Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERPEN Panti Pijit

begawan_cinta

Guru Semprot
Daftar
27 Oct 2023
Post
540
Like diterima
9.112
Bimabet
Panti Pijit



PULANG dari luar kota, sewaktu melewati sebuah kota kabupaten, aku mampir ke sebuah restoran untuk makan dan istirahat. Selesai makan dan istirahat sekitar 35 menit, sudah saatnya lagi aku melanjutkan perjalanan.

Keluar dari restoran tidak sengaja mataku melihat di seberang jalan sana tergantung di sebatang besi sebuah papan putih kecil bertulisan Panti Pijit “Umi” dengan tulisan berwarna hitam.

Mengingat perjalanan masih sekitar 5 jam lagi baru sampai di rumah, alangkah baiknya kalau aku mampir ke panti pijat itu melemaskan otot-otot tubuhku yang kaku dulu, begitu pikirku.

Akupun melangkah menyeberangi jalan beraspal menuju ke Panti Pijit “Umi” meninggalkan mobilku di halaman restoran.

“Selamat siang, Pak. Mau mijit?” sapa seorang ibu-ibu yang duduk di depan meja kecil bertaplak kain taplak yang sudah agak kumal kulihat bersamaan dengan aku masuk ke ruang tamu panti pijat tersebut.

Panti pijit itu terletak di sebuah rumah yang sederhana. Di sekelilingnya masih berupa kebun, jauh dari rumah penduduk, sama seperti restoran yang kusinggahi tadi, juga sebuah restoran yang sederhana yang menawarkan menu ayam goreng kalasan.

Tukang pijit di panti pijit ini kulihat bukan wanita-wanita yang masih muda, seperti yang pernah kudengar dari teman sekantorku yang sering mampir ke panti pijit, melainkan sudah ibu-ibu paruh baya berumur sekitar 45 – 50 tahun.

Pakaian mereka juga sederhana, hanya berupa daster dan kain yang diikatkan ke pinggang. “Iya, mau mijit.” jawabku pada seorang ibu yang berumur sekitar 50 tahun yang memakai daster dan berbadan agak subur.

“Mari saya antar,” katanya bangun dari tempat duduknya di sebuah bangku plastik.

“Boleh saya pilih?” tanyaku sebelum ia mengantar aku ke ruang pemijitan.

“O... boleh Pak, silahkan.” jawabnya.

Aku memilih seorang ibu-ibu yang duduk di lantai dan sedang ngobrol dengan 4 orang yang berada di ruang tamu itu. Salah satunya adalah seorang laki-laki yang duduk merokok di kursi ruang tamu.

“Bu Telmi, kerja!” panggilnya, sekaligus si ibu ini mengantar aku ke bilik pijit yang berupa kayu kaso dan triplek yang dibikin ruangan segi empat dan di dalamnya terdapat satu dipan lengkap dengan kasur dan bantal serta dialasi dengan sprei kain putih, serta dilengkapi dengan satu meja kecil yang bertaplak lebih kumal dari yang di luar tadi.

Namanya juga panti pijit ala kampung, batinku yang sebelumnya aku belum pernah mengunjungi panti pijit, baru kali ini.

Aku sudah mempunyai istri dan 2 orang anak, masing-masing berumur 7 dan 5 tahun. Istriku berumur 34 tahun, sedangkan aku berumur 38 tahun.

Si ibu yang mengantar aku itu kemudian meninggalkan aku di bilik pijit dengan menurunkan kain putih yang dipakai untuk menutup bilik pijit.

Aku harus menunggu, tetapi tidak lama Bu Telmi sudah menyibak kain putih yang menghalangi pintu bilik pijit, masuk membawa wadah berisi krim body lotion, selembar handuk putih kecil dan selembar handuk berukuran besar berwarna putih juga.

“Buka pakaiannya, Pak.” kata Bu Telmi padaku dengan wajah tanpa senyum.

Pakaian Bu Telmi tadi adalah kain dan kaos berwarna putih bergambar salah satu partai peserta pemilu, sekarang sudah diganti dengan kaos berwarna merah dan rok ukuran sedengkul.

Tubuhnya juga wangi cologne murahan dan wanita berkulit coklat ini, jidatnya polos dan rambutnya di konde kecil, kelihatannya jutek atau galak.

Bu Telmi keluar dari ruangan setelah ia menaruh handuk di kasur, dan meletakkan wadah krim body lotion di atas meja. Mungkin daripada ia menunggu aku lama membuka pakaian, lebih baik ia keluar ngobrol dengan teman-teman sejawatnya sesama tukang pijit.

Dan ia tau kapan aku selesai membuka pakaian lalu berbaring tengkurap di kasur, ia masuk ke ruangan kemudian bagian pinggir kain putih yang tergantung di depan pintu yang masih meninggalkan celah, dirapatkannya dengan paku payung.

Ia mendekatiku dan sambil berdiri di depan dipan, ia mengucapkan sesuatu. Entah kalimat apa yang diucapkannya, kurang jelas kudengar. Setelah itu ia mulai memijit punggungku. “Sudah pernah ke sini, Pak?” tanyanya dengan suara yang mulai lembut.

“Belum,” jawabku. “Kebetulan tadi saya mampir makan di restoran depan.”

“Makanannya enak juga ya, Pak?”

“Lumayan. Ibu sering?” tanyaku.

“Nggak, saya hanya dengar saja dari tamu yang pernah mampir ke situ...”

“Kapan-kapan kalau Ibu nggak kerja kita ke sana...” kataku untuk mengakrabkan pembicaraan kami sambil Bu Telmi mengurut punggungku dengan body lotion.

“Rumah saya jauh dari sini, Pak. Sekitar 10 kilo dari sini...”

“Kok rumah Ibu jauh bisa bekerja sampai di sini? Ibu pulang pergi, atau tinggal di sini?”

“Pulang pergi Pak, naik bis yang lewat depan sini,” jawab Bu Telmi. Dugaanku salah tadi kalau aku bilang Bu Telmi jutek atau galak, ternyata ia ramah. “Saya belum lama kerja di sini Pak, baru seminggu...”

“Dulu Ibu kerja dimana?”

“Di rumah saja, kadang-kadang bantu tetangga panen di sawah, kadang bantu suami tambang pasir di sungai...”

“O... saya sangka Ibu sendirian nggak punya suami...” kataku.

“Saya sudah punya cucu Pak, dua... dari anak saya yang pertama...”

“Anak Ibu ada berapa?”

“Empat, yang kecil masih SMP. Bapak?”

“Saya punya dua anak, Bu.”

“Celana Bapak saya buka ya, Pak... biar nggak kotor kena minyak.” kata Bu Telmi.


“Iya Bu, silahkan.” jawabku memberikan Bu Telmi meloloskan celana dalamku dari kedua kakiku, sehingga untuk sementara membuat tubuhku telanjang bulat tengkurap di kasur, lalu Bu Telmi menutupi pinggangku dengan handuk berukuran besar.

“Kenapa Ibu bisa bekerja di sini?” tanyaku melanjutkan pembicaraan yang sempat terhenti.

“Saya diajak sama temen yang tadi duduk di kursi itu, Pak... yang rambutnya panjang lurus. Rumahnya dekat rumah saya. Katanya kerjanya nggak berat, ternyata kerjanya begini... saya risih Pak, tapi saya tidak tahu bagaimana keluarnya dari sini. Saya nggak enak sama yang ngantar saya itu, Pak. Bagaimana sampai ketahuan sama suami saya?” kata Bu Telmi.

Sebenarnya Bu Telmi tidak usah menutup pinggangku dengan handuk. Karena saat ia mengurut pantatku, handuk yang menutupi pinggalku dibukanya juga, bahkan penisku sempat kesenggol tangannya saat ia mengurut bagian dalam pahaku.

Inikah yang disebut Bu Telmi risih itu? Bisa jadi, tetapi ini resiko sebuah pekerjaan kalau ia dituntut mengurut seorang laki-laki harus dengan telanjang, tetapi hanya sebentar. Kemudian pinggangku ditutupinya lagi dengan handuk setelah selesai ia mengurut pantat dan bagian dalam pahaku.

“O... suami nggak tau?” aku melanjutkan pertanyaanku seperti mengintrogasi Bu Telmi sambil Bu Telmi mengurut kakiku.

“Tau Pak, suami saya tau saya bekerja, tetapi saya nggak bilang di sini. Saya bilang di pabrik batako...” jawab Bu Telmi.

Terselip rasa kasihan juga aku pada Bu Telmi. Ia dibohongi oleh tetangganya. Kejadian ini bukan hanya menimpa Bu Telmi, tetapi sering terjadi pada Bu Telmi-Bu Telmi yang lain yang diajak bekerja keluar negeri, tetapi dijadikan pelacur.

“Balik Pak, yang bagian belakang sudah.” ujar Bu Telmi.

Aku jadi ingin menguji Bu Telmi. Sewaktu aku membalik tubuhku terlentang sengaja tidak kupegang handuk yang menutupi bagian bawah tubuhku, sehingga tersibak handukku dan terkuak pula penisku yang telanjang di depan Bu Telmi. Tetapi Bu Telmi buru-buru mengambil handuk menutupinya.

Ia duduk di pinggir tempat tidur mengurut tanganku. Aku bertanya lagi padanya. “Selama satu minggu ini Ibu bekerja, sudah berapa orang yang Ibu urut?”

“Baru satu Pak, orangnya sudah tua. Ia minta saya ngurut ‘itu’nya. Saya nggak mau, ia maksa. Karena saya takut ia lapor sama pimpinan, saya turuti saja ngurut sampai ‘itu’nya keluar. Tapi sudah gak bisa bangun 'itu' nya, Pak. Kasihan juga saya... ia kasih saya tips 50 ribu rupiah saya terima saja...”

Ternyata benar kata temanku yang sering ke panti pijit itu kalau di dalam ruangan panti pijit terjadi transasi ‘non halal”. Tidak hanya terjadi di panti pijit yang berada di kota-kota besar, namun terjadi juga di panti pijit ala kampung seperti ini, karena yang datang ke sini bukan warga yang tinggal di sekitar panti pijit, melainkan orang seperti aku dari kota besar yang plat kendaraannya B, D, H, atau AB.

Letaknya juga strategis. Tinggal menyeberang jalan, sedangkan kendaraan bisa di parkir di depan restoran. Satu lagi, wanita paruh baya ternyata ada penggemarnya juga, tidak harus wanita yang muda-muda, cantik dan sexy. He.. he..

Sambil Bu Telmi mengurut tanganku, karena tanganku diletakkan Bu Telmi di pahanya sengaja kupanjangkan tanganku memegangi payudara Bu Telmi dari luar kaosnya. Aku ingin melihat reaksi Bu Telmi.

Payudara Bu Telmi bukan payudara yang masih bulat dan mengkel, melainkan sudah lembek dan kecil, padahal Bu Telmi tingginya sekitar 165 sentimeter, tidak kurus.

Barangkali tubuhnya tidak terurus, aku bisa memakluminya dan Bu Telmi membiarkan aku memegang payudaranya. Barangkali Bu Telmi menyangka aku tidak sengaja, karena sejak tadi aku ngomong dengannya, aku ngomong dengan sopan. “Biasanya begitu berapa sih, Bu?” tanyaku, maksudnya biaya ngocok kontol.

“Kata teman saya sih sekitar 150 ribu...”

“Kalau lebih dari itu?”

“Nggak tau Pak, kata pimpinan saya sih tidak boleh... satpol PP sering datang ke sini, Pak... kadang 2 hari sekali. Tetapi kalau ada yang berani ngajak si Yati, tetangga saya itu, mau saja ia Pak, asal harganya cocok...”

“Sudah tua...” jawabku menyentuh celana dalam Bu Telmi yang hangat dengan jari-jariku saat ia mengurut tanganku yang satu lagi, aku masukkan tanganku yang sudah diurutnya ke balik roknya. Aku hati-hati melakukannya, seolah-olah tidak kusengaja.

“Nggak, Pak. Malahan tuaan saya. Saya sudah 49 tahun, sedangkan Yati baru 45. Nggak punya anak pula. ‘Itu’nya masih singset lho...”

“Saya mau sama Ibu...” jawabku.

“Nggak mau Pak, maaf... saya nggak bisa... takut ketangkap sama satpol PP. Masuk penjara, malu sama suami... sama anak-anak, sama cucu, bisa-bisa juga saya diusir tetangga... diceraikan sama suami... saya panggilkan Yati saja ya, Pak... nggak apa-apa kok...” jawab Bu Telmi, tetapi jariku merogoh celana dalamnya dan menyentuh memeknya, ia tidak menolak. Celana dalam Bu Telmi dilapisi handuk.

Sampai di situ, perkataan Bu Telmi sama sekali tidak mempengaruhi keputusanku. Rasa ibaku berubah menjadi nafsu. Aku ingin merasakan bagaimana rasanya memek wanita yang sudah berusia 49 tahun ini. Tidak ada urusannya aku dengan suaminya. Kenal juga tidak aku dengan suaminya. Aku hanya sebagai tamu.

Kecuali kalau tertangkap satpol PP, tetapi Yati berani. Tidak bisa disangkal jika di setiap panti pijit terjadi pelacuran terselubung.

“Bisa tambah waktu, Bu?” tanyaku.

“O... bisa, Pak.” jawab Bu Telmi cepat, karena ia juga mendapat tambahan penghasilan jika aku menambah waktu dari shortime menjadi longtime.

Bu Telmi keluar dari ruangan pijit cukup lama untuk melapor aku menambah waktu 1 jam. Asap rokok melambung tinggi sampai masuk ke ruanganku dan tawa canda di luar seperti lokalisasi.

Bu Telmi masuk lagi. “Saya mau kecing, Bu.” kataku.

“Saya ambilkan ember, Pak... Bapak nggak usah keluar...” ujar Bu Telmi pergi dari kamar dan masuk lagi membawa ember cor yang diisinya dengan sedikit air.

Bu Telmi memegang ember saat aku kencing. Dengan sendirinya penisku ikut terpampang di depan mata Bu Telmi. Mau takut sama suami?

Selama Bu Telmi mengurut aku tidak mungkin ia tidak menilai aku. Selain aku masih muda, aku dinilainya punya banyak duit. Mau apa ia di sini, kalau bukan cari duit?

Dengan mengangkang ia dapat duit daripada ia membantu tetangganya memanen panas-panasan atau menambang pasir di sungai.

Sewaktu aku berbaring lagi di tempat tidur setelah selesai kencing, Bu Telmi tidak lagi sibuk menutupi penisku dengan handuk. Ia malah tertawa sambil melihat penisku. “He.. he.. besar ya, Pak...”

“Masukin ke mulut dong, Bu...” suruhku.

“Mmmm...” jawabnya memonyongkan bibirnya, tetapi diambilnya juga handuk kecil membersihkan penisku, kemudian ia mengulumnya di dalam mulut. Sekali-sekali ia hisap dan sedot sambil dipegangnya pangkal penisku.

Rasa nikmat merayap masuk ke urat-urat nadiku. Seorang wanita desa polos tiba-tiba kutemukan menghisap penisku lebih dari istriku.

Secepatnya aku bangun memeluk Bu Telmi, merobohkannya ke kasur dan mencium bibirnya. Ia membalas setiap ciuman dan pagutanku bergantian, malah lidahnya berani masuk ke dalam mulutku melilit lidahku.

Masihkah terpikirkan olehnya akan suaminya? Aku menarik lepas celana dalamnyapun tak menghiraukannya lagi. “Kenapa dilapisi handuk?” tanyaku.

“Takut haid, Pak... sama mencegah tangan jahil...”

Tak usah kuminta lagi, kemudian Bu Telmi melepaskan kaosnya sendiri dan BH-nya yang sudah kumal serta roknya, sehingga tubuhnya pun seketika menjadi telanjang bulat di depanku. Bagaimana dengan satpol PP?

Tak dipikirkannya lagi saat aku merebahkannya di kasur, aku menghisap teteknya dan jariku merogoh lubang memeknya yang bau amis. Sebanyak 2 jariku mentok sampai ke rahimnya.

Kukunya mencakar-cakar punggungku, ia menjerit. “Ahhhh... Paa...akkk... sseettthh... oooohhh....”

“Enak...?”

“Emmm...”

“Pernah dapat tamu yang begini?”

Bu Telmi marah, “Pak... saya hanya sama suami dan Bapak! Bapak boleh tanya sama Yati atau pimpinan saya...”

“Saya percaya, maka itu saya tertarik sama Ibu...” jawabku.

Bu Telmi memeluk aku erat-erat. “Pakk...” desahnya. “Saya mau sama Bapak begitu, karena Bapak sopan...”

Setelah itu kami bergelut di atas ranjang dipan yang sempit itu dengan liar. Bu Telmi meliuk-liukan pantatnya melumat penisku yang tertancap di lubang memeknya. Teteknya yang kisut seperti kain kusut penuh dengan cupanganku sudah tak digubrisnya lagi. Setiap sodokan penisku membuat matanya terbeliak nikmat.

“Hamilpun saya rela, Pak... oooh, nikmat banget, Pak... Bapak kapan datang lagi...?” racaunya dengan tubuh basah berkeringat.

Kuhisap lehernya dengan penuh nafsu. Bu Telmi boleh berumur 49 tahun dan sudah punya cucu, tetapi memek Bu Telmi masih legit selegit kue pukis. Sodokanku juga semakin gencar dan buas, mau berteriak jelas Bu Telmi tidak berani. Hanya suara dipan yang terdengar berderit-derit.

Karena air maniku belum terasa mau keluar, aku minta Bu Telmi nungging dan setelah Bu Telmi nungging, aku menjilat anusnya, lalu kucoba menekan penisku ke sana.

Bu Telmi membiarkan sampai penisku habis tertelan di lubang anusnya yang sempit. Pasti ia belum pernah melakukan anal seks.
Kugenjot anus Bu Telmi dengan hentakan cepat dan air manikupun tumpah di lubang pembuangan kotoran itu dengan derasnya.

Crroottt.... crrottt... crroottt... crroott...

Bu Telmi tengkurap ngo-ngosan ditindih olehku dengan penisku masih menancap di lubang anusnya. Tetapi ia masih bisa ngobrol dan tertawa seperti tidak terjadi apa-apa sewaktu selesai kami keluar dari kamar.

Ia pulang membawa duit cukup banyak hari itu, maka itu ia sangat mengharapkan aku mampir lagi. Tetapi cukup sekali saja, meskipun nikmatnya seminggu tidak hilang. Aku masih sayang dengan istriku.

Sebulan kemudian aku melewati daerah itu lagi, papan nama Panti Pijit "Umi" sudah hilang, dan yang tinggal hanya tiangnya saja. "Digerebek polisi, Pak... isinya pelacur semua sih... sama polisi dibawa ke panti sosial..."

Saat itu mungkin nasibku lagi baik sampai bisa ngentot dengan wanita berusia 49 tahun, terpikirpun tidak! (@08.2023_begawan_cinta)
 
setoran ke satpol pp/aparat nya ga ada sih...digrebek deh
 
Bimabet
Keren banget suhu ceritanya.... ditulis dg sangat bagus shg terkesan realistis
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd