Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Mia, Istri mudaku :sekuel kasih sayang seorang pembantu (versi saya.)

Apa teman-teman bersedia saya tuliskan repost dulu itu memperjelas cerita ? (di thread ini)

  • Ya

    Votes: 29 87,9%
  • Tidak

    Votes: 4 12,1%

  • Total voters
    33
  • Poll closed .
Lanjutan

Dua bulan kemudian Mia melahirkan anak perempuan, beruntung aku sudah menyelesaikan Premanent Resident sehingga bisa mendapatkan kemudahan ke Rumah Sakit. Mia melahirkan secara Ceasar, mengharuskan dia dirawat dirumah sakit lebih lama. Aku datang ke rumah sakit, bersama Wirdan. Kami langsung menuju ruangan tunggu Operasi. “Nin, bagimana Mia? Dia masuk ruangan?”kata menanyakan tentang Mia kepada Ninda. “Udah masuk, untung dokumenmu ada di Apartement jadi bisa dibawa. Oh iya, kamu dan Wirdan disini dulu ya? aku mau ajak Raya dan Ayu makan siang dulu,” kata Ninda meninggalkan kami. “Santai aja Wan, ini kan bukan pertamakali kamu nungguin kelahiran anak kan. Cuma kondisi aja Mia usianya muda,” kata Wirdan menengangkan.

“Iya dan, aku tahu. Mia pasti bisa melahirkan, meski di Ceasar,” kataku aku melihat Wirdan dia mencoba menyemangatiku walaupun aku tahu pasti dia juga sedang terpuruk. Tamara meninggalkannya, ketika ia mulai mencintai sekretarisnya itu. Handphone Wirdan berbunyi, “Siapa wir? Kaya penting angkat aja.” kataku sambil menengok kearahnya. Ia mengangkatnya, “okay, I get There Soon, Thank You.”ucapnya. Ia menengok ke hadapanku. “Bro, gw keruangan perawatan ya. Katanya ada sesuatu yang penting,” katanya. “Perlu aku temenin, kita bisa samaan.” Kataku, “Gak usah, kamu disini aja, nanti gw juga datang lagi kok” sanggahnya, aku menggakukan kepala.

Ia pergi meninggalkan ku. Aku menunggu operasi Mia seorang diri, 1 jam kemudian aku dipanggil. Operasinya selesai, anak perempuan cantik dan sehat ia tidak memiliki kekurangaan apapun. Aku sempat meneteskan airmata, bagimanapun aku sempat berkeinginan membuangnya. Aku menanyakan keadaan Mia, ternyata ia masih dalam pengaruh obat bius. Selebihnya dokter memintaku mengurusi kamar dan admintrasi lalu keruangannya untuk menjelaskan kondisi Mia pasca melahirkan. Aku menunggu sebentar, Ninda datang sendiri. “Lho anak-anak mana Nin, kok gak samaan.” kataku menanyakan anak-anak. “Mereka aku bawa pulang, gimana Mia? Kok kamu sendiri, kemana Wirdan?” tanya Ninda. “Kondisi baik, ayo kita urus kamar dan ke ruangan dokter. Wirdan lagi keruangan rawat ada sesuatu. Mungkin Cindy lagi butuh bantuan?” kataku.

Kami pergi mengurus surat, cepat dan mudah. Aku menuju dokter, aku bertemu Wirdan. “Hey, Wirdan siapa yang sakit?” kataku. “Tamara, dia pingsan. Rupanya dua bulan ini, dia kerja di Restaurant Fast Food jadi pramusaji. Dia jarang makan, kamu tahulah terjadi.” ujarnya sambil tersenyum. “Oh, jadi dia ada di Singapore. Okay, gw juga mau ketemu dokter dulu.” kataku. Wirdan mempersilakan kami pergi, ia pun juga mengurusi Tamara, entah kenapa ia menjadi senang sekali. Kami mendengarkan bahwa Mia mesti menjaga kondisi karena kehamilan diusia masih dikatakan muda.

Dokter menyarankan aku memasang implant, aku menyetujuinya terlebih aku memahami kondisi Mia mesti beristirahat panjang. Kami pergi menanyankan kamar Tamara, ternyata hanya bersela dua kamar dengan Kamar yang akan digunakan Mia. “Mas, kayanya besok aja. Kita lihat bayi, kamu pulang dulu. Biar aku jaga Mia, kamu jaga anak-anak.” kata Ninda mengingatkan. Aku menganggukan kepala, benar juga kupikir. Kondisi Tamara mungkin lemah, tapi Wirdan sudah menemukannya minimal ada bisa menjaganya. Aku memesan taksi, untuk berangkat ke Apartement. Malam itu, aku menjaga anak-anak. “Papa, Ade bayi udah lahir belum? Kita lihat yuk,” ujar Raya. “Sayang, kita dirumah aja. Bunda masih sakit. Ade bayi udah lahir. Besok siang kita lihat sama-sama,”kataku membujuk Raya dan Ayu.

“Iya pah…” ucap mereka berdua, aku senang mereka bisa mengerti. Aku bersiap memandikan Raya dan Ayu kemudian aku mandi. Karena aku jarang ke dapur, aku memutuskan untuk memesan makanan. Satu jam kemudian makanan datang, kami makan. Setelah makan dan menonton TV, pukul 9.00 malam. Ninda menelepon, “Halo mas, kamu ada di Flat?” tanya Ninda diseberang telepon. “Iya Nin, ada masalah apa?” kataku dengan khawatir. “Gak kok, disini baik-baik aja. Eh, perawat nanya anakmu itu mau dikasih nama apa?” tanya Ninda. “Mmm…kasih nama Intan aja, Intan Cahayani. Sama kaya Raya dan Ayu.” kataku. Aku menambahkan nama Cahayani yang merupakan nama keduaku dengan tambahan ni untuk membuat sesuai dengan ketiga putriku.

“Okay udah dulu ya. Namanya bagus, aku mau langsung kasih tahu susternya dulu,” kata Ninda menutup telepon. Aku menutup telepon, aku mengajak anak tidur bersamaku dikamar Ninda. Paginya aku bangun dan memesan makanan, sebelumnya aku memandikan kedua anakku. Aku mengetahui, tugas Mia ternyata cukup berat, itupun belum ditambah sampingan kerja dibisnis milik teman Ninda. Aku pergi ke Rumah Sakit, Wirdan sedang berdiri diloket admintrasi. “hey, Wir. Gimana kabar Tamara dia gak papa kan?” tanyaku, “Oh Wan, gak papa sih. Dia udah boleh pulang, ini aku sedang bayar adminstrasinya. Dia tinggal di apartement.” ujar Wirdan. “Oh, Gw gak bisa lama-lama nih. Anak-anak mau liat adenya nih.” kataku. “Oh iya, anak mu laki-laki atau perempuan?” tanya Wirdan sambil menyalamiku ia memberikan selamat.

“Perempuan, udah ya,” kataku singkat. Aku meminta izin suster untuk membolehkan anak-anak ku melihat kedua ibunya dan adiknya. Suster mengizinkan meski hanya 15 menit. Kami pergi, Raya dan Ayu begitu antusias melihat adiknya. “Papa, nama ade bayi ya apa?” kata Ayu bertanya, “Oh iya, Kalian belum tahu ya. Nama adenya Intan Cahayani, samakan kaya Kak Ayu dan Kak Raya.” kataku. Kedua anakku tersenyum, setelah itu. Kami berbicara sebentar, Ninda membawa pulang anak-anak dia juga ingin istirahat. “Makasih ya sayang. Udah kasih aku anak yang cantik,” kataku sambil mengecup kening Mia. “Iya mas, tapi aku cuti dulu layani mas, aku butuh istirahat.” kata Mia mendengarnya aku mengangguk.

Kami berbicara santai, hari itu aku izin satu hari untuk menemani Mia. Mia diarawat selama 1 minggu demikian bayinya. Aku senang dengan kesehatan Mia, meski aku belum bisa menyetubuhinya. Aku kembali fokus bekerja demikian Ninda. Sementara Mia menjalankan aktivitasnya meski masih banyak aktivitas berat seperti mencuci dan memasak dan lainnya aku kerjakan karena larangan dokter selama 3 bulan pertama belum boleh melakukan kerjaan berat. Aku pergi ke kantor, Wirdan memberikan selamat karena istri keduaku Mia sudah pulang. Kami kembali aktivitas kami masing masing, hanya aku tidak tahu dengan kabar Tamara apakah dia kabur atau masih diflatnya. Berbulan-bulan Tamara tidak pernah muncul, Wirdan sudah mengantinya dengan sekertaris baru.

Saat ke Gym aku bertanya, “Wir, kamu bahagia sama hubunganmu sekarang?” kataku sambil mengunakan salah satu alat olahraga. “Iya kenapa, kok kamu tanya gitu,” kata Wirdan. “Tamara udah pulang ke Indonesia ya?” tanyaku. “Iya, dia lagi ke Indonesia. 4 hari lalu, aku antarin, ketemu orangtuanya.” kata Wirdan. “Oh, sabtu ini kamu datang ke pernikahan Cindy?” kataku pelan, aku takut menyinggung perasaannya. “Datang dong, masa gak. Kamu datang kan?” tanyanya, aku mengangguk. Aku sudah meminta Ninda untuk menemaniku, karena Mia mesti menjaga anak. Dua jam kemudian Kami keluar, dan pergi makan. Aku berpikir, kenapa Tamara tidak pernah datang kembali bahkan karena menjaga Mia aku lupa ingin menjenguk Tamara.

Aku pulang ke Apartement, anak-anak dan Mia sudah tidur. Hanya Ninda yang sedang masih bekerja dimeja makan. “Nin, kamu masih kerja malam-malam gini.” kataku sambil mengambil gelas dan memasak air. “Iya mas, kamu mau buat apa kopi?” tanya Ninda, aku menganggukan kepala. “Sini aku yang buat, aku juga mau ngopi nih,” kata sambil beranjak. Aku duduk di bangku, menunggu Ninda membuat kopi. 3 menit kemudian kopi kental sudah ada didepan mataku. “Nin, kamu sempat jenguk Tamara di Rumah Sakit, dua bulan lalu?” tanyaku pada Ninda ketika akan duduk. “Gak, mas. Kenapa ?” tanya Ninda. “Gak papa, aku hanya bingung Wirdan setahuku orang selektif dan gak suka ganti-ganti personil. Sejak Tamara ketemu, seminggu kemudian dia ganti sekertaris. Sekarang udah jalan dua bulan.” kataku.

“Oh gitu, memang gitu. Tapi trampil gak sekertarisnya sekarang?” tanya Ninda. “Trampil, kaya sekertarisku pria. Namanya Rizal.” kataku. “Oh iya, Jumat pagi kita ke Bali. Cindy mantan si Wirdan menikah. Kamu bisakan kita udah sepakat lho?”tanyaku. “Iya, aku bisa. Terus Wirdan bakal datang gak? Aku khawatir dengan perasaannya,” tanya Ninda sambil mengenak kopinya. “Gak usah khawatir, kaya Wirdan sudah cukup menerima dirinya sudah cerai dengan Cindy.” kataku setelah itu menengak kopiku. “Oh, kopinya pahit.” kataku. “Hahahah, diaduk dulu mas, aku belum ngaduk kan belum tentu mau diminum,” kata Ninda tertawa. Ucapannya benar, aku memang suka menunda minum kopi satu atau dua menit sudah jadi kebiasaanku.

Aku mengambil sendok lalu menganduk kopi. Kami minum bersama, aku menatap Ninda. Timbulah keinginanku untuk menyetubuhinya. “Nin, kita seks yuk. Udah dua bulan kita gak melakukannya.” kataku kepada Ninda. Ia terdiam sejenak, tidak mengiyakan atau menolak ajakanku. “Boleh mas, kamu pastikan dulu gak ketahuan anak-anak atau Mia,” kata Ninda. Aku menganggukan kepala, setelah minum kopi. Aku dan Ninda berjalan. Aku memeluk Ninda dari belakang, dan merangkulnya. Aku mengendong Ninda dan menuju kamarnya. Aku menidurkan Ninda, dan menutup pintu dan menguncinya. Aku mengampiri Ninda dan menindihnya. “ah…mas, udah lamnya.mmmmm” ucapnya. belum sempat ia melanjutkan perkatanya aku sudah menciumnya, ia membalasnya kedua tanganku memeluknya demikian dengan dia.

Kami berciuman dengan mersa, kemudian kami berguling-guling berberapa kali. Ditengah kasur, aku berhenti. Aku berada diatas Ninda, aku melepaskan ciuman. Muka Ninda sedikit memerah, aku mulai mendaratkan ciumanku pada lehernya. “ah…mas…oh…ter..us…oh…oh…mas…” rancau Ninda ketika aku mulai mendaratkan ciumanku padanya. Aku membuka kimono tidurnya, tetapi aku melepaskan dari bahunya terlebih dahulu. Ternyata dia mengunakan baju tidur dengan tali yang diikatkan pada kedua bahunya. Aku menjilat ludah menatapnya, aku hendak melepaskannya. “Mas, oh…mau aku yang melepasin bajunya?” tanyanya dengan suara mendesah. Aku mengelengkan kepala, aku membuka bajunya itu. Pertama aku membuka tali dibahu kanan dengan tangan kanan, secara perlahan. Seteleh lepas, aku langsung mencium leher dan bahu kanan Ninda. “uuughhhh…ahh…ah…oh…mas…ena..”ucap Ninda merancau.

Aku melepaskan ikatan kimono tidurnya ditengah dengan tangan kiri. Kemudian aku membalikan posisi, Ninda berada diatas sedangkan aku berada dibawahnya. Ninda duduk diperutku, berat badannya setengah dari berat badanku, aku tidak kesesakan nafas. Kedua tanganku berusaha melepaskannya. Ninda membantu dengan membantu dengan mengikuti arah tanganku melepaskan kimononya. Setelah kimononya lepas, aku melemparnya. Aku melanjutkan dengan melepaskan ikatan dibahu kiri, dalam persekian detik ikatannya lepas Ninda melepaskannya baju tidurnya yang berwarna putih. Ia tidak memakai bra, payudara yang berwarna putih dan puting pink terlihat jelas. “Sekarang giliran aku menelajangin kamu mas” kata Ninda sambil tersenyum. Aku terdiam, kemudian tersenyum, Ninda kemudian menciumi bibirku dan kedua tangannya didadaku.

“ahhh….ohhh….ohhhh….ahh.” desahku ketika Ninda memulai permainanya, ia makin trampil memacing birahiku ketika bersetubuh dengannya. Ninda melepaskan kaos yang kukenakan, Kaos polo berkerah, dengan tiga kancing. Dia membuka satu persatu kancing, lalu membuka kaos ku gunakan. Aku membantunya dengan mengerakan badanku. Ia mencium badanku, aku tidak tahan membalikkan badannya. Aku membuka celana dalam yang digunakan kemudian melepaskan celana pendek dan celana dalamku. Kini kami sama-sama telanjang, aku mencoba menjelajahi payudaranya. “Mhhhh…ughh…ughhh…ahhh..ahh.” desah Ninda saat aku menghisap putting payudaranya yang mulai mengencang itu. Aku memulainya pada payudara kanan, sementara payudara kiri aku mainkan dengan tangan kiri. Dia makin mendesah,”ahhh..ter….us…oh…mas….ena….k” ucapnya sambil mengejamkan matanya. 15 menit kemudian, aku menghisap payudara kirinya, sementara payudara kanan aku mainkan dengan tangan kanan.

Ia makin mendesah, akibatnya ia klimaks. Cairan kewanitaan membahasi sprei, 10 menit aku menyelesaikannya. Aku berinisiatif bermain dengan gaya 69 kami saling menghisap dan memainkan Penis dan Vagina kami, kami mendapatkan kenikmatan tidak tara. 1 jam kemudian, aku merasa puncak kenikmatan. “Nind, Penisku udah mau sampe, pengen tumpah kemana nih?” tanyaku berusaha menahan. Ninda melepaskan oralan lalu berkata,”didalam mul…oh…ah..ah..ut….” ujarnya kemudian kembali memasukan penisku kedalam mulutnya. Aku kembali menjilat, ternyata ia mengeluarkan cairan kewanitaannya. Aku menghisap dan menjilatnya sampai habis. Aku menelannya, kemudian menembakan spermaku kedalam mulutnya, dia puas. Mulutnya kepenuhan, ia membuka, spremaku luber kewajah dan badannya. Aku membahasi badan dan wajah yang sudah berkeringat dengan sperma.

Aku berbalik, aku mulai merentangkan kedua kakinya dan mengarahkan penisku ke Vaginanya. “arrggh,ohh….ohhh….mas,”rancaunya ketika penisku memasuki lubang peranakannya. Aku memompa juga merasai kenikmatan. “oh….ohh….Nin,…oh…Nin…enak….oh…”ujarku sambil memuji kenekan memasuki kelamin Ninda. Aku mempercepat, “oh….mas…uggh….oh…” katanya kian mendesah, kami melakukan satu jam. Aku membuang seluruh sperma kedalam kelaminnya. Setelah permainan, tersebut kami mengatur nafas kemudian tidur. Paginya, Mia dan Ninda menyiapkan sarapan. Ayu dan Rayya sedang asyik melihat adiknya dikeranjang bayi. “Mbak sama Mas, tadi malam mainnya.” katanya, kami terkejut. “Iya Mi, kemarin mas minta mbakmu untuk main,” ucapku hati-hati. “Uhhh, gak ngajak-ngajak,” ucap Mia. “Mia, kamu masih belum bisa seks. Biarlah mbak yang layani suami kita,” ucap Ninda.

“Iya sih, tapi Mia kan pengen main sama mbak dan mas kaya dulu,” ucap Mia, kami menghiburnya dan berjanji akan bermain bersama ketika sudah Mia benar-benar bisa. Hari-hari berlalu, tibalah aku dan Ninda ke Bali. Aku berangkat bersama Ninda, Mia dan anak-anak tidak mengantar. Keadaan Intan yang baru berberapa minggu membuatku khawatir. Wirdan datang bersama Tamara, “Hey, Ninda-Iwan udah lama nunggu,” katanya menyapa dengan mendorong troli.” ucapnya yang disusul senyuman Tamara. “Gak kok kami baru aja sampe,” kataku dikuti dengan anggukan kepala Ninda yang merangkul lengan kananku. Tamara memakai blus dengan cukup terlihat gemuk dari dulu kami bertemu. “Wir, Tamara kok gemukan. Kalian makan terus ya?” tanyaku dengan berbisik. “Rahasia.” ucapnya tersenyum.

Bersambung
 
Lanjutan
Wirdan tetap menrahasiakan keadaan Tamara dan dirinya, aku pun tidak berani menanyakan lebih lanjut kepadanya. Aku mengalihkan perhatian, keberangkatan kami. Setelah 6 Bulan lebih meninggalkan Indonesia kami kembali. Tetapi hanya sebentar, kami hanya mengunjungi pulau Bali. Aku ikut dengan Wirdan untuk menghadiri pernikahan mantan istrinya, kemudian kembali minggu malam. Pada hari pernikahan, aku siap dengan memakai jas dan Ninda tampak cantik dengan gaun malam warna merah. Kami pergi ke lobi, karena sudah berjanji dengan Wirdan akan berangkat bersama. Wirdan sudah menunggu kami, “Hoy, Iwan ayo kita berangkat,” katanya ketika melihat kami dari jauh dengan sedikit berteriak. Kami menghampirinya, “Kamu udah lama, maafya biasa ada yang mesti dirapihkan sedikit rambut istriku,” kataku sambil berjalan.

“Gak papa, aku juga belum lama. Cuma Tamara gak bisa nunggu lama,” katanya sambil keluar. Petugas hotel memberi kode untuk mobil. “Iwan, kalian pake mobil dibelakangnya. Sama aja kok,” katanya menjelaskan. Tidak berapa lama, dua mobil sedan datang. Wirdan membuka pintu mobil pertama, tampak Tamara anggun dengan gaun hitam, namun berberapa bagian tubuhnya nampak berbeda. Ninda meyiritkan dahinya, aku menatapnya dengan tatapan bingung. Meski hanya sesaat, kami bisa melihat Ninda sedikit berbeda. Sedan dibelakang Sedan Wirdan masuk, aku sigap membuka pintu. Ninda masuk, lalu aku masuk. “Mas, Tamara bahagia pasti sekarang. Kayanya aku tau masalah Wirdan jaga dia,” ucap Ninda setengah berbisik.

“Kenapa si Tamara, Nind?” tanyaku menanggapi ujaran Ninda. “Rahasia mas,” ucapnya sambil tersenyum. 40 menit kemudian kami sampai ditempat Resepsi. Kami berfoto, dan menyalami mempelai. Kandungan Cindy, meski aku tidak mengetahui berapa bulan. Aku malah mengkhawatirkan pertemuan Wirdan dan Cindy, meski dibilang baik-baik saja. Tetapi bisa saja ada masalah tiba-tiba, ternyata kehawatiranku salah. Mereka bisa mengedalikan emosinya. Wirdan selalu pergi menemani Tamara yang selalu menempel dengan Wirdan. Aku cukup senang, pergi ketempat minuman mesan minuman lalu makan. 20 menit kemudian Wirdan datang, “Iwan, kesana yuk. Ada teman-teman tempat kerja dulu,” katanya merangkulku. “Eh, Tamara gimana? Aku nitip ke istri loe, makanya sekalian gw bawa loe bro,” ujarnya sambil menarik lenganku. Aku melihat Ninda yang asyik ngobrol dengan Tamara.

Kami pergi ngobrol, dengan bercanda dengan teman-teman yang lama kita temui. Rata-rata mereka sudah memiliki pekerjaan baru, sisanya mencoba membuka usaha yang cukup besar. Kami ngobrol dan minum minuman keras. Tiga jam kemudian kami mohon diri, kami mencari Ninda dan Tamara. Rupanya mereka sedang asyik meminum kopi dan teh di Café dekat lokasi Resepsi . Kami menghampirinya, Ninda dan Tamara tampak kurang menyukai kami datang, terlebih Tamara yang menutup hidung dan mulutnya dengan tangan kanannya, dan memaksa kami berdua memesan kopi. Setelah menghabiskan kopi, kami baru pulang. Saat perjalanan, Ninda menasihatiku untuk menjaga Wirdan untuk mengurangi kebiasaan mabuk. “Mas, kamu jangan minum terlalu banyak. Terutama Wirdan, dia juga tau Tamara kurang suka bau minuman,” kata Ninda.

Aku mengangguk, dan berjanji untuk menjaga temanku itu. Kami sampai dihotel, dan pergi kekamar masing-masing. Ninda memintaku untuk beristrirahat mesti masih sore, pukul 15.00. “Kamu tadi minum, lebih baik tidur. Nanti malam, kita main,” katanya nakal. Aku tersenyum, dan pergi tidur setelah mandi dan memakai pakaian santai. Aku bangun waktu menujukan pukul 18.30, Aku lapar. “Nind, kita siap-siap makan yuk. Aku tau restoran bagus, kita ajak Wirdan sama Tamara,” ajakku. “Kayanya gak usah, Tamara sekarang kondisi kurang perjalanan darat, udah gitu malam lagi,”ujar Ninda. Aku tidak tahu apa maksudnya, namun aku mengiyakan. Kami bersiap-siap dan pergi makan, kami turun ke lantai bawah.

Singkat cerita kami pergi kesebuh restoran yang menyediakan makanan asli bali, dan memesan makanan. Lalu pulang, setelah menghabiskan waktu dua jam untuk makan, sesampai dikamar Hotel. Aku mendekap Ninda, dan menyadarkan badannya kelemari. “Ayo sayang, kamu sudah janji main,” ucapku sambil mencium keningnya. “Beneran nih, udah lama juga gak main dihotel. Terakhir kita ke bali pas bulan madu kan?” ucap Ninda. Kami berciuman, dengan panas, badanku gunakan untuk menekan tubuh Ninda untuk mengendalikan persetubuhan ini, aku mulai menjalari tubuhnya. Mulai mulut,pipi,kening, leher dan bahu. Ninda mulai menujukan sikap menikmatinya, “MMMH…oh…..oh….oh…ma..s….oh…” desah Ninda menerima upayaku membangkitkan nafsunya. Kemudian aku menarik tangannya dan menidurkannya diranjang.

Aku melepaskan sweater tipisnya yang digunakan saat pergi, hanya dua kacing didada. Aku mengakat tubuhnya dan melepaskan pakaian itu dari badanya. Kini tampak di hadapanku pemandangan yang menggetarkan jiwaku. Hanya memakai baju putih tipis tanpa lengan. Tampak jelas di dalamnya Bra hitam yang tak mampu menampung isinya, sehingga dua gundukan besar dan kenyal itu membentuk lipatan di tengahnya. Aku hanya bisa memandangi, menarik nafas serta menelan ludah. Aku membanyangkan bagimana Mia jika memakai pakaian yang sama. Mungkin ia tahu kalau aku terpesona dengan gunung gemburnya. Ia lalu mendekat ke ranjang, melatakkan kedua tangannya ke kasur, mendekatkan mukanya ke mukaku, “Mas..” katanya tanpa melanjutkan kata-katanya, ia merebahkan badan di bantal yang sudah kusiapkan.


Aku yang sudah menahan nafsu sejak tadi, langsung mendekatkan bibirku ke bibirnya. Kami larut dalam lumat-lumatan bibir dan lidah tanpa henti. Kadang berguling, sehingga posisi kami bergantian atas-bawah. Kudekap erat dan kuelus punggungnya terasa halus dan harum. Posisi ini kami hentikan atas inisiatifku, karena aku memang terbiasa ciuman lama seperti ini tanpa dilepas sekalipun. Namun tampak aku mulai nafsu memikirkan tubuh Ninda. Aku melepas bajuku, takut kusut atau terkena lipstiknya. Kini aku hanya memakai Celana Dalam. Ia tampak terdiam memandangi Celana Dalamku yang menonjol. “Lepas aja bajumu, nanti kusut,” kataku. “Malu ah..” katanya manja. “Kan nggak ada yang lihat. Cuma kita berdua,” kataku tersenyum menanggapi sikapnya sambil meraih kancing paling atas di punggungnya.

Aku membuka semua kancing. Kulempar bajunya ke atas meja di dekat ranjang. Kini tinggal BH dan celana panjang yang dia kenakan. Ia tersenyum, wajah memerah. Ia membuka tanganya, aku menghampirinya. Ninda mendekapku erat-erat. Dadaku terasa penuh dan empuk oleh susunya, nafsuku naik lagi satu tingkat, Penisku mulai bereaksi. Dalam posisi begini, aku cium dan jilati leher dan bagian kuping yang tepat di depan bibirku. “Ah…..mmmh…..oh….ah..ah....” hanya itu yang keluar dari mulutnya. Mulai terangsang, pikirku. Setelah puas dengan leher dan kuping kanannya, kepalanya kuangkat dan kupindahkan ke dada kiriku. Kuulangi gerakan jilat leher dan pangkal kuping kirinya, persis yang kulakukan tadi.

Kini erangannya semakin sering dan keras. “Mas.. Mas.. geli Mas, enak Mas..oh…..mmmpphhhh…oh…ah..ah…ah…” desahnya kegelian namun juga kenikmatan. Ninda sudah makin paham keinginan bercinta. Aku pun melanjutkan permainanku sambil membelai rambutnya yang sebahu dan harum, kuteruskan elusanku ke bawah, ke tali Bra hingga ke pantatnya yang cukup berisi, naik-turun. Selanjutnya gerilyaku pindah ke leher depan. Kupandangi lipatan dua gunung yang menggumpal di dadanya. Sengaja aku belum melepas Branya, karena otaku seperti memberi gambaran bagimana permainanku harus dilakukan. Jilatanku kini sampai di lipatan susu itu dan lidahku menguas-nguas di situ sambil sesekali aku gigit lembut. Kudengar ia terus melenguh keenakan, sambil mengejamkan matanya.

Kini tanganku meraih tali Bra, saatnya kulepas. “Boleh aku lepaskan ?” tanyaku padanya ia mengeluh, “Mas..bukain,oh…aku udah..oh…mmpph.***k tahan..” sambil kedua tangannya merentangkan tanganya. Ia berusaha membantu membuka Branya. Aku dengan cepat menarik talinya kemudian sudah terlepas. Aku melakukan hal yang sama pada talinya satu lagi, dan menyelipkan satu tanganku membuka kaitan. Sehingga ketika aku bangunkan badanya, Bra jatuh kepahanya. Aku mengambil dan membuangkan ke lantai. Payudara terlihat, “Nin.. susumu bagus sekali, aku sukaa banget,” pujiku sambil mengelus susu besar menantang itu, Putingnya hitam-kemerahan, sudah keras. Walaupun itu hanya upayaku, ia tersenyum mendengar. “Mas,langsung aja,” ucapnya singkat dan berat. aku langsung menundukan kepalaku kearah dadanya.

Aku mulai memainkan gunung kembar sesukaku. Kujilat, kupilin putingnya, kugigit, lalu kugesek-gesek dengan kumisku,Ninda bergerak tidak karuan, merem-melek.“Uh.. uh.. ahh.. ohhh..mas….oh….enak…bang…et…”desahnya melukiskan kenikmatan dia rasakan. Setelah puas di daerah dada, kini tanganku kuturunkan di daerah selangkangan, sementara mulut masih agresif di sana. Kuusap perlahan dari dengkul lalu naik. Kuulangani beberapa kali, Ninda terus mengaduh sambil membuka tutup pahanya. Kadang menjepit tangan nakalku. Kuplorotkan celananya. Kini Ninda sudah telanjang bulat, kedua pahanya aku buka. Vaginanya terlihat, maka aku arahkan jari telunjuk dan jari tengahku mulai mengelus Vaginanya secara perlahan.Jari-jariku turun-naik di bibir vaginanya, perlahan dan mengambang. Kurasakan di sana sudah mulai basah meski belum becek sekali.

Ketika kedua jariku mulai masuk, Ninda mengaduh. “oh….ohh..mmmph…terus…oh…ter…ter..terus..oh…oh...!” ucapnya kenikmatan. Kuraih tangan Ninda ke arah selangkanganku, ia tersenyum lalu mengangguk. Aku bangkit berdiri dengan dengkul di kasur, sementara Ninda sudah dalam posisinya, terlentang dan mengangkang. Kupandangi susunya keras tegak menantang. Ketika kurapatkan Penisku ke vaginanya, reflek tangan kirinya menangkap dan kedua kakinya diangkat. “mmmph…oh….oh…oh....”desahnya sambil memejamkan mata,. Aku memasukan Penisku kedalam Vaginanya dengan cepat. Meski sudah basah, tidak juga langsung bisa amblas masuk. Terasa sempit. Perlahan kumasukkan ujungnya, lalu kutarik lagi. Ini kuulangi hingga empat kali baru bisa masuk ujungnya. “Sret.. sret..” Ninda mengaduh, “Uh.. pelan Mas.. sakit..” Kutarik mundur sedikit lagi, kumasukkan lebih dalam.

“Bles.. bles..” Penisku masuk semua. Ninda langsung mendekapku erat-erat sambil berbisik, “Mas.. enak, Mas enak.. enak sekali.. kamu memang suami hebat….oh…” Begitu berulang-ulang sambil menggoyangkan pinggul, sedangkan aku mulai memompa. 20 menit berlalu, Ninda tiba-tiba badannya mengejang, kulihat matanya putih, “Aduuh.. Mas.. aku.. enak.. keluaar..” tangannya mencengkeram rambutku. Aku hentikan sementara tarik-tusukku dan kurasakan pijatan otot vaginanya mengurut ujung burungku, sementara kuperhatikan Ninda merasakan hal yang sama, bahkan tampak seperti orang menggigil. Rupanya ia mencapai klimaks, aku menghentikan permainan. Setelah nafasnya tampak tenang, kucabut Penisku dari vaginanya. Kuambil celana dalamnya yang ada di sisi ranjang, kulap burungku, juga bibir vaginanya. Lantas kutancapkan lagi penisku kedalam Vaginanya

Kembali kuulangi kenikmatan tusuk-tarik, kadang aku agak meninggikan posisiku sehingga burungku menggesek-gesek dinding atas vaginanya. Gesekan seperti ini membuat sensasi tersendiri buat Ninda, mungkin senggamanya selama ini tak menyentuh bagian ini. Setiap kali gerakan ini kulakukan, dia langsung teriak, “Enak.. terus, enak terus.. terus..” begitu sambil tangannya mencengkeram bantal dan memejamkan mata. Kulirik jam tanganku, hampir satu jam aku lakukan adegan ranjang ini. Akhirnya aku putuskan untuk terus mempercepat kocokanku agar ronde satu ini segera berakhir. Tekan, tarik, posisi pantatku kadang naik kadang turun dengan tujuan agar semua dinding vaginanya tersentung Penisku yang masih keras. Kepala penisku terasa senut-senut, “Nin.. aku mau keluar nikh..” kataku
“He…..eeh…..oh….ah…..ah…terus..Mas,aduuh..gila..aku..juga…kel…oh…uar..Mas..oh…..oh….terus.. terus..ah…aha…ah…”desah Ninda kenikmatan, disaat yang sama.“Crot.. crot..” maniku menyemprot beberapa kali, terasa penuh vaginanya dengan maniku dan cairannya. Kami akhiri ronde pertama ini dengan klimaks bareng dan kenikmatan yang belum pernah kurasakan. Setelah bersih-bersih badan, istirahat sebentar, minum kopi, dan makan makanan ringan sambil ngobrol tentang keluarganya lebih jauh. Ninda semakin manja dan tampak lebih rileks. Merebahkan kepalanya di pundakku, dan tentu saja gunung kembarnya menyentuh badanku dan tangannya mengusap-usap pahaku akhirnya Penis bereaksi lagi. Kesempatan ini dipergunakan dengan Ninda. Dia menurunkan kepalanya, dari dadaku, perut, dan akhirnya burungku yang sudah tegang dijilatinya dan memasukanya kedalam mulutnya. Perlakuannya membuatku mendesah.

“Oh….terus,Nin…..oh….ah….”desahku. “Enak Mas.. asin gimana gitu. Aku baru sadarnya ngrasain begini,” katanya sambil tersenyum. Kami tertawa, lalu terdiam saling berpandangan. Tampak jelas ia sangat bernafsu, karena nafasnya sudah tidak beraturan. “Ah..” lenguhnya sambil melepas isapannya. Lalu menegakkan badan, berdiri dengan dengkul sebagai tumpuan. Tiba-tiba kepalaku yang sedang menyandar di sisi ranjang direbahkan hingga melitang, lalu Ninda mengangkangiku. Posisi menjadi dia persis di atas badanku. Aku terlentang dan dia jongkok di atas perutku. Penisku tegak berdiri tepat di bawah selangkangannya. Dengan memejamkan mata, “Mas.. Aku udah gak tahaan..” Digenggamnya burungku dengan tangan kirinya, lalu dia menurunkan pantatnya. Kini ujung Peniskuku sudah menyentuh bibir Vaginanya.

Perlahan dan akhirnya masuk. Dengan posisi ini kurasakan, benar-benar kurasakan kalau barang Mamah masih sempit. Vagina terasa penuh dan terasa gesekan dindingnya. Mungkin karena lendir vaginanya tidak terlalu banyak, aku makin menikmati ronde kedua ini.“Aduuh..oh…..mmmph…….Mas, enak sekali Mas. oh…oh…Aku…aku….oh…. be…ah…ah…naran…oh…oh….mmpph…. sepuas ini…ah…ah,” ucapnya dengan terbata-bata. lalu.. “Aduuh…..oh….mmpph…ohh…enak Mas.. mau keluar nikh.. ..oh…..” katanya sambil meraih tanganku diarahkan ke susunya. Kuelus, lalu kuremas dan kuremas lagi semakin cepat mengikuti, gerakan naik turun pantatnya yang semakin cepat pula menuju orgasme. Akhirnya Ninda menjerit lagi pertanda klimaks telah dicapai. Dengan posisi aku di bawah, aku lebih santai, jadi tidak terpancing untuk cepat klimaks. Sedangkan Mamah sebaliknya, dia leluasa menggerakkan pantat sesuai keinginannya. Posisi aku di bawah ini berlangsung kurang lebih 30 menit. Dan dalam waktu itu Ninda sempat klimaks dua kali. Sebagai penutup, setelah klimaks dua kali dan tampak kelelahan dengan keringat sekujur tubuhnya.

Aku rebahkan dia dengan mencopot Penisku, Setelah kami masing-masing melap “barang”, kumasukkan senjataku ke liang kenikmatannya. Posisinya aku berdiri di samping ranjang. Pantatnya persis di bibir ranjang dan kedua kakinya di pundakku. Aku sudah siap memulai acara penutupan ronde kedua. Kumulai dengan memasukkan burungku secara perlahan. “Uuh..” hanya itu suara yang kudengar. Kumaju-mundurkan, cabut-tekan, penisku. Makin lama makin cepat, lalu perlahan lagi sambil aku ambil nafas, lalu cepat lagi. Begitu naik-turun, diikuti suara Ninda, “Hgh.. hgh.. ” seirama dengan pompaanku. Setiap kali aku tekan mulutnya berbunyi, “Uhgh..” Lama-lama kepala batanganku terasa berdenyut. “Nin…oh….aku mau keluar nikh..”,kataku. Mendengar ucapanku Ninda menaggapi,“oh…terusin…oh…..cepat…….oh…….oh…… pompa lagi…..oh…..cepat lagi.. Aku juga Mas.. Kita bareng ya.. ya.. terus..” ucapnya.

Akhirnya jeritan..“Aaauh..” menandai klimaksnya, dan kubalas dengan genjotan penutup yang lebih kuat merapat di bibir vagina, “Crot.. crott..” Aku rebah di atas badannya. Adegan ronde ketiga ini kuulangi sekali lagi. Persis seperti ronde kedua tadi, “Mas, Minggu Depan udah bisa sama pake Mia, jangan lupa adilnya,” ucapnya sebelum tidur. Kami tertidur, dan bangun pagi. Rupanya Wirdan minta ijin balik siang hari, aku menyetujuinya. Entah kenapa dia ingin pulang lebih dahulu. Kami pulang, malam hari kemudian langsung ke Apartement. Sampai disana, Mia sudah menunggu dan memeluk kami terlebih aku ia mencium bibirku. “Mas, mulai Minggu Depan aku boleh ikutan ya?” katanya sambil mengengam tanganku.

bersambung
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd