpikir, sebagai manusia perasaan absurd pada porsi tertentu kerap orang alami. Baik disadari atau tidak disadari ketika mulai menginjak usia dewasa awal hingga tua. Di mana tabrakan-tabrakan antara ekspektasi dan realitas lebih sering terjadi. Perencanaan matang yang dibangun perlahan-lahan bisa hancur begitu saja karena hal kecil. Mungkin karena kodrat manusia yang melulu menginginkan kesempurnaan, keutuhan akan adanya penjelasan yang sifatnya harus menyeluruh. Sementara di lain pihak ternyata dunia menyembunyikannya dengan sengaja. Menyajikan penjelasan secara setengah-setengah sehingga manusia terus mencari makna-makna, kebenaran-kebenaran yang ia yakini dan berakhir hanya mendapati yang serba sebagian dan samar.
-----ooo-----​


Wida Pov

Siang ini aku baru selesai meeting dengan atasan. Sebuah proyek pembangunan kompleks olahraga milik pemerintah daerah akan segera terealisasi. Aku bersyukur mendapatkan posisi yang lumayan strategis di proyek ini, artinya aku akan mendapatkan penghasilan lebih bahkan menurutku sangat besar. Belum apa-apa otakku sudah terisi acara belanja barang-barang yang aku inginkan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa yang namanya wanita, identik dengan kata shopping atau belanja. Yang namanya wanita, pasti tergiur dengan hal-hal begini.

Aku duduk di kursi kerjaku. Setumpuk pekerjaan yang harus kuselesaikan menungguku di atas meja. Aku menghembuskan napas berat. Hari ini akan menjadi hari yang panjang. Dugaanku tidak salah. Entah kenapa hari ini berkas-berkas pekerjaan berdatangan. Aku menanggapinya dengan sabar dan menyelesaikan pekerjaanku sesegera mungkin. Ketika aku fokus mengerjakan pekerjaanku, tiba-tiba smartphoneku berdering dan nama Uci tertera di sana. Sejenak aku terkejut karena sejak kemarin aku lupa menelepon keponakanku itu.

“Hallo …” Sapaku pada Uci.

“Maaf tante … Aku hanya ingin tau keadaan tante saja karena tante gak pulang semalam dan gak ada kabar. Apakah tante baik-baik saja.” Suara Uci terdengar khawatir.

“Tante baik-baik saja Uci … Semalam tante dipaksa temen tante untuk nginap di rumahnya. Maaf ya, karena tante lupa mengabari kamu.” Kataku.

“Oh, gak apa-apa tante … Aku hanya khawatir saja. Kalau gitu udah ya tante, Uci mau kerja lagi.” Ujar Uci.

“Eh sebentar … Apakah om kamu sudah kembali?” Tanyaku.

“Belum tante … Mungkin sebentar lagi sampai.” Jawabnya.

“Uci … Tante mau minta tolong sama kamu.” Jujur aku sedikit grogi saat ini.

“Apa itu tante?” Tanya Uci bernada heran.

“Uci … Tante minta tolong, jangan bilang sama on kamu kalau tante tidak pulang semalam. Om kamu paling tidak suka kalau tante menginap di rumah temen tante. Tante males berantem lagi karena tante gak pulang. Bisa kan?” Aku sangat berhati-hati mengatakan hal itu.

“Baik tante …” Jawab Uci membuat hatiku lega.

“Kamu janji ya sama tante gak akan bilang kalau tante gak pulang semalam karena menginap di rumah temen tante.” Kataku mempertegas.

“Aku janji tante …” Jawab Uci lagi.

“Terima kasih Uci … Silahkan kamu melanjutkan pekerjaanmu.” Kataku.

“Baik tante …” Sahut Uci dan terputus hubungan telepon.

Kini aku bisa bernapas lega. Aku tahu Uci tidak akan memberitahukan suamiku kalau aku tidak pulang semalam. Dan tiba-tiba saja bayangan kejadian semalam tergambar di benakku. Sungguh, malam yang luar biasa. Malam yang penuh dengan gemuruh cinta di dada. Salah satu kisah hidupku yang tidak mungkin terlupakan. Aku pun tersenyum sendiri dan kembali bekerja sebab pekerjaanku lumayan menumpuk.

Saat aku melihat meja kerjaku, aku hanya bisa menghela napas. Kepalaku pusing melihat berkas-berkas yang menumpuk di depan mata. Meja kerjaku benar-benar seperti dilanda topan. Aku pun mulai bekerja, walaupun dengan rasa malas yang luar biasa. Jam 16.45 akhirnya pekerjaanku selesai. Rasanya badan ini lelah ditempa kerjaan yang tiada akhir. Aku menengok ke ruangan kerja Abdi, ternyata pria itu masih berkutat dengan pekerjaannya. Aku lantas mengirim pesan singkat melalui handphone jadulku, menanyakan apakah dia mau pulang bersama-sama. Abdi menjawab pekerjaannya masih banyak dan akan pulang malam. Aku disuruhnya pulang duluan.

Aku segera membereskan meja kerjaku, merapikan apa yang ada di atas meja, merapikan bajuku, kemudian melangkah meninggalkan ruangan. Dan sekarang aku pulang dengan menggunakan taksi. Sebelumnya Abdi minta maaf berkali-kali karena tidak bisa mengantarkan aku pulang. Dalam perjalanan aku berpikir dengan argumen bersulur-sulur mencari makna. Aku tahu apa yang aku lakukan adalah salah. Tapi, mungkinkah sesuatu yang salah mampu memberikan pesona begitu indah? Bayangan kejadian semalam bersama Abdi, tidak sanggup membuat rasa membuncah ini surut. Aku terlena, terhanyut dan mabuk.

Lantas, bagaimana perasaanku kepada suamiku? Aku seperti merasakannya sebagai cinta murni yang mendesak mencari jalan. Meski begitu, sungguh sulit melupakannya. Jangankan itu, membencinya pun aku tak sanggup. Karena, di antara ribuan detik aku membencinya, di antara jutaan detik aku terombang-ambing antara mencintai atau membencinya, terkadang aku terkejap-kejap oleh guyuran cinta yang membanjur sejuk. Dan ya, aku terpojok dalam antiklimaks, yang membuat batinku sakit. Aku mencari napas pada udara yang tiba-tiba menjadi padat dan berat. Kucoba menghibur diri sendiri.

Waktu menunjukan tepat pukul 17.40 petang saat ini, seperti biasa pada jam segini suamiku sudah berada di rumah. Sejak Uci menjadi orang kepercayaannya, suamiku selalu pulang pukul 17.00 sore dari tempat kerjanya, sementara Uci sering pulang malam. Setelah bertegur sapa dan berbasa-basi dengan suami dan anak-anakku, aku langsung ke kamar dan mandi. Saat selesai acara mandiku, waktu maghrib tiba. Aku dan suami juga anak-anak sembahyang berjamaah dan dilanjutkan dengan makan malam bersama. Aku tidak perlu memasak karena suamiku sudah membeli masukan padang sewaktu dia pulang.

Seperti rutinitas yang keseharian kami lakukan, setelah makan malam kami berkumpul di ruang tengah, menidurkan anak-anak. Aku dan suami sembahyang isya lalu tidur. Malam ini tidurku sangat nyenyak dan terbangun ketika azan subuh menggema dari arah masjid. Aku dan suami pun bergegas memenuhi panggilan Yang Maha Kuasa.

Kebetulan hari ini adalah hari Sabtu, hari libur untuk pegawai negeri sepertiku. Pada saat sarapan pagi bersama keluarga kecilku, tiba-tiba smartphoneku berdering. Aku mengambilnya dan kulihat layar ponsel pintarku bertuliskan nama Cyntia. Diam-diam aku mengulas senyum tipis. Sesungguhnya Cyntia adalah nama samaran untuk Abdi. Cyntia aka Abdi menulis pesan padaku, “Bisakah kamu keluar hari ini?”

“Pa … Boleh aku keluar dengan temanku hari ini?” Tanyaku pada Denta yang sedang menyantap makanannya.

“Boleh … Mama memang perlu refreshing.” Jawab suamiku dan aku pun tersenyum lebar.

“Terima kasih ya pa …” Kataku sangat senang.

Langsung saja aku balas pesan dari Cyntia aka Abdi dengan mengatakan bahwa aku bisa keluar dengannya hari ini, tetapi menunggu suamiku berangkat ke tempat kerjanya. Dan tak lama, suamiku dan Uci berangkat bekerja. Segera saja aku menelepon pengasuh anak-anak dan memintanya untuk menjaga anak-anakku. Setelah itu, aku pun mandi dan berdandan cantik namun simpel. Kali ini aku mengenakan kerudung hitam dipadu gamis panjang motif blue flower. Aku memeriksa penampilanku di kaca sebelum meninggalkan rumah.

Aku lantas memesan taksi online, kemudian menelepon Abdi dengan handphone jadulku agar dia menungguku di taman depan gedung budaya yang letaknya seberang kantor kami. Tak lama, taksi yang aku pesan datang, secepatnya aku menaiki taksi tersebut. Tidak lebih setengah jam, aku sampai di taman gedung budaya. Ternyata Abdi sudah menungguku, dia datang duluan. Kemudian kami pun segera meluncur dari tempat itu.

“Kita akan kemana?” Tanyaku sesaat setelah mobil Abdi melaju.

“Ada tempat wisata baru yang bagus sekali. Kita akan ke sana.” Lantas Abdi menceritakan tempat wisata yang dia maksud.

“Terima kasih sudah mau mengajakku jalan-jalan seperti ini.” Kataku dengan sangat tulus.

“Kamu terlalu berlebihan, my princess … Apakah suamimu tidak pernah mengajakmu jalan-jalan ke tempat wisata?” Ujar Abdi yang diakhiri pertanyaan.

“Jarang … Jarang sekali … Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya.” Lirihku sendu.

“Mungkin kamu jarang mengajaknya.” Ucap Abdi.

“Aku sering mengajaknya, sangat sering, sampai bosan sendiri. Padahal aku sangat ingin melihat dunia. Aku ingin merasakan keindahan dunia ini, di waktu siang atau di waktu malam. Dunia ini penuh dengan begitu banyak hal yang memberi kita sukacita dan kesenangan. Dan aku telah menyia-nyiakannya.” Kataku sambil tersenyum miris.

“Ya, dunia ini penuh dengan kesenangan, banyak pilihan, penuh bentuk, dan banyak warna. Dan kamu harus menikmatinya.” Katanya.

Sepanjang perjalanan kami ngobrol sampai ngelantur. Berbagai percakapan dari hal yang remeh temeh selalu saja berhasil menghibur. Hingga tak terasa kami sampai juga di lokasi wisata yang kami tuju. Cuaca cerah sangat mendukung, udara yang bercampur antara panas matahari dan dinginnya daerah pegunungan menjadi sensasi tersendiri di lokasi wisata alam ini. Aku dan Abdi mulai menyusurinya. Aku hampir tak bisa mengungkapkan perasaan cintaku pada alam ini, dan dapat disimpulkan bahwa aku sangat takjub oleh pemandangan yang tersaji di sini.

“Ini sungguh luar biasa, sayang.” Kataku yang sejak tadi menyandarkan kepalaku di pundak Abdi sambil merangkulkan tanganku di lengannya.

“Ya, tapi ini baru sebagian kecil dunia yang kamu lihat. Masih banyak dunia-dunia lain yang perlu kamu nikmati.” Ujar Abdi dan tentu aku sangat setuju.

Setelah puas mengitari lokasi wisata, kami pun akhirnya menyewa sebuah cottage (pondok kayu) yang disediakan pengelola. Salah satu fasilitas yang didapat adalah kamar mandi dengan air panas. Jelas, aku tidak akan menyia-nyiakan fasilitas ini. Dengan genit aku sengaja membuka baju di depan Abdi hingga tak sehelai pun melekat di tubuhku. Kemudian, aku berjalan lenggak-lenggok bak seorang model menuju kamar mandi. Segera saja aku merendamkan diri ke dalam bathtub yang sudah terisi air hangat. Dengan perlahan, aku duduk dan menaruh kepalaku di bantal yang sudah disiapkan di kepala bathtub.

Tak lama, Abdi menyusulku ke kamar mandi. Dia sudah telanjang, dan tubuhnya yang atletis membuatku terpesona. Apalagi saat melihat ‘tongkat saktinya’ yang besar dan panjang itu sudah tegak mengacung. Lalu Abdi juga masuk ke dalam bathtub dan duduk di depan selangkanganku. Kemudian laki-laki itu menaruh masing-masing kakiku di pinggiran bathtub sehingga vaginaku yang setengahnya terendam air bisa terlihat olehnya. Abdi langsung meraba-raba dengan tangannya yang bersabun, mulai dari lututku, tangannya terus merembet ke pahaku yang putih mulus hingga ke vaginaku. Dia bersihkan bibir luar vaginaku dan klitorisku serta daerah pantatku. Abdi juga memasukkan dua jarinya untuk membersihkan bagian dalam vaginaku sekaligus memainkan vaginaku. Aku berpegangan pada pinggiran bathtub agar tidak jatuh sebab tubuhku menggelinjang karena Abdi dengan gencarnya menggerakkan dua jarinya keluar masuk vaginaku.

“Sayaanghh … Aaaahh … Aku mau …. Keluaarrr ….” Erangku sehingga beberapa detik kemudian terasa tubuhku mengejang hebat disertai perasaan nikmat teramat sangat dikarenakan aku mulai mendekati orgasmeku. “Oh… Sayanghh...! Aku… aku… akh… nikmaats… mhh...!” Bersamaan dengan itu aku mencapai puncakku. Tubuhku melayang entah kemana, dan sungguh aku sangat menikmatinya. Tahu bahwa aku sudah mencapai puncak kenikmatan, Abdi menghentikan kegiatannya.

“Ratuku gimana sih? Malah keluar waktu dibersihin.” Canda Abdi yang membuatku mendelik. Sontak Abdi tertawa terbahak-bahak.

“Kamu ini, ih!” Aku pura-pura marah dan pura-pura cemberut.

“Aku akan selalu memberi ratuku kesenangan dan kebahagiaan.” Ucap Abdi kemudian dengan suara lirih.

“Ya … Aku sangat menikmatinya. Kamu sangat pandai membuatku lupa diri.” Kataku.

“Itu juga karenamu. Kamu sudah membangkitkan lagi sisi liarku.” Sahut Abdi.

“Sisi liarmu? Maksudnya?” Tanyaku penasaran.

“Sejujurnya, aku ini bukanlah orang baik-baik, ratuku. Aku ini bajingan yang sudah kenyang akan kenikmatan dunia. Dunia siang dan dunia malam yang menyenangkan sudah aku rasakan. Bagiku normal adalah sesuatu yang biasa. Saat itu aku ingin menjadi berbeda, melakukan hal-hal yang cenderung tidak normal. Sensasinya, adrenalin meningkat dan kesenangan itu menjadi candu dalam diriku. Berjuta fantasi menghiasi hariku.” Jelas Abdi yang belum sepenuhnya bisa aku mengerti.

“Maksud dari tidak normal itu apa?” Tanyaku ingin penjelasan.

“Kamu akan merinding mendengarnya.” Kata Abdi sembari keluar dari bathtub.

“Aku ingin mendengarnya.” Paksaku.

“Berendam di air panas terlalu lama tidak baik, my princess. Keluarlah aku akan menjawab pertanyaanmu di kamar.” Ucap Abdi sembari mengulurkan tangannya.

Aku menyambut tangan Abdi lalu keluar dari bathtub. Kami berjalan menuju kamar cottage dan merebahkan diri di atas kasur. Abdi menindih tubuhku dan kami berciuman. Lidah Abdi terasa sangat agresif merangsek ke rongga mulutku, sehingga bisa kusedot dengan sekuat tenaga. Dengan bertumpu pada sikutnya, Abdi menggerak-gerakkan pinggulnya menyodok daerah selangkanganku. Aku pun menggerakkan pinggulku untuk menambah sensasi gerakan Abdi.

“Aaaahh …” Aku mendesah saat kuras penisnya mulai memasuki tubuhku.

Getar getar nikmat segera berkecamuk di dalam diriku. Aku merasakan sentuhan penisnya yang menikmatkan. Tak pernah sekalipun aku menemukan rasa ini pada penis Denta, suamiku. Tatkala batang penis panjang dan besar Abdi bergerak keluar masuk, aku merasakan nikmat yang luar biasa. Di alam kenikmatan, pikiranku menerawang. Aku seorang perempuan yang sudah bersuami tengah disetubuhi oleh orang lain. Tak sedikit pun rasa bersalah bertandang di dalam hatiku, dan itu sangat di luar dugaanku. Seolah-olah aku sudah terjebak di antara sadar dan tidak sadar akan kenikmatan perselingkuhan ini. Betapa aku sangat mengharapkan kepuasan bersetubuh dari lelaki yang bukan suamiku.

Beberapa menit berlalu, peluh kami sudah bercucuran. Sampailah aku pada puncak kenikmatan yang kudambakan. Orgasmeku mulai terasa dan sungguh aku sangat menikmatinya. Menikmati orgasmeku oleh laki-laki yang bukan suamiku, sensasinya sungguh luar biasa. Tak lama kemudian aku bisa merasakan Abdi memuncratkan spermanya di dalam lubangku. Kami berhenti bergerak untuk beberapa saat, dan kemudian Abdi mengeluarkan penisnya dari lubangku. Aku bisa merasakan sebagian spermanya mengalir menuruni pahaku. Abdi lantas berbaring di sebelahku. Aku coba mengatur napas setelah dilanda terjangan orgasme yang hebat sampai perlahan-lahan kesadaranku kembali walau denyutan-denyutan kenikmatan itu masih terasa di pusatku.

“Abdi … Tadi kamu bilang normal itu sesuatu yang biasa. Akhirnya kamu melakukan hal-hal yang cenderung tidak normal. Aku ingin tahu maksudmu itu.” Kataku sambil merebahkan kepalaku di dadanya yang bidang.

“Aku akan menjawabnya dengan bertanya padamu. Semua pertanyaanku adalah jawaban pertanyaanmu. Pertanyaanku sederhana, apakah kamu mempunyai keinginan yang belum kamu capai?” Tanya Abdi sembari mengusap-usap kepalaku.

Langsung saja aku jawab, “Banyak.”

“Apa keinginan terbesarmu itu?” Tanyanya lagi.

“Aku ingin hidup senang dan bahagia.” Jawabku untuk pertanyaan kedua Abdi.

“Dengan apa kamu bisa hidup senang dan bahagia?” Pertanyaan Abdi semakin mengerucut. Untuk kali ini aku terdiam. Bukan karena tidak mempunyai jawaban tetapi aku malu mengungkapkannya. Beberapa detik berselang Abdi pun mengajukan pertanyaan lagi, “Apakah uang atau harta kekayaan yang kamu cari?”

Aku berpikir sejenak dan kujawab, “Bukan …”

“Apakah itu seks?” Tanya Abdi yang membuatku merasa malu bukan kepalang. Sekali lagi aku terdiam dan Abdi pun mengulangi pertanyaannya, “Apakah benar itu seks?”

“Ya …” Aku menjawab dengan suara sangat pelan.

“Itulah yang aku maksud melakukan hal-hal yang cenderung tidak normal. Aku sama sepertimu, aku tidak perlu apa-apa untuk membuat diriku senang dan bahagia kecuali seks. Seks bagiku adalah hal yang menyenangkan. Bak dua kutub magnet berbeda bagiku seks adalah bahasa kesenangan. Semacam take and give bagi para pelakunya. Seks bisa dilakukan dengan siapa saja asal sama-sama suku. Maka itulah aku sebut tidak normal.” Jelas Abdi.

Aku pun menghadapkan wajahku pada wajahnya dan berkata, “Aku sudah memikirkan itu sejak lama.” Akhirnya aku mengakui keinginanku yang selalu kupendam.

“Tapi kamu harus benar mengartikan seks yang sesungguhnya. Tadi kita sepakat kalau seks adalah sesuatu hal yang menyenangkan. Seks yang hanya dinikmati oleh satu pihak saja bukanlah murni seks. Bagaimana pun juga, seks yang murni harus melibatkan perasaan. Sederhananya, suka sama suka.” Jelas Abdi lagi.

“Abdi … Aku tahu kalau kamu mencintaiku, dan aku juga mencintaimu. Bagaimana perasaanmu jika kamu mengetahui kalau aku berhubungan seks dengan lelaki lain?” Tanyaku.

“Menurutku cinta dan seks adalah dua hal yang terpisah. Bisa dinikmati sebagai satu kesatuan yang utuh, tetapi juga bisa dinikmati sendiri-sendiri dengan caranya sendiri-sendiri. Kamu pasti bisa menikmati hubungan seks saja tanpa cinta, atau kamu bisa melakukannya dengan suamimu atau pacarmu dan tenggelam dalam lautan cinta, atau kamu bisa juga menikmati rasa cinta itu sendiri tanpa seks. Seks bisa dimasuki unsur cinta di dalamnya dan bisa jadi akan lebih indah, tapi toh seks itu sendiri tanpa cinta tak akan apa-apa. Dan sekali lagi aku tegaskan inilah yang aku sebut tidak normal.” Kata Abdi sambil tersenyum.

“Bagaimana dengan kesetiaan? Bukankah itu sudah mengkhianati kesetiaan?” Aku terus mendesak Abdi dengan pertanyaan-pertanyaan.

“Aku mengartikan kesetiaan adalah mempertahankan cinta dengan menjaga janji bersama. Intinya adalah janji bersama. Jika kita berjanji akan mempertahankan cinta dan selalu bersama walau masing-masing kita tahu kalau kita melakukan hubungan seks dengan orang lain, artinya kita masih setia.” Jawab Abdi.

“Oh … Aku mengerti sekarang … Jadi dengan memisahkan cinta dan seks, kita tak perlu lagi kecewa atau sakit hati saat pasangan kita melakukan hubungan seks dengan orang lain.” Ucapku sembari membalas senyumnya.

“Benar sekali … Cinta adalah perasaan yang dalam dan lebih spesial terhadap seseorang. Sementara seks adalah kesenangan fisik belaka. Aku katakan sekali lagi, cinta bisa terlibat dalam seks dan juga bisa tidak terlibat dalam seks.” Tegas Abdi.

Aku kembali meletakkan kepalaku di dada Abdi sambil berkata, “Aku sering berfantasi berhubungan seks dengan banyak laki-laki. Mungkin karena sisi liarku yang lagi dan lagi tidak bisa dikendalikan. Otakku sama sekali tidak merespon bisikan hatiku yang menolak semua ini. Terlebih ketika rasa penasaranku akan apa yang aku lihat dan baca di media sosial tentang kebebasan seks memaksaku untuk mengabaikan penolakan kecil dalam hati.”

“Sebagai bukti cintaku padamu, aku akan membantu merealisasikannya.” Ujar Abdi yang sontak saja aku mengangkat kepala kembali.

“Benarkah?” Aku setengah berteriak saking bahagianya.

Abdi hanya tersenyum lalu menciumku begitu lembut. Tak ayal lagi, kami mengulangi permainan panas kami beberapa kali, sebelum akhirnya kami meninggalkan cottage dan lokasi wisata untuk kembali ke rumah masing-masing. Sepanjang perjalanan, Abdi memberitahuku tentang tips and trick masuk ke dunia yang aku inginkan, diantaranya mengubah penampilanku. Aku begitu antusias mendengarkan penjelasan Abdi dan tak sabar untuk terjun pada dunia baruku.
Bersambung
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd