racebannon
Guru Besar Semprot
- Daftar
- 8 Nov 2010
- Post
- 2.074
- Like diterima
- 16.697
MDT SEASON 1 - PART 73
Hantaman – Japan Februari 201X
Week 1
Senin : Touch down Tokyo, ke penginapan
Selasa : Press Release + Live! @ Tower Records Shinjuku
Rabu : Go To Osaka
Kamis : Live! @ Fandango Osaka
Jumat : -
Sabtu : Live! @ Club Quattro Umeda
Minggu : Go To Kyoto
Week 2
Senin : -
Selasa : Live! @ Live House takutaku Kyoto
Rabu : -
Kamis : Live! @ Kyoto MUSE
Jumat : Go To Tokyo
Sabtu : Live! @ MARZ Shinjuku
Minggu : -
Week 3
Senin : Live! @ Koenji 20000 V
Selasa : -
Rabu : Live! @ Shibuya WWW
Kamis : -
Jumat : Go To Jakarta
--------------------------------------------
“Ini gak salah kan kalo gue merinding” aku jujur soal perasaanku ke Stefan.
“Gak salah”
“Elu sih pake manggil-manggil dia lagi” kesalku, tetap sambil merinding.
“Jangan nyalahin gue dong”
Angin dingin berhembus mendadak, mematikan korek api yang Stefan coba nyalakan untuk membakar rokok baru di mulutnya. Kami berdua saling bertatapan.
“Abisan lo bikin baper”
“Bukan cuman dia cewek yang pernah baper ama gue, tapi sekalinya gue bilang udah, kita sampe disini aja, gue ga mau berkomitmen, biasanya mempan… Dan mereka either bilang gue brengsek dan marah, atau mewek, tapi udah pasti pergi…” bingung Stefan.
“Berarti lo yang salah pilih cewek”
“Kayaknya” Stefan menghisap rokoknya dalam-dalam setelah ia berhasil menyalakan rokok di tangannya dengan susah payah itu. Angin kencang, seperti ingin menerbangkan kami ke langit Osaka. Karena kami dengan tololnya terjebak pada situasi aneh Stefan.
“Terus dia dimana sekarang?” tanyaku.
“Mana gue tau”
“Kalo dia nginep di love hotel mahal lho… Dan kayaknya tiket bis kesini juga ga murah” aku mengira-ngira berapa harganya.
“Makanya anjir” Stefan lalu terlihat bergidik, dia seperti habis ketemu hantu lokal yang membuatnya gemetaran semalaman ini. Tampaknya Stefan akan sulit tidur.
Sebenarnya bukan sekali dua kali ini Stefan berurusan dengan perempuan yang menganggap koneksi seks diantara diri mereka dan Stefan itu spesial. Tapi kalau kasus seperti Chiaki ini, ini baru sekali. Baru sekali Stefan dikuntit dan sampai orangnya ketakutan seperti ini. Tapi takut apa? Bukankah Chiaki tidak berbahaya.
“Eh, kalo Chiaki emang beneran kesengsem sama elo, terus dia beneran suka gimana? Kayaknya dia gak bahaya” bisikku.
“Gak bahaya? Lo ga pernah denger cerita soal Stalker ya? Dia baru aja tadi ngaku-ngaku jadi cewek gue, kalo dia bikin masalah terus gue kebawa-bawa gimana? Kalo dia mendadak nyayat-nyayat tangan di depan gue karena gue tolakin terus gimana? Ngeri gue tau gak?” bentaknya pelan, sambil menyemburkan asap rokoknya dari hidung, serupa naga.
“Ini jangan-jangan dia tau dimana kita nginep, terus dia cariin elo” bisikku.
“Makanya gue tadi ngumpet, soalnya dia Cuma nyari gue, dia kan ga nyapa elo semua sama sekali!!” jawab Stefan.
“Fan sumpah, ntar di Quattro lusa gimana?” tanyaku.
“Bingung gue, takut gue”
“Tapi jangan keliatan takut banget, ntar dia bertindak makin jauh, coba lo deketin lagi sambil kasih pengertian terus” jawabku panjang.
“Lo gila ya gue disuruh nego sama orang freak?!?!?!”
“Kan elo yang awalnya ngundang orang freak ke hidup elo” aku mengangkat tangan sambil meregangkan badan.
“Kok gue lagi yang salah?”
“Emang elo yang salah kok, kebiasaan, suka bandel sih”
“Emang lo pikir gue bisa diem tanpa vagina?”
“Pilih-pilih dong orangnya, yang gak potensi jadi freak kayak gini”
“Emang gue bisa tau dia freak apa kagak?” Stefan terlihat bingung, panik, takut, dan bingungpaniktakut dalam ekspresinya.
“Haiyaa…..” aku menghela nafas, masa aku harus membantu menyingkirkan Chiaki. “Kalo kita mutilasi buang ke sungai aja gimana Fan?”
“Ga lucu” Stefan melempar puntung rokoknya entah kenapa. Dan angin dingin malam sukses membuat kami merinding, dan mendadak bergidik soal hal-hal apa saja yang mungkin Chiaki lakukan.
Mulai dari mengejar Stefan terus. Lalu menjebak Stefan menikahinya dengan menghamilkan diri, bisa dengan sabotase kondom. Lalu bisa juga melukai diri sendiri di depan Stefan, bisa juga merusak acara kami jika Stefan mengusirnya.
Gila. Cari penyakit. Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Tapi aku tak tau ternyata si tupai yang satu ini jatuhnya lantas kegiles mobil atau masuk ke lubang batubara panas.
“Entahlah Fan… sambil mikir aja” ucapku pasrah, sambil melempar kaleng kopiku dengan sok jago ke arah tong sampah yang tak jauh. Dan tak masuk.
Sialan.
--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------
“Cheese” teriak Ilham, mengambil foto kami berempat. Aku, Bagas, Anin dan Stefan. Aku, Anin dan Stefan berfoto dengan menggunakan kostum samurai. Di Osaka castle kita bisa menyewa baju zirah samurai untuk foto-foto dengan teman kita. Dan Bagas, tentunya tidak mau. Dia hanya berdiri di tengah kami dengan sweater tebal dan muka dinginnya yang tak kalah tebal.
Ya itu salah satu kelamahan Bagas selain tidak komunikatif. Susah difoto, kalau ada pemotretan, sang fotografer selalu pusing menata gaya Bagas. “Ya, masnya tolong gayanya kayak lagi marah” datar. “Lagi sedih” datar”. “Sok keren gitu mas coba gayanya” datar. Mampus gak?
Zee tampak agak bosan melihat-lihat ke sekeliling. Keramaian yang damai, tidak grasa-grusu seperti Tokyo dan pakaian orang-orangnya pun tidak terlalu berwarna seperti Tokyo. Kata Anin pun, logat mereka berbeda dengan Tokyo. Aku sih bingung, karena memang tidak bisa membedakan logat Osaka dan Tokyo.
Pagi ini, sebelum makan siang, kami semua ke Osaka Castle. Aku, Zee, Ilham, Stefan, Bagas, Anin dan Sena, kecuali Shigeo yang memang dia terlihat sibuk, mengirim email, laporan, dan lala lili lainnya untuk diemailkan ke kantor. Jadi kami bertamasya tanpa Shigeo. Tapi kami berjanji, malam, jam 9 malam kami akan bertemu dengan dirinya, di studio tempat kami akan latihan nanti malam. Alat-alat musik kami katanya akan diangkut kesana, biarkan Shigeo yang mengaturnya.
“Berat juga kostum samurai” tawa Stefan sambil melepas helmnya dan mengembalikannya ke petugas.
“Kok bisa ya orang jaman dulu perang pake ginian” bingungku juga.
“Latian dong” tawa Anin.
Bagas diam saja.
Selesai mengembalikan baju zirah tersebut, aku mengirim foto-foto yang tadi kuambil ke Kyoko. Foto-foto diorama perang di musium Osaka Castle, foto-foto selfie konyol, dan tak lupa foto-foto pemandangan disana. Nambah lagi satu tempat yang wajib kukunjungi dengan Kyoko berdua. Osaka Castle.
“Asik juga disini, sayang gue ga tau ceritanya tentang apa” aku memperhatikan landscape, dan mengagumi arsitektur kastilnya. Gila, orang jaman dulu bikin ginian, rapih dan luar biasa kerennya.
"Jadi ceritanya ya, waktu dulu Hideyoshi Toyotomi pengen..."
"Stop!" Stefan langsung menghentikan cerita Anin. Dia paham kalau Anin sudah bicara hal-hal yang berbau jepang, bisa tahun depan baru selesai.
Aku tertawa saja tanpa suara, sambil memperhatikan keramaian di sekitarku yang semuanya tampak tentram di udara dingin. Well, tinggal di Jepang memang tidak buruk buatku dan Kyoko. Tapi Kyoko sudah pasti akan ikut hidup denganku di Indonesia. Visa sudah selesai dia urus katanya. Visa untuk tinggal di Indonesia. Berarti habis menikah, tinggal mengurus KITAS saja.
Perkataan Kyou-Kun yang memohon kepadaku agar memikirkan soal nasib cafe mereka masih mengganggu pikiranku. Itu hidup dan matinya sepertinya, namun dia juga tidak kuasa untuk menahan keinginan Kyoko yang ingin pindah ke Indonesia. Berarti dia harus cari pegawai baru? Siapa ya? Chiaki? Jangan. Freak... Dan tidak mungkin juga mendadak dia ditawari pekerjaan seperti itu, nanti makin attach dengan Stefan. Ah.. memusingkan. Aku jadi ingat perkataan Kyoko soal kasus itu.
"Aya jangan pikirkan, biar Kyoko yang pikirkan, itu masalah Nii-san nya Kyoko" senyumnya malam itu, sambil memelukku yang terlihat pusing di tempat tidur. Dan seperti yang Kyou-Kun bilang, dia bukannya belum mencoba untuk mencari pengganti Kyoko, tapi sulit. Memang sulit. Bisa dibayangkan, di Indonesia saja yang tenaga kerjanya melimpah, pasti sulit mencari yang cocok. Apalagi di Jepang yang jumlah tenaga kerjanya sedikit. Tapi apa Kyoko tidak ada teman yang butuh kerjaan? Dari sekolah tata boganya?
"Woi liat sini" Ilham mendadak mengagetkanku, yang sedang berjalan dengan rombongan di taman, ingin menuju ke stasiun, untuk menuju ke pemberhentian berikutnya untuk makan siang. Ilham lalu mengabadikan ekspresi candid kagetku.
Nishinomaru Garden, taman yang benar-benar indah karena memang ditata dengan sangat baik. Entah kenapa mengingatkanku kepada Mitaka, mengingatkanku betapa sebenarnya aku kangen dan rindu akan Mitaka. Dan dalam lubuk hati, aku ingin sekali tinggal di Mitaka, berhari tua bersama Kyoko disana. Tapi bagaimana? Hantaman pasti sangat membutuhkanku? Bagaimana pekerjaanku di Indonesia. Dan masalah ini tidak sesederhana itu.
"Ini sekarang jalan kemana?" tanya Stefan penasaran.
"Gue mau liat Kuil Hokoku, ada di selatan nya Castle" jawab Anin.
"Selatan... Macem orang jogja aja pake mata angin"
"Gue selalu suka ama kuil Jepang, rasanya gimana gitu" lanjut Anin.
"Musyrik lo" ledek Stefan.
"Gue kan kagak doa disana yee"
"Eh kalo pas musim semi cakep loh disini" potong Ilham, yang melihat dunia melalui lensa kameranya.
"Pasti" jawabku. Aku melirik ke Zee yang terlihat cuek, dan dia tampak gatal ingin merokok, karena gerakan mulutnya seperti butuh sesuatu yang mendamaikan dirinya.
"I prefer pray at shrine" mendadak Zee nyeletuk, dengan muka cueknya. Senyum tipisnya yang agak terkesan sombong itu menghiasi mukanya.
"Kenapa?" tanya Anin sok antusias.
"Lebih peaceful" senyumnya ke Anin. Buset. Senyum. Itu pasti bisa bikin muka Anin panas. Bisa bikin dia ancur-ancuran. Dan terlihat, mendadak jalannya jadi lebih kikuk, dan mukanya tampak berusaha menahan senyum-senyum tolol ala Anin yang selalu diperlihatkan di depan perempuan yang ia suka.
--------------------------------------------
Aku masih ingat tadi, dengan tololnya Anin memperhatikan Zee yang berdoa di kuil dari jauh. Dia memperhatikannya seakan-akan Zee adalah kijang, dan dia adalah macan yang lapar. Matanya tidak bisa berhenti berkedip saat perempuan asal Singapura yang cantik itu menangkupkan tangannya di kuil, memberi uang persembahan dan sebagai-bagainya. Entah apa yang ia doakan, dan untuk siapa. Yang pasti aku tadi sibuk mengambil foto kuil Hokoku yang menurutku indah.
Dan perjalanan kereta selama 40 menit sudah membawa kami ke Tsutenkaku, dimana kami berdebat soal makanan, dibawah menara besar yang menjadi landmark Osaka itu.
"Ramen" Stefan menekankan kalimatnya.
"Gue ga mau ketemu ramen lagi, bosen" aku juga menekankan kalimatku.
"Tapi ramen, enak Ya, dingin begini bikin anget" Anin mendukung Stefan.
"Lo kagak inget apa terakhir di Naeba kita mabok ramen, ga mau pokoknya"
"Yaudah lo cari makan ndiri aja sana"Stefan menyuruhku mencari makan sendiri dengan nada cuek.
"Yaudah sana yang mau ngeramen, ngeramen, gue males ramen" aku tetap pada pendirianku, dan berharap yang ingin ramen hanya Stefan dan Anin, jadi aku tak kalah suara.
"Yowis, sini tim ramen" teriak Stefan sambil mulai jalan ke arah yang berlawanan dengan posisinya berdiri.
Dan.
Semuanya pergi mengikuti Stefan. Bahkan Bagas sekalipun. Aku garuk-garuk kepala karena sekarang aku jadi bingung. Makan apa ya?
"Gansokushikatsu Daruma?" suara perempuan itu memecah kebingunganku.
Zee.
"Apaan tuh?" tanyaku.
"Fried Skewer... Sate Goreng dengan Flour... Tepung" ucapnya pelan sambil melihat ke handphonenya. "Near here ada yang enak" Dan aku celingukan. Kami benar-benar tinggal berdua.
"Makanan asli Osaka. The rest can have their ramen sampai kenyang" dia melirikku masih dengan muka datar, muka santai dan mata yang terlihat mengantuk. "Right There" dia menunjuk ke salah satu sudut di Tsutentaku, dan lekas berjalan. Aku mengikutinya dari belakang. Langkahnya sangat cepat dan lurus. Singapur ketemu Jepang. Pantas jalannya seperti tikus dikejar motor.
Tak berapa lama kami sampai di depan restoran Gansokushikatsu Daruma. Tanpa banyak bicara, Zee langsung masuk dan kami disambut.
"Irrashaimaseee" Zee dan aku menunduk, ke arah para koki yang sedang menggoreng dedagingan dalam tusukan sate.
Setelah duduk aku menyelidiki, makanan apa itu sebenarnya. Ternyata Gansokushikatsu Daruma adalah sate daging, seafood, dan sayuran yang digoreng tepung dan dimakan dengan pilihan saus yang khas. Ini masakan asli Osaka. Perutku pun berbunyi dengan kencang dan Zee tersenyum mendengarnya.
"Saya pesan saja buat kamu biar tidak bingung" ucapnya dengan logat melayunya yang mendadak jadi kental. Karena kalau dia bicara bahasa inggris, logatnya terdengar agak kebule-bulean walaupun singlishnya masih terasa. Mendadak dia memesankan ini dan itu untukku. Aku hanya diam saja dan siap untuk makan.
--------------------------------------------
Kenyang. Walaupun kecil-kecil, tapi kalau banyak kenyang juga. Apalagi kalo dimakan pake nasi.
"Namanya Kushiage" Zee memberitahuku, sambil dia mengambil uang kembaliannya tadi. Kami pun beranjak, dan dia ingin mencari sudut yang boleh merokok, sambil menunggu teman-temanku beres makan ramen. Dia berjalan dengan cepat ke sebuah sudut, dan menyalakan rokoknya dengan cepat juga. Ada beberapa orang yang merokok juga di tempat itu.
"So, kapan beres kuliah?" aku berbasa-basi dengannya, karena tidak mungkin aku diam saja menonton dia merokok.
"Next Year" jawabnya.
"Lanjut S3?" tawaku.
"Nope, going back home to S'pore" mukanya terlihat agak kesal karena aku mengusik pemikirannya yang sempurna soal Jepang.
"Enak disini ya"
"No shit" balasnya.
"Emang enak sih disini, apalagi kalo berkeluarga disini kayaknya enak banget"
"Japanese tapi not really into marriage, not like us, South East Asians"
"Emang situ kepikiran buat kawin?" aku agak heran, karena perempuan cuek seperti Zee kok bisa-bisanya memikirkan pernikahan dalam waktu cepat.
"Why not?" dia tersenyum tipis dengan muka datarnya.
"Sama Anin?" tawaku, bercanda berusaha memecah suasana yang memang agak awkward. Tentu saja, kami tidak akrab, apalagi setelah ada kejadian heboh, dimana dia mabuk dan bertingkah aneh.
"Ahaha... He's nice... But not my type" jawabnya.
"Kenapa gak not your type?" candaku.
"Hmm... too nice, maybe, and... He's trying too hard to get someone's attention" dia mengeluarkan asap dari hidungnya dan menyisir rambutnya dengan tangannya.
"Haha" aku tersenyum getir dan mendadak jadi tidak tega kepada Anin.
--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------
"Terus, ngapain kita dimari?" tanyaku ketika kami semua habis makan malam di daerah Dotonbori. Rencananya kami akan pergi ke studio yang sudah disewakan oleh Shigeo setelah makan malam. Tapi Stefan penasaran soal Dotonbori.
"Disini katanya Red Light Districtnya Osaka men" seringainya.
"Dan ini udah jam 7" jawab Anin.
"Bentar aja, liat-liat, sapa tau bisa ngewe 15 menit" tawanya.
"Kayak gini aja, dikejar cewek langsung takut" ledekku.
"Bangsat" keluhnya sambil melihat-lihat handphonenya, mungkin dia mencari peta dan informasi soal daerah Dotonbori.
Menurut Ilham, Dotonbori, daerah yang ramai oleh tempat makan dan pusat perbelanjaan ini terbagi menjadi dua, oleh sebuah kanal atau sungai kecil. Satu daerah penuh dengan area perbelanjaan. Dan satu daerah lagi banyak tempat yang... Disebutnya sih Hostess Club. Dimana kita bisa minum-minum di bar dengan ditemani oleh perempuan-perempuan yang seksi dan menarik hati, atau malah dalam kasus Stefan, menarik penis.
Dan ada beberapa tempat yang secara diam-diam katanya juga bisa dipakai buat... Yah, apalagi, prostitusi. Tapi Stefan berjanji tidak akan bermain main disana, hanya ingin lihat saja. Karena memang mepet ke waktu latihan. Dua jam lagi, dan perjalanan bisa memakan waktu setengah jam dari Dotonbori ke tempat latihan tersebut.
"Yuk" Kami terpaksa mengekor mengikuti Stefan, sambil menikmati pemandangan lampu yang warna warni dan gemerlap Osaka yang Osaka sekali. Baju orang-orang sudah mulai warna warni, agak mirip Harajuku, tapi lebih sedikit populasinya. Kami mengikuti Stefan, melewati deretan Pachinko, minimarket, dan beberapa toko yang menjual entah apalah. Aku sibuk mengobrol dengan Kyoko, dan kami sedang bercanda soal Zee dan Anin. Kami sedang berkhayal situasi apa saja yang memungkinkan merubah Zee, agar tertarik pada Anin.
"Pura-pura jadi penjahat, Aya, lalu Anin menolong seperti Kamen Rider" canda Kyoko yang kuingat. Ah betapa kangennya pada Kyoko. Makan siang berdua dengan Zee tadi entah kenapa malah membuat aku makin kangen pada Kyoko. Masih ingat, di kejadian yang sama ketika mereka berdua mabuk, Kyoko benar-benar melindungiku dalam kemabukannya.
Perlahan kami sudah mulai berbaur dengan keramaian, menjadi satu dengan sungai manusia malam itu di Dotonbori. Sebagian besar adalah pekerja kantoran y ang ingin melepas penatnya dengan makan malam, minum-minum, ataupun sekedar berkumpul di bar dengan teman-teman mereka.
"Wih apa tuh" Sena tampak melihat beberapa perempuan cantik dengan gaun mereka yang seksi di pinggir jalan, berusaha menarik perhatian beberapa orang yang lewat.
"Itu yang gue maksud" Stefan tampak senang melihat perempuan-perempuan seksi itu.
"Yaelah gitu doang" kesal Anin.
"Kita harus eksplor lagi tapi, cari yang lebih seksi dan lebih ngaco" balas Stefan.
"Ngapain sih" kesal Anin lagi.
"Kalo ga mau tunggu aja deket sini" seringai Stefan.
"Kayaknya mendingan gitu, daripada kita rame-rame kayak rombongan haji"aku berusaha menengahi.
"Eh kok itu ada cowok-cowok yang gitu-gitu juga?" tanya Sena. Dia menunjuk ke arah satu-dua orang lelaki yang rambutnya seperti band visual kei, dan memakai jas yang slim fit, tampak berusaha menarik perhatian beberapa perempuan yang lewat.
"Kalau itu dari host club, yang cewek hostess club" jawab Ilham.
"Maksudnya?"
"Mereka narik pelanggan untuk minum di bar yang memperkerjakan mereka, terus mereka nemenin si pelanggan itu minum, ngobrol, curhat" Ilham berusaha menjelaskan.
"Ngewe?" seringai Stefan bercanda.
"Gak sampe sana sih, tapi katanya ada yang bisa, dan itu gue ga tau bedainnya gimana" jawab Ilham, dengan muka menyerah. Menyerah oleh kepenasaranan Stefan.
"Gue ga mau liat-liat gituan" celetuk Anin malas. "Lagian ntar mepet ke waktu latihan juga"
"Iya makanya mendingan kita misah aja, kan ada handphone juga, Stefan juga ga bego-bego amat kan, bisa jalan sendiri kemana-mana, kita tungguin aja di studio, gimana? Kecuali kalo ada yang mau ngikut Stefan, ayo coba yang mau ngikut Stefan ngacung" aku melanjutkan kalimatku.
Tidak ada. Semua menaruh tangannya dibawah.
"Ga setia kawan lo pada" umpat Stefan.
"Yang ga setia kawan siapa coba" balas Anin.
"Haha, makanya misah udah paling bener kan, daripada kita ngomel-ngomel ikut Stefan nyari tempat-tempat ga jelas, mendingan kita tungguin studio, ntar kita shareloc, oke?" Aku juga sudah gatal ingin pergi dari rencana Stefan yang lebih banyak melibatkan proses masuknya darah ke penis, daripada otak yang bekerja untuk berpikir.
"Yaudah sana gih lo pada ke studio sana" Stefan mengusir kami dengan muka mesumnya. "Kan gue jadi bebas... Sampe ketemu dua jam lagi" tawanya.
--------------------------------------------
"Kamu main Jazz?" tanya Zee ketika dia habis mengambil gambarku yang sedang melemaskan jari-jariku di dalam studio dengan gitarku. Tentunya lick-lick khas Jazz yang terdengar di dalam studio.
"Yep" jawabku ringan sambil terus fokus memainkan nada-nada yang miring dengan gitarku, menunggu kedatangan si setan horny di studio. Anin sedang merokok di ruang tunggu, Bagas sedang menyetel drumset, Sena sedang berbincang-bincang dengan Shigeo dan operator studio dengan bahasa Inggris seadanya di ruang kontrol. Ilham tampak mengobrol dengan Anin di luar.
"Nice" puji Zee pelan sambil mengambil gambarku lagi.
"BTW Stefan mana ya?" aku melihat ke jam tanganku. Sudah jam 9 kurang sedikit, dan tidak ada pesan yang dibalas oleh Stefan.
"Maybe he's enjoying himself" jawab Zee dan dia duduk di kursi di depanku.
"Awas kalo sampe gak dateng"
--------------------------------------------
Studio musik berdentum, bergema oleh musik yang kami mainkan. Keringat sudah muncul di mukaku, dan aku duduk sejenak di kursi, mengambil botol berisi air dingin untuk membasahi kerongkonganku.
"Si anjing mana" bisik Anin di microphone. Sudah jam 10 malam. Dan Stefan tidak kelihatan batang hidungnya. Kami hanya berlatih bertiga, seakan-akan kami adalah band rock instrumental.
"Ga tau, dari tadi gak ada balesan... Ditelpon mah kagak bisa ya... wong simcardnya simcard data..."
"Ditelpon pake line dan whatsapp call juga ga nyambung" Anin memotong lagi ucapanku.
"Guys?" mendadak kepala Shigeo muncul di celah pintu studio.
"Yes?"
"Any news? Stefan?" tanyanya dengan muka bingung.
"Nope"
"Still Dotonbori?" tanya Shigeo.
Aku menjawab dengan menaikkan bahuku. Dan Anin juga. Bagas hanya diam.
"Do you think we find him?" tanya Shigeo lagi dengan grammar yang acak acakan.
Aku menjawab dengan menaikkan bahuku. Dan Anin juga. Bagas hanya diam.
"Harus kita cariin gak ya?" tanya Anin di microphone.
"Ga tau"
"Abis dia jadi ngeselin sih akhir-akhir ini, gara-gara elo mau kawin tuh" Anin malah bercanda.
"Ya salah sendiri"
"Jangan-jangan distalkingin Chiaki terus dibunuh" canda Anin.
"Masak, jangan-jangan dimabokin ama hostess terus duitnya diporotin" candaku.
"Teman hilang harusnya dicari, bukan dibecandain" mendadak Bagas bangkit dan keluar dari studio. Aku dan Anin hanya melongo.
--------------------------------------------
BERSAMBUNG