Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Quest

updatenya keren, mks suhu ryu.... tetep smangat updatenya,kami menanti :mantap:
:cendol:

tinggal konflik batinya biar cepet hilang, biar g menggrogoti hati gmn crnya, pa nanti wanita yg ingin ikut satria di jdkan istri selir semua, tp tetep permaisuri carrie​
 
Mike gak dinetralin sekalian broo....
 
Ane jadi kepikiran nihh gan......:bingung:

Kalo si satria mengunakan double/multi..
Hpnya kan ikut double juga tuh....

Nah gimana caranya tuh kalo pas ada yg nelp/video call....

Apakah satria sama doublenya sama2 jawab ato satu aja yg jawab trus networknya suport ga :huh:


Sory ya gan.. jadi oot gini pertanyaannya :Peace:

Jangan di timpuk pake :bata: ya.......

Ahhh..... :ngacir: dulu sebelum kena timpuk :bata:
 
Mantap suhuuu, pertamaxnya diamanin suhu ryu juga haha
silahkan dinantikan update berikutnya...
updatenya keren, mks suhu ryu.... tetep smangat updatenya,kami menanti :mantap:
:cendol:

tinggal konflik batinya biar cepet hilang, biar g menggrogoti hati gmn crnya, pa nanti wanita yg ingin ikut satria di jdkan istri selir semua, tp tetep permaisuri carrie​

sama dgn pertanyaan bro umhtaewong sebelumnya ttg ini, update kamis depan adalah side quest yg panjaaaang banget sebelum masuk ke quest #12. cukup kali kalo dijadiin post. tungguin deh.
 
Mike gak dinetralin sekalian broo....

ketahuan sama publik ane rasa cukup memberi pelajaran utknya. klo Mike melarikan diri dr polisi jg pasti jd buronan dan tidak bisa bergerak bebas lg. beda klo dia bagian dr organisasi sprt OSSR. ia tinggal dipindah ke daerah operasi baru.
 
Ane jadi kepikiran nihh gan......:bingung:

Kalo si satria mengunakan double/multi..
Hpnya kan ikut double juga tuh....

Nah gimana caranya tuh kalo pas ada yg nelp/video call....

Apakah satria sama doublenya sama2 jawab ato satu aja yg jawab trus networknya suport ga :huh:


Sory ya gan.. jadi oot gini pertanyaannya :Peace:

Jangan di timpuk pake :bata: ya.......

Ahhh..... :ngacir: dulu sebelum kena timpuk :bata:

iya ya... ah agan Ryuukendo mikirnya sampe kesitu aja.
tp klo jawaban ngelesnya sih... yg pake no hp utama ya Satria yg asli yg tidak dalam keadaan menyamar. contoh sewaktu di hati murni yg pegang no. asli adalah si Satria Kacung. Satriyani pake no. yg laen/disposable. tp waktu sedang di kasus ossr yg pegang no. asli selalu yg bersama Angel, duplikatnya pake no. disposable.

pusing ya...
 
Kalo nanti satria berhasil memangil gold master core apakah kedua belas core itu akan hilang pada tubuh satria
 
SIDE QUEST FILE #11
Saturday, 14 February
Case File : To All The Girls I’ve Loved Before


Demam Valentine mewabah di mana-mana. Nuansa pink tiba-tiba menjadi epidemi di tiap sudut mata memandang. Kado dan hadiah berupa coklat adalah hal yang lumrah diperdagangkan saat ini. Bunga menjadi laris dan best seller mengalahkan produk apapun. Pada hari ini saja.
Belum terhitung lagi alat kontrasepsi berupa karet pengaman dan tingkat hunian hotel meningkat drastis. Tak terkira juga berapa banyak perawan-perawan baru yang akan dibuka segelnya.
Ini tidak hanya terjadi di sekitarku. Ini fenomena global. Ha... ha... ha... Jutaan segel akan dikoyak hari ini.
Tak terhitung juga banyak ajakan kencan untukku. Ada yang disampaikan langsung, lewat telepon, SMS dan sejenisnya. Secara malu-malu, modus, terang-terang, vulgar dan juga nyeleneh.
Di kelasku, ada tradisi tukar-tukaran kado Valentine ini. Terserah mau bertukar kado pada siapa. Dari cewek ke cowok, cewek ke cewek, tapi yang langka adalah cowok ke cowok. Tapi pastinya ada juga. Xixixi.
Ini hal yang paling malas kulakukan tetapi harus kulakukan dan bisa kugunakan untuk bertukar kado dengan teman sekelasku dan lainnya.
“Untuk Satria...” sergah seorang gadis tiba-tiba. Padahal aku baru di ambang pintu kelas dan ia menyodorkan bungkusan kecil berbentuk kotak dengan pita berwarna pink.
“Makasih, Fauziah...” kataku berusaha tersenyum. Kurogoh dalam tas ranselku dan mencari-cari isinya. Ada beberapa bungkusan di dalamnya dan kukeluarkan satu.
“Ini untuk Fauziah...” kuserahkan bungkusan kotak yang hampir mirip dengan miliknya. Matanya berbinar-binar menerima hadiah dariku.
“Selamat Valentine, Fauziah...” kataku pada gadis berjilbab itu. Ia tersenyum lebar dan memegang erat hadiahku.
“Sama-sama, Satria...” jawabnya. Ia langsung masuk kembali ke kelas dengan riang; kembali ke tempat duduknya. Di dalam kelas ternyata sudah terjadi beberapa pertukaran hadiah itu. Beberapa bahkan sudah mendapat beberapa hadiah sekaligus.
Andrew sedang mengunyah potongan coklat yang sudah dibuka bungkusnya. Ada beberapa bungkus miliknya, disebarnya sembarangan di atas meja.
“Sat? Elu mau satu?” tawarnya pada bungkusan coklat miliknya.
“Masa kau bagi-bagiin di sini? Nanti yang punya liat gimana?” tolakku juga sedikit nasihat padanya.
“Di kelas ini gak akan ada cewek yang mau ngasih coklat ke gue kecuali Fauziah itu... Belangnya gue sudah ketauan di sini... Ini banyakan dari cewek dari kelas lain-lah...” kilahnya tak tau malu.
“Oh... Banyak, ya?” pujiku pada prestasinya.
“Iya banyak... Elu dapat dari Fauziah?” tanya Andrew rupanya melihat adegan di depan pintu barusan.
“Iya... Ini...” kataku dan menunjukkan bungkusan kecil itu. Aku duduk di sampingnya dan menyimpan tasku di dalam laci meja.
“Kalau elu belum sarapan... makan aja coklatnya...” katanya tak terlalu panjang lebar. Ini efek dari kejadian beberapa bulan lalu saat kejadian dengan Silva dan Silvi. Ia menjadi sedikit respect dengan kekuatanku.
“Kayaknya Fauziah membagi coklat ini ke semua orang di kelas ini, ya?” sadarku kalau di meja di depan Andrew, ada bungkusan coklat yang sama. Teman-teman sekelas lain juga mendapatkannya. Kirain Fauziah yang sealim itu ada minat denganku. Ge-eR, ya?
Tak lama sebuah SMS masuk ke HP-ku. Tulisannya
EO said:
‘pulang skul lgsg dijemput jgn kemana” pemainnya lbh banyak skrg drpd ultahmu kemarin’
Begitu isi SMS dari EO acara ini. Siapa lagi kalau bukan Silva, Silvi dan Aya. Mungkin mereka sudah membentuk arisan kali ini karena perkumpulan mereka sepertinya semakin banyak saja pesertanya. Peserta awalnya adalah yang hadir di acara ulang tahunku di ruang karaoke akhir Oktober kemarin; April, Jessie, Aya, Silva dan Silvi. Lalu aku dikejutkan dengan bergabungnya Synvany, Nining, Fantina dan juga Della.
Entah bagaimana mereka bisa diyakinkan untuk bergabung, menjadi akrab dan sering bertemu walau tanpa kehadiranku. Terakhir kali pertemuan mereka, mereka sedang foto bareng di sebuah restoran, kulihat dari sebuah postingan foto di Facebook milik Aya.
Wah! Itu hampir semua dari perempuan yang memberiku ZODIAC CORE. Minus si kucing betina Leonny, putri Bernadette Srevakova, ratu peri pohon Vlasq, Safriani alias Suriani dan terakhir adalah Maria. Kalau saja mereka bisa menghubungi perempuan-perempuan itu, aku yakin pasti terkumpul semua, deh.
Hari Valentine di hari Sabtu sangat greget. Semua yang merayakannya aku yakin sangat berbahagia. Pasti akan banyak gesekan-gesekan nikmat yang terjadi. Dada-dada yang terbuka dan cairan surga yang menetes hingga regukan terakhir. Memang aku tidak punya pasangan resmi saat ini tetapi aku sama sekali tidak kekurangan tangan untuk digenggam.
Apalagi jaminan kenikmatan yang akan kudapat beberapa saat lagi kala beberapa perempuan yang mengadakan acara ini berkumpul bersama dengan satu titik temu; aku.
Akulah yang telah menyatukan mereka dan membuat mereka akrab. Aku tidak pernah menyangka kalau aliran hubungan ini akan menjadi sedemikian rupa. Bayangkan saja sembilan perempuan cantik itu berkumpul di satu tempat dan rela kau perlakukan apa saja. Tentunya diberi kenikmatan, dong...
--------​
“Satria?” sapa suara perempuan di belakangku.
“Ya?” sahutku dan menoleh. Ternyata Fauziah tadi. “Ada apa, Zia?” tanyaku dengan nama panggilan yang sering kudengar dari teman-teman dekatnya.
“Hari ini ada acara?” tanyanya malu-malu. Ia sedikit menunduk kala berbicara padaku. Hingga aku tidak bisa melihat jelas wajah manisnya yang dibingkai jilbab putihnya. Ia jadi sangat suci dengan pilihan penampilannya ini. Kemeja lengan panjang, jilbab panjang sampai menutup dada dan juga rok abu-abu panjang.
“Ada, Zia... Itu mungkin sedang ditunggu jemputanku di luar... Ada apa?” terangku. Ini sudah waktunya pulang sekolah di hari Sabtu ini dan para peserta arisan yang bekerja pasti pada libur.
“Yaah... Ng... Gak jadi aja, deh... Daag...” katanya langsung balik badan dan beranjak pergi.
“Zia... Katakan dulu... Kalau sempat aku akan datang... Ada acara apa?” tanyaku agak bersuara keras karena ia sudah menjauh. Tidak enak kalau mengecewakan undangan cewek cantik sepertinya.
“Beneran?” sahutnya agak berteriak. Ia kembali menghampiriku dan mengeluarkan sebuah kartu dari dalam tasnya. Diserahkannya benda itu padaku.
‘BUKAN VALENTINE’S DAY PARTY’
Begitu judul acaranya dibuat dengan font mencolok dan besar. Ada alamat tempat acara itu berlangsung.
“Usahakan datang, ya? Ga kena biaya apa-apa, kok... Datang aja dan ramaikan acaranya... Mungkin sampai tengah malam juga...” jelasnya.
“Ini acara model seperti apa? Ada tema khusus?” tanyaku membolak-balik kartu itu.
“Gak ada tema khusus... Datang aja seperti biasa... Apa Satria mau bawa teman?” tanya Fauziah tembak langsung. Ini seperti interogasi. Ada udang di balik batu.
“Gak... Mungkin aku datang sendirian aja... Eh... Udah ya, Zia... Aku cabut dulu... Yang nungguin udah bolak-balik nelpon terus... Mereka sudah di depan... Akan kuusahakan datang... Daag...” kataku langsung berlari keluar sekolah lewat gerbang. Mobil hatch-back Fantina sudah ada di depan sekolah dan memberi tanda dengan lampu depannya yang berkedip beberapa kali.
Saat aku menyebrang jalan, pintu belakang kanan terbuka memberiku akses masuk.
“Buru-buru banget? Pesawatnya udah mau berangkat?” candaku begitu pantatku sudah duduk di jok belakang mobil. Di sampingku ada Aya. Di depan Della dan Fantina di belakang setir.
“Kita ada strict schedule yang harus kami tepati... Kalau tidak acaranya bisa berantakan...” kata Aya memasang sabuk pengaman miliknya dan memasangkannya untukku.
“Wah... Mau ngebut, nih?” sadarku karena aku sampai harus memakai safety belt.
“Tenang aja, Satria... Jangan ragu sama kemampuanku... OK?” kata Fantina alias Ana. Seorang mantan pembunuh bayaran nomor satu dunia yang telah berubah penampilan 180°.
Mobil kecil itu lalu melaju kencang dan meliuk-liuk di jalan raya dengan lincahnya. Semua penumpangnya terbanting-banting kala manuver yang dilakukan Fantina melibas beberapa tikungan patah atau menyalib kendaraan lain. Aya, Della dan aku berpegangan pada pegangan yang ada di atas pintu untuk tetap ada di tempat.
Kendaraan yang seyogyanya hanya muat untuk 5 orang itu melaju terus semakin cepat karena memasuki jalan bebas hambatan dan menuju ke pinggiran kota. Dari arahnya, kutebak menuju arah pelabuhan.
Benar saja, mobil ini kemudian masuk ke pelabuhan dan menuju tempat parkir. Semua pintu lalu terbuka kecuali di sisiku. Kuikuti mereka dan keluar. Di parkiran, aku melihat mobil hatchback milik Jessie, sedan Silva-Silvi dan mobil jeep Land Cruiser milik Synvany.
“Kemana?” tanyaku kebingungan. Ketiganya berjalan relatif terburu-buru menuju pelabuhan. Mau kemana rencana mereka ini? Di sini hanya ada kapal-kapal kecil, restoran, tempat pemancingan dan sejenisnya.
“Ikut aja...” kata Aya dan menarik tanganku. Jadilah aku ditarik-tarik seperti kambing untuk diarahkan kemana harus menuju. Belok ke kiri aku ikut ke kiri. Belok ke kanan aku belok ke kanan. Jalan terus tanganku terus ditarik. Kayak mau dijagal gitu...
“Banyak boat bagus di dermaga ini...” gumamku sendiri. Dermaga mengapung ini dibuat untuk menambatkan kapal-kapal boat sekelas motor yacht ukuran kecil sampai menengah. Bertenaga 200 sampai 500 PK.
“Itu kapal boat siapa? Kok cewek cantiknya banyak bener? Punya raja minyak, ya?” gumamku tak henti-henti mengagumi walau silau oleh sinar matahari yang terik. Walaupun keluargaku kaya raya, tapi kami bahkan tidak punya kapal semacam ini. Mungkin karena mereka belum berminat. Kalau jet dan mobil mewah ada.
Aya menarikku menuju kapal boat bernama Mariana Celecaõ itu dan terlihat kalau cewek-cewek cantik yang kulihat tadi adalah April, Jessie, Silva, Silvi, Synvany, dan Nining. Sekarang sudah jelas.
“Hai, Satria?” sapa mereka semua dengan manis.
“Oh... Hai...” jawabku kikuk. Karena disapa sekaligus oleh bidadari-bidadari tercantikku. Senyumku pasti mengembang lebar melihat mereka semua berkumpul di satu tempat di momen seperti ini. Keren. Pada pake bikini semua.
April-Jessie-Aya-Silva-Silvi

Vany-Nining-Fantina-Dellayani
“Kapal siapa ini? tanyaku pada siapa saja yang berkenan menjawab. Aya melepas tarikannya pada tanganku dan meniti jembatan kecil untuk menaiki kapal dari dermaga kayu.
“Ini punyaku, Satria... Bagus, kan?” jawab Fantina dari belakang dan menepuk bahuku.
“Punyamu? Uangmu banyak sekali? Menang undian?” tanyaku tak percaya.
“Aku memang cuma pekerja kantoran biasa... tapi liat dulu tabunganku... Kalau kupakai berfoya-foya setiap hari selama 100 tahun juga gak bakalan habis, loh...” katanya genit dan mengerling.
“Oo... Benar... Uangmu banyak... Fantina nomor satu, deh!” pahamku dari mana asal uang banyaknya. Sebagai mantan pembunuh nomor satu dunia, penghasilannya pasti sangat besar dari pekerjaan lamanya itu. Ini bisa dibilang sebagai pensiun muda.
“Tentu aja... Kapal Della ada di samping...” tunjuk Fantina pada kapal lainnya di samping.
“He... he... he... Kalau bosan kami sering balapan pakai ini di weekend...” kata Della yang sudah naik ke atas Mariana Celecaõ milik Fantina. Miliknya sendiri bernama Santander de Guyana.
“Kalian tidak takut ketahuan OSSR?” tanyaku agak khawatir. Aliran uang segitu besar seharusnya akan sangat mencurigakan.
“Jangan khawatir, Satria... Ini semua aman... Kita nikmati Valentine day ini saja, ya? Semua sudah naik?” kata Della. Semua sudah berada di atas kapal dan dengan sigap dilepasnya tali tambat kapal lalu melompat naik.
Mesin kapal menderu dan bergerak mundur. Fantina sendiri yang menahkodai kapal miliknya. Ia berada di belakang kemudi. Angin laut sudah terasa membelai penumpang di atas Mariana Celecaõ.
“Aku salah kostum, ya?” kataku sadar diri karena hanya aku yang tidak memakai pakaian yang sesuai dengan lokasi. Di laut seharusnya berpakaian santai. Seperti yang sedang dilakukan kesembilan perempuan ini. Rata-rata mereka memakai atasan bikini dan bawahnya dibalut pareo.
“Gak pa-pa Satria... Gak harus, kok... Lagipula salah kami mengajakmu terburu-buru begitu... Nanti ganti aja seragam sekolahmu di tempat tujuan kita...” kata Jessie yang memakai kacamata hitam berbingkai lebar.
“Memang kita mau kemana?” tanyaku.
“Liat aja nanti... Tempatnya asik kok...” kata Della yang baru turun dari geladak atas. Ia baru saja melepas kemejanya dan ia memakai bikini di baliknya seperti yang lain.
“Sejak kapan kalian jadi akrab begini?” tanyaku pada siapapun. Pada Synvany dan Nining terutamanya.
“Dah lama, Satria... Kamu aja yang terlalu sibuk jadi gak tau apa saja yang kami kerjakan...” jawab Nining. Ia juga memakai sebuah bikini penutup dadanya dan pareo berwarna pelangi seperti yang lain. Sedang Synvany hanya tersenyum-senyum malu.
“A-Fang... Teman-temanmu ini bisa menjerumuskanmu, loh?” ledekku pada gadis manis bermata sipit itu.
“Satria yang lebih berbahaya, kok...” balasnya tak kalah meledek.
“Berbahaya? Aku cuma sendirian di sini... Berbahaya gimana? Aku bisa jadi korban yang menyedihkan, loh?” kataku pasrah diapakan saja oleh mereka semua.
“Silva! Silvi?” panggil Aya untuk bala bantuan.
“Ada apa?” Silva muncul dari geladak atas dan Silvi memunculkan kepalanya lewat pintu masuk dari geladak belakang. Keduanya merasa tidak perlu memakai pareo dan berkeliaran hanya dengan bikini saja. Hal itu diikuti Aya juga.
“Satria merasa sebagai korban...” kata Aya meneruskan provokasinya. Ia merasa perlu membuatku semakin tersudut.
“Tunggu aja sampai kita tiba di tujuan...” kata Silva berkacak pinggang.
“Kau akan berharap ada yang akan datang untuk menyelamatkanmu...” sambung Silvi kompak.
“A-Ada apa ini? Apa yang kalian rencanakan padaku?” kataku berhak untuk mulai khawatir.
“Hmm... Tempat itu jauh dari manapun... Semoga saja kau tidak menangis minta pulang, ya?” kata April dengan senyum dikulum.
“Udah-udah... Kalian jangan menakut-nakuti Satria seperti itu... Nanti dia gak mau ikut acara kita lagi baru tau rasa?” kata Jessie menengahi. Ia bahkan melotot pada adiknya Aya yang masih berusaha menakutiku.
“Huh... Jessie gak asik... Jarang-jarang acaranya mulai seru di awal... Padahal ini juga idemu, kan?” kata Aya.
“Ide utamanya dari A-Fang... Kita semua setuju, kan?” kata Nining berseru riang. Mereka sangat dekat sepertinya. Kompak.
“Nining juga ikut nambah yang seru-seruannya, kan?” kata A-Fang membenarkan.
“Aku bagian logistik sama keuangan aja, deh...” kata Della sambil menyedot minuman kaleng dingin yang diambilnya dari kulkas.
“Bagian acara... angkat tangan!” seru Aya dan mengangkat tangannya. Diikuti Silva dan Silvi.
“Stooop!” seruku menghentikan perbincangan mereka yang tak kumengerti mengarah kemana. “Apa yang kalian rencanakan? Acara apa yang kalian buat?” tanyaku penasaran tingkat tinggi.
Tak ada yang menjawab–malah mereka semua keluar dari ruangan ini dan meninggalkanku sendirian.
Saat kuintip dari jendela bulat kapal, mereka sedang duduk berbincang di dek kapal bagian belakang yang tidak begitu luas. Rambut berkibaran mengikuti gerakan kapal yang menerabas lautan luas menuju kemanapun tujuan yang mereka rencanakan.
“Sebentar lagi kita sampai, Sat...” kata Fantina saat aku masuk ke ruangan nahkoda dimana ia sedang mengendalikan kapal sepanjang 11 meter/13 feet dan bertenaga 2x200 HP ini di balik kemudinya.
Dari peralatan kapal yang digunakannya, aku memperhatikan kalau Fantina mengarahkan kapal miliknya ini ke sebuah pulau kecil di tengah samudra. Ada sebuah peta laut yang diletakkannya di depan peralatannya. Pulau kecil bernama pulau Airtas. Aku baru dengar ada pulau kecil bernama itu.
“Itu dia tujuan kita...” kata Fantina menunjuk di depan kami. Ia menurunkan kecepatan kapalnya perlahan dan merapat ke sebuah dermaga kecil di semacam teluk di sebelah selatan pulau.
Pulaunya memang kecil tetapi cukup luas sekitar 4-5 hektar. Pulau itu dikelilingi pasir putih sebagai pantai dan makin ke tengah makin tinggi dan didominasi vegetasi pohon kelapa dan beberapa pohon keras lainnya. Selebihnya semak belukar dan pakis.
Di pinggiran teluk ada bangunan beton yang sepertinya masih sangat baru dibangun, berdiri kokoh. Gabungan arsitektur modern dan tradisional karena pada beberapa bagian masih digunakan bahan kayu, bambu dan juga ijuk.
Ada papan peringatan di depan bangunan. “Pulau AIRTAS. Tanah pribadi. Dilarang masuk bagi yang tidak berkepentingan. KUHP 551/ AIRTAS Island. Private Property. No Authorize Entry.”
“Apa ini pulau milikmu juga, Fan?” tanyaku pada Fantina yang baru saja mematikan mesin kapalnya. Di depan sana Della menambatkan tali kapal di dermaga dan yang lainnya bersiap turun.
“Benar... Patungan sama Della... Waktu itu pulau ini masih murah harganya karena sangat kecil... Tapi lumayan kalau sudah dibangun... Cukup untuk kita semua...” sahut Fantina dan mendorongku keluar ruang nahkoda. Dikuncinya pintu dan diarahkannya aku keluar kapal.
“Selamat datang Airtas... Pulau pribadi kita... Yuuuhuu...” kata Fantina berseru dan mengangkat kedua tangannya lebar-lebar. Ia langsung melompat dan mendarat di dermaga kayu. Menyusul teman-temannya yang sudah menyusuri dermaga menuju ke bangunan di pinggir teluk.
“Wah... Enak ya kalau punya banyak duit...” gumamku. “Bisa membeli apa saja...”
Aku membawakan sebuah kotak chiller yang berat dari atas kapal ke dalam bangunan saat Della baru keluar dari ruangan genset yang baru saja dinyalakannya. Suaranya sedikit berdengung dan semua peralatan elektronik di tempat ini menyala.
“Masukkan ke dalam dapur aja, Sat... Sebelah sana...” tunjuknya pada sebelah kiri bangunan. Aku membawa chiller itu ke sana. A-Fang ada di sana sedang menata isi kulkas.
“A-Fang...” sapaku.
“Itu isinya minuman kaleng, ya? Bawa kemari, Sat...” pintanya dan kubawa mendekatinya.
“Kalian sudah sering kemari?” tanyaku mulai mengorek keterangan.
“Mm... Lumayan sering... Wa ikut bantu mendesain bentuk villa ini... Asik, kan?” jelas A-Fang memasukkan dan menyusun beberapa kaleng minuman di dalam kulkas berukuran besar ini.
“Temanmu jadi semakin banyak kalau begitu, Fang?” kataku berjongkok di sampingnya.
“Berkat, Satria juga, kan?” katanya menyentuh bahuku dengan tangannya yang dingin oleh es.
“Bagus, deh kalau begitu... Aku mau ambil barang-barang lagi dari atas kapal... Dag, A-Fang...” kataku beranjak pergi dari dapur. Jangan sampai terlihat yang lainnya kalau aku berduaan saja dengan Synvany. Gak enak sama yang lain...
“Eh... Sat... Bantuin angkat kotak ini ke atas...” sergah Nining yang aku temui begitu aku keluar dari dapur.
“Iya-iya...” segera kuangkat kotak yang dimaksudnya. Cukup berat dan aku mengikutinya naik ke lantai 2.
“Nining ikut membantu membangun tempat ini juga?” tanyaku sambil menikmati geyal-geyol pantatnya dari belakang selagi menaiki tangga.
“Semua ikut bantu... Yang ngebangun tukang bangunan, dong... Paling yang masih punya kekuatan si Della, doang... Dia bagian ngancur-ngancurin yang berat...” kata Nining dan kami sampai di lantai 2. Tentu saja, Della masih mempunyai CORE istimewa di tubuhnya dan STONE PUNCH itu sangat kuat.
“Taruh di situ aja...” kata Nining menunjukkan tempat aku harus meletakkan kotak itu di atas lantai.
“Ada banyak kamarnya...” kataku setelah memperhatikan cepat lantai 2 ini.
“Di atas sini ada 6 kamar... dan di bawah ada 2 lagi... Hmm... Kamar Satria... Aku lupa... Coba nanti kutanya sama Aya lagi... Dia yang membagi kamar-kamar...” kata Nining. “Aku turun dulu, ya?” katanya langsung turun kembali lewat tangga.
Kuperhatikan Nining yang menuruni tangga dan kembali hilang di pintu masuk berukuran besar. Lobi villa ini cukup luas dan terang oleh sinar matahari yang masuk dari jendela berukuran besar dan pintu yang dibuka lebar.
Tidak turun, kutelusuri lorong lebar dan tinggi dengan enam kamar yang saling berhadapan itu. Diujung lorong ada balkon terbuka yang menghadap ke halaman belakang luas dan hutan kelapa. Ada tangga kecil untuk turun dari sini.
“Sedang apa, Jess?” tanyaku pada Jessie yang sedang menyusun beberapa benda. “Ada yang bisa kubantu?”
“Tidak usah, Satria... Ini... mau menyalakan briket ini... Kita mau memasak untuk makan siang... Kau lapar, kan?” katanya menolak untuk dibantu.
“Yakin tidak mau dibantu?” kataku mendesak.
“Iya, yakin, Satria... Satria jalan-jalan aja deh keliling pulau... Kau pasti suka tempat ini...” katanyanya malah mengusirku yang mungkin sudah mulai terganggu dengan pekerjaannya.
“OK, deh...” kataku lalu menyingkir. Aku berjalan berputar hingga aku sampai di bagian depan villa kembali. Ada kesibukan juga di bagian depan pulau. Aya, Silva dan Silvi sedang berusaha mendirikan beberapa buah payung pantai berukuran besar.
Kali ini aku tidak menyapa mereka. Cukup melihat saja dari jauh karena sepertinya semua orang di pulau ini punya tugas dan tanggung jawab masing-masing kecuali aku.
“Satria!” panggil Fantina yang baru turun dari kapal Mariana Celecaõ-nya. Ia melambai-lambaikan tangannya supaya aku cepat menghampirinya. Aku berlari kecil di atas pasir putih untuk menyambanginya.
“Ada apa, Fan?” setelah aku mencapainya.
“Kami akan sibuk sebentar disini... untuk berbagai macam persiapan... Lebih baik kau keliling pulau ini dengan jetski... Itu sudah kuturunkan di belakang kapal... Ini kuncinya...” kata Fantina cepat dan menyerahkan kunci kendaraan air yang dimaksudkannya.
“Oh... Ya... Makasih...” kataku bengong. Kirain ada apa aku dipanggil, ternyata karena aku sepertinya mengganggu tugas-tugas mereka. Atau lebih parah lagi kalau aku merusak pemandangan di sini.
Di belakang kapal boat, ada dua buah jetski yang ditambatkan. Kucoba menyalakan jetski yang paling dekat di dermaga dan hidup. Mesin jetski meraung dan aku bergerak menjauhi teluk pulau Airtas.
Kugeber putaran gas jetski ini sampai mentok dan aku melaju di atas gelombang kecil lautan yang tenang. Lalu kukitari pulau kecil ini dengan kecepatan sedang. Semua tepi pulau merupakan garis pantai dengan pasir putih dengan ombak tenang. Bagian tengah pulau agak menjulang tinggi dengan bukit yang ditumbuhi pepohonan sekitar 12-15 meter. Memberi semacam pemecah angin Barat untuk melindungi bangunan yang didirikan di bagian selatan pulau. Ada bebatuan karang di dua sisi pulau yang kurang lebih berfungsi sama sebagai penghalang angin. Pohon nyiur tumbuh subur di sekeliling pulau dengan ketinggian lebih dari 5 meteran. Buahnya tumbuh lebat dan besar. Pasti menyegarkan untuk minum air kelapa mudanya di cuaca terik.
Enak juga kalau snorkeling di pantai dengan air sejernih ini. Tapi aku sama sekali belum mengganti pakaian sekolahku. Masih seragam sekolah putih-abu-abuku yang mulai lembab kena percikan air laut.
Ah. Masa bodo. Gak ada siapa-siapa di sini. Berenang hanya dengan celana dalam aja, siapa yang bakal lihat?
Kutepikan jetski ini sampai naik ke atas pasir pantai. Pakaianku kusampirkan di atas jok jetski dan aku kembali ke air lagi.
Airnya segar dan jernih. Tidak jauh dari pantai aku sudah bisa melihat terumbu karang muda dengan banyak ikan-ikan cantik berenang bebas. Aku tidak bisa berlama-lama menyelam menikmati keindahan terumbu karang karena aku harus naik ke permukaan dan mengambil nafas. Lebih bagus lagi kalau aku bawa kacamata snorkeling dan selang bantu nafas.
Tak terasa aku sudah bermain air beberapa lama sampai aku semakin jauh dari pantai dimana jetski kuparkir. Aku merasa kalau aku semakin mahir menyelam dan menahan nafas.
Wah... Aku sudah punya AQUARIUS. Kenapa tidak kumanfaatkan? Bego banget! Aku sudah mendapatkan ZODIAC CORE ke-11 itu tanggal 9 Februari kemarin dari Maria.
AQUARIUS? Aqua artinya air dan CREATURE FORM ZODIAC CORE adalah mahluk aneh berkepala kodok dan memanggul kendi air di bahunya. Itu pasti mahluk air yang bisa bernafas di dalam air dan bergerak bebas di dunianya.
Bagaimana kalau kekuatan khusus AQUARIUS yang kutetapkan adalah kemampuan bernafas di dalam air dan bergerak bebas di dalamnya? Sempurna!
SUBMERGE dan GILL!
Tubuhku lalu tenggelam secara alamiah dengan SUBMERGE. Bergerak secara natural di dalam air seolah aku adalah mahluk air yang memang terlahir dan besar di dalamnya. Gerakan tubuhku untuk maju dapat dilakukan dengan mudah semudah kalau aku berjalan atau berlari di darat.
Pernafasanku bisa berlangsung dengan ajaib di air! Air yang kutelan sudah seperti udara biasa saja. Gelembung air bersirkulasi di tubuhku dan paru-paruku menyaring oksigen dari air dan mengeluarkannya lewat bukaan insang jadi-jadian dari kedua sisi iga-ku. GILL yang keren, bukan?
“Yuu-huuu!” seruku senang kala meluncur cepat berenang di kedalaman air laut. Beberapa ekor ikan yang berenang cepat mengiringi mencoba mengimbangi kecepatanku. Aku sudah berubah menjadi layaknya manusia ikan dengan pengaplikasian dua kekuatan khusus ZODIAC CORE AQUARIUS.
Meluncur kencang lalu melompat keluar air dan berputar seperti lumba-lumba. Lalu masuk kembali ke dalam air dengan hempasan kuat seperti paus. Menimbulkan riak besar dan sedikit rasa pusing di kepala.
Aku mengambang terlentang di dalam air merasakan segarnya air di sekitarku. Sinar matahari yang menembus densitas air memberikan pancaran cahaya berbagai spektrum. Bergoyang-goyang ritmis ditiup angin seperti rumput gajah di ladang yang lama tak diusahakan.
Tempat ini indah sekali. Airnya terasa manis dan juga enak. Seandainya saja dari sini aku bisa langsung ke Australia, akan kujemput Carrie dan bermain di sini bersamaku. Sayang kalau cuma dinikmati sendiri saja. Memang semua laut berhubungan erat. Kalau aku terus berenang tanpa berhenti terus ke arah Selatan, aku akan memasuki Samudra Hindia, terus berbelok ke Barat, aku akan mencapai pantai Timur Australia pada akhirnya.
“Ya... dan menjadi imigran gelap karena masuk tanpa izin...” candaku ngobrol sendiri saat aku muncul ke permukaan untuk melihat keadaan di atas sini.
“Loh?” kagetku karena lingkungan tempat ini sudah sangat berubah. Sudah sampai mana aku bermain hingga aku muncul di suatu rawa yang asing. Airnya tawar dan cukup jernih. Rerumputan gelagah tumbuh menjuntai di tepian rawa dan pepohonan tumbuh jarang.
“Hei... Aku tau tempat ini?” kagetku lebih-lebih setelah kusadari tempatku berada sekarang. Ini sungai kecil dimana Carrie dan Nicole sering bermain pada liburan musim panas. Aku pernah diajak keduanya ke tempat ini dan kami mandi telanjang bertiga di sini. Air sungai terasa sangat dingin. Mungkin ini sekitar 12-15°C saat ini karena ini sekarang musim gugur di benua terkecil ini.
“Bagaimana aku bisa sampe kemari?” heranku bukan kepalang. Aku keluar dari air dan menepi. Tiba di bebatuan besar dengan sebuah pohon besar di sampingnya. Aku kenal sekali tempat ini. Bentuk batunya, warnanya, teksturnya. Carrie dan Nicole berlompatan ke dalam air sungai kecil dari atas batu besar ini.
Apa yang terjadi? Bagaimana aku bisa tiba-tiba sampai kemari? Apa aku secara tidak sengaja menggunakan satu kekuatan khusus baru? Bagaimana mungkin aku yang sedang berada di lautan di Indonesia sana bisa tiba-tiba muncul di sungai kecil di pedalaman Australia sini.
Aku tadi membayangkan bisa langsung ke Australia sini dan menjemput Carrie untuk bermain air laut dengannya...
Ada yang datang...
Dua orang gadis bersepeda dalam balutan baju hangat. Uap udara hangat mengepul dari wajah keduanya. Aku segera mengenali keduanya sebagai Carrie dan Nicole. Jadi mereka-pun kerap kemari walau cuaca dingin. Aku mengawasi keduanya dari balik pepohonan. Terutama Carrie.
Ia masih sibuk dengan kamera HP-nya. Ia memfoto mode selfie dirinya sendiri atau merekam dengan tongkat narsis-nya (tongsis). Begitu juga dengan Nicole. Sibuk juga mengetik sesuatu di HP-nya. Mungkin sedang bertukar pesan dengan temannya.
Kenapa aku malah ngumpet? Aku bisa saja keluar dan menemui keduanya tapi kemudian kusadari, bagaimana aku menjelaskan keadaanku saat ini? Aku yang hanya memakai celana dalam sedang kumpul-kumpul dengan 9 wanita cantik di sebuah pulau terpencil di hari Valentine begini tanpa memberitahu mereka dan sebuah kecelakaan membuatku terdampar di sini tanpa tahu kenapa? Seberapa masuk akal itu terdengarnya?
“Memang tidak masuk akal, Satria... Logika Carrie sekarang sudah hampir mendekati umurnya seharusnya sekarang... Kau tidak akan bisa menduga pikiran gadis remaja saat sekarang ini...” kata ARC UNDINE alias Andin lewat UNDINE DROP-nya.
“Ya... Itu yang kukhawatirkan juga... Dia bisa tiba-tiba cemburu atau malah marah... Liatlah dia... Pada hari begini ia tidak disibukkan oleh perayaan Valentine. Hanya menghabiskan harinya dengan adiknya di tempat begini. Membuat video pendek dan foto untuk di-posting di sosial media-nya... Hanya agar aku melihatnya... Tapi aku? Bersenang-senang dibelakangnya...” bisikku pada Andin.
“Jadi? Apa yang sedang terjadi saat ini? Apa kau merasa kedinginan? Cuma pakai celana dalam begitu?” tanya Andin.
“Itu tidak masalah... Aku saat ini sedang memakai INSULATION punya BLACK SWAN... Dingin begini tidak masalah bagiku... Masalah utamanya... bagaimana aku bisa tiba di sini?” ujarku bersandar di balik batang pohon besar ini. Bersembunyi dari Carrie dan Nicole di sebelah sana.
“Apa kau yakin tidak menggunakan kekuatan khusus baru secara tidak sengaja? Beberapa CORE istimewamu masih ada yang belum lengkap kau dapatkan semua kekuatannya...” pendapatnya.
“Aku juga berpikir begitu... Beberapa kekuatan khusus yang sekarang kukuasai... juga dulunya didapat secara tidak sengaja... Tapi walaupun tidak sengaja... tetap selalu ada kesadaran saat aku menggunakannya... Ada niat atau keinginan lalu kekuatan dari CORE istimewa tertentu akan diambil untuk melaksanakannya... Tapi ini tidak ada terjadi seperti itu... Begitu keluar dari air... Boom! Aku sudah ada disini... Aneh, kan?” jelasku mengingat runtutan kejadiannya walaupun agak kurang jelas.
“Ada ide yang mungkin terdengar gila... Tapi kau tahu sendiri ada begitu banyak misteri di dunia ini... Kau mau dengar?” kata Andin lagi.
“Apa itu? Coba katakan...” kataku.
“Kau masih ingat SACRED WELL yang dikejar-kejar OSSR dulu?” ujar Andin mencoba membawaku ke beberapa bulan lalu. Petualangan berbahaya bersama organisasi rahasia pimpinan Cyrus dan wakilnya Güthberg. Aku mengangguk tanda masih ingat.
“Bagaimana kalau gerbang yang sejenis dengan SACRED WELL itu yang telah membawamu kemari dari lautan sana?” ungkap Andin tentang teorinya.
“SACRED WELL itu, ya? Masuk akal, sih...” gumamku. “Tapi SACRED WELL yang di data OSSR menuju dunia lain... Seperti juga pohon besar di taman Asri yang menuju VANGUARZH di dunia Mythral dan sumur persegi di daerah puncak menuju negeri asal R’ackt Fayq... Apakah gerbang di tengah laut di dekat pulau Airtas itu terhubung ke sungai kecil disini?” pikirku.
“Itu patut kau coba... Atau kau lebih pilih pulang dengan cara normal—pesan tiket pesawat... Kau tidak bawa apa-apa saat ini dan satu-satunya yang kau kenal disini adalah keluarga Carrie... Atau yang agak ekstrim adalah terbang pulang dengan sayap XOXAM...” kata Andin lebih mirip bercanda yang kelewatan.
“Aku bisa ditembak pesawat tempur Australia kalau terbang tinggi dari sini...” kataku beralasan. Itu bukan pilihan bagus.
“Kau bukan mesin dan radar Australia tidak akan menangkap panas tubuhmu... Kalau begitu semua burung-burung yang bermigrasi dari luar ke Australia akan ditembak jatuh, dong...” sanggah Andin masuk akal.
“Benar... Teori SACRED WELL-mu itu patut dicoba... Bantuin, ya, Din...” kataku pasrah.
Perlahan aku turun kembali ke dalam air dingin sungai di pedalaman Bloomingfield, Perth-Australia ini. Walau tidak begitu dalam, tapi SUBMERGE, GILL dan INSULATION kuaktifkan. Aku menyelam ke dalam air sungai dan kembali ke posisi di mana aku muncul tadi.
“Sedikit ke kiri... Benar... Tepat... Disini posisi pas-nya...” kata Andin memberi arahan posisiku saat kembali muncul ke permukaan tadi.
Yang sangat aku ingat adalah sinar matahari yang menyesap masuk dan menerangi permukaan air bagai selendang sutra yang melambai-lambai. Bagai dawai-dawai yang dipetik lembut. Bak rerumputan gajah di ladang yang lama tak diusahakan.
“Kembali pulang...” gumamku.
“Ada sedikit distorsi... Aku merasakannya! Coba ke permukaan, Satria...” seru Andin merasakan ada sedikit perbedaan di atmosfir.
“Airnya jadi lebih hangat...” sadarku merasakan sekelilingku yang terasa berbeda. Aku berenang ke permukaan. Jaraknya sudah cukup dalam. Tetapi...
“... tidak asin... klorin... Ini kolam renang di rumahku...” sadarku begitu aku sampai di permukaan air. Ini kolam renang indoor yang ada di bawah rumahku. Kolam ini cukup panjang dan sistemnya bergabung dengan kolam renang yang ada di rumah si kembar lima.
“Kenapa sampe kemari, Din?” heranku semakin besar.
“Apa tadi yang kau harapkan? Kau minta spesifik kembali ke pulau itu, kan?” tanya Andin balik.
“Aku minta kembali pulang...” ingatku pada niat yang kuinginkan. Kembali pulang ke pulau Airtas maksudku.
“Apa ini artinya SACRED WELL ini bisa membawa kita kemanapun yang kita mau?” tebak Andin.
“Mungkin saja... Tapi aku harus kembali ke pulau Airtas... Mereka pasti mencariku dan kalau mereka hanya menemukan pakaianku di atas jetski... mereka pasti akan berpikir yang tidak-tidak... Di sana tidak dapat sinyal telepon...” ingatku lalu menenggelamkan diri kembali.
“Jangan salah tujuan lagi, Satria... Kau gak mau berakhir di toilet, kan?” canda Andin jorok menurutku. Hiih...
Cahaya yang kulihat di permukaan adalah cahaya lampu yang ada di langit-langit kolam indoor. Aku secara spesifik minta dikembalikan ke titik SACRED WELL yang sama di dekat pulau Airtas.
“Ini air asin...” sadarku merasakan perubahan viskositas air dan densitas yang bersalinitas segar. Ini air asin yang segar seperti yang ada di air laut dekat pulau Airtas. Aku berenang kembali ke permukaan.
“Itu pulau Airtas...” seruku begitu aku muncul di permukaan air dan menemukan pulau kecil itu mengapung di sebelah belakangku. Jaraknya sekitar satu kilometer dari tempatku berada sekarang. “Wah... Aku bermain airnya sudah cukup jauh ternyata...” Aku mulai berenang perlahan kembali ke pulau Airtas.
“Sepertinya ini tidak cocok disebut sebagai SACRED WELL... Mungkin kita telah menemukan satu anomali alam aneh yang membalik dimensi ruang dan jarak... Karena kita masih tetap di dimensi dunia ini... dan jarak antar tempat jadi kacau seperti ini...” pendapat Andin dengan analisanya.
“Jadi menurutmu ini bukan SACRED WELL?” tanyaku memastikan. Kalau bukan SACRED WELL lalu apa?
“Kalau aku disuruh menamainya... aku akan menamainya Aqua-Micro Wormhole... Lubang cacing Micro di air... Lubang cacing yang sangat kecil... Lokasi dan waktunya acak... Kebetulan saja kau menemukannya di tengah laut ini... Mungkin juga muncul karena terpancing kekuatan SUBMERGE dan GILL yang baru kau gunakan... Tetapi terlalu banyak parameter probabilitas yang harus dihitung dan ditelaah tentang kebenaran teoriku ini... Apa kau tertarik untuk menelitinya?” kata Andin.
“Menelitinya? Mm... Aku tidak mengerti soal penelitian begitu... Biasanya aku menyerahkan soal beginian pada Hellen... Dia selalu tau apa yang harus dilakukan...” kataku tentang kemampuanku. “Karena itu aku selalu perlu untuk bertukar fikiran dengan orang lain... dan selama ini kau orangnya, Din...”
“Apa kau tidak berpikir untuk membentuk tim... Tim yang berisi orang-orang berkemampuan khusus... yang memiliki ketertarikan yang sama... pada hal-hal semacam ini... Hellen bisa menjadi bagian tim itu kalau ia tertarik bergabung...” usul Andin.
“Tim?” gumamku perlahan.
“Benar juga... Aku selalu bekerja sendiri walaupun banyak juga yang menolongku kalau ada hal yang tidak bisa kulakukan...” ingatku kembali pada petualanganku terdahulu. Pernah kami sekeluarga penuh menyerbu kampung yang penuh pendekar tangguh. Semua pendekar itu kami sikat habis dalam semalam. Itu masih tim keluarga. Tanpaku, mereka juga pernah mengacak-acak semua fasilitas OSSR. Anggota utamanya adalah papaku dan Oom Ron. Itu tim yang sangat luar biasa kuat.
“Kalau kau mempunyai tim... berbagai macam hal bisa dikerjakan dengan lebih mudah dan daya jangkaumu akan semakin luas karena dilakukan oleh beberapa orang sekaligus...” jelas Andin akan keuntungan mempunyai tim.
“Tapi itu semua belum krusial memang... Tapi kau harus memikirkan kemungkinan itu di masa depan... Pastinya akan ada banyak hal yang harus dipersiapkan... Antara lain; keuangan, logistik, rekrutmen, tempat bekerja, sumber daya, transportasi dan semacamnya... Ada banyak hal... Itu semua tidak akan bisa dikerjakan dengan gegabah...” jelas Andin secara garis besar saja tentang kebutuhan pembentukan tim tadi.
“Kepalaku jadi tiba-tiba puyeng memikirkannya, Din... Nanti aja, yah kita bicarakan itu lagi...” sahutku karena aku sudah hampir tiba di pantai pulau Airtas dimana jetski itu kuparkirkan.
--------​
“Sudah puas kelilingnya, Sat?” tanya Fantina yang menyambutku di dermaga. Ia masih memakai bikini tadi siang. Juga yang lainnya tetap sama. Minus tanpa pareo lagi. Mereka masuk ke dalam villa dan menghilang di belakang.
“Ya... Aku sudah mengitari pulau ini sampe jauh bahkan...” kataku dan menyembunyikan tentang petualangan kecilku tadi.
“Eh... Makan dulu, yuk... Kau pasti lapar... Udah jam segini...” kata Jessie yang mendekat menyusul Fantina. Ia sepertinya sudah selesai dengan barbeque di halaman belakang. Ada aroma daging panggang dari tubuhnya. Pasti lezat.
“Yuk... Kami memang tinggal menunggu Satria doang...” kata Fantina dan mendorong punggungku agar bergerak.
Di depan villa, tepatnya di atas pasir pantai ada kayu bakar yang ditumpuk. Mungkin nanti malam akan ada acara api unggun. Bertiga kami berjalan bersama ke belakang rumah melewati papan nama peringatan itu kembali.
“Nama pulau ini dari namamu yang dibalik, Satria...” ujar Andin.
“Mm... Apa?” kataku tak terlalu memperhatikan.
“Airtas... Satria...” jelasnya.
Spontan aku berhenti di depan papan itu. Benar! Airtas dibalik jadi Satria. “Namaku...”
“Kenapa? Kamu baru sadar, ya? Dasar lemot!” guyon Fantina menepuk bahuku. Didorongnya lagi tubuhku hingga aku tetap berjalan; tidak berhenti di papan nama pulau itu.
“Tempat ini bisa kau jadikan tempat tim itu berkumpul, Satria...” ingat Andin kembali.
“Nanti aja, deh, Andin... Fantina! Kenapa pulau ini pake namaku, sih?” protesku pada perempuan yang pastinya jadi biang kerok semua ini.
“Ha... ha... ha... Itu bukan ideku sendiri... Waktu itu aku usul pulau ini dinamai pulau Satria sekalian... Ha... ha... ha...” gelaknya. Kami terus berjalan sampai hampir mencapai halaman belakang villa.
“Ada apa? Kenapa kau tertawa gitu, Fan?” tanya Della yang sedang menuang jus ke beberapa gelas dari sebuah teko.
“Si Satria baru nyadar kalau Airtas itu dari namanya yang dibalik... Ha... ha... ha...” Fantina terus tertawa di keramaian ini.
“Itu milih namanya pake voting segala, loh?” kata Nining yang duduk bersama Synvany di sebuah sofa yang sudah disusun berkeliling di halaman belakang ini. Tadi furnitur ini belum ada. Kapan mereka menyusunnya?
“Hasilnya nama Airtas yang paling banyak dipilih sebagai nama pulau kecil ini...” kata Aya yang duduk bertiga dengan Silva dan Silvi yang sedang asik makan daging panggang.
“Tidak apa-apa, Satria... Kan keren kalau ada pulau yang dinamakan dari namamu sendiri...” kata A Fang menimpali. Ia tersenyum lebar hingga matanya menghilang tinggal segaris saja.
“Kenapa kau keberatan, Satria? Terlalu mencolok, ya? Kan tidak terlalu keliatan juga kalau tidak tau sejarahnya... Lagipula nama itu sudah didaftarkan ke pemerintah... Dokumennya sudah masuk dan tidak mungkin diubah lagi...” jelas Jessie sambil memotong-motong daging yang sudah selesai dipanggangnya.
“Pulau ini satu dari banyak gugusan kepulauan yang belum punya nama... Pemerintah juga berterima kasih kita beri nama pulau ini, kok... Kita hanya perlu memperpanjang dokumen kepemilikan pulau ini tiap lima tahun sekali... Fantina udah urus dan bayar 25 tahun sekaligus...” sambung A Fang tentang status pulau ini.
“Mm... Gitu... Ngomong-ngomong... Dagingnya enak... Boleh nambah?” kataku yang mendengarkan penjelasan mereka sambil makan. Kusodorkan piring milikku ke depan. Jessie datang dan membawakan daging tambahan.
“Biasanya... apa saja kegiatan kalian kumpul-kumpul di pulau ini? Tempat ini cukup jauh dari kota kita, kan?” tanyaku basa-basi sambil terus makan. Dagingnya empuk, penuh bumbu dan tidak terlalu manis; sesuai seleraku.
“Ya... Makan-makan begini... Main air... Ngegosip... Bakar api unggun di pantai... Makan lagi... Begadang sambil ngobrol di bawah bintang... Bangun kesiangan... Pulang... Hati riang... Ya begitu...” jelas April merangkum kegiatan mereka kalau sedang berkumpul di pulau Airtas.
“Mm... Asik, ya? Hidup tanpa beban begitu...” kataku masih mengunyah bagian makananku.
“Siapa bilang hidup tanpa beban?... Pulang masih harus kerja... sekolah... kuliah... Ini bagian dari refreshing, Satria...” kata Nining menimpali. “Tapi hidup ini harus dinikmati, kan?” sambungnya.
“Benar... Hidup jadi lebih berwarna begini, loh... Tapi kami gak melulu ke pulau ini terus, kok... Ada kalanya kami pergi ke tempat lain... Ke cafe... ke club... karaoke... salon... shopping... macam-macam, deh...” tambah Synvany setelah disikut Nining.
“Wah... perempuan banget... ke salon... shopping... Untung kalian gak ngajak-ngajak aku ke tempat begituan... Makasih...” kataku yang hampir tersedak makanan dan Jessie memberiku segelas jus dingin.
“Ya makanya Satria gak bakalan diajak ke tempat begituan... Bisa-bisa Satria bete ikut kami ke sana... Kalau di sini asik, kan?” tanya Jessie sebelum kembali ke kursinya. Perhatiannya teralih karena Aya lewat di depannya dan mengambil minuman tambahan.
“Asik, dong... Tempatnya bagus banget... Ini lebih keren dari villa milik keluarga kami yang di pinggir pantai sana... Bisa maen jetski... Berenang sepuasnya... Maen sama ikan sepuasnya... Tempatnya terpencil karena bukan jalur pelayaran dan penangkapan ikan... Top deh...” pujiku pada pilihan tempat ini sebagai tempat berlibur.
“Gini... Hari ini kan hari Valentin, nih... tahun lalu... apa yang kalian kerjakan?” tanyaku sambil terus mengunyah daging panggang.
“Kamu duluan-lah... Tahun lalu ngapain?” balik Della cepat. Rupanya mereka tidak mau memberitahu sebelum aku memberitahu informasi itu.
“Tahun lalu... Ng... Aku gak ngapa-ngapain... Kayaknya waktu itu Valentin jatuh hari Rabu atau Kamis gitu, deh... Tahun lalu aku gak punya pacar jadi aku latihan band sama teman-teman aja...” kenangku tentang Valentine tahun lalu yang biasa-biasa aja.
“Beneran?” sergah Aya dengan nada tidak percaya. “Masak sebelum sama Carrie, Satria tidak punya pacar? Pacar pertama Satria, dong dia?” cecarnya.
“Benar... Apa sih kriteria pacar? Karena secara resmi aku belum pernah nembak Carrie, loh... Belum pernah ada ucapan seperti ‘maukah kau menjadi pacarku?’ atau ‘kita pacaran yok?’ atau semacamnya... Kalau dari pandangan orang lain... mungkin benar Carrie pacar pertamaku, ya?” jelasku.
“Tahun lalu kami datang ke pesta Valentin yang diadakan teman sekolah kami... Tengsin juga datang berdua bukan sama pacar...” mulai kenang Silva tentang Valentine tahun lalunya bersama saudari kembarnya—Silvi.
“Eh... Iya... Aku juga diundang loh, Silva... Tapi aku gak punya cowok... Jadi gak datang... Cuma mewek di kamar...” kata Aya melirik kanan-kiri menunggu yang lain membocorkan kegiatannya saat Valentine tahun lalu.
“Aku nonton TV sinetron romantis di rumah...” aku Jessie mengingat kegiatannya tahun lalu.
“Waktu itu... aku gak ngapa-ngapain juga... Semua gebetanku sedang bersama pasangannya masing-masing... Jadi cuma mencoba menghibur diri sendiri aja...” kata April mencoba mengingat apa yang dilakukannya saat seperti ini tahun lalu.
“Boro-boro Valentin-an... Aku masuk shift malam kayaknya waktu itu... Jadi gak sempet mikirin itu... Hi... hi... hi...” gelak Nining mengingatnya.
“Tahun lalu wa masih punya banyak kelas tambahan... Dan juga aku tidak punya teman... jadi tak ada yang memberi wa coklat atau semacamnya...” kenang Synvany tentang kegiatannya tahun lalu.
“Aku menembak seorang penguasa korup yang sedang dinner dengan selingkuhannya Valentin tahun lalu... Sebaiknya aku tidak menyebut namanya, ya?” kata Fantina tentang aksinya Valentin tahun lalu.
“Sama... Aku juga sedang mengintai targetku... Mereka berpesta di sebuah kabin di tengah hutan pribadi yang diselimuti salju... Ah... hari yang menyenangkan tapi dingin...” kenang Della yang profesinya dulu juga sejenis dengan Fantina.
“Kok kita sama semua, ya? Senasib gitu?” kata Silvi menanggapi semua pengalaman masa lalu kita setahun lalu. “Jomblo-jomblo ngenes! Jones! Kah... kah... kah...” gelaknya sambil memegangi perut yang kenyang.
“Tapi semuanya sekarang tidak lagi... Kita bisa merayakannya bersama-sama... Makan-makan...” kata Nining memegang piringnya yang kosong.
“Eh, Ning... Jangan kebanyakan makannya... Nanti gendut kayak wa dulu, loh?” kata Synvany.
“Kayaknya si Nining makannya banyak tapi gak gendut-gendut, deh, Fang...” sadar April tentang nafsu makan Nining yang termasuk besar.
“He... he... he... Makanku ini udah dikit, loh... Udah gak bisa banyak-banyak... Dikit aja... Maksudnya... dikit-dikit makan...” kata Nining memberi mimik lucu.
“Katanya elo udah jarang ke lapangan... di ruangan terus? Cacingan, ya?” canda Della agak sinis.
“Mungkin juga, sih... Cacingnya Satria... Ha... ha... ha...” tanggapnya tertawa lepas. Mereka semua ikut tertawa terbahak-bahak.
“Apaan, sih? Kok aku dibawa-bawa? Apa aku membuatmu cacingan?” tanyaku tak paham. Lemot karena masih asik makan.
“Satria gak punya cacing... Dia punya anakonda! Kah... kah... kah...” seru Silva menepuk-nepuk sofa yang didudukinya sambil terus tertawa.
“Eh... Serius, nih? Bagaimana kalian bisa kompak ngumpul begini? Terlepas dari urusan emak-emak seperti kalian yang suka arisan sejenisnya... Apa yang membuat kalian bisa bersama?” kataku meletakkan piring makanku yang masih menyisakan beberapa potong daging di atas paha, untuk menegaskan kalau pertanyaanku memang serius
 
Terakhir diubah:
“Satria, dong...” kata A Fang cepat.
“Benar... Satria...” Jessie membenarkan.
Yang lain juga mengangguk membenarkan apa yang dikatakan A Fang sebelumnya.
“Apa urusannya dengan aku? Aku cuma sesekali aja ngumpul rame-rame sama kalian semua...” tolakku.
“Satu hal yang membuat kami sama adalah... pernah kau tolong, Satria... Kami semua pernah kau bantu keluar dari masalah yang kami hadapi... Benang merahnya adalah Satria... Satria tau sendiri masalah berat yang aku dan Della alami... Tanpa bantuanmu... kami tak akan pernah keluar dari lingkaran setan tak berujung... Normalnya keluar dari dunia itu adalah kematian... Tapi kami bisa keluar dengan aman tanpa bisa diusik OSSR lagi...” jelas Fantina panjang lebar. Della mengangguk-angguk setuju.
“Mm?”
“Wa juga tidak akan menjadi seperti ini kalau tidak ada pengaruh Satria... Wa mau berubah demi permintaanmu, kan?” kata A Fang. Mengingat penampilan A Fang yang sangat berubah sekarang. Dari gemuk, kaku dan tak menarik menjadi langsing, luwes dan juga cantik. Enak ngeliatnya.
“Iya... Momok masalahku sudah hilang semuanya... Pikiran jadi terbuka... Masa depan lebih jelas... Pokoknya jadi lebih nyaman, deh...” kata Nining yang disikut A Fang karena terus makan untuk memberi masukan.
“Benar... persis sama, Ning... Aku juga lebih terbuka sekarang... Pekerjaanku sudah mapan... Aku bisa membiayai sekolah Aya dan kuliahku sendiri... Jalan seperti terbuka lebar sekarang untuk apapun...” kata Jessie tersenyum lebar dengan mantap.
“Kuliahku sekarang lebih fokus... Tak ada keinginan untuk bermain-main gila di luar sekarang... Aku hanya hang-out dengan kalian sekarang-sekarang ini...” kata April tentang kegiatannya sehari-hari yang lebih teratur.
“Kita jadi lebih cantik, ya sekarang?” kata Silva pada Silvi—kembarannya menepuk-nepuk pipinya dengan ganjen seolah bersolek, lalu mengibaskan rambutnya yang mulai panjang.
“Betul, Sat... Aku juga lebih fokus sekolah... Aku sering belajar bareng Silva dan Silvi... Mereka pinter banget, loh...” setuju Aya tentang kedekatannya dengan kedua kembar identik itu.
“Ng... Gitu, ya? Bagus, deh... kalian berubah ke... yang lebih baik itu... Jujur aja aku tidak berniat mengubah apa-apa dari diri kalian... Sebenarnya aku ini egois, loh? Benar, kan?” kataku menanggapi pengakuan mereka barusan.
“Egois apanya? Aku gak merasa Satria egois...” kata Della memiringkan kepalanya mencoba menyikapi sikapku.
“Aku... aku mengambil ZODIAC CORE itu dari kalian... untuk kukumpulkan... Kukumpulkan untuk memanggil GOD MAESTER CORE demi menyembuhkan Carrie... Perempuan yang kalian tidak kenal... Carrie yang hilang ingatannya... Itu untuk kepentinganku saja... Tak ada keuntungan bagi kalian sama sekali...” kataku menjelaskan keegoisanku ini.
“Tidak Satria... Besar keuntungannya bagi kami... Kenal denganmu itu sudah satu keuntungan besar... Apalagi bantuan yang tadi kami sebutkan... Itu keuntungan yang lebih besar lagi... Dan yang terbesar adalah... kami sempat merasakan cintamu... Walau kami tau pasti kalau cintamu yang sebenarnya adalah untuk wanita lain... Tapi itu cukup kok...” kata Nining sampai perlu berdiri untuk mengatakan hal yang cukup mengejutkan itu.
“Jangan besar kepala dulu, Satria... Aku akui... Kami akui kami mencintaimu... Cukup sampai taraf inilah kami bisa berharap... Mimpi-mimpi memang ada... Keinginan kuat untuk yang lebih pasti ada... Tapi cukup segitu saja... Seperti yang dikatakan Nining tadi... kami sempat merasakan cintamu... Rasanya indah dan hangat... Aku pribadi tidak akan lupa... Cukup segitu saja...” kata Fantina dari duduknya di sofa.
“A-aku tidak bisa berkata apa-apa...” lidahku seperti kelu mendengar pengakuan jujur mereka. Penjelasan Nining dan Fantina cukup mewakili perasaan mereka semua. Aku tidak bisa memberikan kebahagian lebih pada mereka semua. Tidak bisa lebih dari ini. Sebuah kenangan. Kenangan saat kebersamaan kami saat itu saat aku sedang berusaha mendapatkan ZODIAC CORE dari mereka sebulan itu.
Aku hanya bisa bersandar di sofa dan mengingat apa-apa saja yang telah kuperbuat pada mereka semua. Kilatan-kilatan kenangan dalam pita-pita memori silih berganti dalam ingatanku. Sedih, lelah, gembira, duka, bahagia, marah, tangis, senyum, puas, kecewa dan harapan...
--------​
Sore ini aku sudah berganti pakaian. Seragam sekolahku sudah lusuh oleh bau apek dan keringat dari berada di pulau tropis yang panas ini; berganti dengan kaos oblong dan celana boxer selutut. Aku, Silva, Silvi dan Aya bermain air laut di pantai di sekitar teluk.
Si kembar identik berkejaran di pantai sambil menendang-nendang air satu sama lain. Aya ikut bergabung dan menyiram dengan tangan. Malah dia yang dikeroyok keduanya hingga bergulingan di pasir pantai. Ia diseret keduanya ke air lalu diceburkan. Jeritan-jeritan ganjen ketiganya membuat suasana lebih berirama ceria dari pada suara debur ombak kecil di pantai berpasir putih ini. Aku menyingkir menjauh.
Sementara yang lain menggelar tikar dan kursi pantai di pasir. Tidur-tiduran atau hanya berbaring menikmati matahari sore. Jessie dan Della mengatur ulang susunan kayu bakar yang ditumpuk di pasir pantai. A Fang dan April mencoba membangun sebuah istana pasir yang selalu kekurangan air karena terlalu rapuh. Sedang Nining masih ngemil sebungkus keripik kentang dan sekaleng minuman soda di atas kursi pantai. Sementara itu Fantina berbaring di atas tikar dan menutupi mukanya dengan sebuah topi pandan lebar; mungkin tidur.
“Apinya bakalan besar, nih, Dell?” sapaku berusaha membantu Della dan Jessie mengatur kayu bakar.
“Harus besar... Kalau tidak gak akan meriah malam ini...” jawab Della. Kayu balok disusun berbentuk persegi saling tumpuk sampai beberapa tingkat dan di tengahnya dimasukkan ranting-ranting kayu berukuran kecil.
“Iya, Sat... Memang biasanya sebanyak ini... Bisa sampe pagi tahan api unggunnya...” jelas Jessie yang banyak bertanggung jawab pada masalah api dan sejenisnya.
“Jess... Ambilin Satria minuman... Dia kayaknya banyak berkeringat, tuh...” kata Della mengalihkan pembicaraan. “Biar kami yang terusin susun kayunya...”
“Bentar, ya?” kata Jessie menepuk tangannya agar kotoran bersih dari telapak tangannya dan beranjak masuk ke dalam villa untuk mengambil minuman.
“Begini, kan?” pastiku agar sesuai susunannya. Aku ikut menumpuk kayu balok di seberang Della, bantu-bantu sebisanya.
“Ya... Begitu... Mm... Satria...? Boleh ngomong sebentar?” kata Della dari seberang sana. Nadanya agak serius dan suaranya agak pelan. Memang sikapnya selama di pulau Airtas ini agak berbeda dari biasanya. Seperti ada yang dipikirkannya.
“Boleh... Ada apa?” kataku cukup tanggap dengan hal begini.
“Bisa kita ngobrol di belakang villa aja?” ujarnya perlahan.
“Mm... Ya... Aku akan menyusulmu... Jalan duluan, deh...” kataku. Mungkin dia tidak enak kalau hanya berduaan saja denganku tanpa teman-temannya yang lain.
Della pergi masuk ke villa dengan alasan mau mengambil minuman juga dan tak lama aku menyusul. Di halaman belakang villa yang tak berpagar, langsung menyatu dengan perbukitan kelapa dan pohon semak; kulihat sekelebatan gerakan Dellayani alias Angel alias Rei Men-Hwa.
“Di sebelah sini, Satria...” terdengar suara berbisik yang cukup jelas kudengar. Della ada di balik sebatang pohon kelapa yang menjulang tinggi. Ada banyak semak di dasar akar pohon ini.
“Ada apa, Dell?” kataku ikut-ikutan berbisik.
“Mm... Gini, Satria... Aku mau minta tolong... Tapi bantuanmu ini hanya bisa kau lakukan bulan Mei nanti...” kata Della memulai memberitahu maksudnya.
“Bulan Mei? Apa kau mau aku mengambil CORE istimewa seseorang di bulan itu? Eh... Tunggu! Ulang tahunmu bulan Mei, kan?” ingatku.
“12 Mei tepatnya, Satria...” lanjutnya menekankan pada bagian tanggalnya.
“Apa kau tidak membutuhkan kekuatanmu itu lagi? Kau mau melupakan semua masa lalumu? Termasuk kekuatanmu itu?” korekku. Aku harus tahu motifnya juga.
“Aku akan segera menikah, Satria...” katanya cepat.
“Menikah? Wow! Selamat, Dell? Beneran?” kagetku. “Dengan siapa? Kok aku gak pernah tau? Apa Fantina tau?” berondongku. Aku cukup penasaran.
“Dia pacar Dellayani yang sebenarnya... Namanya Valdo... Waktu kuputuskan saat itu... dia tidak rela... Ia pria yang baik... Dia berjuang untuk mendapatkan Della kembali...” kisahnya dengan singkat. Pastinya kisahnya akan sangat romantis dan penuh perjuangan. Pastinya di pihak si Valdo itu tadi.
“... dan dia mendapatkan Mei Ren-Hwa tanpa dia sadari...” simpulku. Karena masalah ini ia terlihat berbeda.
“Yah begitulah... Baru kau, Satria... yang kuberitau masalah ini... Tapi mungkin Fantina-pun sudah tau... Dia masih pembunuh nomor satu dunia... Masalah seperti ini tidak akan bisa disembunyikan lama-lama darinya...” jelas Della.
“Jadi kapan kalian menikahnya?” tanyaku. “Secepatnya atau tunangan dahulu?”
“Valdo sudah memberiku cincin... Rencananya akan dilangsungkan bulan Juni mendatang...” bebernya malu-malu. Bisa juga dia tersipu malu seperti itu.
“Kau yakin tidak memerlukan CORE istimewamu itu selamanya? STONE PUNCH-mu itu sangat kuat, loh?” pastiku sedikit menggodanya. Kemampuan utamanya adalah bisa menyembuhkan dirinya yang terluka juga tidak bisa mati kecuali dilumpuhkan pada titik vitalnya yang berada di kening antara dua matanya.
“Aku sudah tidak memerlukan itu semua lagi... Seperti juga Fantina yang tidak memiliki CORE SAGITTARIUS itu... Dia baik-baik saja tanpa itu semua, kan?...” jawabnya mantap.
“OK... Tidak masalah buatku kalau harus mengambil CORE istimewa milikmu... Aku akan ikut berbahagia denganmu kalau kau bahagia, Della...” kataku setuju dengan keinginannya.
“Makasih, Satria...” katanya merangkulku erat. Tangannya melingkar kuat di bahuku. Ditekankannya seluruh tubuhnya padaku sebagai tanda terima kasih tulusnya.
“Kenapa, Della? Jangan emosional begitu, dong...” kataku merasakan getaran tubuhnya. Ia tak mau melepaskan dekapannya. Kubiarkan ia tetap memelukku. Kubelai rambutnya yang halus dan harum.
“Aku tak pernah menyangka akan mengalami ini... Ini seperti mimpi saja...” bisiknya.
“Mimpi bagus atau buruk?” tanyaku lebih mirip godaan.
“Mimpi paling indah...” jawabnya jujur. “Kalau kau hidup di dunia kami dulu... Menikah dan memiliki keluarga adalah hal yang mustahil... karena hidup kami selalu konstan dalam bahaya dan siaga... Menikah adalah impian normal tiap anak perempuan tetapi selama pendidikan akademi OSSR... impian itu harus dibuang jauh-jauh...” bisik Della terus.
“Dan kau mendapatkan impian yang paling indah itu...” simpulku tetap di erat pelukannya.
“Terima kasih padamu... Tak akan habis hutang budiku padamu... Aku hanya bisa memberikan CORE istimewa milikku ini padamu... Ini akan jadi ucapan terima kasihku yang terbesar... karena walau semua uangku kuserahkan padamu... itu tidak akan cukup...” katanya melonggarkan dekapannya dan wajah kami berhadap-hadapan.
“Baiklah... Aku terima... Duit juga aku terima, kok?” kataku bercanda.
“Keluargamu kaya raya... Kau masih butuh duit?” selidik Della.
“Itu duit papaku... Aku mana pernah punya duit sendiri...” kataku berdalih. Semua kemewahan yang kupunya adalah pemberian orang tua jadi kurasa tak ada yang perlu kubanggakan dari sana.
“Satu juta dollar cukup?” tawarnya tiba-tiba.
“Wow? Banyak banget? Becanda, Dell... Aku gak benar-benar minta duitmu, kok... Becanda-becanda...” tolakku.
“Gak pa-pa, Satria... Tabunganku ada banyak... Tabungan Fantina malah lebih banyak...” desak Della agar aku menerima uangnya.
“Yah... Untuk keluargamu nanti... Pesta pernikahanmu... Anak-anakmu... Masa depanmu...” kataku terus menghindar.
“Ah, Satria... Kau terlalu berpikir jauh... Masih sisa banyak banget kalau aku cuma ngasih kamu satu juta dollar... Pokoknya nanti akan kutransfer ke rekeningmu...” Della terus mendesak.
“Aku belum punya rekening tabungan, ding... KTP sama SIM aja baru buat...” ngeles-ku terus.
“Nanti aku bikinin... Gampang...” putus Della.
--------​
Gimana, ya rasanya punya duit jutaan dollar begitu? Kalau dikonversi ke rupiah berapa, ya? Banyak, deh pokoknya.
“Eh... A Fang? Mau makan?” sapaku saat bertemu ia lagi di dapur. Ia akan membuka kulkas.
“Satria?... Bukan... Wa cuma bisa makan sedikit tadi... Tau sendiri, kan gimana badanku yang gampang melar ini...” candanya. “Wa cuma mau ambil teh Oolong ini... Ini bagus untuk pencernaan dan peredaran darah... Cobain, deh?” katanya setelah mengambil dua kaleng minuman itu dari dalam kulkas.
“Gimana klub fotografi-mu, A Fang?” tanyaku sebelum membuka penutup kaleng itu.
“Baik... Mau liat hasil foto wa? Sayangnya wa lagi gak bawa kamera... Di Airtas tidak boleh bawa gadget apapun... Peraturan kalau sedang di pulau Airtas begitu, Sat...” jelasnya.
“Ooh... Begitu? HP-pun gak boleh?” tanyaku lagi.
“Gak ada juga sinyal telepon di pulau ini, loh... Satu-satunya alat komunikasi di villa ini adalah telepon satelit di lobby dan satu lagi adalah radio di atas kapal Mariana Celecaõ... Jadi yang ada di pulau ini harus bisa bersenang-senang tanpa gangguan gadget apapun...” lanjutnya mengenai alasan peraturan itu.
“Ooh...” pahamku. Aku membayangkan kalau mereka pasti sudah pernah berenang di pantai tanpa pakaian sepotongpun. Itu pasti liar sekali. Hi... hi... hi...
“Pencarian ZODIAC CORE Satria gimana? Tinggal satu lagi, kan?” tanya A Fang. Ia melompat naik dan duduk di atas meja keramik di samping tempat cuci piring. Kakinya yang terekpos terbuka, hanya memakai bikini–diayun-ayunkannya dengan rileks.
“Ya... Tinggal satu... PISCES... Nanti akan mulai tanggal 19 Februari...” jelasku.
“Bagus, deh... Semoga berhasil, ya Satria...” katanya lalu menegak teh Oolong kalengan itu. “Sekolahmu gimana? Lancar?” tanya A Fang lagi.
“Biasa aja?” jawabku pendek. “A Fang gimana? Masih ikut bimbingan belajar itu, kan?” tanyaku membalas.
“Masih... Ada tambahan lagi... Wa mo ikut kelas persiapan selama 4 bulan untuk masuk Universitas di Amerika...” jelasnya tentang kegiatan barunya.
“A Fang mau kuliah ke Amerika?” kagumku. “Keren, Fang... Pake kelas persiapan dulu, ya?” tanyaku tak paham.
“Ya... Karena sistem pendidikan di sana, kan beda sama dengan di negara kita... Jadi kelas persiapan ini adalah untuk memperkenalkan sistem dan apa yang menjadi ketinggalan calon mahasiswa tersebut... Semester di sana mulai bulan September jadi wa harus bersiap mulai sekarang...” katanya menjelaskan dengan singkat cara kerjanya.
“Bentar lagi kita akan lulus SMA... Tinggal beberapa bulan lagi saja... Gak terasa, ya?” kataku teringat sekolahku yang sekitar beberapa bulan lagi akan kutinggalkan.
“Apa rencanamu Satria? Setelah lulus?” cetus A Fang.
Aku terdiam untuk beberapa saat untuk mengingat apa rencanaku setelah tamat SMA ini. Dan gawatnya aku baru sadar kalau aku sama sekali tak punya rencana.
“Mungkin kuliah...” jawabku asal-asalan.
“Kok mungkin?” heran gadis keturunan Tiongkok cantik itu. “Apa Satria tidak punya rencana apapun setelah SMA ini? Apakah cukup hanya dengan mendapatkan semua CORE itu... Satria puas? Tidak ada rencana jangka panjang?” cecar A Fang. Keningnya berkerut-kerut serius dan khawatir sekali.
“Begitulah, Fang... Aku tidak boong... Tapi itu kenyataannya... Aku sadar... aku anak laki-laki satu-satunya orang tuaku... Pasti mereka berharap kalau suatu hari nanti aku akan melanjutkan perusahaan yang mereka miliki sebagai penerus... Tapi mereka tidak pernah mendesak atau memaksaku nanti harus kuliah ini... kuliahnya di sini... selesai kuliah kerja di sini... Tidak pernah... bahkan mereka merestuiku mengumpulkan semua ZODIAC CORE ini...” jelasku pada A Fang.
“Orang tuamu sangat-sangat asik... Begini...” katanya mengacungkan dua jempolnya. “Wa pernah baca profil papamu di majalah bisnis... Ia mengembangkan perusahaan yang diwarisinya menjadi multi konglomerasi dengan bekerja keras dengan saudara kembarnya; Oom-mu... Mereka berdua menjadi duo pengusaha tangguh yang membanggakan negeri ini... Apalagi mamamu... Wa sangat mengagumi etos kerjanya... Dia tidak canggung berada di bisnis keras perminyakan... bersaing dengan mayoritas laki-laki kebanyakan di bisnis itu... Tapi bisa membebaskan anak laki-laki semata wayangnya untuk melakukan apa yang dikejarnya...” kata A Fang membanggakan.
“Dan karena itu Satria... kau juga harus berjuang keras... Tidak ada kata terlambat untuk memulai... Jadilah anak yang membanggakan kedua orang tuamu! Berbaktilah dan belajarlah dengan tekun... Takdirmu ada banyak, Satria... Satria tau pasti apa yang wa maksud... Wa sudah mendengar banyak kisahmu dari teman-teman lain... Takdirmu menjadi orang yang hebat... Orang hebat-pun harus berjuang... Harus belajar dari kesalahan... dari kegagalan... dari sekitarnya... Dari kami-kami... Kamu paham, kan apa yang wa bicarakan?” tutupnya dengan memegangi kedua pipiku.
Pipiku terasa hangat oleh tangannya.
“Makasih A Fang atas pencerahannya... Pikiranku lebih terbuka sekarang...” jawabku dan memegang kedua tangannya yang masih memegang pipiku.
Senyumnya mengembang lebar, senang mendengar jawabanku.
“Matamu makin sipit kalau senyum-senyum begitu, Fang... Tinggal segaris...” olokku begitu ia melepaskan tangannya.
“Aaa... Satria jelek!” serunya manja.
Aku terus mengolok-olok matanya kalau pipinya masih terlalu tembem dan menarik garis matanya menjadi sipit. Aku menyarankan operasi plastik saja. Ia mencubit lenganku.
--------​
Di pantai di sepanjang teluk; Aya, Silva dan Silvi masih bermain air. Kali ini mereka bermain jetski. Aya berboncengan dengan Silva dan Silvi sendirian. Kedua jetski itu dipacu berputar-putar dan saling adu kecepatan.
Kayu bakar untuk api unggun sudah tersusun setinggi 1.5 meter. Cukup untuk menyala sampai pagi prediksi Jessie.
Sebuah istana pasir berdiri cukup megah untuk ukuran bangunan amatir. Itu karya seni kolaborasi A Fang dan April tadi. Nining masih di kursi pantai tadi menonton balapan jetski ditemani cemilan dan soda kaleng. Fantina tiduran di tikar dengan penutup wajah sebuah topi pandan lebar.
Kuhenyakkan pantatku di pasir pantai di antara Nining dan Fantina. Nining menawarkan sebungkus besar keripik kentang.
“Gimana kabar Sari dan Titik?” tanyaku saat merobek bungkus keripik kentang itu.
“Sehat... Mereka titip salam kalau ketemu kamu, Satria...” jawabnya tentang kedua teman sekamar kos-nya.
“Bagus, deh... Udah punya cowok mereka, ya?” kataku.
“Loh, kok tau kamu?” heran Nining tapi terus mengunyah cemilannya sampai berderak kriuk-kriuk.
“Aku liat dari Facebook-nya... Fotonya sama cowok melulu... Statusnya cinta-cintaan terus... Huuh...” jawabku.
“Oo... Pantesan tau... Aku gak ditanyain?” pancing Nining.
“Mm... Apa kabar, Nining? Dah punya cowok belum?” tanyaku ikut permainannya.
“Kabar baik, Satria... Belum punya... Kenapa? Mau jadi cowokku, ya?” katanya menggoda.
“Nanti ada yang marah?” terusku bermain.
“Siapa, ya?” sahut Nining sambil mengetuk-ketuk dagunya dengan jari telunjuk.
“Tin-tong... Jam menunjukkan pukul 5 sore... Harap minum obatnya... Tin-tong...” kata terus bercanda dengannya.
Alhasil Nining tertawa-tawa mendengar candaanku tentang mantan tunangannya yang telah diputuskannya; Tinto.
“Bising!” seru Fantina yang tiduran di sebelahku satu lagi. Dipukulkannya topi pandan lebar itu ke bahuku. Ia bangkit dan duduk di atas tikar. Ada gadget kecil di belakangnya dan headset dengan kabel panjangnya. Kukira tidak boleh ada gadget di pulau ini. Fantina mendengar musik dengan alat itu?
Karena silau oleh matahari sore, dipakainya kaca mata hitam yang dikaitkannya di belahan dada bikini miliknya. “Ganggu orang tidur aja... Bising tau?” katanya memperhatikan sekelilingnya.
“Della masih di belakang, Sat?” tanyanya karena tidak melihat Dellayani di mana-mana.
“Mungkin...” jawabku pendek.
“Di dekat bukit kelapa?” pastinya.
Aku mengangkat bahu pertanda tidak tahu pasti.
“A Fang di dapur?” tanyanya lagi.
“Mungkin juga...” kenapa dia bisa tahu semua? Apa gadget yang dipakainya itu sejenis alat penyadap? Kuberi kode dengan dagu, menunjuk gadget seukuran handphone itu.
Fantina dengan santai meraih benda itu, menyelipkannya ke balik pahanya dan bersiul-siul. Wah... Dia pasti sudah mendengar semua pembicaraanku dengan Della dan A Fang.
Kulirik Fantina dengan pandangan sinis. Dia belagak cuek dan malah menyambar bungkus keripik kentang dari tanganku.
“Eh... Begitu matahari terbenam... Kita mulai nyalakan api unggunnya...” kata Fantina bangkit dan melambai-lambai pada Silvi yang masih bermain jetski. Ia minta dibonceng ikut balapan. Sebelumnya ia berbalik dan menempelkan jarinya di bibir pertanda tutup mulut padaku.
“Huh!” dengusku.
“Apa maksudnya... begini?” tanya Nining yang melihat kode jari di bibir Fantina tadi. Ia merapatkan tubuh bohay-nya padaku yang hanya memakai bikini.
“Entah... Mungkin supaya jangan bising-bising kalau mau pacaran... Nanti ketahuan yang lain...” sambungku bercanda lagi.
“Wah... Sudah direstui kayaknya...” kata Nining ceria dan menggamit tanganku, menyandarkan kepalanya di bahuku.
“Mas... Kayak bulan madu, ya...?” godanya.
“Ha... ha... ha...” gelakku gak tahan dengan candaan tingkat tinggi milik Nining ini. Ia pernah menyatakan padaku kalau ia rela menjadi istriku yang nomor keberapapun. Dan ia tetap konsisten dengan keinginannya itu sampai sekarang.
“Nanti anak kita berapa, ya mas?” lanjutnya tak cukup sampai di situ saja. Dielus-eluskannya pipinya ke lenganku. Hangat dan geli.
“Ya, Nining... Masih begitu juga, ya?” tanyaku tak sampai hati. Aku sampai sekarang tidak tahu pasti apa aku bisa punya anak. Virus aneh ini kuyakin memangsa semua bibitku.
“Masih dong... Mereka semua juga gitu, kok... Kami iseng-iseng pernah buat undian siapa yang jadi istri nomor berapa... Aku dapet nomor 3... Nomor satu si Della... Nomor dua si Jessie... Dengan catatan semua akur-akur... Gak rebutan... Sesekali maen bareng... Satria adil, kan?” kata Nining membocorkan kegiatan rahasia mereka yang baru kali ini kutahu.
“Ah... Kalian ada-ada aja mainannya... Masa begituan dibuat undian, sih?” khekiku mendengarnya.
“Masa bodo... Pokoknya aku jadi istri Satria nomor 3... Nomornya udah ku-booking... bayar DP dan cicilan bulanan tidak pernah nunggak... Titik!” tegasnya. Antara bercanda dan serius kini batasnya tidak jelas.
“Yah... Pusing, deh...” kataku masygul.
--------​
Kami bersama-sama menyaksikan matahari tenggelam yang perlahan hilang ke dalam lautan luas. Langit menjadi jingga oleh spektrum bias sinar Raja Siang yang beranjak ke peraduannya.
Angin laut yang semilir menambah suasana yang menyenangkan. Aroma laut yang segar, sunset yang agung, teman-teman yang menyenangkan dan Valentine.
Kesempatan ini, bir botolan mulai beredar. Jessie bahkan membiarkan adiknya, Aya untuk minum juga. Sepertinya mereka sudah sering melakukan ini–minum alkohol di malam hari.
Denting botol-botol bir terdengar nyaring meningkahi suara gemeretak kayu yang mulai terbakar. Tak lama kemudian, api mulai membumbung tinggi dari susunan balok kayu yang disusun bertumpuk. Pantai di dekat teluk kecil ini menjadi terang benderang karenanya. Mengalahkan lampu yang juga menyala di dalam villa.
Perbincangan kini mulai terasa sangat santai dan ringan. Tawa dan canda adalah hal lumrah. Bahkan lebih dari yang sudah-sudah.
Sofa yang tadinya ada di halaman belakang villa kami pindahkan ke pantai untuk lebih menyamankan kumpul-kumpul ini. Beramai-ramai kami mengangkatnya ke pantai. Kami semua duduk berkumpul di sofa kembali menghadap api unggun.
Ada lima buah sofa yang dibawa ke pantai; dua berukuran besar, satu ukuran sedang dan dua ukuran kecil. Paling ujung sebelah kanan diduduki April, A Fang dan Nining, kedua yang terbesar diduduki Aya, Silva dan Silvi. Dua buah sofa kecil diduduki Della dan aku dan satu berukuran sedang diduduki Fantina dan Jessie. Terasa hangat karena langsung menghadap api unggun yang berkobar besar.
Sambil memanggang marshmallow, sosis dan ikan. Tertawa-tawa karena main tebakan, permainan hom-pim-pa, Truth or Dare.
--------​
“Truth or dare?” mulai giliran Fantina melawan Jessie.
“Mm... Truth!” pilih Jessie. Permainan ini adalah permainan kejujuran atau keberanian. Bila Truth yang dipilih, ia harus menjawab dengan jujur apapun yang ditanyakan padanya dan bila memilih Dare; ia harus melaksanakan apapun tantangan yang diberikan padanya. Adapun hukuman kalau gagal melakukan kejujuran Truth atau tantangan Dare adalah lari bugil keliling pulau Airtas ini. Seram...
“OK... Jawab yang jujur, ya? Kenapa kamu selalu membawa kondom kemana-mana? Udah main sama siapa aja? Selain Satria, loh?” tanya Fantina yang rupanya penasaran dengan kebiasaan Jessie ini yang selalu membawa kondom.
Mereka semua tertawa-tawa mendengar pertanyaan Truth dari Fantina untuk Jessie ini. Tapi aku juga pengen tahu karena Jessie-lah yang pertama kali memperkenalkan kondom padaku.
“Jujur, nih ya... Aku gak pernah main sama laki-laki lain selain Satria... Tapi aku selalu membawa minimal satu kotak kondom ini untuk jaga-jaga aja... siapa tau Satria datang... Jaga-jaga loh...” jawabnya mudah-mudahan jujur.
“Makanya minum pil aja... Ngecrot di dalam lebih enak, loh... Ha... ha... ha...” gelak April sampai bahunya terguncang-guncang.
“Aku takut gendut... Iya, kan Fang?” kata Jessie mencari dukungan dari A Fang yang juga tertawa-tawa sambil menenggak ringan botol birnya.
“Wa... wa gak pernah minum pil itu... Kalau wa hamil pasti bapaknya Satria, kan? He... he... he...” tertawa lepas A Fang sampai miring karena digencet Nining.
“Wah... Ide bagus itu... Siapa yang duluan hamil jadi istri pertama Satria, yuk?” kata Nining semangat 45 mendapat ide itu. Melupakan undian mereka yang lalu atau tepatnya mengabaikannya.
“Heh! Kalian ngomong apa? Aku ini masih kecil... Mau aku kasih makan apa kalau aku sudah punya anak umur segini?” sergahku jengah. Ada-ada aja.
“Masih kecil apaan? Kontolnya segede itu... Kah... kah... kah...” seru Silva. Mereka kembali tertawa riuh mendengar kata-kata Silva barusan.
“Betul itu... Satria juga selalu ngecrotin aku di dalam... Tetapi kenapa gak ada yang hamil, ya? Beruntung banget dia...” kata Fantina. Iya benar juga. Mereka selalu membiarkanku ejakulasi di dalam liang kemaluannya dengan rela tetapi tidak pernah ada laporan kehamilan.
“Apa benar, Satria? Gak ada yang hamil?” tanya Aya penasaran dan ingin tahu jawabanku.
“Sampai saat ini belum ada, sih... Tapi kemaren dulu ada yang juga pengen dikawinin sama aku karena dia kira bisa langsung hamil karena hari itu... masa suburnya... Sampe pake periksa ke dokter kandungan... periksa sperma segala... Toh dia gak hamil juga...” kisahku pada pengalaman laluku.
“Siapa orangnya? Apa kami kenal?” tanya April penasaran dengan keberanian wanita itu.
“Artis K-Pop Korea... Mungkin ada yang pernah dengar nama girlband 3 Versus 3... Salah satu personilnya...” kataku menjawabnya. Mungkin Silva, Silvi dan Aya tahu girlband ini.
“3 Versus 3? Mereka cukup terkenal di sana... Yang mana orangnya?” tanya Aya yang ternyata benar tahu.
“Namanya Hyun Jun Rae... Kau kenal?” tanyaku pada Aya.
“K-Pop Mania pasti kenal... Kembarannya Hyun Jun Sul... Mereka berdua bintang yang paling terkenal diantara yang lainnya... Yang si-Hyun Jun Rae-nya, ya... yang minta kau kawini?” jawab Aya.
Aku hanya perlu mengangguk.
“Gokil... Satria maennya sampe sama artis K-Pop segala... Kenalan dimana sama Hyun Jun Rae? Dia kan terkenal banget... Cantik lagi...” kata Silvi yang juga K-Pop Mania.
“Aku maen sama mereka semua... Enam-enamnya sekaligus... Untungnya cuma Hyun Jun Rae yang minta kawin...” jelasku mengaku. Kenapa aku terpengaruh permainan Truth or Dare mereka, ya?
“Serius, lo? Maen sama mereka semua?” kaget Silva sampai melonjak dari tempatnya duduk. Silvi dan Aya yang duduk di sampingnya sampai ikut kaget dan mengurut dada.
“Apa kalian gak tau kalau sebelum jadi bintang K-Pop mereka lebih dulu jadi bintang bokep? Genre-nya Semi, sih...” jelasku. Dan untuk beberapa lama perbincangan mengalir seputar girlband Korea Selatan itu.
“Terusin mainnya?” kata Jessie yang penasaran dengan kelanjutan permainan Truth or Dare tadi. Ini giliran ia menantang April.
“Yuk... yuk...” sahut semua setuju dan menghentikan menanyaiku tentang 3 Versus 3, karena hanya ketiga gadis remaja itu; Silva, Silvi dan Aya yang paham.
“April? Truth or Dare?” mulai Jessie pada April yang duduk di samping A Fang.
“Ng... Dare aja, deh...” pilih April.
“Bagus... Berani kamu, ya?” ketus Jessie yang sepertinya mulai sedikit mabuk dengan menghabiskan dua botol bir yang hanya berkadar alkohol 5%. Gimana kalau ia minum yang lebih berat? Bisa strip tease di tengah jalan mungkin dia.
“Bulu jembutmu sekarang juga harus dicukur!” seru Jessie semangat sekali. Entah dimana ia menyimpannya, tiba-tiba Jessie sudah mengacungkan sebuah pisau cukur berwarna pink.
“Whaa... haaa... haa...” gelak semua orang di pantai ini kecuali April yang terperangah kaget, tidak percaya ditantang melakukan hal itu.
“Cu-cukur sendiri atau dicukuri?” tanya April tidak mau melanggar peraturan permainan ini. Karena ia sudah memilih tantangan Dare, ia harus sportif dan melakukan tantangan apapun itu.
“Kita tunjuk pake botol kosong!” seru Aya dengan ide bagus. “Siapapun yang ditunjuk botol ini... yang akan mencukur jembut April... Setuju?” seru Aya sambil memegang sebuah botol bir kosong miliknya.
“Setuju!” seru semuanya termasuk April bahkan.
Sebuah meja kecil menjadi bidang datar di atas pasir pantai di tengah lingkaran sofa untuk memutar botol bir kosong sebagai penunjuk eksekutor pencukuran jembut April. Jessie yang akan memutarnya.
Diputar dan botol kosong itu berputar bersumbu di bagian tengahnya. Bagian atas botol bir kosong itu sebagai tangan penunjuk.
Dan menunjuk... Sialnya padaku.
“WHOOO-HOOO!” seru semua orang girang sekali.
“Satria yang nyukur!” seru Jessie girang sekali mendapati aku yang ditunjuk botol bir kosong itu. Ia menunjuk-nunjuk padaku.
“Cukur! Cukur! Cukur!” seru mereka kecuali April yang mempersiapkan dirinya. Ia melepaskan bawahan bikininya yang berupa CD seksi berwarna pelangi dan duduk menekuk kaki sambil ditahan kedua tangannya di atas sofa. A Fang bahkan tertawa terbahak-bahak tak tahan lagi melihatnya. Berkali-kali ia mengintip bukaan kemaluan April yang terbentang lebar.
Jessie menyerahkan pisau cukur khusus wanita berwarna pink dan sebuah penyemprot Shaving Cream. Sebenarnya ini sudah pernah kulakukan beberapa kali dan sayangnya tidak pernah seramai ini penontonnya.
Rambut pubic April tidak begitu lebat dan tidak bisa dikatakan jarang juga. Bagian dalam vaginanya terlihat mulai lembab dan klitorisnya mulai membengkak. Apalagi bagian liang senggamanya yang berkedut-kedut. Ia mulai terangsang.
Aku berjongkok di depan bukaan kaki April dan langsung saja yang lainnya merubungiku seperti lalat pada bangkai. Kusemprot Shaving Cream itu ke jari tangan kiriku dan kuoleskan ke permukaan vagina April yang ditumbuhi rambut.
April bergidik geli kala krim cukur itu mampir ke kulitnya lewat sentuhan jariku. Kuratakan krim itu sampai ke bagian tepi belahan pangkal pahanya.
Kurasakan April menahan nafasnya saat aku mulai mencukur rambut kemaluannya. Krik-krik-krik. Walau lancar dan licin karena Shaving Cream, masih terasa tercukurnya rambut-rambut kemaluan itu dari kulit sensitif. Gelak tawa para perempuan penonton di sekitarku terdengar mengganggu konsentrasi saja. Ada saja yang mereka komentari. Klitorisnya sebesar kacang tanah, tanganku gemetar, celanaku mulai sempit, harusnya pakai penerangan senter, dan lain sebagainya.
“Dah... Udah bersih...” kataku setelah menyeka sisa-sisa Shaving Cream itu dengan tisu.
“He... he... he...” kata April malah tertawa geli melihat kemaluannya yang bersih dari rambut seperti anak kecil. Dirabanya untuk memastikan kalau memang tak ada rambut yang tersisa.
“Aku juga, dong...” pinta Jessie yang sepertinya sudah mabuk beneran.
--------​
Ada sedikit keributan saat Jessie ditarik kembali ke tempat duduknya dan April disuruh memakai CD bikininya kembali. Sekarang giliran April ke A Fang.
“Truth or Dare?” tanya April memberi pilihan pada A Fang.
“Truth aja, deh... Nanti wa disuruh macam-macam lagi...” pilih A Fang pada Truth.
“Mm... Gak bisa balas dendam, deh... Apa, ya?” renung April yang sepertinya belum siap dengan pertanyaan jikalau giliran lawannya memilih Truth.
“Fantasi terliar apa... yang pernah kau pikirkan dengan semua peralatan SM Bondage-mu dulu?” akhirnya April mendapat pertanyaan yang pas untuk dijawab jujur oleh A Fang.
“Fantasi terliar? Apa, ya? Mm...” pikir A Fang pada pengalaman masa lalunya yang doyan SM Bondage (SM: SadoMasochist). “Yang terliar adalah wa diikat dengan mata tertutup di tiang lampu lalu lintas perempatan kota yang ramai dalam keadaan telanjang bulat... Wah... Sensasinya luar biasa kalau benaran, ya?” jawab A Fang sejujurnya.
“Ih... Serem... Bisa di gang-bang satu kota kalau beneran... Sama supir angkot... pengamen... asongan... tukang ojek... Serem!” gidik April malah merinding ikut membayangkannya. Yang lain ada yang menggeleng-geleng, ada yang merem, ada yang tutup kuping.
“Namanya juga fantasi, Pril...” kilah A Fang. “Giliran wa sekarang, yah?” katanya lalu beralih pada orang di sampingnya; Nining.
“Pilih mana, Ning... Truth atau Dare?” tanyanya pada Nining yang sudah berputar-putar bola matanya yang lebar; berpikir pilih yang mana.
“Biar seru... Dare aja, deh...” pilihnya berani. Tidak percuma perantau ini datang jauh-jauh dari desanya untuk menaklukkan kota. Ia tidak gentar memilih Dare.
“Keren... Keren, Ning...” kata A Fang senang sekali mendengar pilihan lawannya. Sepertinya ia sudah punya persiapan untuk pilihan ini. Nining berdiri bertepuk tangan beberapa kali dan mengetatkan bisepnya bak binaragawati dengan otot menggembung.
“Apaan Dare-mu, Fang?” malah Nining menantang tantangan A Fang.
“Sabar... Pernah merokok, gak?” tanya A Fang mulai. Ia melirik pada Silva dan Silvi.
“Pernah sesekali... Kau suruh aku merokok penuh di mulutku? Hah??” kaget Nining malah menyesal telah sesumbar.
“Tepatnya... tidak begitu... Wa hanya mau kamu merokok sebatang rokok saja...” A Fang mengeluarkan sebungkus rokok menthol yang diameternya lebih kecil dari diameter rokok pada umumnya. Ini pasti rokoknya si kembar itu, deh. “... rokok ini tepatnya... Dalam tiap 10 detik kamu harus merokok sebatang rokok ini saja lewat semua lubang di tubuhmu... Urutannya terserah kamu... Tapi coba sebutkan lubang-lubang yang mungkin dimasuki rokok ini?” kata A Fang jahat sekali.
“Yah... Jahat bener kamu, Fang... Tega lu sama BFF (Best Friend Forever)...” keluh Nining menyesal memilih Dare dari si ratu fantasi seks; A Fang.
“Tidak ada alasan... Sebutkan lubangnya...” katanya tak perduli. A Fang tersenyum lebar dan yang lainnya bersorak-sorak kegelian.
“Mulut... hidung... kuping... tempik... pantat... Udah, kan?” rinci Nining malas-malasan menghitung dengan jari. Ada lima lokasi lubang yang akan dimasuki sebatang rokok.
“Bagus... Tapi lubang hidung sama lubang kuping dua-duanya, loh... Bukan satu aja... Nih!” kata A Fang menyerahkan bungkus rokok itu beserta pemantik gas-nya.
“Yah... Parah lu, Fang...” sambut Nining malas-malasan menerima dua benda itu. Ia lalu berdiri dan tanpa perlu dikomando atau diundang, mereka semua kembali merubungi sofa tempat Nining akan melakukan tantangan Dare-nya. Seperti lalat merubungi sampah.
“Cepetan, Ning...” desak A Fang tak sabar.
Sebatang rokok diselipkan Nining di bibirnya dan dibakar ujungnya. Dihisapnya rokok menthol itu dalam-dalam lalu dihembuskannya ke semua orang di sekitarnya terutama pada A Fang. Gadis itu sampai terbatuk-batuk menerima serangan asap rokok itu.
“Eh... Jangan lupa dihitung waktunya!” hardik Nining membiarkan rokok itu di bibirnya.
“Iya... Baru 6 detik... tujuh... delapan... sembilan... sepuluh... Dah!” seru A Fang menandakan lubang pertama; mulut sudah selesai. Lubang berikutnya. “Mau yang mana dulu?”
“Hidung...” kata Nining lalu memindahkan batang rokok itu ke lubang hidung kirinya. “Mulai hitung!” katanya begitu masuk.
A Fang mulai menghitung sampai sepuluh dengan kegelian melihat Nining menahan nafas agar asap rokok itu tidak terhisap masuk dari hidungnya. Pasti rasanya akan pedih.
“Dah... Sebelahnya lagi...” katanya dan mulai menghitung sampai sepuluh begitu rokok itu dipindahkan ke lubang hidung kanan. Nining kembali menahan nafasnya sembari menutup matanya rapat-rapat agar bisa berkonsentrasi karena perempuan-perempuan lainnya bersorak-sorak memberi semangat. Malah mengganggu konsentrasi mungkin.
“Wah... Gila, nih mainan A Fang... Pedih tau hidungku... Mana rokoknya menthol lagi...” keluh Nining begitu sepuluh detik hitungan untuk lubang hidung kanannya selesai. Rokok itu masih menyala dengan tidak berdosanya.
“Sekarang lubang mana lagi... Ayo... Trus...” tagih A Fang agar meneruskan tantangannya.
“Kuping, deh... Yang kiri...” kata Nining lalu menyibak rambut yang menutupi telinga kirinya hingga terlihat jelas tanpa gangguan sehelai rambutpun.
Pada bagian telinga, kedua-dua lubangnya tidak menemui ganjalan berarti, hanya saja Nining agak susah memasukkan bagian filter rokok menthol yang memang sudah kecil ke lubang telinganya.
“Ya... Ini bagian serunya... Tinggal dua lubang saja...” senyum puas A Fang menatap bagian selangkangan Nining yang masih memakai CD bikini.
“Ini memang mainan favoritnya A Fang dari dulu, Ning... Untung aja elu cuma disuruh masukin rokok... Coba disuruh masukin kayu bakar yang ada apinya... Bisa jebol memek-mu...” kata April yang berdiri mendekat bersama lainnya. Mereka tertawa terbahak-bahak karena geli.
“Ga usah banyak omong... Tinggal lubang yang dua itu, kan? Buka!” sergah A Fang galak dan membantu memegangi batang rokok menthol yang masih mengepulkan asap itu.
“Iya-iya...” jawab Nining kesal dan bete tapi terpaksa menurut, berdiri dan meloloskan CD bikininya hingga kemaluannya terlihat oleh kami semua. Ia lalu duduk bersandar kembali di atas sofa dengan kaki diangkat, ditekuk dan membentang lebar seperti yang dilakukan April beberapa saat sebelumnya.
“Mau masukin sendiri atau dibantuin?” tawar A Fang masih memegangi rokok menthol itu.
“Satria yang masukin, deh... Pasti lebih gampang masuknya...” pilih Nining mengejutkan.
“Yeee... Satria... Satria...” seru mereka semua. Mereka memberi jalan agar masuk ke kerumunan mereka. Aku yang berdiri malas-malasan paling belakang didorong dan ditarik masuk hingga ada di depan Nining yang duduk mengangkang.
“Nih, Sat...” kata A Fang menyerahkan rokok itu padaku. Kuterima ogah-ogahan. “Yang mana dulu, Ning?” tanyanya kembali pada penerima tantangannya.
“Ini dulu...” jawabnya dan menunjuk ke kemaluannya. Nining menatap wajahku dengan pandangan sayu. Seakan berkata lakukan dengan lembut, ya?
“Nah! Masukin, Sat?” kata A Fang menepuk bahuku pelan.
“MASUKIN! MASUKIN! MASUKIN!” seru mereka semua seirama dengan penuh semangat.
Agar mudah memasukkan filter rokok ini ke lubang kemaluan Nining, aku mau tidak mau harus berjongkok karena cahaya api unggun yang menyala terang terhalang oleh bayangan tubuh para penonton yang mengerubungi.
Nining yang duduk mengangkang menahan kakinya agar tetap terbuka lebar dan hasilnya bibir vaginanya terbuka merekah lebar menunjukkan isi di dalam lipatan indahnya. Mulai lembab dan basah apalagi warnanya yang aslinya pink mulai memerah gelap. Klitorisnya mulai mengeras dan liang senggamanya berkontraksi terbuka; tempat dimana seharusnya kujejali dengan filter rokok ini.
Ingin sekali rasanya kujamah rambut jarang dan lembut yang tumbuh di daging bibir vaginanya yang tebal dan kujilati semuanya sampai Nining menjerit keenakan... Mmm...
Filter rokok itu akhirnya masuk juga ke liang vagina Nining. Ia menggigit bibir bawahnya merasakan suatu sensasi yang berbeda. Aku hampir saja terbawa suasana dan melakukan hal lainnya. Untung saja aku sadar dan melakukan tugas asliku.
“Hitung, Fang...” ringis Nining masih memegangi kedua kakinya. Batang rokok menthol itu masih dengan ganjilnya bercokol di dalam bukaan vaginanya. Mengepul pula.
 
Terakhir diubah:
Bimabet
Ending acaranya apa yah......orgy kah
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd