Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RAHASIA SEBUAH HATI (NO SARA)

BAGIAN 2


Wida Pov

Setiap hari aku terbiasa bangun sekitar jam 05.00 pagi, tepatnya setelah adzan. Aku bangun dari tidurku dan langsung mengambil wudhu untuk mengerjakan sembahyang subuh. Setelah selesai menghadapi Yang Maha Kuasa, aku pun kemudian membangunkan suamiku, kemudian ke dapur untuk menyiapkan sarapan pagi. Seperti kemarin, pikiran dan hatiku masih terus memikirkan seseorang yang ingin kutemui. Sang hati dan pikiranku masih tak berada di tempatnya. Keduanya tengah berkelana dengan orang lain. Melamunkan sisa-sisa kisah hasrat hati selama bersamanya.

Abdi …” Batinku berkata lirih.

Karena saking asiknya melamun, aku sampai tak sadar kalau pengasuh anak-anakku sudah datang dan membawa anak-anakku yang baru saja bangun ke kamar mandi yang berada di dapur. Aku segera selesaikan masakku dan menyajikannya di meja. Tak lama, suamiku datang dan langsung menyantap sarapan paginya tanpa menunggu anak-anak selesai mandi. Aku berbincang-bincang ringan dengan suamiku sembari menemaninya sarapan pagi. Saat suamiku selesai dengan sarapannya, lantas aku bereskan bekas makannya dan mencucinya di wastafel.

“Ma … Hari ini papa mungkin akan pulang larut malam. Papa harus ngurus tambang pasir di luar kota.” Kata suamiku seraya menghampiriku yang sedang membersihkan piring bekas sarapannya.

“Kalau sekiranya papa kemalaman, lebih baik papa menginap saja di sana.” Aku sangat tahu tempat tambang pasir suamiku yang letaknya cukup jauh dari kota ini. Perjalanannya hampir memakan waktu empat jam.

“Kita lihat saja nanti. Jika memang papa harus menginap, nanti papa hubungi mama.” Katanya lalu mencium keningku. Lalu suamiku langsung berjalan meninggalkan dapur.

“Hati-hati ya pa …” Ucapku yang dijawab dengan anggukan dan senyumannya.

Aku hanya menghela napas pelan. Ada kekecewaan sekaligus kelegaan dalam hatiku. Kekecewaan karena lagi-lagi suamiku lupa dan harus melewati ulang tahunku, namun disisi lain, aku juga lega karena aku bisa dengan leluasa menghabiskan waktu dengan Abdi. Langsung saja hatiku mendesis, “Haruskah aku merasa sebagai pendosa karena mencintai pria lain selain suamiku ?” Tapi ini juga salah suamiku. Andai saja dia tidak terlalu mementingkan pekerjaannya, andai saja dia memiliki waktu yang cukup untukku, perselingkuhan ini mungkin tak akan terjadi.

Sambil menghela napas, aku pergi ke kamarku dan langsung membersihkan diri. Setelah selesai mandi, aku kenakan pakaian kantor dan merias wajah. Kini aku mengambil tas kerjaku yang selalu kusimpan dalam lemari. Kupandangi sejenak tas kerjaku itu sebelum akhirnya aku mengambil sebuah kotak kosmetik dari dalamnya. Isi kotak kosmetikku itu bukanlah kosmetik tetapi handphone jadul keluaran tahun 2005. Handphone inilah yang biasa aku gunakan untuk berhubungan dengan Abdi. Jujur, sebenarnya aku masih bimbang untuk menghubunginya atau tidak. Karena hatiku terus menuju ke arahnya, dan hatiku tidak ingin berhenti, maka aku putuskan untuk mengirimnya sebuah pesan singkat. Aku lantas mengetik huruf ‘P’ saja dan mengirimnya kepada nomor yang juga khusus. Hanya aku dan Abdi yang menggunakannya.

Ternyata pesan singkatku terkirim dan masuk ke handphone laki-laki itu. Aku bersyukur karena Abdi masih mengaktifkan handphone dan nomornya. Setelah beberapa saat menunggu akhirnya pesan singkatku dijawab oleh Abdi. Di layar handphone jadulku itu terlihat kata ‘aman’. Begitulah cara kami berkomunikasi selama ini. Dengan hati dan tangan gemetar, aku pun meneleponnya.

“Hallo …“ Terdengar suara serak Abdi di seberang sana.

“Selamat pagi …“ Sapaku dengan suara dibuat semerdu mungkin.

“Selamat pagi my princess … Ahh … Rasanya senang sekali bisa mendengar suaramu lagi.” Ujar Abdi membuat pipiku merona. Kehangatan seperti inilah yang sudah tak bisa lagi aku dapatkan dari suamiku.

“Kamu masih di atas kasur? Belum siap-siap berangkat? Ini sudah siang lo …” Kataku agak genit.

“Aku gak bisa tidur semalaman karena selalu teringat sama kamu, Wida …” Karuan saja hatiku menjadi berbunga-bunga setelah mendengar ucapannya itu. Sangat sederhana gombalannya, tapi bikin aku senyam-senyum sendiri. Tak lama Abdi berkata lagi, “Aku sangat merindukanmu Princess …” Tentu saja hatiku semakin bergetar.

“Ih … Pagi-pagi sudah ngegombal. Cepat mandi dan ketemuan di kantor.” Kataku sambil menahan senyum.

“Baik … Aku siap-siap dulu dan langsung ke kantor.” Ujar Abdi.

Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, aku segera memutuskan sambungan telepon dan menopangkan dagu pada ponsel di tanganku. Kini kegundahanku sedikit berkurang. Nyatanya Abdi membuat gairah remajaku kembali. Aku merasakan cinta yang tumpah ruah untuk Abdi. Aku merasakan juga gairah cinta yang membara di dalamnya. Terus terang, bersama Abdi, aku seakan menemukan kembali gairah hidup.

Aku berangkat ke kantor dengan menggunakan taksi online. Kutinggalkan mobilku di rumah. Aku pun sampai di kantor duluan dari pada Abdi. Setelah membereskan meja dan peralatanku, aku bekerja sambil menunggu Abdi datang. Sepuluh menit berselang, kulihat Abdi memasuki ruangannya. Dia menyapaku dengan senyumannya yang tentu saja kubalas dengan seyuman termanisku.

Cinta membuat waktu tersa berlalu sangat cepat. Cinta membuat aku bergairah dan antusias. Cinta juga membuat aku semangat bekerja. Aku tersenyum saat melihat Abdi menyeringai lebar menatapku. Baru saja aku mengirim Whatsapp padanya kalau aku ingin makan siang dengannya. Dari mejaku, aku melihat Abdi mengacungkan jempolnya padaku. Aku balas mengacungkan jempolku padanya.

Setelah pesimis dengan kenyataan masa lalu, muncul semangat baru untuk hubungan yang baru. Percaya bahwa lembaran baru mungkin saja bisa melukiskan kisah-kisah baru yang lebih daripada lembaran-lembaran yang lama. Walau terkadang masih sering terbayang-bayang masa lalu, tapi tetap harus semangat dan optimis demi kebahagiaan yang baru saja dirintis kembali.

Tak terasa, jam istirahat telah tiba tepat pukul 12.00 siang. Aku segera ke tempat parkir, masuk mobil, dan mobil pun bergerak perlahan keluar dari area kantor. Aku duduk di sisi sebelah kiri, sementara Abdi berada di belakang kemudi. Memang begitulah kebiasaan yang dulu pernah kami jalani jika ingin makan siang bersama. Kami tidak pernah memperlihatkan pada siapa pun jika ingin berduaan di lingkungan kantor.

“Kita mau makan di mana?” Tanya Abdi menyadarkanku dari lamunan.

“Kita cari restoran terdekat saja.” Usulku biar cepat. “Tapi terserah kamu saja.” Langsung aku mengoreksi usulanku sendiri.

“Kamu pilihkan saja restorannya. Seperti biasa, aku selalu percaya pada pilihanmu.” Tak ada keraguan di wajah Abdi ketika mengucapkan itu, membuat harapanku melambung tinggi.

Sepanjang perjalanan kami tidak banyak berkata-kata. Terasa sekali kecanggungan di antara kami berdua. Obrolan kami terkesan kaku dan seperlunya. Akhirnya, kami memasuki basement sebuah mall kemudian berjalan menuju restoran yang ada di sisi Barat mall ini. Restoran yang kami masuki adalah restoran masakan Jepang yang sederhana, namun terlihat ramai.

"Apa kamu gak keberatan untuk makan di tempat yang tidak mewah ini?" Tanyaku pada Abdi sambil tersenyum menggoda membuat Abdi terkekeh pelan.

"Aku tidak keberatan, tuan putri. Bahkan, aku sering makan bakso di pinggir jalan." Kami pun segera masuk lebih dalam ke dalam restoran sambil tersenyum saat Abdi menyebutku ‘tuan putri’.

"Wida!" Tiba-tiba seorang wanita memanggilku. Langsung saja aku melambaikan tangannya pada wanita itu.

"Dewi!" pekikku. Dewi berlari dan menghambur ke dalam pelukanku. Aku pun membalas pelukan Dewi sambil berkata, "Sudah lama kita tak bertemu."

Tak lama kami saling melepaskan pelukan lalu Dewi berkata, "Astaga, Wida! Kau tampak sangat cantik! Bagaimana kabar Denta? Apa dia baik-baik saja? Juga, apa dia masih bertingkah konyol?"

Aku terkekeh, "Denta baik-baik saja. Ya ... begitulah." Jawabku tenang. Aku tahu yang dimaksud Dewi ‘konyol’ itu adalah Denta yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya yang membuat diriku agak kesepian. Memang aku pernah ‘curhat’ tentang ‘kekonyolan’ Denta pada Dewi.

Pandangan Dewi kemudian tertuju pada Abdi yang berdiri di sampingku. "Wida … Siapa pria tampan ini?" Tanya Dewi sembari menatap Abdi sangat intens.

“Dia rekan kerjaku.” Jawabku singkat sambil tersenyum.

Seketika mata Dewi menyipit seakan tak percaya dengan jawabanku. Ia lalu tertawa geli, "Rekan kerja atau teman spesial? Astaga, Wida! Akhirnya kau punya teman spesial.” Dewi lalu mengulurkan tangannya pada Abdi, "Kenalkan, aku Dewi."

Abdi lalu mengulurkan tangannya, mereka lalu saling berjabat tangan, "Abdi ..." Lalu mereka saling menarik tangan masing-masing.

"Dewi ... Apa kami bisa menemukan tempat? Sepertinya siang ini sangat ramai, ya." Ucapku.

"Tenang saja. Untukmu, ada satu pondok di taman yang tersisa. Pas untuk kalian berdua. Mari ikut aku." Aku dan Abdi lalu mengikuti Dewi. Dewi lalu menunjukkan sebuah pondok berwarna putih dihiasi dengan bunga-bunga yang menjalar di setiap sisi pondok. Ada sebuah meja dan dua buah kursi. Lalu, ada lampu remang-remang yang menghiasi pondok.

“Hanya lima buah pondok yang baru aku buat, dan siang ini hanya ini satu-satunya yang tersisa. Silahkan masuk!" Dewi lalu mempersilahkan aku dan Abdi masuk ke pondok tersebut. Dengan cepat, Abdi menarik kursi untukku. Aku lalu tersenyum dan duduk, sedangkan Abdi berada di seberangku.

"Baiklah, akan aku tinggalkan kalian berdua. Aku akan memanggilkan pelayan." Dewi langsung melesat pergi meninggalkan aku dan Abdi.

"Siapa dia, Wida?" Tanya Abdi.

"Dia sahabatku semasa kecil bahkan kami bersekolah yang sama dari tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Kami sudah seperti keluarga. Jadi, kami sudah sangat akrab. Dialah pemilik restoran ini. Sudah lama aku tak ke sini. Hampir tiga bulan aku tidak pernah mengunjunginya." jawabku lirih.

Tak lama kemudian, seorang pelayan datang sembari membawakan menu. Aku lalu memesan sushi dan ramen, dan berhasil membuat Abdi kaget. Abdi kemudian hanya memesan ramen. Pelayan tersebut pergi sembari membawa pesanan kami.

"Aku tak menyangka kalau sekarang kamu banyak sekali makan." Ungkap Abdi terheran-heran.

Aku jadi tertawa cekikikan. "Apa kamu gak suka kalau aku makan banyak?" Tanyaku dengan nada bercanda.

Abdi pun ikut terkekeh, "Siapa bilang aku tidak menyukaimu gara-gara hal itu. Aku malah sangat menyukainya, karena aku bisa punya teman makan. Tapi …" Abdi terdengar sengaja menghentikan ucapannya.

“Tapi kenapa?” Tanyaku penasaran.

“Maaf ya … Kalau aku mengatakan sekarang kamu agak gemukan.” Jawab Abdi yang membuatku terkejut.

“Benarkah?” Aku belum menyadarinya. Jujur, aku takut sekali dengan kegemukan. Di mana pun, bagi wanita, kegemukan merupakan permasalahan yang cukup berat. Setiap wanita berkeinginan untuk tampil sempurna dan sering kali diartikan dengan memiliki tubuh yang ramping.

“Benar.” Jawab Abdi singkat.

“Kalau begitu, aku akan mengurangi makan.” Keluhku.

“Tidak perlu harus drastis. Kamu masih bisa makan agak banyak, asalkan dibarengi dengan olah raga. Selain bisa menurunkan berat badan, tubuh kamu juga jadi lebih sehat.” Kata Abdi.

“Betul juga. Sudah saatnya aku harus berolah raga.” Aku setuju dengan ucapan Abdi.

“Nah … Gimana kalau nanti sore sepulang kerja kita renang.” Tiba-tiba Abdi mengajakku berenang.

“Ih …! Aku gak bisa berenang!” Jawabku sambil menggelengkan kepala.

“Aku bisa mengajarimu berenang. Manfaat berenang itu banyak sekali, diantaranya menurunkan berat badan yang sangat efektif, menjaga kesehatan jantung karena dapat meningkatkan sirkulasi darah dalam tubuh, mengurangi stress karena dapat melemaskan otot-otot tubuh yang membuat kita lebih rileks. Masih banyak lagi manfaat berenang bagi kesehatan kita.” Jelas Abdi layaknya sebagai instruktur olah raga.

“Gitu ya …” Gumamku yang mulai tertarik untuk berenang setelah mendengar penjelasan Abdi barusan. “Tapi, satu yang aku kurang suka dengan oleh raga berenang, yaitu pakaiannya.” Kemudian aku mengatakan keberatanku.

“Sekarang ini ada pakaian renang untuk muslimah seperti kamu. Kamu gak perlu rishi karena tubuhmu masih akan tertutup. Ya, walaupun memang agak ketat.” Jelas Abdi.

Obrolan kami terhenti tatakala pelayan datang dengan membawa pesanan kami. Setelah kami sudah mendapatkan makanan masing-masing, kami langsung makan sembari mengobrol. Ya, obrolan kami begitu hidup dan menyenangkan. Kata demi kata mengalir apa adanya. Dan anehnya, kami tak pernah kehabisan bahan cerita. Tiba-tiba aku baru sadar kalau Abdi sedang menatapku dengan pandangan yang tak dapat kuartikan.

“Kenapa kamu melihatku seperti itu?” Tanyaku sedikit kikuk.

“Aku tidak ingin selalu bersembunyi seperti ini. Aku juga Ingin bersamamu tanpa harus memikirkan strategi. Aku ingin bisa memelukmu, menggenggam tanganmu seperti ini di depan semua orang.“ Ujar Abdi frustasi. Nada penuh harap tersirat dari Kalimatnya. Aku tanganku dari genggaman Abdi, dan kulihat Abdi terkejut.

“Abdi … Dari awal kamu sudah tahu kan ini akibatnya jika kamu terus memaksakan hubungan kita. Kita sama-sama tahu, kalau kita sama-sama berkeluarga dan kita tidak mungkin meninggalkannya. Jika memang harus ada yang diperbaiki, hubungan kita yang seharusnya diperbaiki. Kita harus sadar kalau kita tidak selayaknya seperti ini.“ Lirihku dengan suara bergetar.

“Maafkan aku … Aku tidak bermaksud untuk melukai perasaanmu. Aku hanya ingin mengutarakan perasaanku saja. Aku hanya ingin memilikimu seutuhnya. Aku tersiksa harus berbagi cinta dengan suamimu.” Katanya.

“Aku juga tersiksa … Kamu pikir aku juga tidak tersiksa? Di satu sisi aku sangat mencintaimu, tapi di sisi lain aku sangat terikat dengan suami dan anak-anakku. Aku bisa saja melupakan suamiku saat bersamamu, tetapi aku tidak akan bisa melupakan anak-anakku walau dalam keadaan tidak sadar sekali pun. Aku sangat mencintai anak-anakku melebihi cintaku pada diriku sendiri.” Ujarku bergetar menahan sesak di dada.

“Aku tahu itu … Maafkan aku …” Kata Abdi sembari mengambil tanganku lalu menciumnya.

Kami akhirnya melanjutkan makan siang dan mengganti tema pembicaraan. Sebenarnya kami masih ingin berduaan di tempat ini, namun waktu jualah yang harus mengakhirinya. Kami pun akhirnya memutuskan untuk kembali ke kantor.

“Abdi … Bisakah kamu menunggu barang 10 menit di mobil? Aku ada urusan dulu dengan Dewi dulu.” Kataku dengan tekanan lembut.

“Baik …” Abdi pun kemudian berjalan keluar restoran.

Dengan langkah yang agak dipercepat, aku menuju ke ruangan kerja Dewi. Untungnya Dewi ada di sana duduk di kursi kerjanya. Aku pun menghampiri Dewi dan duduk di seberang sahabatku itu. Kami berdua duduk berhadap-hadapan dengan meja kerja sebagai batasnya.

“Dewi … Apakah ini benar?” Tanyaku dengan memasang wajah serius. Tentu saja Dewi sangat tahu arah pertanyaanku itu, sebab dialah yang selama ini menjadi teman bicaraku saat aku ada dalam kebimbangan.

“Benar atau salah, itu ada pada penilaian dirimu. Kau sudah memutuskan tapi buatlah segala sesuatu dengan benar. Berhati-hatilah! Apa yang kau alami hari ini bukanlah sebuah pilihan. Kau bisa memiliki atau bahkan kehilangan keduanya secara bersamaan.” Jawab Dewi.

“Aku juga masih sedikit bingung, Dewi. Kenapa aku harus jatuh cinta padanya?” Aku ajukan pertanyaan retoris pada Dewi.

“Cinta itu datang tanpa di undang, pergi pun tidak bilang. Cinta itu datang membawa kasih sayang, pergi pun meninggalkan luka yang dalam. Dalamnya cinta tak bisa diukur dengan dalamnya lubang pun banyaknya uang. Cinta itu hadir pada orang yang mau berjuang dan bertahan ketika ujian datang ...” Dewi menjeda ucapannya dan menghirup udara dalam-dalam lalu menghempaskannya sekaligus. Tak lama dia berkata lagi, “Kau sudah bertekad mengambil resiko itu bukan? Jadi lakukan saja dengan menanggung segala konsekuensinya. Jika kau masih takut, lebih baik kau urungkan saja.”

“Aku tidak bisa mundur, Dewi. Seperti yang kamu bilang, aku akan menanggung semua resiko yang mungkin terjadi. Tapi, aku butuh dukunganmu.” Akhirnya aku keluarkan keinginanku.

“Aku akan selalu mendukung apa yang kau inginkan. Aku akan selalu ada untukmu.” Dewi tersenyum sambil mengambil dan menggenggam tanganku.

“Terima kasih, Dewi.” Ucapku sembari membalas senyumannya. “Waktunya kembali ke kantor. Mungkin aku akan lebih sering menemuimu.” Aku pun berdiri dari kursi.

“Pintu selalu terbuka untukmu.” Jawab Dewi.

Aku diantar Dewi sampai pintu restorannya. Segera saja aku berjalan ke basement mall tempat mobil Abdi berada. Sesampainya di sana, kami langsung meluncur kembali ke kantor. Saat ini tak ada lagi yang harus kuragukan untuk yang telah terjadi kepadaku. Aku akan terus melangkah. Tak peduli anggapan maupun cercaan. Kebahagiaan adalah milikku, dan aku adalah milik kebahagiaan. Dan seindah-indahnya kebahagiaan adalah kesenangan untuk merajut mimpi-mimpiku menjadi kenyataan.

Hanya setengah jam aku sudah berada di kantorku lagi. Selain meeting yang sukses tadi pagi, sepertinya pekerjaanku hari ini tidak ada yang terlalu penting. Aku masih berkutat mencatat hal-hal yang mungkin bisa dijadikan bahan masukan dalam meeting selanjutnya. Hingga tak terasa waktu kerja pun usai. Aku langsung saja ke pelataran parkir. Sebuah mobil sedan berwarna biru tua yang aku buru. Pintu mobil terbuka saat aku sudah dekat dengan mobil itu. Buru-buru aku masuk dan menutup pintunya. Mobil yang kutumpangi segera meluncur dari area perkantoran.

“Mau kemana kita?” Tanya Abdi dari belakang kemudinya.

“Katanya mau mengajari aku berenang?” Aku balik bertanya.

“Oh … Sungguh? Baiklah …” Abdi tergagap mungkin mengira aku sedang bercanda. Aku hanya tersenyum dan menganggukan kepala sebagai tanda aku ingin belajar berenang bersamanya.

Sekitar pukul 17.30 sore, aku dan Abdi sampai di sebuah hotel yang mempunyai fasilitas kolam renang indoor untuk pengunjung khusus yang sangat nyaman di tengah nuansa taman tropis. Ternyata Abdi sering berenang di sini dan bahkan mengenal para pegawai yang mengelolanya. Maklum saja, Abdi adalah salah satu member yang sering menggunakan kolam renang khusus ini.

Aku diarahkan oleh pegawai hotel ke sebuah ruangan ganti pakaian dan memberiku pakaian renang untuk muslimah atau pakaian renang syar’i. Pakaian renang yang kukenakan memang mengutamakan konsep patuh syariah. Semuanya serba tertutup dan sedikit longgar. Aku pun lantas keluar kamar ganti dan berdiri di sisi kolam yang kosong, tidak ada orang lain selain aku di sini.

“Ayo, kita mulai!” Suara Abdi mengejutkanku.

Aku pun menoleh ke samping kiri, dan langsung saja mataku terbelalak menunjukkan kekaguman. Ya, saat ini aku terpana karena aku sedang melihat laki-laki sempurna. Selain tampan maksimal, tubuh Abdi indah sempurna. Tidak ada segumpal lemak pun di tubuhnya yang putih bersih. Dadanya menonjol ke depan dengan sepasang puting susu yang tegang-melenting, amat menggoda! Perutnya rata tetapi dihiasi lekukan otot-otot yang membentuk sixpacks. Lalu mataku agak lama berhenti di selangkangannya, bukan hanya karena bagian itu sungguh menarik, tapi, aku jadi menyadari sesuatu hal. Tonjolan besar di antara kedua pahanya membuatku merinding. Ya, aku sedikit berdesir melihat tonjolan besar di balik celana renangnya yang ketat itu.

“Kita pemanasan dulu.” Ucap Abdi membuyarkan lamunanku.

Abdi mulai melakukan gerakan pemanasan sambil matanya tidak lepas dariku yang masih menatapnya penuh selidik. Abdi menganggukan kepala dan tersenyum, barulah aku mengikuti gerakan pemanasannya. Sambil terus melakukan pemanasan, Abdi menjelaskan bahwa tujuan pemanasan ini adalah untuk membuat otot tubuh siap dalam melakukan aktivitas fisik yang lebih intens dari biasanya. Melalui pemanasan, aliran darah ke otot akan meningkat dan begitu pula dengan suhunya. Dan setelah dirasa cukup, Abdi pun mengajakku masuk ke dalam kolam.

Abdi mulai mengajariku gerakan-gerakan dasar berenang. Entah kenapa, aku merasa kesulitan menerapkan pelajaran yang diberikan Abdi. Aku masih saja belum bisa mengambang dan meluncur di atas air. Ternyata berenang tidak semudah yang aku perkirakan. Sejak dulu aku memang payah dalam urusan ini. Tiba-tiba Abdi menyeretku ke tempat yang lebih dalam hingga kakiku tidak menapak di lantai kolam. Tentu saja aku secara refleks melingkarkan tanganku ke lehernya. Posisi kami sekarang berhadap-hadapan dan tentunya tubuh kami saling bersentuhan.

"Cobalah untuk berenang ke arahku!" Ucap Abdi sambil melepaskan pelukan tanganku lalu menjauh.

“Awww! Abdi! Aku tidak bisa!” Aku langsung panik sambil berusaha berenang sebisanya mendekati Abdi.

“Kamu pasti bisa. Aku tunggu kamu disini.” Ujar Abdi yang malah terus mundur menjauh dariku. Aku pun ‘terpaksa’ berenang dan mempraktekan apa yang baru saja Abdi berikan. Dengan keterpaksaan akhirnya aku bisa mengapung dan melaju pelan di atas air. "Sedikit lagi, ya … Kamu …" Ucapan Abdi terhenti saat aku tiba-tiba langsung memeluk tubuhnya dan tertawa bahagia karena aku berhasil berenang dengan jarak yang lumayan jauh.

Tanpa aku sadari, aku kini langsung mencium bibir Abdi terlebih dulu dengan lembut. Sebenarnya aku sedang mencurahkan kebahagiaanku karena aku bisa berenang. Tapi, balasan Abdi membuatku sadar kalau ciuman kami adalah ciuman kemesraan. Kami pun terus berciuman, dan saling melumat satu sama lain, sehingga kurasakan saliva kami yang menyatu. Sentuhannya membuatku menggeliat kegelian, dan rasa nikmat yang menjalar ke seluruh tubuh, ciuman hangat membuatku nyaman, pelukan hangat yang kesannya sangat dalam bagiku.

Beberapa saat berselang, kami pun melepaskan ciuman kami dan perlahan aku membuka mata. Lalu aku mengangkat lengan untuk menyentuh wajah kekasihku. Kami saling bersitatap mesra, dan dia melemparkan senyum ke arahku. Kami tak berbicara apapun dan kami akhirnya sama-sama mendekatkan bibir kami, dan sekarang ciuman kami menjadi sangat panas sampai tangan nakal Abdi mulai meraba tubuhku dan menyentuhnya secara sensual.

Abdi mengalihkan bibirnya ke leherku dan belahan dadaku yang masih terbalut pakaian renang. Lidahku kelu dan kekuatanku seakan menghilang sehingga aku hanya dapat pasrah menerima semua sentuhan dan cumbuan yang diberikan oleh Abdi. Rasanya tidak bisa kudeskripsikan, namun rasanya seperti melayang, terbang, semua hal yang menyenangkan kini kurasakan dalam satu waktu.

Abdi kembali menciumku liar. Aku merintih saat tangannya meremas payudaraku dari luar pakaian renangku, dan ada rasa aneh menggelitik perut bawahku saat dia menjepit putingku dengan ibu jari dan telunjuknya. Tiba-tiba dia melepas pagutannya dan membawaku ke sisi Selatan kolam renang dengan salah satu tangannya tetap memainkan payudaraku. Napasku memburu saat aku menikmati kenakalannya. Dia terlihat puas melihat reaksiku.

"Milikmu sangat besar dan menggoda." Puji Abdi sambil masih mempermainkan kedua bukti kembarku.

"Kamu suka?" Godaku nakal langsung saja Abdi mengangguk. "Sentuhlah …" Bisikku seduktif.

Aku sudah membuang jauh rasa malu dan bersalah saat ini. Sehingga yang kulakukan kini membusungkan dadaku agar Abdi dapat dengan leluasa menghisap payudaraku. Tanpa menunggu lama, Abdi pun langsung menenggelamkan wajahnya diantara kedua buah gundukkanku tersebut. Lalu mencium dan meremasnya dengan cara bergantian. Tangan Abdi yang lain merabai tubuhku, mulai dari punggung, pantat dan bagian pangkal pahaku. Dan yang kulakukan adalah memejamkan mata sambil merasakan sensasi yang begitu terasa nikmat. Aku terus mendesah kenikmatan dan tanganku meremas rambut Abdi. Aku benar-benar telah lupa diri. Otak warasku seakan lumpuh sehingga tidak dapat memikirkan apapun kecuali memuaskan hasratku sendiri. Sekarang aku mengaku bahwa diriku memang wanita yang sedang rindu akan belaian seorang pria.

"Awww! Sakit ..." Aku meringis saat Abdi menghisap dan menggigit payudaraku terlalu kencang. Abdi pun menyudahi kulumannya di payudaraku. Dia mengecup bibirku lagi.

Kami berciuman beberapa detik, setelah itu Abdi menyudahinya dan berkata, “Apa kamu ingin merasakan sensasi yang lebih nikmat dari ini?” Tanya Abdi.

"Apa itu?" Tanyaku sambil terengah-engah.

"Sekarang sandarkan tubuhmu disini dan berpegangan lah pada besi ini." Titahnya padaku untuk berpegangan pada sebuah besi yang berfungsi sebagai tangga yang terdapat di bibir kolam.

Aku tidak paham, namun aku menurut saja, lalu Abdi pun kini menghilang dan menenggelamkan diri ke dalam kolam. Tiba-tiba saja aku merasa sebuah elusan tangan mengenai perutku dari dalam kolam. Kemudian aku melihat dua buah kain berwarna hitam mengambang di permukaan air. Aku heran kenapa terdapat benda-benda itu di hadapanku, lalu aku pun mengambil kain tersebut dan langsung terkejut.

"Astaga! Bukankah ini celana renang dan celana dalam yang sedang aku kenakan? Kenapa bisa ... Aaahh..." Bersamaan dengan kata batinku itu, aku pun mendesah saat sesuatu yang lembut menyentuh kewanitaanku. "Apa mungkin ... Abdi ... Aaahh …" Aku mendesah untuk yang kedua kalinya saat kini ada yang menyesap kecil bagian kewanitaanku dari bawah.

"Abdi … Apa yang kamu lakukan di sa...na... Aaaahh …" Aku meracau sambil memegang erat pada besi yang ada di belakangku agar tubuhku tidak merosot ke bawah saat aku merasakan nikmat pada bagian kewanitaanku.

Tak pernah terpikir olehku kenapa Abdi sampai berbuat seperti ini. Tapi aku tidak dapat berdusta jika ini terasa sungguh nikmat. Rasanya sungguh luar biasa, aku sampai memejamkan mata sambil tanganku meremas kuat besi penyangga. Sebenarnya aku malu karena tidak mampu melepaskan diri dari hasrat ini. Kepalaku sudah terhuyung karena kenikmatan ini, sungguh membuatku hilang akal.

"Abdi ..." Desahku dengan kaki yang kelojotan di dalam air.

Abdi pun perlahan naik ke permukaan kolam untuk menghirup oksigen dan melihat ekspresiku yang kini sedang menggigit bibir bawahku. Kemudian Abdi menarik daguku hingga mata kami saling bertermu, tenggelam dalam masing-masing gairah.

"Kamu menyukainya?" Tanya Abdi. Aku pun mengangguk malu.

Lalu Abdi kembali masuk ke dalam air dan memainkan kewanitaanku di sana. Sementara itu, aku tak henti-hentinya mengerang dan mendesah atas permainan ekstrim yang Abdi lakukan terhadapku. Beberapa saat berselang, Abdi naik ke permukaan kolam lalu mendekatkan wajahnya ke arahku, kemudian diraihlah bibir ranumku dengan bibir miliknya hingga kini menyatu sempurna seakan tidak ada yang ingin ciuman ini terlepas. Kami perlahan melepaskan ciuman untuk menghirup udara, namun itu tak lama sehingga bibir kami menyatu kembali.

Tiba-tiba aku dibuat terkejut saat Abdi mengangkat tubuhku agar duduk di bibir kolam, sementara dirinya masih di dalam. Aku malu bukan main saat mengetahui diriku kini tidak mengenakan apapun pada area kewanitaanku. Aku pun segera menutupinya dengan kedua tanganku. Abdi hanya tersenyum melihat tingkahku itu.

"Izinkan aku untuk melihatnya." Ujarnya.

"Tidak. Aku malu!" Jawabku.

"Hanya ada kita berdua di sini." Balas Abdi dengan nafas yang memburu.

"Tapi …"

Belum sempat menyelesaikan ucapanku, Abdi kini berhasil menyingkirkan lenganku yang tengah menutupi area kewanitaanku. Abdi lantas secara perlahan dan lembut melebarkan kedua pahaku dan akhirnya kewanitaanku pun terpampang jelas di depan wajahnya. Tanpa menunggu lama lagi, Abdi langsung menenggelamkan wajahnya di sana. Aku mendesah lagi. Bibir Abdi bermain di kewanitaanku. Aku makin mendesah ketika organ intimku terasa disedot-sedot kecil. Entah apa yang merasuki diriku, dan aku menjerit mendesah.

“Aaahh! Sayyaanngghh!!

Aku mendelik dan menahan napas ketika terasa lidahnya menyeruak masuk ke dalam rongga senggamaku. Rasanya seperti aku memiliki semua rasa enak sedunia. Aku terengah-engah dan pening, mabuk dengan gairah saat lidah itu semakin memporak-porandakan aku. Setelahnya, aku menjerit nikmat.

"Abdi ..."

"Lepaskan di dalam mulutku sayang ..." Balas Abdi di sela lumatannya di kewanitaanku.

“Aaaahh … Aaaahh … Aaaahh …”

Tubuhku bergerak gelisah seiring lidah dan bibir Abdi yang terus memainkan milikku di bawah sana. Aku masih meremas rambut Abdi lalu menjepit kepala pria itu dengan pahaku. Kulihat Abdi malah menyeringai. Sebelah tangannya terulur ke atas lalu meremas payudara milikku. Memainkan putingnya sesekali dia tarik membuatku benar-benar menggila saat ini.

"Ahhh nggak! Sayaangghh nggak aaahh … Aku mau pipis." Wajahku panik tak kuat menahannya lagi sedangkan pria itu terus memainkan intiku.

Hanya hitungan detik, tiba-tiba saja aku mengejang dan terasa sekali kalau aku mengeluarkan cairan kental yang membanjiri kewanitaanku, namun itu hanya terjadi dalam beberapa saat saja karena Abdi telah menelannya sampai bersih. Aku yang masih setengah sadar karena hantaman kenikmatan, melihat Abdi keluar dari kolam. Dan tiba-tiba saja tubuhku digendongnya gaya bridal style dan membawaku ke suatu tempat yang aku sendiri tidak tahu aku akan dibawanya ke mana.

Bersambung
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd