Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Mama Sayang Kamu Bagas (TAMAT)

Mama Sayang Kamu Bagas | Part 02
Bagasku Sayang




Aku memang bukan dari keluarga yang berada. Tak memiliki kerabat atau kenalan yang bergelimang harta. Aku hanyalah tukang setting desain paruh waktu yang hanya memiliki keahlian dalam menyusun gambar menjadi sebuah layout. Undangan, poster ulang tahun, cover makalah, ataupun kartu nama. Bekerja disebuah percetakan yang karyawannya hanya sebanyak belasan orang.

Aku tak memiliki latar belakang pendidikan atau agama yang tinggi. Aku hanya sekolah hingga kelas 1 SMK. Yang langsung memutuskan untuk langsung keluar ketika tahu jika diriku hamil oleh kakak kelasku, Damian Hendrianto. Sesosok lelaki gagah nan tampan yang menjalin kasih denganku selama 3 bulan, sebelum akhirnya ia berhasil menanamkan benih kehidupan, didalam hangatnya rahimku.

Hubungan kami, tentu saja tak direstui oleh keluarga di kedua belah pihak. Mendengar ceritaku, ayah langsung murka. Menamparku keras pipi kiriku dan menyuruhku segera pergi dari rumah. Walau ibu sempat menahanku untuk tetap tinggal, akan tetapi tangan kasar ayahku mampu membuat pendirian ibuku berubah. Dengan langkah sempoyongan dan mata masih berkunang-kunang, aku meninggalkan satu-satunya keluarga yang aku kenal dikota ini.

Berbeda dengan ayah Damian, begitu tahu jika anak lelakinya menghamili gadis dari keluarga biasa, beliau langsung menyusun rencana darurat. Mengirim Damian ke rumah saudaranya di pulau lain, demi menyelamatkan nama baik keluarga. Namun, sebelum semua terlaksana, Damian memutuskan untuk kabur dari rumah dan menemuiku di parkiran sekolah.

Merasa tak ada dukungan dari keluarga, aku dan Damian nekat memutuskan untuk pergi. Dengan berbekal selembar pakaian yang ada di badan, kami berdua memutuskan untuk menjauh dari kota ini.

Beberapa bulan pertama, kami hidup tanpa arah tujuan. Tak ada target atau impian yang harus dicapai. Karena saat itu, yang terpenting adalah, kami tak mati kelaparan.

Perutku semakin membesar, dan pandangan orang disekitarku semakin aneh melihatku. Walhasil, demi menghindari cibiran dari orang-orang sekitar dan pertanyaan dari aparat wilayah setempat, kami harus sering-sering berpindah kosan.

Satu kosan, kosan lain. Satu kota ke kota lain. Begitu saja selama kurang lebih 7 bulan perjalanan bersama kami. Jangan dikira kami pindah kosan karena banyak duit. Justru karena tak ada duit, kami jadi sering berpindah-pindah. Bahkan kosan terakhir kami ini, ada dibantaran sungai yang sering menggenang jika hujan deras.

Mengenaskan memang. Hanya saja mau gimana lagi?
Karena hanya ini kemampuan kami saat itu.

“Mas… Bulan depan bayi kita lahir…” Ucapku sambil mengusap perut besarku, menatap aliran sungai yang perlahan naik dari jendela rumah karena hujan deras semalaman,”Kita tak bisa seperti ini terus… Kita butuh biaya buat persalinan adek besok…”
“Iya Dek… Sabar ya….” Jawab Damian tersenyum kearahku, “Mas akan cari cara…” Sambungnya lirih dan menatap kosong jauh keluar jendela. Memandang langit yang masih gelap karena tertutup awan.


***

“Selamat ya Dek… Kamu telah menjadi seorang ibu…” Ucap mas Damian ketika aku pertama kali membuka mata.
“Eehh…? Aku dimana mas…?” Heranku sambil celingukan kesana kemari, “Ini di rumah sakit…?”
“Bukan Sayang… Kamu sekarang ada di klinik…”
“Klinik….? Bukannya tadi kita ke bidan Mas…? Kita ini pindah atau gimana Mas…?”
“.…..” Tak menjawab, mas Damian hanya mengangguk.

“Ya Ampuuunnn Mass… Lahiran di bidan aja kita pas-pasan… Ini malah diklinik…” Omelku sambil bersungut-sungut, “Duit darimana Mas… ?”
“Aku harus membawamu pindah kesini Dek… Karena bidan bilang ke mas… Kalo ternyata kandungan kamu bermasalah…”
“Bermasalah…?”

Ternyata, ketika hendak menjalani proses melahirkan di klinik, tensi darahku mendadak turun. Sehingga menyebabkan aku kehilangan kesadaran. Beberapa bidan memberi tahu suamiku, jika bayi yang ada didalam kandunganku ternyata mengalami sedikit permasalahan. Dia sungsang dan terlilit oleh tali pusar. Sehingga mau tak mau, aku harus dibawa ke klinik.

Sejenak aku diam, kutatap wajah suamiku yang terlihat lelah. Ada setitik air mata ketika menjelaskan alasan kepindahanku. Ya Tuhan, terimakasih telah memberiku lelaki yang sabar seperti dia.
“Makasih ya Mas…” Ucapku lirih hati sambil mengusap rambutnya.

“Lalu…? Anak kita gimana mas…?” Tanyaku.
“Anak kita sehat…”
“Aku pengen lihat….” Jawabku yang kemudian buru-buru bangkit dari ranjang periksaku.

“Uuuhhh… Sakitttt….” Erangku ketika merasakan rasa perih dibawah perutku
“Eehh… Pelan-pelan Dek….”
“Aku kenapa Mas…?” Tanyaku heran sambil menekan perut bawahku, “Ini kenapa….? Kok perutku diperban gini…?”
“Kamu sesar dek… Perut kamu disayat supaya dedek bayinya bisa diselamatin…”

“Astaga Mass…” Detak jantungku langsung berpacu begitu mendengar kata sesar. Karena dikepalaku, sesar hanyalah proses persalinan yang membuang-buang uang.

“Kira-kira…Berapa tuh biayanya ya Mas…?”
“Ntar mas cari cara Dek…” Ucapnya pelan sambil mengecup keningku..

***

Bermodal nekat, mas Damian menjual satu-satunya barang berharga yang ia miliki. Motor merah berlambang sayap. Terpaksa dilego kekasihku guna melunasi biaya persalinan di rumah sakit.

“Laku 4 juta Dek…” Jawab mas Damian sambil menyerahkan sekantung tas plastik yang penuh berisi uang,”Sebagian kamu pegang aja ya… Mas mau bayar klinik dulu…”

Jaman sekarang, uang 4 juta bukanlah sebuah nominal yang fantastis. Namun diwaktu itu, uang segitu udah bisa membuatku bersyukur sekali.

Bisa bayar klinik, bisa beli peralatan bayi, bisa sedikit makan enak. Yah, walau masih belom pindah kosan dari bantaran sungai, paling tidak kebutuhan hidupku agak tercukupi.


***

Bagas kecil, tumbuh besar memang tanpa banyak didukung materi. Hidupnya, dapat dibilang pas-pasan. Walau tak berlebihan, juga tak begitu kekurangan. Yang jelas, putra semata wayangku ini, selalu memiliki kasih sayang yang begitu berlimpah.

Dikarenakan mas Damian sibuk mencari rejeki, otomatis hanya akulah yang bisa merawat dan mencukupi kebutuhannya. Dan dari kedekatan itulah, Bagas terlihat lebih perhatian kepadaku.
Pagi melek mata, aku yang pertama kali menyapanya. Sarapan, aku yang menyiapkan, sekolah aku yang mengantarkan, dan mandipun, aku yang memandikan.

Satu-satunya waktu dimana Bagas bisa melihat keberadaan mas Damian, adalah ketika jam 7.30 malam. Ketika mas Damian pulang kantor, makan malam, menonton acara TV dunia dalam berita, lalu pergi kekamar.

“Aku sayang Mama….” Adalah kalimat favorit Bagas.
“Mama juga sayang Bagas…”

Ya begitulah, aku hanya punya kasih sayang.
Kasih sayanglah yang selalu mendampingi putraku dari semenjak ia bayi. Balita. Anak-anak. Remaja. Hingga ia beranjak dewasa.

Dan dengan asupan kasih sayang, aku akan menggiring kedewasaan kepada putraku nanti.
Kasih sayang, dengan sedikit bumbu nafsu didalamnya.


***

Jika usiaku dihitung, memang sudah tak muda lagi. Perbedaan usiaku dan Bagas terpaut 16 tahun, aku sadar jika aku bukanlah anak remaja.

“Kamu masih cantik loh Manda….” ucapku ketika mematut diri didepan cermin kamarku, “Kamu tak kalah dengan penampilan remaja pada umumnya….”

Meskipun bentuk pinggangku tak selangsing dulu, namun aku masih percaya diri dengan asset yang ada ditubuhku. Wajahku masih kencang, payudaraku juga belom turun. Pantatku belom kendor dan
yang terpenting, vaginaku masih rapat. Karena Bagas berhasil muncul dimuka bumi berkat hasil dari sayatan selebar 10cm dibawah pusarku.

Namun tentu saja, tak hanya itu asset yang bisa aku banggakan. Kulitku masih terlihat mengkilap, rambutku belum beruban, dan yang paling mudah membuat lelaki melirik kearahku, adalah karena kaki jenjangku yang begitu panjang.

Dalam keseharian, aku lebih sering mengenakan kolor dan daster pendek. Karena memang nyaman, adem, praktis dan tak perlu banyak berpikir untuk padu padan. Namun, alasan lain kenapa aku sering mengenakan pakaian itu, karena, mas Damian seringkali meminta jatah biologisnya tanpa melihat situasi.

Mas Damian, kalo dalam berhubungan badan, mirip tikus hutan. Ia tak kenal lelah. Kapan saja dan dimana saja. Bahkan, tak jarang, mas Damian meminta seks, ketika ada Bagas didekatku.

Sebagai istri yang baik, aku harus menurutinya. Walau, memang kadang aku tak mendapat kepuasan dalam persetubuhan kilatnya. Namun yang jelas, itu membuat mas Damian tak melirik wanita lain demi mendapatkan kenikmatan persetubuhan.

Aku tahu, ketika aku dan mas Damian sedang bersetubuh, bagas sering berusaha mengintip. Namun karena belum ada kesempatan bagiku untuk memberikan putra kandungku pertunjukan sensual kami. Cukuplah, Bagas menikmati imajinasi seksualnya dari suara benturan tempat tidur dan desahan-desahan suaraku.


***


Semenjak kejadian masturbasi bareng di malam itu, aku sadar, jika benih-benih incest mulai tumbuh dan berkembang diantara aku dan putraku. Kami semakin akrab, lebih dekat, dan lebih dapat mengekspresikan diri.


Tak ada lagi rasa malu-malu, tak ada lagi rasa sungkan atau rasa canggung. Semuanya terbuka dan mengalir begitu saja. Aku semakin sayang ke putraku, pun demikian dengan putraku yang sayang padaku. Bahkan jika dilihat dari mata awam, Bagas memperlakukan diriku lebih dari sekedar ibu kandungnya.

Rasa kagum perlahan berubah menjadi rasa sayang. Rasa sayang berubah menjadi rasa cinta.
Dan rasa cinta, perlahan menggeser fungsi dan peran akal sehat dihati. Menjadikan semuanya menjadi indah, menjadi benar dan menjadi patut diperjuangkan.

Sama seperti pikiran anehku yang menganggap hubungan kasih ibu dan anak, adalah sebuah hubungan yang indah. Mengolah cinta yang dibalut dengan nafsu, menjadi sebuah pembenaran. Dan mencintai hubungan sedarah adalah perlu diperjuangkan.

Sayangnya, Bagas adalah sosok yang sangat pemalu. Tak mampu mengungkapkan perasaan cintanya secara terang-terangan kepadaku. Ia juga hanya bisa memendam rasa. Karena sampai kapanpun, Bagas merasa jika aku adalah ibukandungnya. Bukan pacar, kekasih, atau seseoarang yang sederajat dengannya.

Oleh sebab itu, benar. Jika keputusan untuk agresif dan bergerak duluan adalah benar adanya. Karena jika aku tak segera mengajak putra kandungku melangkah lebih jauh, akan ada orang lain, entah siapa itu, yang bakal mengajaknya terlebih dahulu.

Aku tahu, jika belakangan ini, Bagas sering mengambil gambarku secara diam-diam. Entah ketika aku sedang duduk di kursi sofa menonton TV, sedang makan, sedang menyapu, sedang tertawa, dan lain sebagainya. Aku juga tahu jika ketika aku tidur, putra kandungku itu juga sering merekam videoku. Dari ujung rambut hingga ujung kaki.

Yang belum ia lakukan hanyalah, mendokumentasikanku ketika sedang mandi, ataupun masturbasi.


“Kamu suka dengan apa yang kamu ambil…?” Tanyaku ketika dengan sengaja, mengangkap basah Bagas yang sedang merekam tidurku.
“Eee… Ehhh… Mama….?” Kagetnya, “Kok… Belom tidur…?”
“Emang kenapa kalo Mama belom tidur…?”
“Nggg…..”

“Coba sini handphonemu….” Pintaku tegas sambil menjulurkan tangan
“Ngggg… Anu Ma…” Bingungnya dengan wajah yang terlihat panik
“Sini-in Sayang….” Pintaku lagi, “Mama pengen lihat…”

“Sini-in… Cepetan…”

Dengan bimbang, Bagas pun menyerahkan handphonenya.

Dan benar, hampir 90% photo yang ada di gallery handphonenya, adalah photoku.
Wajah
Payudara
Pantat
Kaki
Semua tersusun rapi di dalam folder-foldernya.

“Dari semua photo-photo ini… Mana yang paling kamu suka…?” Tanyaku sambil menyerahkan kembali handphone Bagas kepadanya.

“Nggg….” Jawabnya ragu.
“Kamu suka bagian tubuh Mama yang mana Sayang…?”
“Anu Maaa….”
“Gapapa… Sebut aja… Mama ga marah kok….”
“Bener Ma…?”
“Iya… Buat apa coba Mama marah…?” Rayuku, “Toh kamu ga melakukan kesalahan yang serius…”

“Naahh…” Ucapku lagi sambil menjeda kalimatku sedikit lebih lama, “Jadi….?”
“Tetek Mama….” Jawab Bagas spontan.

Aku tersenyum mendengar jawaban putraku. Dan tanpa berpikir panjang, aku remas bawahan payudaraku dan kusodorkan padanya.

“Tetek yang ini…?” Godaku lagi semakin menyodorkan kearah Bagas, “Yang kiri atau kanan….?”
“Eeehh…?” Bingungnya,
“Iya… Kamu suka tetek kiri? Atau kanan Mama….?”
”Nggg… Dua-duanya….”

“Lalu apa lagi…?” Tanyaku makin mengorek
”Bokong Mama…”
“Kenapa…?”
“Karena mirip bokong film-film….. Ngggg itu Ma…”

“Bokep…?”
“Nggg.. Gitulah….”
“Oke… Trus apalagi yang kamu suka dari Mama…?”
“Ngggg…”
“Apalagi Sayang…?”
“Ngggg….. Celana dalam Mama….”
“Uuuhhh… Kamu nakal ya Sayang… Hihihih“ Tawaku renyah.

Seorang ibu yang benar, seharusnya marah ketika ia mendapati putra semata wayangnya berbuat seperti itu. Namun kareng memang otak warasku sudah miring. Aku malah senang, dengan jawaban-jawaban mesum Bagas terhadapku.

Pandangan mesum bagas, adalah sebuah pujian bagiku.

Membuat lendir vaginaku kembali merembes keluar dari sela-sela bibir kemaluanku.

“Ohhh.. Bagas….”

“Jadi… Semua photo-photo Mama ini… Kamu ambil untuk apa sih Sayang…?” Godaku menelisik lebih jauh, “Mama udah tua gini kamu photo-photo melulu…”
“Mama cantik kok… Nggak tua…” Bela Bagas.
“Bisa aja kamu Sayang…”
“Beneran Ma… Mama masih keliatan muda kok…” Jelasnya lagi, “Masih muda dan seksi…”

“Hmmm…. Seksi ya…?”
“Iya Maaa… Seksi….”
“Trus kalo Mama seksi… Photo-photo itu kamu gunain buat apa….?”

“Ngggg…..” Lagi-lagi Putraku kebingungan
“Buat bahan kamu coli….?” Tembakku sambil tersenyum.

“.………..” Bingung harus berkata apa
“Gapapa Sayang.… Bilang aja…” ucapku makin melebarkan senyum, “Toh ini Mama kamu sendiri kok… Kalopun kamu suka…. Kamu boleh kok coli pake photo Mama….”

“Heehh…? Beneran Ma…?” Tanya putraku spontan dengan mata membulat.
“Iya Sayang… Beneran…” Ucapku yang kemudian duduk disofa ruang keluarga. Membentangkan kedua tungkai kakiku lebar-lebar dan menaikkan bawahan daster pendekku.

“Ehhhh…? Mama mau apa…?”
“Sok… Sayang… Photo aja tubuh Mama…. Sepuasmu…. “ Desahku sambil menonton TV dan memamerkan celana dalamku.

Kejujuran adalah kunci sebuah hubungan. Begitupun dengan aku dan Bagas. Karena tak adalagi hal besar yang perlu disembunyikan, aku benar-benar merasa PLONG.

Aku mulai nyaman dengan sikap Bagas yang terbuka akan segala keinginannya. Hubungan ibu dan anakku pun seolah memasuki babak baru. Babak dimana harapan incest bersama putra kandungku jadi semakin dekat.

Memikirkan segala sesuatu mengenai incest ini, benar-benar membuat liang peranakanku semakin banjir. Begitupun dengan Bagas, yang berulang kali membetulkan posisi penis besarnya yang terasa begitu tidak nyaman dibalik kolor sempitnya

“Ohhh Bagas… Andai kau mengerti kebutuhan Mama…”
“Tusuk memek Mama Sayang….”
“Sodok memek Mama dengan kontol besarmu….”

***

Malam itu, aku pulang dari tempat kerjaku dalam kondisi kelelahan. Aku harus berjaga 2 shift dikarenakan rekan kerjaku sakit. Pinggang serasa mau patah karena selain melayout, aku harus menghadapi customer yang datang.

“Ooohhh… Aku butuh pijat…” Batinku sambil membuka pintu rumah.

CKLEEK
“Hmmmm… Sepertinya ada yang lupa menyalakan lampu rumah nih…” Ucapku lagi dalam hati sambil mengecek kondisi putraku.

“Zzzzzzz…..Zzzzzzzz…..” Suara dengkur halus langsung terdengar ketika aku mendekat ke kamarnya.

Dan benar saja. Didalam kamarnya yang temaram, Putraku sudah tertidur lelap. Tergeletak nyenyak diatas kasur dengan pintu dan jendela kamarnya terbuka lebar.

“Sepertinya ia kelelahan…” Batinku sambil berjalan melewati ruang kamarnya lalu menutup jendela yang masih terbuka lebar.

Namu, ketika aku hendak balik keluar kamar, sekilas, aku menyadari jika saat itu ada yang berbeda dari cara tidur Bagas

“ASTAGA… Bagas tidur telanjang….” Kagetku dalam hati.

Seketika, mataku membeliak. Detak jantungku berdebar cepat dan memacu darah birahiku ke segala penjuru syaraf.

Alih-alih membetulkan ketelanjangan putraku, aku malah menatap nanar kearah Bagas berada.

Wajah sayunya yang tenang. Dadanya yang bidang. Lengannya yang menonjol. Perutnya yang membelah ramping.

Dan

“Ohhh.. Penis Bagas….” Decakku kagum, “Sepertinya ia baru saja masturbasi…”

Aku benar-benar tercengang melihat batang kemaluan putraku. Walaupun masih dalam keadaan lunglai, akan tetapi aku langsung tahu. Jika ukuran penis Bagas bukanlah ukuran penis standart kebanyakan orang.

Dalam kondisi lemaspun, ukuran penisnya sudah sebesar pisang kepok. Bagaimana ketika ia dalam kondisi tegang. Pasti ukurannya bakal membesar 3x lipat dari sekarang.

“Uuuggghhh…. Ngeri….” Batinku yang seketika langsung meraba vaginaku yang langsung melembab. Membayangkan jika nantinya penis itu akan membelah liang senggamaku

Kembali kupicingkan mataku, berusaha mendapatkan visual terbaik dikeremangan malam.

Batang penis itu tampak berwarna coklat kemerahan dengan urat-urat yang menonjol kebiruan. Kepala penisnya begitu besar, membonggol merah, khas penis ketika baru saja memuntahkan spermanya.

“Seksi sekali tititmu Nak… Lucu…” Girangku yang berusaha menatap lebih dekat kondisi penis Bagas.

Semakin kulihat, semakin bersemangat aku jadinya. Tubuhku tak dapat bergerak. Terpaku, terdiam menatap pemandangan didepanku yang begitu menggairahkan. Bahkan ketika aku melihat lelehan sperma yang menggenang di perut kekar Bagas, jantungku terasa mau meledak. Saking birahinya.

Mendadak, aku mendapat ide.

Kuambil handphone jadulku, kubuka aplikasi kamera, lalu kuambil photo-photo dan video penis putraku. Dari jauh, dari dekat dan dari berbagai macam sudut.

CKREEK CKREEK CKREEK

“Banyak sekali tuh pejuhmu Sayang….” Kagumku dengan dada yang terus berdebar hebat. Terus mengabadikan ketelanjangan putraku tanpa henti

CKREEK CKREEK CKREEK

“Uhhhh…. Titit Bagas yang cantik….”

CKREEK CKREEK CKREEK

Sperma itu membasahi sekujur batang penisnya, kantung zakarnya, dan pinggul kencangnya. Sebagian muncrat ke perut, dada, dan berceceran di sprei putihnya.

Aroma spermanya pun begitu memabukkan. Beterbangan memenuhi seluruh penjuru kamar. Semakin dihirup, semakin membuat kesadaranku sirna.

Dan benar, tak lama kemudian, aku merasa ada sesuatu yang menuntunku tanganku maju. Menjulurkan jemariku untuk menyentuh batang kemaluan Bagas.

“Pegang tititnya Nda… Pegang…” Sepoi suara angin berbisik mesum
“Ehhhh….?” Kaget otak warasku.
“Pegang aja… Toh Bagas anaknya kebo kalo tidur….” Bisik mesum itu lagi, “Kalo dipegang dikit aja… Dia ga bakalan bangun Nda… ”
“Hmmmmm… Bener juga….” Otak warasku mulai terpengaruh

DEGDEG DEGDEG DEGDEG
Suara detak jantungku terdengar begitu nyaring, saking girangku.

Tubuhku begitu bersemangat, penuh terisi oleh gejolak birahi yang terpompa oleh denyut nafsu. Napasku pun mulai tak teratur, karena dorongan kemesuman yang tak terbendung.

SREETT
Kusentuh cairan kental nan licin di perut Bagas dengan jari telunjukku. Mengusapnya pelan dan anehnya, mendekatkannya ke hidungku.

“Ohhhh… Pejuhmu harum sekali Sayang….” Ucapku penuh nafsu yang kemudian tanpa sadar menjilat leleh sperma dijariku. Mengecap dan meresapi dengan penuh hikmat.

“Pejuh yang enak…” batinku spontan sambil menjulurkan jariku lagi mengusap kedua kalinya.

Namun, kali ini aku mau mencoba mani yang ada didekat batang penis Bagas.

SREET
Lagi-lagi, kusentuh cairan kenikmatan putraku dan kembali kukecapi dalam-dalam. Seolah membedakan rasa antara sperma pertama dan kedua.

“Pejuh… Kalo dekat titit…Kok terasa lebih enak ya…?” Ucap bisik mesumku yang kembali muncul
“Apa jangan-jangan kalo pejuh di titit…. Bakalan lebih enak lagi….”

DEG
“Astaga…. Pikiran apapula itu….?”
Perasaanku seketika bercampur-campur. Antara heran, bingung, penasaran, dan tertantang.

“Iya kali ya… Pejuh di titit pasti lebih enak….”

Tanpa berpikir panjang, aku mendekatkan diri ke penis Bagas.
Aku harus bisa merasakan pejuh di penisnya.

Dan, entah mendapat ide darimana, sekelebat pemikiran muncul di otak tak sehatku.
“Seru kali ya… Kalo bisa jilatin titit Bagas yang seksi itu….?”

“AARRGGGHHH…” Batinku berteriak.

Kujulurkan jemari tanganku. Kuraih batang penis putra kandungku yang tergolek lemas itu. Kemudian.

HAAPP

Kucaplok kepala penisnya.
Kujilat sperma yang melumuri kepala penisnya.
Dan kukecapi rasa serta tekstur yang terkandung didalamnya

“Oooohhhhh… Nikmat sekali pejuh harummu Sayang….” Girangku sambil terus menjiati lelehan sperma di penis yang lemas itu.

SLUUURRRPP
Secara tak sadar, aku mulai lebih intens menjilati batang penis bagas. Menjilat dari kepala penis hingga kantung zakarnya.

SLUUURRP SLUUURRP SLUUURRP
Jilat terus tanpa henti, hingga rasa sperma di sekujur penisnya sudah tak terasa lagi.

Hingga tak lama kemudian, aku menyadari.
Penis di tanganku perlahan menggeliat. Menggembung dengan cepat hingga tak dapat kugenggam dengan satu tangan

“Titit Bagas ngaceng….” kagetku melihat perkembangan ukuran penis putra semata wayangku.
Dari yang semula berukuran pisang kepok, sekarang menjadi seukuran pisang tanduk.

“Besar sekali titit Bagas Nda…. Panjang…” Bisik mesumku kesenangan, “Uuhhhh… Pasti bakalan terasa nikmat nih kalo nanti nyodok-nyodok memekmu….”

“Ehhh… Sebentar… Ini bukan titit Manda…” Ucap otak mesumku.
“Lalu…?”
“Ini tuh kontol….”

“KONTOL…?” Tanyaku dalam hati menatap batang besar yang menjulang bengkok ditanganku

“ASTAGA…. Benar… Ini Kontol….” Kagetku yang tiba-tiba melepas batang penis Bagas dari tanganku.

Aku mendadak sadar. Jika titit, adalah sebutan buat alat kelamin anak laki-laki yang masih kecil ataupun remaja. Sedangkan alat kelamin yang ada dihadapanku adalah, kontol.

Bukan, batang penis Bagas adalah KONTOL. Dengan huruf kapital jumbo.
Karena sepertinya, kontol jumbo adalah sebutan yang paling cocok untuk menggambarkannya.

“Besar sekali kontolmu Sayang…” Desahku sambil menggigit bibir, “Sampe tangan Mama ga muat buat ngegenggemnya….”
“Besar… Panjang… Dan bikin Mama sange….”
“Benar-benar jauh lebih besar daripada kontol mas Damian…”

UUUUGGGGHHHHH
Erang Bagas yang tiba-tiba menggeliatkan tubuhnya.

“Dia bangun Nda… Bagas bangun….” Panikku yang kemudian buru-buru bangkit dan menjauh dari tempat tidur Bagas, “Keluar kamar deh… Ketimbang ketahuan mesum….”

Dan, tanpa berpikir panjang, aku langsung berjingkat pergi dari kamar Bagas.
Masuk kamarku, dan melepas seluruh pakaian yang ada ditubuhku.
Melempar tubuhku kekasur
Lalu

CLEEEPPPP
Kutusukkan langsung dua jariku, kedalam liang senggamaku yang sudah begitu banjir karena lendir vaginaku.

CLOK CLOK CLOK CLOK
Suara kecipakan vaginaku seketika nyaring memenuhi penjuru kamar

CLOK CLOK CLOK CLOK

Karena Bagas, aku benar-benar sange.
Karena putra kandungku, aku harus melepas semua gejolak birahiku.
Karena KONTOL Bagas, aku harus paling tidak dua kali orgasme.

CLOK CLOK CLOK CLOK

Namun, ketika sedang seru-serunya mendaki ke puncak birahi, tiba-tiba aku teringat sesuatu hal yang begitu penting.

“Bodoh… “
“Bodoh kau Mandaaa….”
“Kenapa tak kepikiran sama sekali ya…?” Umpatku dalam hati

“Bodohnya kau Mandaaaa….”
“Aku lupa mengambil handphone dikasur Bagas….”








Bersambung,
by Tolrat
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd