makasih hu...jujur, saya masih belum bisa move on sepenuhnya, apalagi setelah beresin epilog, rasanya hampir kayak kehilangan untuk kedua kalinya
doain aja ya suhu...
semoga suatu hari eja dapat kedamaian nya selepas ditinggal nat, mungkin bukan hari ini, besok, minggu depan atau bulan depan. tapi saya yakin u will find ur own peace.
i dont know it will help you or not, tapi coba ja dengeri the cure yang picture of you. kayanya pas banget jadi soundtrack cerita ini
makasih banyak hu doanya...makasih jg rekomendasinya, bakal saya masukin ke album OST memoir saya dgn Nat (udah ada banyak lagunya hehe), semoga dia jg suka
Terima kasih @fartjokes telah berbagi ceritanya sampai Tamat.
Kami nantikan cerita selanjutnya.
Tetap semangat dalam bekerja dan berkarya. Stay Safe n Keep Healthy
Wow this is great story. Story telling yang sangat baik terbawa dalam suasana cerita yang memainkan emosi. Kaget ketika endingnya harus seperti ini. At least dalam kehidupan Nath dia pernah merasakan cinta dan kasih sayang dari Anda yang tulus sampai Dia meninggalkan dunia ini. Jalan cerita kehidupan tidak ada yang tau, Keep moving on Dude.
Turut berduka cita atas kehilangan yang mendalam.
WHAT THE FUCK DID I JUST READ
turut berdukacita hu ...
lu orang yang hebat hu. lu bikin seseorang tobat dari make .... you are the true king.
benar benar pasangan yang saling melengkapi ... perfect couple, I must say. sayangnya Tuhan berkehendak lain
tapi Tuhan punya rencana kan. Suhu mungkin memang dipertemukan dengan Nat untuk buat dia tobat ...
Mungkin Tuhan sudah memang rencanakan umurnya gak panjang, jadi suhu emang diletakkan disana untuk bawa dia ke jalan yang benar sebelum akhirnya dia harus berangkat. Well, ngurangin dosa dia satu.
Nat kristen (katolik) yah? Mungkin lagu ini bisa ngobatin suhu.
Bila Kau Ijinkan Sesuatu Terjadi
Kupercaya Semua Untuk Kebaikanku
Bila Nanti Telah Tiba WaktuMu
Kupercaya KuasaMu Memulihkan Hidupku
Waktu Tuhan Pasti Yang Terbaik
Walau Kadang Tak Mudah Dimengerti
Lewati Cobaan Kutetap Percaya
Waktu Tuhan Pasti Yang Terbaik
Wow this is great story. Story telling yang sangat baik terbawa dalam suasana cerita yang memainkan emosi. Kaget ketika endingnya harus seperti ini. At least dalam kehidupan Nath dia pernah merasakan cinta dan kasih sayang dari Anda yang tulus sampai Dia meninggalkan dunia ini. Jalan cerita kehidupan tidak ada yang tau, Keep moving on Dude.
Turut berduka cita atas kehilangan yang mendalam.
WHAT THE FUCK DID I JUST READ
turut berdukacita hu ...
lu orang yang hebat hu. lu bikin seseorang tobat dari make .... you are the true king.
benar benar pasangan yang saling melengkapi ... perfect couple, I must say. sayangnya Tuhan berkehendak lain
tapi Tuhan punya rencana kan. Suhu mungkin memang dipertemukan dengan Nat untuk buat dia tobat ...
Mungkin Tuhan sudah memang rencanakan umurnya gak panjang, jadi suhu emang diletakkan disana untuk bawa dia ke jalan yang benar sebelum akhirnya dia harus berangkat. Well, ngurangin dosa dia satu.
Nat kristen (katolik) yah? Mungkin lagu ini bisa ngobatin suhu.
Bila Kau Ijinkan Sesuatu Terjadi
Kupercaya Semua Untuk Kebaikanku
Bila Nanti Telah Tiba WaktuMu
Kupercaya KuasaMu Memulihkan Hidupku
Waktu Tuhan Pasti Yang Terbaik
Walau Kadang Tak Mudah Dimengerti
Lewati Cobaan Kutetap Percaya
Waktu Tuhan Pasti Yang Terbaik
wah...much thanks for the kind words and consolation hu...yg suhu katakan tentang saya yg ditaroh di jalan dia hampir sama kayak yg Vi bilang dulu...
jujur, saya dan Nat dulu bukan saints...we both have done questionable stuffs...
awalnya dulu saya betul2 marah...saya ingin percaya ini semua takdir, cuma biar bisa benci sama siapapun yang bikin takdir...dari sana juga ide judul thread ini asalnya.
tp lama2 saya ingin percaya bahwa Nat sekarang ada di tempat yg lebih baik, dan saya ingin lebih menghormati keyakinan dia...
saya jg yakin dia pasti bahagia banyak orang disini seperti suhu yg mendoakan dia tanpa ngejudge, walaupun sedikit banyak tahu apa aja yg pernah kami lakukan..
hahaha...jujur dulu sempet ada kepikiran sebentar, tp ga bisa. udah 2 tahun kepergian Nat, sampe sekarang saya rasanya masih belum siap move on untuk menjalin hubungan baru tp seengganya saya dan Vi sampe skrg masih berteman baik
Wah sedih banget endingnya. Tidak mengira seperti itu. Thank you suhu atas sharing & ceritanya. Pasti tidak mudah menceritakan hal tersebut. Btw bagaimana hubungan suhu dengan keluarga Nat, dengan adik & ortunya. Atau malah adik Nat jadi penggantinya, barangkali hehehe
Wah sedih banget endingnya. Tidak mengira seperti itu. Thank you suhu atas sharing & ceritanya. Pasti tidak mudah menceritakan hal tersebut. Btw bagaimana hubungan suhu dengan keluarga Nat, dengan adik & ortunya. Atau malah adik Nat jadi penggantinya, barangkali hehehe
Thank you for sharing bro, it's a beautiful story indeed... Kalau suatu saat ada update ketika lu merasa ingin cerita tentang hubungan kalian lagi di memoir ini, it would be an honor for us
Bonus chapter pendek. Mungkin update terakhir, jadi maaf ga saya cabut dulu prefix TAMAT nya, gapapa ya.
Btw maaf juga rasanya agak malas gambarin adegan sex se-detil sebelumnya...cuman ingin sedikit menambahkan kenangan manis.
“…ada satu di rumah kecil S”
“Udah liat tadi, ga akan keluar dia, depannya open banget. Aku liatin ke yg di bukit aja, full 2.” Timpal Nat tenang.
Oh, betul juga, masih ada yg tadi baru nampak ngintip2, keliatannya baru rotasi kesana.
“ntar dulu…masih semenit lagi, aku yakin yg berdua itu pasti ketemu juga sama yg di rumah. Biarin ketemu dulu aja.” Lanjutnya lagi, masih tenang.
Tapi, kok masih ada yang kurang ya rasanya.
“…bentar…kan masih sisa 4, masih ada satu lagi nih berarti belum keliatan.” Aku mulai curiga dengan area di belakang kami.
“hmm, kayaknya ngumpet di belakang yg rumah kali? Ato prone di seberang kita ini.”
“bentar Nat…di belakang udah ga mungkin kan ya?” memang agak ga mungkin sih karena zona udah menutup setengah rumah tempat kami sembunyi.
Nat tak menjawab, masih sedikit2 mengintip2 ke seberang. Keliatannya masih serius menaksir kemungkinan dan menyusun rencana.
Zona mulai bergerak menyempit dari belakang kami. Aku dan Nat sama2 keluar dari rumah sedikit2, bersembunyi dulu di belakang pagar yang rusak dan pepohonan di depannya.
Sial memang, saat zona sekecil ini malah jatuh di padang rumput luas memang selalu merepotkan, tanpa cover yang memadai, apalagi masih banyak orang yang tersisa. Tapi tak disangka kesempatan kami datang.
Terdengar rentetan tembakan dari seberang sana. Opening.
“ayo2 majuin dulu aja mumpung lagi war…” aku belum sempat menyelesaikan kalimatku, terdengar satu tembakan nyaring dari tempat Nat. Bam.
“knock satu.” Kata Nat tenang.
Buset. Kayaknya ada sekitar 200m jarak dari tempat kami ke tempat mereka berperang. Salah satu dari tim dua orang sudah jatuh merangkak, temannya tak terlihat karena sudah masuk ke dalam rumah darimana suara rentetan tembakan masih terdengar.
“…coba aku maju tungguin di depan ya.” Karena aku memang hanya pakai M4 dan shotgun, aku ga bisa engage dari jarak jauh seperti itu.
Aku udah di balik pohon tepat di depan rumah itu, saat kudengar suara beberapa tembakan malah dari belakangku.
“…Ja! Ah shit, awas yg satu lagi dari belakang.” Kulihat ke arah Nat, ternyata malah dia yang sekarang udah merangkak.
Sial, nah bener kan ternyata emang di belakang kami, gatau tadi satu orang ini ngumpet dimana.
Baru saja aku mau pergi ke arah Nat kembali, aku baru sadar ternyata posisiku jadi sangat terbuka. Beberapa kali tembakan dari dalam rumah, aku udah terkapar tak bernyawa tanpa sempat menengok ke belakang.
“..ffffffuuuu…” aku menahan umpatan dengan geram, “dikit lagi bangettt”
Nat hanya nyengir melihatku seperti itu. Dia melepas headphone yang daritadi dia kenakan, kemudian datang menghampiriku yang masih duduk geram di depan layar. Posisi kedua meja kami saling berpunggungan di ruangan itu jadi kami main tanpa melihat satu sama lain.
“…hahaha, udah yah, emang belum hokinya kali.” Kata Nat menenangkan. Dia memelukku leherku dan menempelkan kepalanya di pipiku dari belakang, membuat leherku terasa hangat oleh kedua tangannya.
Aku melepaskan headphone dan meletakkannya di meja, sebelum kuputar kursiku ke belakang menghadap Nat. Dia mencium bibirku dengan singkat.
“…tidur sekarang yuk?” ajaknya.
Tanpa peringatan tangannya tiba2 meraih ke arah selangkanganku dan sedikit meraba-raba.
“…yah kok ga bangun sih…? Serius amat gitu…” katanya dengan ekspresi kecewa yang dibuat-buat.
Hmm. Last game yang kurang menghasilkan. Aku emang suka gereget dan kesal kalau udah hampir menang tapi ga jadi seperti tadi. Tapi mau gimana. Sekarang udah hampir jam 11 sedangkan besok pagi kami berdua masih harus pergi kerja.
“Sebat dulu deh yuk? Sekalian abisin sisa ini beer berdua aja mau?” tawarku padanya. Lagian kurasa aku ga akan bisa langsung tidur.
“…yaudah boleh deh.” Tanpa berpikir Nat langsung mengiyakan tawaranku.
Setelah mematikan PC masing2, kami berdua membuka pintu balkoni dan duduk di luar. Di atas flat Nat memang terdapat sebuah area rooftop, tapi biasa kami sebut balkoni, karena ukurannya yang lumayan luas sehingga bisa diletakkan dua buah kursi kayu dan meja kopi. Tapi karena tanpa atap, jarang digunakan kalau siang atau hujan. Tapi balkoni ini adalah salah satu tempat yang dipenuhi kenanganku dengan Nat, dan akan lebih banyak lagi diisi oleh kenangan baru kami di masa setelah ini.
Udah sekitar seminggu ini aku tinggal berdua dengan Nat di flatnya. Vi sedang pulang ke Indonesia selama 3 minggu karena sedang libur semester. Kami udah ga “bersembunyi” lagi di depannya semenjak dia tahu Nat sedang berjuang lepas dari addiction dan aku berusaha membantunya. Udah sering aku datang menginap di tempat Nat dan dia tak pernah berkomentar apa-apa. Nat juga bilang bahwa dia ga pernah bilang apa-apa ke orangtuanya.
Banyak aktifitas yang aku dan Nat lakukan selama masa pemulihannya. Aktifitas olahraga fisik tentu adalah prioritas, 3 kali seminggu kami pergi ke gym dan di Sabtu pagi kami selalu pergi jogging. Tapi selain itu, aku juga berusaha mengisi setiap waktu luang Nat dengan apapun.
Membaca buku-buku baru, menonton film atau series, bermain game online, belajar (dan mengajari Nat) gitar, bermain board game, apapun kulakukan dengan Nat agar dia tak punya banyak waktu kosong, karena dulu withdrawal symptom Nat sering kambuh kalau dia sedang tak melakukan apa-apa.
Sejenak pikiranku kembali pada beberapa bulan lalu, saat Nat masih kadang-kadang mengalami withdrawal symptom agak parah dari kecanduan narkobanya. Pada suatu hari masuk ke kamar Nat dan mendapati dia tergeletak di lantai. Hatiku berderu kencang dan berlari membangunkannya, pikiranku kalut dipenuhi bayangan terburuk yang dapat terjadi padanya.
Untungnya, ternyata dia masih setengah sadar, hanya saja tatapannya kosong dan tak merespon apa-apa selama beberapa saat, sampai akhirnya aku bisa menyadarkan dia sepenuhnya. Sejak saat itu, aku berjanji pada diriku sendiri aku akan betul-betul menjaga Nat semampuku. Tapi selain itu, pikiranku juga dipenuhi khayalan gelap, apa yang akan terjadi padanya seandainya kami tak kembali bersama dan aku tak ada disana. Aku selalu bergidik memikirkan itu.
Sekarang, hampir dapat kupastikan bahwa Nat sudah betul-betul terlepas dari addiction, tapi aku tak mau ambil resiko. Aku ga mau membiarkan dia sendirian tanpa orang lain saat Vi harus pulang beberapa minggu ini. Selain itu ya tentu saja aku juga ingin terus bersama Nat mumpung ada kesempatan ini, baik untuk kebutuhan rohani maupun jasmani.
Sambil duduk bersandar di kursi kayu itu, aku menghembuskan asap ke atas sambil melihat ke arah langit. Langit Sydney malam itu sedang sangat berawan, walau tanpa tanda-tanda akan hujan. Balkoni ini udah banyak memenuhi kenanganku dengan Nat, dan akan lebih banyak lagi menyertai kengananku dengannya di masa yang akan datang.
“…besok kamu jadi masih datang lagi kesana? Terakhir?” tanyaku sambil mengeluarkan sisa asap dari mulutku.
“iya…sekalian sambil perpisahan, aku udah bilang sama Carl dari minggu kemarin sih…” jawab Nat sambil menenggak kaleng bir yang kami bagi berdua itu.
Aku hanya mengangguk. “Yaudah…kamu duluan aja kesana, kayaknya aku ga bisa nganterin dulu gapapa yah. Ntar biasa aku tungguin di luar.” Aku besok sebetulnya udah ada rencana rahasia untuk Nat juga.
“gapapa…besok aku kabarin kok pergi sama kalo udah selesainya…” jawab Nat meyakinkanku.
Sudah selama 10 bulan ini Nat memang mengikuti support group ex-addict anonymous ini, seminggu sekali setiap hari Jumat malam. Sebetulnya udah beberapa bulan ini menurutku Nat udah ga perlu lagi bantuan dari sharing di support group, tapi Nat masih ingin tetap mengikuti agar bisa ikut membantu orang lain, katanya. Such a very kind and sweet girl, my Natasha. Namun dia akhirnya memutuskan untuk berhenti mulai dari minggu depan, mengingat kondisinya yang sekarang udah sangat membaik daripada sebelumnya.
Aku sendiri udah merasakan banyak yang berubah baik dari hubungan kami maupun dari kami sendiri masing-masing, setelah memulai kembali hubungan dengan Nat ini, hampir setahun yang lalu. Nat kini lebih terbuka, in a good sense, dimana aku jadi betul-betul mengenal semua sifat baik dan buruknya luar dalam. Begitupun dia terhadapku. Memang butuh waktu, tapi pada akhirnya kepercayaanku kepadanya sudah kembali pulih. Selain itu, sekarang rasa sayang kami pada masing-masing rasanya semakin menguat daripada sebelumnya.
Nat mematikan puntung rokok yang sudah hampir terbakar sampai filternya itu, tapi kemudian mengambil satu batang lagi dan menyalakannya.
“…Ja…aku mau ngomong deh…” kata Nat perlahan, terdengar agak serius.
Hmmmmm. Biasanya diawali kata-kata seperti ini bukan berita baik, pikirku.
“tadi siang Ibu nelpon…”
Kayaknya aku tahu ini arahnya kemana.
“…becanda sih kayaknya, tapi Ibu sempet bilang cepet cari pasangan. Kalo bule lebih bagus. Hahaha.” tawa Nat terdengar nervous dan dipaksakan.
Aku hanya masam-masam saja mendengarnya. Orangtuanya memang belum tahu hubungan kami, walaupun mereka udah tahu wajah dan namaku.
Nat masih enggan bercerita bahwa kami berpacaran, karena kami beda agama. Awalnya aku merasa heran, tak disangka pikiran orangtuanya cukup “kolot” untuk ukuran keluarga yang terbilang modern dan berada. Tapi itu tak mengurangi rasa sayangku pada Nat sama sekali.
“…maaf yah, kamu marah yah? aku janji nanti aku ceritain kita ke Ibu sama Papa pas pulang…”
Dua minggu lagi Nat akan pulang ke Indonesia untuk semacam gathering keluarga. Singkat saja, hanya selama weekend. Dan dia rencananya akan balik kesini lagi bersama Vi. Aku agak tak yakin bagaimana Nat bisa bring up topik tentang kami, tapi aku ga mau terlalu memikirkan hal itu.
Sebetulnya, Nat pun sempat mengajakku untuk ikut sekalian bertemu keluarganya, karena aku belum pernah bertemu langsung. Tapi karena pertimbangan kerjaanku yang akhir2 ini tengah padat, ditambah aku yang introvert mungkin nanti malah mati gaya di tengah-tengah keluarga besarnya yang sedang berkumpul, kutolak ajakan itu. Apalagi aku agak takut bila orangtuanya memang betul-betul tak merestui kami, aku hanya akan jadi perusak suasana kalau bertemu.
Aku dapat merasakan Nat menatapku agak-agak khawatir, dari sudut pandanganku. Aku tak langsung menjawab, hanya ikut mengambil satu batang rokok baru sambil menghabiskan sisa bir yang masih tersisa di kaleng.
“…gapapa kok…santai aja, kamu kan yang lebih kenal orang tua kamu..” jawabku menenangkan. Aku sendiri memang tak terlalu peduli, seengganya buat sekarang. Yang penting aku masih bisa bersama Nat.
Tapi Nat kelihatannya masih merasa agak bersalah. Dia menggenggam tanganku tanpa bersuara, hanya bersama-sama denganku menatap ke langit yang berawan dan skyline kota Sydney yang dihiasi banyak lampu gedung tinggi di kejauhan dan kendaraan yang masih berlalu lalang di tengah malam itu. Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing dan kehangatan tangan satu sama lain.
Setelah kututup pintu kamar, segera kuhempaskan tubuhku di kasur empuk itu, dimana pemiliknya sudah menunggu dengan sebuah pelukan hangat. Badanku yang udah capek selama seharian itu langsung dirangkul oleh Nat yang udah mengantuk, dia hanya memakai sehelai jersey baseball dan celana dalam sehingga aku dapat merasakan kulit pahanya yang halus dan hangat di pahaku.
Aku tak langsung tidur, ritual sebelum tidurku adalah membuka ponselku untuk sekedar scroll2 medsos dan YouTube sampai kantuk betul2 tak tertahankan. Nat yang memang sudah sangat mengantuk hanya memposisikan badannya memelukku dari samping sehingga aku susah bergerak.
“…aku mau tidur duluan yah…nite nite…” ucapnya pelan.
Tangannya menyelusup ke balik celana pendekku dan menggenggam penisku. Damn. Lama-lama kurasakan batang penisku mulai bangun dari balik kehangatan telapak tangannya, tapi aku tetap tak menjawab apa-apa. Kuberi dahinya satu kecupan singkat. Nat hanya tersenyum sambil tetap memejamkan matanya.
Pikiranku kembali fokus ke layar ponselku, tapi tak lama sebelum akupun tertidur di pelukannya.
----
Saat mataku kembali terbuka, kulihat Nat sudah melepaskan pelukannya dan berganti posisi, sekarang tidur menyamping membelakangiku. Kelihatannya aku hanya tertidur selama beberapa jam, karena kulihat di luar jendela, masih sangat gelap tanpa ada tanda-tanda matahari. Man, I really need to get off caffeine more.
Aku yang terbangun kini hanya balik memeluk Nat dari belakang, merasakan kehangatan badannya yang apabila tidur terasa sangat damai dan rapuh seperti bayi. Sejenak kubelai rambut panjangnya dengan sayang, Nat tak bereaksi sama sekali karena sudah terlelap. Terlintas lagi perjalanan hubungan kami yang sempat beberapa kali diguncangkan oleh putaran kehidupan yang tak terduga. Bagaimana Nat pernah mengkhianatiku dan jujur atas semua perbuatannya. Bagaimana aku menerimanya kembali dan memberinya kesempatan kedua, sebuah kesempatan yang sekarang terbukti tak dia sia-siakan sama sekali. Dan bahkan walaupun dengan semua itu, sampai saat ini rasa sayangku padanya tak pudar, malah semakin kuat melihat usahanya untuk memperbaiki hubungan kami dan hidupnya sendiri.
I really miss watching you sleep like this.
Tapi memperhatikan Nat yang sedang tidur seperti ini sedikit-sedikit membangunkan birahiku, apalagi melihat bagian bawah badannya yang hanya terbungkus celana dalam tipis berwarna putih itu.
Penisku mulai naik saat aku mulai meraba-raba ke arah pinggang rampingnya sebelum tanganku yang tak merangkul badannya akhirnya menyelinap ke balik bajunya, sedikit meremas-remas payudaranya dan memainkan puting mungilnya.
Badannya sedikit menggelinjang saat aku melakukan itu, tapi Nat tetap belum terbangun. Tapi sekarang malah nafsuku yang sudah betul-betul bangun. Setelah puas dengan payudaranya, kualihkan tanganku ke balik celana dalamnya, berusaha menyelinap ke selangkangannya yang masih tertutup kedua pahanya karena dia tidur menyamping seperti itu.
Kuciumi lehernya, merasakan aroma badan dan sisa keringatnya yang selalu membuat bergairah. Jariku akhirnya bisa menyelusup ke balik kedua pahanya dan kumainkan di bibir vaginanya yang polos tanpa rambut, sedikit demi sedikit dapat kurasakan ada cairan yang muncul dari dalamnya.
Nat mendengus perlahan dan sedikit terbangun sementara lehernya masih kuciumi dengan penuh gairah. Dia tak berkeberatan sama sekali dan malah menolehkan kepalanya, menyambut mulutku dengan bibirnya yang mungil itu.
“…hhmmmffhh…kenapa…kamu pengen…?” tanyanya pelan di balik ciuman dan gerakan lidahku di mulutnya.
“…maaf ya Nat…jadi kebangun yah…” jawabku tanpa menghentikan ciuman dan permainan jariku.
Nat tentu tak melawan sama sekali. Nafsunya udah sama-sama naik dengan setiap gerakan jariku yang memainkan klitorisnya. Dia menurunkan celana dalamnya tanpa berkata apa-apa.
Dengan lampu hijau seperti itu, aku segera melepaskan celanaku sendiri dan mulai menggesek-gesekkan penisku yang sudah tegak ke belahan pantatnya yang mulus. Nat sedikit menegakkan badannya di samping dan mendorong pantatnya ke arahku, sehingga jalan bagi kepala penisku ke arah vaginanya yang sekarang udah becek terbuka lebar.
Dalam diam, kudorong penisku masuk ke vaginanya dari belakang dengan perlahan. Nat sedikit mengerang saat kurasakan batang penisku semakin menembus dinding vaginanya yang hangat menyelimuti seluruh permukaan kulit batang penisku itu.
“….aahhh…Ja…” dia hanya mengerang dan memanggil namaku dengan pelan saat mulai kugerakkan pinggangku maju-mundur, menimbulkan gesekan yang sangat nikmat di penisku dan vaginanya.
Dengan bibir kami yang masih berpagutan, tanganku kembali bergerilya lagi di payudara bulatnya sementara kugenjot vaginanya dari belakang. AC yang dari tadi masih menyala dan berderu pelan rasanya sudah tak dapat menahan panas yang mulai timbul dari badan kami berdua.
Tak lama di posisi itu, Nat melepaskan penisku dari vaginanya dan membalik badannya menghadapku. Dia hanya diam dan menatapku dalam sejenak, tapi aku dapat melihat rasa sayang yang bercampur nafsu dari tatapan matanya. Tanpa disuruh aku kemudian melepas bajunya yang masih menempel sehingga dia sekarang telanjang bulat, dan menaiki badannya sambil kembali mendorong penisku masuk ke vagina di antara kedua kakinya yang sekarang mengangkang dan sedikit terlipat di samping.
Posisi missionary seperti ini membuat penisku jauh lebih leluasa merasakan setiap centi dinding vaginanya yang hangat dan basah itu, sehingga kenikmatan yang kurasakan disana semakin meninggi daripada tadi. Begitupun dengan Nat, dia hanya terpejam dan mendesah pelan sambil memeluk badanku yang juga telanjang bulat bersamaan dengan keluar-masuknya penisku di lubang kenikmatannya.
“oooccchhhh…yesshh…kontol kamu enak bangett….” Desahnya di telingaku
Mendengar suara halusnya yang berusaha mengeluarkan kata-kata di balik desahannya selalu meningkatkan nafsuku, walaupun sudah bertahun-tahun sering kudengar. Aku mempercepat pompaan penisku sedikit demi sedikit, dan Nat membalas dengan memelukku dengan semakin erat. Terasa kedua payudara bulatnya semakin teremas oleh dorongan dadaku.
“..ahh….sayang…aku udah mau keluarr…keluarin bareng yahh…?”
Haha. Bahkan setelah bertahun-tahun seks, Nat masih belum bisa menahan orgasmenya yang sangat cepat naik hanya dengan rangsangan dan penetrasi minimal.
Aku tak menjawab dan hanya semakin mempercepat dorongan keluar masuk penisku di vaginanya sambil merasakan sebuah dorongan di dalam kepala penisku sendiri semakin muncul. Saat dapat kurasakan dinding vaginanya sedikit demi sedikit mulai terasa berkontraksi dan menghisap penisku, aku berfokus pada dorongan panas di kepala penisku sendiri dan bersiap-siap.
“…aaaahhhhh…aku udah mau keluar….keluarin di dalem Ja….please hamilin aku….” Katanya semakin kencang di telingaku.
Hmm.
Terasa dengan satu gerakan penisku menusuk sampai mentok, vaginanya seperti menyusut dan menghisap seluruh batang penisku sambil berdenyut-denyut. Nat udah mencapai klimaks. Dengan agak memaksa, kudorong penisku lebih dalam, menyeruak hisapan vaginanya yang hangat, dan kulepaskan orgasmeku sendiri. Menyemburkan banyak sperma panas di rahimnya.
“I’m….cumming…for youu….”
Nat hanya berbisik saat kurasakan dinding vaginanya mengendor dan melepaskan hisapannya dari batang penisku yang berdenyut-denyut lemah mengeluarkan sisa cairan panas di dalam rahimnya.
Aku mencabut penisku yang mulai melemah dan berbaring di samping Nat. Dia kemudian memelukku, hampir langsung terlelap lagi begitu saja tanpa mau repot-repot membersihkan spermaku yang mulai sedikit mengalir keluar dari vaginanya.
Teringat dengan yang dikatakan Nat saat mau orgasme tadi, sebuah pikiran kembali muncul di benakku dan sedikit menghalangi rasa kantuk yang udah datang dari tadi. Aku tahu yang Nat katakan tadi mungkin tidak serius, tapi tetap saja.
Beberapa bulan lalu, Nat mengambil full medical check-up di salah satu RS disini, setelah beberapa kali kubujuk sebelumnya. Tujuannya tadinya hanya untuk mengetahui sejauh apa pengaruh obat-obatan yang dulu sering dia pakai terhadap badannya. Walaupun kondisi medisnya ternyata sudah cukup baik, tapi satu fakta yang terungkap waktu itu cukup mengejutkan kami: Nat ternyata infertile.
Ada sebuah kelainan atau penyakit di rahimnya, aku tak terlalu mengerti, yang membuatnya akan sulit hamil dan mempunyai anak. Dokter bilang kemungkinan mengandung tidaklah 0% sama sekali, tetapi akan sangat, sangat kecil. Of course, we were shocked and devastated. Nat merasa sangat bersalah karena mungkin aja itu adalah efek dari kecanduan narkoba, walaupun dokter sendiri sudah bilang ada banyak faktor yang mungkin bisa jadi penyebab atau hanya katalis, termasuk kemungkinan genetis.
Aku sendiri tak tahu apa stance ku terhadap fakta yang baru terungkap itu. Di satu sisi aku tak terlalu peduli, setidaknya saat ini rasa sayangku masih tak berkurang, dan aku hanya ingin berfokus untuk memperbaiki dan menjaga kondisi Nat seterusnya. Di sisi lain...aku sendiri tak yakin apakah hal ini akan menjadi konflik di antara kami di masa depan, apakah aku akan tetap berpendirian seperti ini di masa depan nanti. Selain itu, Nat yang kerap kali menyalahkan dirinya sendiri karena hal ini juga terkadang membuatku kesal.
Kutatap muka cantiknya yang sudah kembali terlelap. Rasa sayangku terasa sedikit bercampur dengan sedikit kegelisahan, terlepas dari kondisi rahim Nat, karena aku sendiri belum tahu seperti apa rencana kami untuk masa depan. Sudah beberapa lama aku merasa ingin lebih “serius” dalam hubunganku dengan Nat, tetapi sayangnya sampai sekarang aku masih belum bisa menyusun rencana yang final dan realistis, semuanya masih hanya sebatas khayalan yang sering kami bincangkan.
Tapi aku udah sangat sayang padanya, dan ga mau hubungan kami hanya berjalan di tempat saja. Kudekap kepalanya dengan erat, dan aroma rambutnya mengantarku kembali ke alam tidur.
Keesokan harinya, setelah selesai jam kantor aku langsung bergegas pergi dulu ke flat ku untuk mengambil beberapa barang dan baju. Semenjak tinggal bersama dengan Nat selama satu minggu ini, hampir semua baju dan keperluan esensialku, termasuk PC yang kugunakan untuk kerja dan bermain, udah kuletakkan di flat Nat, tapi aku masih menyimpan banyak barang dan baju lain di tempatku sendiri.
Setelah itu barulah aku mandi dan beristirahat di flat Nat, sambil menunggu pukul 8 untuk menjemputnya dari support group meeting, seperti yang telah kujanjikan kemarin. Pukul 8 pun tiba dan aku segera pergi ke lokasi yang sebetulnya tak terlalu jauh dari daerah Nat tinggal. Support group ini biasa diadakan di salah satu gedung hall milik komunitas lokal, mungkin semacam Gedung Serbaguna yang sering dijumpai di Indonesia. Selain digunakan untuk acara-acara olahraga, gedung ini juga sering digunakan untuk kegiatan komunitas lainnya, termasuk berbagai macam support group anonymous. Grup ex-drug addict yang Nat ikuti ini selalu berjadwal di Jumat malam.
Aku hanya duduk di halte bus di seberang gedung itu, sambil menunggu kabar dari Nat. Akhirnya Nat mengirim pesan bahwa meetingnya baru saja selesai dan dia akan segera keluar. Tak lama, dia muncul keluar dari sana dan segera menghampiri ke tempatku dengan ekspresi muka yang ceria.
“Cieee yang baru lulus...selamat yah. Gimana barusan? Kayak seneng banget gitu.” Tanyaku ketika Nat memelukku saat dia udah sampai.
“...hahaha, ga tau sih rasanya seneng aja, aku ngerasa kalo udah ga perlu datang lagi kesini berarti udah bener2 sembuh.” Jawabnya masih sambil tersenyum lebar.
“...tadi sih gitu aja sebenernya, aku udah pamitan sama yang lain. Banyak juga anggota baru yang baru sekali dua kali ikutan, jadi aku ikut ngebantu denger dan sharing aja...udah kayak senior kampus rasanya hehe.” Lanjutnya lagi.
“Oooh bagus lah kalo gitu, bisa ikut ngebantu yang lain.” Timpalku bangga dengan kekasihku ini. “...yaudah sekarang jalan yuk? Biar kupesen dulu Ubernya.” Lanjutku sambil mengambil ponselku.
Tak sampai sepuluh menit, Uber datang. Ketika kami udah masuk dan mobil berjalan, tak melalui jalur kami pulang, Nat heran dan bertanya.
“...loh, makannya ga jadi di deli yang biasa? Ini kita mau kemana?” tanyanya heran.
Aku hanya tersenyum misterius sambil menjawab singkat.
“Hehe. Udah ikut aja dulu. Aku mau culik kamu.”
Nat mengerti aku telah menyiapkan sebuah surprise, dia tidak bertanya lagi. Dia emang sangat suka hal-hal romantis kecil-kecilan seperti surprise kayak gini, yang sayangnya tak terlalu sering kulakukan karena aku sendiri dasarnya bukan orang romantis seperti itu, kebalikan dari Nat.
Sekitar 20 menit di perjalanan, kami udah hampir sampai tempat tujuan. Saat udah dekat, Nat tampaknya menyadari tujuan kami malam ini.
“...waaiiitt....jangan bilang ini kita mau ke Quay...??”
Aku hanya tersenyum-senyum tanpa menjawab apa-apa.
“Ja...seriously? Hahaha beneran kesana nih? Kamu ga liat aku pake baju apa..??” katanya, senang tapi juga seperti nervous.
Nat malam itu mengenakan T-shirt hitam berjaketkan kemeja flannel dan celana jeans panjang, tampak sempurna seperti biasa. Siapa sih yang tega menolak cewek cantik seperti ini masuk?
Aku tak menjawab, hanya menunjuk ke pakaianku sendiri yang hanya mengenakan kemeja dan celana jeans yang udah sedikit lusuh sambil nyengir.
“...ihh serius! Emang gapapa??” katanya lagi, tampak khawatir tapi tak bisa menyembunyikan excitement nya.
Hahaha. Ekspresi-ekspresi unik seperti ini salah satu dari sekian banyak hal kecil dari Nat yang membuatku jatuh hati.
“..***papaa, udah tenang aja deh. Aku udah tanya kok emang dress code nya smart casual, kita sama2 pake kemeja masuknya udah smart casual juga kan? Kan yang penting ga pake sendal? Hahaha” jawabku menenangkan.
“iihhh, beneran awas ya aku beneran bakal malu nih kalo orang lain disana pada full formal semua.” Katanya sambil sedikit mencubit bahuku manja.
“emang ada apa sih kok tiba2 mau makan disini? Jarang-jarang banget seorang Reza yang lidahnya sangat primitif tiba2 mau makan fancy dinner gini?” Nat sedikit meledek.
Asem. Aku suka makanan favoritku ya bukan berarti lidah primitif juga kali. Walaupun aku emang ga terlalu suka makanan italia, makanan perancis, makanan jepang, makanan korea....hmm, oke lah mungkin lidahku sedikit primitif hanya mau nasi dan lauk-laukan nusantara.
“...ya gapapa sih, pengen aja...sekali-kali seumur hidup, masa disini beberapa tahun ga pernah nyobain?” jawabku simpel.
The Quay adalah salah satu restoran fine dining terkemuka di Australia, dengan makanan hasil masakan chef sekelas dunia. Untuk bisa makan disana memang harus merogoh kocek yang tak sedikit, dan kadang udah keburu penuh kalau mendadak, tapi kami bisa mendapat tempat karena aku udah reservasi dari minggu sebelumnya. Cabang yang ada di Sydney ini berlokasi tepat di pinggir harbor, sehingga area dining nya berpemandangan harbor dan Opera House, yang pastinya terlihat sangat indah dan romantis kalau di malam hari.
----
Kami udah duduk di meja yang aku reservasi sebelumnya, saling berhadapan. Sebetulnya aku tak memilih atau memesan posisi meja, tapi kebetulan meja kami berada tepat di samping dinding kaca yang memperlihatkan indahnya gemerlap kota Sydney di malam hari, dengan Opera House yang berdiri kokoh di atas air harbor yang gelap berkilauan, memantulkan cahaya dari bangunan-bangunan tinggi yang terlihat di cakrawala.
Seperti kuduga sebelumnya, suasana di dalam sangat private dan romantis, hanya disinari oleh lampu kuning yang berjajar, disusun dengan rapi dan indah di sela-sela ruangan besar yang berarsitektur simplistic modern itu. Nat hanya menatapku dengan tersenyum dari seberang meja, terlihat sangat senang dan sedikit tak percaya.
“Ja…serius ih, emang ada apaan ini kok tiba2 makan disini…?” tanyanya lagi, masih tak dapat menyembunyikan senyumnya.
Bah. Padahal dengan kondisi finansialnya sebetulnya Nat mampu2 aja untuk makan di tempat seperti ini. Emang dia sendiri aja yang selera makannya sama-sama agak primitif, pikirku.
“Emm…ya gapapaa…kenapa sih emangnya kok kayak big deal banget? Haha tenang aja aku traktir full kok, ga usah diganti..”
Sebenarnya buatku, lebih dari $400 hanya untuk menu makanan, belum termasuk pairing dan champagne yang kupesan sebetulnya agak menyesakkan. Tapi apa sih yang ga akan kulakukan untuk Nat?
“bener nih…? Aku sih ya seneng2 aja hehe, makasih loh ya.”
“santaii…kamu kan sering juga traktir aku fast food sama jajanan2, kalo aku, sekalinya traktir ya langsung yang mewah begini.” Kataku bercanda.
Ya, selama ini sebetulnya hampir semua pengeluaran kami terpisah, tak ada “kewajiban tak tertulis” untuk mentraktir satu sama lain. Semoga dia tak menagihku mentraktir makan di tempat seperti ini lagi.
“…lagian…anggap aja ini dinner Valentine kita, walopun udah telat dua hari..” lanjutku lagi.
“ih kamu kok tiba2 so sweet gini sih…? Kamu ada salah apa sama aku..? ada nyembunyiin sesuatu?” tanyanya curiga, tapi hanya bercanda.
Waiter datang membawa champagne dan dua cup, serta appetizer. Menu di tempat ini terdiri dari 8 atau 6-course (kali ini aku memesan 8-course menu), jadi makanan yang akan kami santap akan datang secara bertahap.
“Serius…aku cuma pengen makan sama kamu di tempat kayak gini sekali-sekali…lagian, kamu kan baru “lulus” dari support group…it’s definitely something to celebrate, a call for a toast…” kataku sambil mengangkat gelas yang terisi champagne, mengajak Nat untuk toast.
“hmm…Ja…aku, aku ga tahu harus ngomong apa…” kata Nat mulai perlahan, ekspresi mukanya berubah menjadi haru. “…thanks for everything…”
Nat dengan pelan mengangkat gelasnya dan mengetuknya perlahan pada gelasku. Kami habiskan isi gelas kami dalam satu teguk.
“no, dear…I should thank you…makasih udah mau jujur tentang semuanya waktu itu…makasih juga udah berusaha selama ini buat benerin semuanya…aku hanya bantu kamu sebisa aku, tapi semuanya tetep dari kamu sendiri.” Balasku tak kalah haru.
Nat hanya tersenyum terdiam mendengarku. Tanpa berbicara, kami dengan kompak memegang tangan satu sama lain di atas meja. Tapi udah tenggelam di suasana haru seperti ini, aku tak tahan untuk tak melanjutkan.
“…jujur, aku emang sakit hati banget waktu itu. Tapi lama-lama sakit hati itu ilang, liat keseriusan kamu…whatever you’re doing, it’s working. dan aku dari waktu itu emang ga tega, aku bener2 ga tega kamu terjerumus kayak gitu…kalo ngasih kamu kesempatan kedua bisa ngasih aku kesempatan buat ngejaga kamu, then why not?”
Nat semakin terdiam dan sedikit berlinang air mata mendengar kalimatku itu. Cengeng memang, walaupun di luar dia selalu memasang muka dan attitude ceria, happy-go-lucky hampir setiap saat.
Melihat Nat masih terdiam, kuremas tangannya sedikit.
“…udah ah…jangan nangis disini, sekarang enjoy dulu aja dinner disini, belum tentu aku bisa traktir kamu lagi setahun sekali loh..” Nat sedikit tersenyum lagi mendengarku.
Waiter datang kembali mengangkat piring bekas appetizer yang telah habis dan membawa course selanjutnya. Untung saja Nat udah mengeringkan matanya sebelum dia datang.
“…errr…Nat, ntar kalo aku masih laper, temenin aku dulu ke KFC ya sebelum balik…” kataku agak ragu, melihat makanan yang porsinya sangat, sangat kecil untuk harga segitu.
Nat cekikikan kecil dan sedikit menendang kakiku di bawah meja.
“…hahah, huss ah, jangan norak banget gitu dong. Ini masih belum main course.”
Loh, kok malah jadi dia yang lebih tahu. Kentara sekali memang perbedaan kasta di antara aku dan dia.
Tapi melihatnya tertawa dan tersenyum lepas seperti itu sangat menyejukkan mata dan hatiku.
Oh god, we should’ve gone on this kind of dates more often.
----
Malam berlanjut semakin larut, course demi course makanan terus berdatangan sampai akhirnya kami menghabiskan makanan course terakhir. Sisa champagne di botol hanya tinggal seperempat. Aku dan Nat masih berbincang tentang banyak hal, sambil hanyut tenggelam di dalam pandangan mata masing-masing.
“…jadi gimana, masih mau ke KFC abis ini..?” ejek Nat.
“..iya deh engga, iya maaf ya aku emang katrok…” jawabku pura-pura kesal.
“…yah…tapi seengganya aku udah bisa coret ‘makan di fine dining yang super mahal’ dari bucket list, lumayan lah..” lanjutku lagi.
“eits, jangan seneng dulu, masih banyak item lain yang susah dan mahal loh. Kamu masih inget apa aja coba??” kata Nat memotong.
“…ehmmm, apa aja ya…skydiving, beli rumah di pinggir danau, liburan ke pulau kucing yang di Jepang, pergi ke museum Louvre, hiking ke Everest….” Aku mengingat-ngingat dengan acak, sembari menghitung di jariku.
“…seengganya ke basecamp nya aja, itu aja udah susah.” potong Nat sedikit.
“…oke, seengganya ke basecamp Everest aja, hmm…apa lagi ya…” aku agak susah mengingat sisanya.
Nat dan aku emang udah sering berkhayal tentang bucket list apa aja yang ingin kami lakukan, walaupun sebetulnya ga pernah betul2 kami catat di tulisan juga.
“…nah kan, udah lupa lagi aja kamu…” ejek Nat lagi.
“ah, emang kamu inget? Apa lagi coba?”
“…err, aku juga lupa sih apa aja. Hahaha” Nat tak bisa menyanggupi tantanganku.
“eh iya tapi btw, kalo rumah, yah di pinggir danau banget mungkin ga realistis banget yah, tapi seengganya aku ga mau di pinggir jalanan yang ramai. Masih mendingan di dalem kompleks gitu.”
Hmm. Hati kecilku agak terusik saat Nat udah mulai mengungkit tentang rumah masa depan sedangkan aku sendiri masih kecil hati bila harus menghadapi orangtuanya.
“…terus, nanti kasur kita yang ukuran twin bed aja ya, biar aku lebih gampang meluk kamunya..” lanjutnya lagi.
“…hah? Engga engga, enak aja…aku sih ga rela kedamaian tidur aku harus diinvasi sama posisi tidur kamu yang selalu berantakan tiap malem…” aku menolak. “beli yang president suite aja sekalian, biar kita tidurnya ujung-ujungan.”
Dibalik tidurnya yang selalu lelap, kebiasaan buruk Nat emang selalu berubah-ubah posisi kalau udah sangat terlelap. Posisi awal tidurnya yang mungkin rapi hampir selalu dipastikan akan berubah jadi berantakan saat pagi menjelang. Pernah suatu pagi aku terbangun dengan kaki Nat ada di dadaku.
Kukira Nat akan membalas banterku itu dengan balik mengejek, namun ternyata dia hanya terdiam sejenak.
“…tapi Ja…kamu beneran serius sama aku…? Kamu yakin..? dengan semua yang udah kamu tahu tentang aku…?” tanya Nat perlahan, seakan agak takut mendengar apa yang akan kujawab.
Ah. I’ve heard this question a thousand times. Ain’t gonna change my answer now.
“…aku masih ga yakin kamu bener2 serius dan sayang sama aku…aku takut suatu saat pikiran kamu berubah…apalagi…” Nat sedikit mengambil nafas sebelum melanjutkan, “…apalagi aku mungkin ga bisa ngasih kamu keturunan, kalaupun kita emang bener2 bisa terus bareng2 sampai nikah.” Nat terdengar sangat, sangat sedih di balik suara halusnya itu.
….
Aku ga bisa marah pada Nat karena telah membuat mood jadi sedih seperti itu, aku hanya ingin melihatnya tersenyum lagi.
“…please…aku udah sering jelasin sama kamu beratus-ratus kali…I do want to be with you, that’s all…” jawabku singkat. “…please don’t ask me to explain more, I just simply love you that much.” Kugenggam kembali tangannya di atas meja, berusaha meyakinkan.
“…iya…aku ngerti…I just…I just think I don’t deserve you, Ja…” balas Nat lagi.
Hatiku betul-betul terenyuh melihatnya tiba-tiba sedih seperti itu. Mood swing seperti ini emang salah satu ciri khas Nat, apalagi setelah semua yang terjadi di antara kita tahun lalu. Aku memutar otak mencari cara agar dia kembali riang. Meladeni pertanyaan-pertanyaan retorisnya seperti ini rasanya hanya akan semakin menghanyutkan kami di suasana sedih dan penuh keraguan.
Tiba-tiba aku baru teringat satu lagi surprise untuk Nat yang belum kutunjukkan.
“…udah deh… jangan sedih lagi yah Nat, please. Kalo kamu ga percaya, coba liat ini dulu deh, bentar..”
Aku meraih ponselku, membuka sesuatu dan memberikannya pada Nat.
Nat melihat layar ponselku, awalnya mengerutkan alis dengan heran.
“…hah? Tiket pesawat…? Kamu mau kemana ema—” kata-kata Nat terhenti saat dia sadar apa saja yang tertulis disana.
“…iya, nanti aku ikut kamu ke Surabaya…biar aku bisa ketemu orangtua kamu, masa selama ini aku ga pernah ketemu…” potongku sebelum Nat sempat berkata apa-apa.
“….wahhhh Ja, seriously?? Wahh…makasih banyak loh yahhh…aku seneng banget loh..!!”
Emosi Nat tiba-tiba berbalik lagi 180 derajat. Kini dia tampak sangat kegirangan dan tak menyangka aku akhirnya mau pergi kesana bersamanya.
“…eh, tapi mungkin aku ga ikutan gathering keluarga besar kamu kali, gapapa ya..? biar nanti aku langsung ketemunya cuman sama orangtua kamu aja abis itu…” potongku cepat-cepat menjelaskan
“gapapaaa, aku udah seneng banget kamu mau ikut ketemu Papa sama Ibu…aku jadi bisa ngenalin kamu langsung juga…” Nat masih tampak sangat riang seperti anak kecil yang dikasih mainan baru.
“…makasih banyak buat malam ini loh, woof you.” Katanya manja
Nat kemudian sedikit berdiri dan menjulurkan badannya ke depan, melintasi meja makan kami. Dia mengecup pipi kananku dengan sekejap tapi penuh sayang, rasa hangat bibirnya menjalar sampai ke seluruh ujung-ujung badanku.
"...happy Valentine's day..." bisiknya halus di telingaku.
God. Bahkan after all the touches, hugs, kisses, sex over all these years…kecupan candid dari Nat itu masih saja menghangatkan hatiku. Little things like this that always make me fall for her, over and over again.
Dan malam itu, Sydney Opera House pun menjadi saksi, bagaimana kecupan magis Nat itu telah meningkatkan kepercayaan diriku beratus-ratus kali lipat, bagaimana aku sangat sangat yakin bahwa aku akan siap menghadapi apapun rintangan yang akan menghalangi di antara Nat dan aku. We were young, and so in love.
Sepertinya tanpa kusadari, aku baru saja menantang takdir dengan keangkuhanku.
