Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT memusnahkan guna” pemikat sukma

Status
Please reply by conversation.

ratu crot

Adik Semprot
Daftar
12 Mar 2016
Post
107
Like diterima
101
Bimabet
Copas
===================================
Berikut ini adalah kisah hidupku yang penuh dilumuri
nafsu seks. Gara-gara menghindari guna-guna
seksual majikanku, aku malah terjerumus jadi
pemuas nafsu mbah dukun.
Sejak suamiku meninggal karena sakit pada akhir
Oktober 1994, aku tinggal di rumah sendirian. Kedua
anak kami, Basuki dan Nina, telah dua tahun ini
bekerja di Jakarta setelah lulus SMA-nya. Sewaktu
ayahnya meninggal, praktis mereka hanya satu
minggu tinggal di rumah menemaniku. Setelah itu
mereka harus kembali bekerja karena izin cutinya
habis. Ya, bagaimana pun kesedihan tak boleh
berlarut-larut. Satu minggu cukuplah sudah
menangisi kepergian orang yang sangat kami cintai
itu. Selanjutnya kami kembali harus berjuang
mempertahankan hidup, mengisi perut.
Kami tergolong keluarga kurang mampu. Suamiku
yang bekerja sebagai makelar tidak setiap hari
membawa hasil. Ia jadi makelar apa saja. Dari
sepeda motor, mobil, rumah, tanah bahkan kalau
perlu jual sepeda sekalipun. Prinsipnya, yang
penting halal dan menghasilkan. Aku kagum oleh
semangat kerja dan keuletannya. Dan hasilnya tidak
mengecewakan, terbukti dengan berhasilnya kedua
anak kami menyelesaikan studi di SMA. Tidak sia-
sia hasil jerih payah suamiku yang hanya lulusan
SMP itu. Aku, yang SMP pun tidak lulus, hanya
mendukungnya dengan sepandai mungkin mengatur
keuangan keluarga sejak kami menikah sekitar 20
tahun yang lalu.
Waktu naik ke pelaminan, usiaku masih 18 tahun,
sedangkan suami sudah 25 tahun. Sementara itu,
aku sendiri juga tidak mau diam menganggur di
rumah. Aku jadi buruh cuci pada keluarga-keluarga
yang memerlukan. Kadang cucian kubawa ke
rumah, tidak jarang pula aku harus mencuci di
rumah pelangganku. Gabungan penghasilan kami
cukuplah untuk kehidupan sehari-hari dan
menyekolahkan Basuki dan Nina meski hanya
sampai SMA. Bersyukur pula kami dikaruniai dua
anak yang penuh pengertian. Yang tidak menuntut
studi terlalu tinggi mengingat ketiadaan biaya.
“Kami akan bekerja dulu mengumpulkan uang, Bu.
Nanti kalau ingin kuliah akan kami biayai sendiri,”
kata kedua anakku membuat hatiku terharu
sewaktu melepas keberangkatan mereka bekerja di
Tangerang.
Basuki bekerja menjadi buruh pabrik sepatu,
sementara Nina yang dijemputnya setelah lulus
SMA tahun berikutnya bekerja jadi karyawati di
salah satu supermarket. Untuk menghemat biaya
mereka tinggal di satu kamar kos kecil di
perkampungan Tangerang yang sewanya 50 ribu
rupiah per bulan. Bila ada rejeki dan waktu
senggang mereka jalan-jalan ke Jakarta yang
jaraknya tidak terlalu jauh.
Suatu malam, beberapa minggu setelah peringatan
seratus hari meninggalnya suamiku, mendadak aku
terbangun dari tidur. Udara kurasakan panas sekali
saat itu. Padahal jam weaker waktu itu baru
menunjukkan pukul satu dini hari lewat beberapa
menit, namun panasnya serasa kalau kita berdiri di
jalan raya pukul 12 siang. Keringatku berleleran di
seluruh tubuh. Daster tidurku rasanya sudah basah
kuyup dan bisa diperas. Meski aku tinggal di
perkampungan padat penduduk, tapi tidak pernah
udaranya sepanas ini. Terpaksa daster kulepas dan
kukeringkan tubuhku dengan handuk sebelum
mengenakan daster baru. Namun sebentar saja
tubuhku sudah basah lagi oleh keringat.
Jendela kamar kubuka supaya udara masuk. Ini pun
tidak menolong, karena rumahku yang kecil berada
di sela-sela rumah besar lainnya yang bertembok
rapat. Tidak banyak angin yang masuk melalui
jendela. Akhirnya, setelah jendela kututup kembali,
kuputuskan keluar rumah. Kututup pintu perlahan di
belakangku tanpa menguncinya. Kuperhatikan
sekitar, malu kalau ketahuan malam-malam seperti
ini keluar rumah karena aku wanita.
Mendadak, seperti ada yang menarikku, kakiku
melangkah meninggalkan rumah. Aku yang semula
hanya ingin berangin-angin di depan rumah tidak
kuasa menahan kakiku yang berjalan dan terus
berjalan melewati jalan-jalan kecil berkelok-kelok.
Beberapa rumah tetangga sudah terlewati. Hatiku
menyatakan ingin berhenti dan pulang ke rumah,
namun pikiranku seperti kosong dan terus
mengikuti kemana kaki melangkah. Akhirnya
setelah beberapa puluh meter berjalan, aku sampai
di depan rumah Pak Kosim, pria berusia 50 tahunan.
Selama ini keluarganya juga menyuruhku membantu
mencuci pakaian.
Tidak lama aku berdiri, pintu rumah Pak Kosim
terbuka dan nampak pria itu menyambut
kedatanganku.
“Silakan masuk Surti,” langsung saja Pak Kosim
mempersilakanku masuk ke rumahnya.
Entah kenapa, aku pun tidak canggung lagi
melangkah masuk. Setelah menutup dan mengunci
pintu, Pak Kosim menuntunku ke dalam. Kemudian
aku tahu, karena sudah sering memasuki rumah ini,
bahwa kami sedang menuju ke kamar Pak Kosim.
Pintu kamar dibuka dan di dalamnya kosong.
“Kemana Bu Kosim?” hatiku bertanya.
Gilanya aku menurut saja ketika tanganku ditarik
Pak Kosim memasuki kamar itu dan dibimbingnya
ke tempat tidur.
“Ini diminum dulu, Sur.”
Entah kapan dibuat, ternyata di kamarnya sudah
tersedia segelas air teh yang sepertinya memang
disediakan untukku. Aku yang kepanasan segera
meminumnya habis.
“Tolong pijiti aku, Sur,” pinta Pak Kosim lalu
membuka kaos yang dikenakan dan merebahkan
diri ke ranjang.
Seperti terhipnotis, aku yang seumur hidup belum
pernah memijati orang lain selain suamiku, segera
saja melaksanakan perintah itu. Gila! Mulutku pun
rasanya kelu untuk berkata-kata menanyakan
kejanggalan ini. Sementara tanganku terus sibuk
memijat.
“Kamu kepanasan ya, Sur? Keringatmu sampai
keluar banyak sekali?” Pak Kosim melihatku sambil
membalik tubuhnya jadi telentang.
Aku hanya mengangguk. Tubuhku memang rasanya
bertambah panas saja.
“Buka saja dastermu kalau panas..” ucapnya lagi
sambil bangkit dan berupaya membantuku
membuka daster.
Herannya, aku yang tetap yakin ada yang tidak
beres, tidak menolaknya. Malahan diam saja ketika
Pak Kosim tidak hanya membuka dasterku, namun
juga seluruh yang melekat di tubuhku. Lalu
membaringkanku ke ranjangnya, dan ganti dia yang
memijatiku. Sebentar kemudian kurasakan tubuhku
sudah digelutinya.
“Ini perzinahan!” teriak bathinku.
Tapi lagi-lagi semua nuraniku melayang entah
kemana. Tambahan lagi aku yang sudah berbulan-
bulan “puasa” dari nafkah bathin mendadak
merasakan desakan kebutuhan itu meletup-letup.
Seperti kesetanan aku pun melayani kegilaan Pak
Kosim. Tubuh kami pun segera mandi keringat.
Aku tersadar ketika tubuhku digoyang-goyangkan.
“Bangun, Mbak. Bangun..!” samar-samar kudengar
suara beberapa orang.
Geragapan aku terbangun dan betapa kaget
mendapati diri tergeletak di pinggir jalan di bawah
pohon besar. Beberapa penduduk yang tugas ronda
menemukanku tertidur di situ sekitar pukul empat
pagi.
“Ini Mbak Surti, kan? Kenapa tidur di sini?” tanya
mereka.
“Ak.. aku sendiri juga tidak tahu,” sahutku bingung.
“Mbak dari bepergian ya?” tanya seseorang.
“Ti.. tidak,” jawabku.
Aku masih nanar, dan tidak begitu yakin apakah
pengalamanku dengan Pak Kosim itu kenyataan
atau bukan.
“Tadi aku tidur di rumah,” sambungku.
“Jangan-jangan..,” bisik yang lain, “Mbak Surti
dipindahkan setan penunggu pohon ini! Katanya
pohon ini memang agak angker.”
Aku jadi merinding mendengarnya. Meski begitu aku
diam saja. Demikian juga ketika mereka
mengantarku ke rumah. Aku tetap bungkam, dan
tidak hendak menceritakan pengalamanku tadi.
Pertimbanganku, kalau kejadian yang kualami tadi
hanya mimpi, pasti aku akan ditertawakan.
Sebaliknya kalau sungguh-sungguh terjadi aku
akan lebih malu lagi.
Setelah para peronda yang mengantarku pergi,
cepat-cepat kukunci pintu rumah, lalu bergegas ke
kamar mandi. Kuperiksa diriku, dan benar saja..,
masih terasa ada bercak-bercak cairan di sekitar
pahaku. Segera kubersihkan tubuhku dan mandi
keramas. Namun toh bayangan kejadian dengan
Pak Kosim itu tidak dapat lepas dari benakku.
Bahkan aku akhirnya meyakini perzinahan itu
sungguh-sungguh terjadi, meski tidak pernah tahu
bagaimana hal itu dapat berlangsung.
Beberapa hari setelah itu aku merasa sangat malas
keluar rumah. Pekerjaan mencuci kukerjakan di
rumah. Aku hanya mengambilnya dari rumah ke
rumah, lalu segera pulang. Untuk kemudian
mengembalikannya sore hari setelah rapih
kuseterika. Begitu pula dengan cucian keluarga Pak
Kosim yang sudah langganan tiga hari sekali harus
dicucikan. Aku agak jengah juga ketika mengambil
cucian ke rumahnya. Di sana kutemui Bu Kosim dan
anak-anaknya ada di rumah. Sementara Pak Kosim
seperti biasa tidak mau ikut-ikutan urusan cucian.
Aku sempat melirik kepadanya, tapi ia nampak
biasa saja membaca koran seperti tidak pernah
terjadi apa-apa. Hal ini membuatku jadi meragukan
kesimpulanku mengenai peristiwa memalukan
dengan Pak Kosim itu.
“Apa aku cuma mimpi ya?” bathinku bertanya.
Pertanyaan itu terjawab ketika tiga minggu
kemudian kualami kejadian serupa. Aku terbangun
dari tidur di tengah malam dengan tubuh mandi
keringat. Aku juga sadar sesadar-sadarnya
sewaktu membuka pintu, keluar rumah dan.. lagi-
lagi berjalan menuju ke rumah Pak Kosim. Namun
sejak minggu lalu aku sudah menyiapkan beberapa
potong kayu kecil dan selalu menaruhnya di meja
kamar. Kubawa kayu-kayu itu dan kuselipkan di
beberapa cabang pohon yang kulewati.
Kembali Pak Kosim menyambutku di pintu
rumahnya dan membawaku ke kamarnya, lalu
memberiku segelas teh manis. Gilanya, begitu teh
habis kuminum, mendadak birahiku meledak-ledak
menuntut pemuasan. Tanpa malu-malu kulepas
daster dan seluruh yang menempel di tubuh, lalu
serta-merta kutarik Pak Kosim. Sejenak kemudian
kami sudah berpacu di dalam nafsu. Entah berapa
kali aku minta dipuasi, yang jelas kurasakan Pak
Kosim berkekuatan bak kuda jantan, padahal
sehari-hari ia nampak seperti orang tua yang
lemah. Mungkin ia minum obat atau jamu tertentu?
Samar-samar kudengar jam dinding kuno
berdentang tiga kali ketika kami menyelesaikan
ronde yang entah keberapa. Meski masih ingin
terus berpacu, namun rasa kantuk yang amat
sangat memberatkan mataku. Aku terlelap dengan
mimpi indah bersama Pak Kosim. Sekonyong-
konyong mimpi indahku berantakan sewaktu
kurasakan tubuhku digoyang-goyang. Aku
terbangun dan mendapati diri tertidur di bawah
pohon besar itu lagi!
“Jangan tidur di sini, Mbak,” ucap yang
membangunkanku.
Aku terkejut. Di hadapanku berjongkok seorang
pemuda berjaket kulit dengan tubuh besar dan
atletis. Sedangkan dua temannya yang berpostur
hampir sama ikut pula berdiri mengelilingiku. Lampu
jalan yang tidak terlalu terang membuatku tidak
mampu mengenali wajah mereka yang
membelakangi lampu itu.
“Mari ke rumah saya saja, Mbak. Nggak jauh kok.
Besok pagi baru saya antar pulang,” ajaknya sambil
memegang lenganku dan membantuku berdiri.
Aku menurut saja ketika dia menuntunku, bahkan
memakaikan jaketnya, lalu merangkulkan
tangannya ke pundakku. Dalam keadaan yang
masih nanar, aku justru tidak memilih diantar
pulang. Kuikuti mereka hingga sampai ke sebuah
rumah kecil di sudut kampung. Pernah beberapa
kali aku melewati rumah itu di waktu siang, tetapi
keadaannya selalu tertutup. Rupanya pemuda ini
pemiliknya, pikirku. Aku pun jadi tidak kuatir pada
mereka. Mereka pastilah anak-anak kampung sini
juga.
Bersambung........
 
Pertalite aja..
Semoga cepat sambungannya
 
Lanjut!!!!!
“Maaf rumahnya gelap, Mbak.” ucap pemuda yang
membimbingku sambil menyalakan korek apinya
dan membuka pintu rumah yang kelihatannya tidak
terkunci.
Aku mengikutinya masuk diikuti kedua teman si
pemuda yang segera menutup pintu dan ikut
menyalakan korek apinya. Pengap sekali rumah ini.
Di dalamnya nampak banyak sarang laba-laba dan
hanya ada satu dipan dengan tikar tua di atasnya.
“Saya memang jarang tinggal di sini, mbak. Jadi
rumahnya kurang terurus. Paling ke sini cuma
untuk istirahat tidur saja seminggu sekali,” jelas si
pemuda sambil membersihkan dipan dan tikar dari
sarang laba-laba.
“Silakan istirahat di sini, Mbak.” dia
mempersilakanku.
Aku duduk di tempat yang sudah dibersihkannya.
Sedangkan temannya sibuk memasang lilin yang
entah dari mana dapatnya, sehingga tidak harus
memegangi korek apinya terus.
“Mbak sakit ya..?” tanya pemuda itu setelah duduk
di samping kiriku.
Samar-samar kulihat tato bunga mawar kecil di
lengan kanannya yang berotot.
“Tt.. tidak,” sahutku.
Dari tadi rasanya berat sekali mulut ini untuk bicara.
Lalu aku menunduk lagi.
“Kalau tidak, kenapa kami temukan tidur seperti
orang pingsan di bawah pohon..?”
“Saya tidak tahu, Mas,” jawabku masih dalam
keadaan serba bingung dengan peristiwa yang
kualami.
Untuk menceritakan pengalamanku dengan Pak
Kosim aku juga malu.
“Wajah Mbak juga kelihatan pucat sekali. Lebih baik
tiduran saja di sini..”
Lalu kurasakan tangannya merangkul pundakku,
dan setengah menarikku untuk berbaring di dipan
yang telah dibersihkannya. Aku yang menerima
maksud baik itu menurutinya. Kubaringkan tubuhku.
“Kepalanya dipijit ya, Mbak, biar pusingnya hilang,”
ucapnya lagi sambil merapatkan duduknya
kepadaku.
Sebentar kemudian kurasakan pelipisku dipijatnya.
Mula-mula aku jengah juga dipijat seperti itu oleh
seorang pria, namun lama-lama kubiarkan juga.
Kepalaku memang terasa agak berat setelah
mengalami peristiwa aneh tadi. Wajah kami
berhadap-hadapan. Beruntung suasananya cukup
gelap untuk menyembunyikan rona merah wajahku.
Kupejamkan mataku untuk mengurangi rasa jengah
itu. Kunikmati pijatannya. Sejenak kemudian
kurasakan tangannya turun memijati pundakku dan..
kurasakan hembusan nafas di wajahku. Kubuka
mataku dan kulihat wajah pemuda itu dekat sekali di
atasku.
“Mbak..” bisiknya pelan, lalu kurasakan desahan
nafas itu semakin dekat dan semakin dekat hingga..
menerpa bibirku yang segera diciumnya.
Sementara tubuhku pun kurasakan sudah
ditindihnya. Aku tidak sempat mengelak. Apalagi ia
juga memegang kepalaku dengan tangan kekarnya,
sehingga untuk menggeleng pun aku tidak bisa.
Mau tidak mau ciuman itu harus kurasakan, juga
ketika lidahnya membeliti lidahku dan menelusuri
langit-langit mulutku.
Aku ingin memberontak, tapi rasanya tidak berdaya.
Malahan aku ingat pengalamanku dengan Pak
Kosim yang masih membekas, dan sedikit demi
sedikit birahiku kembali meletup. Ada pertentangan
antara keinginan menolak dan memenuhi gairah
birahiku. Dan ternyata yang belakangan ini yang
menang, apalagi setelah kemudian juga kurasakan
belaian tangan-tangan kedua teman si pemuda di
daerah sensitifku. Dengan cepat aku terangsang.
Aku tidak ingat lagi kapan mereka membuatku
seperti bayi yang baru lahir. Yang pasti, peristiwa
seperti dengan Pak Kosim terulang lagi. Bedanya,
kali ini aku melayani tiga pemuda bertubuh kekar.
Entah berapa kali mereka menggilirku. Memuaskan
syahwatnya di atas tubuhku selama berjam-jam.
Anehnya aku tidak merasa lelah. Mungkin pengaruh
minuman yang diberikan Pak Kosim masih bekerja,
baik sebagai perangsang maupun obat kuat. Aku
seperti orang ketagihan dipuasi terus menerus,
tidak perduli sudah berkali-kali orgasme.
Terang sinar matahari yang panas menerobos dari
lubang-lubang atap menyilaukan dan
membangunkanku dari tidur. Kudapati tubuhku
masih tergolek telanjang di dipan beralas tikar.
Pakaianku berserakan. Cepat aku sadar dan
berusaha bangkit meraihnya, namun tubuhku
kembali ambruk ke dipan. Lututku gemetaran. Luluh
lantak rasanya badanku, bergerak sedikit saja
terasa sakit semua. Terpaksa aku merambat
perlahan menuruni dipan, lalu memunguti pakaian.
Dengan berpegangan dinding, kucoba berjalan
keluar tertatih-tatih. Terasa agak nyeri di
selangkanganku. Pasti gara-gara dirajam oleh
ketiga pemuda yang sudah tidak terlihat lagi
bayangannya itu. Ternyata aku telah tertipu oleh
para pemuda yang nampaknya alim dan kukira
pemilik rumah itu. Dengan cara yang amat halus,
aku telah menjadi korban mereka. Gara-gara obat
perangsang Pak Kosim pula aku tidak menolak
untuk melayani nafsu mereka, oh..
Dengan berpegangan pagar atau pepohonan, aku
berjalan pelan menuju ke rumah. Kuusahakan tidak
ada orang yang melihatku. Sengaja aku lewat jalan
yang semalam kulalui untuk melihat potongan-
potongan kayu yang kupasang. Ternyata memang
masih ada. Berarti semalam aku tidak bermimpi
ketika berjalan menuju ke rumah Pak Kosim. Segera
kusimpulkan, pasti aku telah diguna-guna oleh pria
itu. Baru setelah agak dekat ke rumah, kukuat-
kuatkan untuk berjalan biasa meski harus menahan
sakit.
Sampai di rumah, segera aku masuk ke kamar dan
langsung menjatuhkan tubuh lunglai ini ke ranjang.
Aku menangis sedih teringat apa yang telah terjadi.
Tanpa kuasa menolak aku telah terjerumus ke
lembah perzinahan. Pertama, aku melayani Pak
Kosim hingga dua kali. Kedua, menjadi korban
kebiadaban tiga pemuda yang telah memanfaatkan
kondisiku yang tidak wajar waktu itu. Baru setelah
matahari berada di puncaknya, kupaksakan untuk
membersihkan diri. Mandi dan mencuci segala noda
yang menempel.
Dalam kesendirian sekarang ini, kurasakan hidup
terasa jadi berat sekali. Suami tempatku bersandar
tiada lagi. Anak-anak pun jauh di rantau. Tinggallah
aku sendiri, di usia menjelang 40 tahun ini harus
memutuskan segala sesuatunya sendiri. Meski
tubuhku sudah sehat kembali, dua hari aku tidak
keluar rumah. Aku masih tergoncang oleh peristiwa
durjana yang kualami. Beberapa tetangga dan
pelanggan cucianku sampai berdatangan. Aku
hanya memberi alasan sedang tidak sehat. Mereka
pun maklum kalau kemudian selama seminggu itu
aku tidak mencucikan pakaiannya.
Tiga hari berikutnya, kuputuskan untuk berupaya
melawan guna-guna Pak Kosim. Pagi-pagi sekali
sebelum jalanan ramai, aku sudah pergi ke desa
Sumbersari, sekitar 25 km dari kotaku. Aku pernah
dengar di sana ada seorang dukun atau semacam
paranormal yang dapat mengobati bermacam
penyakit dan membantu orang-orang yang kena
teluh atau guna-guna. Dengan berganti kendaraan
dua kali ditambah sekali naik ojek, sampailah aku
ke rumah dukun yang bernama Mbah Purwo itu.
Rupanya memang dia sudah terkenal sampai tukang
ojek pun tahu rumahnya.
“Saya sudah biasa mengantar orang ke sini, Mbak,”
kata si tukang ojek.
“Lalu pulangnya nanti bagaimana, Mas?” tanyaku.
“Kita janjian saja, Mbak. Nanti saya jemput ke sini
sekitar tiga jam lagi bagaimana..?”
“Baiklah kalau begitu. Sekarang jam 8 pagi, berarti
nanti jam 11 Masnya ke sini ya,” pintaku sambil
melihat jam tangan.
“Ya, Mbak. Sekarang saya mau kembali dulu ke
pangkalan.”
Masuk ke rumah dukun itu ternyata saya harus
menunggu, karena sedang ada pasien di dalam.
Pagi benar ia datang? Beruntung tidak sampai satu
jam mereka telah selesai. Kulihat seorang pemuda
keluar dari ruang praktek Mbah Purwo. Jalannya
nampak tergesa-gesa tanpa menoleh kiri-kanan.
Mungkin takut kedatangannya diketahui orang lain.
Pada umumnya memang orang-orang yang datang
ke tempat semacam itu tidak mau diketahui orang
lain. Persis seperti orang yang datang ke tempat
judi atau pelacuran saja, pikirku. Kenapa harus malu
kalau memang kita tidak berbuat yang memalukan?
Mungkin pemuda tadi telah berbuat hal yang
memalukan?
Kumasuki ruang praktek Mbah Purwo. Nampak
agak remang-remang karena lampunya yang
dipasang hanya balon sekitar 15 watt.
“Selamat pagi, Mbah,” sapaku pada pria yang
ternyata usianya masih separuh baya itu.
Aku geli karena seumur ini sudah dipanggil “Mbah”
yang berarti kakek tua.
“Pagi, mbak. Ada yang bisa saya bantu..?”
Setelah memperkenalkan diri saya berkata, “Iya,
Mbah. Saya mengalami peristiwa aneh. Bahkan
sampai dua kali.”
“Peristiwa apa itu, Mbak Surti?”
“Begini, Mbah..” lalu kuceritakan semua yang
kualami dengan Pak Kosim. Tentu saja aku tidak
menceritakan pengalamanku yang amat memalukan
dengan ketiga pemuda berandal itu.
“Jadi Mbak menduga Pak Kosim memakai guna-
guna untuk menguasai, Mbak, begitu?”
“Iya, Mbah. Kalau tidak, mana bisa saya sampai
begitu menurut.”
“Ng.. baiklah. Coba saya lihat telapak tangan kiri
Mbak Surti..”
Kusodorkan telapak kiriku pada Mbah Purwo yang
kemudian memegang dan mengamatinya. Kemudian
ia memejamkan mata dan beberapa kali membuat
tanda silang dengan jarinya di telapakku.
Setelah beberapa menit, barulah ia membuka
matanya.
“Aduuhh.. karena kejadiannya sudah tiga hari, saya
tidak mampu melacaknya hanya melalui tangan
yang sudah seringkali dicuci,” ungkap Mbah Purwo,
kemudian melanjutkan, “Maaf, Mbak, kalau tidak
keberatan saya akan melacaknya melalui bagian
tubuh Mbak yang kemungkinan besar masih
meninggalkan bekas keringat atau cairan tubuh Pak
Kosim..”
“Bagian tubuh yang mana, Mbah?” tanyaku.
“Sekali lagi maaf, Mbak. Kemungkinan yang
pertama ada di bibir, dada atau bagian tubuh lain
yang pernah dicium, sehingga air ludah atau
keringat Pak Kosim menempel di situ. Yang kedua
adalah bagian kemaluan yang menerima siraman air
maninya. Sudah tentu yang kedua berkemungkinan
lebih besar karena bagian itu terletak di dalam
sehingga tidak mudah hilang walau sudah mandi
beberapa kali.”
Mendengar ini aku tercenung sejenak, berpikir
untung-ruginya bila memenuhi permintaan itu.
“Apa tidak ada cara lain, Mbah?” aku coba
mengelak.
“Ada sih ada Mbak, tapi ini berarti Mbak harus
pulang dan berusaha mendapat pakaian yang baru
dikenakan Pak Kosim dan masih dilekati
keringatnya. Dan pakaian itu tidak boleh dicuci.
Saya harus mendapatkan pakaian itu hari ini juga
sebelum daya magis yang mempengaruhi Mbak
hilang seluruhnya.”
Sebenarnya tidak sulit untuk mendapatkan pakaian
itu, karena aku biasa mencucikan pakaian keluarga
Pak Kosim. Tapi sekarang aku terbentur soal waktu.
Rasanya tidak mungkin mendapatkannya hari ini
langsung aku harus kembali ke sini lagi. Bisa-bisa
aku nanti harus menginap. Akhirnya, setelah
kupikir-pikir kupilih cara pertama, yakni mengambil
bekas cairan tubuh yang masih menempel di
tubuhku. Toh ini sama seperti kalau aku diperiksa
dokter, pikirku.
“Silakan buka pakaian di kamar itu, Mbak,” instruksi
Mbah Purwo sambil menunjuk ke sebuah bilik kecil
tertutup berukuran sekitar 1,5 kali 2 meter di sudut
kamar prakteknya yang cukup luas.
Kumasuki bilik kecil itu yang penerangannya hanya
lampu merah lima watt. Segera setelah pintu
kututup, kucium bau dupa harum dan seperti
cendana yang menyengat. Bau tadi berpadu dengan
bau bunga melati yang bertebaran di atas dipan
berkasur tipis di ruang itu. Mula-mula seram juga
dengan suasana itu, tapi kemudian bau itu terasa
semakin harum di hidungku. Semakin menyegarkan
dadaku yang menghirupnya. Kubuka gaunku,
seperti bila sedang memeriksakan diri ke dokter
kandungan. Lalu kubaringkan tubuhku telentang di
atas kasur.Bermenit-menit kutunggu Mbah Purwo,
tapi belum juga datang, sampai mataku terasa
mengantuk lalu kupejamkan. Kuhirup bau-bauan
harum di ruang itu sepuasnya. Betapa nikmat kalau
aku dapat terus beristirahat dalam suasana tenang
dan harum seperti ini.
“Maaf, Mbak..” entah kapan masuknya, mendadak
saja kudengar suara Mbah Purwo di sampingku.
Mata segera kubuka dan kulihat pria itu
bertelanjang dada. Dadanya nampak berbulu lebat
dan kekar. Besarnya hampir dua kali tubuhku. Dia
memakai kalung dengan liontin berbentuk patung
kepala ular.
“Tolong mulutnya dibuka!” perintahnya.
Kubuka mulutku lalu sebentar kemudian jari telunjuk
kanannya dimasukkan. Jari yang besar panjang itu
kemudian merayapi langit-langit mulutku. Kadang
berhenti sejenak dan menekan-nekan di suatu
tempat. Lalu bergerak lagi hingga beberapa menit.
Karena capai membuka mulut, maka aku
mengatupkan bibir sedikit. Yang penting toh jarinya
masih bisa bergerak, pikirku. Mbah Purwo diam
saja, dan jadilah aku seperti orang yang sedang
mengulum jarinya. Kututup mataku kembali karena
agak jengah dengan situasi ini. Diputarnya jari itu
beberapa kali di sepanjang langit-langit, pipi hingga
bagian bawah mulutku. Akhirnya berhenti dan
ditempelkan ke lidahku.
“Hisap, Mbak. Hisap yang kuat!” perintahnya lagi
dengan suara terdengar keras.
Dengan canggung-canggung aku menurutinya.
Pertama kuhisap sedikit, lalu kulepaskan sambil
menelan ludah. Terasa manis jari tangannya.
“Lagi, mbak. Yang lebih kuat!” suara keras itu
terdengar lagi.
Maka bagai tersugesti aku sekarang menghisapnya
lebih kuat. Herannya, rasa manis pada jari itu
seperti tidak berkurang. Aku seperti sedang
mengulum kembang gula yang tidak habis-habis
sari manisnya, kuhisap dan kutelan rasa manis itu
berlama-lama.
Bersambung meneh.....
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
“Cukup!” suara itu menghentikan hisapanku.
Mbah Purwo mengeluarkan jarinya dari mulutku,
lalu memasukkannya ke mulutnya sendiri sambil
memejamkan mata. Tubuhnya nampak berkeringat
dan licin.
“Masih tidak terlacak, Mbak,” desahnya sambil
geleng-geleng kepala.
“Kita sekarang harus coba di bagian leher dan dada.
Maaf, Mbak..”
Kali ini kulihat Mbah Purwo menggerakkan kaki,
sehingga mengangkangiku di atas kasur, lalu
meletakkan kedua telapak tangannya di dadaku.
Jari-jarinya lurus berada di bawah daguku. Agak
geli juga aku ketika jari-jari itu bergerak-gerak
seperti memijat atau mengelus dagu hingga leher.
Kemudian terasa tangan itu bergeser turun, dan
terus turun hingga penutup dadaku pun ikut
merosot terbuka. Getar-getar aneh tapi nikmat
kurasakan sewaktu kedua telapak tangan itu
menelangkup tepat di kedua payudaraku yang
sudah telanjang. Mata kupejamkan lagi, dan
kurasakan pijatan-pijatan lembut itu. Berkali-kali
ludah kutelan membayangkan kemesraan dan
kenikmatan.
“Apa Mbak juga merasakan yang begini ini dengan
Pak Kosim?” tanya Mbah Purwo.
“Ii.. iya, Mbah,” jawabku malu-malu sambil
mendesah nikmat tanpa sadar.
Tubuhku pun menggelinjang. Birahiku melonjak-
lonjak. Hal ini berlangsung cukup lama, selama
pijatan-pijatan di sekitar dada dan payudaraku
terus dilakukannya. Lama sekali rasanya sampai
aku terlena setengah mengantuk. Sekonyong-
konyong kurasakan hisapan pada puting kananku.
Keras sekali. Aku terlonjak, tapi lenganku kiri-kanan
segera ditekannya dengan kedua tangan hingga
tidak dapat bergerak. Hisapan itu lalu berpindah ke
kiri. Begitu dilakukannya berkali-kali sampai
kurasakan payudaraku menggembung kian besar,
seperti birahiku.
“Maaf, saya terpaksa harus mengambil cairan yang
di bawah, Mbak Surti!” pintanya setelah
menghentikan hisapannya.
Belum sempat kujawab, dengan cepat salah satu
tangannya turun dan terus turun menelusupi celana
dalamku hingga terlepas. Aku tersentak ketika salah
satu jarinya menyentuh, membelai dan
memasukiku. Aku tambah tersentak-sentak
manakala jari itu semakin nakal dan liar seperti
ular.. menjadi besar dan panjang. Tanpa sadar
kubuka pahaku lebar-lebar. Mataku yang semula
terpejam jadi terbeliak menahan kenikmatan.
Entah kapan dilakukan, ternyata kulihat milik Mbah
Purwo lah yang telah memasukiku. Tidak tahu pula
kapan ia menanggalkan busananya hingga bugil
sepertiku. Ia menikamku bertubi-tubi dengan
bertumpu pada lututnya. Mencangkul dan memasak
diriku dengan gencar. Gerakannya yang lihai
membuatku terlonjak-lonjak, dan aku terpaksa
harus bangkit terduduk berpegangan pundaknya
karena tidak tahan gempurannya.
“Bertahanlah.. Kita harus keluar bersamaan..”
bisiknya ke telingaku sambil memeluk tubuhku dan
terus membuatku kelojotan.
“Ampun, Mbah..” antara sadar dan tidak aku
mengeluh karena merasakan kenikmatan sekaligus
sedikit rasa sakit bersamaan.
“Tahan sebentar sakitnya, kau pasti akan
mengalami puncak kenikmatan yang belum pernah
kaurasakan seumur hidup.. Paku Bumiku terkenal
paling hebat.”
Setelah ucapan ini, dia membaringkanku dan
menindihku dengan berat tubuhnya yang laksana
tiga karung beras. Aku tidak dapat bergerak selain
membuka paha semakin lebar dan merangkulkan
kaki ke pahanya. Puluhan menit lamanya kami
bertahan dalam posisi menggairahkan itu. Hebat
sekali pria ini mengolah gerak tubuhnya memuasiku
dan dirinya sendiri tanpa kenal lelah. Menikam.
Menghantam. Memacu dan terus memacu.
Akhirnya kurasakan dia bagaikan seorang joki yang
hendak mencapai garis finish. Dipacunya kuda
sekencang-kencangnya. Nafasnya memburu
menyapu wajahku. Dipagutnya bibirku.
Aku tidak tahan lagi. Seerr.. Bentengku jebol sudah..
kenikmatan yang dikatakan tadi benar-benar
kualami. Bersamaan dengan itu tubuh di atasku pun
mendadak tersentak-sentak belasan kali, sebelum
akhirnya terpuruk lunglai. Keringat yang berleleran
tidak kami hiraukan. Kami berpelukan meredakan
nafas yang menderu.
“Mandilah di belakang,” suruh Mbah Purwo sambil
mengenakan pakaianya kembali.
Ia ternyata cepat pulih lagi.
“Aku sudah memasang penangkal Paku Bumi pada
kelaminmu. Nanti kau akan kuberi penangkal guna-
guna Pak Kosim dan obat kuat untuk
menyembuhkan rasa capai,” lanjutnya sambil keluar
dari bilik.
Perlahan aku bangkit. Tubuhku terasa hancur sama
seperti setelah digilir ketiga pemuda itu. Bisa
kubayangkan kekuatan Mbah Purwo. Setelah mandi
dan merapikan diri, aku kembali menghadap Mbah
Purwo.
Dengan agak malu-malu aku bertanya, “Untuk apa
penangkal di dalam kelamin saya ini, Mbah?”
“Oh, itu supaya Mbak tidak mudah terangsang.
Saya rasakan tadi Mbak memiliki nafsu syahwat
yang sangat kuat. Rangsangan sedikit saja sudah
bisa membangkitkannya. Sengaja aku tidak beritahu
sebelumnya bahwa untuk memasang penangkal
Paku Bumi harus dalam keadaan orgasme. Kalau
sebelumnya diberitahu, biasanya malah susah
mencapai orgasme, dan mana mungkin Mbak mau
saya begitukan, kan?” goda Mbah Purwo sambil
tersenyum padaku.
Aku menunduk malu teringat ekspresiku sewaktu
kesakitan tadi.
“Sampai berapa lama penangkal ini berfungsi,
Mbah?” tanyaku masih penasaran.
“Selama belum diambil. Selama Mbak masih mudah
terangsang, maka ia otomatis akan bekerja. Ia akan
mengingatkan Mbak dengan sedikit rasa tidak enak
seperti orang sedang menstruasi..”
“Apa ini berarti saya akan merasakan sakit itu
setiap akan berhubungan dengan pria?” kejarku lagi.
“Lho, bukankah Mbak ini janda? Mau berhubungan
dengan siapa?”
Pertanyaannya yang tidak terduga ini membuatku
malu besar.
“Oh.. eh.. maaf, Mbah..”
“Ngg.. ya saya tahu,” ujarnya penuh pengertian,”
wanita seusia Mbak dengan nafsu sangat kuat pasti
masih membutuhkan hubungan seks dengan lawan
jenis, tidak perduli janda atau bukan. Jangan kuatir,
penangkal saya cuma akan memberi rasa tidak
enak sekitar lima menit. Hal ini cuma untuk
mengingatkan saja. Kalau suatu ketika Mbak benar-
benar sudah tidak tahan dan harus bersetubuh
dengan pria, maka lakukanlah setelah lima menit itu
berlalu, maka rasa tidak enak itu akan hilang
sendiri. Paku Bumi memang cuma untuk
mengingatkan. Kalau yang diingatkan tidak mau
maka penangkal ini akan melemah sendiri dan
membiarkan segalanya terjadi.” Panjang lebar Mbah
Purwo menjelaskan.
“Oh ya, kalau nanti sewaktu-waktu Mbak menikah
lagi, penangkal itu sebaiknya diambil supaya tidak
mengganggu. Datanglah ke sini karena yang bisa
mengambil hanyalah orang yang memasangnya..”
“Bagaimana mengambilnya, Mbah?” tanyaku bodoh.
“Yah, kira-kira sama seperti waktu memasangnya.
Harus dalam keadaan.. orgasme. Tidak susah kan,
Mbak, wong cuma tidur telentang sebentar dan
merasakan kenikmatan?” lagi-lagi Mbah Purwo
menggodaku sambil tersenyum nakal.
Aku tersipu-sipu.
Mbah Purwo masih melanjutkan, “Atau kalau Mbak
Surti sewaktu-waktu tidak tahan dan cuma butuh
kenikmatannya saja, boleh kapan saja datang ke
sini. Pasti saya layani tanpa resiko kehamilan dan
tak perlu bayar he.. he.. he..”
“Sudah.. sudah, Mbah, saya tahu. Sekarang saya
mau pulang,” aku memutuskan obrolan ngeresnya.
“Ini obat penyembuh rasa sakitnya tadi, sekaligus
pencegah kehamilan. Diminum dua kali sehari
selama tiga hari,” diberikannya enam butir kapsul
padaku dan sebungkus kain hijau.
“Bungkusan hijau ini gantungkan di atas pintu
kamar. Bila Mbak berdiri di bawahnya, maka
otomatis guna-guna Pak Kosim atau yang
sejenisnya, pokoknya yang berkaitan dengan
rangsangan birahi, akan tidak mempan dan hilang.”
Aku pun pamit pulang setelah menerima benda-
benda itu, dan memberikan selembar puluhan ribu
pada Mbah Purwo. Hampir jam 11 waktu itu, berarti
sekitar dua jam aku di ruang Mbah Purwo. Dan
mungkin satu setengah jam lebih kami habiskan
waktu di bilik kecil itu.
Oh.. bisakah kejadian dengan Mbah Purwo ini
disebut guna-guna juga? Nyatanya toh aku
melayaninya dalam keadaan sadar tanpa paksaan.
Aku juga tidak disuruhnya minum atau makan
pemberiannya yang mungkin dicampur obat
perangsang. Apa benar nafsu syahwatku memang
sangat besar? Seingatku dulu aku juga
melakukannya dengan suamiku secara wajar-wajar
saja. Seminggu tiga atau empat kali. Apa mungkin
aroma harum di bilik kecil itu merupakan bau-bauan
perangsang? Aku tidak sempat berpikir lebih lama,
karena si tukang ojek kelihatan sudah menjemput
datang. Aku bergegas pulang.
Hari-hari berlalu seperti biasa. Aku sudah kembali
melakukan pekerjaan rutin mencuci. Penghasilan
dari mencuci cukuplah untuk kehidupanku sehari-
hari, bahkan kadang lebih. Lebihannya ini kutabung
di bank. Kadang Basuki, anakku lelaki, mengirimiku
beberapa puluh ribu rupiah, ini pun kutabung.
Sementara Nina yang gajinya lebih kecil belum bisa
mengirimiku. Aku maklum akan hal ini. Bekerja di
Tangerang dengan standar hidup seperti Jakarta
pasti memerlukan biaya besar. Untuk makan, bayar
kost, dan keperluan hidup sehari-hari pasti
menghabiskan sebagian besar gajinya.
Aku hanya berharap mereka dapat menimba
pengalaman sebanyak-banyaknya dengan bekerja
di kota besar.
Aku hanya berpesan pada Basuki dan Nina, “Kalau
berhasil, kalian akan mencapai hidup lebih baik di
sana. Kalau toh gagal, jangan malu untuk pulang,
karena pengalaman yang didapat dari bekerja di
kota besar dapat digunakan di sini.”
Hari ini aku mendapat surat dari Nina. Ya, dia
memang lebih sering menulis surat dibanding
kakaknya. Maklum anak laki suka malas menyurati.
Paling Basuki hanya titip salam lewat surat Nina. Ini
pun bagiku sudah cukup. Asal mereka sehat dan
bahagia, senanglah aku. Tentu saja dalam surat
balasanku selalu kuceritakan kesehatanku dan hal-
hal lain yang baik-baik, supaya mereka pun senang
dan tidak kuatir dalam bekerja. Sedangkan kejadian
memalukan dengan Pak Kosim, ketiga pemuda dan
Mbah Purwo tidak pernah kusinggung-singgung.
Biarlah peristiwa itu kusimpan menjadi rahasiaku
sendiri.
Meski demikian, dalam hati kecilku sebenarnya
masih ada rasa penasaran untuk mencoba
keampuhan penangkal Mbah Purwo. Enam butir
kapsul yang diberikannya padaku dulu memang
telah terbukti kemanjurannya. Bahkan pada hari
kedua setelah kuminum, tubuhku sudah segar
kembali. Dan haidku bulan ini juga lancar seperti
biasa. Aku memang pernah kuatir terjadi kehamilan
setelah pengalamanku dengan Pak Kosim. Apa
jadinya kalau janda sepertiku yang baru ditinggal
suaminya tiga bulan hamil? Pasti akan sangat
memalukan. Pasti aku akan dikucilkan masyarakat.
Untunglah kapsul pemberian Mbah Purwo sangat
mujarab.
Sekarang yang masih ingin kubuktikan adalah
penangkal berbungkus hijau yang sudah kugantung
di atas pintu kamar. Katanya ini akan menangkal
guna-guna yang sifatnya perangsang birahi. Sudah
sebulan lebih sejak kudapat penangkal itu ternyata
Pak Kosim tidak lagi mengguna-gunaiku. Aku tahu
ini karena aku tidak pernah lagi terbangun di tengah
malam dengan tubuh kepanasan.
Berkali-kali aku ke rumah Pak Kosim mengambil
cucian atau mencuci di sana, dan ia nampak wajar-
wajar saja. Apa mungkin karena anak-istrinya di
rumah maka ia tidak mengguna-gunaiku lagi? Aku
jadi teringat, dari dua kali pengalaman diguna-gunai,
selalu rumah dalam keadaan sepi. Hanya ada Pak
Kosim seorang diri. Istri dan anaknya sedang pergi.
“Akan kutunggu sampai mereka pergi,” pikirku ingin
mencoba.
Dan saat itu pun tiba ketika hari itu aku mengantar
cucian dan bertemu Bu Kosim.
“Mbak Surti, maaf ya, besok pagi libur dulu karena
saya dan anak-anak akan pergi ke luar kota
berlibur selama tiga hari. Di rumah tinggal Bapak
sendiri, jadi cucian cuma sedikit. Nanti saja sekalian
diambil kalau kami sudah kembali,” ujarnya.
Aku pun mengiyakan.
Maka kumasuki hari-hari berikutnya dengan penuh
kewaspadaan. Dua hari berlalu tanpa terjadi apa-
apa. Baru pada hari ketiga malam, mendadak aku
terbangun di tengah malam dengan mandi keringat.
“Inilah saatnya,” pikirku.
Kubiarkan beberapa lama keadaan itu sebelum aku
melangkah keluar kamar. Kusiapkan beberapa
perlengkapan yang sengaja akan kubawa untuk
memerangkap Pak Kosim.
Setelah merasa siap, aku pun berjalan keluar
kamar. Tepat di ambang pintu, aku berhenti di
bawah bungkusan penangkal yang pernah diberikan
Mbah Purwo dan.. benar saja, perlahan-lahan
tubuhku seperti ditiup kipas angin. Sejuk
menyegarkan dan dengan cepat mengeringkan
keringatku, sehingga suhu tubuhku pun normal
kembali. Aku pun semakin yakin akan keampuhan
penangkal Mbah Purwo. Namun sesuai rencanaku,
aku tetap berjalan menuju ke rumah Pak Kosim
dengan membawa beberapa perlengkapan yang
kusembunyikan di saku daster. Aku ingin memberi
pelajaran pada Pak Kosim supaya ia tidak
mengulang perbuatannya lagi. Sengaja kulalui jalan
yang sama yang pernah kulewati dua kali.
Sebelum sampai, dari kejauhan sudah kulihat Pak
Kosim tengah berdiri di depan pintu rumahnya.
Langkahku pun semakin yakin. Dengan ekspresi
pura-pura terkena guna-guna, kudekati rumah itu.
“Mari, silakan masuk, Surti,” sambut Pak Kosim
seperti biasa sambil membuka pintu.
Tanpa bersuara aku masuk lalu menunggunya
hingga selesai mengunci pintu. Setelah itu kuikuti
dia ke kamarnya.
Ketika dia memberikan segelas teh manis, meski
semula ragu-ragu, kuteguk habis juga. Benar saja,
sebentar kemudian aku merasa birahiku mulai
meronta minta pemuasan. Bersamaan dengan itu
kurasakan pula rasa kurang enak di bawah pusarku
seperti hendak menstruasi. Maka aku teringat kalau
penangkal Mbah Purwo pasti sedang bekerja. Oleh
karenanya aku pun bertahan sebisa mungkin untuk
tidak dikuasai pengaruh jahat minuman Pak Kosim.
Hanya dua menit gejolak itu mereda dan hilang
sendiri.
Dalam hati aku semakin salut pada penangkal Mbah
Purwo. Lalu mulailah Pak Kosim minta aku
memijatnya. Aku pun pura-pura mematuhinya
sambil mengamat-amati situasi. Juga ketika ia
menyuruhku membuka daster, ini pun kuturuti.
Supaya dia lebih terlena aku memijat dengan duduk
setengah bugil di atas punggungnya. Aku harus
tahan malu untuk membuka kedoknya. Toh hanya
kami berdua yang tahu peristiwa ini.
“Silakan tidur dulu, Pak,” bisikku ke dekat
telinganya.
Ia hanya manggut sedikit, lalu memejamkan
matanya. Nampaknya kali ini Pak Kosim tidak
terburu-buru lagi. Ia merasa dirinya sudah cukup
pengalaman dan dapat mengatur waktu kapan harus
membawaku ke bawah pohon itu selagi aku tertidur.
“Biar cepat tidurnya matanya ditutup ya, Pak,”
bisikku lagi.
Ia tak bereaksi. Perlahan kuambil kain hitam yang
sudah kusiapkan.
Sambil memijit-mijit pelipis dan keningnya, kututup
mata Pak Kosim. Ia tersenyum merasakan ulahku.
Mungkin menganggapku sedang bermain-main.
Diam-diam kuambil cairan pewarna dari saku
daster yang kuletakkan di dekatku. Sambil tetap
memijit, tanganku asyik pula melumuri punggung
Pak Kosim dengan pewarna merah itu. Kalau sudah
kering, dalam waktu berhari-hari berulah pewarna
itu bisa hilang. Di bagian punggung yang sulit
terjangkau tangan kutulisi “Ini bukti aku main
serong”. Aku ingin hal ini menjadi bukti di depan
istrinya nanti kalau Bu Kosim sudah pulang.
APA YANG AKAN TERJADI NANTI.......
SIMAK TERUS LANJUTAN CERITANYA.....
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd