Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT OKASAN NO HATSU KOI - my mom's first love (racebannon)

kyokob10.jpg

OKASAN NO HATSU KOI – PART 61
(my mom's first love)

------------------------------

s_001h10.jpg

“Otsukaresama Deshita!” Hiroshi membungkuk ke arah para pegawai ayahnya yang sudah bersiap-siap pulang. Sang ayah bersandar di mobil mungil milik keluarga Tanabe dan menyapa satu-satu pegawai yang pulang ke rumah masing-masing. Ada yang menggunakan sepeda motor, sepeda, mobil, ataupun berjalan ke arah stasiun bis terdekat.

“Reina-Chaaan~” Ryuunosuke Tanabe memanggil Reina Kawamori, pegawainya yang berposisi sebagai waitress, dan yang dipanggil membalikkan badannya, menatap ke arah Chef selebriti itu.

“Ya Sensei?”
“Mau ku antarkan pulang?”

“Oyaji…. Kaa-Chan kan tadi bilang supaya kita mampir minimarket dulu, susu habis, dia lupa beli…. Kalau mengantar Kawamori-San dulu, nanti kita makin malam pulangnya” kesal Hiroshi, menatap ekspresi genit muka ayahnya.

“Ah, sebentar saja, kan ya? Kecuali kalau Reina-Chan mengizinkan kita untuk mampir sebentar dan minum teh di rumahnya” aura ganjen Ryuunosuke Tanabe makin terlihat, dan Hiroshi hanya menyipitkan matanya, sambil mengeluarkan seluruh perasaan kesalnya di matanya.

“Sudahlah Sensei…. Aku pulang dulu ya….” Reina hanya membalas dengan muka datar, bosan dengan keusilan bosnya itu. “Jya… Oyasumi…”

“Ah… Ditolak mentah-mentah… Ayo kita pulang, Hiroshi” Ryuunosuke Sensei membakar sebatang rokok sebelum masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesinnya. Hiroshi, tanpa diminta langsung masuk ke dalam kursi penumpang. Tak lama kemudian mobil mini itu berjalan perlahan. Sang ayah menyetel musik-musik pop Jepang tahun 80-an, sambil menyetir dan merokok dengan tenangnya.

Hiroshi membenamkan dirinya di jok mobil, sambil menarik napas panjang, ikut menghirup aroma busuk rokok yang ayahnya hisap. Dia memperhatikan jalanan malam hari itu, sambil membayangkan hal-hal yang lewat-lewat di dalam kepalanya.

“Kenapa mukamu begitu?” tanya sang Ayah.
“Eh?” Hiroshi kaget, dan sadar bahwa dia sedang melamun tadi.

“Ah tidak…. Aku hanya….”
“Khawatir soal lamaran-lamaranmu di Tokyo?”
“Iya… Sudah mau tiga minggu sejak wisuda, tapi belum ada yang memanggil…. Mereka…”

“Mungkin karena nama belakangmu? Jadi mereka terlalu takut kalau mempekerjakan anak dari keluarga Tanabe?” tawa sang Ayah, mencoba menyombongkan nama belakangnya.

“Entah……” jawab Hiroshi pelan, sambil menerawang jauh.

Alasan yang ayahnya kemukakan tadi masuk akal juga. Di dunia kerja Jepang, berpindah-pindah kantor atau tempat kerja itu agak tabu. Membocorkan rahasia perusahaan ke kantor lain, tentu lebih tabu lagi. Chef-chef di Tokyo yang memiliki restoran prancis, tentu pasti berpikir dua kali untuk memperkerjakan Hiroshi Tanabe, anak Chef terkenal, Ryuunosuke Tanabe. Mereka pasti takut, rahasia dapur mereka akan bocor ke telinga Ryuunosuke Tanabe. Mereka pasti takut, suatu hari Hiroshi akan resign dari restoran mereka, bergabung dengan ayahnya, menggunakan rahasia dari restoran lain.

Tapi itu pemikiran yang agak-agak paranoid. Hiroshi mencoba berpikir optimis, mungkin memang restoran-restoran itu tidak ada slot kosong untuk pegawai baru. Mungkin. Tapi semuanya serba mungkin. Dan di tengah serba mungkin yang tak jelas itu, Hiroshi sangat-sangat ingin kembali ke Tokyo, agar bisa sekota lagi dengan Kyoko Kaede, pacarnya.

“Dan kamu pasti juga memikirkan gadis dari keluarga Kaede yang manis itu” bisik ayahnya, ketika mereka berhenti di lampu merah.
“Yah… Begitulah” Hiroshi tersenyum, sambil menatap ke arah lampu merah, menunggu lampunya berubah jadi hijau.

“Haha, aku sih bisa saja menyuruh kenalanku di Tokyo sana menerima kamu untuk menjadi salah satu stafnya… Tapi kamu pasti menolak”
“Haha, Oyaji kan tahu aku tidak suka dengan hal-hal semacam itu…” Hiroshi mengomentari usulan berbau nepotisme dari ayahnya.

“Jangankan kamu, aku saja tidak suka”
“Haha”

Mendadak mobil hening lagi. Dan sang ayah membelokkan mobilnya ke arah yang dituju, setelah lampu merah memberikan mereka jalan untuk lewat.

“Mungkin sebaiknya kamu menikah saja”
“Aku?”
“Iya” tawa ringan sang ayah.
“Umurku masih segini, Oyaji….. 20 tahun, masa menikah cepat?”

“Ya mau bagaimana lagi, di kepala kamu rasanya isinya Kyoko terus. Dan aku capek melihatmu berkali-kali pergi bolak-balik Tokyo-Ibaraki cuma untuk menghabiskan waktu libur bersama dia…. Kasihan kamu harus naik bis terus-terusan……”

“Mau bagaimana lagi… Setidaknya hanya itu yang bisa kulakukan”
“Suruhlah dia ke sini sekali-kali”
“Ah, kasihan dia, jalan sendiri dari Tokyo ke Ibaraki…. Tidak, biar aku saja yang sering ke Tokyo”
“Dasar anak keras kepala…. Siapa ya yang mendidikmu untuk jadi seperti ini” komentar sang ayah.

“Oyaji”

“Benar juga ya” tawa sang ayah keras, sambil memarkirkan mobilnya di hadapan minimarket. “Ayo turun… aku belikan kamu bir atau apalah yang bisa membuatmu santai sedikit” sang ayah menepuk-nepuk pungung Hiroshi, berharap bisa menghiburnya sedikit.

“Iya” jawab Hiroshi pelan, sambil mengeluarkan handphonenya dari saku, untuk mengirim mail ke Kyoko, yang mungkin sedang beres-beres di café atau sudah bersiap-siap untuk istirahat.

“Tenanglah, punya pacar dengan ukuran sebesar itu tentu akan membuatmu uring-uringan kalau tidak bertemu sesering dulu” sang ayah tertawa, sambil membuat gerakan meremas buah dada dengan tangannya.

“OYAJI!!”

------------------------------

800-mi10.jpg

“Hei, sedang apa? Aku baru saja pulang dari restorannya Oyaji. Sebal juga rasanya membuka handphone dan tidak menemukan mail darimu, aku kangen sekali padamu Kyoko”

Kyoko duduk di dapur rumahnya, sambil membaca mail dari Hiroshi itu. Dia baru saja selesai beres-beres di café. Dia menatap dengan malas ke arah handphonenya. Sudah seminggu lewat setelah pertemuan terakhir mereka. Kyoko masih ingat, dia hanya seharian saja di apartemen Hiroshi, mengobrol, masak, dan makan bersama, lalu bermesraan, diiringi suara televisi yang terus-terusan menyala selama mereka berdua di sana. Dia ingin sekali bertemu dengan Hiroshi. Tapi dia tidak ingin Hiroshi terus-terusan bolak-balik Ibaraki Tokyo. Rasanya ingin sekali dia membantu Hiroshi untuk mengusahakan agar dia cepat memiliki pekerjaan di Tokyo, tapi dia bisa apa?

Ingin sekali dia dengan nekat pergi ke halte bis, naik bis menuju ke stasiun, lalu meluncur terus sampai Ibaraki.

Tapi dia hanya bisa menunggu. Entah menunggu apa. Sepertinya dia terbiasa pasif, dan menunggu Hiroshi bergerak dan memutuskan apapun untuk siapapun. Dan dengan enggan, Kyoko membalas mail dari Hiroshi.

“Aku baru saja selesai bekerja di café. Sebentar lagi mungkin aku akan mandi dan tidur…..” balas Kyoko. Dan setelah membalas, Kyoko membaca mail yang baru saja dia kirim. Dan dia menyesal. Menyesal karena tidak menyisipkan kata-kata kangen dan rindu kepada sang lelaki. Padahal, dia benar-benar ingin bertemu muka dengan Hiroshi. Kyoko menggelengkan kepalanya, berharap dia bisa memutar waktu dan meralat balasannya tadi. Kenapa sulit sekali mengirimkan kata-kata kangen? Apa karena dia mendadak jadi begitu pasif? Apakah karena dia takut Hiroshi akan makin merasa sedih karena mereka harus pisah kota dulu?

Entahlah. Terlalu banyak yang ditahan dan dipendam Kyoko. Dan balasan dari Hiroshi, mendadak datang.

“Baguslah kalau begitu. Istirahat yang nyaman. Mimpi indah, jangan lupa doakan aku untuk segera mendapatkan pekerjaan di Tokyo… Aku sayang kamu”

Kyoko menutup layar handphonenya, lalu memeluk handphonenya itu dengan perasaan kangen yang teramat sangat. Dia ingin sekali menulis kata-kata yang menunjukkan perasaannya ke Hiroshi, tapi entah kenapa, jarinya seperti kaku. Entah akan seperti apa kalau dia nanti bertemu dengan Hiroshi. Dia sudah terlalu biasa dengan Hiroshi, berdua ke mana-mana, makan bersama, bahkan mereka berdua sudah seperti ayah dan ibu bagi teman-teman mereka.

Kalau bisa, Kyoko tidak ingin masa-masanya berkuliah di Senmon Gakkou berakhir. Dia ingin mengulang dua tahun lalu, saat dia pertama kali berkenalan dengan Hiroshi. Sejak saat itu, mereka tak terpisahkan lagi. Dan hubungan jarak jauh Ibaraki – Tokyo ini, sangat menyiksa Kyoko.

==================
==================


haruko10.jpg

Touchdown.

otvara10.jpg

Sinar-sinar lampu malam Tokyo tampak gemerlap banget di mataku. Papa bangun karena guncangan di badan pesawat yang baru aja mendarat. Dia ngucek-ngucek matanya, terus ngeliat ke luar jendela. Dia duduk di tengah, sementara aku di dekat jendela. Okasan yang sudah bangun terlebih dahulu tampak ngecek-ngecek semua kelengkapan yang wajib kita kasih liat ke loket imigrasi otomatis sebelum keluar bandara.

Haneda sekarang udah otomatis semuanya saat aku cek lewat mbah gugel. Udah hampir gak ada manusia yang kerja di sana, tapi tetep aja semuanya zero error. Dasar Jepang, hehe. Eh, aku juga kan setengah Jepang.

Suara halo-halo yang menandakan kita baru aja mendarat di Jepang udah kedengeran di pesawat. Para pramugari sedang mengingatkan para penumpang untuk gak nyalain handphone mereka dulu atau buru-buru turun. Biar tertib.

Nah, pesawat udah berhenti dengan tenangnya, dan belalai yang nyambungin badan pesawat sama gedung bandara keliatan lagi di–attach dengan serba otomatisnya. Tanpa orang. Aku masih melongo ngeliatnya. Di Indonesia masih ada operatornya soalnya.

“Yuk” Papa nepuk tanganku dengan lembut, nandain kalo aku harus siap-siap turun. Aku ngangguk. Dia dan Okasan langsung berdiri, sambil ngebuka kompartemen di atas kepala, ngambil tas-tas bawaan tangan kita. Dengan gak sabar aku ikut berdiri, nerima tasku dari Papa, dan perlahan-lahan, kita bertiga turun dari pesawat, ke bangunan bandara.

Aku narik napas panjang banget, menghirup udara Jepang untuk yang kedua kalinya. Pertama kali ke Jepang, itu aku waktu umur 5 tahun kayaknya. Waktu itu Okasan baru aja jadi WNI, setelah lima tahun gak ke luar negeri dulu, sebagai proses naturalisasi dia dari Warga Negara Jepang ke WNI.

Aku ngegandeng tangan Okasan, dengan senang ngeliatin bandara yang rapih bersih, merhatiin orang-orang dengan tertib jalan, antri ke WC dan sebagainya. Beberapa kali robot pembersih yang bentuknya kayak vacuum cleaner jalan-jalan buat bersihin karpet dari debu. Papan-papan iklan yang unik nunjukin kecantikan alam Jepang dan budaya-budaya mereka.

Mataku berbinar-binar, dan aku sama sekali geli dan gak sabar buat keluar dari bandara. Dengan gak sabar aku antri di belakang Okasan di imigrasi, buat ngasih paspor dan difoto sama robot. Lagi-lagi robot. Semuanya robot disini.

Yes! Kelar juga dari imigrasi. Sekarang aku ngikutin gerakan Okasan dan Papa yang lagi nunggu koper-koper kita keluar dari bagasi. Aku celingukan ke sana ke mari, ngeliat suasana airport malem-malem yang sepi. Bener-bener menyenangkan.

“Tuh, koper kamu” Papa nunjuk ke koper hitam sedang yang ada gantungan warna kuningnya, sebagai penanda kalau itu kopernya Haruko. Aku ngangguk dengan penuh semangat, menyambut kedatangan koper itu di ban berjalan.

Hup. Aku angkat kopernya dan kita semua siap keluar.

“Ayo” senyum Okasan. Dan kami semua keluar dari sebuah pintu yang mengarah ke arrival lounge.

“AYA!!!” aku kaget pas denger suara teriak itu.

“Ah, Nii-San!” Okasan melambaikan tangan ke arah orang itu. Iya, itu adalah Kyoushiro Kaede, alias Kyou-Kun kalo dipanggil sama orang-orang yang sepantaran sama dia. Kalau aku manggilnya Ojisan atau Kyou Ji-San. Dia bergegas menghampiri Okasan dan langsung nepuk kepalanya Okasan. Haha, lucu, emak-emak ditepuk kepalanya sama bapak-bapak. Dan gak buang banyak waktu lagi, dia langsung pindah ke Papa, nyalamin tangannya dengan erat, keliatannya tangan Papa sampe mau copot dibuatnya.

“Ah.. Hai, Ojisan…” Aku melambai dengan excited ke arahnya. Baru dua tahun yang lalu dia ke Indonesia, tapi kayak udah lama banget gak ketemu dia.
“Haruko.. Long taim no see….” dia senyum, lalu dia nunjuk ke arah jalan yang menuju ke parkiran. “Let’s go!”

“Ohisashiburi ne…..” Okasan geleng-geleng kepala, ngeliatin kakaknya sendiri dengan tatapan ceria.
“Ahaha…. “ Kyou Ji-San lalu ngejawab Okasan panjang lebar pake bahasa Jepang yang aku bingung dengernya. Tapi sekilas, kayaknya dia lagi ngomongin soal tahun lalu.

“Haruko” bisik Papa.
“Nn?”
“Papa juga ga ngerti kok, santai aja” Papa senyum kecut, dan aku paham kenapa senyumnya gitu. Soalnya Papa udah pernah les bahasa Jepang tapi gak masuk-masuk aja ke dalam kepalanya. Kasian ya.

“Kyotaro wa?” Okasan nanya ke Ojisan soal Kyotaro, anaknya. Anaknya kalo gak salah masih SD. Atau SMP ya? Lupa. Aku cuma denger-denger soal dia aja dari Papa dan Okasan kalo mereka lagi cerita-cerita pas lagi makan bareng.

Dan pertanyaan itu dijawab panjang lebar dengan muka gak nyaman dari Kyou Ji-San. Aku cuma senyum awkward aja ngedengerin dua orang kakak beradik ini ngelepas kangen dengan bahasa Jepang yang cas-cis-cus, bahkan kayaknya lebih lancar dan kompleks dibanding aktor dan aktris di dorama Jepang ngobrol.

“Ah! That’s the car… Come on” Kyou Ji-San nunjuk ke salah satu mobil van kecil yang parkir di tengah parkiran yang penuh itu. Gak berapa lama, kita masukin semua koper dan barang bawaan kita ke dalam mobil, dan kita bakal meluncur ke Mitaka. Kita semua lantas masuk ke mobil dan kita mulai berangkat.

Mataku ngeliatin jalan. Jalanan yang bakal ngebawa kita berempat ke Mitaka. Kyou Ji-San nyetir dengan hati-hati.

Pasti gak lama lagi kita bakal sampe di rumah/café, di mana Okasan tumbuh. Selama tiga puluh tahun dia tinggal di sana, sampai akhirnya ketemu Papa, dan mereka menikah, lalu pindah ke Indonesia.

Aku lagi mikirin soal Ojisan. Sepengetahuanku, dia gak pernah menikah.

Dia punya hubungan yang lumayan rumit sama ibunya Kyotaro. Mereka pernah pacaran, terus mereka putus, dan perempuan itu punya pacar baru. Ternyata, ibunya Kyotaro keburu hamil sama Kyou Ji-San. Mereka pertahanin anaknya, walaupun kemudian sang ibu nikah sama pacarnya. Jadi si anak diurus sama ibunya dan suami ibunya.

Sementara Kyou Ji-San sendiri, karena kondisi kayak gini, jadi jarang ketemu sama anaknya. Tapi kalo udah ketemu, kata Papa dan Okasan, pasti dia seneng banget. Ya iya lah ya, ketemu anak sendiri pasti senengnya bukan main.

Jadi kebayang, gimana rasanya kalau kita gak bisa sering-sering ketemu sama orang yang kita sayang, kayak pasangan kita atau anak kita. Pasti sedih banget.

Ah, mudah-mudahan aku gak akan pernah ngalamin hal yang kayak gitu. Kebayang waktu itu Papa dan Okasan LDR Jepang – Indonesia. Pasti gak nyaman banget. Makanya sekarang, Papa dan Okasan selalu nempel dan mesra terus.

Sekarang, aku pengen nikmatin cahaya malam Tokyo, dan dengan gak sabar, pengen cepet-cepet sampe Mitaka. Gak percaya banget rasanya udah ada di sini. Untuk dua minggu ke depan, aku mau jadi anak gadis paling bahagia di sini, ngerasain gimana nyamannya Tokyo, terutama Mitaka.

------------------------------

BERSAMBUNG
 
CAST PART 61

- Haruko Aya Rahmania (16) anak semata wayang Arya dan Kyoko, tokoh utama MDT
- Arya / Achmad Ariadi Gunawan (48) Sang Ayah, Suami dari Kyoko
- Kyoko Kaede (48) Sang Ibu, Istri dari Arya

- Kyoushiro Kaede / Kyou-Ji San (52) Kakak laki-laki Kyoko

Kyoko's Timeline:

438be411.jpg


- Kyoko Kaede (20)
- Hiroshi Tanabe (20), pacarnya Kyoko, teman di Senmon Gakkou

- Ryuunosuke Tanabe (51) Ayahnya Hiroshi Tanabe
- Reina Kawamori (24), Karyawan ayahnya Hiroshi, waitress merangkap operator mesin kasir

Glossary :

Otsukaresama Deshita : Terimakasih atas kerja kerasnya (salam Orang Jepang setelah selesai bekerja)
Sensei : Sebutan untuk orang yang ahli dalam satu bidang tertentu (Chef, Guru, Mangaka)
Oyasuminasai : Selamat Malam / Berpisah.
Osashiburi : Lama tak jumpa.
Otosan/Oyaji : Ayah
Okasan/Kaa-Chan : Ibu
Ojisan : Paman
Senmon Gakkou : Sekolah Kejuruan (setingkat diploma)
 
Mantap

Time to recharge memory in Japan

Kabar kairi gmn ya,,masih kerjasama dgn hantaman ga ya??
 
Bimabet
Woah meluncur juga apdet yg ditunggu tunggu dan ternyata sampe ada yg gak sabaran buat pertama in apdetannya & gak sabaran nunggu MDT II reborn sampe nanyain kabar tante Kairi yg mewarnai ke horny an si setan sepanjang hari.
Seperti termasuk ane juga deh gak sabaran menanti apdet yg ini & MDT II Rebornnya :D

Btw makasih apdetnya om :beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd