Lanjutan
Wirdan tetap menrahasiakan keadaan Tamara dan dirinya, aku pun tidak berani menanyakan lebih lanjut kepadanya. Aku mengalihkan perhatian, keberangkatan kami. Setelah 6 Bulan lebih meninggalkan Indonesia kami kembali. Tetapi hanya sebentar, kami hanya mengunjungi pulau Bali. Aku ikut dengan Wirdan untuk menghadiri pernikahan mantan istrinya, kemudian kembali minggu malam. Pada hari pernikahan, aku siap dengan memakai jas dan Ninda tampak cantik dengan gaun malam warna merah. Kami pergi ke lobi, karena sudah berjanji dengan Wirdan akan berangkat bersama. Wirdan sudah menunggu kami, “Hoy, Iwan ayo kita berangkat,” katanya ketika melihat kami dari jauh dengan sedikit berteriak. Kami menghampirinya, “Kamu udah lama, maafya biasa ada yang mesti dirapihkan sedikit rambut istriku,” kataku sambil berjalan.
“Gak papa, aku juga belum lama. Cuma Tamara gak bisa nunggu lama,” katanya sambil keluar. Petugas hotel memberi kode untuk mobil. “Iwan, kalian pake mobil dibelakangnya. Sama aja kok,” katanya menjelaskan. Tidak berapa lama, dua mobil sedan datang. Wirdan membuka pintu mobil pertama, tampak Tamara anggun dengan gaun hitam, namun berberapa bagian tubuhnya nampak berbeda. Ninda meyiritkan dahinya, aku menatapnya dengan tatapan bingung. Meski hanya sesaat, kami bisa melihat Ninda sedikit berbeda. Sedan dibelakang Sedan Wirdan masuk, aku sigap membuka pintu. Ninda masuk, lalu aku masuk. “Mas, Tamara bahagia pasti sekarang. Kayanya aku tau masalah Wirdan jaga dia,” ucap Ninda setengah berbisik.
“Kenapa si Tamara, Nind?” tanyaku menanggapi ujaran Ninda. “Rahasia mas,” ucapnya sambil tersenyum. 40 menit kemudian kami sampai ditempat Resepsi. Kami berfoto, dan menyalami mempelai. Kandungan Cindy, meski aku tidak mengetahui berapa bulan. Aku malah mengkhawatirkan pertemuan Wirdan dan Cindy, meski dibilang baik-baik saja. Tetapi bisa saja ada masalah tiba-tiba, ternyata kehawatiranku salah. Mereka bisa mengedalikan emosinya. Wirdan selalu pergi menemani Tamara yang selalu menempel dengan Wirdan. Aku cukup senang, pergi ketempat minuman mesan minuman lalu makan. 20 menit kemudian Wirdan datang, “Iwan, kesana yuk. Ada teman-teman tempat kerja dulu,” katanya merangkulku. “Eh, Tamara gimana? Aku nitip ke istri loe, makanya sekalian gw bawa loe bro,” ujarnya sambil menarik lenganku. Aku melihat Ninda yang asyik ngobrol dengan Tamara.
Kami pergi ngobrol, dengan bercanda dengan teman-teman yang lama kita temui. Rata-rata mereka sudah memiliki pekerjaan baru, sisanya mencoba membuka usaha yang cukup besar. Kami ngobrol dan minum minuman keras. Tiga jam kemudian kami mohon diri, kami mencari Ninda dan Tamara. Rupanya mereka sedang asyik meminum kopi dan teh di Café dekat lokasi Resepsi . Kami menghampirinya, Ninda dan Tamara tampak kurang menyukai kami datang, terlebih Tamara yang menutup hidung dan mulutnya dengan tangan kanannya, dan memaksa kami berdua memesan kopi. Setelah menghabiskan kopi, kami baru pulang. Saat perjalanan, Ninda menasihatiku untuk menjaga Wirdan untuk mengurangi kebiasaan mabuk. “Mas, kamu jangan minum terlalu banyak. Terutama Wirdan, dia juga tau Tamara kurang suka bau minuman,” kata Ninda.
Aku mengangguk, dan berjanji untuk menjaga temanku itu. Kami sampai dihotel, dan pergi kekamar masing-masing. Ninda memintaku untuk beristrirahat mesti masih sore, pukul 15.00. “Kamu tadi minum, lebih baik tidur. Nanti malam, kita main,” katanya nakal. Aku tersenyum, dan pergi tidur setelah mandi dan memakai pakaian santai. Aku bangun waktu menujukan pukul 18.30, Aku lapar. “Nind, kita siap-siap makan yuk. Aku tau restoran bagus, kita ajak Wirdan sama Tamara,” ajakku. “Kayanya gak usah, Tamara sekarang kondisi kurang perjalanan darat, udah gitu malam lagi,”ujar Ninda. Aku tidak tahu apa maksudnya, namun aku mengiyakan. Kami bersiap-siap dan pergi makan, kami turun ke lantai bawah.
Singkat cerita kami pergi kesebuh restoran yang menyediakan makanan asli bali, dan memesan makanan. Lalu pulang, setelah menghabiskan waktu dua jam untuk makan, sesampai dikamar Hotel. Aku mendekap Ninda, dan menyadarkan badannya kelemari. “Ayo sayang, kamu sudah janji main,” ucapku sambil mencium keningnya. “Beneran nih, udah lama juga gak main dihotel. Terakhir kita ke bali pas bulan madu kan?” ucap Ninda. Kami berciuman, dengan panas, badanku gunakan untuk menekan tubuh Ninda untuk mengendalikan persetubuhan ini, aku mulai menjalari tubuhnya. Mulai mulut,pipi,kening, leher dan bahu. Ninda mulai menujukan sikap menikmatinya, “MMMH…oh…..oh….oh…ma..s….oh…” desah Ninda menerima upayaku membangkitkan nafsunya. Kemudian aku menarik tangannya dan menidurkannya diranjang.
Aku melepaskan sweater tipisnya yang digunakan saat pergi, hanya dua kacing didada. Aku mengakat tubuhnya dan melepaskan pakaian itu dari badanya. Kini tampak di hadapanku pemandangan yang menggetarkan jiwaku. Hanya memakai baju putih tipis tanpa lengan. Tampak jelas di dalamnya Bra hitam yang tak mampu menampung isinya, sehingga dua gundukan besar dan kenyal itu membentuk lipatan di tengahnya. Aku hanya bisa memandangi, menarik nafas serta menelan ludah. Aku membanyangkan bagimana Mia jika memakai pakaian yang sama. Mungkin ia tahu kalau aku terpesona dengan gunung gemburnya. Ia lalu mendekat ke ranjang, melatakkan kedua tangannya ke kasur, mendekatkan mukanya ke mukaku, “Mas..” katanya tanpa melanjutkan kata-katanya, ia merebahkan badan di bantal yang sudah kusiapkan.
Aku yang sudah menahan nafsu sejak tadi, langsung mendekatkan bibirku ke bibirnya. Kami larut dalam lumat-lumatan bibir dan lidah tanpa henti. Kadang berguling, sehingga posisi kami bergantian atas-bawah. Kudekap erat dan kuelus punggungnya terasa halus dan harum. Posisi ini kami hentikan atas inisiatifku, karena aku memang terbiasa ciuman lama seperti ini tanpa dilepas sekalipun. Namun tampak aku mulai nafsu memikirkan tubuh Ninda. Aku melepas bajuku, takut kusut atau terkena lipstiknya. Kini aku hanya memakai Celana Dalam. Ia tampak terdiam memandangi Celana Dalamku yang menonjol. “Lepas aja bajumu, nanti kusut,” kataku. “Malu ah..” katanya manja. “Kan nggak ada yang lihat. Cuma kita berdua,” kataku tersenyum menanggapi sikapnya sambil meraih kancing paling atas di punggungnya.
Aku membuka semua kancing. Kulempar bajunya ke atas meja di dekat ranjang. Kini tinggal BH dan celana panjang yang dia kenakan. Ia tersenyum, wajah memerah. Ia membuka tanganya, aku menghampirinya. Ninda mendekapku erat-erat. Dadaku terasa penuh dan empuk oleh susunya, nafsuku naik lagi satu tingkat, Penisku mulai bereaksi. Dalam posisi begini, aku cium dan jilati leher dan bagian kuping yang tepat di depan bibirku. “Ah…..mmmh…..oh….ah..ah....” hanya itu yang keluar dari mulutnya. Mulai terangsang, pikirku. Setelah puas dengan leher dan kuping kanannya, kepalanya kuangkat dan kupindahkan ke dada kiriku. Kuulangi gerakan jilat leher dan pangkal kuping kirinya, persis yang kulakukan tadi.
Kini erangannya semakin sering dan keras. “Mas.. Mas.. geli Mas, enak Mas..oh…..mmmpphhhh…oh…ah..ah…ah…” desahnya kegelian namun juga kenikmatan. Ninda sudah makin paham keinginan bercinta. Aku pun melanjutkan permainanku sambil membelai rambutnya yang sebahu dan harum, kuteruskan elusanku ke bawah, ke tali Bra hingga ke pantatnya yang cukup berisi, naik-turun. Selanjutnya gerilyaku pindah ke leher depan. Kupandangi lipatan dua gunung yang menggumpal di dadanya. Sengaja aku belum melepas Branya, karena otaku seperti memberi gambaran bagimana permainanku harus dilakukan. Jilatanku kini sampai di lipatan susu itu dan lidahku menguas-nguas di situ sambil sesekali aku gigit lembut. Kudengar ia terus melenguh keenakan, sambil mengejamkan matanya.
Kini tanganku meraih tali Bra, saatnya kulepas. “Boleh aku lepaskan ?” tanyaku padanya ia mengeluh, “Mas..bukain,oh…aku udah..oh…mmpph.***k tahan..” sambil kedua tangannya merentangkan tanganya. Ia berusaha membantu membuka Branya. Aku dengan cepat menarik talinya kemudian sudah terlepas. Aku melakukan hal yang sama pada talinya satu lagi, dan menyelipkan satu tanganku membuka kaitan. Sehingga ketika aku bangunkan badanya, Bra jatuh kepahanya. Aku mengambil dan membuangkan ke lantai. Payudara terlihat, “Nin.. susumu bagus sekali, aku sukaa banget,” pujiku sambil mengelus susu besar menantang itu, Putingnya hitam-kemerahan, sudah keras. Walaupun itu hanya upayaku, ia tersenyum mendengar. “Mas,langsung aja,” ucapnya singkat dan berat. aku langsung menundukan kepalaku kearah dadanya.
Aku mulai memainkan gunung kembar sesukaku. Kujilat, kupilin putingnya, kugigit, lalu kugesek-gesek dengan kumisku,Ninda bergerak tidak karuan, merem-melek.“Uh.. uh.. ahh.. ohhh..mas….oh….enak…bang…et…”desahnya melukiskan kenikmatan dia rasakan. Setelah puas di daerah dada, kini tanganku kuturunkan di daerah selangkangan, sementara mulut masih agresif di sana. Kuusap perlahan dari dengkul lalu naik. Kuulangani beberapa kali, Ninda terus mengaduh sambil membuka tutup pahanya. Kadang menjepit tangan nakalku. Kuplorotkan celananya. Kini Ninda sudah telanjang bulat, kedua pahanya aku buka. Vaginanya terlihat, maka aku arahkan jari telunjuk dan jari tengahku mulai mengelus Vaginanya secara perlahan.Jari-jariku turun-naik di bibir vaginanya, perlahan dan mengambang. Kurasakan di sana sudah mulai basah meski belum becek sekali.
Ketika kedua jariku mulai masuk, Ninda mengaduh. “oh….ohh..mmmph…terus…oh…ter…ter..terus..oh…oh...!” ucapnya kenikmatan. Kuraih tangan Ninda ke arah selangkanganku, ia tersenyum lalu mengangguk. Aku bangkit berdiri dengan dengkul di kasur, sementara Ninda sudah dalam posisinya, terlentang dan mengangkang. Kupandangi susunya keras tegak menantang. Ketika kurapatkan Penisku ke vaginanya, reflek tangan kirinya menangkap dan kedua kakinya diangkat. “mmmph…oh….oh…oh....”desahnya sambil memejamkan mata,. Aku memasukan Penisku kedalam Vaginanya dengan cepat. Meski sudah basah, tidak juga langsung bisa amblas masuk. Terasa sempit. Perlahan kumasukkan ujungnya, lalu kutarik lagi. Ini kuulangi hingga empat kali baru bisa masuk ujungnya. “Sret.. sret..” Ninda mengaduh, “Uh.. pelan Mas.. sakit..” Kutarik mundur sedikit lagi, kumasukkan lebih dalam.
“Bles.. bles..” Penisku masuk semua. Ninda langsung mendekapku erat-erat sambil berbisik, “Mas.. enak, Mas enak.. enak sekali.. kamu memang suami hebat….oh…” Begitu berulang-ulang sambil menggoyangkan pinggul, sedangkan aku mulai memompa. 20 menit berlalu, Ninda tiba-tiba badannya mengejang, kulihat matanya putih, “Aduuh.. Mas.. aku.. enak.. keluaar..” tangannya mencengkeram rambutku. Aku hentikan sementara tarik-tusukku dan kurasakan pijatan otot vaginanya mengurut ujung burungku, sementara kuperhatikan Ninda merasakan hal yang sama, bahkan tampak seperti orang menggigil. Rupanya ia mencapai klimaks, aku menghentikan permainan. Setelah nafasnya tampak tenang, kucabut Penisku dari vaginanya. Kuambil celana dalamnya yang ada di sisi ranjang, kulap burungku, juga bibir vaginanya. Lantas kutancapkan lagi penisku kedalam Vaginanya
Kembali kuulangi kenikmatan tusuk-tarik, kadang aku agak meninggikan posisiku sehingga burungku menggesek-gesek dinding atas vaginanya. Gesekan seperti ini membuat sensasi tersendiri buat Ninda, mungkin senggamanya selama ini tak menyentuh bagian ini. Setiap kali gerakan ini kulakukan, dia langsung teriak, “Enak.. terus, enak terus.. terus..” begitu sambil tangannya mencengkeram bantal dan memejamkan mata. Kulirik jam tanganku, hampir satu jam aku lakukan adegan ranjang ini. Akhirnya aku putuskan untuk terus mempercepat kocokanku agar ronde satu ini segera berakhir. Tekan, tarik, posisi pantatku kadang naik kadang turun dengan tujuan agar semua dinding vaginanya tersentung Penisku yang masih keras. Kepala penisku terasa senut-senut, “Nin.. aku mau keluar nikh..” kataku
“He…..eeh…..oh….ah…..ah…terus..Mas,aduuh..gila..aku..juga…kel…oh…uar..Mas..oh…..oh….terus.. terus..ah…aha…ah…”desah Ninda kenikmatan, disaat yang sama.“Crot.. crot..” maniku menyemprot beberapa kali, terasa penuh vaginanya dengan maniku dan cairannya. Kami akhiri ronde pertama ini dengan klimaks bareng dan kenikmatan yang belum pernah kurasakan. Setelah bersih-bersih badan, istirahat sebentar, minum kopi, dan makan makanan ringan sambil ngobrol tentang keluarganya lebih jauh. Ninda semakin manja dan tampak lebih rileks. Merebahkan kepalanya di pundakku, dan tentu saja gunung kembarnya menyentuh badanku dan tangannya mengusap-usap pahaku akhirnya Penis bereaksi lagi. Kesempatan ini dipergunakan dengan Ninda. Dia menurunkan kepalanya, dari dadaku, perut, dan akhirnya burungku yang sudah tegang dijilatinya dan memasukanya kedalam mulutnya. Perlakuannya membuatku mendesah.
“Oh….terus,Nin…..oh….ah….”desahku. “Enak Mas.. asin gimana gitu. Aku baru sadarnya ngrasain begini,” katanya sambil tersenyum. Kami tertawa, lalu terdiam saling berpandangan. Tampak jelas ia sangat bernafsu, karena nafasnya sudah tidak beraturan. “Ah..” lenguhnya sambil melepas isapannya. Lalu menegakkan badan, berdiri dengan dengkul sebagai tumpuan. Tiba-tiba kepalaku yang sedang menyandar di sisi ranjang direbahkan hingga melitang, lalu Ninda mengangkangiku. Posisi menjadi dia persis di atas badanku. Aku terlentang dan dia jongkok di atas perutku. Penisku tegak berdiri tepat di bawah selangkangannya. Dengan memejamkan mata, “Mas.. Aku udah gak tahaan..” Digenggamnya burungku dengan tangan kirinya, lalu dia menurunkan pantatnya. Kini ujung Peniskuku sudah menyentuh bibir Vaginanya.
Perlahan dan akhirnya masuk. Dengan posisi ini kurasakan, benar-benar kurasakan kalau barang Mamah masih sempit. Vagina terasa penuh dan terasa gesekan dindingnya. Mungkin karena lendir vaginanya tidak terlalu banyak, aku makin menikmati ronde kedua ini.“Aduuh..oh…..mmmph…….Mas, enak sekali Mas. oh…oh…Aku…aku….oh…. be…ah…ah…naran…oh…oh….mmpph…. sepuas ini…ah…ah,” ucapnya dengan terbata-bata. lalu.. “Aduuh…..oh….mmpph…ohh…enak Mas.. mau keluar nikh.. ..oh…..” katanya sambil meraih tanganku diarahkan ke susunya. Kuelus, lalu kuremas dan kuremas lagi semakin cepat mengikuti, gerakan naik turun pantatnya yang semakin cepat pula menuju orgasme. Akhirnya Ninda menjerit lagi pertanda klimaks telah dicapai. Dengan posisi aku di bawah, aku lebih santai, jadi tidak terpancing untuk cepat klimaks. Sedangkan Mamah sebaliknya, dia leluasa menggerakkan pantat sesuai keinginannya. Posisi aku di bawah ini berlangsung kurang lebih 30 menit. Dan dalam waktu itu Ninda sempat klimaks dua kali. Sebagai penutup, setelah klimaks dua kali dan tampak kelelahan dengan keringat sekujur tubuhnya.
Aku rebahkan dia dengan mencopot Penisku, Setelah kami masing-masing melap “barang”, kumasukkan senjataku ke liang kenikmatannya. Posisinya aku berdiri di samping ranjang. Pantatnya persis di bibir ranjang dan kedua kakinya di pundakku. Aku sudah siap memulai acara penutupan ronde kedua. Kumulai dengan memasukkan burungku secara perlahan. “Uuh..” hanya itu suara yang kudengar. Kumaju-mundurkan, cabut-tekan, penisku. Makin lama makin cepat, lalu perlahan lagi sambil aku ambil nafas, lalu cepat lagi. Begitu naik-turun, diikuti suara Ninda, “Hgh.. hgh.. ” seirama dengan pompaanku. Setiap kali aku tekan mulutnya berbunyi, “Uhgh..” Lama-lama kepala batanganku terasa berdenyut. “Nin…oh….aku mau keluar nikh..”,kataku. Mendengar ucapanku Ninda menaggapi,“oh…terusin…oh…..cepat…….oh…….oh…… pompa lagi…..oh…..cepat lagi.. Aku juga Mas.. Kita bareng ya.. ya.. terus..” ucapnya.
Akhirnya jeritan..“Aaauh..” menandai klimaksnya, dan kubalas dengan genjotan penutup yang lebih kuat merapat di bibir vagina, “Crot.. crott..” Aku rebah di atas badannya. Adegan ronde ketiga ini kuulangi sekali lagi. Persis seperti ronde kedua tadi, “Mas, Minggu Depan udah bisa sama pake Mia, jangan lupa adilnya,” ucapnya sebelum tidur. Kami tertidur, dan bangun pagi. Rupanya Wirdan minta ijin balik siang hari, aku menyetujuinya. Entah kenapa dia ingin pulang lebih dahulu. Kami pulang, malam hari kemudian langsung ke Apartement. Sampai disana, Mia sudah menunggu dan memeluk kami terlebih aku ia mencium bibirku. “Mas, mulai Minggu Depan aku boleh ikutan ya?” katanya sambil mengengam tanganku.
bersambung