terima kasih atas penantiannya... ini dia...
========
QUEST#02
========
Siang itu aku bermaksud berburu ke kantor Papaku lagi, tapi waktunya sudah mepet sekali. Ini semua gara-gara bu guru Bahasa Inggris-ku, Bu Karen, meminta aku untuk memuaskan jatah nafsunya untuk yang kesekian kali bulan ini.
Sudah hampir jam 13.00. Beberapa menit lagi, waktu makan siang Jessie sudah akan berakhir. Lho?
Kamu lama amat pulangnya, sih? tanya gadis yang berdiri dekat mobilku itu.
Aya? Ada apa? tanyaku padanya. Ngapain dia nunggu aku pulang sekolah? Kami gak ada janjian, kok?
Semua teman-temanmu sudah pulang dari tadi... Masa kamu baru keluar sekarang...? tanyanya sengit.
Sori... sori... aku lebih baik mengalah. Dari pada panjang masalahnya. Ia terdiam dan membuang muka, memandangi jalan yang tidak begitu ramai.
Melihat jalan di depan sekolahku, aku jadi teringat tempat mobilku parkir tadi malam dimana aku dan Jessie berduaan.
Kok senyum-senyum sendiri...? Udah lama, ya? tanya Aya membuyarkan lamunanku.
Eh... lama apanya? gugupku.
Udah lama gilanya? Abis... senyum-senyum sendiri... candanya. O... kirain apa...
Aya menjemput aku kemari lagi? tanyaku
Iya... aku mau ngajak Satria jalan lagi... Mau, kan? katanya dengan manja.
Jalan kemana? tanyaku.
Jalan aja dulu... Nanti aku kasih tau kemana... Mau, ya? ajaknya masih manja. Aku tetap tidak bisa menolak wajah manis yang manja ini.
Beberapa saat kemudian kami sudah di jalan. Aya yang menunjukkan arah kemana aku harus mengarahkan mobilku.
Itu... itu kesitu, Satria, seru Aya menunjuk sebuah sekolah swasta. Sekolah itu terlihat ramai sekali.
Ada festival band, Ya? tanyaku membaca billboard yang terpampang di sana.
Iya... aku gak ada teman untuk menonton festival ini... Makanya aku ngajak Satria aja... ujarnya.
Ia berkali-kali menoleh kanan-kiri mencari-cari seseorang.
Nyariin siapa, sih? tanyaku.
Teman-temanku... Katanya mereka bakalan kemari juga... Tapi dari tadi gak ada yang kelihatan... jawabnya masih clingak-clinguk.
Mungkin sudah masuk... Ayo... Kita masuk aja dulu... ajakku. Aya setuju.
Untung saja ini acara sekolahan, jadi rata-rata pengunjungnya adalah anak sekolahan semua. Walau ada juga yang sudah menyalin pakaian dengan pakaian ganti.
Eh.. Satria... Datang juga? seseorang menegurku. Dia David teman se band-ku. Dia bersama seorang cewek.
Iya... udah lama juga gak liat perkembangan musik... jawabku basa-basi.
Elo aja yang sibuk sendiri... Band kita jadi vakum... Kami aja kadang-kadang gabung dengan band orang lain... kata David lagi. Mereka juga ada disana, tuh... Si Obi... si Edo... tunjuknya pada barisan depan.
Eh.. Pacar baru, nih? bisiknya sedikit merapat. Aku tertawa-tawa saja. Aku tidak khawatir terdengar Aya karena bisingnya tempat ini oleh suara cabikan gitar listrik.
Kemajuan juga mereka... Teman-temanku yang dulunya enggak punya cewe, sekarang masing-masing sudah bawa gandengan. Cantik-cantik lagi.
Tadi itu teman sekolahmu juga, Satria? tanya Aya.
Iya... Cuma beda kelas... Kami satu band... Ada lima orang... Mereka ada di sana semua, kok... jelasku.
Kalian kenapa nggak ikut di sini? tanya Aya lagi.
Nggak sempat latihannya... jawabku sekenanya. Gimana mau latihan lagi. Waktuku banyak tersita untuk pencarian GOD MAESTER CORE ini.
Lalu kami mencari posisi yang enak untuk menyaksikan festival musik pelajar ini. Untuk ukuran anak sekolah, kualitasnya sudah lumayanlah.
Beberapa kali, Aya disapa teman-temannya. Ia juga mengenalkanku pada mereka. Biar sajalah. Cuma kenalan aja, kok.
Kesana, yuk? ajak Aya menarik tanganku. Ia membawaku ke belakang panggung. Ada apa di sini? Apa ada orang yang akan ditemuinya.
Di belakang panggung ini kami ternyata hanya berdiri saja seperti biasa memperhatikan ramainya orang yang mempersiapkan diri untuk tampil di pentas.
Mphh! kagetku.
Untuk beberapa saat, mulutku penuh dengan bibir Aya yang tiba-tiba melumatku. Di depan orang ramai begini?
Aya sampai harus berjinjit untuk dapat mencapaiku. Dadanya sedikit menekanku. Salut juga untuk anak ini. Dia berani melakukan hal ini di depan umum.
Tunggu dulu! Aku merasa bahwa dia sedang berusaha memanas-manasi seseorang. Kemungkinan besar salah satu cowok yang ada di sini. Mungkin bekas pacar atau gebetan yang ditolak cintanya. Atau hal-hal lain yang tak kumengerti. Ini hampir persis seperti kejadian waktu bersama April kemaren.
Beberapa laki-laki disana memang pantas untuk dicurigai karena memandangi kami dengan pandangan tak senang. Terlebih melihatku. Bisa berbahaya. Tapi tak masalah. No problemo.
Setelah ciuman maut Aya lepas, ia tersenyum puas sekali. Bibirnya basah oleh liur kami berdua. Ia lalu langsung saja menggandeng tanganku cabut dari sana.
Udah selesai, Ya? tanyaku karena kami melangkah meninggalkan sekolah ini, menuju parkir mobil.
Iya... udahan aja... Gerah di sini... Pulang aja, yuk? ajaknya sambil kipas-kipas dengan tangannya.
Pulang? OK... jawabku. Kami segera naik mobil dan menuju rumah kontrakan Aya dan kakaknya. Naga-naganya, bakalan dapat sirup merah dingin lagi nih.
Tentu saja, hanya ada kami berdua di rumah ini karena kakaknya, Jessie sedang bekerja dan baru sore nanti pulangnya.
Aya membawaku ke kamarnya yang tepat di samping kamar kakaknya. Agak risih juga, sih masuk kamar cewek.
Kamarnya cukup nyaman dengan tatanan sesuai dengan gaya Aya yang manja dengan didominasi warna terang pink dan biru muda.
Ia duduk bersila di ranjangnya sedang aku memilih duduk di meja belajarnya. Lalu ia pergi lagi. Katanya mau mengambil makanan dan minuman.
Menunggu ia kembali, aku melihat-lihat beberapa CD koleksinya. Kebanyakan boy band dan ngepop. Sesuai karakternya yang ceria.
Ini... Duduk sini aja napa? ajaknya setelah ia kembali membawa makanan dan minuman yang dimaksudnya tadi; manisan mangga dan sirup merah dingin. Ia memintaku duduk di ranjang itu bersamanya.
Di sini aja... jawabku. Hanya sirup merah itu yang kuambil.
Ia turun dan menarik tanganku untuk duduk di ranjangnya. Udah... Gak usah malu-malu... Sama Aya gak usah malu-malu gitu... Gak ada orang aja lagi... ajaknya.
Terpaksa, deh aku duduk bersamanya di ranjang itu dengan kikuk.
Entah perasaanku saja atau memang dia duduknya yang sembarangan karena ia sepertinya sengaja membukakan kakinya untuk memancingku. Ia masih memakai rok abu-abu itu.
Pahanya yang putih terlihat jelas olehku saat Aya ngobrol ngalor-ngidul tentang berbagai hal. Aku hanya bisa menanggapi sebisanya saja.
Trus... tadi waktu... kita ciuman tadi... rasanya gimana? koreknya.
Gimana, ya? ... Kaget aja... Di depan oreng rame gitu... jawabku jujur. Seteguk sirup merah. Aaah.
Belum pernah ciuman di depan orang rame gitu? tanya Aya lagi.
Belum pernah... Ini kan masih di Indonesia kale... jawabku. Ragu-ragu, minum lagi atau mencoba manisan mangga.
Aku juga belum pernah, kok... Tapi rasanya enak juga, kan? godanya.
Heh... heh... aku nyengir aja. Aku lalu menyomot dan mengunyah manisan mangga itu. Manis sedikit asem. Lumayan.
Kriet...
Aya bergerak perlahan mendekatiku. Kukira ia akan turun. Ternyata...
Tangannya menggapai padaku dan mengalungi leherku. Badannya merapat dan kedua kakinya di antara kakiku.
Aku terdiam melihat pandangan matanya yang meredup. Wajahnya merapat. Gawat! Aku tidak sempat menghindar.
Kembali ia melumat bibirku dengan gencar. Gila! Anak ini agresif sekali. Kepalaku sama sekali tidak bisa bergerak di rangkulannya. Dadanya terasa menekan leherku.
Lalu ia mendorongku hingga terbaring di kasur dan kembali menekan tubuhku dengan segala tenaganya.
Aya melepas bibirnya untuk mengambil nafas. Udara hangat menerpa wajahku dari hidungnya. Matanya bergerak-gerak menatap ekspresi kagetku. Lalu ia kembali membenamkan mulutnya lagi pada mulutku dengan mata terpejam.
Dadanya sudah sangat menekan dadaku, tangannya masih melingkari leherku dan kedua kakinya mengait di kakiku. Seakan ingin meremasku hingga lumat.
Aya...? Hah... hah... Apa yang kau inginkan? tanyaku sesak nafas saat ia mengambil nafas lagi.
Sebagai jawaban ia melepaskan lingkaran tangannya pada leherku dan bertopang ke kasur. Matanya masih redup. Mulutnya basah oleh ludah.
Sebelah tangannya melepas kancing baju bagian atasnya satu persatu hingga tinggal dua yang tersembunyi karena terjepit perut kami berdua.
Ia mengambil tangan kananku dan menempelkan telapak tanganku pada dada kirinya. Tepat di atas bra hijau muda itu. Terasa jantungnya yang berdegup kencang bergemuruh.
Ya...? kagetku. Apa dia benar-benar serius.
Ia menjawabnya dengan meremaskan tangannya hingga tanganku jadi meremas dadanya. Ia lalu kembali mencondongkan badan sebelah kirinya ke bawah dan menciumi leherku.
Sudah tanggung begini. Lebih baik kuteruskan saja. Kita lihat saja bakalan seberapa jauh nantinya.
Aku tidak lagi meremas dada itu dari luar branya, kini tanganku malah sudah mempermainkan putingnya dengan jempol dan jari telunjukku. Sementara tangan kananku menjelajah seluruh tubuhnya. Punggung, pinggang dan pantatnya mendapat rabaanku.
Dia menikmati semuanya. Semua rabaanku pada tubuhnya telah membuatnya makin berani. Ia membisikkan ini...
Satria... buka semua, ya?
Sepertinya ia ingin aku melepaskan kait branya yang berada di punggung. Dengan mudah hal itu kulakukan dan Aya segera bangkit duduk melepaskan pelindung dada itu dengan melemparnya ke lantai. Dadanya yang membulat tanpa penopang sepertinya lebih besar dari kakaknya walaupun sama-sama di ukuran 34B. Sepertinya Aya lebih cepat mekar. Putingnya lebih berwarna coklat muda cenderung merah.
Aya lalu memamerkan dadanya dengan kembali bertumpu dengan kedua tangannya. Dadanya menggantung dengan indah sekali. Penisku sampai menggeliat.
Tentu saja geliat batangku itu akan terasa di perut Aya. Aku menunggu reaksinya. Negatif atau positif.
Aya malah menurunkan badannya hingga posisi batangku yang menggeliat tadi sudah berada di sekitar kemaluannya.
Nafasnya semakin berat. Pasti ia susah sekali menahan nafsunya ini. Matanya semakin sayu.
Yang lebih memabukkan lagi, ia menggerak-gerakkan pinggul maju-mundur. Wah! Batangku tambah menggila lagi menggeliat. Kalau dia pantang dipancing.
Dengan batangku yang sudah menggeliat bangun dengan tegang begitu, Aya tetap menggesekkan selangkangannya padaku hingga dari buah zakarku sampai pangkal penisku dikocok olehnya.
Kedua dadanya yang menggantung ranum kuremasi dengan penuh kelembutan membuat Aya mendesis-desis keenakan.
Cukup lama kami begitu sampai keringat menetes dari keningnya dan jatuh di pipiku. Lelah, Ya? tanyaku.
Ia cuma mengangguk mengiyakan. Abis kamu lama banget ngecret-nya... katanya tiba-tiba.
Heh? Jadi ini maksudnya petting itu. Seks di luar kelamin. Jadi ia sudah pernah melakukan ini sebelumnya. Pantesan saja ia sangat berpengalaman.
Aku tidak semudah itu bisa ngecret... Aya harus bekerja keras dulu baru bisa berhasil... kataku.
Satria sudah sering begini...? tanya Aya.
Ya, begitulah kurang lebih... jawabku gantung.
Sudah pernah main beneran, ya? tanyanya lagi.
Main beneran itu apa...? tanyaku balik.
Ya... sampai... masuk..! jawabnya.
...Sudah... jawabku.
Boong... Tadi aja sampe ketakutan begitu... katanya tak percaya.
Mau dimasukin? tantangku.
Ehm... ia tidak menjawab tantanganku secara langsung, melainkan membuka kancing bajuku hingga terlepas semua. Ia mengusap-usap dadaku.
Dari posisiku sekarang, aku menurunkan restleting roknya yang berada di belakang itu. Lalu meloloskan rok abu-abu itu hingga betisnya karena selanjutnya Aya membantuku melewatkan rok itu dari kakinya dengan jari kakinya sendiri. Aya tinggal memakai seragam sekolah tanpa bra dan plus CD itu saja.
Batang penisku masih dengan perkasa tegang dan berdenyut-denyut mengirimkan getaran pada gundukan selangkangan Aya yang masih terlindungi celana dalamnya. Walau begitu, aku sudah dapat merasakan kehangatan bagian tubuh rahasianya itu.
Aya kembali menggerakkan badannya hingga kembali, batangku terkocok secara petting (seks tak langsung) ini. Aku terus tetap meremasi dadanya juga mempermainkan putingnya hingga menegang seperti karet penghapus pensil.
Badannya lalu kutarik mendekat hingga aku bisa mencapai dadanya dengan mulutku. Puting payudaranya kuhisap sampai berdecit-decit, membuat Aya melenguh keenakan.
Kedua tanganku masuk dari bagian atas CD-nya dan meremas kedua bongkah pantatnya. Lembut dan sekaligus kenyal. Tapi aku sama sekali tak bermaksud melepaskan pelindung terakhir ini walaupun Aya akan mengira begitu.
BLUNG!
Karena terlalu sering bergesekan dengan gundukan kemaluan Aya, celana panjang abu-abuku ini jadi merosot begitu juga dengan CD-ku. Penisku sudah menyembul keluar.
Aya melihat ke bawah sana. Kepertemuan kedua kelamin kami yang hanya dibatasi kain tipis. Ia memperhatikannya dengan seksama dan sepertinya takjub. Ini pasti bukan yang pertama baginya melihat kemaluan lelaki.
Aku memberanikan diri melakukan ini. Aku mengarahkan kepala penisku menelusup dari samping CD-nya hingga masuk dan bertengger tepat di atas gundukan nikmat itu. Kulit penisku yang sensitif sudah dapat merasakan rimbun rambut yang menghiasi sekitar vaginanya.
Aya kembali menggerakkan badannya maju-mundur. Sudah sangat mirip dengan seks benaran. Penisku terkocok dengan sempurna karena terjepit perut kami berdua.
Terkadang buah zakarku menyentuh bagian dalam bibir vagina Aya yang lembab hingga basah. Bahkan jadi becek. Batangku tentu dapat menyentuh bagian atas belahan bibir vaginanya terutama klitorisnya.
Memang dari ujung penisku sendiri sudah mengeluarkan cairan bening itu hingga perut kami berdua juga berlepotan cairan yang lengket.
Aya berhenti sebentar dan mengambil tanganku yang berada di pantatnya. Ia merentangkan kedua tanganku kesamping dan menggenggamnya dengan tiap jari bersilangan.
Rupanya ia ingin mempercepat semua ini. Mungkin ia berpikir akan bisa membuatku cepat ngecrot jika ia mengontrol semua pergerakan. Aya mempercepat goyangan maju-mundurnya ditambah sesekali gerakan berputar yang memang sangat enak.
Nafasnya sangat memburu. Ranjang ini sampai berderit-derit karena gerakannya.
Satria... Kapannn... kaaauu... maaauu... keeelluuaarr? teriaknya antara kesal dan tak sabar.
Masih lama... jawabku santai. Ia terus berusaha sampai keringat bercucuran dari seluruh tubuhnya. Dibawah sanapun sudah sangat panas. Penisku juga sudah berkeringat membuatnya licin bergerak dijepitan perut kami berdua.
AAHHHhhhhhhhh... teriak Aya tiba-tiba.
Rupanya tekanan yang dialami begitu berat hingga ia sendiri yang mendapatkan orgasme. Tangannya menggenggam tanganku dengan kuat. Kepalanya dibenamkan di leherku. Kakinya mengkait kakiku. Gerakannya terhenti.
Buah zakarku mendapat siraman cairan baru. Hangat sekali. Bau di kamar ini sudah sangat menyengat oleh cairan itu. Nikmat sekali bila terus mencium bau ini.
Aku membalikkan posisi kami. Aya yang sekarang di bawah. Sepertinya ia tak sadar hal itu.
Aku membuka baju dan celana panjangku hingga batangku yang masih menegang mengacung keras ke atas.
Segera kulepaskan CD Aya yang membatasi petting tadi dan bertumpuk dengan rok sekolahnya di lantai kamar.
Dengan berjongkok, aku membenamkan hidungku ke sumber bau yang nikmat ini. Aya melenguh pelan saat bibir vaginanya kubuka dengan jari. Daging berwarna kemerahan ini sangat menggodaku untuk mencicipinya.
Lidahku segera menyapu semua cairan bening yang masih menempel disana. Daging kecil bengkak di bagian atas kukatup dengan bibir dan kuhisap.
Oooooouuhhhhh teriaknya keenakan.
Masih dengan hidung terbenam di gundukan vagina ini, aku bermaksud untuk mengetes liangnya yang sedikit terbuka karena sudah cukup terstimulasi, dengan jariku.
Teet! Teet! Teet!
Sialan... ini alarmku untuk pengingat waktu.
Kenapa, Satria? tanya Aya tidak puas karena aku berhenti ditengah jalan.
Aku meraih HP-ku dan mematikan alarm itu. Aku berjongkok tepat di depan Aya. Aku lupa kalau ada janji lain yang harus kutepati... kataku.
Sebentar lagi aja... Tanggung, kan... Kamu aja belum keluar sama sekali... Nih... Masih mau, kan..? tanya Aya duduk di hadapanku. Ia menunjuk pada penisku yang masih mengacung.
Gak pa-pa... Lain kali kita sambung ya? jawabku menekan penisku ke bawah dan mencium bibirnya.
Ia tak rela melihatku berpakaian kembali. Ia menunjukkan wajah manis itu lagi. Memang aku tak tega, tapi aku harus melakukan ini.
Alarm tadi mengingatkanku kalau aku harus menemui Jessie. Lebih tepat lagi menjemputnya pulang kerja. Tapi aku tidak bisa memberitahu alasan ini pada Aya; adiknya.
Dengan malas-malasan, Aya mengantarku sampai di balik pintu. Ia hanya kembali memakai CD-nya dan seragam sekolah yang dipegangnya rapat, tanpa bra dan rok.
Ia bersembunyi di balik pintu melihatku membuka gerbang dan melambaikan tangan. Wajahnya masih gak rela aku pergi.
Wah... kejadian tadi persis seperti tadi malam saat aku dengan kakaknya. Saat aku akan memastikan status keperawanan mereka, ada gangguan yang mendadak seperti telepon dan alarm.
Mungkin cuma kebetulan.
========
QUEST#02
========
Untung masih tepat waktu. Jam 17.00 tepat aku menelepon Jessie. Ia langsung mengatakan akan segera turun dalam 10 menit.
Sekarang mau kemana? tanya Jessie begitu ia sudah duduk di samping kiriku.
Wah... iya aku sama sekali tak punya rencana untuk kemana-mana.
Kita putar-putar aja dulu, ya? usulku buntu. Mungkin di jalan nanti akan muncul ide.
Karena hari masih lumayan terang sore ini, kami berkeliling kota. Mengitari jalan-jalan protokol dan kadang terjebak macet.
Satria dari mana aja? Kok gak sempat ganti baju seragam begitu? tanya Jessie saat masih terjebak macet. Tangannya menyentuh pahaku.
Tadi nongkrong sama teman-teman... sampai sore begini... Ya... langsung aja menjemput Jessie... jawabku bohong. Kalau dia sampai tahu aku tadi bercumbu dengan adiknya, bisa berantakan semuanya.
Sebenarnya aku bawa baju ganti, kok... kataku. Karena memang aku sudah mempersiapkan hal-hal seperti ini. Di kursi belakang ada bungkusan plastik berisi baju ganti yang kusiapkan.
Beberapa menit ini, mobilku sama sekali tidak bisa bergerak, aku cuek saja membuka bajuku dan menggantinya dengan baju kaos. Aku tahu kalau Jessie memperhatikan semuanya. Apa dia memperhatikan badanku. Ge-eR aja...
Kami akhirnya bisa melepaskan diri dari kemacetan lalu lintas yang memusingkan itu lalu aku kembali menyetir mobilku keliling kota sampai hampir gelap.
Aku harus berinisiatif memulai sesuatu yang pasti sudah ditunggu-tunggunya, melanjutkan apa yang tertunda kemarin malam.
Aku memarkirkan mobil di pinggir jalan yang sepi di kompleks perumahan di pinggiran kota. Ini pemukiman elit jadi relatif sepi dari orang yang lalu lalang.
Tadi siang aku pergi ke dokter... mulai Jessie membuka pembicaraan.
Sakit apa? tanyaku. Memangnya dia sakit?
Bukan... Kemarin Satria bilang, kan... supaya memeriksakan apa aku masih... atau tidak... jelasnya.
O-iya benar... Padahal kemarin itu aku cuma asal bicara saja. Ternyata dia menanggapinya secara serius.
Ternyata... tidak lagi... lanjutnya pelan. Gak perawan lagi, coy.
Kami membisu.
Kulihat dia tersenyum sendiri. Kenapa?
Gak... Waktu dokter itu bilang... aku sudah tidak lagi... aku terlihat senang... Dokternya heran... Aku bilang saja... kalau suamiku kurang pengalaman... jadi aku memastikan apakah ia berhasil atau tidak... Hi...hi...hi... tawanya. Ia terlihat santai setelah tertawa begitu. Kepalanya disandarkan ke belakang.
Mulai bergerak!
Hari telah gelap dan keadaan sepi. Aman.
Aku mendekati Jessie yang duduk di sampingku. Mata kami saling menatap... dan..
Detik kemudian kami sudah saling berpagutan mulut. Tanganku memegangi pipinya sedang tangan Jessie melingkari badanku. Tubuh kami saling merapat.
Mobilku yang cukup sejuk karena AC, mulai terasa hangat dari tubuh Jessie. Dadanya terasa menekan keras dadaku. Bergerak-gerak hingga aku dapat merasakan batas bra dan tonjolan dadanya.
Tangannya kemudian sudah meraba punggungku, lalu perut serta dadaku. Aku jadinya tak mau ketinggalan, tanganku sudah menelusup lewat bagian depan blazernya dan meremas dua gunung itu.
Kancing yang mengaitkan blazer itu telah lepas dan kini sebelah tanganku melepas kancing blus-nya dengan cepat. Blazer dan blus itu telah melewati bahunya dan tanganku sudah dengan mudah meremas dadanya melewati branya sekaligus.
Saat Jessie melepaskan mulutnya sebentar, ia mengangkat kaosku melewati kepala agar keadaan seimbang. Kini kami sama-sama bertelanjang dada.
Kret!
Jessie mengatur tuas jok tempat dia duduk hingga habis dan rata dengan bangku belakang. Tempat yang bagus! Aku juga melakukan hal yang sama dengan jokku.
Memang sih kurang nyaman seperti tadi siang saat dengan Aya tapi lumayanlah... Dimana lagi kami bisa melakukan ini?
Kini aku mengulum dada kiri bergantian dengan kanan. Tangan kananku menggosok-gosok gundukan vaginanya karena rok kerjanya sudah kugulung sampai ke atas hingga aku bisa menyentuh bagian rahasia itu lewat kain tipis CD-nya.
Jessie mendesah-desah keenakan menikmati cumbuanku pada dada dan vaginanya.
Kain tipis CD itu sudah basah demikian juga jariku. Aku tetap menggosokkan jariku terhadap belahan vaginanya. Menggosok daging-daging berdenyut bengkak itu.
Sebenarnya aku ingin segera menusukkan jariku ke liangnya, tapi itu akan mengurangi semua ketegangan ini.
Satria... Kita matiin HP kita sama-sama, ya? ajak Jessie.
Benar juga, kemarin malam dan juga tadi siang, semuanya terganggu oleh HP.
Kedua HP kami yang sudah dinon-aktifkan, kini berada di dalam laci dashboard mobil dan meneruskan permainan ini.
Jessie mulai bergerak berani, menyentuh batang penisku dari luar dan makin berani lagi langsung merogoh kedalam melalui CD-ku dan menggenggamnya. Enak sekali...
Aku harus melakukannya sekarang. Jessie kan sudah tidak perawan lagi, jadi sudah tidak ada yang harus dikhawatirkan lagi.
CD Jessie kuloloskan dan kelemparkan ke bangku belakang. Berikutnya aku melepaskan celanaku sendiri dan mulai mengangkangi kaki Jessie.
Batang penisku sudah menegang sedemikian rupa dan mengarah tepat di belahan vagina Jessie yang sudah membuka kakinya sedikit.
Aku menatap mata Jessie meminta persetujuan darinya. Ia mengerjapkan matanya pertanda setuju. Bagus... Ia sudah siap.
Mmm... Rasanya memang selalu enak. Tiap kali aku memasukkan penisku ini ke liang vagina wanita-wanita yang pernah kutiduri, selalu enak tak terkatakan. Sensasi yang menggelitik tiap ujung syarafku saat ujung penisku menembus dan menerobos perlahan untuk pertama kalinya liang penuh kenikmatan itu. Bibir tidak terlalu tebal itu membuka memberiku jalan dan aku sudah merasakan lembab pintu liang kemaluan Jessie.
Terasa sangat sempit dan seret. Pantas aja... Pertama kali seks baginya adalah waktu SMA dulu. Sudah lama sekali... dan sejak itu tidak pernah lagi.
Jessie menutup matanya dan menggigit bibir bawahnya erat-erat menahan sakit. Heh?
Aku berhenti sebentar.
Jess?
Aku tahu ini. Aku sudah merobek selaput daranya. Aku sudah pernah merasakan menembus lapisan hymen ini beberapa kali. Ada enam perawan seingatku yang pernah kupecahkan. Lima berturut-turut dari sepupu kembar limaku dan keenam Nicole, adik Carrie, pacarku.
Serasa menembus dinding tipis yang fleksibel lalu robek tertembus batangku.
Jessie meringis pedih.
Tidak... tidak apa-apa... Teruskan saja... Satria... tidak apa-apa... kata Jessie menahan sakitnya.
Tapi katamu kau sudah tidak lagi...? tanyaku agak menyesal.
Mungkin dokternya salah... Teruskan saja... Tidak apa-apa, kok... Aku memang menginginkan ini... Ayo.. paksanya menekanmendekap badanku agar lebih maju.
Aku mengerti, aku menekankan kembali penisku masuk dengan super pelan. Liangnya yang sempit mengatup erat batangku. Untung saja ada sejumlah cairan lubrikasi yang melancarkan.
Aku kembali melumat bibirnya yang juga disambut Jessie dengan penuh nafsu. Pantatku kegoyang-goyangkan kesegala arah agar ia terbiasa dengan seluruh batangku terbenam dalam. Berdua kami tetap berciuman. Bergantian dua bibirnya kusedot perlahan dengan tambahan gelitikan lidah.
Saat semua liangnya sudah relaks, aku mulai menarik dan memasukkan lagi dengan perlahan. Sangat perlahan sampai aku bisa merasakan tiap gerinjal dinding uterusnya berkontraksi simultan.
Enak sekali... Berarti ini perawan ke tujuh yang kujebol selama hidupku. Sebuah prestasi yang akan selalu kuingat. Sombong sekali, ya?
Setelah beberapa lama, aku semakin lancar mengeluar masukkan penisku dan Jessie semakin menikmati seks sebenarnya. Ia meresapi setiap rojokan yang kubuat dengan penisku yang besar dengan desahan nikmat.
Jess... Jessie mau orgasme tidak? tanyaku. Ini puncak bagi kenikmatan yang harus keberikan pada tiap wanita yang main denganku.
Ia mengangguk mau.
Masalahnya adalah bagaimana melakukannya. Selama ini yang kutahu adalah dengan menstimulasi titik sensitif mereka. Kalau Jessie? Titik stimulasinya adalah...
Terlihat...!
Aya gak bisa menggangu sekarang! teriakku tiba-tiba dengan suara tertahan.
Jessie menahan nafasnya saat aku menekankan penisku dengan cepat dan...
Liang vaginanya mencengkram erat dan mendesirkan cairan yang lebih banyak. Jessie mencengkram lenganku dan kakinya mengait pahaku. Tubuhnya menegang. Otot-ototnya mengejang.
Aaaahhhhhh! jeritnya. Kepalanya menengadah dengan alis bertaut. Mulutnya membuka lebar menyalurkan ekspresi kenikmatan yang dirasakannya.
Lalu ia perlahan mengendur menikmati sisa orgasmenya sendiri dan akhirnya kembali membuka matanya.
Satria belum...? tanya Jessie memandangi mataku selagi aku memompa tubuhnya pelan-pelan.
Memang masih belum, tapi itu bisa kuusahakan.
Keluarin di luar aja, ya? tanyaku. Ia mengangguk.
Aku lalu mencabut penisku dari vaginanya yang basah. Untaian cairan terbentuk dari perpisahan kelamin kami berdua.
Gede banget, ya, Satria? puji Jessie pada penisku.
Aku tersenyum saja. Tiap wanita yang melihat ini pasti mengatakan itu, jadi aku sudah terbiasa.
Untuk segera membuatku sendiri nembak, aku mengocok penisku sendiri, tepat di depan Jessie yang masih berbaring di bangkunya yang direbahkan. Aku mengocoknya dengan cepat karena licin bekas cairan vagina Jessie.
Memang rasanya tidak seenak kalau terkocok didalam vagina, tapi lumayanlah.
Jessie membantu merangsangku dengan telapak tangannya di ujung kepala penisku. Terasa sangat enak sekali. Ia memandangi wajahku dan penisku bergantian.
Dari siang, bahkan dari kemarin malam aku belum berhasil nembak pada kedua kakak beradik ini. Aku jadi teringat pada Aya tadi siang saat aku juga hampir memasukinya.
Wah, kedua kakak beradik ini memang sangat membuatku gila... Aku jadi sangat terangsang sekali mengingat kemungkinan kalau aku bisa mendapatkan keduanya. Kakak sekaligus adiknya.
CROOT! CROOOOOTTT!
Cairan kentalku menyemprot dengan kencang dan mendarat di perut Jessie. Banyak juga. Padahal sepulang sekolah tadi aku juga sudah mengeluarkan mani yang juga banyak pada liang menggila guru bahasa Inggris-ku, bu Karen.
Jessie memperhatikan cairan putih kekuningan yang menempel kental pada perutnya itu dengan seksama.
Aku dengan nafas tersengal, menciumi bibirnya lagi. Kepala penisku menempel di bawah dadanya, bergerak-gerak meninggalkan garis-garis sisa spermaku.
Jessie dan aku bertatapan cukup lama...
Apa Jessie menyesal? tanyaku.
Tidak... Jessie tidak akan menyesal... Jessie memang suka Satria kok... jawabnya. Aku tersenyum saja.
Tapi masalah perawan tadi... bagaimana? tanyaku lagi.
Sebenarnya... Satria jangan marah, ya...? katanya. Aku mengangguk. Sebenarnya... hasil pemeriksaan tadi... aku masih perawan... tapi kalau kubilang begitu... pasti Satria bakalan gak mau, deh... jelasnya.
Heh heh... Begitu... Sudah kuduga begitu... Tapi kalau Jessie memang mau... Tanpa boong-pun... aku juga pengen, kok... kataku. Buaya mana yang nolak bangke. Seger pula.
Iya... Soalnya... Satria kan biasanya sama cewek yang udah biasa... katanya lagi.
Seperti Aya? Apa adik Jessie itu memang sudah biasa petting dengan cowok-cowoknya. Tapi sepertinya hanya petting tok, belum sampai masuk ke dalam.
Gak juga, kok... Ada juga yang belum pernah sama sekali... Ada beberapa orang... jelasku.
Jessie mengambil tissue dari dashboard mobil dan membersihkan penisku yang mulai melemas di depannya. Lalu setelah selesai, ia membersihkan spermaku yang tumpah di perut dan sekitar dadanya. Kami bercumbu sebentar dan ngobrol-ngobrol ringan.
Sekitar jam 21.00, aku kembali mengantar Jessie pulang. Tetap tidak sampai depan rumah kontrakannya. Hanya sampai depan gang dan ia berjalan masuk seperti kemarin malam.
Seminggu lagi ulang tahunnya dan aku sangat yakin kalau saat itu aku akan dengan mudah mendapatkan ZODIAC CORE TAURUS dari Jessie. ZODIAC CORE keduaku.