Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENGIKUT ALUR (A SLICE OF LIFE & SEX)

Bidadari pendamping Yas favorit suhu di sini?

  • Inne

  • Dita

  • Ojay


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Bimabet
PENGIKUT ALUR BAGIAN II: LANGKAH

1

Waktu itu menunjukkan pukul 21.00. Aku memutuskan untuk mencari tempat yang sekiranya bisa dipakai untuk tidur. Di sebuah ruko yang sudah tutup, aku duduk bersantai di sana, menikmati beberapa batang rokok sembari istirahat sejenak. Kulihat kendaraan masih lalu-lalang tepat di arah depanku. Menunjukkan kesibukan aktifitas kota ini.

Terbesit bayangan keluarga di saat tatapanku mengarah ke sebuah café, di sana terdapat satu keluarga yang ceria berbincang-bincang dengan hangat. Ah sudah kuputuskan untuk merantau, masa hendak pulang lagi ke rumah setelah hari pertama ini mendapatkan banyak kejutan yang tak terduga.

Teringat pesan Cipeng untuk menghubungi kenalannya, barangkali kenalan Cipeng bisa menampungku tidur, setidaknya untuk satu malam ini saja. Korogoh ponselku di saku celana, aku memilih untuk meneleponnya secara langsung setelah berpikir cukup lama untuk memutuskannya. Nampaknya sia-sia, panggilanku tak ada jawaban, menandakan tak terhubung ke jaringan. Tak menyerah, aku mencoba menghubunginya lewat telepon seluler. Nadanya tersambung, namun tak kunjung diterima.

Akhirnya kuputuskan untuk merokok lagi, dan melihat-lihat ke sekitar, barangkali ada masjid pikirku. Karena waktu itu aku hendak beribadah dan menumpang mandi. Namun sial, tak kutemukan bangunan yang menyerupai masjid sejauh mata memandang. Mungkin aku harus jalan terlebih dahulu menyusuri sedikit jalanan di kota ini, pikirku.

Setelah berjalan beberapa kilo, akhirnya kutemukan bangunan menyerupai masjid, kulangkahkan kaki untuk mendekat. Setidaknya memastikan bahwa yang kullihat memang benar-benar masjid. Ah syukurlah jawabku, yang kemudian duduk di tepi pintu masuk masjid. Aku membuka sepatu, memberikan udara segar pada kakiku yang sejak dari tadi pengap terbungkus sepatu. Ketika hendak berdiri dan menuju toilet, seorang pria tua keluar dari masjid dengan mengenakan sarung dan baju koko. Aku segera menghampirinya.

“Pak maaf, saya perantau dari kota X. Mohon maaf, Pak. Bapak pengurus DKM nya?” tanyaku sesopan mungkin.

Ia menatap mataku dalam-dalam.

“Iya, Mas. Saya pengurus DKM,” ucapnya datar.

“Mohon izin, Pak. Saya mau numpang mandi dan istirahat kalau boleh.”

Ia tak langsung menjawab, diam sejenak dan tetap menatap mataku.

“Mohon maaf, Mas. Air di sini susah, pengairan masjid di sini hanya digunakan untuk berwudu saja.”

Aku paham betul apa yang dipikirkan oleh bapak itu, terlihat dari cara bicara dan gestur tubuhnya. Aku menghargai keputusannya. Mau bagaimanapun masjid bukanlah tempat untuk istirahat, apalagi tidur. Dan kuputuskan hanya salat saja.

2

Kemudian aku melanjutkan jalan kaki menuju arah Barat. Kira-kira sudah 20 menit aku berjalan selepas dari masjid itu. Aku duduk di tepi trotoar dan menyimpan ransel di sampingku. Teringat masih ada sisa cemilan yang kubeli saat di mini market bersama Inne, namun aku hanya mengambil minuman saja dalam ranselku.

Kulihat di seberang jalan sana terdapat tiga laki-laki berpenampilan punk sedang mengamen. Diantara ketiganya ada yang menindik telinganya dan hidungnya, rambutnya berwarna kuning pudar. Aku inisiatif memanggil mereka.

“Mas! Mas!,” sembari berteriak.

Salah satu dari mereka menengok ke arahku, lantas aku melambaikan tangan padanya. Mereka menuju ke arahku setelah menyeberangi jalan yang cukup padat. Ada yang memainkan ukulele satu orang, dan dua temannya menyanyi seraya membalikan topi agar orang memberikan uang ke sana.

“Sini, sini,” ucapku seraya memberikan uang.

“Makasih, Mas,” jawab mereka yang hendak berjalan lagi.

“Eh tunggu dulu, sini, mau ngerokok ga?” ucapku.

Mereka ragu, aku meyakinkannya lagi dengan menyodorkan rokok. Akhirnya mereka duduk di sampingku. Dan mengambil rokok masing-masing satu batang.

“Nih makanan sama minumannya,” tawarku.

“Matur suwun, nggih, Mas,” ucap salah satu dari mereka.

Ia adalah Arji, sekitar 20 tahun. Ia hidup di jalanan sejak masih berumur 15 tahun. Karena masalah keluarga katanya. Sedangkan yang lainnya adalah Iksan, dan Jutep, sekitar 15 dan 17 tahun. Mereka bertiga berasal dari tempat yang beda. Arji dari Surabaya, Iksan dari Tanjungpinang dan Jutep dari Tegal.

Aku bersimpati kepada golongan mereka, namun di sisi lain aku merasa prihatin apabila mereka dicap sampah masyarakat oleh yang tidak tahu bagaimana mereka bisa jadi seperti itu. Ya meskipun aku tahu, sebagian ada yang sengaja lebih memilih hidup di jalanan daripada di rumah tanpa adanya masalah apapun. Yang jelas aku memandang mereka sebagai manusia yang setara.

“Kalian tahu penginapan yang murah ga?” tanyaku pada mereka.

“Ada, Mas. Di sebelah sana ujung pom bensin di pinggir bank,” jawab Arji menjelaskan dengan detail.

“Nanti tak antar, Mas,” lanjutnya.

“Kalian tidur di mana malam ini?”

“Malam ini kita mau ke Solo, Mas. Paling tidur di mobil bak.”

Aku memberikan semua cemilan dan minuman kepada mereka setelah tahu mereka akan menumpang mobil ke Solo. Aku keluarkan yang masih tersisa di ransel dan kumasukkan ke dalam kantong plastik.

“Ini bawa buat di perjalanan,” ucapku.

“Mas, udah cukup, Mas. Diberi rokok sama ini juga udah cukup,” kata Arji sembari menunjukkan bungkus makanan yang sedang dimakan bersama temannya.

“Udah bawa aja, anggap aja kenang-kenangan,” kataku.

Setelah berbincang dengan mereka cukup lama mengenai kehidupan sampai jam satu malam, aku tersadar bahwa kita tak bisa memilih untuk lahir di kehidupan yang bagaimana yang akan dijalani. Mereka yang hidupnya di jalanan sangat bahagia sekali. Menerima setiap detik demi detik yang akan terjadi dan tidak mengutuk orang-orang yang mencelanya. Mereka akan tertawa apabila ada orang yang memandangnya sebelah mata, karena hanya dipandang oleh orang cacat yang tak bisa menggunakan kedua matanya untuk bisa melihat mereka secara utuh.

3

Mereka mengantarku ke penginapan yang kucari, aku menunggu mereka sampai mereka mendapatkan tumpangan. Banyak mobil yang tidak mau berhenti dan tidak mau memberikan tumpangan, bagi mereka itu sudah biasa. Hingga akhirnya ada mobil yang bersedia memberikan tumpangan pada mereka.

“Mas, aku pergi dulu. Sampai ketemu lagi,” kata Arji setengah berlari padaku setelah mendapatkan mobil tumpangan di pinggir jalan.

“Hati-hati,” ucapku dengan tersenyum.

Arji meraih tanganku untuk salim, diikuti oleh Iksan dan Jutep. Berlebihan menurutku, tapi tak apalah. Aku menganggapnya itu sebagai tanda terima kasih mereka. Mereka dengan cepat menaiki bak mobil yang perlahan mulai berjalan lagi.

“Ji!” teriakku yang hendak melemparkan rokok yang masih tersisa setengah bungkus padanya.

“Makasih, Mas!” ucapnya seraya melambaikan tangan.

Aku begitu terkesan malam itu, banyak sekali yang menyentuh hati. Hal yang indah ketika memperlakukan sesama tanpa memandang segala sesuatu yang primordial.

Malam itu aku tidur di motel, mengistirahatkan badan yang lelah, dan mengosongkan pikiran yang membuncah. Menantang sekali melangkahkan kaki seperti ini, bertemu dengan orang-orang baik yang berkesan.

4

Aku terbangun siang hari, badanku yang lelah perlahan mulai pulih kembali. Kurenggangkan tanganku ke atas hingga persendian tanganku berbunyi. Kulihat ponselku yang sedang dicas, ternyata ada beberapa panggilan tak terjawab, salah satunya dari kenalan Cipeng. Ia menuliskan pesan lewat WhatsApp.

“Mas, maaf saya lagi di luar kota. Sebelumnya Cipeng sudah memberitahu saya, semalam saya ada keperluan mendadak.”

“Oh iya, Mas. Tidak apa-apa,” balasku.

Ah sudahlah, aku tak ingin banyak merepotkan orang lain, pikirku.

Kunyalakan rokok sembari melihat notifikasi yang masuk di ponsel. Tidak ada yang menarik rupanya.

Aku berjalan ke luar motel berniat untuk mencari makan. Cuacanya cukup cerah, orang-orang sibuk melakukan aktifitasnya, ada yang memanggul dus makanan yang diturunkan dari mobil box, ada pembeli yang sedang menawar dagangan untuk bisa dibawanya pulang, ada anak-anak yang sedang menangis dipangku ibunya.

Selagi asyik mengamati keadaan di sekitar, tetiba ponselku berbunyi. Ada panggilan WhatsApp dari nomor yang tak kukenali.

“Halo?” ucapku.

“Hey, Yas, di mana kamu?”

Aku tak asing dengan suara itu, mencoba mengingat siapa pemilik suaranya. Yang jelas perempuan.

“Aku lagi di Jogja, maaf ini siapa?” tanyaku.

“Rini, Yas. Aku tau dari Cipeng kamu lagi di Jogja. Aku di X nih, sini dong maen, Yas,” ucapnya.

“Iya, Rin. Siap. Nanti atur jadwal ya,” kataku.

Rini adalah teman pacarnya Cipeng, yang juga temannya mantan pacarku. Ia sudah tiga bulan berada di Jogja karena dimutasikan oleh tempat kerjanya. Ia juga menawariku pekerjaan dan menyuruhku memasukan lamaran ke tempat ia bekerja.

Ia saat itu berani menjamin tak ada uang tambahan untuk bisa diterima kerja, karena ia berteman cukup dekat dengan salah satu HRD. Aku mengiyakannya dan akan mengantarkan lamaran.

Lagi-lagi Cipeng yang telah membantuku, aku tak memintanya untuk menghubungi Rini. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, itu semua di luar kendaliku. Dan lagi-lagi aku memutuskan untuk mengikuti alurnya.

5

Hari senin, pukul 8 pagi aku bersiap-siap menuju kantor tempat Rini bekerja untuk memberikan lamaran yang ia rekomendasikan. Setelah berpakaian cukup rapi aku memesan ojek online. Kira-kira membutuhkan waktu sekitar 30 menit perjalanan untuk sampai ke sana dari motel yang kutempati. Aku langsung mengabari Rini, sesuai dengan arahannya.

“Rin, aku udah di lobby,” ucapku lewat sambungan telepon.

“Oke, wait ya, aku kesana sekarang.”

Sekitar 10 menit aku menunggu di kursi lobby hingga akhirnya ia datang dan langsung duduk di sampingku.

“Gila, rapi banget kamu, Yas,” ucapnya kaget melihat penampilanku.

“Sesuai arahan anda,” jawabku tertawa.

“Apa kabar, Yas?”

“Ya gini, Rin.”

“Ah tetep aja orang ini, susah basa-basi haha,” tawanya.

“Ya udah yuk ikut, Yas,” lanjutnya.

Aku mengikuti Rini yang kemudian mengarahkanku untuk masuk ke ruangan HRD. Rini menghampiri HRD-nya dan sedikit bercakap-cakap. Aku tak tahu apa yang mereka obrolkan. Rini menghampiriku.

“Yas, aku bantu sebisanya. Selamat berjuang,” ucapnya tersenyum dan menepuk pundakku.

“Makasih, Rin,” jawabku tersenyum juga.

Rini pergi keluar meninggalkanku dan Bu Ervin untuk melakukan wawancara. Katanya yang kutahu dari Rini, Bu Ervin adalah HRD senior lulusan S2 psikologi. Jelas ia mengetahui dan mempelajari teknik untuk menginterogasi seseorang. Kami berbincang cukup panjang lebar, mulai dari pengalaman kerja, hobi, kegiatan, dan seputar kehidupan pribadi.

Aku menjawabnya secara jujur dan ringan, tak berusaha untuk membuat Bu Ervin terkesan, seadanya saja. Sampai akhirnya ia menanyakan kapan aku bisa mulai bekerja di tempat ini. Dan kujawab; secepatnya.

Aku tak tahu bagaimana penilaian Bu Ervin untuk meloloskan dan menggagalkan para pelamar, yang kurasakan ia hanya mengajakku berbincang dan tak menegangkan seperti wawancara kerja pada umumnya.

Setelah semuanya selesai, aku mengabari Rini lagi melalui ponsel. Ia menahanku untuk pulang, ia memintaku untuk menemani jam makan siangnya di café sebelah kantor. Aku menunggunya sekitar satu jam lebih di pos satpam sembari berbincang dengan Mas Rian.

“Mas, ikut nunggu temen,” kataku pada satpam yang sedang duduk di posnya.

“Oh, iya mangga, Mas,” ucapnya mengangguk.

Tak lama ia ke luar menghampiriku.

“Nunggu siapa, Mas?” tanyanya.

“Mbak Rini, Mas.”

“Oh yang baru pindah ke sini ya?” tanyanya lagi.

“Betul, Mas.”

Kami berbincang cukup panjang saat itu, dari mulai membicarakan kantor, membicarakan tanggung jawab pekerjaan sebagai satpam, dan banyak lagi. Mas Rian sudah empat tahun bekerja di sini, menggantikan ayahnya yang telah uzur. Ia sudah menikah dan baru memiliki satu anak perempuan yang lucu yang ia perlihatkan fotonya padaku.

Hingga akhirnya satu jam berlalu, kulihat Rini mulai keluar, menghampiriku di pos satpam.

“Yuk!” ajaknya tanpa basi-basi.

Aku mengikutinya tanpa protes.

“Kita makan di X aja deh, Yas,” katanya merubah tujuan awal.

“Ya udah hayu.”

“Pake motorku aja, kamu yang bawa,” seraya menyerahkan kunci motornya.

Aku segera menghampiri motor Rini yang terparkir di belakang halaman kantor, di sana terdapat satu helm yang menggantung di spionnya. Dan baru kusadari kita membutuhkan dua helm. Namun ketika aku menghampiri Rini dengan menggunakan motornya, di pos satpam ia telah menggunakan helm yang telah ia pinjam dari Mas Rian.

Kami pun meluncur menuju tempat makan yang dimaksud oleh Rini, sekitar 15 menit kurang kami pun sampai.

Aku menceritakan semuanya kepada Rini ketika diwawancarai oleh Bu Ervin. Ia hanya tertawa-tawa saja mendengarkan ceritaku. Hingga ia tersedak sendiri karena tak kuat menahan tawanya. Aku menyodorkan air minum padanya dan ia meminumnya pelan-pelan. Setelah itu ia tertawa lagi karena kelakuannya sendiri.

“Jadi nanti kamu Rabu udah mulai kerja, Yas,” ucapnya padaku.

“Iya, Rin. Makasih banget. Aku yang bayar deh,” kataku

“Asyik di traknir nih hihi, aku bantu sebisa aku aja, Yas,” ucapnya tersenyum menatapku.

“Eh ngomong-ngomong kamu udah lama putus sama Vera?” tanyanya

Aku tak kaget, karena sudah menduga ia akan bertanya seperti itu sebelumnya.

“Iya lumayan sekitar 2 bulanan lah,” ucapku sembari menghembuskan asap rokok.

Vera adalah teman dekat Rini, dan ia adalah mantan pacarku, yang berpacaran sejak kuliah. Putus karena ia membutuhkan lelaki yang mapan, aku menghargainya. Dan aku sampai sekarang masih jauh dari kata itu.

“Gapapa, Yas. Santai ae jodoh gak akan kemana, tapi di mana?” katanya tertawa.

“Kamu gimana sama, Rey?” tanyaku balik.

“Bulan depan kita mau tunangan, Yas. Doain, ya.”

“Makan gratis lagi nih,” aku tertawa.

Ia melempar tisu ke arahku.

“Gak akan undang kamu, ngabisin makanan,” katanya dengan tertawa.

Ketika sedang berbincang, ponselku yang ada di atas meja berdering. Memperlihatkan panggilan suara WhatsApp dari nomor tidak dikenal. Aku tahu Rini melihatnya.

“Halo?” ucapku.

“Ini koper mau di bawa atau aku jual?”

Aku yakin kali ini adalah Inne, suaranya yang khas dapat kukenali. Dan kupikir siapa lagi orang asing yang tiba-tiba membahas koper.

“Oh hahaha, jual aja,” kataku tertawa.

Inne tertawa dengan lepas. Kulihat Rini menatapku, terlihat dari ujung mataku yang sedang melihat ke arah jalan.

“Kamu di mana?” tanyanya setelah tawanya reda.

Aku diam, tak tahu aku sedang di mana.

“Ini di mana?” tanyaku pada Rini.

“Di jalan x,” ucap Rini.

Yang kemudian kuucap ulang pada Inne di telepon.

“Itu deket sekolahku,” katanya.

Kami berbincang di telepon cukup lama hingga akhirnya kuakhiri setelah mengiyakan ajakan Rini untuk pergi.

“Nah gitu dong, Yas. Biar cepet move on dari Verra,” ledeknya.

Aku hanya tertawa saja. Kami pun berpisah di kantor setelah makan siang itu.

6

Ketika hendak memesan ojek online untuk pulang ke motel. Tiba-tiba Inne mengirim pesan padaku.

“Masih di kantor?” tanya Inne.

“Masih, baru mau pulang ke motel,” balasku.

Kuurungkan untuk memesan ojek online, dan menuju ke warung kopi yang tak jauh dari kantor. Sekalian membeli rokok yang sudah mau habis.

“Bu, kopi item satu sama rokok x dua bungkus,” ucapku.

“Monggo, Mas. Ini rokoknya.”

“Kopinya ditunggu ya, Mas,” lanjutnya.

“Nggih, Bu. Makasih.”

Tak lama kopi pesananku tiba bersamaan dengan masuknya pesan WhatsApp dari Inne.

“Mau cari kosan sekarang?” tanyanya.

“Kalo tidak mengganggu, monggo.”

“Atau mau kujual aja kopernya, Mas?” balasnya.

Aku tertawa dan hanya mengiriminya stiker tertawa.

Shareloc, aku kesana,” katanya.

Aku membagikan lokasiku pada Inne atas permintaannya. Aku menunggunya di warung kopi dan duduk di bagian depan warung tersebut yang mengarah langsung ke arah jalan.

Dalam perjalanan ini, aku dipertemukan dan dibantu oleh orang-orang baik. Berucap syukur di dalam hati atas apa yang telah kulalui.

Setelah kurang lebih 30 menit, dari kejauhan aku melihat Inne, segera kulambaikan tangan untuk menghentikannya. Ia menepi setelah melihatku.

“Apa salah saya, Pak?” ia berkata seolah-olah ditilang oleh polisi.

“Anda menepi tidak menggunakan lampu sein,” kataku dengan nada yang tegas.

“Ih, hahaha iya juga,” katanya tertawa.

Inne masih mengenakan seragam dinasnya. Lengkap dengan kerudung dan rok model span. Membut ia semakin terlihat tinggi semampai.

“Rapi bener, Pak,” ucapnya padaku.

“Harus rapi biar dikira orang bener,” jawabku spontan.

Ia mencubit lenganku seraya tersenyum kepada ibu pemilik warung, lalu duduk di sampingku.

“Gimana upacara bendera?” tanyaku menatapnya.

“Puanas, Mas,” jawabnya datar, yang kemudian diikuti oleh tawanya.

“Mau minum apa?”

“Yang seger.”

Ia langsung masuk sendiri ke dalam warung mencari minuman dingin.

“Beli ini, sama ini, Bu. Dibayarin sama Mas itu,” ucapnya sembari mukanya menoleh ke arahku.

Ia keluar membawa satu minuman dingin dan cemilan yang kemudian duduk lagi di sampingku. Kami berbincang cukup lama sampai sesekali tertawa. Ia mengeluh tentang bagian mengajarnya yang semakin banyak, dan ia bertugas sebagai wali kelas 12. Itu membuatnya sedikit kewalahan karena baru pertama kali mendapatkan tugas sebagai wali kelas.

Ia menanyai kabarku setelah tiga hari yang lalu sejak saat itu.

“Aku nanyain kabarmu karena lebih ke risih aja sih, kopermu berdebu di kosanku,” ucapnya dengan meledek.

“Untung aja ga sampe ada sarang laba-labanya,” jawabku.

“Tapi ga tidur di emperan kan?” tanya nya menatapku seperti anak kecil.

“Di kolam renang,” ia tertawa memegangi perutnya.

Aku tak menyangka akan bisa secepat ini dekat dengan Inne, sikapnya yang terbuka dan kadang seperti anak kecil membuatku nyaman untuk bertingkah seadanya.

Setelah bersiap-siap dan membayar semua pesanan, kami langsung berjalan menuju motor Inne yang terparkir di pojok warung.

“Ke kosan aku dulu, ganti baju.”

Aku hanya mengangguk.

“Kamu juga sekalian ganti baju di sana kan ada kopermu,” katanya memberikan penegasan bahwa keputusannya tepat.

“Nggih, Mbak. Aku manut sama sampeyan.”

“Ih! Hahaha,” ia tertawa sembari memakai helm.

“Helmku mana?” tanyaku.

“Oh iya, bentar.”

Ia segera membuka bagasi motornya dan di sana terdapat helm untuk digunakan olehku.

“Bawa motornya, Mas. Enak aja diboncengin,” ucapnya menyerahkan kunci motor.

Ia bergeser ke bagian belakang jok motor tanpa turun terlebih dahulu, aku menggelengkan kepala melihat tingkahnya.

“Mau liat ga?” katanya.

“Apa?”

“Nih” katanya sembari memperlihatkan ponsel barunya.

Ia tertawa sendiri, dan berbicara sendiri.

“Ih, sombong banget.”

Aku tertawa cukup keras dan ia pun tertular ketawaku.

Kami mulai menuju indekos Inne. Katanya sekitar 20 menitan karena lalu lintas tidak sepadat biasanya. Sepanjang jalan kami berbincang-bincang, dan membuatnya mendekatkan muka ke arahku dari belakang yang tertutup helm. Sesekali ia mencubit pinggangku ketika aku meledeknya sebagai orang yang teledor.

“Nanti hilangin lagi hpnya,” kataku setengah berteriak.

“Ih jangan,” katanya setengah berteriak juga.

“Biar ketemu aku lagi.”

“Hah?” suaraku tak terdengar jelas olehnya.

Aku diam.

“Apa ih!” teriaknya di samping telingaku yang tertutup helm.

Itu membuatku tertawa, tingkahnya tidak bisa ditebak. Kadang anggun, kadang juga seperti anak kecil.

Saat lampu merah, ada anak kecil yang tertawa di dalam mobil melihat tingkah kami atas motor.

“Udah ah malu, di liatin tuh,” kataku.

“Bodo amat.”

“Nanti juga dia kalo udah gede pasti ngalamin kayak gini,” sambungnya.

“Kalo segede gitu udah ngalamin gimana?”

“Ya bagus, tingkatkan, Nak!” katanya tertawa.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd