Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Quest

========
QUEST#02
========​

Siang itu aku buru-buru ke kantor Papa lagi. Kali ini aku langsung ke kafetaria menunggu Jessie makan siang.
Jessie lumayan kaget melihatku duduk di tempat kemarin kami makan. Ia memisahkan diri dari teman-temannya yang lain.
“Nemuin Papa kamu lagi?” tanya Jessie menghampiriku dengan membawa nampan berisi makan siangnya.
“Nggak... Cuma mau ‘nemuin Jessie aja...” jawabku. Makanan dan minumanku udah ada di meja dari tadi. Segelas sirup merah sejenis dengan disuguhkan di rumah Jessie semalam udah abis dan menyisakan satu gelas lainnya. Kayaknya mulai ketagihan sama sirup ini, deh. Aku bahkan tanya sama Jessie mereknya apa dan kebetulan di kafetaria ini memakai merek yang sama. Aku beli sendiri aja nanti, ya sirupnya?
“O ya... Eh... Aya kirim salam, loh..” kata Jessie.
“Ya... Kirim salam lagi, deh buat Aya...” jawabku datar.
“Ada apa? Kamu serius sekali...” tanya Jessie melihatku. Makanannya mulai diaduk-aduk. Soto ayam dengan banyak toge.
“Ng... Ini... Aku mau minta tolong... Agak susah ngomongnya karena agak tidak masuk akal...”
“Apa itu? Kalau bisa kubantu... Akan kucoba bantu... Ayo katakan saja...” jawab Jessie penasaran. Ia berhenti mengaduk sotonya.
“Jessie ingat tidak kejadian beberapa bulan lalu... Tepatnya bulan Februari... Malam itu muncul mahluk aneh yang keluar dari tubuh kita... Bahkan dari tubuh setiap orang... Ingat?” mulaiku.
“Kejadian itu? Tentu saja aku ingat... Kenapa dengan kejadian itu?” tanya Jessie balik. Setiap orang yang kuajak ngobrol masalah ini, rata-rata mengingat kejadian menghebohkan itu.
“Aku ingin... mengambil mahluk itu...” jawabku agak ragu. Semoga pilihan katanya benar.
“Mengambilnya? Apa maksudnya menangkapnya? Dia semacam hantu?” Jessie mulai tertarik. Sesendok soto masuk mulut.
“Mm... Tidak bisa dibilang begitu... Waktu itu... apa Jessie sendirian?”
“Nggak... Berdua dengan Aya...”
“Nah... yang aku mau ambil itu hanya seperti yang keluar dari Jessie aja... Karena seperti yang keluar dari Aya itu tidak bisa..” jelasku.
“Tidak bisa? Kenapa? Apa bedanya?” tanya Jessie.
“Mm... Begini... Bagaimana bentuk mahluk yang keluar dari tubuhmu itu... dan bagaimana bentuk yang dari Aya?” tanyaku balik.
“Waktu itu... Dia berbentuk perempuan... Badannya kuat memegang semacam tongkat... Kalau yang dari Aya badannya kurus dan jari tangannya cuma tiga... Kupingnya lancip seperti kucing...” ingat Jessie.
“Itu perbedaannya... Kalau milik Aya itu... namanya core biasa... sedang yang dari Jessie itu... core istimewa...” semangatku.
“Core biasa... core istimewa? Apa itu?” bingungnya. Sendok dan garpu disusun rapi di dalam mangkuk soto.
“Core adalah inti dari setiap mahluk hidup... Jessie adalah manusia istimewa yang memiliki core istimewa juga...” jelasku secara umum saja. Semoga dia tidak bertanya lebih banyak lagi.
Beberapa lama kami berdua terdiam. Ia lebih banyak mengaduk-aduk makan siangnya. Entah apa yang dipikirankannya.
“Mm... Bagaimana cara mengambil mahluk itu... dariku?” akhirnya ia bicara.
“Ng... caranya...” Mati aku! Apa aku bisa langsung mengatakan kalau caranya adalah lewat seks? Bunuh diri namanya.
Aku bahkan belum tau apa ia pernah melakukan seks sebelumnya. Kalau dia masih perawan, gimana?
“Gimana caranya...? Apa pakai ritual-ritual gitu?” tanyanya. Jessie sepertinya tidak tertarik lagi dengan makan siangnya.
“Ng... Gimana, ya? Susah mengatakannya... Aku takut.. Jessie jadi tersinggung... Karena bagi beberapa orang hal ini... termasuk dosa...” gugupku.
“Dosa?... Apa pakai pemujaan mahluk halus segala?” tanya Jessie lagi. Tubuhnya semakin condong ke arahku.
Kenapa Jessie terus menanyakan hal yang berbau-bau mistis terus? Ritual... Pemujaan...
“Bukan...”
“Jadi gimana? Ayo katakan saja...” malah kini Jessie mendesak.
“Jangan marah, ya?” raguku.
“Iya... Janji...” yakinnya. Iya mengangguk-angguk meyakinkanku kalau ia gak bakal marah.
“Dengan... dengan... seks...” kataku akhirnya. Perasaanku sedikit lega dengan meluncurnya kata itu. Lalu kembali khawatir. Jangan-jangan dia tersinggung dan marah.
“Mm... Begitu, ya?...” hanya itu terucap darinya. Ia kembali bersandar ke kursinya.
Lalu ia terdiam lagi dan kembali mengaduk-aduk makanannya. Ia tidak berani atau malu menatapku lagi.
“Eh... Satria... Waktu makan siang sudah selesai... Saya kembali kerja dulu, ya...” kata Jessie setelah melihat jam tangannya dan meninggalkan meja ini. Aku tidak bisa berkata apa-apa selain memandanginya sampai menghilang di balik pintu lift.
Sial! Aku lupa nanya apa aku boleh datang lagi malam ini.
Bagaimana kalau aku datang aja langsung. Kudengar kalau cowok-cowok lain kalau sedang PDKT, akan sering-sering datang ke rumah sang cewek. Kalau si cewek memang suka, pasti akan kelihatan dari sambutannya. Perlu dicoba.
Makan siangku yang berupa nasi dengan lauk ayam semur baru mulai kusentuh begitu Jessie pergi. Buh... Manis banget! Kayak kolak. Jelas kalau sirup merah ini, memang seharusnya manis.

========
QUEST#02
========​

Malamnya dengan yakin aku datang lagi ke rumah Jessie. Aku sedikit memperhatikan penampilan sekarang. Bukan seragam seharianku, jeans belel dan kaos oblong hitam bergambar metal-metalan. Jeans yang rapian dikit dan kemeja kotak-kotak. Aya kembali yang membuka pintu.
“Hei... Satria... Kamu keren sekali malam ini..” sambutnya. Ia juga agak berbeda dari kemarin. Bajunya lebih modis dan ada sedikit lipstik di bibirnya. Juga ada wangi parfum atau body spray remaja putri yang lembut.
“Kamu juga cantik...” pujiku membuat ia tersipu.
“Kakakmu kemana, Ya?” tanyaku setelah ia menyuguhkan minuman dingin persis yang kemaren; sirup merah yang terkenal sejagad.
“Ada... Sebentar lagi dia keluar, kok... Jess... Cepetan keluar...! Lama amat...” panggilnya.
Tak lama ia sudah keluar dari kamarnya. “Eh, Satria... Udah lama?” tanyanya basa-basi.
“Baru, kok...” jawabku. Padahal baru disuguhi minum langsung abis segelas.
Ia juga tidak seperti kemarin. Sekarang ia sedikit berdandan. Tidak seperti dandanannya kalau sedang bekerja. Ini lebih ceria dan santai.
“Kalian mau kemana? Kok, pada cantik-cantik begini?” tanyaku bego.
“Gak kemana-mana, kok... Emangnya ‘gak boleh cantik-cantik?” elak Jessie. Aya juga mendukung kakaknya.
“Iya padahal... Kemarin kalian tidak secantik ini, deh... Jadi betah disini...” godaku. Kedua tersipu malu.
“Eh... Sekarang Satria bawa mobil, gak?” tanya Aya tiba-tiba.
“Bawa... tuh..” tunjukku. Mobil sedan bekas itu kuparkir agak sedikit melewati rumah kontrakan ini.
“Makan diluar, yuk?” ajaknya. Kakaknya diam saja.
“Boleh...” jawabku.
Langsung saja Aya berdiri dan ngacir ke kamarnya. “Jess... Sisirku dimana?” teriak Aya.
“Bentar, ya?” permisi Jessie menyusul adiknya.
Kenapa dengan Jessie? Ia seperti tidak memikirkan permintaanku tadi siang. Sepertinya itu bukan masalah besar baginya. Atau memang benar kata orang kalau wanita paling bisa menyembunyikan permasalahannya.


--------​
Di mobil, Aya duduk di depan, sedang kakaknya di belakang. Ia membuat mobil ini terasa meriah dengan canda dan tawanya. Jessie hanya sesekali membuat lelucon dan selalu ikut tertawa dengan kami.
Kami akhirnya memilih makan di sebuah cafe pinggir jalan yang selalu ramai dengan pengunjung terutama remaja yang nongkrong di sana.
Kami memilih duduk di meja yang di belakang agar tidak terganggu pengunjung lain. Beberapa kali Aya menyapa atau disapa pengunjung cafe ini. Rame juga temannya.
Aku memilih makan bakso dan minum jus jeruk (sirup merah itu tidak tersedia disini), sedang Jessie dan Aya memesan mi goreng dan jus alpukat.
Kami kembali meneruskan bercerita berbagai macam hal sampai tertawa-tawa.
“Pacarmu sekarang ada dimana, Satria?” tanya Aya tiba-tiba di sela menyuap makanannya.
“Di Australi...” jawabku seadanya. Waktu itu aku sedang meminum jus-ku. Asem jeruknya dikit, kebanyakan gula.
“Sekolah di sana?” tanyanya lagi.
“Gak... Dia memang orang Australi... Tinggal dengan orang tuanya...” jawabku seadanya lagi sambil membelah sebuah bakso berukuran sedang menjadi 4 bagian.
“Kalo yang disini ‘gak ada, kan?” tanyanya lagi.
Gawat! Ini kedengarannya sudah mulai mengorek-ngorek keterangan. Apa maksudnya si Aya ini?
“Gak, dong... Disini gak ada...” jawabku.
Sekilas aku melihat perubahan yang cukup drastis dari kedua wajah kakak beradik ini. Dari serius ke wajah lega. Entah apa artinya.
Aya memang sangat agresif. Jauh berbeda dengan kakaknya yang lebih banyak diam. Bisa dibilang kalem. Apa karena perbedaan umur dan pekerjaan, ya?
Aya yang seumuran denganku pasti tidak begitu paham kesulitan hidup orang dewasa yang harus bekerja keras. Berbeda dengan Jessie yang harus bekerja membantu orang tua setelah tamat kuliah dan membiayai sekolah adiknya.
Keluar dari cafe, secara mengejutkan, Aya menggandeng tanganku. Sewaktu aku melirik pada Jessie, ia pura-pura tidak melihat.
Gawat! Maksud hati ingin menggaet sang kakak, malah adiknya yang kecantol. Gawat sekali. Tidak mungkin dua-duanya, kan?
Aku harus bisa menyelesaikan masalah ini dalam waktu dekat. Pokoknya sebelum tanggal 19 Mei nanti. 24 hari lagi. Semoga sempat.
Malam itu kami keliling kota menghabiskan malam dan menjelang tengah malam aku mengantar mereka pulang. Karena mereka tinggal di rumah kontrakan sendiri, hal ini tidak akan menjadi masalah besar. Cuma takut gak enakan sama tetangganya.

--------​
“Apa kau masih mencari core istimewa seperti waktu itu, Satria?” tanya Putri saat di kantin.
“Iya... tapi udah ketemu, kok orangnya... Cewe itu sekretaris di kantor Papa...” jawabku. Kantin di sekolahku tidak menyediakan minuman sirup merah itu hingga aku cobain sensasi minuman soda botol berwarna merah juga. F*nta. Buih karbonasinya membuat hidungku sakit. Gak seenak si sirup merah.
“Eh... Jadi gampang, dong...” seru Dewi.
“Gampang gimana?” heranku. Karena rasanya sulit. Botol itu kusisihkan
“Dia pastinya tau... elo itu anaknya Buana Suryawan... Big Boss-nya sendiri... Siapa yang gak mau jadian dengan anak bos... Bisa langsung tajir dia...” terang Dewi.
“Maunya begitu... Tapi setelah didekati... Malah adiknya yang kelihatan suka denganku...” jawabku.
“Adiknya? Apa urusannya dengan adiknya... Adiknya gak usah diperduliin... Pokoknya kakaknya aja sosor terus...” kata Dewi.
“Disitu masalahnya... Si Jessie ini... Namanya Jessie... sayang banget dengan adiknya ini... Namanya Aya... dia masih kelas 2 SMA juga... kayak kita...” jelasku.
“Mereka tinggal berdua di rumah kontrakan... Si Jessie kerja untuk membiayai sekolah si Aya ini...” sambungku.
“Lo kok bisa jadi berurusan dengan adiknya juga?” Putri ikut menanggapi.
“Aku kan datang ke rumahnya... dikenalin sama adiknya... Gitu ceritanya...” terangku.
“Yah... Gampang aja... Lo datangin aja ke tempat dimana gak ada adiknya... Di kantor, kan?” usul Putri.
“Iya juga-ya? Jadi aku gak usah ke rumahnya, nih? Ketemu di kantor aja?” tanyaku meyakinkan.
“Benar... Lo jemput dia pulang kerja... Bawa kemana, kek... Pake rayuan terhebatmu... lalu... BAM! Gitu... Masa harus diajari lagi, sih?” potong Dewi.
“Betul... Betul... Itu cara yang paling tepat...” Putri juga setuju.
“Kalian sudah mirip dengan laki-laki, deh... Ide seperti itu kurasa hanya ada pada cowok aja... Main hantam kromo gitu,” ejekku. Gimana mungkin cewe-cewe semacam mereka berdua ini bisa punya ide sebrutal laki-laki ini.
“Kalau gak mau... ya udah... Namanya juga ide...” Dewi melengos.
“Kalau gak dapat juga... jangan mewek-mewek pada kami orang kalau harus menunggu sampai tahun depan, ya...” Putri ikut-ikutan.
Tapi benar juga, sih... Targetku, kan Jessie... Kalau Aya ikut ada di antara kami... Harus segera dihindari... Memang, sih... dua-duanya sama menarik, cantik dan seksi.
Bagaimanapun, aku harus tetap pada fokus utamaku... Hanya Jessie... Jessie! Hidup Jessie!
Bagus! Pulang kerja nanti... Jessie akan kujemput... akan kubawa... nonton... Ya... nonton itu ide yang sangat cemerlang.
 
Target Jessie, kalo Aya.....anggap iseng-iseng berhadiahlah
 
========
QUEST#02
========​

“Hei, Satria...” sapa seseorang menepuk halus pundakku saat akan membuka pintu mobil.
“Eh... Aya? Ada apa?” heranku. Kenapa Aya ada di sini?
“Aku tadi bareng teman kemari... Ada urusan dikit sama anak sekolah sini... Trus... ntah gimana... temanku itu ilang begitu aja...Puf! Bingung, kan? Makanya aku cari kamu aja di sekolah ini,” jelasnya menjawab keherananku.
“Kamu udah pulang, kan?” tanya Aya kemudian.
“Udah...”
“Kita nonton, yuk?” ajaknya.
“Nonton? Nonton apa?” tanyaku.
“Ada film bagus... Kata teman-temanku... filmnya bagus... Mau, ya?” seru Aya semangat sekali.
Aku tak sanggup menolaknya. Wajahnya yang seimut anak kucing seakan melemahkanku dan begitu saja mengiyakannya.
Berikutnya kami menuju Studio 21 yang ada di kota untuk menonton film yang dimaksud Aya itu. Sebelumnya kami berganti baju dengan kaus. Ia kembali menggandeng tanganku di tempat yang ramai ini.
Filmnya tentang drama percintaan remaja. Cukup bagus dan menghibur. Cocok untuk pangsa pasar anak muda. Sepanjang film kadang kami tertawa karena dialog ataupun tingkah-laku aktor dan aktris remaja film ini.
Karena ini drama percintaan, tentu saja ada adegan-adegan romantis yang lumayan seperti kata-kata cinta, pelukan dan ciuman.
Saat itu terjadi, Aya memegang tanganku. Lebih tepatnya menggenggam tanganku. Berani sekali dia. Apa dia menganggap aku pacarnya? Gawat kalau dibiarkan lama-lama.
Pukul 15.00 WIB, film itu selesai. Aya mengajakku untuk makan di resto fast food. Memang aku sudah lapar, sih. Terpaksa, deh...
Aku harus menghentikan semua ini... Ini sudah hampir jam 16.30... Jessie pulang kantor jam 17.00 WIB.
Untung saja Aya percaya kalau aku harus segera pulang karena urusan penting.
Aku mengantarnya pulang dan segera menuju West Point untuk menjemput Jessie.
“Halo...? Jessie...? Udah pulang?” tanyaku lewat telepon saat beberapa menit lagi sampai disana.
“Ya... sebentar lagi... Lagi beres-beres dulu... Kenapa?” tanyanya.
“Aku jemput, ya?” kataku mantap.
“Gak usah, Satria... Aku pulang naik taksi aja...” tolaknya.
“Yee... Aku sudah sampai di depan gedung West Point, nih... Mau, ya?” desakku. Semoga dia mau...
“Ok, deh... Gak merepotkan, kan?” katanya lagi.
“Gak, kok... Senang aja bisa menjemput kamu...” gombalku.
“Mm... 10 menit lagi aku sampai di bawah... Ok? Dag...” katanya mengakhiri percakapan ini.
Yes!

Aku melambaikan tangan agar ia tau dimana aku berada. Seperti biasanya, ia tetap terlihat cantik walau sudah bekerja seharian ini. Dengan blazer hitam dan dalaman kemeja putih dipadu dengan rok diatas lutut dengan warna senadanya. Cocok sekali menjadi wanita pekerja.
“Benar, nih... Gak pa-pa ‘njemput aku? Nanti ada yang marah, loh?” tanya Jessie lagi.
“Siapa yang marah... Gak ada, kok...” jawabku. Memangnya siapa yang bakalan marah.
“Mau langsung pulang... atau mau kemana dulu?” tanyaku memancing.
“Memangnya mau kemana?” tanya Jessie balik.
“Ng... Ini... ada film bagus... Mau nonton, gak?” ajakku. Maksudku sama dengan film yang baru aku tonton dengan Aya tadi siang. Biarin aja dopost.
“Boleh...” jawabnya pendek saja.
Cihuuuy... Berhasil... Berhasil... Langkah pertama berhasil. Kalau saja aku sedang sendirian, pasti aku sudah lompat jingkrak-jingkrak kegirangan. Harus jaim sedikit.
Walau ia lebih tua dariku, sepertinya ia tidak canggung saat jalan denganku. Malah aku yang jadi sedikit minder karena tidak sebanding dengan penampilan kantorannya.
Entah hanya perasaanku atau bagaimana, karena aku merasa kalau semua orang yang berpapasan dengan kami pasti memperhatikan kami. Entah apa artinya. Biarin aja.
Dibanding siang tadi, sore ini pengunjung Studio 21 ini lebih ramai. Banyak yang mengantri tiket. Banyak juga yang berkerumun di dekat poster film yang akan diputar. Juga kerumunan orang-orang yang menunggu pintu dibuka.
Jessie berjalan ingin melihat poster film yang kumaksud tadi. Karena di sana lumayan ramai, ia merapat padaku dan memegang lenganku untuk penahan.
“Film ini, ya?” tanyanya.
“Iya... Ini filmnya... Kata temanku lumayan lucu juga...” jawabku.
“Tapi antrinya panjang gitu, loh...” sambungnya lagi menunjuk pada antrian Studio 3, Studio yang memutar film ini.
“Gak pa-pa... Jessie tunggu di sini aja, ya? Biar aku aja yang beli tiketnya...” kataku.
“Mm... aku beli makanan dulu... Boleh, kan?” usulnya.
“Boleh... Tapi nantinya tunggu di sini, ya? Soalnya nanti susah ‘nyarinya... OK?” kataku. Ia setuju dan kami berpisah. Aku antri membeli tiket, Jessie membeli makanan.
Setelah antri yang cukup panjang dan membosankan aku akhirnya berhasil membeli dua tiket untuk nonton. Saat kembali, aku dengan mudah menemukan Jessie berdiri ditempat yang kuminta dia menunggu tadi, membawa seplastik sedang makanan.
“Sudah dapat?” tanya Jessie dengan senyum manisnya.
“Udah, nih...” aku mengacungkan dua tiket itu. “Jessie beli makanan apa aja?” tanyaku.
“Makanan ringan dan minuman kaleng aja, kok... Semoga Satria suka, ya...” jawabnya.
“Ya... Suka, kok...” jawabku untuk menyenangkannya. Gak mungkin rikues sirup merah, ya?
Lima menit kemudian, pintu Studio 3 dibuka dan kami kembali antri untuk masuk.
Kembali Jessie memegang lenganku agar tidak terpisah karena banyaknya orang yang memasuki Studio 3 ini. Berkali-kali aku merasakan yang empuk-empuk di dadanya itu. Yey.
Karena aku sudah tau bagaimana cerita film ini dari nontonku tadi siang dengan Aya, aku jadi sedikit spoiler tentang isi cerita film ini. Semoga Jessie tidak curiga.
Ia juga tertawa-tawa saat adegan lucu dan terdiam saat adegan romantis.
Ia sama manisnya dengan adiknya bila dalam kegelapan seperti ini. Sinar-sinar dari proyektor yang terpantul dari layar Studio silih berganti menerangi wajahnya. Sesekali aku melirik untuk melihat itu.
Wah... manis sekali.
Tanpa terduga, saat sebuah adegan ciuman, tangan Jessie menggenggam tanganku. Jari-jarinya bertautan dengan jariku. Aku terpaku. Ini...
Kalau di samping kiri kananku tidak ada orang, aku maunya mencium bibirnya yang terlihat ranum di redupnya cahaya ruangan karena pegangan tangannya itu.
Karena adegan romantis itu cukup lumayan lama ditambah dengan percakapan yang melulu tentang itu, Jessie sepertinya mencondongkan tubuhnya ke arahku. Dan akhirnya tinggal sedikit saja lagi menyentuh bahuku. Pertanda bagus!
Langsung saja, dengan perlahan aku menyentuhkan bahuku. Ia terdiam. Beberapa saat begitu, aku menggerakkan kepalaku dan pipiku menempel di ubun-ubun kepalanya.
“Fimnya... bagus, ya?” katanya tiba-tiba. Hampir berbisik.
“M-mm... Bagus...” jawabku.
Begitu terus sampai beberapa lama. Walau adegan romantisnya telah selesai, kami tetap begitu sampai leher dan pipiku pegal karenanya. Tapi demi... demikian, tahan dikit-lah.
Beberapa saat sebelum credit title muncul menandakan film telah selesai, aku menarik kembali kepalaku. Jangan sampai dilihat orang rame saat lampu dinyalakan.
Cup...
Bibir yang basah itu mendarat di pipiku dengan cepat.
Aku pura-pura cuek dan tidak menghiraukannya. Padahal...
Berani juga dia. Bahkan lebih berani dari pada Aya.
Ia juga tenang-tenang saja seperti tidak ada kejadian apapun. Menatap layar yang menampilkan nama-nama orang dibalik pembuatan film ini dan ruangan sudah kembali terang.
Penonton-penonton lain sudah beranjak dari bangkunya menuju pintu keluar. Kami masih duduk.
“Nanti aja, ya... Masih terlalu banyak orang... Malas desak-desakan terus...” kataku. Jessie mengangguk saja.
Akhirnya kami keluar dari Studio 3 saat tinggal hanya beberapa orang yang seperti kami menunggu sepinya pintu keluar.
Jessie masih membawa sisa makanan ringan yang tidak sempat kami makan.
Yang lebih mengejutkan lagi, ia sekarang malah terang-terangan memegang tanganku dan berjalan menggandeng di sampingku. Pertanda yang bagus sekali.
E-hem... Aku membukakan pintu mobil untuknya. Jessie tersenyum manis dan berterima kasih.
Lebih baik aku mencari jalan yang agak jauh agar lebih lama bersamanya.

“Aku masih belum mengerti tentang masalah core yang Satria katakan waktu itu... Apa bisa dijelaskan lagi...?” tanya Jessie saat kami sedang berhenti di lampu merah. Sebuah cemilan sisa dari bioskop tadi dibukanya.
“Core?... Mm... Agak susah... menerangkannya... Karena ini agak sedikit tidak masuk akal...” kataku.
“Ceritakan saja... Siapa tau aku bisa percaya...” katanya.
“... Sebenarnya... waktu itu... saat core semua mahluk hidup keluar... itu adalah untuk melindungi seisi bumi...” mulaiku menjelaskannya.
“Melindungi bumi?... Serius amat...” komentarnya.
“Saat itu semua penghuni neraka dalam proses berpindah ke bumi karena dibukanya pintu gerbangnya. Semua mahluk neraka itu tidak mungkin dapat dicegah masuk tanpa memakai jumlah yang relatif sama dengan jumlah mereka...”
“Karena itu... core setiap mahluk hidup... manusia, hewan dan tumbuhan... dipanggil untuk melindungi bumi...”
“Karena dipanggil keluar... Semua core menampakkan diri dan membantai semua setan dan iblis dari neraka... Bagi sebagian besar orang... pemandangan ini sangat mengejutkan...”
“Sebentar... Kenapa tidak ada yang tau cerita ini sebelumnya... Karena ada berbagai macam versi cerita tentang kejadian itu... Yang paling masuk akal adalah semacam proyeksi jiwa seseorang yang karena suatu sebab yang masih misterius muncul dihadapan orang tersebut...” komentar Jessie.
“Tidak ada yang tau kecuali beberapa orang saja... Ini bukan cerita yang kukarang... Ini kenyataannya...” jawabku.
“Kata Satria tadi... para core itu dipanggil... siapa yang memanggil?” Jessie mulai penasaran.
“Aku...” jawabku pendek.
“?”
“Ada sesuatu yang terjadi sebelum aku memanggil semua core di bumi ini...” lanjutku. Jessie menungguku dengan serius.
“Ini berhubungan dengan raja dari para setan dan iblis... LUCIFER...” jelasku.
“LUCIFER? Aku seperti pernah mendengar nama itu... Dimana, ya? O iya... Temanku pernah bilang dari Alkitab ada nama-nama iblis yang selalu mengganggu manusia... Awalnya... LUCIFER adalah malaikat yang tergoda oleh nafsu manusia dan berubah menjadi jahat...” ingat Jessie.
Nafsu manusia...? Pasti maksudnya nafsu seks... Ia senang sekali melakukannya dengan LILITH... Begitu, ya... cerita aslinya.
“Lalu gimana... LUCIFER-nya gimana...?” tanya Jessie lagi.
“Aku bertarung dengannya... dan ia berhasil kumusnahkan...” jelasku.
“Kau memusnahkan... LUCIFER?” kaget Jessie.
Aku mengangguk sambil terus menyetir.
“Bukankah LUCIFER itu raja para iblis dan setan?... Bagaimana caramu memusnahkannya...?” Jessie tambah penasaran.
“Tentu tidak dengan bentukku yang seperti ini...” pendek saja. Biar dia tambah penasaran.
“Apa kau bisa berubah menjadi mahluk lain seperti di film-film kartun itu?” tanya Jessie hampir membuatku tertawa. Mungkin maksudnya Kamen Rider kali, ya. Henshin!

“HUAAAAAAARRRGGGGGGGGHHHHHHHH...”

Hegh.. heghhh...heghh... Panas sekali... Keringatku sampai bercucuran.
“Jess... Kau sudah lihat, kan?” teriakku pada Jessie.
“Sudah...” jawabnya dari sudut ruangan olahraga indoor sekolahku ini. Ia lalu keluar dari persembunyiannya. Kenapa ada lapangan indoor di sekolah plat merah? Aku juga baru-baru ini aja tahu kalau bangunan ini dan beberapa lainnya adalah sumbangan keluargaku.
Ruangan ini sepi tiap malamnya sehingga akan aman bila kupakai untuk menunjukkan bentuk RAGE-ku. Bentuk VIOLENCE pertamaku yang berdasarkan kemarahan.
Ini kulakukan agar lebih meyakinkan Jessie tentang ceritaku mengenai core. Awalnya dia memintaku menunjukkan bentuk LORD. Tapi aku tak tau bagaimana memunculkannya. Lagipula aku takut tidak mampu mengendalikannya, seperti juga bentuk kedua VIOLENCE-ku, BEAST yang lebih brutal dari RAGE.
“Apa saja tadi yang kau lihat, Jess?” tanyaku padanya setelah dekat. Aku kembali memakai bajuku.
“Seram, ya?... Tubuhmu... seluruhnya menegang... urat-urat darahmu... menonjol... rambutmu menegang... jigrak! Seram banget,” ceritanya.
Ya... saat itu aku tidak ingat apa-apa lagi. Saat berubah VIOLENCE aku akan berbuat sesuai dengan keinginan brutal saja. Tidak lebih dari kekuatan untuk menghancurkan.
“Katanya kau punya beberapa bentuk yang lain? Boleh kulihat?” minta Jessie lagi.
“Mmm... Sebentar, ya... Ini bukan bentuk VIOLENCE... melainkan kekuatan core... Lihat yang benar...” kataku. Aku berkonsentrasi sebentar dan menyalurkan kekuatan core ke seluruh tubuhku.
“Hup!”
Sekali ayunan langkah, aku sudah tiba di ujung ruangan dan sekali lagi sudah kembali ke tempat awal.
“Wah... Hebat sekali... Kekuatan apa itu?” kagum Jessie.
“Ini kekuatan ARIES... ZODIAC CORE pertama yang kudapatkan...” jawabku.
“Jadi... kalau dariku... adalah TAURUS, ya?” tebak Jessie.
“Benar... Seperti ceritaku tadi... aku memerlukan 12 ZODIAC CORE seperti milikmu untuk memanggil GOD MAESTER CORE... untuk memulihkan Carrie...” kataku.
Ia terdiam cukup lama. Aku jadi terdiam juga.
Kami berdua duduk di lantai tengah lapangan basket ini. Lapangan ini bisa juga disulap menjadi lapangan futsal. Saling membisu.
“Bagaimana...?” tanyaku tak tahan lagi.
“Mm... mm... sebenarnya... aku sudah pernah... itu... Itu... aku tak terbiasa mengatakannya... Sekali... saja... Waktu itu aku dipaksa pacarku... waktu masih SMA... kelas dua...”
“Kami sebenarnya sama-sama gak tau apa-apa... Aku juga takut untuk memeriksakan diri... Apakah aku masih (perawan)... atau sudah tidak (perawan lagi)...” katanya perlahan. Wah... ada kemungkinan kalau Jessie sudah gak perawan lagi ternyata.
Kami terdiam lagi. Aku juga bingung harus bagaimana menanggapi ceritanya tadi.
“Kalau masih... gimana... trus kalau enggak lagi... gimana?” kataku akhirnya.
“Aku gak tau...” jawabnya datar.
“Kalau begitu... periksa saja...” usulku berani.
Dia terdiam kembali.
“Iya,” jawabnya pendek.
Terlalu banyak kebisuan malam ini.
“Apa kau masih punya bentuk yang lain...?” tanya Jessie basa-basi.
“Ada... Sebentar...” aku berkonsentrasi untuk menggunakan VIOLENCE pinjamanku. ROSE DROP!
Entah kenapa yang terlintas di pikiranku adalah bayangan-bayangan Carrie yang pastinya pernah memakai ruangan olahraga indoor saat bersekolah disini.
“Apahh... iniiihh...?” tiba-tiba aku melihat Jessie bernafas dengan berat.
Ini?... Ini CHARM! Pantesan aja si Jessie jadi nafsuan gitu. Ternyata ia terpengaruh pesona CHARM yang memabukkan tiap wanita.
Di lantai ruang olah raga ini, ia menggeliat-geliat seperti cacing kepanasan. Rok diatas lututnya sudah sampai ke pangkal pahanya. Blazernya sudah lepas. Dua kancing atas kemejanya sudah lepas.
Satu-satunya bentuk VIOLENCE yang dapat kukendalikan dengan penuh kesadaran saat ini. CHARM.
Aku berdiri saja memandangi Jessie yang masih duduk menggeliat. Aku mencium wangi khas kewanitaan darinya. Sudah basah rupanya.
Ia menggapai-gapai angin seperti memanggilku. Kusambut tangannya dan kubawa ia berdiri. Berikutnya ia sudah tak terkendali lagi, Jessie merapatkan badannya padaku hingga dadanya yang sedang menekan dengan keras.
Bibirnya mendarat ke mulutku dengan rakus. Ia bermain-main dengan mulutku. Lidahnya saling bertautan dengan lidahku. Tangannya sudah menggerayangi sekujur tubuhku.
Terakhir sekali ia mengukur penisku dengan tangannya dari luar celana panjangku. Tanganku juga tak ketinggalan bermain.
Jari tanganku sudah berhasil menelusup ke balik celana dalamnya dan ikut menjadi basah ketika sampai di bibir vaginanya. Hot sekali dia. Jariku melebarkan bibir vaginanya dan mempermainkan klitorisnya yang menegang.
Rupanya ia mengikuti caraku dan menemukan penisku yang sudah menegang itu di dalam celanaku. Seluruh telapak tangannya menggenggam batang itu.
Nafasnya makin berat dan tak teratur. Aku memang sudah ingin menancapkan batangku ini padanya. Tak perduli dia masih perawan atau tidak.
Tunggu!

“Heh... heh... heh... Ada apa? Apa yang terjadi... Kenapa berhenti? Satria... Ada apa?” tanya Jessie kebingungan. Dengan kecepatanku yang luar biasa berkat kekuatan ARIES, aku bersama dengan Jessie sudah keluar dari ruang olahraga indoor itu dan kembali di dalam mobil yang kuparkir di depan sekolah.
“Ada yang datang... Mungkin penjaga sekolah... Kita harus berhenti...” kataku. Aku sudah kembali menjadi normal.
Berkat indra CHARM yang tajam, aku bisa mengetahui ada orang yang akan mendekat. Bisa berabe kalau ada orang melihat kami sedang bercumbu di ruang olahraga indoor.
Jessie membenamkan kepalanya di dadaku. Nafasnya masih berat dan jantungnya berdegup kencang. Ia masih terangsang.
Aku jadi pengen mencobanya tetapi dengan wujud manusia normalku...
Kuraih wajahnya dan kuciumi bibirnya yang indah dengan gencar. Mungkin karena ia masih terpengaruh CHARM, Jessie juga membalas serbuanku dengan penuh nafsu.
Kalau dalam bentuk manusia begini, aku lebih senang kalau mengikuti langkah-langkah standar. Pertama wajahnya, meraba seluruh tubuhnya, bermain dengan dadanya, lalu ke selangkangannya.
Wajahnya kukecup bergantian. Kening, mata, pipi, hidung, dagu. Lalu berlama-lama di bibirnya. Jessie menyambut mulutku walau masih kaku mempermainkan lidahnya.
Sisa kancing kemeja yang belum terbuka kupreteli selagi kami berciuman. Jessie melonggarkan bagian kerah bajunya melewati bahunya hingga dadanya yang bernafas berat turun naik menggairahkan. Dada berukuran 34B itu membulat dengan indahnya dibungkus bra. Putih dan juga lembut. Kusisihkan bra itu ke atas agar aku bisa melihatnya tak berpelindung lagi.
Jessie menahan branya di atas payudaranya dan menatapku sayu. Dengan posisi duduk bersandar di jok mobil begini, payudara putihnya membulat segar dengan puting yang coklat susu mulai menegang. Kukecup bibirnya dan berpindah segera mencaplok puting kanannya.
“Uhh...” keluh Jessie.
Kujilat-jilat putingnya ditingkahi dengan sedotan penuh seluruh aerolanya. Mata kami sesekali bertemu dan Jessie lalu memejamkan matanya kembali.
Selagi payudara kanannya kusedot-sedot, yang sebelah kiri kubelai-belai. Lalu diremas ditambah pilinan seirama dengan permainan lidahku di pasangannya. Tangan kiriku yang bebas mengelus-elus pinggangnya sampai menjamah paha. Belaian-belaianku semakin jauh hingga mencapai perut-semakin jauh dan mencapai tepian karet CD-nya.
“Aahh...” desah Jessie ketika jariku mulai menjamah gundukan kemaluannya dari luar kain CD. Tidak terlalu tebal tetapi sangat lembut. Kugosok-gosok perlahan secara berputar. Jessie bertambah mendesah. Rambutku diremasnya.
Ujung jari tengahnya kubenamkan mencoba menemukan daging imut itu kembali. Ketemu dengan sukses. Kukitik-kitik klitoris itu hingga Jessie menggelinjang keenakan. “Ahh... hhmm...”
Tanganku kemudian tidak tanggung-tanggung lagi bekerja, menelusup masuk dan menangkup gundukan berambut itu. Menemukan kelembutan kulit yang kini meremang terangsang.
Selesai bermain mulut dengan payudaranya, lidahku turun menyisiri perut Jessie. Mengitari lubang pusarnya yang seksi-terus turun. Aku jadi berposisi di kolong leg rest yang lumayan sempit-berjongkok. (Coba deh di posisi ini. Gak nyaman banget!)
Kuturunkan CD Jessie tanpa perlawanan dan kutinggalkan sebelah menggantung di lipatan lutut kirinya setelah lolos dari kaki kanan. Kini aku sudah berhadapan dengan kemaluan Jessie face to cunt. Walau keadaan pencahayaan cukup gelap tapi aku cukup tanggap dengan bentuk indahnya.
Di dalam mobil, dengan melebarkan kakinya, aku mulai menggerayangi vagina Jessie dengan mulutku. Satu tangan memegangi pangkal pahanya dan satunya mengelus-elus paha mulus Jessie.
“Mmhh... mmhh... Umm...” desahnya menggeliat keenakan sembari meremasi rambutku.
Rambut yang menghiasi bagian atas permukaan vagina itu kusibak dengan jari tangan sementara lidahku menyisiri tiap lekuk bagian dalam vagina itu. Aromanya cukup memabukkan. Aku lupa aroma vagina siapa yang mirip dengan yang ini. Sepertinya pernah kucium aroma serupa ini.
Dengan jempol, aku mempermainkan klitorisnya yang menyembul tegang, membuat Jessie semakin bergelinjang keenakan. Suara erangannya terdengar parau menikmati rasa yang kuberikan ke tubuhnya. Mobil sedan bekasku ini sampai ikut bergoyang-goyang. Untung saja tempat ini sepi sehingga tidak akan ada orang yang curiga.
Lidahku menyapu bibir kemaluannya yang tak begitu tebal tetapi lembut. Menyapu berkali-kali. Dengan gemas kadang kumasukkan semua permukaan vagina itu ke mulutku dan kusedot. Pantat Jessie melambung naik keenakan.
Saat aku bermaksud untuk mencoba memasukkan jari tengahku, untuk memastikan apakah ia masih perawaan atau tidak, tiba-tiba...
TRRRIIIIIITTTTT!
HP Jessie berbunyi...
“A...ya...?” seru Jessie mengenali jenis ringtone yang disetnya khusus bila adiknya itu yang menelepon.
Aku jadi urung melaksanakan niatku tadi untuk memasukkan jariku.
“A.. aku sedang bersama teman... Ya... ya... Sebentar lagi... aku pulang... Udah? Ok... Dag...” katanya sedikit gugup.
“Aya?” tanyaku. “Ada masalah?”
“Nggak... ada apa-apa...” jawab Jessie merapikan pakaiannya. Celana dalamnya yang menggantung di kaki kanannya juga dipakainya kembali.
Di mobil ini, masih tercium wangi semerbak vagina Jessie yang sempat menempel di mukaku. Dengan tisu mobil, kubesihkan mukaku dari cairan itu.
“Kita pulang, ya?” ajak Jessie. “Tapi... Satria gak usah ngantar sampai depan rumah... Di depan gang aja... Gak enak sama Aya...” katanya lagi. Tiba-tiba suasananya menjadi awkward.
Aku mengerti bagaimana perasaannya. Tentu saja dia gak enak sama adiknya sendiri yang jelas-jelas juga menyukaiku.
Aku lalu mengantarnya pulang sesuai permintaannya, hanya sampai depan gangnya saja. Ia harus berjalan beberapa ratus meter hingga mencapai rumah kontrakannya.
Cup!
“Makasih, ya...” katanya setelah kecupan di pipi itu.
Aku mengangguk saja. Ia lalu keluar dari mobil.
Sebelum menutup pintu, “... Lain kali kita lanjutin...” lalu blam! Pintu ditutup dan Jessie berjalan dengan terburu-buru.
Aku tersenyum mesem melihat tingkahnya. Dasar perempuan, kelihatannya saja yang pura-pura gak mau, padahal mau banget.
Lain kali semoga tidak akan ada yang mengganggu. Padahal tadi tinggal sedikit lagi aku bisa memasukkan jariku setelah itu baru *jari*ku yang lain yang akan bekerja.
Kalau sudah berhasil sekali, saat hari ulang tahunnya akan lebih gampang. Tinggal menggunakan CHARM saja.
Mudah-mudahan dia selalu ketagihan dan minta terus. Aku jadi deg-degan menunggu saat lanjutin yang dikatakan Jessie tadi. Apakah dia memang suka padaku?
 
Siap di tunggu suhu

terima kasih atas penantiannya... ini dia...
•
========
QUEST#02
========​

Siang itu aku bermaksud berburu ke kantor Papaku lagi, tapi waktunya sudah mepet sekali. Ini semua gara-gara bu guru Bahasa Inggris-ku, Bu Karen, meminta aku untuk memuaskan jatah nafsunya untuk yang kesekian kali bulan ini.
Sudah hampir jam 13.00. Beberapa menit lagi, waktu makan siang Jessie sudah akan berakhir. Lho?
“Kamu lama amat pulangnya, sih?” tanya gadis yang berdiri dekat mobilku itu.
“Aya? Ada apa?” tanyaku padanya. Ngapain dia nunggu aku pulang sekolah? Kami gak ada janjian, kok?
“Semua teman-temanmu sudah pulang dari tadi... Masa kamu baru keluar sekarang...?” tanyanya sengit.
“Sori... sori...” aku lebih baik mengalah. Dari pada panjang masalahnya. Ia terdiam dan membuang muka, memandangi jalan yang tidak begitu ramai.
Melihat jalan di depan sekolahku, aku jadi teringat tempat mobilku parkir tadi malam dimana aku dan Jessie berduaan.
“Kok senyum-senyum sendiri...? Udah lama, ya?” tanya Aya membuyarkan lamunanku.
“Eh... lama apanya?” gugupku.
“Udah lama gilanya? Abis... senyum-senyum sendiri...” candanya. O... kirain apa...
“Aya menjemput aku kemari lagi?” tanyaku
“Iya... aku mau ngajak Satria jalan lagi... Mau, kan?” katanya dengan manja.
“Jalan kemana?” tanyaku.
“Jalan aja dulu... Nanti aku kasih tau kemana... Mau, ya?” ajaknya masih manja. Aku tetap tidak bisa menolak wajah manis yang manja ini.
Beberapa saat kemudian kami sudah di jalan. Aya yang menunjukkan arah kemana aku harus mengarahkan mobilku.
“Itu... itu kesitu, Satria,” seru Aya menunjuk sebuah sekolah swasta. Sekolah itu terlihat ramai sekali.
“Ada festival band, Ya?” tanyaku membaca billboard yang terpampang di sana.
“Iya... aku gak ada teman untuk menonton festival ini... Makanya aku ngajak Satria aja...” ujarnya.
Ia berkali-kali menoleh kanan-kiri mencari-cari seseorang.
“Nyari’in siapa, sih?” tanyaku.
“Teman-temanku... Katanya mereka bakalan kemari juga... Tapi dari tadi gak ada yang kelihatan...” jawabnya masih clingak-clinguk.
“Mungkin sudah masuk... Ayo... Kita masuk aja dulu...” ajakku. Aya setuju.
Untung saja ini acara sekolahan, jadi rata-rata pengunjungnya adalah anak sekolahan semua. Walau ada juga yang sudah menyalin pakaian dengan pakaian ganti.
“Eh.. Satria... Datang juga?” seseorang menegurku. Dia David teman se band-ku. Dia bersama seorang cewek.
“Iya... udah lama juga gak liat perkembangan musik...” jawabku basa-basi.
“Elo aja yang sibuk sendiri... Band kita jadi vakum... Kami aja kadang-kadang gabung dengan band orang lain...” kata David lagi. “Mereka juga ada disana, tuh... Si Obi... si Edo...” tunjuknya pada barisan depan.
“Eh.. Pacar baru, nih?” bisiknya sedikit merapat. Aku tertawa-tawa saja. Aku tidak khawatir terdengar Aya karena bisingnya tempat ini oleh suara cabikan gitar listrik.
Kemajuan juga mereka... Teman-temanku yang dulunya enggak punya cewe’, sekarang masing-masing sudah bawa gandengan. Cantik-cantik lagi.
“Tadi itu teman sekolahmu juga, Satria?” tanya Aya.
“Iya... Cuma beda kelas... Kami satu band... Ada lima orang... Mereka ada di sana semua, kok...” jelasku.
“Kalian kenapa nggak ikut di sini?” tanya Aya lagi.
“Nggak sempat latihannya...” jawabku sekenanya. Gimana mau latihan lagi. Waktuku banyak tersita untuk pencarian GOD MAESTER CORE ini.
Lalu kami mencari posisi yang enak untuk menyaksikan festival musik pelajar ini. Untuk ukuran anak sekolah, kualitasnya sudah lumayanlah.
Beberapa kali, Aya disapa teman-temannya. Ia juga mengenalkanku pada mereka. Biar sajalah. Cuma kenalan aja, kok.
“Kesana, yuk?” ajak Aya menarik tanganku. Ia membawaku ke belakang panggung. Ada apa di sini? Apa ada orang yang akan ditemuinya.
Di belakang panggung ini kami ternyata hanya berdiri saja seperti biasa memperhatikan ramainya orang yang mempersiapkan diri untuk tampil di pentas.
“Mphh!” kagetku.
Untuk beberapa saat, mulutku penuh dengan bibir Aya yang tiba-tiba melumatku. Di depan orang ramai begini?
Aya sampai harus berjinjit untuk dapat mencapaiku. Dadanya sedikit menekanku. Salut juga untuk anak ini. Dia berani melakukan hal ini di depan umum.
Tunggu dulu! Aku merasa bahwa dia sedang berusaha memanas-manasi seseorang. Kemungkinan besar salah satu cowok yang ada di sini. Mungkin bekas pacar atau gebetan yang ditolak cintanya. Atau hal-hal lain yang tak kumengerti. Ini hampir persis seperti kejadian waktu bersama April kemaren.
Beberapa laki-laki disana memang pantas untuk dicurigai karena memandangi kami dengan pandangan tak senang. Terlebih melihatku. Bisa berbahaya. Tapi tak masalah. No problemo.
Setelah ciuman maut Aya lepas, ia tersenyum puas sekali. Bibirnya basah oleh liur kami berdua. Ia lalu langsung saja menggandeng tanganku cabut dari sana.

“Udah selesai, Ya?” tanyaku karena kami melangkah meninggalkan sekolah ini, menuju parkir mobil.
“Iya... udahan aja... Gerah di sini... Pulang aja, yuk?” ajaknya sambil kipas-kipas dengan tangannya.
“Pulang? OK...” jawabku. Kami segera naik mobil dan menuju rumah kontrakan Aya dan kakaknya. Naga-naganya, bakalan dapat sirup merah dingin lagi nih.
Tentu saja, hanya ada kami berdua di rumah ini karena kakaknya, Jessie sedang bekerja dan baru sore nanti pulangnya.
Aya membawaku ke kamarnya yang tepat di samping kamar kakaknya. Agak risih juga, sih masuk kamar cewek.
Kamarnya cukup nyaman dengan tatanan sesuai dengan gaya Aya yang manja dengan didominasi warna terang pink dan biru muda.
Ia duduk bersila di ranjangnya sedang aku memilih duduk di meja belajarnya. Lalu ia pergi lagi. Katanya mau mengambil makanan dan minuman.
Menunggu ia kembali, aku melihat-lihat beberapa CD koleksinya. Kebanyakan boy band dan ngepop. Sesuai karakternya yang ceria.
“Ini... Duduk sini aja ‘napa?” ajaknya setelah ia kembali membawa makanan dan minuman yang dimaksudnya tadi; manisan mangga dan sirup merah dingin. Ia memintaku duduk di ranjang itu bersamanya.
“Di sini aja...” jawabku. Hanya sirup merah itu yang kuambil.
Ia turun dan menarik tanganku untuk duduk di ranjangnya. “Udah... Gak usah malu-malu... Sama Aya gak usah malu-malu gitu... Gak ada orang aja lagi...” ajaknya.
Terpaksa, deh aku duduk bersamanya di ranjang itu dengan kikuk.
Entah perasaanku saja atau memang dia duduknya yang sembarangan karena ia sepertinya sengaja membukakan kakinya untuk memancingku. Ia masih memakai rok abu-abu itu.
Pahanya yang putih terlihat jelas olehku saat Aya ngobrol ngalor-ngidul tentang berbagai hal. Aku hanya bisa menanggapi sebisanya saja.
“Trus... tadi waktu... kita ciuman tadi... rasanya gimana?” koreknya.
“Gimana, ya? ... Kaget aja... Di depan oreng rame gitu...” jawabku jujur. Seteguk sirup merah. Aaah.
“Belum pernah ciuman di depan orang rame gitu?” tanya Aya lagi.
“Belum pernah... Ini kan masih di Indonesia kale...” jawabku. Ragu-ragu, minum lagi atau mencoba manisan mangga.
“Aku juga belum pernah, kok... Tapi rasanya enak juga, kan?” godanya.
“Heh... heh...” aku nyengir aja. Aku lalu menyomot dan mengunyah manisan mangga itu. Manis sedikit asem. Lumayan.
Kriet...
Aya bergerak perlahan mendekatiku. Kukira ia akan turun. Ternyata...
Tangannya menggapai padaku dan mengalungi leherku. Badannya merapat dan kedua kakinya di antara kakiku.
Aku terdiam melihat pandangan matanya yang meredup. Wajahnya merapat. Gawat! Aku tidak sempat menghindar.
Kembali ia melumat bibirku dengan gencar. Gila! Anak ini agresif sekali. Kepalaku sama sekali tidak bisa bergerak di rangkulannya. Dadanya terasa menekan leherku.
Lalu ia mendorongku hingga terbaring di kasur dan kembali menekan tubuhku dengan segala tenaganya.
Aya melepas bibirnya untuk mengambil nafas. Udara hangat menerpa wajahku dari hidungnya. Matanya bergerak-gerak menatap ekspresi kagetku. Lalu ia kembali membenamkan mulutnya lagi pada mulutku dengan mata terpejam.
Dadanya sudah sangat menekan dadaku, tangannya masih melingkari leherku dan kedua kakinya mengait di kakiku. Seakan ingin meremasku hingga lumat.
“Aya...? Hah... hah... Apa yang kau inginkan?” tanyaku sesak nafas saat ia mengambil nafas lagi.
Sebagai jawaban ia melepaskan lingkaran tangannya pada leherku dan bertopang ke kasur. Matanya masih redup. Mulutnya basah oleh ludah.
Sebelah tangannya melepas kancing baju bagian atasnya satu persatu hingga tinggal dua yang tersembunyi karena terjepit perut kami berdua.
Ia mengambil tangan kananku dan menempelkan telapak tanganku pada dada kirinya. Tepat di atas bra hijau muda itu. Terasa jantungnya yang berdegup kencang bergemuruh.
“Ya...?” kagetku. Apa dia benar-benar serius.
Ia menjawabnya dengan meremaskan tangannya hingga tanganku jadi meremas dadanya. Ia lalu kembali mencondongkan badan sebelah kirinya ke bawah dan menciumi leherku.
Sudah tanggung begini. Lebih baik kuteruskan saja. Kita lihat saja bakalan seberapa jauh nantinya.
Aku tidak lagi meremas dada itu dari luar branya, kini tanganku malah sudah mempermainkan putingnya dengan jempol dan jari telunjukku. Sementara tangan kananku menjelajah seluruh tubuhnya. Punggung, pinggang dan pantatnya mendapat rabaanku.
Dia menikmati semuanya. Semua rabaanku pada tubuhnya telah membuatnya makin berani. Ia membisikkan ini...
“Satria... buka semua, ya?”
Sepertinya ia ingin aku melepaskan kait branya yang berada di punggung. Dengan mudah hal itu kulakukan dan Aya segera bangkit duduk melepaskan pelindung dada itu dengan melemparnya ke lantai. Dadanya yang membulat tanpa penopang sepertinya lebih besar dari kakaknya walaupun sama-sama di ukuran 34B. Sepertinya Aya lebih cepat mekar. Putingnya lebih berwarna coklat muda cenderung merah.
Aya lalu memamerkan dadanya dengan kembali bertumpu dengan kedua tangannya. Dadanya menggantung dengan indah sekali. Penisku sampai menggeliat.
Tentu saja geliat batangku itu akan terasa di perut Aya. Aku menunggu reaksinya. Negatif atau positif.
Aya malah menurunkan badannya hingga posisi batangku yang menggeliat tadi sudah berada di sekitar kemaluannya.
Nafasnya semakin berat. Pasti ia susah sekali menahan nafsunya ini. Matanya semakin sayu.
Yang lebih memabukkan lagi, ia menggerak-gerakkan pinggul maju-mundur. Wah! Batangku tambah menggila lagi menggeliat. Kalau “dia” pantang dipancing.
Dengan batangku yang sudah menggeliat bangun dengan tegang begitu, Aya tetap menggesekkan selangkangannya padaku hingga dari buah zakarku sampai pangkal penisku dikocok olehnya.
Kedua dadanya yang menggantung ranum kuremasi dengan penuh kelembutan membuat Aya mendesis-desis keenakan.
Cukup lama kami begitu sampai keringat menetes dari keningnya dan jatuh di pipiku. “Lelah, Ya?” tanyaku.
Ia cuma mengangguk mengiyakan. “Abis kamu lama banget ngecret-nya...” katanya tiba-tiba.
Heh? Jadi ini maksudnya petting itu. Seks di luar kelamin. Jadi ia sudah pernah melakukan ini sebelumnya. Pantesan saja ia sangat berpengalaman.
“Aku tidak semudah itu bisa ngecret... Aya harus bekerja keras dulu baru bisa berhasil...” kataku.
“Satria sudah sering begini...?” tanya Aya.
“Ya, begitulah kurang lebih...” jawabku gantung.
“Sudah pernah main beneran, ya?” tanyanya lagi.
“Main beneran itu apa...?” tanyaku balik.
“Ya... sampai... masuk..!” jawabnya.
“...Sudah...” jawabku.
“Boong... Tadi aja sampe ketakutan begitu...” katanya tak percaya.
“Mau dimasukin?” tantangku.
“Ehm...” ia tidak menjawab tantanganku secara langsung, melainkan membuka kancing bajuku hingga terlepas semua. Ia mengusap-usap dadaku.
Dari posisiku sekarang, aku menurunkan restleting roknya yang berada di belakang itu. Lalu meloloskan rok abu-abu itu hingga betisnya karena selanjutnya Aya membantuku melewatkan rok itu dari kakinya dengan jari kakinya sendiri. Aya tinggal memakai seragam sekolah tanpa bra dan plus CD itu saja.
Batang penisku masih dengan perkasa tegang dan berdenyut-denyut mengirimkan getaran pada gundukan selangkangan Aya yang masih terlindungi celana dalamnya. Walau begitu, aku sudah dapat merasakan kehangatan bagian tubuh rahasianya itu.
Aya kembali menggerakkan badannya hingga kembali, batangku terkocok secara petting (seks tak langsung) ini. Aku terus tetap meremasi dadanya juga mempermainkan putingnya hingga menegang seperti karet penghapus pensil.
Badannya lalu kutarik mendekat hingga aku bisa mencapai dadanya dengan mulutku. Puting payudaranya kuhisap sampai berdecit-decit, membuat Aya melenguh keenakan.
Kedua tanganku masuk dari bagian atas CD-nya dan meremas kedua bongkah pantatnya. Lembut dan sekaligus kenyal. Tapi aku sama sekali tak bermaksud melepaskan pelindung terakhir ini walaupun Aya akan mengira begitu.
BLUNG!
Karena terlalu sering bergesekan dengan gundukan kemaluan Aya, celana panjang abu-abuku ini jadi merosot begitu juga dengan CD-ku. Penisku sudah menyembul keluar.
Aya melihat ke bawah sana. Kepertemuan kedua kelamin kami yang hanya dibatasi kain tipis. Ia memperhatikannya dengan seksama dan sepertinya takjub. Ini pasti bukan yang pertama baginya melihat kemaluan lelaki.
Aku memberanikan diri melakukan ini. Aku mengarahkan kepala penisku menelusup dari samping CD-nya hingga masuk dan bertengger tepat di atas gundukan nikmat itu. Kulit penisku yang sensitif sudah dapat merasakan rimbun rambut yang menghiasi sekitar vaginanya.
Aya kembali menggerakkan badannya maju-mundur. Sudah sangat mirip dengan seks benaran. Penisku terkocok dengan sempurna karena terjepit perut kami berdua.
Terkadang buah zakarku menyentuh bagian dalam bibir vagina Aya yang lembab hingga basah. Bahkan jadi becek. Batangku tentu dapat menyentuh bagian atas belahan bibir vaginanya terutama klitorisnya.
Memang dari ujung penisku sendiri sudah mengeluarkan cairan bening itu hingga perut kami berdua juga berlepotan cairan yang lengket.
Aya berhenti sebentar dan mengambil tanganku yang berada di pantatnya. Ia merentangkan kedua tanganku kesamping dan menggenggamnya dengan tiap jari bersilangan.
Rupanya ia ingin mempercepat semua ini. Mungkin ia berpikir akan bisa membuatku cepat ngecrot jika ia mengontrol semua pergerakan. Aya mempercepat goyangan maju-mundurnya ditambah sesekali gerakan berputar yang memang sangat enak.
Nafasnya sangat memburu. Ranjang ini sampai berderit-derit karena gerakannya.
“Satria... Kapannn... kaaauu... maaauu... keeelluuaarr?” teriaknya antara kesal dan tak sabar.
“Masih lama...” jawabku santai. Ia terus berusaha sampai keringat bercucuran dari seluruh tubuhnya. Dibawah sanapun sudah sangat panas. Penisku juga sudah berkeringat membuatnya licin bergerak dijepitan perut kami berdua.
“AAHHHhhhhhhhh...” teriak Aya tiba-tiba.
Rupanya tekanan yang dialami begitu berat hingga ia sendiri yang mendapatkan orgasme. Tangannya menggenggam tanganku dengan kuat. Kepalanya dibenamkan di leherku. Kakinya mengkait kakiku. Gerakannya terhenti.
Buah zakarku mendapat siraman cairan baru. Hangat sekali. Bau di kamar ini sudah sangat menyengat oleh cairan itu. Nikmat sekali bila terus mencium bau ini.
Aku membalikkan posisi kami. Aya yang sekarang di bawah. Sepertinya ia tak sadar hal itu.
Aku membuka baju dan celana panjangku hingga batangku yang masih menegang mengacung keras ke atas.
Segera kulepaskan CD Aya yang membatasi petting tadi dan bertumpuk dengan rok sekolahnya di lantai kamar.
Dengan berjongkok, aku membenamkan hidungku ke sumber bau yang nikmat ini. Aya melenguh pelan saat bibir vaginanya kubuka dengan jari. Daging berwarna kemerahan ini sangat menggodaku untuk mencicipinya.
Lidahku segera menyapu semua cairan bening yang masih menempel disana. Daging kecil bengkak di bagian atas kukatup dengan bibir dan kuhisap.
“Oooooouuhhhhh” teriaknya keenakan.
Masih dengan hidung terbenam di gundukan vagina ini, aku bermaksud untuk mengetes liangnya yang sedikit terbuka karena sudah cukup terstimulasi, dengan jariku.
Teet! Teet! Teet!
Sialan... ini alarmku untuk pengingat waktu.
“Kenapa, Satria?” tanya Aya tidak puas karena aku berhenti ditengah jalan.
Aku meraih HP-ku dan mematikan alarm itu. Aku berjongkok tepat di depan Aya. “Aku lupa kalau ada janji lain yang harus kutepati...” kataku.
“Sebentar lagi aja... Tanggung, kan... Kamu aja belum keluar sama sekali... Nih... Masih mau, kan..?” tanya Aya duduk di hadapanku. Ia menunjuk pada penisku yang masih mengacung.
“Gak pa-pa... Lain kali kita sambung ya?” jawabku menekan penisku ke bawah dan mencium bibirnya.
Ia tak rela melihatku berpakaian kembali. Ia menunjukkan wajah manis itu lagi. Memang aku tak tega, tapi aku harus melakukan ini.
Alarm tadi mengingatkanku kalau aku harus menemui Jessie. Lebih tepat lagi menjemputnya pulang kerja. Tapi aku tidak bisa memberitahu alasan ini pada Aya; adiknya.
Dengan malas-malasan, Aya mengantarku sampai di balik pintu. Ia hanya kembali memakai CD-nya dan seragam sekolah yang dipegangnya rapat, tanpa bra dan rok.
Ia bersembunyi di balik pintu melihatku membuka gerbang dan melambaikan tangan. Wajahnya masih gak rela aku pergi.
Wah... kejadian tadi persis seperti tadi malam saat aku dengan kakaknya. Saat aku akan memastikan status keperawanan mereka, ada gangguan yang mendadak seperti telepon dan alarm.
Mungkin cuma kebetulan.

========
QUEST#02
========​

Untung masih tepat waktu. Jam 17.00 tepat aku menelepon Jessie. Ia langsung mengatakan akan segera turun dalam 10 menit.
“Sekarang mau kemana?” tanya Jessie begitu ia sudah duduk di samping kiriku.
Wah... iya aku sama sekali tak punya rencana untuk kemana-mana.
“Kita putar-putar aja dulu, ya?” usulku buntu. Mungkin di jalan nanti akan muncul ide.
Karena hari masih lumayan terang sore ini, kami berkeliling kota. Mengitari jalan-jalan protokol dan kadang terjebak macet.
“Satria dari mana aja? Kok gak sempat ganti baju seragam begitu?” tanya Jessie saat masih terjebak macet. Tangannya menyentuh pahaku.
“Tadi nongkrong sama teman-teman... sampai sore begini... Ya... langsung aja menjemput Jessie...” jawabku bohong. Kalau dia sampai tahu aku tadi bercumbu dengan adiknya, bisa berantakan semuanya.
“Sebenarnya aku bawa baju ganti, kok...” kataku. Karena memang aku sudah mempersiapkan hal-hal seperti ini. Di kursi belakang ada bungkusan plastik berisi baju ganti yang kusiapkan.
Beberapa menit ini, mobilku sama sekali tidak bisa bergerak, aku cuek saja membuka bajuku dan menggantinya dengan baju kaos. Aku tahu kalau Jessie memperhatikan semuanya. Apa dia memperhatikan badanku. Ge-eR aja...
Kami akhirnya bisa melepaskan diri dari kemacetan lalu lintas yang memusingkan itu lalu aku kembali menyetir mobilku keliling kota sampai hampir gelap.
Aku harus berinisiatif memulai sesuatu yang pasti sudah ditunggu-tunggunya, melanjutkan apa yang tertunda kemarin malam.
Aku memarkirkan mobil di pinggir jalan yang sepi di kompleks perumahan di pinggiran kota. Ini pemukiman elit jadi relatif sepi dari orang yang lalu lalang.
“Tadi siang aku pergi ke dokter... “ mulai Jessie membuka pembicaraan.
“Sakit apa?” tanyaku. Memangnya dia sakit?
“Bukan... Kemarin Satria bilang, kan... supaya memeriksakan apa aku masih... atau tidak...” jelasnya.
O-iya benar... Padahal kemarin itu aku cuma asal bicara saja. Ternyata dia menanggapinya secara serius.
“Ternyata... tidak lagi...” lanjutnya pelan. Gak perawan lagi, coy.
Kami membisu.
Kulihat dia tersenyum sendiri. “Kenapa?”
“Gak... Waktu dokter itu bilang... aku sudah tidak lagi... aku terlihat senang... Dokternya heran... Aku bilang saja... kalau suamiku kurang pengalaman... jadi aku memastikan apakah ia berhasil atau tidak... Hi...hi...hi...” tawanya. Ia terlihat santai setelah tertawa begitu. Kepalanya disandarkan ke belakang.
Mulai bergerak!
Hari telah gelap dan keadaan sepi. Aman.
Aku mendekati Jessie yang duduk di sampingku. Mata kami saling menatap... dan..
Detik kemudian kami sudah saling berpagutan mulut. Tanganku memegangi pipinya sedang tangan Jessie melingkari badanku. Tubuh kami saling merapat.
Mobilku yang cukup sejuk karena AC, mulai terasa hangat dari tubuh Jessie. Dadanya terasa menekan keras dadaku. Bergerak-gerak hingga aku dapat merasakan batas bra dan tonjolan dadanya.
Tangannya kemudian sudah meraba punggungku, lalu perut serta dadaku. Aku jadinya tak mau ketinggalan, tanganku sudah menelusup lewat bagian depan blazernya dan meremas dua gunung itu.
Kancing yang mengaitkan blazer itu telah lepas dan kini sebelah tanganku melepas kancing blus-nya dengan cepat. Blazer dan blus itu telah melewati bahunya dan tanganku sudah dengan mudah meremas dadanya melewati branya sekaligus.
Saat Jessie melepaskan mulutnya sebentar, ia mengangkat kaosku melewati kepala agar keadaan seimbang. Kini kami sama-sama bertelanjang dada.
Kret!
Jessie mengatur tuas jok tempat dia duduk hingga habis dan rata dengan bangku belakang. Tempat yang bagus! Aku juga melakukan hal yang sama dengan jokku.
Memang sih kurang nyaman seperti tadi siang saat dengan Aya tapi lumayanlah... Dimana lagi kami bisa melakukan ini?
Kini aku mengulum dada kiri bergantian dengan kanan. Tangan kananku menggosok-gosok gundukan vaginanya karena rok kerjanya sudah kugulung sampai ke atas hingga aku bisa menyentuh bagian rahasia itu lewat kain tipis CD-nya.
Jessie mendesah-desah keenakan menikmati cumbuanku pada dada dan vaginanya.
Kain tipis CD itu sudah basah demikian juga jariku. Aku tetap menggosokkan jariku terhadap belahan vaginanya. Menggosok daging-daging berdenyut bengkak itu.
Sebenarnya aku ingin segera menusukkan jariku ke liangnya, tapi itu akan mengurangi semua ketegangan ini.
“Satria... Kita matiin HP kita sama-sama, ya?” ajak Jessie.
Benar juga, kemarin malam dan juga tadi siang, semuanya terganggu oleh HP.
Kedua HP kami yang sudah dinon-aktifkan, kini berada di dalam laci dashboard mobil dan meneruskan permainan ini.
Jessie mulai bergerak berani, menyentuh batang penisku dari luar dan makin berani lagi langsung merogoh kedalam melalui CD-ku dan menggenggamnya. Enak sekali...
Aku harus melakukannya sekarang. Jessie kan sudah tidak perawan lagi, jadi sudah tidak ada yang harus dikhawatirkan lagi.
CD Jessie kuloloskan dan kelemparkan ke bangku belakang. Berikutnya aku melepaskan celanaku sendiri dan mulai mengangkangi kaki Jessie.
Batang penisku sudah menegang sedemikian rupa dan mengarah tepat di belahan vagina Jessie yang sudah membuka kakinya sedikit.
Aku menatap mata Jessie meminta persetujuan darinya. Ia mengerjapkan matanya pertanda setuju. Bagus... Ia sudah siap.
Mmm... Rasanya memang selalu enak. Tiap kali aku memasukkan penisku ini ke liang vagina wanita-wanita yang pernah kutiduri, selalu enak tak terkatakan. Sensasi yang menggelitik tiap ujung syarafku saat ujung penisku menembus dan menerobos perlahan untuk pertama kalinya liang penuh kenikmatan itu. Bibir tidak terlalu tebal itu membuka memberiku jalan dan aku sudah merasakan lembab pintu liang kemaluan Jessie.
Terasa sangat sempit dan seret. Pantas aja... Pertama kali seks baginya adalah waktu SMA dulu. Sudah lama sekali... dan sejak itu tidak pernah lagi.
Jessie menutup matanya dan menggigit bibir bawahnya erat-erat menahan sakit. Heh?
Aku berhenti sebentar.
“Jess?”
Aku tahu ini. Aku sudah merobek selaput daranya. Aku sudah pernah merasakan menembus lapisan hymen ini beberapa kali. Ada enam perawan seingatku yang pernah kupecahkan. Lima berturut-turut dari sepupu kembar limaku dan keenam Nicole, adik Carrie, pacarku.
Serasa menembus dinding tipis yang fleksibel lalu robek tertembus batangku.
Jessie meringis pedih.
“Tidak... tidak apa-apa... Teruskan saja... Satria... tidak apa-apa...” kata Jessie menahan sakitnya.
“Tapi katamu kau sudah tidak lagi...?” tanyaku agak menyesal.
“Mungkin dokternya salah... Teruskan saja... Tidak apa-apa, kok... Aku memang menginginkan ini... Ayo..” paksanya menekan—mendekap badanku agar lebih maju.
Aku mengerti, aku menekankan kembali penisku masuk dengan super pelan. Liangnya yang sempit mengatup erat batangku. Untung saja ada sejumlah cairan lubrikasi yang melancarkan.
Aku kembali melumat bibirnya yang juga disambut Jessie dengan penuh nafsu. Pantatku kegoyang-goyangkan kesegala arah agar ia terbiasa dengan seluruh batangku terbenam dalam. Berdua kami tetap berciuman. Bergantian dua bibirnya kusedot perlahan dengan tambahan gelitikan lidah.
Saat semua liangnya sudah relaks, aku mulai menarik dan memasukkan lagi dengan perlahan. Sangat perlahan sampai aku bisa merasakan tiap gerinjal dinding uterusnya berkontraksi simultan.
Enak sekali... Berarti ini perawan ke tujuh yang kujebol selama hidupku. Sebuah prestasi yang akan selalu kuingat. Sombong sekali, ya?
Setelah beberapa lama, aku semakin lancar mengeluar masukkan penisku dan Jessie semakin menikmati seks sebenarnya. Ia meresapi setiap rojokan yang kubuat dengan penisku yang besar dengan desahan nikmat.
“Jess... Jessie mau orgasme tidak?” tanyaku. Ini puncak bagi kenikmatan yang harus keberikan pada tiap wanita yang main denganku.
Ia mengangguk mau.
Masalahnya adalah bagaimana melakukannya. Selama ini yang kutahu adalah dengan menstimulasi titik sensitif mereka. Kalau Jessie? Titik stimulasinya adalah...
Terlihat...!

“Aya gak bisa menggangu sekarang!” teriakku tiba-tiba dengan suara tertahan.
Jessie menahan nafasnya saat aku menekankan penisku dengan cepat dan...
Liang vaginanya mencengkram erat dan mendesirkan cairan yang lebih banyak. Jessie mencengkram lenganku dan kakinya mengait pahaku. Tubuhnya menegang. Otot-ototnya mengejang.
“Aaaahhhhhh!” jeritnya. Kepalanya menengadah dengan alis bertaut. Mulutnya membuka lebar menyalurkan ekspresi kenikmatan yang dirasakannya.
Lalu ia perlahan mengendur menikmati sisa orgasmenya sendiri dan akhirnya kembali membuka matanya.
“Satria belum...?” tanya Jessie memandangi mataku selagi aku memompa tubuhnya pelan-pelan.
Memang masih belum, tapi itu bisa kuusahakan.
“Keluarin di luar aja, ya?” tanyaku. Ia mengangguk.
Aku lalu mencabut penisku dari vaginanya yang basah. Untaian cairan terbentuk dari perpisahan kelamin kami berdua.
“Gede banget, ya, Satria?” puji Jessie pada penisku.
Aku tersenyum saja. Tiap wanita yang melihat ini pasti mengatakan itu, jadi aku sudah terbiasa.
Untuk segera membuatku sendiri nembak, aku mengocok penisku sendiri, tepat di depan Jessie yang masih berbaring di bangkunya yang direbahkan. Aku mengocoknya dengan cepat karena licin bekas cairan vagina Jessie.
Memang rasanya tidak seenak kalau terkocok didalam vagina, tapi lumayanlah.
Jessie membantu merangsangku dengan telapak tangannya di ujung kepala penisku. Terasa sangat enak sekali. Ia memandangi wajahku dan penisku bergantian.
Dari siang, bahkan dari kemarin malam aku belum berhasil nembak pada kedua kakak beradik ini. Aku jadi teringat pada Aya tadi siang saat aku juga hampir memasukinya.
Wah, kedua kakak beradik ini memang sangat membuatku gila... Aku jadi sangat terangsang sekali mengingat kemungkinan kalau aku bisa mendapatkan keduanya. Kakak sekaligus adiknya.
CROOT! CROOOOOTTT!
Cairan kentalku menyemprot dengan kencang dan mendarat di perut Jessie. Banyak juga. Padahal sepulang sekolah tadi aku juga sudah mengeluarkan mani yang juga banyak pada liang menggila guru bahasa Inggris-ku, bu Karen.
Jessie memperhatikan cairan putih kekuningan yang menempel kental pada perutnya itu dengan seksama.
Aku dengan nafas tersengal, menciumi bibirnya lagi. Kepala penisku menempel di bawah dadanya, bergerak-gerak meninggalkan garis-garis sisa spermaku.
Jessie dan aku bertatapan cukup lama...
“Apa Jessie menyesal?” tanyaku.
“Tidak... Jessie tidak akan menyesal... Jessie memang suka Satria kok...” jawabnya. Aku tersenyum saja.
“Tapi masalah perawan tadi... bagaimana?” tanyaku lagi.
“Sebenarnya... Satria jangan marah, ya...?” katanya. Aku mengangguk. “Sebenarnya... hasil pemeriksaan tadi... aku masih perawan... tapi kalau kubilang begitu... pasti Satria bakalan gak mau, deh...” jelasnya.
“Heh heh... Begitu... Sudah kuduga begitu... Tapi kalau Jessie memang mau... Tanpa boong-pun... aku juga pengen, kok...” kataku. Buaya mana yang nolak bangke. Seger pula.
“Iya... Soalnya... Satria kan biasanya sama cewek yang udah biasa...” katanya lagi.
Seperti Aya? Apa adik Jessie itu memang sudah biasa petting dengan cowok-cowoknya. Tapi sepertinya hanya petting tok, belum sampai masuk ke dalam.
“Gak juga, kok... Ada juga yang belum pernah sama sekali... Ada beberapa orang...” jelasku.
Jessie mengambil tissue dari dashboard mobil dan membersihkan penisku yang mulai melemas di depannya. Lalu setelah selesai, ia membersihkan spermaku yang tumpah di perut dan sekitar dadanya. Kami bercumbu sebentar dan ngobrol-ngobrol ringan.
Sekitar jam 21.00, aku kembali mengantar Jessie pulang. Tetap tidak sampai depan rumah kontrakannya. Hanya sampai depan gang dan ia berjalan masuk seperti kemarin malam.
Seminggu lagi ulang tahunnya dan aku sangat yakin kalau saat itu aku akan dengan mudah mendapatkan ZODIAC CORE TAURUS dari Jessie. ZODIAC CORE keduaku.
 
wow udah update lagi, aih belah duren trus si satria :tendang:
wah jangan2 adik kakak nih belah durennya :alamak:

Terimakasih updatenya suhu :ampun:
 
========
QUEST#02
========​

Malam itu aku nggak bisa tidur memikirkan kedua kakak beradik itu. Kakaknya sudah kukentot. Tinggal adiknya, sedikit lagi, kontolku akan masuk juga ke kemaluannya. Pasti akan jadi pengalaman yang hebat kalau aku berhasil pada adiknya juga.
Apa besok Aya akan mengajakku bercumbu lagi, ya? Yang pasti tadi dia masih penasaran seperti juga aku.
Mengingat persetubuhanku tadi di mobil dengan Jessie. Pepeknya yang sangat enak. Juga petting-ku tadi siang dengan Aya berganti-ganti bergulir di kepalaku hingga kontolku jadi naik lagi.
Dari pada pusing begini, gak tau mau disalurkan kemana, aku mandi air dingin terus tidur.
--------​
Benar saja, Aya sudah berdiri bersandar pada mobilku di parkiran sepulang sekolah. Ia dengan ceria menyambutku dan naik mobil cabut dari sekolah.
Ia langsung mengajakku ke rumah kontrakan dan langsung ke kamarnya.
“Aya semangat banget... Kangen aku, ya?” godaku atas ketaksabarannya.
Ia tidak menjawab kecuali mendaratkan ciuman dan tubuhnya padaku. Erat sekali dan kami mulai bergumul di ranjang.
Masih dengan mulut saling menempel, Aya membuka bajuku dan baju sekolahnya. Lalu ia dengan cepat membuka celana panjang abu-abuku juga rok sekolahnya. Kami berdua hanya memakai pakaian dalam kini.
CD-ku sudah menggembung karena teringat apa yang akan kulakukan pada Aya. Gembungan itu kutekankan pada gundukan CD Aya. Terasa berdenyut, berdebur kencang.
Dari luar bra-nya, aku meremas dengan gemas kedua bukit remaja itu. Montok sekali, bahkan lebih besar dari kepunyaan kakaknya.
“Aya... Aku sudah nggak tahan lagi... Apa Aya betul-betul mau...?” tanyaku dengan nafas memburu. Tertular nafsu yang diberikan Aya.
Ia mengangguk setuju dengan wajah memerah. Entah merah karena birahi atau malu.
Dengan begitu, aku melepaskan CD-nya dengan buru-buru dan bertumpuk dengan bra dan pakaiannya yang lain di lantai.
Saat pahanya kubentangkan dengan lebar, menyeruak wangi kewanitaan yang sangat memabukkan. Nikmat sekali mencium aroma ini.
Kepalaku sudah berat sekali menyadari kalau penisku sudah mengacung keluar dari CD-ku. Entah kapan ia keluar dan menunjuk-nunjuk ke liang Aya yang terbuka. Seperti ia bergerak sendiri saja. HIlang sudah semua pengalaman selama ini. Kalau mo bercinta dengan cewek minimal harus ada foreplay walau dikit-dikit. Yang ada hanyalah hasrat menggebu yang harus segera dituntaskan.
Aku mengarahkan tanpa menyentuh batang itu sama sekali karena sudah sangat keras tegangnya. Lututnya kepegangi agar kakinya tetap mengangkang. Kugosok-gosokkan sebentar kepala penisku keseluruh permukaan daging merah bergerinjal itu. Lembab.
Aya melihat wajahku dan vaginanya bergantian. Sepertinya ia juga tidak sabar. Ia membantu melebarkan bibir vaginanya yang sudah terbuka lebar dengan jari hingga aku bisa melihat lubang kecil tepat di mana aku harus memasukkan penisku ini. Dua insan muda yang sudah dikuasai birahi ini tak lagi memperdulikan apa-apa. Harus disalurkan! Harus disalurkan!
Segera lubang itu kusumbat dan Aya mengerang sedikit kaget. Kutekan-tekan lembut untuk membuatnya terbiasa dengan kepala penisku yang besar.
Karena desakanku yang kupaksakan terus-menerus pada vagina Aya, beberapa waktu kemudian, seluruh kepala penisku sudah menghilang di dalam liang itu. Aya tetap mengerang-erang kesakitan.
Untuk membuatnya sedikit melupakan rasa sakit, aku mempermainkan dadanya dengan menyedoti kedua putingnya. Rambutku diacak-acak Aya untuk melampiaskan emosinya.
Aku menggoyang-goyang pinggangku tanpa daya dorong ke depan sama sekali untuk melemaskan liangnya juga agar Aya terbiasa dengan besarnya batangku yang akan masuk lebih besar.
“Aya... Enak, kan?”
SHRUKK!
Aku langsung saja mendorongkan pantatku dengan secepat mungkin saat aku melihat Aya akan menjawab pertanyaanku tadi.
Aku sudah menembus perawannya. Total 8 perawan! Rekor baru.
“Akh!” keluh Aya merasakan pedih saat selaput daranya kurobek dengan keganasan penisku yang bercokol setengah di liangnya yang super sempit.
Aya merengkuh tubuhku mencari ketenangan agar sakitnya berkurang. Aku menciumi pipinya membantu mengurangi sakit itu. Nafasku-pun sudah berat. Udara panas membuat kupingnya kegelian.
Saat ia kembali tenang, aku menarik sedikit batangku dari sana, Aya meringis. Lalu aku berhenti. Waktu ia kembali tenang kudorong lagi, kembali meringis. Berhenti.
Begitu berulang-ulang sampai pantatku pegal terlalu lama menunggu dan berdiri. Kemudian aku sadar...
FLOP!
Aku total mencabut batangku dari liang itu. Ia memang kurang basah sehingga seret begini. Kenapa aku jadi terhanyut dengan irama yang dibangun Aya. Ini bukan caraku. Aku seharusnya memuaskan siapapun yang bercinta denganku. Aku merasa puas kalau pasanganku juga puas. Aku mengekor luapan nafsu yang Aya tawarkan dan terhanyut. Aku akan merangsangnya lebih banyak lagi. Lha... tadi nyampe rumah langsung buka baju sampe bugil tanpa ba-bi-bu langsung maen tancep aja. Gini hasilnya kering.
Sekarang biarkan ahlinya bekerja.
Aya memperhatikan liang vaginanya dengan melebarkan bibirnya—yang menitikkan darah segar perawannya. Tidak banyak tapi cukup meyakinkan kalau ia sudah tidak perawan lagi.
Aku segera mencucup darah yang keluar dari liang itu. Terasa asin karena bercampur dengan sedikit cairan vagiananya.
“Oooooouuughhhhh!” lenguh Aya menyenangkan. Ia sangat menyukai dioral begini. Aku mengulum klitorisnya dengan bibir terkatup. Terkadang daging kecil itu kutarik-tarik kesegala arah.
Liang senggama Aya berdenyut-denyut kembang-kempis seakan ingin segera dimasuki lagi. Tetapi belum saatnya. Belum cukup basah. Percaya, deh.
Kaki Aya kujulangkan keatas hingga pemandangan indah ini terbuka luas didepanku dan dengan mudah mulutku mempermainkannya.
Aya meraung-raung menikmati mulutku di vaginanya yang membentuk kue sus yang manis atau sandwich yang gurih (pilih yang mana?). Lidahku dengan lincah bermain-main di tiap sudut daging vagina ini. Mengirimkan tiap rangsangan sensual yang membuat Aya semakin bernafsu.
“Akhhh!” sedetik kemudian Aya mengangkat pantatnya hingga seluruh mukaku terbenam di vagina itu. Saat sudah menyentuh kasur kembali dan mukaku lepas dari bukaan itu, sejumlah cairan menetes dari liang uterusnya.
Sudah saatnya! Aya sudah orgasme.
“Satria...” cegah Aya saat aku bangkit. Ia masih mau aku bermain dengan vaginanya.
“Ini...” jawabku mengacungkan penisku yang masih tegak perkasa. Ia menatap penisku dengan pandangan nanar. Ia mungkin membayangkan kalau penisku ini masuk lagi mengobrak-abrik isi kemaluannya.
Kaki Aya masih mengangkang di depanku dan aku mengarahkan ke titik lubang yang sudah sangat kuhapal letaknya dari posisi menggairahkan anak manusia ini. Kedua lututku menyusup masuk ke bawah pahanya hingga posisiku ada tepat di depan bagian terlarang gadis yang sudah baru kuperawani ini.
Terasa tidak sesempit yang tadi. Tetap ketat dan hangat seperti wanita-wanita lainnya yang baru memulai kehidupan seks yang pernah kugauli. Makanya aku bersikeras harus mengoral vaginanya untuk membuatnya lebih basah.
Dadanya kembali mendapat perhatianku saat aku memompa pantatku dengan perlahan. Aya meringis-ringis campuran enak dan perih. Beberapa saat aku berhenti lalu bergerak dan berhenti lagi sampai semuanya menjadi lancar.
Tak lama kemudian, Aya sudah bisa menikmati seks benaran pertamanya ini. Ia sudah bisa menikmati tiap rojokanku pada liangnya yang panas.
Ia memintaku untuk berganti gaya dengan gaya yang kusuka. Segera saja, Aya kusuruh nungging dan kuhajar dari belakang. Pinggulnya kupegang selagi kuarahkan penisku memasukinya dari belakang. Aya mengerang belingsatan kala penisku menyusup masuk. Lebih mudah sekarang dan segera aku dicengkram dengan rasa nikmat saat batang penisku diremas-remas liang vaginanya yang baru saja dijamah penis untuk pertama kali.
Bongkah pantat yang mulus putih kuremas-remas sampai memerah selagi pinggangku maju mundur memompa vaginanya. Aya merebahkan kepalanya di bantal dan menjulangkan bokongnya ke atas sambil mendesis-desis ditambah erangan.
Entah sudah berapa kali ia orgasme dengan gaya seperti ini hingga jatuh dan kubuat menungging kembali dan ini membuat liang vaginanya semakin basah saja. Aku jadi semakin bersemangat karena mendapat lahan baru untuk melampiaskan bakatku.
“Aaaaahhhh...aahh...ahhh...” seru Aya setiap aku menekan dalam dengan kuat dalam posisi doggy ini. Beberapa kali aku harus mencabut penisku dan membersihkan lendir yang melumuri agar sedikit lebih kesat di bibir vaginanya. Kusedot vaginanya lalu kujilat-jilat cepat lalu kutusuk lagi. Mmmhh...
“Ya... Ya... Aku mau ngecret, nih!...” seruku. Aku mempercepat kocokanku. Sudah cukup lama, sekitar satu jam sudah berlalu. Aku menahannya cukup lama.
Aku memang tidak bermaksud untuk ngecrot di dalam liang Aya. Akan kucrot di luar saja seperti pada kakaknya tadi malam.
“Akkkhhhh!”
Dengan cepat, batangku kucabut dan menyemprotkan sejumlah besar cairan kental ke pantat dan memercik di punggungnya.
“Hah...hah...” seruku dengan nafas memburu. Kupeluk Aya dari belakang sementara batangku berada dibelahan pantatnya dan meneteskan sisa-sisa sperma.
Enak sekali. Aku tidak pernah bosan-bosannya melakukan hal ini. Apalagi dengan hal baru dan wanita yang baru dengan sensasi yang masih segar.
Aku janji tidak akan pernah berhenti menikmati masa-masa indah begini.
Sekarang aku memeluk Aya tetap dari belakang tetapi dengan berbaring di ranjang itu dan batangku berada di antara kakinya. Kubersihkan pantat dan punggung Aya dari spermaku. Aya mempermainkan sisa-sisa sperma di penisku dengan mengurut-urutnya agar keluar. Ia lalu membalurkan cairan kental itu keseluruh batang penisku dan mengocoknya perlahan.
“Enak, Satria?” tanya Aya.
Aku hanya mengecup telinganya sebagai jawaban.
“Hari ini... Satria ada janji lagi, gak?” tanya Aya.
“Nanti... jam 5... satu jam lagi...” jawabku. “Kenapa?”
“Mandi, yuk?” ajaknya.
Ide yang sangat bagus.
--------​
Aya menyabuni tubuhku dengan sabun batangan yang wangi. Sensual sekali sampai-sampai penisku naik lagi. Dianya malah menyabuni batangku itu sampai ia tegang seperti biasa lagi. Penuh dengan busa.
Aya tertawa-tawa senang melihatnya.
Aku jadi teringat sewaktu Carrie memandikanku saat aku terluka saat itu dan ia menyembuhkanku dengan sentuhannya. Saat itu kami bercinta di kamar mandi dengan sangat lembut. Tidak seperti seks biasanya.
“Satria... Hahhh... Satria... hahh...” desah Aya. Ada apa lagi? Bukannya dia masih tertawa geli.
Aya membasahi batangku yang tegang hingga busanya bersih. Gede banget...? Ini ukuran CHARM!
Berikutnya aku melihat Aya mengulum penisku dengan ganas. Pipinya sampai kempot untuk memasukkan kejantanan up-grade-ku yang 30 cm itu.
Sialan... aku kelepasan memikirkan Carrie dan berubah menjadi CHARM tanpa aku sadari.
Ini harus dihentikan. Bisa berbahaya kalau aku meladeninya dengan bentuk seperti ini. Bisa mati anak ini...
Aya kembali kubuat menungging memegangi pinggiran bak mandi. Ia kembali menjerit-jerit keenakan saat walau hanya dengan jari tengahku, kumasukkan ke liang vaginanya.
Suaranya semakin keras terdengar karena terpantul dinding kamar mandi hingga bisa dikatakan memekakkan.
Entah karena sudah sangat terangsang oleh bentuk CHARM-ku ini, Aya orgasme kembali di jariku. Bukan hanya sekali, tetapi tiga kali. Hot sekali. Badannya berkejat-kejat mengkhawatirkan—kaya mau pingsan gitu.
Aya terduduk lemas dan kaki terbuka menunjukkan vaginanya yang memerah dan berlendir.
Aku yang telah kembali menjadi bentuk normal, mengeringkan badannya dengan handuk dan membopongnya kembali ke kamar.
Ia melenguh manja meminta aku kembali memeluknya dan jangan pergi. Masih tetap berbugil ria. Habis mandi dengan badan sejuk terus berpelukan dengan kehangatan tubuh sangat nyaman. Enak banget kelonan begini sebenarnya tapi ini harus segera dihentikan.
Aya merengek minta kelonan terus tapi kutolak. Aku beralasan bisa berabe kalau nanti kakaknya pulang dan memergoki kita begini, akan jadi gimana?
Memang sih kalau kakaknya tau aku juga ada main dengan adiknya, gimana jadinya, ya? Apa yang kira-kira akan terjadi? Apakah Jessie akan marah-marah? Ngambek? Gak mau disamperin lagi? Gawat, tuh! Bisa terancam TAURUS-ku.
Dengan berat Aya melepasku pergi dari rumah itu saat pukul 16.45. Masih seperti kemarin di balik pintu tidak memakai pakaian dalam sama sekali. Menggemaskan.
--------​
Ironi juga, ya... Kalau aku bermesraan dengan sang adik, aku bisa menikmati tempat yang empuk di ranjang kamar, sedang kalau dengan sang kakak harus rela bersempit-sempitan di dalam mobil. Memang keduanya harus sembunyi-sembunyi.
Pokoknya, aku sudah mendapatkan keduanya. Yang tertinggal adalah ulang tahun Jessie, 19 Mei ini! Aku harus mendapatkan ZODIAC CORE TAURUS!
 
Satria enak bener ya hidupnya di kelilingi banyak wanita cantik, bisa jleb sana sini :)

jadi ngenes teringat nasib ane yang masi jomblo...

Nice update suhu...
 
Satria enak bener ya hidupnya di kelilingi banyak wanita cantik, bisa jleb sana sini :)

jadi ngenes teringat nasib ane yang masi jomblo...

Nice update suhu...

ah... masa? bro ai jomblo? gak percaya ah. kadang dari tulisan juga bisa mencerminkan kegelisahan juga. keinginan, impian n harapan.
siapa tau...
 
Bimabet
Satria dapat perawan lagi......


:mantap: suhu.... Lanjutkan! Selalu di tunggu....!
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd