Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

siang semuanya, belom bisa update dalam waktu dekat nih, tapi hari ini pasti update :D

mohon untuk tidak nyebut-nyebut orang yang ada di dunia nyata lagi. cerita ini sudah bersih dari mereka semua. it was a mistake dan gak akan kejadian lagi di kemudian hari.

Kalau kata org2 mah mistake itu yg bikin enak ;)
No problemo om. Biar apdetannya beberapa episode skalian :D
 
cengur jadinya,,,
ngintip sana sini GX ada update,,,

:'( :'( :'(
masih nunggu di pojok sapa tau ada yg nemenin
 
Masih blom tau hingga saat ini...
Kenapa.., bagaimana, Ai kok jadi sama Zul...
 
MDT SEASON 2 – PART 11

------------------------------

guitar10.jpg

“Sayang, kenapa?” tanyaku penasaran, sambil naik ke atas kasur dengan mendadak, berusaha mendekatinya.

Di luar dugaan Kyoko menahan badanku dan tersenyum.

“Tidak Aya, daijobu…. tidak kenapa-kenapa….” jawabnya sambil dengan buru-buru menghapus garis air mata di pipinya.
“Kenapa kamu? Kangen sama aku”

“Kyoko selalu kangen sama Aya… Daijobu Aya… Kenapa tiba-tiba pulang sekarang?” Kyoko bertanya kepadaku, entah apakah karena ia benar ingin bertanya ataukah dia hanya ingin perhatianku teralihkan.

“Kamu kenapa?”
“Tidak Aya, Ano… Bagaimana tadi show nya?” dengan jelas terlihat matanya sembab dan hidungnya memerah. Mukanya terlihat lemas.
“Kamu kangen sama Jepang?”

“Tidak Aya…”
“Kangen sama Nii-san?” Ya, mungkin saja dia rindu kepada kakaknya.

“Aya Kyoko tidak kenapa-napa…..”
“Jangan bohong…. Bilang sama aku kamu kenapa……. Aku pasti bisa bantu.. Aku kan suami kamu..”
“Kyoko agak pusing mungkin Aya, agak tidak enak badan…”

Dengan spontan aku memegang lehernya dan membandingkannya dengan suhu leherku. Normal. Biasa saja. Aku tidak merasakan sedikitpun rasa hangat atau panas dari tubuhnya.

“Kamu gak panas tapi……. beneran pusing?” tanyaku.
“Hai… Mochiron…” jawabnya dengan senyum yang dipaksakan.
“Sayang, kan sudah aku bilang, kalo kamu kenapa-napa, bilang kan sama aku harusnya?”

“Iya Aya, tapi Kyoko betul tidak kenapa kenapa… Nani mo nai….” jawabnya dengan gesture hangat yang agak dipaksakan. Entah kenapa rasanya tidak seperti biasanya. Dan jujur, aku sangat kaget malam ini. aku tidak mengharapkan akan menemukan istriku menangis sendirian tengah malam pada saat dimana harusnya aku tidak ada di rumah.

“Kyoko… Beneran deh… Kamu kenapa? Apa yang bikin kamu nangis?”
“Kyoko tidak menangis, Aya…” Dia mendadak berusaha maju dan memelukku.

Aku menyambutnya dengan perasaan yang masih tertahan. Di dalam kepalaku berkecamuk banyak pertanyaan. Kenapa ia menangis? Apakah benar karena pusing dan tidak enak badan? Tapi kalau sakit fisik sampai menangis, rasanya haruslah sakit fisik yang luar biasa tidak nyamannya, dan gerakan badannya tidak mengindikasikan hal tersebut. Apakah dia kangen padaku? Tapi kalau dia kangen padaku, tidak mungkin ia menangis kalau ditinggal hanya semalaman saja. Sedangkan kami sudah terbiasa hidup saling berjauhan dan baru bisa bertemu beberapa bulan sekali, sebelum menikah dulu.

Ataukah ia rindu akan Jepang? Masuk akal, tapi dia terlihat sangat bahagia disini.

Aku memeluknya dan dia masuk ke dalam pelukanku, dan aku masih terbius oleh pertanyaan yang berkecamuk di kepalaku itu. Ada apa istriku?

"Sayang...." bisikku
"Aya, Kyoko tidak apa-apa, dan terimakasih sudah pulang lebih awal…" bisiknya membalas perkataanku.
"Serius kamu tidak apa-apa?"

Dia hanya mengangguk dan aku terpaksa memperbaiki posisi badanku. Aku duduk, meluruskan kakiku dan bersandar di atas kasur. Sendangkan Kyoko memilih untuk tiduran dan menggunakan pahaku sebagai bantal. Kami terdiam, dan suara keheningan malam tampaknya jauh lebih keras terdengar daripada dialog antara kami berdua. Kyoko entah kenapa mendadak tertidur, atau setidaknya berusaha untuk tidur di atas pahaku. Detik ini dia terlihat menghindar dari perbincangan panjang yang mungkin terjadi.

Aku menarik nafas, melihat dirinya dan membiarkannya terlelap. Atau membiarkan ia memaksakan dirinya terlelap.

Dan aku sudah tidak bisa lagi memaksanya untuk menjelaskan. Pertama, sedang mencoba tidur atau pura-pura tidur di atas pahaku. Kedua, ia terus-terusan menghindar dari semua pertanyaan yang ada. Dan mungkin dia akan menghindar terus, sehingga sejuta kemungkinan jawaban berkecamuk di kepalaku.

Jawaban jawaban yang ingin kutemukan, baik cepat atau lambat.

--------------------------------------------

"Apa mas bilang?" bisik Ai pagi itu. Aku sengaja menyelinap ke kamar adikku, di jam Kyoko pergi jogging. Aku tidak bisa tidur malam itu, karena terus-terusan melihat Kyoko yang tidur ataupun pura-pura tidur di atas pahaku.

"Dia nangis, dan gak mau jawab apapun pas aku tanya kenapa...." aku menghela nafas sambil duduk di bawah, di karpet di kamar adikku. Mataku rasanya berat, tapi kepala ini terasa jauh lebih berat karena memikirkan Kyoko.

"PMS?"

"Gak segitunya dia kalo lagi PMS...."
"Kangen Jepang kali, wajar kan kalo kangen sama Jepang?" tanya Ai menyelidik.
"Udah aku tanya tapi dia bilang enggak..."
"Ya bukan berarti dia gak kangen kan Mas?"
"Iya sih........"

Aku lantas menjatuhkan diriku dan berbaring di atas karpet.

"Tapi kenapa dia gak bilang ya? Harusnya dia kan bilang kalo emang kangen ama Jepang, mungkin bisa aku tenangin, mungkin bisa ngobrol supaya perasaannya lebih tenang... Atau apapun lah" tanyaku tanpa arah.
"Itu aku gak tau sih, cuman mungkin.... Dia ga mau bikin Mas yang semalem capek jadi tambah capek kali?"

"Tapi pas kemaren dia jalan keluar makan siang sama kamu, ada tanda-tanda dia lagi banyak pikiran atau lagi down gak?"
"Aku gak bisa bilang, keliatannya sih biasa-biasa aja, ya siapa tau emang biasa-biasa aja pas siang…. Terus pas malem karena sepi lantas kepikiran, atau bisa juga dia pura-pura biasa-biasa aja selama ini, kita kan gak tau........." jawab Ai panjang.

"Ya, mesti aku bongkar sih kenapa-napanya.... Aku penasaran soalnya, bukan apa-apa, penasaran banget........ Dan aku juga ga mau dia punya pikiran yang ngebebanin dia..." lanjutku sambil menatap ke langit-langit.

"Kalau butuh bantuanku mas..." potong adikku.
"Iya.."

Di mulut aku menjawab iya, tapi kita semua sudah tahu bahwa harusnya seorang suamilah yang menyelesaikan masalah yang mungkin mengganggu istrinya. Dan terus terang, semalam itu, aku tidak bisa menebak sama sekali apa yang ada di pikiran Kyoko. Dia yang setiap hari terlihat ceria dan terlihat bahagia, dalam pemikiranku, tidak mungkin bisa memendam sebuah pikiran yang mengganggu, sampai harus menangis.

Ada beberapa hal yang mungkin jadi penyebab. Yang pasti bukan aku atau keluargaku. Aku sudah menjaga ramah-tamahku dengan perempuan lain, tidak seluwes dulu. Yang paling mungkin adalah kangen terhadap kakaknya, ataupun kangen Jepang.

Bagaimana tidak, dia sekarang sudah dua bulan lebih, mau jalan tiga bulan, hidup di Indonesia, yang jauh lebih tidak nyaman dibandingkan dengan Jepang. Disana segalanya teratur dan mudah. Disini, kalau dibandingkan dengan disana, bagi orang Jepang yang biasa tinggal di Jepang, mungkin menjadi beban. Beban yang mungkin berat. Dan aku tidak pernah mendengar ia mengeluh. Dia selalu menjalani hari-hari sebagai ibu rumah tangga dengan aura yang nyaman dan menenangkan.

Ataukah karena dia sekarang adalah ibu rumah tangga? Aku pernah mendengar beberapa kasus, tentang wanita karir yang menjadi ibu rumah tangga ketika menikah, mengalami stress karena kehidupan pasca menikah sangat jauh berbeda dengan ketika waktu dia masih bekerja dulu.

Dan kasus Kyoko mirip. Dia yang sehari-hari aktif mengelola cafe dari pagi sampai malam, kini hanya menjadi ibu rumah tangga, yang praktis kegiatannya cuma masak di pagi hari, masak di sore hari, dan mengurus hal-hal rumahan lainnya. Hal-hal yang biasa dia urus di Jepang sana, sambil sibuk mengurus cafe. Jadi bisa dikatakan, kegiatannya hilang sebanyak 50%.

Jadi, sebenarnya kalau dipikir-pikir lagi, banyak faktor yang menyebabkan tangisan Kyoko semalam jadi masuk akal.

“Mas” tegur Ai mendadak di tengah lamunanku.
“Ya?” jawabku kaget, sambil mencoba bangkit dari karpet.

“Aku gak tau apa dia bisa ngaku sama Mas secepat itu, kenapa sebabnya dia nangis semalem, tapi kalo Mas butuh bantuanku, entah apapun, aku udah pasti siap ngebantu” senyum adikku kepadaku.

Aku hanya membalas senyumannya, sambil mencoba memecahkan misteri ini.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

the-wy10.jpg

Malam itu, beberapa hari setelahnya, aku sedang makan malam di luar, setelah rapat dengan perwakilan dari sebuah produk bir. Untuk beberapa album ke depan yang di produksi oleh label kami, sepertinya mereka tertarik untuk menjadi sponsor. Tapi mereka mau lihat sejauh mana label kami dapat menjual Speed Demon terlebih dahulu.

Aku, Anin dan Stefan makan dalam diam, setelah pembicaraan panjang lebar yang menarik, serta semua hitung-hitungan bisnis yang benar-benar dikuasai oleh Stefan. Orang ini pintar sekali kalau suruh bicara soal uang dan prospek bisnis. Mungkin karena hampir setiap saat dia harus bisa menjual majalahnya kepada produk-produk yang ingin ber-iklan.

“Gimana kabar Zee?” tanyaku ke Anin, membuka pembicaraan malam itu.
“Baik, tumben nanya” Anin menyambut pertanyaanku dengan sumringah. Tentu saja, ini adalah pacar pertamanya dan ia ingin agar perempuan ini jadi pacar terakhirnya.

“Gapapa, inget aja”
“Ngomong-ngomong, apa kabar si Arwen ya?” tanya Stefan dengan nada meledek, menanyakan kabar orang lain yang sudah lama tak kulihat batang hidungnya.

“Aduh, jangan nanya yang aneh-aneh deh... Gue lagi agak pusing akhir-akhir ini”

“Oh mendadak curhat colongan, pasti masalah keluarga” senyum Stefan, sambil memasukkan makanan ke dalam mulutnya, dengan nada yang menyelidik.

“Siapa yang curhat colongan bego, masa gak pusing, orang baru kawin, ada penyesuaian, abis gitu mendadak ngurusin bisnis begini pula, kalo dulu kan gue taunya cuma main gitar, terus ngedit, terus produserin, sekrang kudu mikirin unit usaha.............”

“Ditambah mikirin album solo yang ga kelar-kelar” ledek Stefan lagi.
“Ga mungkin kelar dalam waktu dekat, quartet gue aja baru main sekali........”

“Tapi keren sih, elo banget rasanya” lanjut Stefan.
“Thanks”
“Sayang gue gak nonton” sambung Anin.

“Ntar kalo tampil lagi lo tonton dah” balasku sambil berharap itu akan terjadi dalam waktu dekat.

Anin mengiyakan dan dia kembali makan. Stefan ternyata memperhatikan air mukaku.

“Gue udah liat ini dari tadi dan kemaren-kemaren pas latihan sih, tapi elo mukanya setelah kita manggung di Bandung kok keliatan lemes gitu?” tanya Stefan.
“Lagi ga enak badan ya? Jangan lupa bentar lagi kan bulan puasa.... Dan pas bulan puasa ini lo malah sibuk ngurusin teknis rekamannya Speed Demon yak?” sambung Anin.

“Sehat kok gue”
“Sehat secara fisik, secara mental enggak kayaknya, mukanya ditekuk gitu tadi, ketangkep selingkuh ama Kyoko ya?” goda Stefan.
“Mana mungkin gue selingkuh”
“Jangan ngomong mana mungkin, entar dikutuk ama dewa cinta” ledek Stefan.

“Jijik amat dewa cinta” balasku geli.
“Bagusan dewa gue dong, Dewa Kontol.... Mau sembah dia Ya?”
“Gak lucu”

“Haha” tawa Anin, entah menertawakan jokes Stefan yang garing, atau mungkin malah menertawakan situasi yang terjadi sekarang. Entah apa yang perlu ditertawakan. Tapi memang rasanya lucu. Rasa makanan agak-agak tidak nyaman di lidahku. Kalau saja rapatnya selesai ketika maghrib, dan tidak berlarut-larut sampai jam segini, mungkin aku sudah makan di rumah. Mau sepusing apapun, tetap saja makanan Kyoko jauh lebih enak daripada semua makanan yang pernah kurasakan di dunia ini. Iya, itu subjektif.

“Tapi lo emang lagi pusing kan Nyet? Wajar sih, orang baru kawin, pasti banyak problem yang ga keliatan di luar rumah sama kita-kita” tebak Stefan.

“Hah... Gitu deh” aku malas menjawab, dan lebih memilih untuk mencari jawabannya sendiri atas kepusingan yang sedang kualami ini.

“Boleh nebak?” tanya Stefan.
“Bebas” jawabku pendek, pelan, singkat, padat dan tidak jelas.

“Kyoko pasti nih.... Pasti dia galau-galau sendiri, terus lo mikirin apa penyebabnya, atau kalaupun lo udah tau gimana penyebabnya, pasti lo bingung gimana mecahin masalahnya” tawa Stefan sambil menyudahi makannya, meminum sedikit minumannya dan menyalakan rokok. Semua itu ia lakukan dalam gerakan singkat dan cepat.

“Tokai” jawabku. Anin tidak berani bersuara, mungkin dia sadar posisinya, sebagai pecinta amatir.

“Bener pasti”

“Bukan cuman bener.... Lo tau kan malem dimana gue balik ikut lo ke Jakarta itu? Yang tadinya mau kejutan itu?” tanyaku ke forum.

“Kenapa emang Ya?” Anin mencoba bersuara, agar tetap involved di percakapan.
“Dia nangis, kegep ama gue”

“Oh...” Anin speechless dan dia menatapku dengan muka agak prihatin.

“Hmm” Stefan menghisap rokoknya dan membuang asapnya banyak-banyak, sambil menatap ke arah langit langit.

Aku memberikan senyum kecut ke mereka berdua, dan kembali ke urusan makan malam, walaupun aku dalam hati senang, karena mereka concern kepada apa yang kualami sekarang. Tentu saja terasa dari tatapan dan diamnya mereka. Mereka pasti sedang memilah-milah kata, untuk disampaikan kepadaku.

“Mungkin kasusnya seperti yang gue kasih tau ke elo di Jepang ya?”

“Mungkin” jawabku sambil menghela nafas. “Itu emang sifat dasar dia, terlalu banyak berkorban buat gue, dan kali ini, pengorbanan dia adalah dengan boong, dia bilang dia gak kenapa-napa, cuma ga enak badan aja… Mana ada gak enak badan mewek diem-diem gitu..” lanjutku.

“Hmm... Khas... Dia pasti gak mau elo jadi pusing gara-gara dia, padahal sebenernya elo jadi pusing kan? Klasik…. Terus elo diem dan ga bilang ke dia kalo elo lagi pusing, jadinya kalian sama-sama pura-pura ga ada masalah, padahal sebenernya ada masalah......” balas Stefan.

“Iya, dan itu juga gue belom tau masalahnya apa”

“Bisa aja homesick gak si Ya?” sela Anin.
“Bisa……..”
“Bisa juga kangen ama kakaknya” lanjut Anin.

“Yah paling mungkin sih hal-hal standar yang melankolis lah” Stefan menyambungkan kalimat-kalimat Anin jadi sebuah kesimpulan yang sederhana.

“Kalo gak sesimpel dua hal itu gimana?” tanyaku ke mereka berdua. “Kalo misal....”
“Misal apa?” potong Anin dengan penasaran.

“Biarin si kontol ngomong dulu Nyet, gimana sih…..” tegur Stefan sambil melemparkan kotak rokoknya ke Anin, mungkin juga supaya Anin jadi mengambil rokok dan ikut merokok, daripada penasaran gak jelas.

Dan Anin menurut. Dia mengambil sebatang rokok dan mulai membakarnya.

“Misal, dia sebenernya gak suka tinggal disini, tapi dipaksain, terus pas kegep, dia ga enak mau ngaku ke guenya gimana… makanya ga mau ngomong ama gue.... Mungkin aja dia mikir kalo gue tau alasan sebenernya dia nangis, gue bisa patah hati....”

“Masuk akal, gue juga pasti sedih sih kalo Zee bilang ke gue kalo dia gak mau dan gak suka tinggal di Indonesia”

“Kejauhan!” hardik Stefan ke Anin.

“Tapi yang dia bilang bener” aku tersenyum kecut ke arah Stefan. “Selain itu, gue juga mikir, mungkin dia ngerasa kebebasannya di renggut, sama dirinya sendiri, karena dia ninggalin pekerjaan dia di cafe keluarganya, dan sekarang dia ngerasa hidupnya nyampah karena cuman diem aja di rumah”

“Yang pasti dua hal itu mungkin, yang pasti juga, ga mungkin cuman sekadar kangen Jepang atau kangen kakaknya... Kalo gitu doang, dia bisa ngeluh dengan cara yang lebih baik, dibanding nangis... Nangis sendirian malem-malem itu bisa dibilang pertanda dia agak-agak hopeless...” Stefan meringis.

“Makanya, gue inget nyokap gue, dulu gue sering ngegep dia nangis, gara-gara bokap gue.... Dan gue paham penderitaannya..... Dia kesepian dan sakit karena tingkah bokap gue, tapi dia masih sayang dan ga mau ninggalin....”

“Jadi... Kyoko sayang banget sama elo, dan di satu sisi dia either ngerasa useless karena biasanya gawe jadi gak gawe, atau dia gak nyaman tinggal disini... Makanya galau, nangis, ga bisa curhat karena takut elo sakit hati” lanjut Stefan.

“Tapi kalo gue jadi dia, gue bakal ngomong gak sih ke laki gue?” tanyaku retoris. Entahlah, rasanya seperti retoris.

“Ya, inget kemaren kan, soal kasus maboknya Zee, dan imbas dari deketnya elo sama Kanaya… Si Kyoko itu baru bisa ngomong kalo dia ternyata gak suka sama elo yang terlalu ramah ama cewek aja….. kudu ada kejadian aneh-aneh dulu…”

“Mabok yang pas musim panas itu ya?” tanya Anin.

Mendadak aku dan Stefan saling berpandangan. Iya, Anin tidak tahu soal apa yang sebenarnya terjadi malam itu, bagaimana ulah Zee mencoba menerkamku yang menjadikan Kyoko datang dan mengeluh soal “Terlalu ramah” nya aku ke teman perempuan.

“Ah... Iya” jawabku dan Stefan, hampir bersamaan, kami berdua masih berusaha menutupi soal kejadian yang, ternyata, memiliki efek samping positif buat keberlangsungan hubungan Anin dan Zee.

“Nah, kembali ke topik utama” Stefan berusaha mengarahkan pembicaraan kembali ke jalurnya.
“Ya, yang gue butuhin itu, adalah ngebongkar problemnya sebenernya apa.... Biar gue tau juga, gimana mecahinnya....” lanjutku berkesimpulan.

“Ga bisa lo tanya-tanya pasti cewek model Kyoko mah, pasti ngehindar pake senyum, atau malah pura-pura ga ada apa-apa”
“Hebat bisa nebak” aku memuji Stefan, pengalamannya yang malang melintang bersama perempuan membuatnya mampu memetakan pemikiran perempuan dan semua aksi reaksinya seperti medan perang. Hanya di satu kejadian ia gagal, yakni di membaca arah pergerakan Chiaki, yang juga itu karena kesalahan dirinya sendiri.

“Elo tuh jago tapi bego juga sih ya Fan” ledek Anin, agak tidak pada tempatnya.
“Maksudnya apaan?” tanya Stefan dengan nada tak nyaman.
“Ya pengalaman elo banyak, tapi kemaren pas Chiaki kok susah dilaksanain, malah elo yang jadi bego”
“Kok jadi bahas gue, itu kan udah lewat” kesal Stefan ke si Manusia Gorila.

“Ya.... Abisnya...”

“Udah ah, bahas gue aja” aku tidak ingin mereka jadi saling ledek-ledekan lagi, baik serius maupun tidak serius, karena menurutku, urusan Stefan dan Chiaki sudah lewat.

“Bongkarnya ya.... Hmmm... dan gak bisa ditanya” Anin tampak berpikir keras, sambil menghisap rokok dalam-dalam.
“Susah Nin, kudu ada trick sendiri ngebongkarnya” Stefan menjawabkan untukku.
“Dan gak bisa didiemin lama, kalo kelamaan, ntar dia makin pusing, gue gak mau ada bom waktu di dalam kepala Kyoko, takut gue.....” lanjutku.

“Itu juga penting...” Stefan menunjukku dengan sebatang rokok baru, dan dia menyalakannya.

“Minta bantuan Ai?” tanya Anin.
“Masuk akal” jawab Stefan.

“Minta bantuan nyokap?” tanya Anin lagi.

“Hmm..........” aku menghela nafas panjang, dan membayangkan kemungkinan ibuku yang menolongku dalam kasus ini.

“Masuk akal banget sih, tumben pikiran lo lurus, biasanya isinya cuma robot ama Zee doang” puji Stefan ke Anin sambil meledek.
“Apa sih” kesal Anin.

Mama. Mungkin Mama bisa bantu? Dia pasti bisa membantuku, bagaimanapun caranya. Ya, mungkin Anin benar, Ibuku, yang jauh lebih banyak merasakan penderitaan hidup sebagai istri, pasti bisa, entah bagaimana caranya, membongkar apa yang ada dalam pikiran Kyoko. Setidaknya, asam-garam yang telah dialami ibuku jauh lebih pedih, dari apapun yang mungkin sekarang Kyoko alami.

Dan sekali lagi, setelah dulu ibuku jatuh bangun melindungiku dan Ai dari Ayahku, kini dia akan kuminta pertolongannya untuk melindungi Kyoko, dari perasaan tak enak yang mungkin ia rasakan, ataupun mencoba mengetahui apa yang ada di dalam kepala menantunya.

Sekarang, walaupun badanku ada di tempat ini bersama Anin dan Stefan, rasanya aku ingin menyusul pikiranku yang sudah jauh terbang ke hadapan ibuku.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
MDT SEASON 2 – PART 12

------------------------------

eco-dr10.jpg

Hari ini, tepatnya malam ini, aku diundang ke sebuah radio swasta yang studionya terletak di bilangan selatan Jakarta, tapi Jakarta yang sebelah situ, alias Tebet.

Dan ngomong-ngomong soal Arwen, gara-gara dialah aku diundang ke radio itu. Dia biasa memandu acara malam, yang dimulai dari pukul 21.00 sampai 23.00. Biasanya topik yang dibicarakan seputar macam-macam untuk menemani orang Jakarta beristirahat. Di hari ini, dia dan produsernya ingin membahas tentang aku.

Ya, aku. Arya. Yang akan jadi bahasan adalah soal bagaimana aku berkegiatan di dua jenis genre musik sekaligus. Rock dan Jazz. Lucu rasanya melihat postingan acara tersebut di Instagram, lengkap dengan foto diriku memeluk gitar.

Sekarang aku dan Kyoko ada di dalam mobil, di tengah keramaian Jakarta yang lumayan padat dan agak mengerikan di perjalanan dari Radio Dalam menuju ke Tebet, Kyoko tampak seperti tanpa masalah.

Penyebab tangisannya malam itu masih belum diketahui. Masih teringat di kepalaku, bagaimana ekspresi muka kagetnya, karena dia mungkin tidak menyangka kalau aku akan datang malam itu, bercampur dengan ekspresi suram akibat tangisannya. Dan aku belum angkat bicara lagi kepada dirinya, karena menunggu ibuku membongkar permasalahannya. Ya, aku terpaksa meminta tolong ibuku untuk problem ini.

Aku menyetir membelah kemacetan Jakarta sehabis maghrib sambil mengingat pembicaraanku dan ibuku tadi pagi.

--

“Kamu tau kan, kalau istri kamu itu ada kemiripan sama Mama?” tanya ibuku, dan lagi-lagi aku memanfaatkan waktu Kyoko berjogging mengelilingi komplek untuk curi-curi bicara.

“Iya, dia gak mau bagi-bagi bebannya sama orang lain” senyumku.

“Dan itu ada di dalam kita semua, Mama, Kamu, Ai, semuanya sama, saling tidak mau bagi-bagi beban, dan secara kebetulan Kyoko pun orangnya begitu, mama perhatikan, dia terlihat senang sekali kalau dia bisa kerjakan semua pekerjaan rumah sendirian…. Justru dia malah sangat tidak enak kalau Mama terjun lagi ke dapur, padahal Mama mau misal… Itu hal kecil, dan pasti ada hal besar, yang ganggu pikiran dia yang dia tidak mau bebani ke orang lain” senyum ibuku, yang dibalas oleh tarikan nafasku.

“Dan itu yang aku pengen tau Ma, aku susah nanyain dia, selalu ngehindar…. Atau mungkin caraku bicara sama dia salah?” tanyaku dengan tololnya.

“Tidak salah, tapi harus ada waktu yang tepat…. Dan kamu harus bisa tahu kapan dia mulai kelihatan down lagi….. Mama juga akan cari kesempatan untuk bicara sama dia” lanjut ibuku.
“Iya ma…”
“Mama juga sebenarnya bingung, gimana cara bicaranya, tapi mungkin nanti Mama ajak belanja bulanan berdua, sambil makan di luar, ngobrol soal kehidupan dia sekarang, mungkin dari sana Mama bisa nemu apa yang jadi indikasi permasalahannya….”

Aku mengangguk sambil menunduk. Tidak enak rasanya meminta tolong orang tua untuk menyelesaikan atau setidaknya membantu masalah yang menimpa istrimu. Bukankah istrimu adalah tanggung jawabmu?

“Dan kamu pasti sekarang mikir, kalau itu kan istri kamu, masa minta tolong Mama, ya kan?” senyumnya.

“Loh… Haha, Mama udah terlalu apal aku…”
“Tenang aja, Kyoko itu anak Mama juga. Dan mama sayang dia seperti Mama sayang kalian berdua, dan Masalah anak Mama kan masalah Mama juga”

Aku tersenyum simpul dan mengangguk.

--

Tidak berapa lama setelah pembicaraan itu terjadi, dalam hitungan menit, Kyoko sudah pulang ke rumah. Untung maksudku sudah tersampaikan, jadi tidak terpotong oleh kepulangan Kyoko.

“Macet ya Aya” ujar Kyoko, melihat mukaku yang agak kesal, karena kemacetan di Jalan Tendean, dimana pembangunan fly-over menambah kemacetan, membuatnya semakin menggila. Andai saja tidak harus membawa gitar, mungkin aku sudah meluncur dengan lancar menggunakan vespaku kesana. Tapi, aku ingin mengajak Kyoko dan mau tidak mau aku harus membawa gitar, memainkan beberapa lagu yang mungkin bisa dimainkan disana.

“Iya” jawabku, dan lagu mengumandang di radio, mencoba mengalahkan keramaian jalan jam segini di kota ini yang gini gini aja.

“Aya tampak sedang berpikir” tegur Kyoko. Aku hanya senyum.

Iya, mikirin kamu. Mikirin kenapa kamu nangis malem itu. Mikirin apa penyebabnya, dan kalau sudah ketemu jawabannya, aku pengen mikirin jalan keluarnya. Dan aku tidak mungkin menyuarakannya. Sudah menghindar berapa kali dia? Jadi sekarang, kalau dia terlihat ceria, aku merasa ia menutupi kenyataan yang ada di dalam pikirannya. Kenapa dia?

Kenapa harus kamu yang selalu menahan perasaan kamu? Kenapa kamu tidak bisa bicara saja, apa yang jadi permasalahannya? Kenapa kamu membuatku merasa bersalah?

Jujur, karena ada pembicaraan bersama Anin dan Stefan kemarin, aku jadi semakin merasa bersalah. Aku seperti menyalahkan diriku yang “mengambil” Kyoko dari Jepang, tempat dimana ia tinggal dengan nyamannya, dan menempatkannya di Jakarta yang keras ini. Selain itu, aku juga mengiyakan keinginannya menjadi ibu rumah tangga, yang menyebabkan dia kehilangan 50% dari kegiatannya sehari-hari di Jepang sana.

Ini yang kuhindari sebenarnya.

Aku berusaha menghindar dari pikiran seperti ini, sejak Stefan mewanti-wantiku soal hal seperti ini. Bagaimanapun Kyoko berusaha menjadi Istri yang sempurna. Istri yang tidak mengeluh, dan menyembunyikan keluhan, jika ada, di muka suaminya. Karena istri yang sempurna, mungkin menurut Kyoko adalah istri yang tidak membebani suaminya dan selalu siap untuk mengabdi.

Disini. Disini baru ketemu perbedaan budaya antara aku dan Kyoko. Dan ini mengganggu. Untungnya, dari semua alasan yang ada, aku sudah bisa menyangka kalau aku bukanlah penyebabnya, tapi hal lain. Tapi walaupun aku bukan penyebabnya, tentu aku ingin sekali bertanggung jawab atas kepusingan di kepalanya itu.

Dan ini baru awal, usia pernikahan baru dua bulan lebih. Pokoknya, lewat usahaku sendiri, ataupun bantuan ibuku, aku akan menemukan apa yang mengganggu pikirannya.

--------------------------------------------

adobes10.jpg

“Kenapa anak ini ada disini?” tanyaku ke sosok yang tak asing lagi, yang sedang menclok di sebuah kursi panjang di area halaman studio radio tersebut.

Kami berdua menatap Stefan yang sedang duduk santai, merokok sambil menggoyang-goyangkan kakinya.

“Jangan bilang lo ada rapat di deket-deket sini, terus lo mampir abis beres rapat” sambungku.
“Salah” jawab Stefan. “Gue kesini karena emang gue pengen kesini, nyemot”

“Jam segini?” Ini biasanya lo baru sampe studio kalo latihan, berangkat jam berapa lo dari kantor?” tanyaku, menyelidiki kenapa akhir-akhir ini Stefan bisa ada dimana mana kapan saja.
“Karena lagi ga ada kerjaan, dan gue naek gojek, puas gak lo?”

“Eh halo…. Wah, ada Mas Stefan juga?” sapa Arwen, yang baru keluar dari dalam, menegur Stefan.
“Halo Arwen” senyum Stefan sambil berdiri, bersalaman dengan sang penyiar radio yang dandanannya hari ini terlihat segar dan sporty ini.

“Dan Mas Arya dan Mbak Kyoko…. Duh, maaf, kok tadi malah nyapa Mas Stefan duluan…” Arwen menghampiriku dan menyalamiku, diiringi oleh senyumnya yang kecil itu.

“Hai… Halo” jawab Kyoko. Arwen dan Kyoko lantas saling bersalaman, cepika cepiki ala perempuan-perempuan Indonesia.

“Wajar kalo lo nyapa dia duluan, soalnya unik banget dia ada disini….” tawaku.

Arwen lantas tersenyum kecil dan mempersilahkan kami bertiga masuk. Ada beberapa orang lain yang tidak kukenali di dalam sana. Yang pasti mereka adalah kru radio. Mereka mempersilahkan Kyoko dan Stefan untuk duduk manis di sofa yang ada di ruang tunggu, dan salah satu dari mereka meminta gitarku untuk disetting dan disambungkan ke perangkat audio yang ada di studio agar nanti aku bisa memainkan gitarku saat siaran.

Setelah Kyoko duduk di kursi sebelah Stefan, aku lantas memberikan gitarku ke salah seorang kru yang tadi. Nanti kebanyakan orang Jakarta akan mendengarkan aku bermain kecapi inggris itu di radio.

Aku lantas berjalan, menghampiri Stefan dan Kyoko. Aku duduk di sebelah Kyoko.

“Tempatnya menarik ya, Aya” dia memperhatikan seluruh bagian dari ruang tunggu tersebut.
“Namanya juga stasiun radio, sayang” jawabku sambil menatap ke arah Arwen yang tampaknya sedang briefing untuk siaran. Seseorang yang tidak kukenal tampak sedang menyetting peralatan yang digunakan untuk broadcast suara mereka dan aku nantinya ke jagat maya.

Tapi mataku tidak bisa lama-lama teralihkan dari Kyoko.

Saat ini, aku tidak bisa menghilangkan pikiran buruk di kepalaku soal dirinya. Soal hal-hal buruk yang jadi penyebab tangisannya. Walaupun tidak ada hal baru yang bisa kupikirkan, tapi kepalaku berputar-putar terus di sana. Pasti bosan apabila aku ulang-ulang terus apa saja yang mungkin jadi penyebab Kyoko menangis. Aku pun sudah bosan memikirkannya. Ingin rasanya langsung bertanya dengan memaksa, agar pikiran buruk ini tidak berlarut-larut. “Sebenarnya kenapa sih kamu waktu itu nangis, please bilang”.

Pertanyaan yang aku ulang-ulang pada malam itu, dan beberapa kali aku coba tanyakan di malam hari, sebelum kami berdua tidur. Tapi jawabannya mentok. Dia tidak menjawab dengan jujur. Hanya berputar di pusing, tidak enak badan dan lain-lain.

Ayolah, kalau pusingnya sampai menangis, itu tandanya sakitnya sudah tidak tertahankan lagi. Dan aku tidak melihat Kyoko sedang menderita sakit fisik yang sebegitunya sampai dia harus mencucurkan air mata untuk menahannya. Pasti sakit di dalam hati atau pikirannya.

Sampai-sampai aku berpikir kalau ide dia menjadi WNI adalah ide omong kosong belaka. Ide yang sebelum menikah terdengar baik, tapi kalau sekarang, kalau memang dia kangen, atau tidak nyaman tinggal di Indonesia, pulang ke Jepang sementara waktu adalah opsi yang baik. Tentu proses pindah kewarganegaraannya akan terganggu, tapi setidaknya pulang akan menentramkan hatinya. Setidaknya itu yang aku pikirkan sekarang.

Ah sumpah, tidak nyaman rasanya, jika kita tidak mengetahui akar dari masalah yang ingin kita pecahkan.

--------------------------------------------

radio-10.jpg

“Mungkin banyak pertanyaan dari banyak orang, terutama fans nya Hantaman, kok bisa sih Arya itu gitaris Jazz juga?” tanya Arwen kepadaku saat kami mengudara.
“Sebenernya…. Gue bisa dibilang perkenalan sama musik itu lewat Jazz dulu” jawabku.

Suaraku saat ini pasti tidak hanya didengarkan oleh Arwen dan orang-orang yang ada di tempat ini saja. Tapi juga oleh orang-orang yang mendengarkan radio ini.

“Dan gak banyak orang yang tau sejarahnya Arya main musik kan?” sambung Arwen, memancing sejarahku lebih dalam lagi.

“Jadi, gue pada awalnya emang gak kebayang sama sekali untuk main musik rock. Gue dari SMA, memang sudah suka manggung sama Anin…. Iya, kita satu SMA, tapi waktu itu cuma sebatas bantuin kalo gitaris band-nya dia berhalangan atau buat acara pensi doang….. Makanya waktu Kuliah, pas dia ngajakin gue buat serius main musik sebagai gitaris rock, gue agak-agak dilema” jelasku panjang.

“Dilemanya gimana?”
“Karena gue takut gak bisa main Jazz lagi, dan apakah permainan gitar gue sesuai gak pakemnya sama musik rock? Sedangkan gue mulai serius belajar gitar dari remaja sampe kuliah, gak sekalipun nyentuh musik rock secara serius…. Pas sekolah gue belajar klasik, pas kuliah mendadak keracun sama Jazz, entah darimana kesambetnya, sampe gue beraniin diri belajar ke salah satu maestro gitar Jazz…..”

“Which is?” Arwen memancingku untuk bercerita lebih dalam, walaupun mungkin dia sudah tahu jawabannya.

“Jaya Tejasukmana, atau yang biasa kita semua panggil Om Jaya, belajar disana baru setahun jalan ke dua, eh diajakin sama Anin buat ngeband permanen…. Terus gue bisa apa, hahaha…. Akhirnya gue nanya ke Om Jaya, bisa gak, gitaris jazz main konsisten di musik rock… Walaupun gue tahu jawabannya pasti bisa…” lanjutku.

“Seperti layaknya Alex Scolnick di Testament, Andy Sumners nya Police, atau yang dari negeri kita sendiri kan, juga banyak ya…” sambung Arwen.
“Dan mendadak jadi Arwen yang lanjutin omongannya gue” tawaku.

Kami tertawa dan aku melirik sejenak ke kumpulan tempat duduk yang letaknya tidak jauh dari ruangan yang kami pakai untuk siaran. Dari balik kaca, Kyoko, Stefan dan beberapa orang lainnya tampak dengan seksama menyimak pembicaraan kami.

“Jadi, gimana jawabannya Om Jaya waktu itu?”
“Dia bilang gapapa, malah bagus, tapi dia punya satu syarat, yaitu, jangan sampe gue putus les di dia….”

“Dan habis itu, malah karir musik di rock meningkat kan?”
“Ya, dia yang terus-terusan semangatin gue, dan waktu gue kasih denger album pertama Hantaman ke dia, dia cuma ketawa tanpa komentar apa-apa lagi. Dia gak bilang itu bagus atau jelek, tapi dari ekspresi mukanya entah kenapa dia keliatan puas…”

Lucu rasanya, semua kisahku dalam bermusik dibongkar dan dibahas satu persatu. Rasanya seperti nostalgia. Terutama pada bagian belajar ke Om Jaya. Rasanya menyenangkan waktu itu. Dia seperti ayah yang tidak pernah kupunya. Dia selalu memarahiku kalau aku malas latihan, memujiku dengan aura yang agak meledek, dan lain-lainnya, dimana semuanya terasa sangat hangat.

“Oke, sebelum Arya bakal mainin satu lagu buat kita, kita coba bacain twit**ter yang udah masuk yak” lanjut Arwen.

“Dari akun twit**ter @ajad20101, dia nanya nih, kalau Arya di panggung main jazz sama rock, yang didengerin sehari-hari musik apa biasanya? Hahaha, personal banget pertanyaannya” tawa Arwen, membacakan pesan-pesan yang masuk lewat twit**ter untukku.

“Jawabannya simple sebenernya, selain musik yang gue kerjain sebagai produser atau musik gue sendiri, musik yang gue dengerin ya musik yang ada di radio…” jawabku dengan mudahnya.

“Musik di radio itu kayak….” Arwen tampak mencoba menggali pembicaraanku dengan lebih dalam.
“Semuanya, One Direction sekalipun, apapun yang lewat di radio, mau apapun genrenya pasti gue dengerin tanpa kecuali” lanjutku.

“Gak ngotak-ngotakin musik ya?” sambung Arwen.
“Gak usah lah ngotak ngotakin musik, musik kan cuman dua jenisnya, musik enak sama musik gak enak, udah itu aja….” Tawaku.

“Tapi jadi penasaran, kalo di musik pop sendiri favoritnya siapa?”
“Gue? Hmmm….” Aku mendadak melirik ke arah Kyoko dan tersenyum.

“Tatsuro Yamashita sih…..”

“Jadul amat seleranya hahaha” komentar Arwen.
“Tapi lagu-lagunya enak semua lho… Ya gak?”
“Tetep aja jadul”

“Ga peduli” aku menjawab sambil tersenyum ke Kyoko dan melihatnya tertawa tanpa suara. Dia pasti mendengar suaraku dari pengeras suara yang ada di ruang tunggu. Ah, andaikan semua tawa dan senyumnya itu bisa menghilangkan penyebab tangisnya waktu itu. Penyebab tangis yang sampai sekarang aku masih memikirkannya, bahkan di tengah wawancara radio seperti ini, kepalaku terus bermain-main, memperkirakan sebenarnya apa yang terjadi di dalam kepala Kyoko.

“Anu, ini twit terakhir ya sebelom Arya main buat kita semua….” Arwen tampak memperhatikan layar komputer lalu ia tersenyum. “Ini pertanyaan pribadi banget ya…. Hahahaha”

“Apaan sih?” aku jadi penasaran dibuatnya.

“Haha, ini terserah Arya sih mau jawab apa enggak, kok mendadak ada orang nanya, Kak Arya kok bisa nikah sama istri yang beda negara gimana ceritanya….”

Aku tertawa tanpa suara, sambil melirik ke Kyoko yang tampaknya juga mendengar pertanyaan itu. Aku ingin menjawabnya dengan antusias, tapi pertanyaan itu seakan mengingatkanku bahwa ada masalah yang belum beres di Kyoko. Masalah yang sampai sekarang aku belum mengetahui apa penyebabnya.

“Ah, itu namanya jodoh ya, ga ada yang bisa ngatur, tau-tau muncul sendiri” jawabku berdiplomatis sambil tersenyum.
“Tapi emang gak semua orang yang liburan ke Jepang bisa balik-balik bawa pacar atau istri sih” sambung Arwen.

“Iya lah, gue kan waktu itu niatnya cuman liburan, semacam bertapa musik dan nyobain Jam Session di beberapa Jazz club atau café disana, tapi malah nyangkut sama istri tercinta, emang ga bisa ditebak kalo nasib tu yah….” Lanjutku, dengan sedikit menceritakan kejadian pertemuan dengan Kyoko ke para pendengar.

“Eh tapi, emang susah gak sih dulu maintin jarak sama your wife to be?” tanya Arwen mendadak.
“Kalo orang udah saling suka, jangan beda Jepang ama Indonesia, beda Bumi ama Jupiter aja dijabanin kali” jawabku.

“GOMBAL BANGSAT!!!” teriak Stefan dengan keras, terdengar sampai kesini, membuat aku dan Arwen sampai menahan tertawa. Mudah-mudahan suaranya tidak sampai mengudara.

“Ngomong-ngomong, kok jadi bahas pernikahan gue sih, jangan malah mendadak jadi radio gosip gini” lanjutku.
“Kan suka-suka penyiarnya dooong” balas Arwen.
“Kalo gitu karena gue tamunya, gue suka-suka juga gapapa?” balasku lagi.

“Gapapa, jadi silakan, pintu keluar sebelah sana” tunjuk Arwen ke sebuah pintu, pura-pura mengusirku dalam tawanya.“ Tapi sebelum diusir, kita suruh main gitar dulu ya, kan tadi udah dibilang abis bacain twit**ter, kan mau main gitar….” Arwen berusaha untuk play along dengan becandaan yang dia buat sendiri.

“Yaudah, kuambil gitar, dan mulai kumainkan~” aku bangkit sejenak, mengambil gitarku sambil dengan bercanda menyanyikan lagu Slank yang legendaris itu.

“Jadi, malem ini, lagu pertamanya apa?” tanya Arwen, sebelum aku mulai bermain.
“Nah itu dia, gue terserah deh suruh main apa”
“Lagu Jazz yang pasti…”

“Lagu Jazz apa tapi, kan ada jutaan judulnya….” Lanjutku dengan nada pura-pura kesal.

“I Remember Clifford, gimana?” mendadak Arwen memecah kebuntuan atas lagu apa yang harus kumainkan. Wah, pengetahuan soal musiknya luas juga.
“Hmm… Agak-agak lupa sih…. Ngeraba-raba sedikit gapapa ya?”

“Oke deh, biar gak lama nunggunya, berikutnya kita dengerin Arya Achmad, memainkan lagu karya Benny Golson, I Remember Clifford” ujar Arwen, menutup sesi di menit itu, dan mempersilahkan aku bermain gitar.

“Oke, I Remember Clifford” bisikku ke microphone, dan tepuk tangan dari semua orang yang hadir di lokasi mengiringi lagu ini.


------------------------------

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
makiin penasaran ama nih cerita tanpa si dia wkwk
lanjut dah om, sambil nunggu kelanjutan s2 nya, ane ijiin baca ulang s1 nya ama okasan :ampun:
 
Woow baru baca lagi, tetep ga bikin bosen ceritanya. Terima kasih suhu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd