Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENGIKUT ALUR (A SLICE OF LIFE & SEX)

Bidadari pendamping Yas favorit suhu di sini?

  • Inne

  • Dita

  • Ojay


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
16

Malam itu kami menghabiskan sisa minuman nikmat itu bersama A Ogoy dan dan Teh Ola sembari bercengkrama. Namun, Teh Ola tak minum begitu banyak, karena langsung menemani dan mengecek keadaan ibu yang sudah tertidur lelap.

Oh iya, semenjak kepindahan tugasku ke Bandung, Teh Ola pun jadi serumah lagi dengan Ibu. Karena beberapa alasan, termasuk pekerjaan A Ogoy dan keinginan Teh Ola untuk lebih dekat bersama dengan Ibu.

Intinya malam itu, aku begitu banyak diberikan kuliah kehidupan oleh panutanku ini. Sosok A Ogoy yang sedari dulu dijadikan panutan di dalam pergangsteran kini menjadi kakak iparku. Memang, dia bisa berpacaran dan sampai menikah pun karena dicomblangkan olehku.

Oke lanjut fokus cerita Yas, bukan cerita A Ogoy wkwk.

Kehidupan berjalan seperti biasanya. Hampir setiap malam video call dengan Inne, saling bertukar kabar dan cerita. Saling menguatkan satu sama lain. Jika sedang sibuk-sibuknya tak jarang kami tak sempat untuk berkomunikasi. Karena jadwalnya yang bentrok. Juga waktunya yang tak sama. Perbedaan waktu Indonesia dan Inggris yang selisihnya kurang lebih 7 jam pun menjadi salahsatu pemicunya terkendala komunikasi.

*skip 3 bulan kemudian*

Kerjaanku di Bandung untuk membangun dan mengembangkan perusahaan cabang ini rupanya mulai menunjukkan hasil. Berkat kerjasama tim dan ketekunan yang kujalankan ini tak mengkhianati hasil. Itu semua berkat dibantu dengan otak brilian dari Ojay yang sangat menunjang pekerjaanku, yang mampu menyelesaikan dan cepat memahami maksud dan tujuanku dengan satset. Tak salah ia dijadikan asistenku oleh Bu Ratna.

Nah, agak mundur ke belakang lagi ya. Semenjak kejadianku dengan Ojay di apartement. Sikapnya sedikit berbeda kepadaku. Dalam artian, yang awalnya di apart seterbuka itu kepadaku tentang urusan seks. Kini, ia jadi lebih tertutup. Bahkan pernah suatu saat aku pancing, namun, dia tetap menunjukkan sikap yang membuat hatiku tak kuasa untuk memaksanya.

Setelah esoknya semenjak kejadian di apart itu. Aku menjemputnya lagi. Tak ada yang aneh saat itu kurasakan, dan tak ada perbincangan yang mengarah ke arah sana juga. Semuanya berjalan normal sampai di kantor. Malahan sampai jam istirahat dan break dzuhur.

Seperti biasa aku langsung melarikan diri ke smoking area dan memesan kopi.

“Pak, progress sudah mendekati ke 70%. Kira-kira 2-3 hari lagi akan saya antarkan berkasnya ke ruangan bapak untuk final checkingnya...” ujar Andre padaku.

“Oke-oke, nice job. Nanti sebelum di ke sayain coba cek dulu arrange-nya ke Pak Utomo, Ndre.”

“Oh iya, Pak. Siap. Aman dah pokoknya.”

“Eh, Pak. Kemaren nggak ikut kumpul-kumpul sama (ia menyebut komunitasku yang di dalamnya ada A Ogoy, Cipeng dan Aldi).”

“Oh, iya nggak euy. Biasa lah sedang menyibukkan diri wkwk.”

Andre ini memang satu komunitas denganku. Namun, ia baru beberapa tahun saja. Jadi masih dianggap anggota baru. Jadi, jatuhnya masih wajib untuk menghadiri segala acara yang diadakan.

“Waduh, padahal saya harapnya waktu itu Pak Yassar datang, Pak. Hehe”

“Haha, nanti lah next time...”

Awalnya, ia tak mengetahui bahwa aku mengikuti komunitas tersebut. Namun, ia menjadi penasaran karena namaku sering disebut-sebut ketika sedang ada kumpulan. Baik oleh angkatanku ataupun angkatan yang lainnya, terutama angkatannya A Ogoy. Semenjak itu, ia pun berusaha lebih mendekatkan diri lagi kepadaku. Ya mereka menyebut-nyebut namaku karena kekocakan dan sering dijadiin bahan bullyan aja sih, wkwk. Di samping memang aku adiknya dari A Ogoy yang emang punya pengaruh besar. Jujur, jika dibandingkan, ketenaranku kalah dengan Cipeng juga Aldi. Ya biasa-biasa aja sih, sebagian banyak yang kenal sebagian pun tidak. Hanya sebatas tahu namanya saja. Namaku lebih besar ketimbang manusianya. Itu yang selalu kuheran, kenapa itu bisa terjadi.

Mungkin karena sudah menjadi rahasia umum bahwa cerita legendku meluas. Dulu sempat sih bentrok dengan dedengkot salah satu daerah di Bandung. Kebetulan waktu itu aku sedang bertiga dengan Cipeng dan Aldi. Karena mungkin keadaan terdesak akhirnya kami melibas habis 10 orang dengan nafas ngos-ngosan. Bukan suatu kesengajaan, tapi bentuk untuk menjaga diri. Dari sana sih yang kurasa kenapa namaku bisa segede itu. Padahal hanya karena hal sesederhana itu. Wkwk.

Ya itulah cerita sekilas kenapa aku cukup punya pengaruh di komunitasku, wkwk.

*Skip, too much information. Nanti ketahuan lagi. Kan berabe. Wkwk.*

Kulihat Ojay berjalan menuju pintu, sepertinya hendak beribadah di mesjid. Ia hanya melirik dan tersenyum mengangguk kepadaku. Aku pun demikian. Selama di ruangan, aku tak berani mengajaknya berbincang. Karena ia selalu terlihat fokus di depan laptopnya. Ia pun hanya sesekali dan seperlunya saja jika berkata padaku. Itu pun sebatas masalah kerjaan.

Aku beberapa kali curi-curi pandang ke arahnya, hanya untuk sebatas menyapa dan menanyakan tentang kabar darinya, atau menanyakan keadaannya tentang papanya. Namun seringkali rasa penasaranku selalu kalah saat melihat tatapan serius dan fokusnya ke layar laptop. Aku pun yakin ia sadar bahwa aku sering memperhatikannya, melihatnya. Namun, ia memilih untuk tak menggubrisnya.

Sungguh, itu menimbulkan beribu-ribu pertanyaan untukku. Apakah aku ada salah? Atau kenapa ia sebegitunya jaga jarak kepadaku, apa mungkin karena sifatku yang kurang ajar pada saat itu?

“Aarrgghhh, babik...” ucapku pelan.

Segera aku melangkahkan kaki menuju mushola untuk beribadah. Entah kenapa aku memilih ke mushola. Padahal beberapa karyawan mengajakku untuk ke mesjid berjama’ah. Rasanya lebih khusyuk saja kalau sendirian.

“Eh, Pak! Tumben nih sendirian aja...” tanya Yasmin yang papasan denganku setelah selesai beribadah.

“Iya, hehe.”

“Butuh ditemenin nih kayaknya...” sambungnya tersenyum.

“Waduh, boleh nih. Ngopi keknya di cafe sebelah, sekalian nyobain,” ajakku asal nyeplos.

“Bener nih, Pak?” tanyanya antusias.

“Sebelum jam masuk lah, lumayan sejaman juga.”

“Oke deh, Pak. Hehe.”

Entah kenapa aku tiba-tiba berkata seperti itu, seakan otakku benar-benar kosong. Cukup terganggu sih setelah akhir-akhir ini berjibaku dan mengerahkan seluruh tenaga dan waktuku demi mencapai target untuk perusahaan. Mungkin agak sedikit konsleting, wkwk.

Akhirnya kami sampai di cafe tersebut dan memesan kopi dan desert. Begitupun dengan Yasmin. Suasananya putih, catnya putih dan dipadukan beberapa warna coklat. Lumayan lah. Sejuk langsung kurasakan begitu memasuki cafe itu karena ac.

“Hmm, gak nyangka akhirnya bisa ngobrol berdua nih sama Pak Yassar... hehe...” ucapnya membuka topik obrolan.

“Waduh, ya nyangka dong. Kan sekarang kejadian.”

“Hehe, iya sih, Pak.”

“Emang apa yang mau diobrolin, Yasmin?”

“Aduh, jangan ditanya gitu dong, Pak. Saya tiba-tiba ngeblank nih kalo ditanya gitu...” jawabnya dengan pipi yang memerah.

“Hahaha ada-ada saja kamu mah,” jawabku tertawa melihat tingkahnya yang kikuk.

Yasmin berumur sekitar 20 tahunan, sebelumnya ia bekerja di pabrik setelah kelulusan SMA-nya. Dan kini ia pun nyambi, kuliah iya, kerja iya. Kebetulan waktu itu yang meng-interview kerja dan menerimanya adalah aku. Ia memiliki rambut yang dicat warna abu bagian bawahnya saja (ombre ya?) memakai behel, padahal jika dilihat giginya sudah rapih. Memiliki kulit putih, dan tubuh yang semok. Kira-kira speknya 160/55 lah. Cukup ideal dan proporsional. Ia pun sering digoda oleh karyawan-karyawan lain. Ia menyikapinya dengan santai, karena orangnya pun supel.

“Eh, ini mah aku mau ngucapin terima kasih aja ke Bapak, karena udah nerima aku kerja di sini. Apalagi aku yang hanya lulusan SMA bisa jadi staff public relation yang notabene harus lulusan S-1, Pak.”

“Oohhh itu, ya nggak masalah dong itu mah. Yang terpenting kan kamu mumpuni. Ya memang ada sih tertera di salahsatu persyaratan memang harus S1. Itu kan bukan salahsatu jaminan juga sebenarnya. Kualifikasi kan sebenernya hanya formalitas saja. Yang terpenting itu keahlianmu bisa memenuhi kriteria perusahaan ya udah kerja. Gak harus butuh ijazah SMA ataupun S1. Banyak kok yang lulusan S2 tapi pas turun ke dunia kerja malah gak bisa apa-apa. Bisanya cuman minta gajih gede doang yang gak berbanding lurus sama kontribusi ke perusahaan...” jawabku menjelaskan panjang lebar karena keminderannya.

“Lagian kan kamu sekarang lagi kuliah juga yang menunjang karirmu di sini,” sambungku.

“Ya itu juga kan Pak Yassar yang rekomendasiin, dan Bapak juga yang ngeyakinin aku.”

“Saya melihat potensi kamu Yasmin, makanya saya rekomendasiin ke Bu Ratna biar perusahaan menguliahkan kamu. Biar ilmu kamu bertambah dan bisa ngasih kontribusi yang diharapkan oleh perusahaan,” jawabku diplomatis.

“Iya, Pak. Makasih. Hehe... pemikiran Bapak emang canggih ya, Pak. Hehe.”

“Iya dulunya pas kecil sering minum sakatonik abc, hahaha...” jawabku tertawa.

“Hahaha... eh! Kok bapak tau sakatonik sih?”

“Ya tau dong kan masih muda... hahaha...”

“Masih kayak anak kuliahan malah, Pak. Hahaha...”

Kami berbincang-bincang dan teratawa saat itu, sampai akhirnya tak terasa waktu mengharuskan kami balik lagi ke kegiatan masing-masing. Aku kembali ke ruanganku, Yasmin kembali ke ruangan karyawan, bergelut dengan administrasi-administrasi yang menumpuk.

Saat memasuki ruanganku. Kulihat Ojay sudah duduk di sana sedang memainkan hpnya. Ia sempat melirik ke arahku ketika pintu terbuka. Seperti biasa ia mengangguk dan tersenyum. Seperti karyawan-karyawan lain yang berpapasan denganku. Ya, sudah kutebak ia akan bersikap seperti itu. Aku langsung menuju mejaku. Menuntaskan pekerjaan sembari sesekali menghisap rokok dan nyeruput kopi.

Hingga bebrapa menit berlalu dengan keheningan. Hingga akhirnya ada seseorang yang memasuki ruangan.

“Pak...” ucapnya mengangguk dan tersenyum ke arahku.

Aku pun demikian. Kulihat Pak Utomo menuju ke meja Ojay sambil membawa beberapa berkas. Kulihat Ojay membetulkan posisi duduknya dan menarik kursi agar lebih dekat ke mejanya. Seperti sudah menunggu kedatangan Pak Utomo. Aku tetap fokus dengan kerjaanku yang membosankan itu. Planning strategist, data science, research strategis, comparation extended, itu sudah menjadi menu makanan sehari-hari yang mau tak mau harus kulahap dengan habis demi cuan, wkwk.

“Gimana sih, Pak? Tiba-tiba ucap Ojay dengan nada kesal.

“Kan aku udah ngasih filenya ke Bapak. Kenapa malah jadi gini hasilnya? Masa Bapak gak becus ngurusin masalah ginian doang, Pak? Bapak kan udah punya pengalaman yang malang melintang? Kenapa hal sepele ini bisa dilewatkan? Jangan-jangan Bapak selama ini bekerja seperti ini?” sambungnya dengan wajah tegas.

“Eh! Eeuu... nggak, Mbak... nggak... iya ini keteledoran saya, Mbak. Maaf, Mbak,” balas Pak Utomo dengan mendunduk.

“Ini gimana, Pak? Bapak ngambil sample ini dari siapa? Atas dasar penilaian siapa? Blablablablabla... Bapak udah tau kan prosedur dan cara kerjanya seperti apa? Bapak pasti tahu itu. Dengan jabatan Bapak yang sekarang, tak sepantasnya Bapak melakukan kesalahan seperti ini, gimana sih?” ucap Ojay yang masih dengan nada tinggi.

Aku terkejut, dan bertanya-tanya. Ada apa sih? Kenapa sih? Apa kesalahan Pak Utomo hingga membuat Ojay begitu? Itu memang bentuk professionalisme. Tak mengenal tua atau muda, jika salah ya tegur. Tapi jujur saja, aku kurang nyaman melihatnya.

Aku memalingkan wajah ke arah Ojay yang masih dengan ekspresi kesalnya.

“Pak ini gimana nih? Masa laporan keuangan kayak gini... gak sesuai dengan apa yang seharusnya...” ucap Ojay padaku.

Aku langsung melangkah ke mejanya. Pak Utomo masih menunduk.

“Mana coba lihat...” ucapku.

Ojay memberikan laporan itu ke tanganku. Aku cek satu persatu, sekilas memang seperti tidak ada kesalahan dalam laporan itu. Agak lama aku memeriksa laporan itu secara bolak-balik. Aku cek keuangannya satu persatu. Tak ada sepatah katapun yang keluar waktu itu dari Ojay maupun Pak Utomo. Sekitar 10 menit aku memeriksanya.

“Prakkk...” kulemparkan laporan itu ke meja cukup keras.

Kemudian aku kembali ke mejaku untuk menyalakan rokok dan menyeruput kopi. Aku pun kembali ke arah meja Ojay. Ojay menatapku lekat-lekat. Sedangkan Pak Utomo masih dengan yang sama, menunduk.

“Pak Ut!”

“Iya, Mas...” jawabnya lirih.

“Tau gak salah Pak Ut apaan?”

“Maaf, Mas. Tapi saya udah ngerjain dengan benar sesuai SOP perusahaan,” jawabnya dengan suara lembut. Namun masih menunduk.

“Bagus!” ucapku.

Mendengarku begitu, Ojay sontak kaget.

“Loh! Itu udah jelas-jelas salah, Pak!” ucap Ojay kemudian.

“Mbak Sintia!” jawabku.

Ia kemudian terdiam dan langsung menatapku lekat.

“Tau gak salah Mbak di mana?”

“Saya benar, Pak. Saya mengacu kepada SOP perusahaan terbaru.”

“SOP terbaru yang mana?”

“SOP nomor 39,” jawabnya yakin.

Aku tesenyum seraya menghisap rokok dalam-dalam.

“Bagus!”

“Itu salahmu, Mbak!”

“SOP yang itu revisi. Nah SOP yang terbaru ini yang dikerjakan oleh Pak Ut...” jawabku santai.

Ojay pun kaget, tangannya langsung mengotak-ngatik laptopnya. Seperti sedang berusaha mencari sesuatu.

“Coba buka emailnya, Mbak Sintia. Pagi tadi sudah dishare kok...” jawabku memastikan.

Ia hanya diam.

“Ngerokok dulu, Pak,” ucapku pada Pak Ut, seraya menyodorkan rokok padanya.

Aku berusaha menenangkan Pak Utomo dengan menawarkan rokok. Ia pun seperti masih enggan, namun aku memaksa untuk mengambilnya. Akhirnya ia pun menyalakan rokok dengan bantuan korek dariku, meskipun masih canggung.

“Bagus, Mbak Sintia! Itu menandakan Mbak teliti. Sangat teliti bahkan. Berarti gak salah ya, kami memiliki orang seperti Mbak Sintia yang sangat jeli dan teliti ini Pak Ut!” sambungku.

“Iya betul Mbak Non, Makasih Mbak hasil kerja kerasnya selama ini. Semua ini pasti ada bagian dari sumbangsih Mbak Non yang sangat teliti dalam segala hal,” ucap Pak Ut menambahkanku.

“Nahhh... udah-udah, saya sangat memaklumi. Begitupun dengan Pak Ut.”

“Iya kan Pak Ut?” sambungku.

“Betul, Mas Yassar...”

“Miss komunikasi memang wajar terjadi di dalam sebuah tim. Tapi itu yang akhirnya membuat kita lebih bersinergi...” ucapku seraya menepuk pundak Ojay dan Pak Ut.

“Fyuhhh... Pak Ut! Maaf ya, saya memang sedang kalut. Lain kali saya lebih teliti lagi deh... Ya Allah... maaf ya, Pak,” ucap Ojay.

“Iya, Mbak Non. Itu tandanya, Mbak Non udah naik ke level yang lebih tinggi, Mbak. Hehe...” jawab Pak Ut.

Aku mengamininya dengan tersenyum ke arah Ojay.

17

“Tau ah, kesel! Kenapa Mas nggak ngasih tau sih? Kan aku jadi malu udah marah-marah ke Pak Ut!”

“Hahaha... ya suruh siapa nggak cek email dulu...”

“Iiihhh!!! Tau ah!!!” jawabnya sembari mencubit pahaku.

“Aduh! Aduh! Sakit! Ini lagi nyetir loh...” aku meringis kesakitan dan membuat sedikit mobil oleng.

“Eh! Eh! Eh! Iya-iya maaf...”

“Hmmm...” kulihat ekspresinya manyun.

Ia merasa serba salah. Dan terus terselimuti oleh perasaan bersalahnya ke Pak Ut. Padahal sudah jelas-jelas Pak Ut memaafkannya.

Aku pun kini sedang dalam perjalanan mengantarkan Mbak Bos menuju apartementnya sebagai tebusan karena tidak memberi tahu revisi SOP. Ya meskipun dia yang minta sih. Karena kejadian itu juga, aku jadi mempunyai celah untuk berkomunikasi lagi dengannya setelah beberapa hari kaku seperti kanebo kering.

“Udah-udah, jangan dipikirin terus. Intinya itu menandakan bahwa level kamu bertambah kata Pak Ut juga.”

“Iya sih, tapi tetap aja, Mas. Aku ngerasa gak enakan. Secara kan dia lebih tua dari aku.”

“Kan aku tadi udah bilang, itu bentuk keprofessionalan kamu. Kalo di dunia kerja, bagusnya emang kek gitu sih gak mandang tua atau muda. Tadi terjadi karena miss komunikasi aja kan intinya.”

“Hmm...” responsnya.

“Udaahhh...” jawabku seraya mengelus pahanya.

Beberapa kali aku mengelus pahanya. Namun dengan halus tangannya mengalihkan tanganku di pahanya. Hingga tanganku kembali ke stir dua-duanya.

Mungkin ia masih canggung karena sudah lama tidak berkomunikasi pikirku. Hingga kemudian aku membukakan setengah kaca mobil hendak merokok.

“Aku ngerokok ya, gak papa?”

“Iya gak papa, Mas.”

Aku kemudian menyalakan rokokku dan diiringi perjalanan yang kembali hening. Saat sedang di lampu merah yang lumayan lama. Mataku tertuju kepada pasangan yang sedang berboncengan di atas motor. Kulihat mereka berbincang-bincang begitu mesra. Dagu perempuan itu bersandar di pundak lelakinya dan sesekali mereka tertawa-tawa. Lelaki itupun sesekali mengelus-ngelus paha perempuannya. Entah mengapa, mataku tak bisa lepas memandanginya.

“Liatin siapa, Mas?” tetiba tanya Ojay.

“Kenal?” sambungnya.

Aku menggelengkan kepala. Tapi, tiba-tiba perempuan yang sedang kupandangi itu mengarahkan wajah ke samping karena ada salahsatu pengendara yang membunyikan klakson. Perlahan alisku mengkerut.

Ia kemudian melihat ke arah belakang, melihat ke arah mobilku. Selang beberapa detik ia memalingkan lagi wajahnya ke mobilku setelah sebelumnya wajahnya menengok lagi ke depan.

“Dita...” ucapku dalam hati.

Ada semacam perasaan aneh ketika melihat Dita berlaku seperti itu ke lelaki lain. Kukira itu pacarnya.

Ia pun seperti mengecek plat nomor mobilku. Seolah tak terjadi apa-apa ia pun kembali menaruh dagunya di pundak pacarnya.

Kukira ia akan semacam menyapa atau melambaikan tangan begitu ia melihat plat nomor mobilku. Tapi nyatanya tidak.

“Mas, bukannya itu Adek, Mas ya?” ucap Ojay.

“Iya, Jay.”

“Tadi katanya gak kenal.”

“Baru ngeuh... hehe,” balasku yang tersenyum simpul.

Aku yakin Ojay menangkap ekspresiku. Ia pun diam kembali, tak bertanya lagi.

Tak lama, lampu hijau pun nyala. Aku kembali memajukan mobilku secara perlahan. Mataku masih memperhatikan Dita dan pacarnya. Kulihat ia berbelok ke arah kanan. Sedangkan aku lurus karena menuju apart Ojay.

Hingga akhirnya sampai di apart, aku berhenti di depan lobby apartnya.

“Makasih, ya, Mas. Kayaknya aku bakal langsung istirahat deh, capek banget soalnya,” ucapnya seraya merapikan tasnya.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Seakan ia tak memberikan kesempatan untuk mengajakku mampir (lagi). Seperti tak banyak drama ia pun langsung turun dari mobil dan melambaikan tangan padaku.

“Dadah, Mas. Makasih, yaa!!”

Aku pun langsung parkir dan menuju rumah dengan perasaan yang tak menentu. Di jalan aku mencoba untuk mengabari Inne. Tapi kulihat setelah beberapa menit pesanku tak kunjung dibaca.

“Mandi, Yas, kalo mau makan itu ada di dapur. Bibi baru masak tadi,” ucap Teh Ola ketika aku memasuki rumah.

Tidak tahu, tapi rasanya hari itu, hawa orang-orang berbeda padaku. Aku tak ambil pusing. Langsung kusegarkan badanku dan sedikit berbincang dengan ibu. Itu pun tak lama, karena aku masih merasakan suasana yang sama.

Akhirnya kurebahkan badanku di kasur. Lalu mencoba menelepon Inne berkali-kali namun tak kunjung ada jawaban, dan meninggalkan beberapa pesan padanya.

Cipeng dan Aldi pun saat itu mendadak sulit untuk dihubungi. Persetan dengan semua suasana ini. Akhirnya malam itu aku nikmati dengan memainkan musik dari vinyl yang memainkan lagu Burgerkill Killchestra.

18

Suasana malam itu kurasakan begitu hening, perasaanku campur aduk. Beberapa rokok telah kuhabiskan berbatang-batang. Ponselku tak kunjung berbunyi, menandakan tak ada satupun balasan dari mereka yang telah aku hubungi. Baik itu Inne, Cipeng bahkan Aldi. Semuanya mungkin sedang larut di dalam aktivitasnya masing-masing.

Berbagai macam cara telah kualihakan demi menetralkan perasaan yang tak menentu ini. Hingga kuputuskan untuk beranjak ke luar, di taman, menikmati semilir angin yang berhembus begitu tenang.

Saat hendak ke kulkas mengambil minuman dingin dan beberapa cemilan, sayup-sayup kudengar suara menangis. Aku berhenti sejenak untuk memastikan suara yang kudengar. Perlahan kudekati suara tangisan itu berasal dari kamar ibu. Dengan langkah yang cepat aku mendekati kamar ibu dan masih menguping suara tangisan itu.

“Ibuuu... Buuu... heuuu... hiks... hiks... Ibuuuu...!!!” teriak Teh Ola.

Tak banyak lama langsung aku buka kamar ibu dan menyalakan lampunya yang telah padam.

“Kenapa, Teh? Kenapa Ibu?” tanyaku panik.

“Haaaa... Ibuuu... heeuuu... hiks... hiks... hiks... Ibuuu...!!!” Teh Ola makin menjadi.

Kudekat Ibu, kulihat wajahnya pucat pasi. Wajah cantiknya seperti sedang manahan rasa sakit. Hingga otakku cepat memproses bahwa waktu itu Ibu pingsan.

Segera aku berlari ke kamarku untuk memakai celana panjang dan memakai hoodie. Kemudian aku langsung berlari membukakan pintu, membuka garasi dan memarkirkan mobil. Setelah semuanya siap, aku kembali ke kamar Ibu. Kulihat Teh Ola masih menangis sesenggukan.

“Teh! Ganti baju atuh! Cepet! Bawa Ibu ke rumah sakit, hayu!” ucapku.

“Heuu... hiks... hiks... iya, A.”

Perlahan kuangkat Ibu dan membopongnya ke mobil. Aku seberusaha mungkin membawa Ibu dengan lembut. Ketika hendak keluar rumah, aku lihat beberapa tetangga mulai menghampiri dan membantuku.

“Punten, Pak, bukain pintu mobilnya, yang belakang...” ucapku pada Pak Asep.

“Iya, iya...” jawabnya dengan sigap.

“Kenapa ini teh, A?”

Aku menjelaskannya secara detail sembari menunggu Teh Ola ganti pakaian. Tak berapa lama kemudian kulihat Teh Ola setengah berlari menghampiri dengan matanya yang masih sembab. Teh Ola langsung mendekap Ibu di jok belakang. Kulihat ia mengabari A Ogoy dan Bibi.

“A, kela atuh Bapak suruh si Ibu ikut yah biar bisa nemenin...” ucap Pak Asep yang menawarkan istrinya untuk ikut.

Kemudian, dengan langkah cepat Pak Asep kembali ke rumahnya dan memberi tahu istrinya. Setelah menunggu kurang lebih 5 menit akhirnya Bu Dewi datang dan langsung memasuki mobil.

“Pak nitip rumah, ini kuncinya. Nanti bibi datang ke sini, kasihin aja kuncinya ke bibi,” ucapku pada Pak Asep.

Sepanjang jalan, aku termenung. Tak bisa fokus. Bahkan beberapa kali ditepuk oleh Teh Ola yang menyadarkanku. Mau tak mau aku harus tegar, biasanya di saat-saat seperti ini ia yang lebih tegar menyabarkanku. Namun kini, keadaannya berbalik.

Setelah kurang lebih 20 menit akhirnya kami sampai di RS. Di sana sudah ada A Ogoy yang menunggu. Ia ke RS terlebih dahulu dari kantornya langsung yang sedang lembur.

Ibu langsung dibopong oleh A Ogoy dan langsung menuju ke lobby untuk ditangani. Sedangkan aku memarkirkan mobil. Mencari celah kosong yang waktu itu agak penuh tempat parkirnya. Pikiranku kacau, kalut, dan panik menjadi satu.

Aku menyempatkan ke mini market terdekat dulu untuk membeli beberapa makanan dan juga rokok untuk A Ogoy. Setelah kurang lebih 10 menit aku menuju ruangan yang telah disediakan untuk ibu. Dengan langkah yang terburu-buru akhirnya aku sampai.

Namun, kulihat di sana Teh Ola sedang menangis sesenggukan dan sedang ditenangkan oleh A Ogoy. Bu Dewi pun demikian menangis sembari mengelus-ngelus pundak Teh Ola. Seketika lututuku lemas. Bagai tak mampu lagi menahan badanku. Dadaku sesak, tenggorokanku tercekat. Dengan langkah gontai, kupaksakan kaki ini menghampiri mereka untuk memastikan apa yang sedang terjadi, kenapa mereka semua menangis seperti itu.

Kulihat A Ogoy menengok ke arahku.

“Yasss...” ucapnya lirih.

Teh Ola kemudian melihat ke arahku.

“Yaaaasss.....!!! Hiks... hiks... hiks...” Teh Ola langsung berhambur ke arahku, memelukku dengan tangisannya yang memilukan.

(bersambung).
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd