------------------------------
“Kecepetan ya gue datengnya?”
“Cuma orang tolol yang nanya itu Fan” aku memicingkan mata sambil menjawab Stefan.
Karena Stefan memang terlalu cepat datangnya. Aku manggung jam 9 malam, sedangkan ini masih maghrib, bahkan Arka, Jacob dan Toni belum datang. Aku datang lebih awal memang, lebih cepat 30 menit daripada yang dijanjikan, karena aku ingin makan malam –yang juga terlalu cepat- bersama Kyoko di tempat ini sebelum aku naik ke panggung nanti.
“Stefan terlalu cepat datangnya, Apa Stefan tidak sedang sibuk di kantor?” tanya Kyoko sambil makan dengan pelan.
“Gue tadi ada ketemu orang di Kemang, jadi daripada balik ke kantor lagi udah jam segini, mending gue langsung kesini lah” jawabnya.
“Kayaknya elo makin kesini alasannya itu terus deh, tiap ditanya orang kok gak ngantor… Kayaknya lo bosen sama gawean kantoran ya?” tanyaku menyelidik.
“Kagak”
“Kagaknya terdengar palsu”
“Lo pikir lo detektif ya?”
“Bukan, gue kan udah kenal lama sama elo, kalo elo ada yang disembunyiin, biasanya omongan lo jadi konyol dan gak make sense” jawabku.
“Gitu ya?” Stefan menyalakan rokok dan matanya menerawang ke seluruh penjuru tempat ini. Sebuah restoran yang interiornya bergaya urban, dengan sebuah panggung yang dari awal tahun sering dipakai untuk acara jazz mingguan. Minggu lalu penampilnya Karina, ya taik memang. Tapi untung saja dia tampilnya minggu lalu, coba kalau sekarang, aku tidak ingin menemuinya sama sekali. Apalagi dalam kondisi aku sudah berkeluarga seperti ini.
Lagipula, musisi Jazz di Jakarta kan ada banyak. Banyak sekali malahan. Kenapa musti selalu ada nama Karina Adisti di setiap acara sih? Tapi jawaban atas pertanyaan tolol itu sudah langsung kutemukan dalam kepalaku. Karena dia memang salah satu pianis jazz muda papan atas di Jakarta. Jadi pasti laku di acara Jazz. Apalagi konsep acara Jazz di restoran ini, tiap seminggu sekali ada penampil, jadi mau tidak mau Karina pasti kebagian giliran.
“Arya Achmad, gitaris muda, yang biasa dikenal sebagai musisi rock, akan tampil bersama grupnya, Arya Achmad Quartet. Arya yang terdidik sebagai gitaris Jazz akan diiringi oleh para maestro seangkatannya, Arka Nadiem (keyboard/electric piano) yang populer sebagai solo artist dan session musician, Jacob Manuhutu (upright bass) yang tahun lalu baru saja merilis album solonya dan M Toni Iriawan (drum) yang merupakan pendatang baru di dunia musik Jazz.”
“Ngapain lo baca caption postingan acara ini di Instagram?” tanyaku ke Stefan.
“Lucu aja lo disebut gitaris muda”
“Kalo dibandingin sama yang laen sih emang gue muda Fan”
“31 dibilang muda hahahaha” tawanya.
“Elo juga 31 bangsat”
“Setidaknya ga pernah ada yang nyebut gue muda di medsos”
“Gini deh, kalo di scene rock indie, kita jadi benchmarknya, dah bisa disebut senior….. Malah banyak band yang muda-muda naik daun, jadi kita ga akan pernah disebut muda…. Sedangkan kalo di scene jazz, yang udah mateng tuh… Yang usianya 40-50 an, jadi elo… muda deh” balasku panjang.
“Tetep aja, muda hahaha….”
“Ah elo mah” kesalku. “Cari-cari bahan buat ngeledek orang…”
“Ano Aya, itu” Kyoko menegurku dan aku melihat Arka Nadiem dan Jacob Manuhutu masuk ke dalam restoran. Mereka melambaikan tangannya dari jauh dan mereka menunjuk ke meja di sebelahku. Aku mengangguk, mengiyakan kalau meja itu kosong. Tapi mereka keburu dicegat waitress, dan kemudian mereka digiring ke meja yang tadi ditunjuk.
“Sore Pak Bu” sapa Arka ke kami. Jacob tampak langsung duduk dan meminta bir ke waitress, tepat dua botol untuknya dan Arka.
“Selamat Sore menjelang malam” jawab Kyoko ramah.
“Dan Toni dah gue suruh dateng jam 5 tetep ya, kalo dia ga dateng sampe jam 7 gak bisa cek sound kita” keluh Arka.
“Dan katanya kayak gini udah biasa…..” celetuk Jacob asal sambil berusaha memaklumi kebiasaan terlambat Toni.
“Dan elo kayak orang ga ada kerjaan ngintilin kita Fan” tawa Arka sambil melihat ke arah waitress yang mengambilkan dua botol bir dingin untuk dirinya dan Jacob.
“Gue ada ketemu orang tadi di kemang, terus daripada gue balik ke kantor, mendingan gue kesini nonton elu-elu pade” jawab Stefan, dengan jawaban yang seperti jawaban template.
“Kita mainnya jam sembilan malam Fan” aku menjawabkan mewakili teman-temanku.
“Udah tau”
“Jadi waktu tiga jam ini kalo mau lo pake untuk ngobrol-ngobrol gak jelas sama kita, sama bini gue, dan liatin kita check sound, ya silakan aja” lanjutku sambil menyudahi makan malam yang agak kepagian itu.
“Nanti kalau Stefan bosan bisa bicara sama Kyoko” celetuk istriku dengan senyum lucunya.
“Gue gak sedesperate itu”
“Tar Ai dateng sih katanya”
“Itu informasi biasa, coba lo bilang Mariah Carey dateng, baru itu berita wah” balas Stefan ketus.
“Gak lucu sih yah” komentar Arka sambil menenggak bir yang ada di tangannya.
“Gue gak berusaha ngelucu nyet”
“Hahaha” tawa Arka mendengar kesinisan Stefan. “Elo tuh kebanyakan misuh-misuh ya, tapi kalo di depan cewek bisa aja mendadak jadi manis manja grup”
“Gue gak butuh baek-baek di depan elo Nyet”
“Mungkin butuh karena kalo si Arya rekaman, gue bakal jadi anak asuh elo” ledek Arka.
“Itu mungkin bakal setaun lagi sih kalian bikin album…..”
“Kok jadi gue” selaku.
“Gak ada yang ngomongin elo” balas Stefan.
“Lah ini, ngomongin bikin album setaun lagi, pasti bentar lagi ngeledekin gue nih, bilang kalo gue bikin lagu lama… Ya gak”
“Ge er aja... Yang pasti sih… Emang lama” tawa Stefan, diikuti oleh senyum-senyum mesem Kyoko sambil melirikku.
“Kok kamu ngetawain aku juga”
“Hehe.. Aya tapi pasti lama kalau membuat lagu, kan Aya banyak pekerjaan selain itu” lanjutnya.
“Nah, ini makanya gue kawinin, gak kayak elu, gak ngertiin gue”
“Najis gue harus ngertiin elo” balas Stefan dengan nada kesalnya yang familiar.
“Harus lah, kan homoannya” tawa Jacob di meja sebelah.
“Gapapa juga sih homoan ama orang ganteng, ya gak, orang ganteng kata cewek-cewek” Stefan melirikku sambil menahan tawa.
“Hus”
“Kata siapa Stefan?” Bingung Kyoko mendadak.
“Suami lo ini banyak yang bilang ganteng lho”
“Siapa?” Kyoko melirikku dengan muka penasaran.
“Nih baca aja” Mendadak Stefan menyodorkan screenshot artikel yang pernah ia perlihatkan ke Zee di Jepang.
“Ah kampret”
Kyoko mengambil handphone Stefan dan dia tampak membacanya dengan seksama. Dia tampak seperti berusaha mencerna kata-kata yang tertulis dengan cepat, dan ekspresinya berubah juga dengan cepat. Dari tadi tampak penasaran dan agak-agak muncul aura cemburu di wajahnya, lama-lama senyumnya terkembang dan ia tersipu-sipu.
“Ahaha…” tawanya makin terdengar.
“Awas ya lo Fan” kesalku.
“Kyoko tidak pernah tahu kalau Aya seterkenal ini” komentarnya pelan sambil seperti menahan tawa.
“Kalo kamu mau ketawa, ketawa aja, silakan” kesalku.
“Hehehe… Jadi, Aya Kakkoi ya menurut banyak orang” lanjut Kyoko sambil menatapku dalam.
“Hmm”
“Tapi kalau begitu Kyoko beruntung karena sekarang bersama Aya” dia lantas menunjuk hidungku dan menyentuhnya dengan jarinya.
Ya, dan aku juga beruntung bareng kamu sekarang.
--------------------------------------------
Check sound sudah selesai, dan aku tinggal menunggu detik-detik manggung. Aku duduk di meja terpisah dari istri, adikku dan Stefan. Aku dikelilingi oleh Arka, Jacob dan Toni. Sudah tinggal beberapa menit lagi. Semua peralatan kami sudah tersusun dengan rapihnya di panggung. Sound sudah di tata dan siap untuk dibunyikan.
“Katanya, kalau sebelom manggung selalu gugup itu tandanya kalo elo musisi serius” bisik Arka mendadak.
“Kenapa emangnya?” aku meremas tanganku sendiri, karena memang ini pertamakalinya aku manggung sebagai leader sebuah working group. Pemimpin sebuah kelompok musik.
“Itu nunjukkin kalo elo concern sama permainan elo dan semua yang bakal kejadian disana nanti” tunjuk Arka ke arah panggung.
Aku menjawabnya dengan senyum dan aku menatap kearah panggung. Aku melihat dari sudut mataku, tampaknya Stefan lagi-lagi menjahili Ai dan Ai tampak kesal. Kelucuan mereka berdua hanya ditimpali oleh tawa kecil Kyoko.
“Mas” bisik Toni.
“Hmm?”
“Itu Mbak Ai sama Stefan emang deket banget ya?” tanya Toni, tapi anehnya mukanya malah menunjukkan kepercayaan diri.
“Iya sih, tapi….”
“Paham”
“Paham?” tanyaku karena bingung, kalimatku belum selesai, tapi Toni sudah memotong kalimatku.
“Iya, saya pernah liat yang semacem itu juga, keliatannya aja deket, tapi diantara mereka gak ada apa-apa” senyumnya.
“Kepo amat lo merhatiin dan nanya soal ginian”
“Gapapa mas hehe” tawanya terdengar tenang dan penuh percaya diri. Aku hanya menggelengkan kepala melihatnya. Orang lain sedang fokus sama acara malam ini, dia malah fokus sama adikku.
Ah, akhirnya, penderitaan menunggu ini sepertinya akan berakhir. Manajer restoran ini naik ke atas panggung dan siap-siap bicara di microphone.
“Selamat malam, untuk penampil malam ini, saya akan bacakan profil singkatnya” senyumnya ke arah para penonton yang tampaknya sudah memenuhi tempat ini. “Arya Achmad, Lahir di Jakarta pada 13 September 198X, biasa dikenal sebagai gitaris band rock Hantaman. Dia menyukai dan mencintai musik Jazz, di luar karirnya sebagai gitaris rock. Pendidikan musiknya dia terima dari Yamaha Music School pada remaja, kemudian dilanjutkan berguru kepada Jaya Tedjasukmana, dan juga pernah mengikuti Short Course in Music Composing”
Tepuk tangan ringan penonton sudah mulai terdengar saat profilku dibacakan. “Pada malam ini akan tampil bersama Arya Achmad Quartet, diiringi oleh Arka Nadiem pada keyboard dan electric piano, dikenal luas sebagai pianis jazz papan atas, dan session musician ”
“Pada Upright Bass, Jacob Manuhutu, pada tahun lalu sudah merilis album solo, dan disana juga Arya Achmad berkontribusi sebagai sound engineer, producer dan guitar player. Jacob juga mengajar di beberapa tempat pendidikan musik”
“Dan yang terakhir, Muhammad Toni Iriawan, pada drumset”
Disaat tepuk tangan sedang bergemuruh untuk menyambut kami, disaat itulah kami naik berduyun-duyun ke panggung. Aku tersenyum ke arah Kyoko saat aku mengalungkan gitarku di badanku, dan dia membalas senyumanku.
“Selanjutnya, selamat menikmati Arya Achmad Quartet” sang manajer restoran menutup sesi bicaranya dan menyerahkan sepenuhnya kepada kami. Arka sudah terlihat nyaman di balik tumpukan keyboardnya, Jacob sudah memeluk upright bassnya yang besar itu. Dan Toni, dia terlihat siap, dibelakang sana, dikelilingi oleh beduk Inggris yang beraneka ragam bentuk dan ukuran.
“Malam semuanya”
“Malam…” jawab penonton dengan suara yang antusias. Tidak seramai konser musik rock, tapi semua yang datang disini memang berniat untuk menghapus rasa penasaran mereka, bagaimana jadinya kalau Arya Achmad mempunyai quartet musik.
“Mungkin bingung, kenapa saya manggung gak sama Hantaman, tapi yang saya pake tetep sama kok, pakaiannya masih sama, dan masih main gitar” aku mencoba berbasa basi di panggung. “Mungkin ada yang pernah denger lagu saya, Matahari Dari Timur?”
Beberapa jawaban yang berbeda-beda terdengar dari arah penonton. Aku tersenyum dan melanjutkan kalimatku.
“Nah, kalau malam ini kita gak akan kayak gitu bunyinya…. Untuk lagu pertama, lagu dari maestro gitar yang jadi panutan semua orang, Wes Montgomery…. 4 on 6” penonton bertepuk tangan dan aku mengangguk kepada Arka, yang dijadikan acuan untuk memulai lagu.
Dan akhirnya, dimulai juga.
Nada-nada miring yang indah itu lantas mengalir melalui tanganku, diiringi oleh ketiga orang ini. Chemistrynya sudah terbentuk dan aku merasa nyaman bermain dengan mereka semua. Arka, Jacob dan Toni memainkan alat musik mereka masing-masing, mengiringiku.
Ah memang, dengan working group yang tepat, semua rasanya menyenangkan. Mari kita tuntaskan malam ini.
--------------------------------------------
Tak terasa, sudah pukul setengah sebelas malam. Sedikit keringat membasahi mukaku, walau tidak separah ketika bermain bersama Hantaman. Rasanya berbeda, rasa nikmat yang kudapatkan berbeda.
“Jadi, sepertinya kita sudah sampai di lagu terakhir” bisikku di microphone. “Makasih buat temen-temen semua yang udah dateng nontonin saya, dan terutama buat sumber inspirasi utama saya, istri saya” aku menatap ke Kyoko sambil tersenyum, dan dia membalas senyumanku dari jauh. Entah kenapa malam ini, rasanya semua gelap di area penonton, dan hanya Kyoko yang mencuri perhatianku.
Mungkin karena aku belum pernah menunjukkan diriku sebagai musisi jazz di hadapan dia. Dia memang baru malam ini, melihatku bermain repertoar-repertoar lagu Jazz Standards yang dibawakan dengan komposisi yang kami berempat susun bersama.
Jujur, aku merasa beruntung bisa mengenal Toni. Kalau Jacob dan Arka, tidak usah ditanya, mereka berdua memang mumpuni dan salah satu musisi terbaik di kelasnya. Sedangkan Toni, bisa dibilang anak baru kemarin, bahkan statusnya masih mahasiswa sebuah sekolah musik. Tapi gaya bermainnya, kematangannya dalam mengiringi kami semua bermain, begitu membebaskan buatku.
“Lagu terakhir ini, dari Dizzy Gillespie, Blue and Boogie. Enjoy”
Tanpa banyak bicara lagi, suara musik bersahutan mulai terdengar di panggung. Suara gitarku dan suara rhodes Arka Nadiem saling membalas dan saling menyusul. Kemudian tema utama lagu, aku yang memainkannya. Rasanya aku seperti hanyut dalam permainan gitarku sendiri.
Entah mengapa, aku merasa lebih nyaman memainkan musik jazz kontemporer yang banyak dipengaruhi oleh nuansa Bebop. Ya, Bebop adalah sebuah sub-genre musik Jazz yang bisa dibilang memberontak dari arus musik utama musik Jazz, atau yang dikenal dengan “Swing”. Biasa mendengarkan Nat King Cole, Louis Armstrong atau Frank Sinatra? Ya, mereka adalah musisi Swing. Sedangkan Bebop, yang temponya lebih cepat, nadanya lebih lugas, dan lebih “miring”, tidak mengutamakan nada-nada indah dan mengalun mendayu-dayu seperti Swing.
Bebop menekankan di improvisasi, tempo yang ketat dan melodi yang sarat dengan spontanitas.
Tujuan utama Bebop, bukanlah sebagai musik hiburan, tetapi sebagai ekspresi musisi untuk melepaskan dirinya di atas panggung. Charlie Parker, Dizzy Gillespie, Thelonius Monk dan Bud Powell adalah pelopor sub-genre ini. Dan sub-genre ini sampai sekarang lekat dengan semangat dan aroma pemberontakan.
Ah, betapa indahnya mendengarkan improvisasi dari Arka Nadiem. Suaranya begitu menyayat telingaku, dengan permainan not-not nya yang miring dan cepat. Mungkin ini lah kenapa pada awalnya, sebelum bersama Hantaman, aku begitu tenggelam di musik Jazz. Karena memang membius.
Dan aku harus mengulang lagi pujianku terhadap Toni. Permainannya begitu dewasa, berbanding terbalik dengan umurnya. Begitu ketat dan membuat kami semua aman berimprovisasi.
Kami berempat menari di atas panggung, menari dalam irama-irama yang bisa dikatakan mungkin tidak familiar bagi kebanyakan orang. Dan pada saat ini, kami sudah tidak peduli lagi berapa nada yang kami langgar. Tapi, ketidak sempurnaan adalah kesempuranaan dalam musik itu sendiri.
“Kamu masih manusia” begitu nasihat Om Jaya pada saat aku masih belajar kepadanya. Aku masih ingat, waktu itu aku tampak stress, karena beberapa kali salah membunyikan not, pada saat mencoba berimprovisasi mengikuti permainan gitarnya. Karena aku tampaknya tidak nyaman dan menyalahkan diriku yang tidak begitu cermat dalam merangkai suara untuk menghasilkan nada-nada yang menurutku baik, Om Jaya lantas membuatku tersadar, bahwa kesalahan dalam bermain musik adalah wajar. Dan menurut dia, yang terpenting, adalah bagaimana membuat penonton tidak sadar kalau kita salah memainkan nada.
Dan itu yang sulit, namun kami berempat bisa melaluinya malam ini.
Dan kami sudah melaluinya. Kami sudah menutup rangkaian lagu tersebut, dan menyajikan improvisasi yang tepat dan lugas. Gemuruh tepuk tangan terdengar indah di telingaku. Aku memeluk gitarku dan tersenyum ke semua orang yang menonton. Puas rasanya, seperti habis menyatakan cinta kepada orang yang benar-benar kalian sayang.
Aku merasa harusnya aku melakukan ini dari dulu. Bermain dalam sebuah working group yang tepat, bermain di sebuah kelompok musik dan jenis musik yang membuatku tidak capek dalam memainkannya. Selain bersama Hantaman, aku merasakan kepuasan yang sama bermain disini. Arya Achmad Quartet katanya, tapi aku merasa teman-temanku yang bermain bersamaku malam ini juga memiliki peran yang luar biasa dalam membentuk musik kami
“Arka Nadiem, di keyboard”
“Jacob Manuhutu, Bass”
“Toni Iriawan, drum”
“Dan kalian semuanya, thanks, kalian akan sering lihat saya lagi di panggung seperti ini. Cheers!” Dan tepuk tangan penonton kembali terdengar jelas di telingaku.
--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------
Sudah lewat tengah malam.
Aku masih merasakan euforianya. Rasanya begitu nikmat. Kyoko berbaring dengan nyamannya di sebelahku, matanya sudah tertutup dan tampaknya dia sudah merasakan damainya tidur dan bermimpi. Sementara aku rasanya masih excited. Rasanya tanganku masih merasakan senar gitar. Rasanya bahuku masih berat, seperti ada gitar yang menggantung disana. Aku sedikit bergeser, membetulkan posisiku di atas kasur, agar bisa tidur dengan nyaman, setelah semua yang terjadi malam tadi.
Aneh rasanya, harusnya aku capek, tapi ternyata aku masih bisa terjaga tanpa sedikitpun merasa ngantuk. Mungkin karena rasanya sungguh-sungguh excited dan menyenangkan.
“Aya?” bisik istriku mendadak.
“Eh, kamu kebangun?” tanyaku, dengan perasaan sedikit tidak enak karena sudah membangunkan Kyoko.
“Sedikit, Aya belum tidur?” tanyanya sambil menggeser tubuhnya untuk menempel padaku.
“Belum bisa”
Kyoko lantas sedikit bangkit dan bertumpu di tangannya. Dia memandangku sambil tersenyum tipis, dengan matanya yang terlihat hanya segaris.
“Udah tidur lagi sayang, aku juga ntar lama-lama tidur kok” aku tersenyum balik kepadanya.
“Aya kenapa belum bisa tidur?”
“Masih excited kayaknya karena tadi”
“Hehe, Aya kelihatan sangat bahagia tadi ketika bermain. Aya pasti senangnya masih sampai sekarang” bisiknya sambil mencium hidungku dan lantas memelukku dari samping. Aku hanya mengangguk, mengiyakan dan menikmati keberadaan Kyoko di sampingku.
“Aya, mau bisa tidur?” bisik Kyoko dengan nada yang agak familiar.
“Kamu kan lagi gak bisa malem ini” Ya, dia masih dalam fase menstruasi.
“Kyoko bantu” bisiknya. Mendadak dia menggenggam penisku lembut, dan meremasnya sambil mencium pipiku. Sial. Dia pasti berusaha untuk membuatku ejakulasi dan kemudian bisa tertidur lelap.
“Sayang” bisikku berusaha menahannya, agar dia tidak repot-repot melakukannya. Tapi tampaknya badanku tidak menolak. Rasanya sulit untuk dilewatkan, setiap sentuhan dari Kyoko.
Aku lantas menoleh ke samping dan bibir kami berdua bertemu. Kami berciuman dengan hangat dan rasanya ada sesuatu yang menegang dibawah sana. Semakin lama rasanya semakin tegang. Sentuhan lembut tangan Kyoko telah membuatnya berdiri dengan tegak, melawan gravitasi.
Kyoko lantas menyingkap selimut yang menutupi badan kami berdua. Dan dia tampak berusaha menurunkan celanaku. Aku pasrah, dan membiarkan celana tidurku turun, mempertontonkan penisku yang sudah berdiri tegak di hadapan Kyoko. Dia sedikit melirik ke arahku dan senyumnya masih belum hilang.
“Jya… Atashi no shujin wa… Kakkoi ne…” haha, sial, dia bilang aku ganteng. Pasti dia bercanda, merefer ke artikel di majalah remaja putri yang tadi diperlihatkan oleh Stefan kepadanya. Dan gerakan selanjutnya, walaupun bisa ditebak, rasanya selalu mengejutkan buatku. Bibirnya mencium kepala penisku dengan lembutnya. Dia menciuminya dengan seksama, di tengah gelapnya kamarku. Bisa kurasakan sedikit demi sedikit, permukaan penisku dijelajahi olehnya.
Aku sangat menikmatinya. Aku dengan pasrah berbaring di kasurku, membiarkan istriku memuaskanku dengan mulutnya. Bisa kurasakan lidahnya mulai bermain, bermain menyapu permukaan penisku. Sedikit demi sedikit ia pun mengocok penisku dengan pelan, sambil membasahi permukaannya dengan lidahnya. Kyoko lantas menciumi kepalanya lagi.
“Shabutte ageru?” bisiknya pelan sambil menunggu responku. Aku mengangguk, mempersilahkannya untuk melakukan apa yang ia ingin lakukan. Dan lantas mulai terasa. Dia mengocok pelan penisku, sambil dengan perlahan ia memasukannya ke mulutnya. Dengan gerakan yang teratur dan perlahan, ia mengulum penisku dengan telaten. Matanya tertutup, menikmati prosesnya. Rasanya sungguh nyaman dan hangat, dan kenikmatan mulai menjalar dari penisku ke seluruh badanku.
Kyoko menggerakkan kepalanya dengan frekuensi yang konstan. Bibirnya mengatup, menyentuh permukaan penisku. Terasa lidahnya bermain di dalam mulutnya, dan dia benar-benar membuatku nyaman malam itu.
“Mmmnn…” dia bersuara, menikmati gerakan-gerakan spontan dari diriku yang merasakan rasa geli yang nikmat. Dia lantas menggerakkan kepalanya makin lama makin cepat, walau masih dalam irama yang stabil. Kyoko tidak menggunakan tangannya lagi, ia hanya menggerakkan kepalanya dengan konstan, dan tangannya bertumpu di pahaku.
Kadang ia menghentikan kulumannya, dan hanya menjilati kepalanya, sambil melirik manja ke arahku. Semua gerakannya lembut dan penuh kasih sayang. Kyoko lantas mengulumnya lagi, dan dia lalu memasukkan penisku penuh-penuh ke dalam mulutnya, dan dia mulai menggunakan tangannya untuk membantu memuaskanku.
Beberapa kali kudapati dia berusaha untuk memasukkan semuanya ke dalam mulutnya, hampir menyentuh tenggorokannya, tapi dia tampaknya agak kurang persiapan malam ini, sehingga beberapa kali gerakannya tertahan, namun aku tidak memaksakannya. Aku hanya menerima malam ini, sehingga aku pasrah menerima apapun yang ia akan lakukan kepadaku.
Penisku rasanya semakin menegang, semakin mengeras di dalam mulutnya. Bisa kurasakan dinding mulutnya menyempit, dan lidahnya bermain di dalam mulutnya. Dia begitu telaten, menggerakkan kepalanya untuk memuaskanku, mengulumku, memainkan semua indra perasaku yang berada di penisku. Seluruh kenikmatan yang mulutnya berikan rasanya benar-benar luar biasa. Dulu aku tidak bisa membayangkan sedikitpun perasaan kenikmatan seperti ini, ketika baru bertemu dengannya. S
“Ah… Sayang….” Aku mersakan gejolak-gejolak yang mungkin sebentar lagi akan meledak, dan aku tidak ingin merepotkannya dengan mengeluarkannya di dalam mulutnya. Tapi Kyoko tidak menggubrisku. Dia tetap mengulumku dengan seksama, dan menggunakan tangannya untuk membantu gerakan mulutnya.
Shit.
Kalau begini, aku tidak bisa menahannya lagi.
“Sayang…. Aku…” Kyoko tidak peduli. Dia malah bergerak makin kencang, makin ganas mengulum penisku. Lidahnya ikut bergerak di dalam mulutnya, memberikanku kenikmatan yang luar biasa. Dia tidak peduli, yang dia inginkan hanyalah aku mencapai puncak kenikmatan.
“Mmmhhh….Mhhh…” Kyoko bernafas dengan berat, mengikuti irama kulumannya. Tak terasa, ia menggerakkan tangannya begitu kencang, sehingga ledakan itu tidak dapat dihindarkan lagi.
“Ahh..” aku melepas tegangku begitu saja, dan perasaan nyaman yang membius lantas terasa di badanku.
“Nngghh…” dia mendesah, begitu merasakan cairan hangat itu keluar di dalam mulutnya. Tapi dia tidak melepaskannya dari dalam mulut. Dia terus mengocok penisku pelan, meremasnya, dan merelakan setiap tetes sperma yang mungkin keluar dari penisku menetes di mulutnya. Nafasnya berat, dan aku pun terkulai dengan lemas karena ulahnya. Dia tampak tidak ingin menyisakan sedikitpun cairan itu menetes ke kasur.
Dengan penis masih berada di dalam mulutnya, ia menatapku, dan matanya seperti tersenyum kepadaku. Dan di titik itulah, aku merasakan bahwa dia benar-benar mencintaiku. Dia benar-benar menyayangiku sehingga dia selalu ingin membuatku nyaman. Dan aku benar-benar mencintainya. Aku ingin agar ia merasakan hal yang sama denganku. Dan semua perjalanan dari kami menikah sampai sekarang, rasanya dia tampak bahagia. Dia tampak nyaman hidup disini, berdampingan denganku dan keluargaku.
Aku sangat yakin, dia akan selalu bahagia disini.
--------------------------------------------
BERSAMBUNG