Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENGIKUT ALUR (A SLICE OF LIFE & SEX)

Bidadari pendamping Yas favorit suhu di sini?

  • Inne

  • Dita

  • Ojay


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Nunggu updatean sambil ngopi hasil diskonan dari aplikasi ojek online nih hu...
 
7

Setelah sampai di indekosnya, ia turun dan membukakan gerbang. Aku memasukan motornya. Indekosnya empat lantai bentuknya seperti huruf U. (Da kalo letter X mah pusing atuh hu hehe). Di lantai pertama terdapat beberapa kamar dan juga lahan parkir. Cukup sepi pada saat itu, di lahan parkir pun hanya terdapat beberapa motor saja.

“Yuk!” ajak Inne.

Aku mengikutinya dari belakang, ia menaiki tangga menuju lantai dua yang lebih banyak kamarnya dibanding lantai pertama. Tak kuhitung karena terlalu banyak (Dan sudah tak fokus karena melihat bongkahan sesuatu di balik rok span Inne) "Ehhh tolol jangan liat ke sana bego," umpatku dalam hati mengutuk pikiran yang dibenci Wa Entur. Hingga langkah Inne berhenti di kamar nomor 66. Letaknya agak pojok, lebih tepatnya 3 kamar sebelum kamar paling pojok.

Inne merogoh tasnya mencari kunci kamarnya, aku tetap di belakang menunggu.
“Ceklek...”
Suara kunci telah terbuka, dan Inne membukakan pintunya. (Deg... Deg... Jantungku berdebar anjir saat itu).

“Sini, masuk, Yas.”

Aku melangkahkan kaki agak ragu dan duduk untuk melepaskan sepatuku.

“Pake aja,” ucapnya dengan setengah tertawa karena melihat aku yang kikuk.
"Ehh... Iya Inn. Hehe," sumpah kikuk bat anjir masuk kamar kos cewek cakep gini).

Aku masuk, membawa sepatuku, sedangkan Inne langsung merebahkan badannya di atas kasur. Aku duduk di lantai yang di beri karpet merah dengan motif garis-garis horizontal. (Jiwa miskin bergejolak pokoknya hu, minder liat kosannya yang rapi wangi dan bersih). Kosannya luas. Dinding kamarnya dilapisi wallpaper putih garis hitam. Juga terdapat beberapa lampu tumbler yang menggantung di atas paku. Kamar mandinya di dalam dan cukup luas. Rasanya sangat jauh dengan kosanku ketika sewaktu kuliah yang hanya berukuran tak sampai 3 meter persegi. (Hareurin ajig☹️).

“Cape aku, Yas,” lirihnya sembari memainkan ponsel.

“Sama.” Jawabku datar, berusaha menutupi kecanggunganku.

Ia melepaskan kerudungnya dan menyalakan ac setelah sebelumnya menyuruhku untuk menutupkan pintu. Seketika ruangan berubah menjadi sejuk.

Pertama kali kulihat Inne melepas kerudungnya. Mungkin ia sudah biasa membiarkan rambutnya terlihat di hadapan lelaki. Aku tak berani komentar, itu hak dia sepenuhnya. Rambutnya terurai sebahu, aku sempat terkesima menatapnya. (Edan hu pokoknya mah mirip sama salah satu yang sering lewat fyp☹️)

Ia tertawa meyadariku yang menatapnya.

“Anggap kosan sendiri aja okey,” katanya padaku dengan santai.

Ia tak terlihat canggung seruangan denganku di dalam kosnya. Ia mungkin sudah terbiasa dengan pacarnya pikirku, atau dengan teman lelakinya. Aku tak mau ambil pusing dengan itu. Yang jelas ia baik kepadaku, dan aku harus menghormati dirinya. (So bijak dulu).

“Yas, aku mandi dulu ya,” ucapnya seraya megambil handuk dan membawa pakaian ganti ke dalam kamar mandi.

“Monggo,” jawabku, kali ini sedikit tenang tapi ada yang tegang, hehehehe.

“Yas, kalo mau tiduran di kasur aja,” teriaknya dari dalam kamar mandi.

Aku langsung tiduran di kasurnya. Punggungku terasa nyaman setelah bisa merebahkan diri di atas kasur yang wangi parfum Inne. Kupejamkan mata karena saking lelahnya. Dan akupun tertidur.

Entah berapa lama aku tertidur, hingga akhirnya tersadar.

“Bruk..."

Mataku terbuka dengan cepat dan melihat Inne merebahkan dirinya di sampingku hingga sedikit berayun gunung pusaka miliknya🤣

“Yas, Yas, bangun,” katanya menggoyang-goyangkan lenganku yang menutupi mata.

Namun rasa kantukku kembali ketika tahu itu adalah Inne yang di sampingku.

“Ih, Yas. Banguuun!” masih menggoyangkan tanganku.

Aku bergeming.

“Hmm, iyaaa,” ucapku malas.

“Ih, mau cari kosan ga?”

“Iya, hayu,” kataku yang masih belum bangun.

“Hayu, hayu, tidur mulu,” ucapnya melemparku dengan bantal.

Akhirnya aku bangun, kulihat Inne memakai kaos model t-shirt baseball dan celana pendek sedang memolesi lengannya dengan lotion. Rambutnya diikat sanggul sehingga lehernya yang bening dapat terlihat oleh mataku yang kurang ajar. Ia terlihat begitu santai. Dan aku yakin ia sadar tidak mengenakan kerudung di hadapanku. Aku tidak melihat kepanikan ketika ia menyadari aku menatap rambutnya.

“Kenapa? Bagus ya rambutku?” tanyanya, seraya mengibas-ngibaskannya.

“Hmm, bagus,” kataku sembari meminum air yang disodorkan olehnya.

“Ih, kenapa pake mikir dulu segala,” ucapnya protes.

“Baguuus, bu guru,” jawabku.

Kemudian Inne naik ke kasur duduk di sampingku yang masih rebahan, aku diam, bingung harus berbuat apa.

"Hlahhhh...," ucap Inne merenggangkan tangannya ke atas seperti ngulet.

Ia langsung merebahkan diri, dan entah sial atau beruntung kepalanya mendarat di tepi selangkanganku.

"Ehhh...," dengan reflek aku berkata, namun tetap santai karena melihat Inne yang sepertinya tak menyadari kelakuannya yang menyenggol si Ujang.

Inne tertawa yang melihatku kaget. Ia menyuruhku mandi sebelum mencari kos-kosan.

"Sana mandi duluuu...," kata Inne seraya memukul pelan pahaku.
"Iya nanti masih pengen rebahan ah," jawabku seenaknya.

Kemudian Inne merubah posisinya, yang tadinya rebahan kini ia berbah posisi menjadi telungkup di sampingku. Sehingga posisiku muka kami cukup berdekatan.

"Mandi ngga?!" ucap Inne dengan melotot, khas guru matematika anjib.
"Iyaaa Bu Guruuu...," aku menjawabnya dengan senyum karena jujur agak sawan melihat Inne dengan melotot seperti itu.
"Tuh liat rambutmu kotor, sekalian keramas sana," Inne menyela-nyela rambutku dan sesekali dimainkannya.
"Siap grak!" ucapku spontan yang membuat Inne kaget sekaligus tertawa.
"Ih! Kamuuuu! Kaget tauuu...," pipiku menjadi sasaran empuk jarinya untuk dikunyel-kunyel.
"Aaahhh... Sakiiittt...," ucapku pura-pura agar dikasihani.
"Uluh-uluh nakal ya jari aku yaaa...," katanya sembari mengelus pipiku.

Aku tersenyum menahan diri untuk tertawa, Inne yang menyadarinya langsung menepuk jidatku.

"Mmmoooduuussshhh...," ucapnya memeletkan lidah.
"Udaahhh sono mandi nanti keburu sore nyari kosannya Iyas!" sambungnya.
"Iyas?" tanyaku
"Iya, apa? Gamau dipanggil gitu?" jawabnya dengan wajah guru matematikanya.
"Iyaaa deh iyaaa manut kulo, sendiko dawuh," balasku dengan ekspresi pasrah.
"Hahahahahaha, sono mandiii iiihhhh...," kali ini ia mendorongku ke kamar mandi.

Ketika ia mendorongku, kakinya tersandung oleh kabel casan ponsel miliknya, sontak ia kehilangan keseimbangannya dan tubuhnya jatuh ke arah depan mengenai punggungku. Tangannya masuk ke bagian lenganku, secara reflek aku memeganginya agar Inne tak terjatuh. Bro, bisa dibayangkan suhu-suhu? Aku menyadari gunung pusakanya sangat empuk di punggungku. Kami diam beberapa saat sembari menjaga keseimbangan satu sama lain.

"Iiihh...," Ia melepaskan tangannya dan secara reflek menyilangkannya di bagian dada.
"Kamu kenapa ih?" tanyaku dengan tenang supaya tidak menjurus ke arah sana.
"Kesanduuunggg hahahaha," balasnya tertawa karena kelakuannya sendiri.
"Lagian pake dorong-dorong segala," ucapku dengan setengah tertawa.
"Kamunyaaa..., lama disuruh mandi juga," jawab Inne seperti anak kecil.
"Iyaaa ini mau," jawabku.

Dalam waktu yang singkat aku bisa melihat ekpresi wajah Inne yang berubah-ubah, kadang anggun, menggemaskan, kadang killer mode guru matematika yang menghadapi murid paling bodoh☹️

Inne mulai memilih kerudung yang akan ia kenakan dan beberapa manset untuk dipadukan dengan kaos baseballnya yang tangan pendek agar bisa menutupi lengannya.


Aku hendak mencari baju ganti di dalam koperku. Jeans berwarna biru tua dan kaos hitam polos beserta peralatan lainnya kubawa ke kamar mandi.

Setelah selesai mandi dan memastikan semuanya sudah rapi aku keluar dari kamar mandi. Inne sudah mengenakan pashminanya yang berwarna hitam, kali ini ia memakai kaos tangan panjang biru dongker, dan mengenakan jeans abu.

Ia menyemprotkan parfum ke bajuku sesaat kami akan keluar dari kamar indekosnya.

“Biar wangi,” katanya.

8

Sudah lima indekos yang kami kunjungi, dan hasilnya nihil. Tiga indekos penuh dan sisanya Inne kurang sreg. Kata Inne indekos yang kosong itu lingkungannya kurang baik. Aku percaya saja, karena ia lebih mengetahui kondisi setiap daerah dibandingkan aku.

Inne menyadari bahwa saudara sepupunya dulu pernah tinggal di indekos yang lumayan enak. Ia segera menelepon saudaranya itu, dan telah mendapatkan nomor pemiliknya.

Setelah merasa cukup lelah, akhirnya kami memutuskan untuk istirahat terlebih dahulu di sebuah mini market. Aku dan Inne sontak merasa nostalgia ketika menyadarinya secara bersamaan.

“In, kamu kalo cape pulang aja, biar aku aja yang nyari kosan,” ucapku.

“Sok-sokan gitu, Mas. Emang tau daerah?” jawabnya meledek.

“Tau, kan ada google maps.”

“Oh lebih percaya google daripada aku?”

“Ya udah iya percaya kamu,” kataku dengan cepat yang membuatnya tertawa.

Kami menuju lokasi indekos selanjutnya yang merupakan rekomendasi dari Inne. Tak butuh waktu lama untuk mencari indekos itu, karena bersebalahan dengan indekosnya teman Inne.

Setelah sampai kulihat gerbangnya terkunci, kulihat dari celah gerbang di dalamnya ada beberapa motor yang terparkir. Sedangkan Inne mencoba menghubungi nomor pemilik indekos yang tak kunjung diangkat.

Aku mencoba untuk mengetuk gerbangnya dan mengucapkan “Permisi”. Setelah berapa kali kucoba akhirnya membuahkan hasil. Kulihat pria gondrong keluar dari kamarnya tanpa mengenakan baju. Tubuhnya kurus dan terdapat tato di bagian dada kirinya.

Ia membuka gerbang, sejenak melirik ke arah Inne lalu menatapku.

“Ada apa, Mas?” tanyanya.

“Maaf, Mas. Mengganggu. Saya mau ngekos. Disini ada yang kosong ngga yah?” jawabku sopan.

“Wah kurang tahu, Mas. Harus bilang dulu ke yang punya nya. Kebetulan lagi keluar kota.”

“Oh begitu ya, Mas. Ya sudah maaf menganggu waktunya, Mas,” ucapku

“Gapapa santai, Mas.”

Aku meminta nomornya untuk berjaga-jaga apabila belum mendapatkan indekos, ia ternyata sangat ramah di balik penampilannya yang terlihat seperti preman. Bahkan Inne diam saja tak berani bergabung ke perbincangan sejak awal.

Aku berpamitan padanya dan bersalaman dengannya, Inne juga. Meskipun canggung.

Kami mencari kosan dari jam 1 siang dan sekarang sudah jam 6 sore. Kami cukup lelah setelah beristirahat sejenak di pom bensin. Aku memberanikan diri meminjam motornya agar kubawa ke motel. Namun, ia menolak karena takut motornya dibawa kabur olehku.

“Gamau, nanti motorku dibawa kabur,” ucapnya sembari menjulurkan lidah.

“Ya udah aku dari sini pake ojek aja ke motel,” ucapku tersenyum melihat tingkahnya.

“Terus aku pulang sendiri, kamu tega?” jawabnya.

Aku diam, tak tahu harus berkata apa lagi.

Aku menjelaskan sisa uangku hanya bisa untuk menyewa satu malam lagi di motel itu. Berhubung aku besok sudah mulai kerja jadi aku akan mendiami mes yang telah disiapkan oleh kantor.

“Oooh begitu, ya udah bawa aja motorku, tapi akunya jangan ditinggal,”ucapnya.

“Iya hayu dianter dulu ke kosanmu.”

“Ikut aja deh, biar kamu ga bisa bawa kabur motorku,” katanya tertawa.

“Ga cape?” tanyaku.

Ia menggelengkan kepala.

Kami mulai menuju ke arah motelku, dan sampai setelah 1 jam perjalanan. Kali ini di sepanjang jalan Inne tak banyak bicara. Mungkin lelah pikirku.

Setelah sampai aku langsung menuju kamar dan mempersilahkan Inne masuk. Ia langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur. Sedangkan aku langsung merapikan pakaian ke dalam ransel. Kulihat Inne tertidur. Sudah berapa kali kusuruh pulang tapi ia tetap ingin menemaniku karena ia merasa punya hutang budi padaku.

Kulihat Inne masih terlelap ketika aku selesai mandi. Sebenarnya tak tega membangunkan Inne, namun karena uangku yang menipis dan tak cukup untuk membayar sewanya lagi aku bangunkan Inne dengan perlahan.

“In, Inne, bangun,” kataku sembari menggoyangkan lengannya perlahan.

“Mhhh” ia mengucek matanya.

“Aku tidur ya, Yas? Lama ngga?” tanyanya sembari meregangkan tangannya ke atas.

“Lumayan,” jawabku.

Inne memutuskan untuk mandi di indekosnya saja setelah kutawari mandi di motel.

Setelah berkemas dan membayar uang sewa motel selama 3 hari, kami langsung meluncur ke indekos Inne. Di jalan kami menepi, membeli nasi goreng terlebih dahulu untuk di makan di sana.

Di sepanjang jalan aku sangat mensyukuri telah dibarengi dengan orang sepeduli Inne di perantauan. Sebelumnya tak pernah terbayangkan akan seperti ini. Terlintas pesan ibuku sebelum aku memutuskan untuk pergi ke kota ini;

“Berbuat baiklah kepada semua orang tanpa melihat siapa orangnya, Nak,” ucapnya waktu itu seraya mengelus pundakku.

Pesan ibuku selalu kuterapkan di manapun aku berada, aku selalu berusaha memandang sama semua manusia tanpa melihat jabatan dan tahtanya.

“Sehat selalu, Bu,” ucapku dalam hati.

Dalam lamunanku mengingat ibu, tetiba Inne melingkarkan tangannya pada pinggangku di lampu merah.

Aku diam.

“Yas, aku mau tidur lagi, ngantuk,” ucapnya seraya menempelkan wajahnya di punggungku.

Aku masih diam tak bergeming. Mungkin Inne menganggap itu sebuah tanda persetujuanku.

Ia benar-benar tertidur setelah itu, kulihat di kaca spion ia tidur seakan tak terganggu oleh bisingnya suara kendaraan. Posisinya masih sama. Aku tak membangunkannya dan memelankan laju motor agar tak mengganggu tidurnya.

Bisa kurasakan ketulusan Inne ketika menemaniku mencari indekos. Dan sialnya aku mulai bertanya-tanya; apakah ia tidak memiliki hati seorang lelaki yang harus ia jaga dengan perlakuannya yang tak biasa kepadaku. Atau hanya aku saja yang menganggapnya terlalu berlebihan.

9

Sesampainya di indekos Inne, kami langsung menyantap nasi goreng karena lapar. Inne dengan lahap menikmati nasi gorengnya yang tidak pedas.

“Aku nyobain yang pedes dong,” pintanya.

Aku langsung menyerahkan piringku padanya.

“Suapiiin,” katanya dengan manja.

Aku tak tahan menahan ketawa.

“Ih jangan ketawa!”

“Cepet suapin!” katanya dengan sedikit mengancam.

Aku mengalah, perlahan aku menyuapinya dan ia menyambutnya dengan lahap.

“Ih enak yang pedes,” ucapnya, dan akhirnya ia memakan sampai habis nasi goreng punyaku secara bersamaan.

Setelah selesai makan, Inne mandi. Aku merapikan baju-bajuku yang tadi sempat kususun secara rapi di dalam ransel.

Kuputar lagu dari Spotify secara acak. Seraya rebahan di lantai yang dilapisi karpet. Tak lama kemudian Inne keluar dari kamar mandi dan langsung ikut menyanyikan lagu Wonderful Tonight dari Eric Clapton.

“It’s late in the evening

She’s wondering what clothes to wear

She puts on her make up

And brushes her long blonde hair.”


Inne menyanyikannya dengan lembut, rupanya ia juga cukup piawai dalam bernyanyi.

“Rambutku bagus ngga ya kalo di cat blonde,” tanyanya padaku setelah menyanyikan lirik akhir.

“Mohawk, aja mohawk,” kataku tanpa menoleh.

“Ih! Terus nanti dikasih lem kayu gitu biar punk?” ucapnya tertawa.

“Kamu udah telepon satpamnya belum?” lanjutnya.

Ia mengingatkanku yang akan menayakan perihal mes kepada Mas Rian yang sempat dibahas di pos satpam.

Akhirnya aku telepon Mas Rian untuk menanyakan mes yang sempat dibahas. Di dalam sambungan telepon Mas Rian menjelaskan bahwa mes sudah dibersihkan olehnya bersama bagian kebersihan kantor. Namun, kelistrikan yang menghubungan ke mes korsleting, dan membutuhkan beberapa hari untuk mencari penyebabnya setelah dikonsultasikan dengan tukang.

“Kira-kira hari sabtu, Mas. Mesnya udah siap ditempati,” ucap Mas Rian.

Aku tak habis akal, kutanyakan tempat lain di kantor yang bisa dipakai untuk tidur, setelah menjelaskan aku tak mendiami motel lagi.

“Kalo di pos satpam bisa dipake untuk tidur ga, Mas?” tanyaku setengah tertawa.

“Bisa sih, Mas. Tapi kayaknya untuk dipakai berdua terlalu sempit, Mas. Pengap.”

“Mas Rian tidur di pos satpam juga?” tanyaku.

“Iya, Mas. Bagian piket.”

Setelah menayakan itu semua dengan cukup lama akhirnya kuakhiri telepon itu. Dan berpikir lagi harus di mana kali ini aku tidur. Sebenarnya tak masalah bagiku untuk tidur di manapun, namun karena di daerah indekos Inne belakangan ini sedang ramai klithih (semacam pembacokan secara acak oleh pihak yang tak bertanggungjawab) Inne tak mengizinkanku untuk tidur di luar.

“Udah tidur di sini aja, Yas,” ucapnya meyakinkanku.

“Gapapa emangnya?”

“Ya santai aja siii,” ucapnya seraya mengangkat alis.

Aku bertanya meyakinkannya karena di lantai satu setelah memasuki gerbang, aku sempat membaca secarik kertas yang ditempel di dinding dengan tulisan “Tamu yang menginap 1x24 jam harus melapor ke RT/RW setempat”.

“Berarti kamu harus lapor RT dulu dong, kan ada tamu yang dipaksa nginep,” kataku.

“Ih, hahaha,” ia tertawa yang kemudian menutupi mulutnya dengan tangan.

Akhirnya dengan canggung kuiyakan tawaran Inne kali ini. Inne menyuruhku mandi karena tak ingin kamarnya dicampuri aroma keringatku. Kuiyakan dengan tak segara melakukannya.

“Sssttt,” Inne menempelkan telunjuk di bibirnya seraya menatapku.

Aku menangkap apa yang ia maksud seteleh terdengar suara berbincang-bincang antara laki-laki dan perempuan di kamar sebelah yang cukup keras.

“Tuh denger, bukan kamu doang yang nginep, makanya jangan ngerasa si paling tamu,” ucapnya memonyongkan bibirnya sembari melemparkan bantal ke arahku.

Aku menahan ketawa karena tak ingin terlalu gaduh. Kemudian Inne menjelaskan indekosnya cenderung bebas, pemilik indekosnya tak ambil pusing membebaskan para penghuni selama masih wajar. Asal uang bayaran tidak ngaret dan nunggak semuanya aman dan terjamin kata Inne menjelaskan dengan setengah tertawa. Meskipun pada kenyataannya banyak juga yang telat bayar dan nunggak tapi masih diberikan hak yang sama yaitu; keamanan.

Tanpa disadari selama berbincang Inne menyenderkan kepalanya di bahuku, kami tertawa kecil menyadari posisi yang khilaf.

"Ah biarin ya? Gapapa kan kamunya juga?" ucap Inne dengan tersenyum menatapku. Aku mengangguk tak kuasa menolak dengan tersenyum.

"Kan kalo aku ga nyender terus duduknya tegak malah kamu yang keliatan nyender hahaha," katanya meledekku yang kalah tinggi.

"Iyaaa deh iyaaa, aku mah cuman setengah doang badannya," jawabku dengan spontan seraya mengacak-acak rambutnya.

"Iiihhh..., jangan diacak-acaaak...," ucapnya merengek seperti anak kecil, tangannya menahan tanganku dan entah kenapa tanganku malah mendarat di pipinya.

Aku kikuk, salting serius☹️. Namun, tangan Inne menahan tanganku agar jangan bergerak dan tetap di pipinya.

Inne menatapku dengan tersenyum, aku terpana melihat tatapannya yang teduh hingga melongo.

"Jangan gituuu ngeliatinnyaaa..., maluuu...," ucapnya sembari menenggelamkan wajahnya ke antara leher dan bahuku.

"Kirain Bu Guru mah ga maluan karena sudah sering mengisi pembina upacara," jawabku asal nyeplos.

Inne sedikit tertawa, hingga terasa hembusan nafasnya di leherku. Agak lama dia berada di posisi itu. Secara naluriah aku memberanikan diri untuk mengelus rambutnya dan mengelus punggungnya. Dengan aku yang begitu, nampaknya membuat Inne merasa nyaman dan ngedusel di antara leher dan bahu.

Tiba-tiba ia menarik kepalanya dan menatapku, aku pun dengan refleks menatap balik ke matanya.

"Yas, makasih ya, udah banyak nolongin aku. Aku seneng banget bisa dipertemukan sama kamu. Aku yakin ini sudah digariskan," ucap Inne dengan mata yang teduh.

"Iya, In. Aku juga makasih, kamu ud***"
"Sssttt, jangan ikut campur, ini khusus aku yang mau ngucapin makasih, jangan ikut-ukutan, ga kreatif!" ucapanku dipotong oleh Inne yang menempelkan telunjuknya ke bibirku.

Aku tertawa, Inne juga. Mata kami bertemu pandang seakan tertarik oleh magnet dan luapan-luapan reaksi dari tubuh kami masing-masing. Wajah kami semakin mendekat, kurasakan hembusan nafasnya di wajahku, hidung kami sudah menempel satu sama lain. Otakku tak mampu lagi menjaga kewarasan logika, hormon di dalam tubuhku mendominasi saraf dan gerak badan. Perlahan ku miringkan sedikit wajahku, bibir kami bertemu kemudian.
"Aku maluuu," kata Inne yang menyelusup ke bahuku.

"Hahaha ya udah, Bu Guru gaboleh, nanti dicontoh sama muridnya," ucapku mengelus rambutnya.

"Ih! Haha, tapi aku mau, tapi malu, gimana caranya biar aku ga malu?" tanyanya yang kemudian kembali menatapku dengan dekat.

"Kata Harry Maguire mah harus blunder dulu, biar kuat nahan malu," jawabku datar.

"Hah? Siapa itu?" tanya Inne.

"Itu professor specialis blunder."

"Yaudah aku mau blunder."

Hidung kami kembali bersentuhan, aku ulangi dengan memiringkan wajah dan mendekati bibirnya. Kulihat bibirnya setengah terbuka. Dan... Ya kami sama-sama larut dalam reaksi tubuh yang sama.

Pelan-pelan aku hisap bibir bawahnya yang tebal. Inne sama sekali belum merespons. Kucoba hisap lebih dalam.

"Emmmhhh...," Inne mulai bereaksi bibirnya mulai menghisap balik bibirku.

Jiwa kelelakianku menggebu mendengar desahan Inne yang lembut, kujulurkan lidah ke dalam mulutnya, Inne menyambutnya. Kini Inne sudah beradaptasi dan mnemberikan perlawanan sengit meskipun malu-malu. Inne mulai menikmati kenikmatan mulut yang saling memagut dan menghisap.

Gerakan tubuhnya mulai gusar, bergeser kesana kemari, kulihat Inne kini mulai merapatkan kedua pahanya. Nafasnya terengah-engah, mukanya memerah. Perlahan kugerakan tanganku ke perutnya yang masih ditutupi kaos. Ia semakin blingsatan. Hingga tanganku hinggap di pusaka gunungnya. Aku remas perlahan dengan lembut.

"Aaahhh..., emmmhhh..."

Kini ciumanku turun menyusuri lehernya yang jenjang nan bening, ia semakin terengah-engah. Aku semakin terbuai dengan lenguhan-lenguhan dan kernyitan dahinya. Inne menggigit bibir saat tanganku menyelusup ke balik kaosnya.

"Yasss..., ucap Inne menahan tanganku dengan suara parau dan tatapan yang sayu.

"Iyaaa?" jawabku, seraya menarik tanganku kembali.

"Nakaaalll," katanya seraya mencubit hidungku dan mencium gemas pipi kananku.

Ia kemudian naik ke atas kasur merebahkan diri.

"Siniiiii...," ajaknya dengan manja.

Aku menuruti permintannya. Kini pikiranku sudah waras kembali. Aku tak mengharapkan lagi, aku juga tak ingin memaksanya yang nantinya justru membuat Inne tak nyaman. Aku yakin jika momen yang membawa kami ke dalam buaian akan lebih terasa esensinya ketimbang grasak-grusuk mengandalkan ego. Ini lebih gentle menurutku, biarlah perasaan dan momen yang menuntun kami menuntaskan yang tersisa tadi.

Di atas kasur Inne kembali bersandar di dadaku sembari mulai berbincang lagi tertawa haha-hihi.
Sebelum terlelap Inne meminta dicium pipinya, karena tadi ia merasa bahwa aku curang yang telah diciumnya namun tak mencium balik.

"Sekalian aku kasih bonus nih, Cup...," kataku seraya mengecup keningnya.

Inne tersenyum bahagia sembari menutup matanya hingga terlelap.

Ia pun menyuruhku untuk menyewa indekos ini kalau nanti ada kamar yang kosong. Indekosnya notabene campur, untuk laki-laki dan perempuan, mahasiswa dan karyawan. Inne sudah mendiami indekosnya selama 3 tahun. Tahun pertamanya mengajar, ia menyewa indekos yang cukup dekat dengan tempatnya mengajar.

--ooo--​
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd