Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MISTERI Mara: The Catastrophe

Status
Please reply by conversation.
Cadaaaaasssss... Bangkit lagi gairah buat baca cerita.
Penggambaran sang pembawa petaka serta sikap"nya dapet banget.
Bagus gan ceritanya
 
Ane masih bingung dng sosok mara ini suhu...kesimpulan yg ane tangkep mara tu sumber malapeta buat smua yg di dekatnya..tp update sebelumnya bahwa mara pny ayah" sebelumnya...apakah mara itu kembali jd bocah stlh membuat malapetaka or gmn yak suhu? :bingung:
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
bang andree, sumpah merinding bacanya..

btw, ada dhek manda gak ya kira kira ntar??

:beer:
 
Ceritanya keren suhu :jempol: btw ane ga demen bgt ama sikap aristokrat kosasih ke mara..mara jd kyk akashi seijuro. Kosasih yg katanya aristokrat itu sok bgt ngelarang2 mara makan gorengan otak2 sate sosis pdhl ane yakin kosasih pas lg bocah pasti suka makan gorengan :galak: oya ane berharap mara jgn sampe jd pelukis ghoib yg sering muncul di tv itu ya suhu :aduh:
 
Gak akan ane baca cerita suhu andre ini pas malam jum'at... Hahaha

Ngeeerrrii...
 
:aduh: Waduh....di lapak sebelah cerita mengenai kematian akhirnya bikin baper :((, disini juga bercerita tentang kematian tapi bikin merinding disco, untung bukan malam jumat, :)
 
Wuahhhh.....
Serem sehhh tapi good write smoga bisa selesai dan mencenangkan.
 
ndre ndre updatenya koq nanggung amat sih
panjangin dong :pandajahat:
 
Kpn lg rncna update nya hu.. Ga sabar lihat perkembangan kekuatan mara
 
Bimabet
Chapter IV:
The Untold Story of Sweet Romance





Pada awalnya, ini hanya kisah sepasang muda-mudi yang tenggelam dalam romansa. Tersebutlah seorang pelukis berbakat, yang mencintai seorang gadis desa biasa. Tidak, tidak, dia bukan kembang desa. Bukan pula gadis yang cantik, yang membuat banyak pejantan kampung kepincut akan pesonanya. Cuma gadis desa biasa, jelek, lusuh, namun mempunyai hati yang tulusnya luar biasa.

Dan sang pelukis muda melihat hal ini pada diri si gadis, lalu dia jatuh cinta. Sang pelukis berharap, suatu saat nanti bisa melukis kecantikan hati si gadis. Meski kecantikan hati tak punya bentuk fisik, tapi sang pelukis punya mimpi ini; bahwa dia akan menorehkan kuas catnya pada kanvas putih, menggambarkan ketulusan hati si gadis dengan bentuk terindah yang manusia pernah lihat. Si gadis pun juga berharap, bahwa dia ingin selalu berada di sisi sang pelukis muda, mendukungnya melewati segala rintangan, dan menemaninya dalam keadaan baik maupun sulit.

Maka mereka pun membuat satu janji; untuk mengukuhkan cinta dan mimpi mereka menjadi nyata. Sepertinya janji mereka di dengar semesta, karena tak lama setelah itu, salah satu lukisan sang pelukis pun terjual dengan harga tinggi. Dengan uang yang sangat banyak itu, sang pelukis bermaksud melamar si gadis dan mengadakan pesta pernikahan besar-besaran sebagai perayaan bersatunya mereka berdua.

Tapi keadaan tak selalu berjalan sesuai ekspektasi.

Keluarga sang pelukis tak menyetujui sang pelukis muda bersanding dengan gadis jelek dan miskin yang akan menorehkan malu ke nama keluarga. Sang pelukis diberi pilihan, untuk berpisah dengan si gadis, atau dengan keluarganya.

Pilihan macam apa itu? pikir sang pelukis. Dia bahkan tak bisa melepas salah satunya, karena menurutnya, keduanya begitu berharga. Tapi ultimatum sudah di titahkan. Lalu, sang pelukis bertanya, "seperti apa pasangan yang pantas untukku?"

"Gadis itu haruslah dari keluarga terpandang," jawab sang kepala keluarga, "atau minimal, dia cantik sehingga tak akan membikin malu ketika bersanding denganmu di pelaminan."

Sang pelukis pun menceritakan ucapan ayahnya kepada si gadis, membuat si gadis mendapat sebuah ide. Sang pelukis di beritahu, bahwa sangat mungkin si gadis menjadi cantik; yaitu dengan operasi plastik berbekal uang yang diperoleh dari penjualan lukisan. Tanpa pikir panjang, sang pelukis menyetujui idenya, dan setelah si gadis menjadi cantik, mereka kembali menghadap ke keluarga sang pelukis.

Tanpa di duga, sang kepala keluarga menyetujui pernikahan mereka dengan mudahnya. Pesta pun di gelar, dan kini, kedua pasangan itu telah sah menjadi sepasang suami-istri. Semua bahagia ketika melihat mereka berdua bersanding di pelaminan. Sang pelukis tampan dan berbakat yang di idam-idamkan banyak gadis desa, dan si gadis yang membuat iri banyak gadis, namun membuat kagum para pria.

Lalu, kehidupan mereka memasuki babak baru.

Satu tahun setelahnya, lahirlah seorang bayi perempuan, hadir di antara mereka. Tidak, bayi itu tidak cantik seperti ibunya. Hanya lucu. Lucu yang menggemaskan. Keluarga kecil itu pun dipenuhi suka cita, namun hanya berselang beberapa tahun saja. Ketika bayi lucu itu bertumbuh kembang jadi balita, bentuk wajahnya pun semakin jelas...

Balita itu tidak cantik. Dia jelek, seperti ibunya dulu.

Si gadis yang telah menjadi ibu muda, tak terima bahwa anaknya berwajah jelek. Meski sang pelukis menerima kondisi anaknya, namun tidak dengan sang istri. Anak ini aib, dan harus di enyahkan dari keluarga mereka yang sempurna, begitu teriak si ibu muda pada suaminya. Pertengkaran tak bisa terelakkan. Tiada hari yang mereka lalui tanpa cekcok, dan selalu berakhir dengan sang pelukis yang pergi dari rumah, sementara si ibu muda tenggelam dalam amarah.

Dan satu-satunya cara meredakan amarahnya adalah dengan melampiaskannya pada si perempuan kecil, anaknya.

Tiada hari di laluinya tanpa siksaan dari ibunya sendiri. Di tampar, di jejali sampah, kepalanya dibenturkan ke tembok, jari-jari tangannya di setrika, wajahnya di silet, di benamkan di bak mandi, di kunci di gudang yang gelap semalaman, dan siksaan-siksaan keji lainnya.

Namun si ibu muda tak sadar, dan tak pernah sadar, bahwa dengan menyiksa anaknya sendiri, dia telah kehilangan ketulusan hati yang dulu membuat suaminya begitu cinta padanya. Dia bahkan lihai mengatakan pada sang suami ketika dia ingin melihat anaknya, bahwa anaknya sedang tidur sehabis belajar. Dan hal ini berlangsung selama setengah tahun tanpa si suami tahu penyiksaan macam apa yang di alami anaknya.

Lalu suatu hari, anak itu tewas. Dia tewas ketika kepalanya tengah dibenamkan di bak penuh berisi air. Meski tubuh kecilnya meronta-ronta tanda mulai kehabisan nafas, namun si ibu muda yang gelap mata tetap melancarkan siksaannya. Lama, cukup lama sampai si anak tak lagi bergerak. Semenit, dua menit, anak itu tetap tak bergerak. Lalu di menit kelima, si ibu muda baru menyadari bahwa anak kandungnya sendiri, yang lahir dari rahimnya sendiri, telah dia bunuh.

Untuk menutupi perbuatannya, si ibu muda pun memasukkan mayat anaknya ke dalam sebuah koper besar, lalu menyuruh salah satu tukang kebun untuk mengubur koper itu di halaman belakang rumah mereka. Ini hanya untuk sementara, begitu pikir si ibu muda. Jika situasi sudah lebih aman, dia berniat akan memindahkan koper itu ke tempat yang lebih jauh--dan lebih aman, tentunya.

Tapi si ibu muda tak tahu, bahwa beberapa malam ini sang pelukis sering mendapat mimpi buruk tentang anaknya yang terkubur di halaman belakang. Selalu mimpi yang sama. Ketika tiga hari berturut-turut dia mendapat mimpi buruk itu, dia pun mulai curiga. Dia juga tak melihat anaknya beberapa hari belakangan. "Mungkinkah anakku memang sudah...," sang pelukis tak berani berpikir lebih jauh.

Maka, pada suatu malam, dia pun menaruh obat tidur di minuman istrinya, berharap istrinya tidur pulas sehingga tidak akan memergokinya ketika menggali halaman belakang. Lalu, bersama tukang kebun yang menguburkan koper itu, mereka pun menggali kembali. Koper ditemukan, lalu dibuka.

Di dalam koper, mereka menemukan anak sang pelukis, sudah menjadi mayat dan dimasukkan ke koper dalam kondisi di tekuk. Dan lagi, kondisinya yang sudah membusuk dan menimbulkan bau menyengat semakin menambah hancur hati sang pelukis. Dan ketika dia bertanya pada si tukang kebun tentang siapa yang menyuruhnya mengubur koper itu, si tukang kebun dengan terpaksa memberitahu semuanya.

Malam itu juga, sang pelukis, dikuasai amarah, ingin membuat perhitungan dengan istrinya. Segera.

Dia pun mengendap-endap ke kamar mereka. Pelan, hampir tak menimbulkan suara. Di genggamnya sekop erat-erat, lalu dalam satu ayunan, dihantamkannya mata sekop ke wajah sang istri. Teriakan kesakitan spontan membahana, namun sang pelukis tak berhenti. Hantaman kedua, ketiga, keempat... meski si istri meronta dan memohon ampun berkali-kali, namun sang pelukis tak peduli. Dia kadung benci kepada wajah istrinya sendiri. Karena wajah itu, dia jadi membenci wajah anaknya yang jelek. Padahal wajah itu lah wajahnya sebelum menjadi cantik. Sang pelukis terus menghantamkan sekopnya, sampai wajah istrinya hancur dan berlumuran darah. Ibu muda itu tak lagi bergerak.

Sang pelukis balik badan. Dia ingin memanggil satu orang untuk membantunya membereskan tubuh istrinya yang dia yakini telah tewas, namun... bunyi berdebum ringan mengalihkan perhatiannya. Ketika dia menoleh, dia melihat istrinya sedang merangkak di lantai samping kasur, tertatih dan merintih kesakitan, meraba-raba sekitar untuk mencari jalan. Maka, sang pelukis berjalan pelan. Amat pelan. Di tindihnya tubuh istrinya, lalu kedua tangannya memegang kepala si istri. Sang pelukis menarik nafas panjang, lalu...

Dalam sekali putar, leher sang istri patah dan terpelintir ke belakang. Tak cukup dengan itu, sang pelukis terus memelintir sampai leher istrinya berputar satu lingkaran penuh. Kali ini, istrinya benar-benar mati.

Lalu sang pelukis menyusun rencana. Satu rencana sederhana. Ini akan terlihat seperti kecelakaan fatal, begitu ucapnya dalam hati. Maka, sang pelukis mengorbankan salah satu mobilnya, mengemudikan mobil itu ke tepi jurang dengan mayat istrinya di jok belakang, lalu dia keluar, dan mendorong mobilnya ke jurang.

Hanya tinggal menunggu kabar esok pagi, pikir sang pelukis. Dia kembali ke rumahnya, lalu menyuruh si tukang kebun untuk menguburkan mayat anaknya dengan layak di halaman belakang. Lalu semua terjadi seperti yang direncanakannya.

Kisah itu tak pernah terdengar ke telinga siapapun, kecuali bagi mereka yang menyaksikannya sendiri. Beberapa pelayan, tukang kebun, dan sang pelukis tetap bersikap biasa, pura-pura sedih, sambil tetap menjalankan aktifitasnya seperti biasa.

Yang diketahui oleh banyak orang hanyalah: seorang pelukis terkenal mengalami musibah tragis, yaitu kematian istrinya karena kecelakaan fatal, dan meninggalnya anak satu-satunya karena sakit keras. Dan itulah kenyataan yang diketahui publik selama sepuluh tahun, karena seperti halnya yang pernah dibilang seorang bijak; jika kamu terus mengabarkan kebohongan yang sama, maka semua orang akan mempercayainya dan menganggapnya kebenaran.

Atau seperti itulah yang terlihat.



= = = = =​


"Bagaimana rasanya mengetahui kebenaran dari hantu, Mara? Atau... kamu sudah sering mengalaminya?"

Perempuan berleher patah itu melayang-layang di dekat Mara, mengelus pipinya pelan. Mara sendiri masih diam di tempatnya, duduk di depan kanvas besar, memegang palet berisi cat minyak dengan warna-warna gelap di tangan kiri, dan kuas di tangan kanan. Sekarang, Mara berada di ruang lukis, bersiap melukis sebuah lukisan yang diminta Kosasih padanya.

"Sering, iya. Terbiasa, tidak. Aku tak pernah terbiasa mendengar cerita tentang manusia dari hantu, 'Ibu'," Mara menorehkan cat pertama di kanvas, "yang sudah mati seharusnya menuruti takdirnya sebagai yang mati, dan yang hidup akan terus menjalani hidupnya. Seharusnya bisa sesederhana itu, 'Bu'."

"Tapi aku cuma bisa muncul ke dunia ini sepuluh tahun sekali, Mara. 'Ibumu' ini tak punya banyak waktu. Gerbang dimensi cuma bisa terbuka satu hari dalam kurun waktu sepuluh tahun. 'Neraka' tak semurah itu memberi 'Ibu' kesempatan, maka, ketika aku tahu kamu yang jadi anak angkat dari suamiku, aku rasa ini lah saat yang tepat untuk balas dendam!"

"Haahh... 'Ibu', " Mara mendesah berat, "'Ibu' melakukan dosa besar, dan wajar jika langsung masuk 'Neraka' setelah mati. Apa 'Ibu' sadar, jika 'Ibu' balas dendam, akan mendapat siksaan macam apa di Neraka nanti?"

"Aku sadar, hanya saja tak peduli!" teriak si perempuan, yang tentu hanya di dengar Mara. "Bantu 'Ibumu' ini balas dendam, 'anak' bebal!"

"Lalu, caranya?"

"Mara, di Neraka sana, 'mereka' membicarakanmu sebagai pelahap jiwa. Kamu juga sang pembuat malapetaka, dan menimbulkan bencana dan tragedi bagi siapapun yang berada di dekatmu. Semua penghuni Neraka tahu, betapa terkutuknya kamu, lahir sebagai anak dari hasil perkawinan iblis dan manusia, berpindah-pindah ayah asuh karena tak ada yang bisa menanggung bencana yang kamu bawa bersamamu. Dan kamu bertanya caranya padaku? Jangan bercanda!"

"Jadi," Mara pun menatap tajam pada si perempuan, "aku harus membantu 'Ibu' dengan menghadirkan bencana ke rumah ini?"

"Tepat! Anak pintar. Waktuku tidak banyak, Mara. Aku akan kembali ke Neraka, tapi sebelum kembali ke sana, aku menemukan cara agar bisa kembali lagi ke dunia ini tanpa harus menunggu sepuluh tahun lagi."

"Dan caranya itu..?"

"Kamu. Buat lukisan diriku, yang sama persis dengan wujudku saat ini. Lukisan itu nanti akan jadi portal bagiku untuk bisa keluar dari Neraka dan pergi ke alam fana. Tapi ingat, jangan sampai suamiku tahu, Mara, atau rencana ini akan gagal..."

Mara terdiam, lalu benar-benar berhenti menorehkan kuas ke kanvas. Ditatapnya mata perempuan itu, tajam. Sepasang mata yang lebih tampak seperti bulatan kilat merah yang berpendar. Mara tahu, hantu perempuan ini punya sesuatu yang Mara inginkan, dan dendam telah membutakannya sehingga akan merelakan sesuatu itu sebagai imbalan atas bantuan Mara untuknya.

"Dan apa yang aku dapat dari membantu rencanamu, 'Ibu'?" tanya Mara, memancing.

Perempuan itu tersenyum menyeringai. Dia tahu, Mara akan membantunya, dan dia sudah bersiap akan hal itu. "Aku cinta kamu, 'anakku'. Karena aku cinta kamu, maka aku mau kamu memiliki jiwaku, setelah dendamku berhasil terbalas nanti. Aku tahu, kamu mencintai jiwa-jiwa yang tak biasa, bukan? Jiwaku cukup menarik kan, hah? Bagaimana, Mara?"

Mara kembali menorehkan kuas, tapi ada rona gembira terpancar di wajahnya. Dia tak bisa menyembunyikan ekspresi kegembiraan itu, membayangkan bahwa satu lagi jiwa yang unik akan menjadi koleksinya.

Bergabung bersama jiwa-jiwa berisik yang terus berteriak dan bergemuruh di dalam dadanya.

"Tiga bulan, 'Ibu'. Tiga bulan, dan akan kuselesaikan lukisanmu. Jadi, biarkan aku mengingatmu sampai 'Ibu' menghilang, senja nanti."

Mara menatap si hantu perempuan, begitu lekat sampai dia ga mau berkedip. Memperhatikan tiap detil, pola baju, gurat-gurat kulit yang terpelintir di lehernya, dan muka hancur di wajahnya. Mara berusaha mengingat semuanya ke dalam kepalanya.

"'Ibu', jiwamu penuh dendam," kata Mara, lembut, "salah satu jiwa lezat yang akan kusantap nanti. Aku cinta 'Ibu', hihi."

Ya, justru karena mencintai mereka lah, aku harus memiliki jiwanya. Ini kutukanku, yang Pendeta itu pernah bilang, dulu. Kutukan untuk mencintai, atau tidak sama sekali.




-The Untold Story of Sweet Romance: End-
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd