Parut
Hujan mengguyur desa dan hutan. Jam di dinding belum lagi menunjukkan delapan malam, tapi kegelapannya sudah pekat. Sinar lampu di depan teras tidak mampu menerobos jauh di tengah derasnya air yang tercurah. Suhu di rumah batu itu menjadi dingin, dalam gelap dan temaram, hanya satu lampu kecil yang menyala di kamar.
Renggani masih bertelanjang bulat. Rambutnya tergerai di belakang, menutupi punggung. Bahu yang lebar. Payudara yang membulat, putingnya mengacung merah muda. Pinggang ramping. Paha yang panjang dan halus, diikuti betis bernas yang penuh tapi tidak kekar, tidak besar. Rambut hitam segitiga di selangkangan, menutupi bibir kemaluan yang merah muda. Tubuh gadis perawan yang sempurnya, menggairahkan.
Tubuh indah cantik telanjang di tengah temaram kamar yang dingin. Tapi, Renggani tidak merasakan apa-apa. Dia tidak kedinginan; hatinya lebih dingin daripada udara di luar sana. Kesedihan hebat menguasainya, kematian Ridwan seperti rekaman yang diulang-ulang berputar di depan mata. Kejam. Brutal.
Sebrutal batang kontol yang memaksa masuk liang memeknya. Sekejam pria tak berperasaan yang setelah membunuh terus memperkosa. Kini Renggani juga memperlakukan dengan kebengisan yang setara. Tanpa ragu, tanpa menyesal, merenggut seluruh jiwa lelaki jahanam itu. Suatu kekuatan yang aneh, yang tidak dipahami, yang telah mengubahnya kembali menjadi gadis seperti ini.
Ironi. Bagaimana mungkin ada seorang gadis perawan sudah punya pengalaman dientoti laki sekampung, punya anak, dan satu-satunya kekasih yang mau menerima kini terbujur kaku di jalanan? Tidak, Renggani bukan gadis lagi walaupun tubuh dan selaput daranya kembali. Kejadian malam itu membuat parut, suatu luka menganga yang tidak tersembuhkan di hatinya. Parut yang membuat hatinya dingin.
Di luar hujan air mengguyur deras, tetapi hati Renggani membeku.
Pintu depan rumahnya diketuk orang. Renggani terbangun dari lamunannya. Siapa yang mengetuk pintu rumah orang di malam hujan begini? Ia tidak merepotkan diri untuk berpakaian. Masih bertelanjang bulat, Renggani berjalan ke depan, menyalakan lampu ruang tamu, lalu membuka pintu.
Di sana, Pak Jumadi berdiri membelalak, mulutnya terbuka menyeringai, jenggotnya yang tebal itu basah oleh tetesan air hujan, atau air liurnya sendiri. Renggani mengingat lelaki ini, bawahan Ki Gondolangit yang menyuruh si Edi membunuh. Pembunuh. Kemarahan kembali menguasai hati Renggani, tetapi wajahnya bisa tersenyum manis.
"Ada apa Pak Jumadi? Malam-malam hujan begini di sini.... ayo masuk."
Seperti kerbau dicocok hidungnya, Jumadi melangkah masuk. Bagaikan seekor lebah yang berniat mengisap madu, tapi sebenarnya masuk ke sarang laba-laba besar. "Ani dingin Mas..." Tubuh gadis itu mengeluarkan harum yang memenuhi seluruh ruangan. Jumadi tidak bisa berpikir lagi, kontol di balik celananya terasa sakit saking kerasnya.
Seperti kesetanan, Jumadi terus memeluk tubuh telanjang Renggani. Mulutnya menyosor menghisapi puting, tangan kanan meremas pantat, tangan kiri mengelus punggung. Renggani didorong hingga terduduk di sofa, Jumadi semakin menggila dengan remasan dan ciuman. Ia berusaha mencupang leher Renggani, tapi gadis itu menolak, mendorong lelaki itu ke selangkangannya. Ia mengangkang lebar.
Jumadi terus berlutut di depan sofa, terus menjilati memek perempuan itu, terasa manis legit dan harumnya memabukkan. Edan enaknya...
"Mas...." Renggani memberi pertanda. Jumadi yang mengerti terus terburu-buru melucuti seluruh bajunya. Turut menjadi bugil dalam sekejap mata. Batang kemaluannya keras mengacung, tidak terlalu panjang, warnanya agak keunguan dan gemuk. Ujung kemaluannya sudah melelehkan lendir.
Renggani mengangkang. Kedua pahanya terbuka lebar, ke kiri dan ke kanan. Bibir memeknya merekah terbuka, basah karena tadi habis dijilati Jumadi. Lelaki itu terus menempelkan kontolnya, berusaha mendesak masuk. Sempit.
"Nduk, masih perawan?" Jumadi bingung. Sejenak ia tidak mengerti, karena sudah tahu Renggani sudah punya anak. Tapi pikiran itu dengan cepat menghilang, karena begitu besar keinginannya untuk memasukkan kontolnya ke liang yang sempit itu. Jumadi menekan. Renggani menjerit, sakit.
Setelah masuk kepala kontolnya, Jumadi menarik sedikit lalu mendorong sekuatnya. Memecahkan selaput dara. Seluruh batang kemaluan terbenam dalam, sampai bola pelirnya terpantul-pantul di pantat Renggani. Itulah saat ketika Renggani menggenggam seluruh jiwa Jumadi.
Penjahat yang membawa bencana itu, kini masuk dalam jeratnya. Renggani melingkarkan pahanya menjepit tubuh Jumadi. Membuat lelaki itu tidak bisa lagi bergerak keluar, seluruh kontolnya dijepit kuat, diurut kuat, hingga menyemburlah seluruh mani, demikian juga seluruh jiwanya terhisap.
Mata Jumadi membelalak, seperti melihat petir yang gelap di malam hari. Bayangkan saat-saat ketika lelaki ejakulasi, tepat di puncaknya, dan tidak pernah berakhir. Dunia berhenti. Jiwa pun lenyap, kini yang tersisa hanyalah tubuh tanpa roh, masih hidup dan bergerak tak lebih dari binatang yang agak pandai dan bisa mengerti kata-kata.
Setelah ejakulasi, penis lelaki itu terus melemas dan terlepas. Penis yang tidak akan pernah mengeras lagi. Renggani mendorong tubuh lelaki itu dengan kesal. Jumadi seperti seekor anjing yang menanti setiap perintah tuannya dengan gembira.
"Sana pakai bajunya!" -- secepat dia bugil, secepat itu pula Jumadi berpakaian. Renggani berpikir, dia tidak mau ada mayat di rumahnya.
"Sekarang kamu pergi ke hutan di sana, sebelah timur desa. Cari pohon tinggi. Gantung leher kamu sampai mati pakai sulur pohon. Sana pergi!" Lelaki itu dengan patuh dan gembira keluar rumah untuk melaksanakan perintah terakhir dalam hidupnya.
Renggani menutup pintu depan sambil melihat pahanya yang berdarah. Darah perawan, tapi kini selangkangannya sudah tidak terasa sakit lagi. Hanya, darah ini sangat menyebalkan, membuatnya kembali mengingat Ridwan yang malang. Renggani terus ke kamar mandi dan membasuh diri, terus memakai daster lama yang tergantung di dinding. Jam delapan.
Pintu depan kembali diketuk orang. Siapa lagi? Dengan agak kesal, Renggani melangkah ke ruang depan. Setelah pintu di buka, di teras berdiri dua orang remaja yang basah dan kedinginan.
"Darto? Isma? Ngapain malam-malam begini hujan-hujanan?" tanya Renggani heran. Kedua remaja itu, Darto kelas 2 SMA dan Isma kelas 3 SMP, adalah adik sepermainan yang dahulu biasa mengikutinya dalam berbagai acara desa. Renggani jadi kakak sekaligus pemimpin mereka kesana kemari, berpetualang di sawah, lembah, dan hutan.
Dulu, lima atau enam tahun lalu, Darto adalah anak lelaki kurus hitam ceking yang paling lincah di antara teman-temannya. Isma anak perempuan yang putih halus, sama kurusnya, dan sama lincahnya. Mereka mengekor ke mana saja Renggani pergi, entah bermain di sawah, atau masuk hutan, atau ke air terjun.
Tapi kini, Darto jadi pemuda yang gagah dan kekar, lebih tinggi dari Renggani atau Isma. Tubuhnya masih kurus namun kelihatan berotot karena dia rajin membantu orang tuanya mengangkat hasil bumi. Rambutnya dipotong pendek, sudah berkumis tipis juga berjenggot halus. Isma baru saja menemukan 'dirinya' sebagai bunga yang baru mekar. Buah dadanya telah nampak membusung walau masih mungil, pinggangnya ramping, panggul dan pantatnya membulat menawan. Pembawaan Isma yang riang membuatnya nampak cantik dengan bibir merah alami dan gigi yang putih rata berderet.
Keduanya menggigil kedinginan di depan pintu rumah Renggani. "Ayo masuk!" kata Renggani. Mereka masuk, keduanya duduk di sofa yang baru saja jadi saksi persetubuhan. Masih ada lendir dan sedikit darah di sana, yang belum sempat dibersihkan -- tapi Renggani tidak ambil peduli.
"Lapar? Kakak buatkan makan malam ya."
"Makasih Kak Ani," jawab Isma riang.
"Ya, untung gak sampai basah kuyub. Cuma tadi lumayan tersiram air nih." timpal Darto.
"Ya udah, buka aja dulu bajunya, digantung di sana, biar lebih kering." kata Ani sambil menunjuk ke jemuran dalam rumah. Darto lantas membuka baju kaosnya, untuk digantung. Isma memandang tubuh kekasihnya yang kekar itu dengan mata kagum. Dan kali ini, dengan mata penuh hasrat birahi.
Sisa-sisa persetubuhan tadi masih memenuhi udara di ruangan dingin itu. Baunya merangsang, lendir yang menetes dari Renggani mengeluarkan wangi yang mendorong birahi sangat tinggi, bikin orang lupa diri. Isma yang duduk di kursi itu langsung mengalami rangsangan hebat dalam dirinya, lebih dari minum obat perangsang. Seluruh kulit tubuhnya menjadi lebih sensitif, kedua teteknya mengeras, apalagi memandang tubuh atas telanjang yang kekar menawan.
Darto terus duduk di samping Isma, segera merasakan dorongan kuat yang sama. Ia memandang wajah cantik, mata bundar besar, pipi bulat tapi tidak tembem, bibir yang merah merekah. Darto tidak tahan untuk kembali mencium Isma.
Mereka tidak berani bercerita, bahwa sebenarnya berdua sedang asik bercium-ciuman di pondok tengah hutan sampai tiba hujan yang lebat. Di pondok itu, Darto sudah mulai berani meremas tetek Isma, sambil berciuman mengadu lidah. Itu saja sudah terasa menegangkan, tapi Darto tidak berani lebih dari itu. Isma juga mungkin tidak akan mengijinkan pemuda itu lebih jauh lagi.
Tapi, kali ini, dorongan kuat dari dalam membuat kedua anak muda itu ingin melangkah lebih jauh. Bukan, bukan melangkah. Berlari. Mereka pun berciuman, kini dengan hasrat birahi sepenuhnya.
"Ayo, makan dulu!" Renggani memanggil. Kedua remaja itu tidak menyahut. Renggani terus mengintip ke ruang tamu, melihat keduanya sedang berciuman dengan ganas. Sejenak, birahi Renggani turut terpancing, tubuhnya kembali mengeluarkan harum birahi yang memabukkan, membuat orang lupa diri selain memenuhi hasrat seks. Tapi, Renggani tidak berlama-lama di sana, ia kembali ke dapur melanjutkan pekerjaannya. Pikirannya melayang mengingat kekasihnya Ridwan yang sudah meninggal.
Darto meremas payudara Isma. Gadis itu melenguh dalam kenikmatan, ingin lebih. Ia lantas turut melepaskan baju kaosnya, lalu kutangnya. Keduanya kini bertelanjang dada, saling meraba puting pasangannya, berciuman, meremas, mengadu lidah. Isma measa nikmat sekali setiap kali Darto meremas teteknya yang mengeras. Ia ingin lebih.
"Cium To... tetekku..." bisik Isma. Darto menurut, untuk pertama kalinya ia menetek dada kekasihnya. Isma melenguh keras, serbuan itu tak tertahankan, membawanya naik hingga orgasme. Memeknya mengeluarkan banyak cairan, membasahi celananya.
"Aduhh.... aku pipisss.... enaakkk...."
Darto terus mencium, tapi tangannya kini ke bawah, meremas selangkangan Isma. Basah. Wangi.
Darto menarik celana Isma. Gadis itu membantu dengan melepaskan kait dan resletingnya, dengan satu gerakan seluruhnya, celana dan celana dalam, terlepas, terjatuh di lantai. Perut, pangkal paha, paha Isma yang putih nampak merona merah. Jembut kemaluannya masi sedikit, halus. Bibir memeknya merekah, basah. Licin. Jari jemari Darto mengelusnya. Isma memekik lirih, menahan diri untuk tidak menjerit saking nikmatnya.
"Ahh... lagi To..."
Darto menurut dengan semakin bernafsu, jarinya bermain di selangkangan Isma, berusaha mengeksplorasi semuanya. Isma meliuk-liukkan pinggulnya, supaya jari Darto tertekan ke dalam liangnya. Hanya, jari tangan terasa sakit.
Isma tahu, bukan jari tangan yang seharusnya di sana. Ia lantas berusaha membuka kancing celana Darto, resletingnya, dan menarik seluruhnya turun. Kini kedua remaja itu bertelanjang bulat. Tangan Isma mengelus batang kemaluan lelaki untuk pertama kalinya. Kontol yang keras, tegak berurat, dan panjang, hampir sejengkal telapak tangan Isma.
Setiap remasan Isma di kemaluannya membuat Darto semakin menggila. Ia kini berjongkok di sofa menghadap kekasihnya, menghisap kedua tetek Isma, kiri dan kanan bergantian. Isma mengangkangkan kakinya lebar-lebar, diangkat ke atas. Tangan gadis itu menarik kontol di genggamannya, ujungnya ditempelkan ke bibir memeknya. Digosokkan atas bawah, setiap kali kena kelentitnya Isma seperti kena setrum.
Pikirannya sudah gelap, dipenuhi birahi. Isma melingkarkan kakinya ke sekeliling pantat Darto, mendorong pemuda itu ke bawah, kontolnya menerabas masuki liang memeknya yang sudah licin. Selaput dara itu pun terkoyak, ketika batang lelaki yang keras itu memasuki memek muda yang memijit dengan kuat, berdenyut-denyut.
Darto menggeram, menggerung, menekan penisnya masuk sedalam-dalamnya. Menyatu erat dengan kekasihnya, untuk mengeluarkan semua isi maninya tertumpah di dalam, di mulut rahim Isma yang kini bukan gadis lagi. Isma menjerit panjang, ia juga mencapai orgasmenya yang hebat. Tidak ada sakit, tidak ada perih. Hanya ada kenikmatan yang tidak tertahankan, membuat nafas tertahan. Tercekik dalam kenikmatan.
Renggani terdiam mendengar jeritan dan geraman itu. Mengingat bagaimana Ridwan juga mengentotinya, masuk sedalamnya dan keluar semua di sana. Mereka juga menjerit dan menggeram dengan nada yang serupa.
Lima menit dalam keheningan. Ketika birahi terpuaskan, pikiran kembali berjalan. Isma mulai panik, menyadari apa yang baru saja ia dan Darto lakukan.
"Darto.... To... hu hu hu" gadis itu menangis sesenggukan, sementara penis lelaki itu melemas dan keluar dari memek Isma. Tak lama, lendir putih kemerahan turut mengalir keluar dari sana, itulah mani tercampur darah perawan Isma.
Pemuda itu terus memeluk pasangannya, membisikkan kata-kata janji namun dengan nada penuh galau. Ia juga tidak merencanakan seperti ini, tapi kini sudah terjadi. Dan sesungguhnya, terasa enak sekali. Darto mengambil celana dalam Isma yang tercecer di lantas, terus mengelap lendir yang membasahi paha dan memek Isma. Melihatnya baik-baik, di sana ada darah perawan. Gadis ini sepenuhnya menjadi miliknya.