Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Pacarku yang Terlalu Baik

Kannaya-Rai

Suka Semprot
Daftar
12 Apr 2024
Post
24
Like diterima
180
Bimabet
Bulan Pacarku yang Terlalu Baik

Disclaimer:
Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

Sinopsis:
Bulan (19) perempuan asal Bali yang sangat baik hati. Dibesarkan di keluarga saudagar pemilik peternakan besar, tak membuat Bulan menjadi pribadi yang sombong. Justru ia menjadi orang yang sangat peduli dan senang berbagi kepada orang-orang yang kurang beruntung di sekitarnya. Namun, hal ini justru membuat pacarnya, Ardian (22), menjadi cemburu. Apakah yang sebenarnya terjadi?

Tag : KBB, Eksibisionis, Degrade.

***

Part 1: Tangan Nakal Bocil-bocil

Namaku Bulan. Seorang gadis dari Bali yang dibesarkan di sebuah keluarga pemilik peternakan yang cukup besar di Bali. Bisnis peternakan adalah bisnis keluarga yang sudah diwariskan dari kakek, dan sekarang dipegang oleh Ayahku. Karena bisnis ini, keluarga kami memilih untuk tetap tinggal di desa walaupun sebenarnya kekayaan keluarga kami cukup-cukup saja untuk membeli rumah mewah di kota.

Inilah nilai yang diajarkan oleh keluargaku sejak dulu, untuk selalu sederhana dan senang berbagi pada orang lain yang membutuhkan. Keluarga kami dikenal dermawan, senang membantu orang dengan cara memberikan uang, makanan, atau bahkan memberikan pekerjaan bagi orang-orang yang membutuhkan. Ayahku sering sekali membantu pemuda-pemuda desa ini yang masih menganggur untuk bekerja di peternakan keluarga kami. Makanya posisi keluarga kami di desa ini cukup dihormati dan dicintai oleh warga sekitar.

Hidup di desa itu menyenangkan. Suasananya adem, pemandangannya asri, dan warganya ramah-ramah. Desa ini cukup terbelakang memang. Akses listrik masih belum merata di semua rumah, jadi biasanya aktivitas warga berhenti sejak hari sudah mulai gelap. Jarang sekali ada warga yang keluar setelah malam.

Dan uniknya di sini, beberapa warga masih menggunakan pemandian umum dari aliran sungai yang dibendung dan dibuat pancuran air. Kami biasanya menyebut pancoran. Apakah aku mandi di sini? Hihihi…, tentu gak dong ya. Aku mandi di rumah dong. Lagi pula pancoran ini biasanya sudah jarang dipakai warga, paling cuma anak-anak kecil yang mandi di sana.

***

Hari ini rumahku mengadakan acara selamatan. Seperti acara selamatan pada umumnya, kami mengundang warga sekitar untuk hadir dan ikut pesta makan-makan. Yang aku senang dari acara seperti ini adalah mendengar keceriaan anak-anak kecil yang suka berebut jajanan yang aku berikan kepada mereka

“Mbok* Bulann minta jajan!”

“Mau jajan Mbok….”

“Serbu Mbok Bulan”

Anak-anak kecil di sekitar rumahku berlari lalu mengerumuniku saat aku membawa nampan berisi jajanan pasar. Jajan yang kubawa tidak terlalu banyak, sedangkan anak-anak yang mengantri sudah cukup ramai. Jadi, aku memutuskan untuk membagikannya satu anak satu orang.

“Sabar nak e, semua dapet satu-satu”

——————
*Mbok = Sebutan untuk kakak perempuan
** Nak e = imbuhan di akhir kalimat, artinya sama dengan imbuhan “dong”


Aku sudah sangat kenal karakteristik anak-anak di desa ini. Anaknya lucu-lucu tapi kadang suka gak sabaran. Lihat saja sekarang mereka sudah berebut jajanan yang kubawa di nampan. Kutinggikan nampan itu di atas kepalaku agar mereka tidak bisa mengapainya supaya aku bisa membagikannya satu per satu. Eh tapi malah anak-anak ini makin berulah.

Dengan harapan mereka bisa menggapai jajan yang kubawa, karena tinggi badan mereka hanya sepinggangku, tangan mereka malah sampai dan mendarat di kedua payudaraku. Bayangkan saja, ada tiga sampai empat tangan anak kecil laki-laki mendarat di payudaraku. Bukan hanya mendarat, tetapi juga meremas dan menekannya.

Uhhh… dasar bocil-bocil. Kalo bukan bocil udah aku jitak kali kepalanya. Enak aja pegang-pegang payudaraku.

“Sabar dong. Berbaris. Satu orang satu ya” ucapku mencoba mengatur agar anak-anak ini mau berbaris. Tapi tetap saja, mereka masih berebut dan sesekali tangan mereka bersentuhan dengan payudaraku.

“Nyonyo-nya mbok Bulan gede” celetuk salah satu anak laki-laki yang sedari tadi tangannya menempel di payudaraku

“Eh ngomongnya!” tegurku

Bapak dari anak tadi, Pak Adi, yang kebetulan mendengar anaknya bercakap tidak sopan buru-buru meminta maaf padaku.

“Maaf yaa Gek Bulan, Wayan emang suka ceplas-ceplos ngomongnya hehehe. Tapi emang bener sih, eh” ucap Pak Adi

Pak Adi memang minta maaf, tapi matanya juga tak lepas dari memandang payudaraku. Dasar anak dan bapak sama saja.

Diberkahi payudara yang besar bisa jadi hal yang menyenangkan dan tidak menyenangkan di saat yang bersamaan. Senang karena bentuk tubuh seperti ini disukai lawan jenis, sehingga mudah bagiku untuk menggaet laki-laki yang aku mau, tetapi juga bentuk tubuh seperti ini kadang membebankan. Seperti misalnya tadi, payudaraku menjadi bulan-bulanan bagi bocil-bocil yang berebut jajanan.

——————
*Nyonyo = Payudara
** Gek = sebutan untuk anak perempuan yang lebih muda, seperti neng atau mbak

“Dah-dah, ni ambil satu orang satu ya. Jajannya dikit”

“Makasi Mbok Wulan!” satu per satu anak-anak kecil itu mengambil jajan yang kuberikan lalu bubar dan kembali bermain

Setelah di antrian terakhir, aku melihat satu anak kecil yang tadi sudah mendapatkan jatah jajannya, sekarang ikut mengantri lagi.

“Lho tadi udah dapet kan? Mana jajannya?”

“Mbok ini dikasih surat” anak kecil laki-laki itu menyodorkan sebuah kertas yang dilpat-lipat menjadi kecil

“Dari siapa ini?” tanyaku dengan ramah

Anak kecil itu cengegesan, “Dari itu…” jawabnya sambil menunjuk dengan matanya, lalu ia lari dan kembali bermain.

Aku melihat ke arah yang dituju oleh anak tersebut. Walah, ternyata bapak-bapak. Sebagai kembang desa di kampung ini, bukan hal yang baru bagiku untuk mendapatkan surat dari pemuda di kampung ini bahkan dari kampung seberang. Tak jarang juga, aku mendapat surat cinta dari duda, anak SMP, bahkan bapak yang masih punya anak dan istri.

Yah, namanya hidup di kampung. Kita harus bisa menerima dinamika dan kehidupan di sekitarnya aja hihihi. Aku menyimpan surat itu di saku celana. Biasanya surat surat seperti ini hanya kubaca sekali, lalu kubiarkan dalam tumpukan kotak surat di kamarku, sama seperti surat-surat sebelumnya.

***

Huufftt! Aku menghempaskan diri ke kasur setelah seharian lelah bantu beres-beres acara selamatan tadi. Baru saja main hp sebentar, Ibu memanggilku,

“Gek….” panggilnya dari dapur. “Gek Bulan”

“Iyaa bu…”

Aku berjalan ke dapur menghampiri ibu yang sedang sibuk dengan bungkusan makanan yang tertata di meja.

“Tolong ngejot ke Pak Tut ya. Kasian dia lagi sakit tinggal sendiri”

“Sekarang, Bu?”

“Tahun depan. Sekarang dong gekk…”

“Udah mau sandhikala ni, Bu”

“Nah cepetan makanya biar ndak malem pulang”

“Yaudah mana yang buat Pak Tut?”

“Ni, sekalian ingetin dia minum obat ya”

“Nggih Bu”

——————
*Ngejot = tradisi berbagi makanan kepada tetangga
** sandhikala = waktu antara sore ke malam, maghrib


Aku pergi ke rumah Pak Tut, tetangga kami yang dulu merupakan salah satu pegawai Bapak yang sudah lama bekerja. Sekarang usianya 60 tahunan. Istrinya sudah meninggal sepuluh tahun lalu dan anaknya pergi merantau ke Jawa dan sudah punya anak istri. Ia sekarang tinggal sendiri di rumah bedeg-nya yang lusuh. Pak Tut sekarang sedang sakit-sakitan. Aku tak tahu pasti sakitnya apa, tetapi sakitnya sudah menahun sekarang.

Aku melewati jalan setapak yang cukup gelap di desa ini. Tidak ada lampu jalan yang menerangi desa, hanya cahaya dari beberapa rumah yang sudah teraliri listrik saja yang sesekali menerangi jalan. Untuk sampai ke rumah Pak Tut, aku harus menempuh jarak beberapa ratus meter. Tidak jauh sebenarnya, tetapi ada jalan yang agak seram dekat pemandian umum / pancoran karena di sana cukup jauh dari rumah-rumah warga sehingga cukup gelap di sana.

Aku berjalan kaki sendirian menuju rumah Pak Tut. Jalanan setelah lewat Sandhikala di desa ini selalu sepi. Sebagian besar orang yang bekerja sebagai petani atau pengurus ternak di peternakanku selesai bekerja jam 5 sore lalu kembali ke rumah masing-masing untuk istirahat. Jarang ada kegiatan di malam hari kecuali kumpul warga di Banjar yang dilakukan seminggu sekali.

Ketika melewati pancoran, aku mulai merasakan hawa dingin yang menyelinap di tengkukku. Akhirnya aku mempercepat jalan karena takut akan diganggu setan atau leak yang kata orang-orang tua di sini, sering melihat bola bercahaya di dekat pancoran setelah hari gelap. Aku mencoba mensugesti diri bahwa tidak ada apa-apa di sini dan aku terus melanjutkan jalan.

Telingaku mendengar suara riak-riak air. Bukan seperti kucuran air saja, tetapi riak-riak air yang sengaja ditangkup dan ditepis oleh tangan. Seperti seseorang yang sedang mandi. Sebagai informasi, pancoran ini bentuknya semi outdoor. Tidak ada atap dan hanya terbuat dari dinding semen serta tidak memiliki pintu. Jadi kalau ada yang mau mengintip, mereka hanya cukup mendekat saja dan sudah bisa melihat apa yang ada di dalam sana. Untungnya, para warga di sini sangat takut akan karma dan hukum adat, sehingga sejauh yang aku tahu, tidak ada yang berani mengintip.

Suara gemericik air yang aneh itu membuatku penasaran. Gemercik airnya konsisten, seperti air yang ditampung dalam kedua telapak tangan, lalu ditampiskan ke atas kepala. Begitu berulang kali secara konsisten. Aku tak tahu suara itu berasal dari pancoran pria atau wanita, karena keduanya terletak bersebelahan. Karena penasaran, walaupun juga takut, aku mencoba mendekat ke pancoran itu.

Suara gemercik airnya semakin terdengar jelas. Aku rasa suaranya lebih jelas dari arah sebelah kanan, pancoran pria. Aku mengendap-endap. Jantungku berdegup kencang. Tanganku sedikit gemetar karena takut dan kedinginan terkena udara dingin dan lembab dari pancoran. Rasa penasaranku masih tinggi. Siapa yang mandi di tengah gelap malam seperti ini? Apakah ia sedang melakukan ritual-ritual tertentu untuk ilmu hitam?

Aku mengintip dari celah tembok pancoran. Di sana, aku melihat seseorang pria sedang mandi membelakangiku.

Seorang pria berbadan tegap, tinggi besar, dan atletis. Otot-otot Trapezius-nya menonjol membentuk guratan-guratan yang khas, kekar, dan maskulin. Bulir-bulir air mengalir perlahan dari pundaknya, turun ke punggung, lalu ke pantatnya yang kencang dan hanya tertutupi setengahnya oleh genangan air. Kulitnya yang coklat kehitaman, rambutnya yang panjang sepundak, serta sebuah tatto berbentuk burung garuda yang mengepakkan sayapnya, membentang selebar bahunya yang bidang.

Aku tertegun sejenak. Menelan ludah. Nafasku berat. Aku harus mengakui. Sebagai wanita normal, pemandangan ini sangat indah. Biasanya aku tak mudah bernafsu, tetapi kali ini, melihat seorang pria berbadan tinggi, tegap, dan kekar, membuatku menahan nafas sejenak sambil membelakakan mata. Takjub akan indahnya pemandangan yang baru saja kulihat.

Dia adalah Bli Bagus. Salah satu pekerja di peternakan Ayah. Aku pernah bertemu dengannya beberapa kali. Ia tipikal laki-laki pendiam dengan senyuman yang manis. Usianya 27 tahun, 8 tahun di atas umurku. Ia masih lajang dan…. sexy….

Segera kubuyarkan lamunanku. Pertama, aku sudah punya kekasih. Namanya Ardian dan aku setia dengannya. Kedua, aku ke sini untuk mengantar makanan ke rumah Pak Tut, lalu pulang.

Aku berjalan cepat sampai di rumah Pak Tut. Sebuah rumah bedeg yang pintunya hanya terbuat dari kayu dan tripleks.

“Swastiastu!” salamku di depan pintu rumahnya. Tak ada jawaban

“Swastiastu!” teriakku lebih kencang.

Tidak ada jawaban, jadi aku masuk ke rumah bedeg-nya. Rumah ini cukup kumuh. Tidak ada lampu penerangan kecuali sebuah lampu minyak yang diletakkan di sudut ruangan. Aroma kayu tua, bercampur dengan wewangian rempah, minyak oles, dan besi-besi tua berkarat tercium dari rumah ini.

——————
*Banjar = tempat kumpul warga untuk berkegiatan / mengadakan rapat
**Rumah bedeg = rumah dari anyaman bambu


“Pak Tut?” panggilku sambil menoleh kiri kanan ke dalam rumah satu kamar ini



Kulihat Pak Tut sedang duduk di kursinya dengan hanya mengenakan kamen dan bertelanjang dada. Ia tampak kesulitan menaruh obat dari daun base untuk mengobati luka di betisnya. Ia mencoba meraih betisnya sendiri dengan cara membungkuk, tetapi punggungnya nyeri untuk diajak membungkuk sehingga ia kesulitan untuk mengobatinya sendiri.

“Gek… boleh tolong bantu obatin bapak?” pintanya dengan lembut

Aku bergegas menghampirinya, “Oh nggih pak”

Aku bersimpuh di lantai di depan Pak Tut yang sedang duduk di atas kursi kayunya. Kulihat mulutnya sedang sibuk mengunyah daun base yang dihaluskan terlebih dahulu sebelum ditempelkan ke atas luka. Posisi Pak Tut duduk dengan kaki agak mengangkang. Kamennya tersingkap sedikit, menampilkan paha bagian dalamnya yang sudah mulai menyusut, serta….

penisnya yang masih panjang dan berurat, yang tampak tidur tenang di antara kedua pahanya.

Aku berusaha positif thinking saja. Pak Tut ini orang tua yang sudah lama bekerja untuk Ayahku. Bahkan dulu sewaktu aku masih kecil, Pak Tut sering mengajakku jalan-jalan mencari keong di sawah. Tidak mungkin ia berbuat aneh-aneh. Aku pun menganggap ia seperti kakekku sendiri.

“Ini gek basenya” ia menyerahkan daun base yang sudah dikunyah dari mulutnya ke tanganku.

——————
*Daun base = daun sirih
**Kamen = pakaian bawah pria yang terbuat dari kain yang dililitkan, seperti sarung

Aku menerimanya, walaupun agak jijik, aku tidak bisa menolak. Bagaimana pun aku juga kasihan pada Pak Tut, tidak punya siapa-siapa lagi untuk merawatnya. Kalau saja aku tidak datang membawa makanan hari ini, siapa lagi yang akan membantunya mengobati lukanya?

Aku mengambil daun base hasil kunyahan Pak Tut itu lalu menempelkannya ke lukanya. Ini adalah metode penyembuhan yang biasa dilakukan oleh warga desa. Daun base yang biasa tumbuh liar di pohon-pohon besar diambil, dikunyah sampai halus, lalu ditempelkan di luka. Pak Tut juga memberikanku sepotong kain bekas untuk mengikatkan daun base itu agar tetap diam di lukanya. Sambil aku merawatnya, aku sambil mengajaknya bicara.

“Kenapa ini lukanya, Pak Tut?”

“Jatuh tadi di sana pas nyari kakul”

“Masih Pak Tut nyari kakul?”

“Masih…” jawabnya lirih “Pake makan”

“Pak Tut, kata Ibu kalo ndak ada pake makan, ke rumah minta makan ya. Ndak usah nyari kakul lagi, makan dah di rumah ya Pak. Kasian Pak Tut udah tua masih jalan-jalan gini”

“Nggih…, matur suksme gek”

“Nah dah ini lukanya udah selese diperban. Ini Bulan bawain makanan ngejot, dimakan nggih pak”

“Nggih matur suksme gek”

——————
*Kakul = keong sawah
**Matur suksme = terima kasih

Aku masih bersimpuh di depan Pak Tut, melihat benar-benar lukanya apakah sudah tertutup dengan sempurna. Sesaat kami sama-sama diam lalu Pak Tut berkata

“Gek…” ucapnya lembut

“Kenapa Pak?”

“Boleh Bapak minta tolong satu lagi?”

“Apa itu pak?”

Aku mendongak ke arah Pak Tut, “Bapak sudah lama ndak pernah terpuaskan batinnya setelah istri bapak meninggal. Boleh tolong kocokin kontol bapak. Kalau kamu ndak keberatan”

Kulihat penis Pak Tut yang tadinya tertidur lemas, kini sudah berdiri tegak mengacung di sela-sela kain kamennya. Penisnya yang sudah tua itu masih tampak tegang. Bentuknya yang mengacung dan berurat tampak gagah walaupun tubuh pemiliknya sudah tua renta.

Bersambung ke part berikutnya….

Spoiler next:
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd