------------------------------
“Sayang, kenapa?” tanyaku penasaran, sambil naik ke atas kasur dengan mendadak, berusaha mendekatinya.
Di luar dugaan Kyoko menahan badanku dan tersenyum.
“Tidak Aya, daijobu…. tidak kenapa-kenapa….” jawabnya sambil dengan buru-buru menghapus garis air mata di pipinya.
“Kenapa kamu? Kangen sama aku”
“Kyoko selalu kangen sama Aya… Daijobu Aya… Kenapa tiba-tiba pulang sekarang?” Kyoko bertanya kepadaku, entah apakah karena ia benar ingin bertanya ataukah dia hanya ingin perhatianku teralihkan.
“Kamu kenapa?”
“Tidak Aya, Ano… Bagaimana tadi show nya?” dengan jelas terlihat matanya sembab dan hidungnya memerah. Mukanya terlihat lemas.
“Kamu kangen sama Jepang?”
“Tidak Aya…”
“Kangen sama Nii-san?” Ya, mungkin saja dia rindu kepada kakaknya.
“Aya Kyoko tidak kenapa-napa…..”
“Jangan bohong…. Bilang sama aku kamu kenapa……. Aku pasti bisa bantu.. Aku kan suami kamu..”
“Kyoko agak pusing mungkin Aya, agak tidak enak badan…”
Dengan spontan aku memegang lehernya dan membandingkannya dengan suhu leherku. Normal. Biasa saja. Aku tidak merasakan sedikitpun rasa hangat atau panas dari tubuhnya.
“Kamu gak panas tapi……. beneran pusing?” tanyaku.
“Hai… Mochiron…” jawabnya dengan senyum yang dipaksakan.
“Sayang, kan sudah aku bilang, kalo kamu kenapa-napa, bilang kan sama aku harusnya?”
“Iya Aya, tapi Kyoko betul tidak kenapa kenapa… Nani mo nai….” jawabnya dengan gesture hangat yang agak dipaksakan. Entah kenapa rasanya tidak seperti biasanya. Dan jujur, aku sangat kaget malam ini. aku tidak mengharapkan akan menemukan istriku menangis sendirian tengah malam pada saat dimana harusnya aku tidak ada di rumah.
“Kyoko… Beneran deh… Kamu kenapa? Apa yang bikin kamu nangis?”
“Kyoko tidak menangis, Aya…” Dia mendadak berusaha maju dan memelukku.
Aku menyambutnya dengan perasaan yang masih tertahan. Di dalam kepalaku berkecamuk banyak pertanyaan. Kenapa ia menangis? Apakah benar karena pusing dan tidak enak badan? Tapi kalau sakit fisik sampai menangis, rasanya haruslah sakit fisik yang luar biasa tidak nyamannya, dan gerakan badannya tidak mengindikasikan hal tersebut. Apakah dia kangen padaku? Tapi kalau dia kangen padaku, tidak mungkin ia menangis kalau ditinggal hanya semalaman saja. Sedangkan kami sudah terbiasa hidup saling berjauhan dan baru bisa bertemu beberapa bulan sekali, sebelum menikah dulu.
Ataukah ia rindu akan Jepang? Masuk akal, tapi dia terlihat sangat bahagia disini.
Aku memeluknya dan dia masuk ke dalam pelukanku, dan aku masih terbius oleh pertanyaan yang berkecamuk di kepalaku itu. Ada apa istriku?
"Sayang...." bisikku
"Aya, Kyoko tidak apa-apa, dan terimakasih sudah pulang lebih awal…" bisiknya membalas perkataanku.
"Serius kamu tidak apa-apa?"
Dia hanya mengangguk dan aku terpaksa memperbaiki posisi badanku. Aku duduk, meluruskan kakiku dan bersandar di atas kasur. Sendangkan Kyoko memilih untuk tiduran dan menggunakan pahaku sebagai bantal. Kami terdiam, dan suara keheningan malam tampaknya jauh lebih keras terdengar daripada dialog antara kami berdua. Kyoko entah kenapa mendadak tertidur, atau setidaknya berusaha untuk tidur di atas pahaku. Detik ini dia terlihat menghindar dari perbincangan panjang yang mungkin terjadi.
Aku menarik nafas, melihat dirinya dan membiarkannya terlelap. Atau membiarkan ia memaksakan dirinya terlelap.
Dan aku sudah tidak bisa lagi memaksanya untuk menjelaskan. Pertama, sedang mencoba tidur atau pura-pura tidur di atas pahaku. Kedua, ia terus-terusan menghindar dari semua pertanyaan yang ada. Dan mungkin dia akan menghindar terus, sehingga sejuta kemungkinan jawaban berkecamuk di kepalaku.
Jawaban jawaban yang ingin kutemukan, baik cepat atau lambat.
--------------------------------------------
"Apa mas bilang?" bisik Ai pagi itu. Aku sengaja menyelinap ke kamar adikku, di jam Kyoko pergi jogging. Aku tidak bisa tidur malam itu, karena terus-terusan melihat Kyoko yang tidur ataupun pura-pura tidur di atas pahaku.
"Dia nangis, dan gak mau jawab apapun pas aku tanya kenapa...." aku menghela nafas sambil duduk di bawah, di karpet di kamar adikku. Mataku rasanya berat, tapi kepala ini terasa jauh lebih berat karena memikirkan Kyoko.
"PMS?"
"Gak segitunya dia kalo lagi PMS...."
"Kangen Jepang kali, wajar kan kalo kangen sama Jepang?" tanya Ai menyelidik.
"Udah aku tanya tapi dia bilang enggak..."
"Ya bukan berarti dia gak kangen kan Mas?"
"Iya sih........"
Aku lantas menjatuhkan diriku dan berbaring di atas karpet.
"Tapi kenapa dia gak bilang ya? Harusnya dia kan bilang kalo emang kangen ama Jepang, mungkin bisa aku tenangin, mungkin bisa ngobrol supaya perasaannya lebih tenang... Atau apapun lah" tanyaku tanpa arah.
"Itu aku gak tau sih, cuman mungkin.... Dia ga mau bikin Mas yang semalem capek jadi tambah capek kali?"
"Tapi pas kemaren dia jalan keluar makan siang sama kamu, ada tanda-tanda dia lagi banyak pikiran atau lagi down gak?"
"Aku gak bisa bilang, keliatannya sih biasa-biasa aja, ya siapa tau emang biasa-biasa aja pas siang…. Terus pas malem karena sepi lantas kepikiran, atau bisa juga dia pura-pura biasa-biasa aja selama ini, kita kan gak tau........." jawab Ai panjang.
"Ya, mesti aku bongkar sih kenapa-napanya.... Aku penasaran soalnya, bukan apa-apa, penasaran banget........ Dan aku juga ga mau dia punya pikiran yang ngebebanin dia..." lanjutku sambil menatap ke langit-langit.
"Kalau butuh bantuanku mas..." potong adikku.
"Iya.."
Di mulut aku menjawab iya, tapi kita semua sudah tahu bahwa harusnya seorang suamilah yang menyelesaikan masalah yang mungkin mengganggu istrinya. Dan terus terang, semalam itu, aku tidak bisa menebak sama sekali apa yang ada di pikiran Kyoko. Dia yang setiap hari terlihat ceria dan terlihat bahagia, dalam pemikiranku, tidak mungkin bisa memendam sebuah pikiran yang mengganggu, sampai harus menangis.
Ada beberapa hal yang mungkin jadi penyebab. Yang pasti bukan aku atau keluargaku. Aku sudah menjaga ramah-tamahku dengan perempuan lain, tidak seluwes dulu. Yang paling mungkin adalah kangen terhadap kakaknya, ataupun kangen Jepang.
Bagaimana tidak, dia sekarang sudah dua bulan lebih, mau jalan tiga bulan, hidup di Indonesia, yang jauh lebih tidak nyaman dibandingkan dengan Jepang. Disana segalanya teratur dan mudah. Disini, kalau dibandingkan dengan disana, bagi orang Jepang yang biasa tinggal di Jepang, mungkin menjadi beban. Beban yang mungkin berat. Dan aku tidak pernah mendengar ia mengeluh. Dia selalu menjalani hari-hari sebagai ibu rumah tangga dengan aura yang nyaman dan menenangkan.
Ataukah karena dia sekarang adalah ibu rumah tangga? Aku pernah mendengar beberapa kasus, tentang wanita karir yang menjadi ibu rumah tangga ketika menikah, mengalami stress karena kehidupan pasca menikah sangat jauh berbeda dengan ketika waktu dia masih bekerja dulu.
Dan kasus Kyoko mirip. Dia yang sehari-hari aktif mengelola cafe dari pagi sampai malam, kini hanya menjadi ibu rumah tangga, yang praktis kegiatannya cuma masak di pagi hari, masak di sore hari, dan mengurus hal-hal rumahan lainnya. Hal-hal yang biasa dia urus di Jepang sana, sambil sibuk mengurus cafe. Jadi bisa dikatakan, kegiatannya hilang sebanyak 50%.
Jadi, sebenarnya kalau dipikir-pikir lagi, banyak faktor yang menyebabkan tangisan Kyoko semalam jadi masuk akal.
“Mas” tegur Ai mendadak di tengah lamunanku.
“Ya?” jawabku kaget, sambil mencoba bangkit dari karpet.
“Aku gak tau apa dia bisa ngaku sama Mas secepat itu, kenapa sebabnya dia nangis semalem, tapi kalo Mas butuh bantuanku, entah apapun, aku udah pasti siap ngebantu” senyum adikku kepadaku.
Aku hanya membalas senyumannya, sambil mencoba memecahkan misteri ini.
--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------
Malam itu, beberapa hari setelahnya, aku sedang makan malam di luar, setelah rapat dengan perwakilan dari sebuah produk bir. Untuk beberapa album ke depan yang di produksi oleh label kami, sepertinya mereka tertarik untuk menjadi sponsor. Tapi mereka mau lihat sejauh mana label kami dapat menjual Speed Demon terlebih dahulu.
Aku, Anin dan Stefan makan dalam diam, setelah pembicaraan panjang lebar yang menarik, serta semua hitung-hitungan bisnis yang benar-benar dikuasai oleh Stefan. Orang ini pintar sekali kalau suruh bicara soal uang dan prospek bisnis. Mungkin karena hampir setiap saat dia harus bisa menjual majalahnya kepada produk-produk yang ingin ber-iklan.
“Gimana kabar Zee?” tanyaku ke Anin, membuka pembicaraan malam itu.
“Baik, tumben nanya” Anin menyambut pertanyaanku dengan sumringah. Tentu saja, ini adalah pacar pertamanya dan ia ingin agar perempuan ini jadi pacar terakhirnya.
“Gapapa, inget aja”
“Ngomong-ngomong, apa kabar si Arwen ya?” tanya Stefan dengan nada meledek, menanyakan kabar orang lain yang sudah lama tak kulihat batang hidungnya.
“Aduh, jangan nanya yang aneh-aneh deh... Gue lagi agak pusing akhir-akhir ini”
“Oh mendadak curhat colongan, pasti masalah keluarga” senyum Stefan, sambil memasukkan makanan ke dalam mulutnya, dengan nada yang menyelidik.
“Siapa yang curhat colongan bego, masa gak pusing, orang baru kawin, ada penyesuaian, abis gitu mendadak ngurusin bisnis begini pula, kalo dulu kan gue taunya cuma main gitar, terus ngedit, terus produserin, sekrang kudu mikirin unit usaha.............”
“Ditambah mikirin album solo yang ga kelar-kelar” ledek Stefan lagi.
“Ga mungkin kelar dalam waktu dekat, quartet gue aja baru main sekali........”
“Tapi keren sih, elo banget rasanya” lanjut Stefan.
“Thanks”
“Sayang gue gak nonton” sambung Anin.
“Ntar kalo tampil lagi lo tonton dah” balasku sambil berharap itu akan terjadi dalam waktu dekat.
Anin mengiyakan dan dia kembali makan. Stefan ternyata memperhatikan air mukaku.
“Gue udah liat ini dari tadi dan kemaren-kemaren pas latihan sih, tapi elo mukanya setelah kita manggung di Bandung kok keliatan lemes gitu?” tanya Stefan.
“Lagi ga enak badan ya? Jangan lupa bentar lagi kan bulan puasa.... Dan pas bulan puasa ini lo malah sibuk ngurusin teknis rekamannya Speed Demon yak?” sambung Anin.
“Sehat kok gue”
“Sehat secara fisik, secara mental enggak kayaknya, mukanya ditekuk gitu tadi, ketangkep selingkuh ama Kyoko ya?” goda Stefan.
“Mana mungkin gue selingkuh”
“Jangan ngomong mana mungkin, entar dikutuk ama dewa cinta” ledek Stefan.
“Jijik amat dewa cinta” balasku geli.
“Bagusan dewa gue dong, Dewa Kontol.... Mau sembah dia Ya?”
“Gak lucu”
“Haha” tawa Anin, entah menertawakan jokes Stefan yang garing, atau mungkin malah menertawakan situasi yang terjadi sekarang. Entah apa yang perlu ditertawakan. Tapi memang rasanya lucu. Rasa makanan agak-agak tidak nyaman di lidahku. Kalau saja rapatnya selesai ketika maghrib, dan tidak berlarut-larut sampai jam segini, mungkin aku sudah makan di rumah. Mau sepusing apapun, tetap saja makanan Kyoko jauh lebih enak daripada semua makanan yang pernah kurasakan di dunia ini. Iya, itu subjektif.
“Tapi lo emang lagi pusing kan Nyet? Wajar sih, orang baru kawin, pasti banyak problem yang ga keliatan di luar rumah sama kita-kita” tebak Stefan.
“Hah... Gitu deh” aku malas menjawab, dan lebih memilih untuk mencari jawabannya sendiri atas kepusingan yang sedang kualami ini.
“Boleh nebak?” tanya Stefan.
“Bebas” jawabku pendek, pelan, singkat, padat dan tidak jelas.
“Kyoko pasti nih.... Pasti dia galau-galau sendiri, terus lo mikirin apa penyebabnya, atau kalaupun lo udah tau gimana penyebabnya, pasti lo bingung gimana mecahin masalahnya” tawa Stefan sambil menyudahi makannya, meminum sedikit minumannya dan menyalakan rokok. Semua itu ia lakukan dalam gerakan singkat dan cepat.
“Tokai” jawabku. Anin tidak berani bersuara, mungkin dia sadar posisinya, sebagai pecinta amatir.
“Bener pasti”
“Bukan cuman bener.... Lo tau kan malem dimana gue balik ikut lo ke Jakarta itu? Yang tadinya mau kejutan itu?” tanyaku ke forum.
“Kenapa emang Ya?” Anin mencoba bersuara, agar tetap involved di percakapan.
“Dia nangis, kegep ama gue”
“Oh...” Anin speechless dan dia menatapku dengan muka agak prihatin.
“Hmm” Stefan menghisap rokoknya dan membuang asapnya banyak-banyak, sambil menatap ke arah langit langit.
Aku memberikan senyum kecut ke mereka berdua, dan kembali ke urusan makan malam, walaupun aku dalam hati senang, karena mereka concern kepada apa yang kualami sekarang. Tentu saja terasa dari tatapan dan diamnya mereka. Mereka pasti sedang memilah-milah kata, untuk disampaikan kepadaku.
“Mungkin kasusnya seperti yang gue kasih tau ke elo di Jepang ya?”
“Mungkin” jawabku sambil menghela nafas. “Itu emang sifat dasar dia, terlalu banyak berkorban buat gue, dan kali ini, pengorbanan dia adalah dengan boong, dia bilang dia gak kenapa-napa, cuma ga enak badan aja… Mana ada gak enak badan mewek diem-diem gitu..” lanjutku.
“Hmm... Khas... Dia pasti gak mau elo jadi pusing gara-gara dia, padahal sebenernya elo jadi pusing kan? Klasik…. Terus elo diem dan ga bilang ke dia kalo elo lagi pusing, jadinya kalian sama-sama pura-pura ga ada masalah, padahal sebenernya ada masalah......” balas Stefan.
“Iya, dan itu juga gue belom tau masalahnya apa”
“Bisa aja homesick gak si Ya?” sela Anin.
“Bisa……..”
“Bisa juga kangen ama kakaknya” lanjut Anin.
“Yah paling mungkin sih hal-hal standar yang melankolis lah” Stefan menyambungkan kalimat-kalimat Anin jadi sebuah kesimpulan yang sederhana.
“Kalo gak sesimpel dua hal itu gimana?” tanyaku ke mereka berdua. “Kalo misal....”
“Misal apa?” potong Anin dengan penasaran.
“Biarin si kontol ngomong dulu Nyet, gimana sih…..” tegur Stefan sambil melemparkan kotak rokoknya ke Anin, mungkin juga supaya Anin jadi mengambil rokok dan ikut merokok, daripada penasaran gak jelas.
Dan Anin menurut. Dia mengambil sebatang rokok dan mulai membakarnya.
“Misal, dia sebenernya gak suka tinggal disini, tapi dipaksain, terus pas kegep, dia ga enak mau ngaku ke guenya gimana… makanya ga mau ngomong ama gue.... Mungkin aja dia mikir kalo gue tau alasan sebenernya dia nangis, gue bisa patah hati....”
“Masuk akal, gue juga pasti sedih sih kalo Zee bilang ke gue kalo dia gak mau dan gak suka tinggal di Indonesia”
“Kejauhan!” hardik Stefan ke Anin.
“Tapi yang dia bilang bener” aku tersenyum kecut ke arah Stefan. “Selain itu, gue juga mikir, mungkin dia ngerasa kebebasannya di renggut, sama dirinya sendiri, karena dia ninggalin pekerjaan dia di cafe keluarganya, dan sekarang dia ngerasa hidupnya nyampah karena cuman diem aja di rumah”
“Yang pasti dua hal itu mungkin, yang pasti juga, ga mungkin cuman sekadar kangen Jepang atau kangen kakaknya... Kalo gitu doang, dia bisa ngeluh dengan cara yang lebih baik, dibanding nangis... Nangis sendirian malem-malem itu bisa dibilang pertanda dia agak-agak hopeless...” Stefan meringis.
“Makanya, gue inget nyokap gue, dulu gue sering ngegep dia nangis, gara-gara bokap gue.... Dan gue paham penderitaannya..... Dia kesepian dan sakit karena tingkah bokap gue, tapi dia masih sayang dan ga mau ninggalin....”
“Jadi... Kyoko sayang banget sama elo, dan di satu sisi dia either ngerasa useless karena biasanya gawe jadi gak gawe, atau dia gak nyaman tinggal disini... Makanya galau, nangis, ga bisa curhat karena takut elo sakit hati” lanjut Stefan.
“Tapi kalo gue jadi dia, gue bakal ngomong gak sih ke laki gue?” tanyaku retoris. Entahlah, rasanya seperti retoris.
“Ya, inget kemaren kan, soal kasus maboknya Zee, dan imbas dari deketnya elo sama Kanaya… Si Kyoko itu baru bisa ngomong kalo dia ternyata gak suka sama elo yang terlalu ramah ama cewek aja….. kudu ada kejadian aneh-aneh dulu…”
“Mabok yang pas musim panas itu ya?” tanya Anin.
Mendadak aku dan Stefan saling berpandangan. Iya, Anin tidak tahu soal apa yang sebenarnya terjadi malam itu, bagaimana ulah Zee mencoba menerkamku yang menjadikan Kyoko datang dan mengeluh soal “Terlalu ramah” nya aku ke teman perempuan.
“Ah... Iya” jawabku dan Stefan, hampir bersamaan, kami berdua masih berusaha menutupi soal kejadian yang, ternyata, memiliki efek samping positif buat keberlangsungan hubungan Anin dan Zee.
“Nah, kembali ke topik utama” Stefan berusaha mengarahkan pembicaraan kembali ke jalurnya.
“Ya, yang gue butuhin itu, adalah ngebongkar problemnya sebenernya apa.... Biar gue tau juga, gimana mecahinnya....” lanjutku berkesimpulan.
“Ga bisa lo tanya-tanya pasti cewek model Kyoko mah, pasti ngehindar pake senyum, atau malah pura-pura ga ada apa-apa”
“Hebat bisa nebak” aku memuji Stefan, pengalamannya yang malang melintang bersama perempuan membuatnya mampu memetakan pemikiran perempuan dan semua aksi reaksinya seperti medan perang. Hanya di satu kejadian ia gagal, yakni di membaca arah pergerakan Chiaki, yang juga itu karena kesalahan dirinya sendiri.
“Elo tuh jago tapi bego juga sih ya Fan” ledek Anin, agak tidak pada tempatnya.
“Maksudnya apaan?” tanya Stefan dengan nada tak nyaman.
“Ya pengalaman elo banyak, tapi kemaren pas Chiaki kok susah dilaksanain, malah elo yang jadi bego”
“Kok jadi bahas gue, itu kan udah lewat” kesal Stefan ke si Manusia Gorila.
“Ya.... Abisnya...”
“Udah ah, bahas gue aja” aku tidak ingin mereka jadi saling ledek-ledekan lagi, baik serius maupun tidak serius, karena menurutku, urusan Stefan dan Chiaki sudah lewat.
“Bongkarnya ya.... Hmmm... dan gak bisa ditanya” Anin tampak berpikir keras, sambil menghisap rokok dalam-dalam.
“Susah Nin, kudu ada trick sendiri ngebongkarnya” Stefan menjawabkan untukku.
“Dan gak bisa didiemin lama, kalo kelamaan, ntar dia makin pusing, gue gak mau ada bom waktu di dalam kepala Kyoko, takut gue.....” lanjutku.
“Itu juga penting...” Stefan menunjukku dengan sebatang rokok baru, dan dia menyalakannya.
“Minta bantuan Ai?” tanya Anin.
“Masuk akal” jawab Stefan.
“Minta bantuan nyokap?” tanya Anin lagi.
“Hmm..........” aku menghela nafas panjang, dan membayangkan kemungkinan ibuku yang menolongku dalam kasus ini.
“Masuk akal banget sih, tumben pikiran lo lurus, biasanya isinya cuma robot ama Zee doang” puji Stefan ke Anin sambil meledek.
“Apa sih” kesal Anin.
Mama. Mungkin Mama bisa bantu? Dia pasti bisa membantuku, bagaimanapun caranya. Ya, mungkin Anin benar, Ibuku, yang jauh lebih banyak merasakan penderitaan hidup sebagai istri, pasti bisa, entah bagaimana caranya, membongkar apa yang ada dalam pikiran Kyoko. Setidaknya, asam-garam yang telah dialami ibuku jauh lebih pedih, dari apapun yang mungkin sekarang Kyoko alami.
Dan sekali lagi, setelah dulu ibuku jatuh bangun melindungiku dan Ai dari Ayahku, kini dia akan kuminta pertolongannya untuk melindungi Kyoko, dari perasaan tak enak yang mungkin ia rasakan, ataupun mencoba mengetahui apa yang ada di dalam kepala menantunya.
Sekarang, walaupun badanku ada di tempat ini bersama Anin dan Stefan, rasanya aku ingin menyusul pikiranku yang sudah jauh terbang ke hadapan ibuku.
--------------------------------------------
BERSAMBUNG