--------------------------------------------
“Kamu ini gimana sih?” Anin hanya tersenyum mendengar ibunya mengeluh tak berhenti-berhenti. “Pulang dari Jepang malah sakit, gak kuat udara dingin atau kurang tidur?”
“Kan yang penting pulang dapet pacar Bu” senyumnya dengan lemah di atas bed rumah sakit.
Iya, kami sekarang sedang berada di rumah sakit, karena kemarin, setelah kami sampai di Jakarta, tampaknya Anin terlihat semakin lemah dan parah. Penyakitnya, yang biasa disebut sebagai Flu itu, malah semakin memberatkan tubuhnya karena tampaknya sang penyakit nyaman untuk tinggal terus di tubuh yang sedang capek dan lemah.
“Ada-ada aja anak ini” geleng ibunya. Bapaknya hanya tersenyum, memperhatikan sang anak yang terkulai lemah di atas bed, sambil membaca koran yang teskturnya sudah kusut. Aku, Ai, Sena dan Stefan juga berada di dalam kamar, berdiri dengan manisnya, melihat sang ibu membongkar kiriman makan siang dari suster agar bisa dengan cepat dimakan oleh Anin.
“Kalo udah punya pacar, buruan kawin, liat tuh si Bagas, istrinya udah hamil sekarang” lanjut ibunya.
“Loh….. istrinya Bagas udah hamil tante?” tanyaku.
“Kamu belom tau?”
“Belom…”
Kapan bikinnya? Kami baru saja pulang dari Jepang. Masa sebelum kami berangkat ke Jepang? Ah, Bagas memang serba misterius. Sepertinya hidupnya lebih misterius daripada misteri harta karun Sukarno.
“Katanya kalian temennya, gimana sih?” senyum bingung ibunya Anin mengiringi kata-kata herannya. Aku cuma tersenyum geli sambil melirik ke teman-temanku dan adikku. “Tapi bagus lah, kalian semua udah pada gede kan, udah umur segini, Anin juga gak usah lama-lama pacarannya, nikah aja cepetan…”
Aku dan Stefan sepertinya menahan tawa terlalu dalam sehingga muka kami jadi agak datar kelihatannya.
“Kamu bentar lagi nikah kan?” tanya ibunya kepadaku.
“Iya tante”
“Calon kamu udah ke Indonesia?”
“Belum, baru minggu depan” Iya, Kyoko baru datang ke Jakarta minggu depan.
“Lengkap jadi ya, Bagas udah nikah, Kamu mau nikah, Anin udah punya pacar, Stefan malah pacarnya dibawa sekarang” ibunya Anin seperti nge-scan kami satu per satu.
“Pacarnya Stefan?” tanya Ai.
“Lah iya kalian emang pacaran kan?”
“Engga tante…” protes Ai dengan agak gusar. Aku masih menahan tawaku.
“Ah, boong…. keliatan kok” senyum ibunya Anin tidak mau kalah.
“Tapi..”
“Udah lah, kalian juga buru-buru deh kawin, udah umur 30an, lama amat sih nikahnya, nunggu apaan lagi?”
--------------------------------------------
“Nasib sih emang lo disangkain pacarnya Stefan kalo bareng” tawa Dian. Ya, siang ini, kami makan siang bersama, aku, adikku dan Dian. Suaminya Dian? Sepertinya sedang giliran jaga anak di rumah.
“Tau” jawab Ai dengan kesal.
“Bahasa tubuhnya udah beda sih” tawaku mengomentari kondisi tadi.
Jadi, kemarin, sehabis landing, Anin langsung kami larikan ke UGD. Karena memang panasnya belum turun sejak dari Jepang. Bayangkan, semalam habis manggung di Shibuya WWW, dia langsung pulang ke penginapan, dan besoknya tidur seharian. Tentunya Zee berjibaku mengurus Anin sebisanya sampai Anin pulang ke Indonesia. Dan dari malam itu demamnya tidak turun-turun. Pasti kondisi tubuhnya yang kecapekan membuat penyakitnya dengan nyaman bersarang di tubuhnya. Untungnya sekarang sudah terlihat mendingan, mungkin karena disuntik vitamin dan diinfus. Kupikir jika besok dia sudah lebih segar, pasti sudah boleh pulang.
Aku sendiri di hari terakhir di Jepang hanya bisa beristirahat saja. Dan Kyoko tentunya datang berkunjung sebentar di siang hari, membawakan makan siang untukku. Ya, makanan masakan Kyoko yang kurindukan tentunya. Dan dia tidak menginap malamnya, karena kami pulang ke Indonesia pagi-pagi sekali.
Dan pikirku dan Kyoko, minggu depan Kyoko sudah datang ke Indonesia untuk menikah dan sebagainya, jadi tidak begitu urgent dia menginap di hotelku.
Persiapan pernikahan di Indonesia semuanya sudah hampir beres, hanya tinggal proses pindah agama Kyoko ke Islam, dan persiapan-persiapan kecil sebelum hari H. Semua urusan teknis pernikahan dibantu oleh Ai dan Dian, selama aku pergi ke Jepang. Sementara urusan administratif, masalah KUA dan masalah dokumen-dokumen Kyoko diurus oleh ibuku, yang tentunya dibantu oleh saudara ayahku yang bekerja di Kementrian Hukum dan HAM tentunya sudah berulang kali kuceritakan sebelumnya.
“Kyoko datengnya kapan sih YA?” tanya Dian, sambil makan.
“Minggu depan, hari selasa”
“Oo…. Terus besoknya langsung ke Al Azhar yak?”
“Yoi”
“Dia bakal ganti nama jadi pake nama islam gak ya, kayak kebanyakan muallaf lainnya?” Dian tampak menerawang entah kemana, memikirkan hal yang menurutku tidak penting ini.
“Katanya sih mau, Cuma gue bilang gak usah lah ya….” senyumku sambil mengunyah makanan yang agak terasa hambar siang itu, mungkin karena aku kelelahan dan agak kurang fit.
“Kalo aku Aisyah, dia Khadijah kali ya, biar cocok” canda Ai.
“Terus semuanya jadi nama istri nabi gitu ya” tawaku.
“Biasanya sih ustad yang ngislamin yang usulin nama” potong Dian.
“Kalo kata gue sih ga penting juga ya pake ganti nama, orang ntar di KTP juga pasti pake nama lahir kan, nama islam biasanya Cuma jadi kayak nama panggilan doang bukan sih?”
“Gak tau sih mas, belom pernah ganti nama jadi nama islam, orang namaku udah nama islam kok” tanggapan Aisyah Ariadi Gunawan membuatku tersenyum hampir tertawa.
“Jadi si tempat resepsinya sudah gue dp in ya, lo tinggal sisanya” potong Dian lagi.
“Elo depein dari hongkong, itu kan pake duit gue”
“Kan tetep aja yang memproses pembayaranya gue…” senyum Dian dengan sok lucu.
“Kampret” umpatku bercanda, sambil bersender di kursi, memperhatikan suasana restoran yang tenang siang ini. Ah, rasanya kurang tidur. Belum beres istirahat, harus menengok Anin di rumah sakit. Ah, dan besok, aku rencana berkunjung ke guru gitarku, mengobrol sedikit sekalian mengundangnya ke acara pernikahanku. Dan Java Jazz sebentar lagi, kalau tidak salah, bertepatan dengan tanggal pernikahanku. Sepertinya hari minggu setelah semua urusan pernikahan beres, aku akan mengajak Kyoko untuk nonton kesana.
Setelah sabtunya menikah, besoknya ke Java Jazz. Perfect.
“Eh, pada ikut ke JJF yuk?” aku mengajak Ai dan Dian.
“Laki gue ga demen Jazz, dia mah sukanya musik-musik galau…….. kesel juga gue bangun-bangun tadi pagi liat dia gendong anak gue sambil dengerin The Verve kenceng-kenceng, kapan hari anak gue dikasih denger Radiohead” balas Dian.
“Kenapa kok sewot?” tanyaku heran.
“Takut anak gue jadi galau ga puguh gitu, kayak bapaknya” haha, Dian meledek suaminya sendiri.
“Mana bisa begitu, ngaco ah elo” balasku.
“Kan katanya kalo anak bayi dengerin Jazz atau Klasik jadi pinter anaknya… Kalo dengerin britpop-britpop galau gimana tuh?”
“Mitos kali” tawaku.
“Aku ikut ya Mas ntar ke JFF sama kalian….” potong Ai tiba-tiba.
“Gue ga pernah denger elo suka ama Jazz deh” bingung Dian.
“Kan disana banyak juga yang bukan Jazz” tawa Ai.
“Dan elo juga bukannya honeymoon, malah ke Java Jazz, emang Honeymoonnya mau kemana sih lo?” tanya Dian kepadaku, seperti menyelidik.
“Gak tau, kalau ke Bali soh gue bosen sumpah, kalau ke Lombok gue ga tau disana ada apaan aja, kalo ke luar negri, ke Jepang lagi atau ke Singapur, si Kyoko ga bisa, kan dia harus tinggal berturut-turut 5 taun disini kalo mau jadi WNI, kalo menclok-menclok ke luar negri gitu jadinya dia baru bisa jadi WNI setelah 10 taun” jawabku panjang lebar.
“Jogja aja”
“Di Jogja ada apaan? Selain candi maksud gue” tanyaku.
“Banyak tau, suasananya sih yang enak” senyum Dian.
“Ah, elo mah enak sama laki lo hanimunnya ke Jepang ya……. gue sih sebenernya pengen honeymoon di Jepang, mana ga usah bayar penginapan kan, tinggal nginep di rumahnya aja” tawaku.
“Curang, pelit anaknya sih lo” ledek Dian.
“Biarin”
“Yaudah, biar elo ga curang pergi ke Jogja deh, gue pengen ke Jogja lagi sih, tapi entar lah kalo anak gue dah gedean dikit, biar Alika ngerasain enaknya travelling” lanjut Dian.
“Jogja…. Gue udah lama gak ke Jogja sih, kemaren juga perkara album baru cuman ke Bogor, Bandung ama Surabaya dan Bali.. Hotel-hotel disono katanya banyak yang lucu terus murah ya?” tanyaku.
“Prawirotaman sih banyak yang asik, kata temen gue sih disana kayak legiannya Bali gitu”
“Yaudah, Kyoko pasti mau lah ya ke Jogja”
“Ah, sayang jatah cutiku udah abis… Baru ada lagi abis April….” Potong Ai.
“Ngapain situ ikut-ikut aku sama Kyoko?” ledekku.
“Kan aku pengen liburan juga Mas…”
“Kerjanya jangan kerja kantoran kalo pengen bisa banyak libur mah…” tawa Dian.
“Mbak Dian juga susah libur kan? Sendirinya dokter praktek rutin….”
“Iya, udah mulai rajin praktek lagi nih abis cuti hamil dan ngelahirin” jawabnya sambil mengelus-elus perutnya yang dulu isinya bayi itu.
“Anyway, makasih lho gara-gara kalian urusin semua acara kawinan gue, gue jadi gampang nikah, ibarat kata udah tinggal bawa badan doang ke tempat resepsi, kan ijab kabulnya juga disana” tawaku.
“Curang ya Mbak, dia di Jepang, kita yang kesana kemari urusin catering, dekor, anu dan anunya” kesal Ai.
“Biarin lah, ntar tinggal siap-siap aja dia kita repotin balik”
“Iya, di kawinannya Ai ama Stefan” ledekku.
“Ih, aku gak mau sama dia, apalagi setelah denger ulah dia di Jepang kemaren”
“Emang dia ngapain kemaren di Jepang?” tanya Dian, penasaran. Matanya berbinar, haus akan gosip.
“Eh aku belom cerita ke Mbak Dian ya?” bingung Ai.
“Cerita dong, gue suka gosip di kala makan siang gini” jawab Dian.
“Ah dasar, elo udah jadi ibu-ibu makin demen gosip yak” tawaku.
Aku lantas bersandar di kursi, sambil mengirim pesan-pesan untuk Kyoko lewat handphoneku. Minggu depan dia akan ada di Indonesia, mengikuti proses yang akan membawa kami jadi man and wife. Pikiranku jelas kemana-mana, lebih karena excited sebetulnya. Apalagi akhir-akhir ini masalah agaknya sedang tidak rajin datang. Stefan sedang adem ayem, karena mungkin masih shock atas akibat perilakunya, walaupun hal itu belum kami diskusikan secara internal band, karena Anin sedang dirawat di rumah sakit. Dan aku sudah mulai membatasi perbincangan tak perlu dengan teman perempuan, terutama Arwen, untuk menghilangkan salah prasangka di kemudian hari. Setidaknya mungkin aku berusaha untuk memperbaiki kelemahanku.
Masalah yang berkaitan dengan musik itu juga bukan masalah, dan soal album solo, aku bisa mengerjakannya nanti, setelah menikah dengan Kyoko. Apalagi kalau ada Kyoko. Pasti lebih mudah rasanya mencari mood untuk bermain musik.
Jadi aman, semuanya aman. Tidak ada hal-hal yang bombastis, dan tidak ada lagi hal-hal yang memberatkan. Jadi, jalanku ke pernikahan lebih ringan rasanya.
--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------
“Sudah lama sekali kamu tidak kesini” ucap sang lelaki tua itu membuka pembicaraan antar kami berdua.
Umurnya sekitar pertengahan 70 tahunan. Rumahnya berada di tengah kota Jakarta, dekat dengan Pasar Baru. Rumah tua yang sederhana itu membangkitkan banyak memoriku ketika jaman kuliah dahulu. Rumah tua yang sederhana itu banyak sejarahnya. Banyak gitaris-gitaris jazz yang malang melintang di dunia musik Indonesia memulai karir musik mereka di rumah ini. Mereka lahir disini, dilahirkan oleh sang pria tua ini.
“Iya, dan Om masih ngajar?” tanyaku kepadanya.
“Masih, gak sebanyak dulu sih, tapi cukup lah untuk makan…” tawanya.
The Houw Jin. Alias Jaya Tejasukmana. Namanya sebenarnya hanya terkenal dikalangan gitaris Jazz atau para gitaris pemula yang haus akan ilmu. Rambutnya sudah putih semua, tubuhnya agak tambun, dan mukanya tampak berkerut walaupun dia selalu tersenyum. Aku memanggilnya Om Jaya. Aku sengaja mendatanginya sore ini, di hari minggu, setelah dia menjalani ibadah mingguan di gereja.
“Saya kaget waktu kemaren kamu nelpon, saya pikir kamu udah lupa sama saya” candanya.
“Siapa sih yang bisa lupa sama Om Jaya?” tawaku.
“Terus jadi datang kesini tuh cuman buat ngundang saya ke kawinan kamu? Gak bawa makanan apa gitu, habis dari gereja kan lapar saya” candanya lagi.
“Tau gitu saya tanya dulu ya, Om mau dibawain makanan apa”
“Tapi pasti gak cuma ngundang kawin kan? Kalo ngundang kawin saja kan kamu tinggal kirim pakai pos atau kurir undangannya….” tanyanya sambil duduk tenang di kursi teras rumahnya, menghisap rokok kretek yang baunya luar biasa menyengat, sambil melihat undangan pernikahanku di tangannya.
“Yah, itu cuma salah satu dari agenda saya kesini sih”
“Eh terus kok nama calon istri kamu begini?”
“Emang dia orang Jepang asli Om…”
“Oh, saya kirain orang tuanya iseng ngasih nama dia sok-sok Jepang, soalnya gak ada foto kalian di undangan kawinannya, kan saya jadi gak tau mukanya kayak apa…. Ngomong-ngomong kalian ketemu dimana?”
“Jepang” tawaku.
“Haha.. kita udah bertaun-taun gak ketemu, terus kamu dateng kesini lagi pas udah mau kawin, dasar memang murid durhaka” candanya.
“Untung nomer telpon rumah Om gak berubah ya” aku menggelengkan kepala sambil bersandar, melihat taman yang agak amburadul. Dirinya sudah lama menduda, bahkan lebih lama dari yang aku tahu. Anak-anaknya tinggal di luar negeri semua, sibuk dengan keluarga mereka masing-masing. Dan Om Jaya selalu disini, sendiri, mengajar gitar kepada siapapun, bahkan sepertinya tarif mengajarnya tidak banyak berubah jika dibanding dengan waktu aku kuliah dulu.
Tapi gara-gara dia, banyak sekali gitaris Jazz Indonesia yang lahir. Ya, yang namanya kalian sebut-sebut ketika kalian menonton Java Jazz. Yang kalian puji-puji karena lagu dan albumnya bagus-bagus. Ironis Om Jaya seumur hidupnya bahkan belum pernah membuat album, rekaman dan main di Java Jazz. Bahkan datang nonton di Java Jazz saja belum pernah.
Banyak yang mengundang dia untuk nonton? Banyak, apalagi mantan muridnya yang sudah sukses-sukses. Tapi katanya, gak usah, gak suka rame-rame katanya.
Banyak yang mengajaknya bikin album? Banyak, tapi, malas katanya, orang sudah tua ngapain sih kebanyakan gaya.
“Ngomong-ngomong, saya kangen pengen liat Om main gitar lagi” aku memecah keheningan.
“Ah, kan waktu kamu belajar udah, waktu dulu pas kamu belajar sama saya mah lama berkembangnya, kalo les kerjanya cuma nonton saya main gitar doang sih” ah Om Jaya, tidak pernah berubah, selalu bercanda sinis.
“Siapa yang gak jadinya nonton doang Om, kalo gurunya mainnya keren kayak Om”
“Terus, selain ngundang kawin, emang agendanya mau ngapain lagi?” aku mengambil cangkir kopi yang sudah dibuatkan Om Jaya tadi, ketika aku baru datang, lantas menghirup kopi hitam yang dia sediakan untukku.
“Anu, saya mau bikin album”
“Bagus”
“Tapi udah mau dua tahun gak jadi-jadi”
“Bagus juga dong, yang penting kan usaha”
“Iya sih……”
“Emang yang udah jadi berapa lagu?” tanyanya.
“1 lagu….”
“Kok payah, kayak bukan murid saya aja” tawa Om Jaya.
“Nah…”
“Coba saya dengerin, bawa gak lagunya, disimpen di Hape gak, anak jaman sekarang kan apa-apa disimpen di Hape, untung saya gak punya Hape” candanya.
“Sebentar om….”
Aku membuka handphoneku, menyambungkannya dengan speaker bluetooh dan dengan mudah aku menyalakan lagu Matahari Dari Timur. Untung suasana di sekitar rumahnya tidak ramai, hanya ramai oleh suara anak kecil lari-lari di jalanan kompleks.
Om Jaya dengan tenang mendengarkan lagu tersebut, sambil menutup matanya, sampai-sampai aku jadi khawatir kalau-kalau dia tertidur. Aku hanya bisa menatap dirinya yang manggut-manggut, mencoba menilai dan menakar lagu tersebut. Akhirnya lagunya selesai diputar juga.
“Bagus” pujinya.
“Makasih Om” senyumku.
“Ada tapinya tapi…” senyumnya tersungging.
“Apaan tapinya Om?”
“Ini kayak bukan kamu”
“Eh?”
“Gimana jelasinnya ya, coba masuk ke dalem deh” Om Jaya bangkit dan membuka pintu rumahnya. Di ruang tamunya yang merangkap tempat les, berjajar beberapa gitar, yang kebanyakan tipenya Hollowbody maupun Semihollow. Mendadak Om Jaya mengambil salah satu gitar yang dipajang, mencolokkannya ke salah satu amplifier yang ada disana.
“Main” dia menyerahkan gitarnya kepadaku.
“Main apa Om?” tanyaku bingung sambil menerima gitar itu.
“Main gitar dong, saya kan gak ngasih kamu trompet” tawanya dan dia lantas duduk di singgasananya, kursi tua yang kulitnya sudah robek-robek. Kursi yang selalu ia duduki ketika mengajar.
“Eh… Main lagu apa maksudnya?” aku masih bingung, lantas duduk di hadapannya, dengan gerakan yang masih kikuk.
“Terserah kamu.”
“Aduh… Apa ya?” aku menerawang. Mataku melirik ke arah langit-langit sambil memeluk gitar.
“Ah, kebanyakan mikir, langsung aja… Thelonius Monk, Reflections, cepetan” tawanya melihatku gagap.
“Oh oke”
Aku memainkan nada-nada yang kuingat dari lagu itu, dan juga menyisakan ruang improvisasi yang banyak. Om Jaya menghisap rokoknya dalam-dalam, kakinya bergoyang sesuai dengan tempo yang kumainkan. Kumainkan sebisanya dan kadang-kadang kuselipkan lick-lick gitar dan nada-nada yang sering kubawakan, baik ketika bersama Hantaman, maupun sebagai gitaris Jazz.
Tak terasa beberapa menit pun berlalu, dan aku berhasil menyelesaikan lagu itu.
“Nah, dikasih gitar malah keasikan dia…” tawanya setelah aku menyelesaikan lagu itu.
“Lantas gimana om? Kok saya jadi makin bingung” bingungku.
“Kamu gak cocok main smooth jazz… lagu-lagu yang ceria ceria hepi hepi ngepop gitu…” senyumnya.
“Eh?”
“Gaya main kamu, kelihatan banget banyak dipengaruhi era-era bebop taun 50 an, dan ada sedikit gaya-gaya dari musik rock dan fusion jazz taun 80 an, walau kamu main solo gitarnya tadi di sok-sok manisin kayak lagunya Monk tadi” komentarnya.
“Keliatan ya?”
“Arya, mau kamu udah semodern apapun, dioperasi plastik biar mirip bule juga, tetep aja keliatan kalo kamu tuh aslinya Jawa-Sunda….” dia menggelengkan kepalanya. “Gaya main asli kamu, di lagu smooth jazz tadi, gak keluar sama sekali, lagunya enak, bagus, keren, tapi bukan kamu” senyumnya.
Aku manggut-manggut seperti anak bodoh yang baru saja diajarkan hebatnya rumus perkalian.
“Terus gimana dong om?” tanyaku bingung.
“Kamu main lagi sana, main Jazz, jangan-jangan kebanyakan main rock bikin kamu lupa caranya main standards kayak gimana”
“Enggak sih, saya masih suka latihan dari Songbook dan…”
“Latihan yang beneran mah manggung” potongnya sambil senyum. “Sana, bikin Trio apa Quartet, terus kamu yang leading, bawain lagu-lagu standards, ala kamu, ntar ketemu sendiri kamu mau bikin lagu kayak apa. Jangan ujug-ujug bikin lagu fusion, smooth jazz, bebop, swing, tanpa pernah nemuin bentuk kamu kalo mimpin kelompok musik kayak apa… Inget, kamu suatu saat mesti leading, gak cuma leading keluarga aja, leading dimusik juga harus”
“Tapi…”
“Gak ada tapinya”
“Tapi gimana ya Om…” pusingku.
“Apa yang mesti dipusingin?”
“Saya kan ga pernah jadi leader di kelompok musik, nah kalo soal itu, apa ada tipsnya…”
“Orang tua mana ada yang ngasih tips ke anaknya buat belajar jalan, langsung main jalan aja kan si anak?” lanjutnya.
“Eh iya ya”
“Sana gih, pulang, kontak temen-temen kamu, cari working group. Belajar jadi leader kelompok musik, kalo udah lancar, baru bikin lagu, jangan kebalik”
“Iya om”
“Terus, ngapain masih diem disini, pulang sana” senyumnya dengan penuh pencerahan.
“Nunggu Om main gitar dulu, saya mau denger, udah lama”
“Nanti di kawinan kamu boleh?” tanyanya, tampaknya dia malas main gitar sekarang.
“Beneran mau main di kawinan saya?” mukaku pasti kelihatan sumringah membayangkan Om Jaya dengan gitarnya bermain di pernikahanku.
“Ya enggak lah, saya guru, bukan penampil”
“Yah, kalo gitu ajarin saya lagi sekarang”
“Kamu udah pinter, cuma ga pernah jadi leader aja” jawabnya sambil bersandar dengan santainya. Rokok tetap menyala dan mengepul dengan nikmatnya.
“Iya…. Nah sekarang saya udah kebelet pengen liat Om Jaya main gitar”
“Udah pulang sana”
“Tapi om”
“Pulang, ntar ketemu lagi pas kamu kawin” senyumnya menyuruhku pulang. “Pikirin siapa aja yang kamu mau ajak main, daripada nungguin saya main gitar”
“Iya deh….”
--------------------------------------------
Minggu, sore. Aku berjalan dengan pelan di atas motorku, sepulangnya dari rumah Om Jaya, dengan pikiran menggantung di langit-langit kepalaku.
Dengan siapa aku harus main? Bass? Jacob pasti, siapa lagi? Drum? Banyak pilihan. Piano? Yang pasti bukan Karina. Eh tunggu, harus pake piano? harus Quartet atau Trio? Ah pusing.
Ah sudahlah, yang penting aku menikah dulu.
--------------------------------------------
BERSAMBUNG