Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

LATERN [LKTCP 2020]

RoroLilith

Semprot Holic
Daftar
18 Aug 2018
Post
368
Like diterima
1.513
Lokasi
Tartarus
Bimabet
Ini adalah cerita fiktif dan fiksi.
Selamat membaca.





Langit tampak gelap. Udara lembap. Mentari yang berada sejengkal di garis cakrawala sebelah Timur dan sedang menyinari bumi terhalang oleh beberapa awan kumulonimbus yang cukup tebal. Awan-awan yang saling berjauhan sedang bergerak untuk berdekatan. Awan-awan itu bagai sepasang kekasih yang sedang dilanda asmara. Masing-masing di dalamnya mengandung banyak air. Angin dari arah Timur berhembus membawa awan menuju ke arah Barat. Terlihat orang-orang yang sedang beraktivitas dan berada di luar rumah sudah membekali diri dengan membawa payung serta jas hujan.

SSSSSSSSSSSSS….

Hujan disertai hembusan angin melanda sebuah desa yang terletak di pinggiran provinsi sebelah Timur pulau Jawa. Desa itu diapit oleh beberapa bukit dan gunung. Di sebelah Utara menjulang tinggi sebuah gunung, namanya gunung Raung. Di sebelah Selatan hamparan bukit berjajar ke arah Barat, lalu berbelok ke Utara, mirip ular raksasa yang sedang tertidur.

Ada nama asing yang menjadi nama kecamatan di desa itu. Konon, nama itu berasal dari Eropa. Yaitu nama yang diadopsi dari nama perkebunan, kemudian menjadi nama kecamatan. Karena letaknya yang sangat indah, sejuk, dikelilingi perbukitan dan gunung, mereka menyebutnya Glenmore. Setitik Eropa di tanah Jawa yang terletak di ketinggian antara 300 meter sampai 550 meter dari permukaan air laut.

Di sebuah desa di lereng gunung Raung, tinggalah sebuah keluarga sederhana yang menghuni sebuah rumah kecil. Seorang janda berumur 47 tahun dan seorang gadis berumur 18 tahun. Gadis itu telah lulus SMA dan dinyatakan lolos mengikuti SBMPTN yang cukup ketat. Ia diterima di sebuah perguruan tinggi negeri di kota Surabaya mengambil jurusan Sastra Jepang. Ia bercita-cita ingin pergi dan bekerja di Jepang. Menurutnya, bahasa adalah pintu dari segala ilmu pengetahuan.

Semua sudah terencana. Setelah menguasai bahasa jepang, ia akan bekerja sambil kuliah di universitas yang masuk 50 besar universitas terbaik di dunia, Tokyo Daigakku. Ia ingin mempelajari teknik dan teknologi robot di negeri sakura. Kecintaannya terhadap robot dimulai ketika ia melihat majunya perindustrian yang sedikit menggunakan tenaga manusia. Saat di bangku SD, ia pernah diajak sekolah mengunjungi pabrik pengolahan hasil kebun. Peralatannya dilakukan oleh robot. Mulai memilah kualitas buah dari yang paling bagus, sampai paling buruk. Pemandu menjelaskan, bahwa robot dan mesin-mesin itu dibeli dari Jepang.

"Kamu ngelamunin apa toh, nak? Dimakan dulu sarapannya. Nanti keburu dingin" Ujar seorang ibu yang duduk di samping kiri anak gadisnya.

"Saya tidak tega ninggalin ibu sendiri" balasnya sambil meletakkan piring ke meja yang ada di depannya, kemudian memeluk ibunya.

"Kamu tidak perlu khawatir, nak. Ibu akan baik-baik saja. Belajarlah yang rajin dan gapailah cita-citamu. Ibu akan selalu mendoakan kamu" Sambil duduk berpelukan, ibu tersebut mengusap punggung kepala anak gadis tersebut seraya menitikkan air mata.

Anak gadis yang ia rawat dari kecil, besok akan pergi menuju kota Surabaya untuk melanjutkan menimba ilmu. Pelukan itu cukup lama. Keduanya terikat cinta yang terpupuk sangat lama. Tidak lama kemudian, gadis itu ikut meneteskan air mata. Mungkin akan lama mereka bisa bertemu kembali. Tidak seperti masa SMA yang bisa bertemu tiap hari. Pada masa kuliah, paling banyak mereka dapat bertemu 5 kali dalam setahun.

Hujan semakin deras. Alam seakan ikut menangis dan memahami isi hati ibu yang akan ditinggal pergi anaknya.

"Ayo dihabisin ya, nak. Nanti kalau di Surabaya, siapa lagi yang akan mengingatkan kamu?"

“Iya bu”

Mereka berdua melepaskan pelukan, memberikan waktu bagi anak gadis untuk menghabiskan sarapan. Sang ibu berdiri meninggalkan ruangan menuju dapur. Langkah kakinya terhenti sesaat. Ia menoleh ke arah gadis berkulit kuning langsat sambil melepaskan senyum, lalu melanjutkan langkah menuju dapur.

Melinda. Perempuan berumur 18 tahun yang lahir di bulan Desember. Ia dianugerahi wajah cantik dan manis. Walaupun demikian, ia tidak sombong. Baginya, kecantikan itu nisbi. Dia tidak merasa cantik. Iman, taqwa, dan tingkah laku yang membuat jiwa dan kalbu menjadi cantik. Ia tinggal berdua bersama ibunya di sebuah rumah sederhana di desa Margomulyo. Rumahnya berada di seberang langgar. Mereka berdua termasuk orang yang rutin beribadah di langgar tersebut. Selalu mengikuti kegiatan pengajian serta dikenal ramah. Banyak pemuda yang naksir kepada Melinda, tapi banyak pula yang malu untuk mengungkapkan perasaannya.

Rohmah. Ibu Melinda yang telah lama menjanda. 3 bulan lagi umurnya akan menginjak 48 tahun. Ketika Melinda berumur 4 bulan, Ia dicerai oleh suaminya. Faktor kebencian, campur tangan saudara dan orang tua suami menyebabkan keretakan rumah tangga Rohmah. Namun demikian, Rohmah tetap bersyukur. Ini merupakan Qada dan Qadar dan harus diterima dengan lapang dada. Awalnya Rohmah merasa sedih. Lama-kelamaan ia sadar, bahwa inilah jalan terbaik untuk dirinya. Ia tidak boleh sedih berlarut-larut. Melinda adalah obat dan penyemangat hidupnya.

Rohmah memiliki tiga anak. Anak pertama diasuh oleh mantan suaminya. Firdaus, anak kedua dan kakak Melinda meninggal ketika berumur 7 bulan. Tidak diketahui penyebabnya apa. Menurut tetangga, Firdaus meninggal karena sawan manten. Saat itu mantan suami Rohmah mengunjungi pernikahan. Sepulangnya, ia langsung menggendong bayi tersebut. Menurut kepercayaan setempat, setelah bepergian, ayah Melinda diminta Rohmah untuk mendekati pawon yang ada di dapur. Ayah Melinda merupakan orang yang tidak percaya mitos-mitos seperti itu. Akhirnya, setelah 1 jam digendong, Firdaus kejang-kejang. Dalam perjalan menuju rumah sakit, Firdaus meninggal.

pawon=tungku, tempat abu, tempat memasak menggunakan kayu.

Perceraian tidak menghentikan kewajiban mantan suami Rohmah untuk menafkahi Melinda. Setiap bulan, Rohman selalu dapat kiriman uang untuk kebutuhan Melinda. Mulai dari bayi sampai Melinda lulus SMA. Biaya kuliah juga akan dibiayai oleh ayah Melinda. Sayang, Melinda belum pernah bertatap muka dengan ayahnya. Ia hanya mengenal melalui foto pernikahan orang tuanya yang terpajang di dinding.

Hujan masih deras. Ketika mentari hendak tenggelam dan toa surau mengumandangkan azan, barulah hujan reda. Aktivitas Melinda masih sama seperti yang dilakukan sehari-hari, seperti sembahyang, membaca novel, menulis notasi, serta membaca buku minna no nihongo. Saat SMA, Melinda mengambil IPA. Namun demikian, ia suka membaca buku bahasa Jepang. Saat kelas 10, ia sudah dapat menghafal Hiragana, Katakana, dan 1000 huruf Kanji. Ia tidak perlu menghafal, melainkan membaca. Dengan sering membaca, pasti akan hafal. Dalam sehari. Melinda membaca 10 kosakata. Keesokan harinya membaca 10 kosakata baru dengan mengulangi 10 kosakata yang kemarin. Ia lakukan terus menerus hingga dalam sebulan ia sudah menghafal 300 kosakata. Sekarang, lebih dari 5000 kosakata dan huruf kanji yang dikuasai Melinda. Melinda bisa membaca kanji tanpa furigana Kemampuannya tidak diketahui teman-teman serta guru di sekolah. Hanya ibunya yang mengetahui.

Hiragana = Huruf Jepang yang digunakan untuk menulis bahasa Jepang yang asli.
Katakana = Huruf Jepang yang digunakan untuk menulis kata serapan dan bahasa asing.
Kanji = Huruf dari China yang digunakan dalam bahasa Jepang.
Furigana = huruf kana atau hiragana yang ukurannya lebih kecil di samping atau di atas huruf kanji untuk mudah melafalkan bagi yang belum hafal kanji.

Melinda dikenal perempuan yang baik dan tidak banyak bicara. Menurutnya, orang pintar itu sedikit bicara, karena kalau banyak bicara takut terlihat bodoh. Ia juga rendah diri. Walaupun bisa berbahasa Jepang, ia masih berkeinginan kuliah sastra Jepang di Surabaya. Ia harus berguru. Tidak hanya dari buku atau dari internet saja. Saat kelas 11, Melinda pernah mengikuti Nihon go Nouryokushiken level 2 dan lulus. Untuk pemula, biasanya mengikuti level 5, tapi melinda langsung mengikuti level 2. Kebanyakan peserta ujian kesulitan saat ujian listening. Bagi Melinda, itu mudah.

Nihon go Nouryokushiken= Ujian Kemampuan Bahasa Jepang (semacam IELTS atau TOEFL)

“Nak, Ayo sholat” Ujar Rohmah membuka selambu kamar Melinda.

“Iya bu” Balas Melinda yang sudah mengenakan mukenah.

Mereka berdua keluar dari rumah dan menunaikan ibadah salat maghrib berjamaah di langgar. Sepulangnya, Melinda kembali ke kamar dan membaca buku-buku yang besok tidak dibawa ke Surabaya. Kebanyakan Melinda membaca buku sejarah, ideologi Pancasila, serta novel. Ia membaca sambil menunggu waktu salat isya. Sudah 3 bab buku sejarah yang ia baca. Suara azan terdengar. Ia pun bergegas mengambil wudhu, mengenakan mukenah, lalu menuju ke langgar. Ia keluar kamar dan menunggu ibunya yang sedang mengambil mukenah. Setelahnya, mereka secara bersama-sama menuju tempat peribadatan.

17 menit kemudian, Melinda beserta ibunya pulang. Tampak air sisa hujan yang menggenang di pelataran rumah dan jalanan tanah belum terserap sepenuhnya. Mereka berjalan memilih pijakan yang tidak tergenang air. Khawatir genangan air itu mengenai mukenah yang mereka jinjing.

Sesampainya di rumah, Melinda berserta Rohmah makan malam bersama. Rohmah berpesan agar malam ini mengurangi waktu membaca dan memperbanyak istirahat, karena besok pagi Melinda harus segera ke stasiun kereta api yang jaraknya sekitar belasan kilometer ke arah Selatan. Melinda mengangguk dan tersenyum mendengar nasehat serta saran dari Rohmah, lalu mereka berdua pun makan malam dengan terlebih dahulu membaca doa.

Sebagai anak salihah, Melinda membantu membersihkan meja makan dan mencuci piring. Barulah ia pergi ke kamarnya untuk melanjutkan membaca buku. Sesuai pesan ibunya, Melinda membatasi membaca buku sampai pukul 9 malam. Ia langsung membaca buku ideologi Pancasila yang cukup tebal, tidak jadi melanjutkan membaca novel. Menurutnya, mendalami Pancasila dan ideologi yang terkandung di dalamnya sangat penting. Bagaimana NKRI dibentuk dengan landasan lima sila dan dapat diterima seluruh suku yang beraneka ragam. Dalam lubuk hati, ia ingin membuktikan dengan pikirannya, apakah nasionalisme dan patriotisme itu adalah thaghut atau sebaliknya.

Melinda membaca cukup lama, seakan buku itu memberi pesan yang mendalam. Kalimat dengan kata-kata tersusun rapi dan mudah dicerna membuatnya lupa waktu. Sampai pada akhirnya terdengar alarm dari ponsel yang menunjukkan pukul 9 malam. Melinda segera beranjak naik ke tempat tidur, meninggalkan buku yang masih terbuka di atas meja.

Keesokan harinya, Minda bangun pukul 4 pagi. Terdengar toa surau yang sedang mengumandangkan azan. Ia segera beranjak untuk mengambil wudhu, lalu mengambil mukenah dan menuju kamar Rohmah.

Tok… Tok… Tok

"Ibu.. Ibu. Ayo subuhan, bu" ujar Melinda seraya mengetuk pintu kamar Rohmah.

"Iya nak" balas Rohmah.

Rohmah membuka pintu kamar dan melihat anak gadisnya sudah mengenakan mukenah.

"Tumben ibu bangunnya jam segini. Biasanya saya yang dibangunin ibu" ujar Melinda.

Rohmah tersenyum, lalu mengelus ubun-ubun Melinda. Setelah itu, Rohmah mengambil wudhu. Melinda menunggu di ruang tamu.

6 menit Melinda menunggu, Rohmah yang telah mengenakan mukenah secara bersama-sama melangkahkan kaki keluar rumah menuju langgar. Tidak ada genangan air di jalan maupun halaman rumah. Jadi, mereka tidak perlu mengangkat ujung bawah mukenah.

Selesai salat subuh, mereka berdua kembali ke rumah. Rohmah memasak nasi, sayur mayur, dan lauk pauk untuk sarapan. Awalnya Melinda turut membantu, tapi dilarang oleh Rohmah dan disarankan untuk mempersiapkan dan meneliti kembali barang-barang yang akan dibawanya. Melinda mengangguk tanda setuju. Ia kembali ke kamarnya dan memeriksa satu demi satu barang-barang yang akan dibawa ke Surabaya.

37 menit berlalu. Melinda telah memeriksa barang-barangnya. Ia keluar kamar dan segera membantu ibunya. Rohmah bersyukur memiliki anak penurut. Ia selalu berdoa agar anaknya diberi keselamatan dan sukses menggapai cita-cita.

Pukul 6 pagi, sarapan telah siap. Melinda segera menuju ke kamar mandi. Suhu saat ini menunjukkan angka 17 derajat Celcius. Baginya itu normal. Pernah tahun lalu mencapai 15 derajat Celcius. Tahun demi tahun cuacanya semakin hangat. Beberapa bagian ladang persawahan dan perkebunan menjadi bangunan. Walaupun demikian, Melinda tetap bersyukur.

Setelah mandi, Melinda menuju kamar dengan mengenakan handuk yang membungkus dada hingga bagian atas lutut. Ia berjalan dengan tubuh menggigil kedinginan. Rasanya seperti kulit ditusuk-tusuk ribuan jarum.

Di dalam kamar, Melinda mengenakan bra, celana dalam, kemeja lengan panjang, dan celana jin. Ia tidak mengenakan kerudung. Ia belum siap. Menurutnya, jilbab tidak menentukan baik tidaknya perilaku si pemakai. Terkadang ia heran dengan Indonesia. Walaupun banyak pemeluk muslim bermahzab Syafi'i, tapi cara berkerudungnya masih banyak mengikuti mahzab Maliki.

Melinda telah berpakaian rapi. Ia keluar kamar untuk sarapan. Rohmah telah menunggu di ruang makan. Di atas meja terdapat sayur bening bayam dan jagung yang telah dipotong-potong. 4 potong ayam goreng, dadar jagung, telur dadar, kerupuk, minuman, dan nasi. Rohmah menyuruh Melinda memimpin doa. Dengan senang hati Melinda melakukannya. Setelah berdoa, mereka berdua menyantap hidangan yang ada di hadapannya. Bagi Melinda, tidak ada makanan yang paling enak dari masakan ibunya. Bagaimana tidak, Rohmah memasaknya dengan penuh keikhlasan dan tanpa pamrih. Masakan yang dimasaknya diracik dengan komposisi yang cukup.

Waktu menunjukkan pukul 06:33. Rohmah sudah meminta tetangga yang berada 4 rumah ke arah Utara untuk mengantar Melinda ke stasiun kereta api.

BRUUMM… BRRUUMMMM

Suara motor Honda Astrea 800 terdengar memasuki halaman rumah Rohmah.

"Assalamualaikum" ujar pria paruh baya berdiri di depan pintu rumah yang sedang terbuka.

"Waalaikumsalam, mari pak silahkan masuk" jawab Rohmah.

"Iya bu. Terimakasih. Saya tunggu disini saja. Tidak enak nanti takut ada fitnah"

"Baiklah. Tunggu sebentar ya pak, Melinda masih di kamar ngambil barang-barangnya"

"Iya" jawabnya singkat.

Rohmah beranjak menuju kamar Melinda.

"Nak, Pak Slamet sudah datang" ujar Rohmah membuka tirai pintu kamar.

"Iya bu" jawab Melinda melangkah keluar dari dalam kamar sambil membawa tas kuliah berisi buku dan tas ransel berisi pakaian.

Kemarin Rohmah meminta tolong kepada Slamet untuk mengantarkan Melinda ke stasiun. Slamet merupakan tetangga yang baik. Ia mampu menempatkan diri kepada orang-orang di sekelilingnya, termasuk ke Rohmah dan Melinda. Umurnya selisih 5 tahun dari Rohmah dan sudah berkeluarga. Ia hanya memiliki anak perempuan.

"Ayo kita berangkat sekarang, nduk" ujar Slamet.

"Iya pak" jawab Melinda.

"Sini, saya bantu" ujar Slamet dengan sigap membawa ransel yang dipegang tangan kiri Melinda.

"Terima kasih" ujar Melinda.

Di depan Rumah, Melinda memeluk Rohmah, mencium pipi kiri dan kanan, mencium kening, lalu ditutup dengan mencium punggung tangan kanan.

"Kamu hati-hati ya, nak. Jangan sampai kamu meninggalkan sholat" ujar Rohmah mengelus punggung kepala Melinda.

"Iya, bu. Doakan kuliah saya lancar" ujar Melinda.

"Iya, nak. Ibu akan selalu mendoakan kamu" jawab Rohmah.

"Sudah sana, tuh pak Slamet sudah menunggu" lanjut Rohmah sambil wajahnya menatap pak Slamet yang sedang menaiki motor butut.

Melinda melepaskan tangan kanan Rohmah, lalu berbalik badan melangkahkan kaki menuju Slamet. Baru 3 langkah, Melinda balik badan menghadap Rohmah.

“Bu, Saya berangkat dulu. Assalamualaikum” ujar Melinda.

“Waalaikumsalam” jawab Rohmah.

Melinda balik badan dan melanjutkan langkah kakinya meninggalkan Rohmah yang sedang berdiri di depan pintu. Ia paham, bahwa setiap langkah Melinda merupakan ibadah, yaitu ibadah untuk menimba ilmu yang bermanfaat.

Slamet menghidupkan motor, kemudian Melinda duduk di belakangnya. Tas kuliah Melinda masih dikenakan di punggungnya, sedangkan ransel berada di depan Slamet, diapit oleh sepasang paha.

“Saya berangkat dulu, bu Rohmah. Assalamualaikum” ujar Slamet.

“Waalaikumsalam. Hati-hati ya nak, ingat pesan ibu” jawab Rohmah.

“Iya, bu” jawab Rohmah.

Slamet melajukan motor ke arah Selatan meninggalkan rumah Melinda. Tampak Rohmah melambaikan tangan ke arah mereka berdua. Melinda membalas dengan melambaikan tangan dan senyum. Beberapa detik kemudian, ia berlinang air mata. Entah mengapa itu terjadi dengan tiba-tiba. Seakan ia merasa akan lama bertemu ibunya. Mudah-mudahan perasaan itu tidak benar.

Melinda dan Slamet naik motor tidak menggunakan helm. Mereka mengerti hal itu adalah perbuatan yang salah dan tidak mematuhi peraturan lalu lintas. Walaupun tidak ada polisi yang mengawasi jalanan desa yang sempit, mereka paham Tuhan maha melihat. Dahulu ketika mengaji, Melinda selalu diingatkan untuk takut kepada Tuhan. Bukan takut karena Tuhan itu jahat dan menyeramkan, melainkan takut akan perbuatan buruk yang nanti akan dibuka di pengadilan Tuhan.

Motor melaju dengan kecepatan antara 30 sampai 40 kilometer per jam. Jalan berliku dan menurun dengan kemiringan tertinggi 15 derajat. Sebagian jalan beraspal, sebagiannya lagi tidak. Melinda dan Slamet melewati perkebunan karet dan kakao. Cuaca berawan diiringi hembusan angin sepoi-sepoi. Terdengar gemerisik dedaunan dan gemeretak suara biji-biji karet yang jatuh dari pohon. Beberapa burung pipit tampak terbang mengambil rumput dan dedaunan kering untuk membuat sarang.

Belasan menit berlalu. Setelah melewati perkebunan, mereka melewati gapura perbatasan antara desa Margomulyo dan desa Sepanjang. Beberapa rumah dari sisi Barat dan Timur berjajar. Orang-orang beraktivitas. Ada yang sedang berolahraga, ada juga yang sedang membersihkan halaman rumah.

Aspal di desa Sepanjang cukup halus dengan tingkat kemiringan yang dapat membuat kaki kanan Slamet cukup menginjak rem. Memang desa Sepanjang lebih maju daripada desa Melinda dan Slamet. Dahulu desa Margomulyo adalah bagian dari desa Sepanjang. Agar lebih maju, akhirnya pemerintah daerah dengan permintaan masyarakat terjadilah pemekaran. Desa Sepanjang dibagi menjadi dua bagian. Sisi Utara adalah desa Margomulyo, sedangkan sisi Selatan adalah desa Sepanjang. Dari kepadatan penduduk, desa Sepanjang lebih banyak daripada desa Margomulyo. Di Desa Sepanjang terdapat pasar tradisional yang ramai, puskesmas, dan stasiun kereta api. Sedangkan desa Margomulyo, walaupun belum sepadat desa Sepanjang, akan tetapi terdapat tempat pariwisata yang cukup terkenal. Yaitu Legomoro. Air terjun di tengah perkebunan di lereng gunung Raung dengan pemandangan yang asri serta instagramable.

Pukul 07:16, mereka tiba di stasiun Glenmore. Suasananya tidak begitu ramai. Melinda turun dari motor. Slamet membantu menurunkan ransel serta membawakan di dekat pintu check in. Melinda segera membeli tiket, lalu menghampiri Slamet.

"Terima kasih ya pak Slamet sudah mengantar saya" ujar Melinda.

"Sama-sama, nduk. Hati-hati. Semoga kuliahmu lancar" jawab Slamet.

"Amin" ujar Melinda tersenyum.

Terdengar pengumuman, bahwa kereta api Sritanjung akan datang dari arah Timur. Slamet menunggu dan tidak bisa ikut mengantar ke dalam kereta. Hanya penumpang yang memiliki tiket yang diperbolehkan masuk.

Setelah ditimbang, Melinda membawa barang-barang bawaannya masuk ke dekat jalur 2. Melinda menoleh ke arah Timur. Cahaya lampu dari lokomotif terlihat dari kejauhan. Semakin lama, kereta semakin mendekat. Para penumpang yang akan naik berdiri di dekat jalur 2. Ada 5 penumpang, termasuk Melinda.

Kereta pun tiba. Melinda naik ke gerbong ekonomi 2. Ia menaruh ransel dan tas di bagasi yang terletak di sebelah atas, kemudian duduk di tempat duduk sesuai dengan nomor kursi yang tertera di tiket. Kebetulan Melinda duduk di sebelah Selatan dan menghadap ke arah Barat. Ia dapat melihat Slamet sedang berdiri menunggu hingga kereta berangkat

3 menit kemudian, setelah petugas pengatur perjalanan kereta api memberikan semboyan ke masinis untuk berangkat, dan kondektur meniupkan peluit, kereta pun melaju ke arah Barat meninggalkan stasiun Glenmore. Melinda melihat Slamet berbalik badan berjalan keluar menuju sepeda motor yang terparkir, lalu memalingkan wajah ke arah depan dan menyandarkan badan ke dinding sebelah Selatan. Belum ada penumpang baik di sebelah kanan dan depan Melinda yang berisikan 17 penumpang di gerbong ekonomi 2.

Kereta yang melaju cukup lambat. Rel yang menanjak di daerah pegunungan Gumitir dan berliku. Ada 2 terowongan. Terowongan pertama cukup panjang, sedangkan terowongan kedua lebih pendek. Setelah melewati pegunungan Gumitir, kereta api sudah memasuki wilayah kabupaten Jember. Suasana pedesaan yang penuh dengan area persawahan dan perkebunan tampak indah. Bagi Melinda, itu sudah biasa. Menurutnya, kampung halamannya jauh lebih indah. Suasana pegunungan dengan tanah yang subur dan masyarakatnya baik. Walaupun ada sebagian kecil yang merasa tidak suka. Baginya itu wajar. Dimanapun ia berada, pasti ada yang tidak suka.

Kereta api melaju cukup kencang dan cepat. Untuk menghilangkan rasa jenuh, Melinda membaca novel yang ada di dalam tas. Ia pun berdiri mengambil novel, lalu mulai membaca. Asik dan menyenangkan. Begitulah yang Melinda rasakan. Ia membaca tiap kata tanpa melompati. Kadang ia membaca kalimat sebelumnya untuk mencerna lebih dalam. Diksi yang digunakan lumayan berat. Novel yang dibaca adalah novel lama dengan cetakan terbaru. Tanpa sadar, di depan Melinda sudah dipenuhi penumpang. Ia tidak tahu, bahwa setelah sampai stasiun Jember banyak penumpang yang naik kereta Sritanjung. Penumpang di depannya melihat ke arah Melinda. Ia merasa heran, wajahnya terkadang tersenyum dan terkikih-kikih. Melinda tidak canggung. Ia melirik ke penumpang di depannya lalu tersenyum menyapanya.

“Mbak kuliah ya?” tanya penumpang di depan Melinda.

“Iya” Jawab Melinda.

“Kuliah di mana, mbak?” tanyanya lagi.

“Unair”

“Wah, sama. Ngambil sastra ya?”

“Iya. Kok mas tahu?”

“Nebak saja, haha. Saya juga di Unair.”

“Ngambil sastra juga ya?”

“Tidak, saya ngambil Matematika dan baru semester 3”

“Oh. Saya baru masuk, mas.”

“Kalau boleh tahu, namanya siapa?” pria di hadapannya menjulurkan tangan.

“Melinda” tanpa ragu Melinda menyalaminya.

“Saya Ardana. Ngambil sastra Inggris ya?” jawabnya.

“Bukan. Saya ngambil sastra Jepang”

“Wooow keren”

“Biasa saja kok, mas”

Mereka berdua berbincang-bincang dengan tetap memegang novel yang berada di pangkuannya. Ardana, pria yang tinggal di kabupaten Jember. Ia kuliah ke Surabaya untuk menimba ilmu. Melinda juga bercerita, bahwa ia menyukai ilmu sains, termasuk matematika. Nilai matematika di SMA nyaris sempurna, tapi tidak diungkapkan ke Ardana. Melinda tidak suka pamer. Semakin lama mereka semakin akrab. Kemudian Melinda mengetahui Ardana adalah anggota BEM dan merupakan panitia OSPEK.

Berjam-jam berlalu. Pukul 13:10, kereta api pun tiba di stasiun Surabaya Gubeng. Melinda meminta tolong untuk dicarikan indekos yang tidak terlalu jauh dari kampus. Ardana menyanggupinya. Akhirnya mereka berdua menyewa taksi daring dari aplikasi di ponsel. Suasana siang Surabaya cukup padat dan ramai. Kemacetan di mana-mana. Polusi udara dan suasana yang panas menyengat. Bagi Melinda, ini untuk pertama kalinya ia ke Surabaya. Berbeda dengan di desa yang sejuk dengan kandungan oksigen yang melimpah ruah. Di Surabaya, gas buang kendaraan lebih banyak dibandingkan dengan tumbuhan. Gedung-gedung tinggi dan aliran sungai yang keruh. Ardana memberi tahu bagian depan kampus Unair tempat fakultas Melinda menimba ilmu. Melinda berdecak kagum. Ternyata kampusnya bagus. Dalam hati, Melinda berdoa agar dijauhkan dari sifat sombong saat menimba ilmu di kampus bergengsi.

Belasan menit kemudian, taksi tiba di sebuah jalan yang cukup dilalui oleh satu mobil. Beberapa meter kemudian, dengan perlahan mobil melaju lalu berhenti di sebuah indekos. Mereka berdua turun.

“Selamat Siang” ujar Ardana sambil memanggil pemilik indekos yang pintunya terbuka.

Beberapa saat kemudian seorang ibu paruh baya keluar untuk menemui Ardana.

"Eh dik Ardana. Mari silahkan masuk" jawab ibu tersebut.

Ardana dan Melinda masuk, kemudian duduk. Ardana menjelaskan maksud kedatangannya. Melinda kemudian mengenalkan diri, bahwa dirinya merupakan mahasiswa baru dan akan mencari indekos. Ibu tersebut kemudian mengantarkan Melinda dan Ardana untuk melihat kamar indekos yang berjarak 57 meter. Mereka bertiga jalan kaki sambil Melinda membawa barang bawaannya. Ardana turut membantu membawakan ransel.

Sesampainya, Melinda dan ibu pemilik indekos masuk ke rumah untuk melihat kamar dan fasilitas-fasilitas yang disediakan. Ardana menunggu di ruang tamu. Cukup murah untuk kamar Melinda. Selain itu, kondisi indekosnya cukup bersih. Setelah melihat-lihat, mereka berdua kembali ke ruang tamu.

"Gimana, cocok?" Tanya Ardana.

"Cocok. Saya bayar dulu ya, bu?"

"Iya, nak"

Melinda mengeluarkan uang beberapa ratus ribu, lalu Ibu tersebut menuliskan kwitansi pembayaran.

"Nak Melinda boleh langsung tinggal di sini. Seprai dan sarung bantal guling ada di lemari"

"Terimakasih"

"Semoga betah ya, nak"

"Iya bu. Terima kasih"

"Mel, aku duluan ya. Kalau cari aku, kos-kosanku ada di sebelah sana. " ujar Ardana menunjuk arah tempat indekosnya.

"Kalau butuh sesuatu, ini nomor ponsel dan WA aku" lanjut Ardana menyerahkan nomor ponsel.

"Iya. Terima kasih, mas" jawab Melinda.

Ibu kos dan Ardana pergi meninggalkan indekos. Melinda berdiri, lalu berjalan menuju kamar untuk berbenah. Ia mengeluarkan pakaian dari dalam ransel ke lemari dan mengeluarkan seprai, sarung bantal, dan sarung guling. Buku-buku dan peralatan tulis di atas meja. Setelahnya, ia memasang seprai, sarung bantal, dan sarung guling. Rasanya cukup panas. Terik mentari di Surabaya terasa menyengat. Beruntung kamar Melinda tersedia kipas angin. Fasilitas itu tentu ia manfaatkan dengan baik.

Melinda merebahkan diri. Rasanya lelah, keringat bercucuran, akan tetapi ia tetap bersyukur karena mendapatkan kemudahan mencari indekos.

Melinda membuka kemeja dan celana jin, lalu menggantungkannya di gantungan yang ada di balik pintu. Ia melepaskan bra dan celana dalam, lalu berganti pakaian mengenakan kaos dan celana training. Pakaian itu selain longgar, mudah menyerap keringat. Lalu, ia merebahkan diri di tempat tidur.

Sungguh nyaman yang dirasakan Melinda. Untuk pertama kalinya ia merasa berkeringat karena berjalan kaki beberapa puluh meter dan sekadar merapikan kamar. Bukan sekali ini saja Melinda tiduran tidak mengenakan pakaian dalam, namun di desa ia juga melakukan hal itu. Perbedaannya, ketika di desa, Melinda tiduran dengan memakai selimut. Di sini, ia tidak kenakan.

RRRRRRRR…. RRRRRRR…

Melinda mendengar getaran pada ponselnya. Ia lupa mengubah dari senyap ke suara. Ada nomor tidak dikenal yang menghubunginya.

"Halo.." ujar Melinda segera mengangkat telepon.

"Hai cantik, kata papa kamu ke Surabaya"

"Maaf, anda siapa?"


"Aku Refi, kakak kandung kamu. Jangan-jangan mama belum cerita ya?"

"Eh, kak Refi. Maaf kak"

Melinda pernah mendengar cerita dari ibunya, bahwa Melinda mempunyai kakak. Untuk pertama kalinya ia mendengar suaranya. Dalam percakapan, Refi menanyakan kondisi ibu. Melinda menjawab, bahwa ibunya sehat. Melinda bahkan menanyakan, mengapa Refi belum pernah ke Banyuwangi menemui ibu dan dirinya. Refi beralasan, bahwa dia dilarang mama tirinya dan saudara-saudaranya papa. Melinda memaklumi. Ibunya pernah menceritakannya.

Refi menanyakan alamat indekos Melinda. Tanpa ragu, Melinda memberikan alamatnya. Refi ingin berkunjung untuk bertemu adik kandung yang lama tidak bertemu.

Mengetahui Refi akan segera datang, Melinda segera menuju ke kamar mandi. Ia membersihkan tubuhnya yang dipenuhi aroma keringat yang mengering. Rambut yang kusut akibat gesekan udara dan debu ia basuh dengan shampo. Keramas dan menggunakan sabun batangan. Selesainya, Melinda mengelap dengan handuk. Dalam perjalanan, Melinda berpapasan dengan salah satu penghuni indekos.

"Orang baru ya?"

"Iya"

"Kenalkan, aku Monica yang menempati kamar nomor 8"

"Saya Melinda, kak"

"Kamu kuliah di Unair ya?"

"Iya. Apa semua yang tinggal di sini kuliah Unair ya, kak?"

"Tidak. Sebagian ada yang bekerja"

"Oh gitu. Kalau kak Monica kuliah atau kerja?"

"Aku kerja"

"Wah, enaknya bisa cari uang sendiri"

"Hahaha, iya. Tapi lebih enak seperti kamu"

"Kok bisa, kak?"

"Menurutku masa-masa kuliah itu paling asik"

"Ooh. Sepertinya pekerjaan kakak berat ya"

"Iya. Karena menyangkut nyawa seseorang"

"Kak Monica dokter?"

"Bukan, tapi perawat di RSUD depan kampusmu"

"Wow. Rumah sakit Dokter Soetomo? Keren loh, kak"

"Hahaha. Biasa saja. Ya sudah, aku mau masak buat makan siang dulu. Kamu bisa pakai dapur itu untuk memasak" ujar Monica menunjuk dapur yang tidak jauh dari keberadaan mereka berdua.

"Iya kak. Saya juga mau ganti pakaian. Sebentar lagi ada tamu"

"Wah siapa tuh? Pacar ya?"

"Hahaha, bukan kak"

"Kalau pacar, kenalin ya, hihihi"

"Ish, kak Monica ada-ada saja"

"Hahaha, ya sudah. Aku ke dapur dulu"

"Baik kak"

Melinda kembali ke kamarnya, sedangkan Monica berjalan menuju dapur. Sesampainya di kamar, Melinda berganti pakaian dengan atasan kemeja batik Gajah Oling khas Banyuwangi dipadukan dengan celana panjang hitam. Ia akan diajak Refi untuk bertemu ayah kandungnya.

Beberapa menit kemudian, Refi datang. Tidak sulit menemui keberadaan Melinda, karena Melinda sudah mengirimkan posisi terkini yang terhubung dengan aplikasi peta milik Google.

"Kak Refi?" Ujar Melinda menemui di depan pintu indekos.

Pakaian yang digunakan Refi sungguh menawan dan cantik. Bagaimana tidak, pakaian yang dikenakan Refi adalah pakaian lace top impor dari Korea Selatan. Mirip dengan artis girlband yang saat ini sedang mengetren di media sosial. Refi memang wanita yang suka dengan hal-hal yang trendi. Bukan hanya pakaian, Refi memiliki koleksi mulai dari tas sampai dompet. Aksesoris dari ujung rambut, sampai ujung kaki.

"Iya. Ini mas Heru, suami aku" ujar Refi memperkenalkan suaminya.

"Saya Melinda" ujar Melinda menjulurkan tangan kanan, lalu segera di sambut oleh tangan mas Heru. Mereka berdua berjabat tangan.

"Gimana kabar bu Sofia?" Tanya Heru tentang ibu kandung Melinda seraya melepaskan genggaman tangan yang saling berjabatan.

"Alhamdulillah, ibu sehat mas"

"Syukurlah. Semoga kamu betah tinggal di Surabaya ya, dik"

"Terima kasih, mas"

"Ayo kita ke papa. Dia kangen sama kamu" ujar Refi.

"Baik, kak" jawab Melinda.

Mereka bertiga berjalan menuju mobil yang terparkir di depan gang dengan membawa payung. Ada 2 payung. Payung pertama digunakan Melinda, sedangkan payung kedua digunakan Refi dan Heru. Walaupun telah mengoleskan pelembap anti sinar ultraviolet, Refi menggunakan payung dikarenakan cuaca hari ini sangat panas dan terik.

Heru membukakan pintu tengah mobil untuk Melinda. Payung diserahkan ke Heru lalu diletakkan di belakang tempat duduk Melinda. Begitu juga dengan payung yang tadi digunakan Refi dan Heru. Heru masuk mobil, lalu disusul Refi di dekat kemudi. Mobil pun melaju menuju ke tempat tinggal ayah kandung Refi dan Melinda di sebuah perumahan elite. Mobil melintasi jalanan yang macet. Sisi kiri dan kanan berdiri bangunan bertingkat yang menjulang tinggi. Kawasan perkantoran, toko dan pasar swalayan modern, juga perhotelan. Saat melewati jalan Pemuda, Refi menjelaskan kapal selam KRI Pasopati buatan Uni Soviet yang pernah digunakan Indonesia untuk operasi Trikora ke Irian Jaya. Melinda berdecak kagum. Ia juga heran, mengapa Irian berubah nama menjadi Papua. Padahal, nama Irian itu berasal dari singkatan Ikut Republik Indonesia Anti Netherland. Siapa sangka, Soekarno yang membuat nama itu, anaknya yang merubah menjadi Papua. Melinda sadar, bahwa sifat ayah belum tentu bisa mewariskan ke anak. Walaupun Ideologi dan pandangan sudah tertanam, tapi tidak sepenuhnya sama.

Kini, mobil yang dikendarai Heru melaju memasuki perumahan elite. Jalan tidak macet, karena jalan ini khusus bagi orang yang menghuni dan tamu perumahan tersebut.

Pukul 16:07, mereka telah sampai di tempat tujuan. Mobil terparkir di halaman rumah. Heru turun dari mobil, disusul Refi. Melinda membuka pintu, lalu mengikuti Refi masuk ke rumah mewah yang bergaya Perancis serta 5 pohon palem berdiri kokoh. Warna cat dan kaca sangat mewah. Di atap rumah, terdapat 11 logam panjang penangkal petir yang tersebar rapi. Cahaya mentari berwarna jingga terlihat bersinar menembus kaca-kaca menyinari ruang tamu. Lantai marmer putih bercorak hitam tampak bersih memantulkan bayangan bagai cermin.

Refi mengajak Melinda untuk masuk ke ruang keluarga yang ukurannya cukup luas. Di sudut ruangan, ivory white grand piano bermerk steinway and sons memajang dengan tiga vas bunga menduduki bagian atas. Di rumah ini tidak ada seorang pun yang dapat memainkan piano. Mereka membeli piano tidak lain sebagai hiasan belaka.

Ketika Melinda melihat-lihat sekeliling ruangan, seorang pria dan wanita berpakaian rapi datang menemuinya.

“Melinda?” ujar pria tersebut. Melinda menoleh menatap pria berpostur tinggi dengan kepala sebagian ditumbuhi rambut berwarna putih.

“Mel, beliau adalah papa kita, pak Hamdan” ujar Refi menjelaskan disamping suaminya, Heru.

“Lalu disampingnya ialah bu Rani, suami dari papa kita” lanjutnya.

Melinda segera mendekati ayah dan ibu tirinya, lalu mencium punggung tangan kanan mereka secara bergantian.

“Kamu tampak cantik, nak” ujar Hamdan.

Melinda sekedar melepas senyum mendengarnya. Ia merasa bersyukur ayahnya masih diberi kesehatan.

“Ayo nak, iku kami. Kita makan-makan dulu” ujar Rani mengajak Melinda ke ruang makan.

Mereka berlima makan bersama sambil membicarakan tentang kehidupan masing-masing. Refi dan Heru belum dikaruniai keturunan. Begitu pula dengan Hamdan dan Rani. Umur Rani dan Hamdan terpaut cukup jauh, yaitu 15 tahun. Lebih muda dari ibu Melinda yang tinggal di desa. Refi dan Heru memiliki rumah sendiri yang jaraknya tidak jauh dan masih dalam satu komplek perumahan. Mereka beda blok. Hamdan dan Rani tinggal di blok II, sedangkan Refi dan Heru tinggal di blok EE.

Hidangan yang tersaji di meja makan sungguh nikmat. Selesainya, mereka berlima tidak lupa untuk menunaikan salat secara bersama-sama. Lalu duduk di ruang keluarga untuk berbincang-bincang. Canda tawa terdengar riuh menggema seisi ruangan ketika bersenda gurau. Hamdan tampak bangga memiliki anak gadis baik seperti Melinda dan Refi.

Hamdan memiliki perusahaan besar dan menjabat sebagai CEO. Heru, bekerja sebagai manajer. Selepas kuliah, Melinda ditawari untuk bekerja di perusahaannya. Sayangnya, Melinda memilih untuk melanjutkan studi ke Jepang. Hamdan dan Refi mendukungnya.

Pukul 17:00, Melinda hendak pamit untuk pulang ke indekos. Akan tetapi, Refi dan Hamdan menyarankan untuk tinggal bermalam bersamanya. Melinda pun menyetujui.

Keesokan hari, pada pukul 04:00 Melinda bangun. Ia salat berjamaah, lalu diantarkan pulang oleh Refi. Di depan indekos, Refi memberikan uang untuk kebutuhan hidup dan kuliah.

***

***

5 Bulan berlalu. Melinda sebentar lagi akan mengikuti ujian semester. Ia telah mempersiapkan dengan matang. Semua buku yang Melinda miliki dibaca berulang-ulang. Menurutnya tidak ada yang sulit untuk memahami setiap mata kuliah. Mulai dari kosakata, tata bahasa, mendengarkan, hafalan Kunyomi dan Onyomi tulisan Kanji, percakapan, sampai menulis membuat cerita. Melinda telah melatihnya.

Di suatu tempat berbeda, di sebuah vila di kawasan kota Batu. Dua insan sedang memadu kasih di ruang tamu.

“Ahhh.. Emmhhhh… Emhhhh.. Te.. Terus yang…. Ahhh”

Desahan wanita tidur telentang sedang dipenetrasi oleh penis kekar berukuran sedang.

“Hahaha.. Memekmu mantap juga”

“Iya dong. Kalau bukan karena itu, aku gak akan mau tidur sama kamu”

“Lho. Kamu gak ikhlas? Janjinya kamu harus ikhlas lho”

“Iya sayang. Aku ikhlas.. Aah”

“Coba bilang dan buktikan kalau kamu benar-benar ikhlas”

“Sa.. Sayang. Entotin memek aku. Pejuin memek aku. Bikin aku hamil.. Aaahhh”

“Hahaha dasar nakal. Heru sungguh beruntung punya istri secantik kamu”

“Hihihi…”

“Ref, aku mau muncrat nih”

“Ah… I.. Iya. Muncrat aja di dalam. Aku tampung peju kamu di memek aku”

Hentakan pinggul pria tersebut semakin kencang hingga derit kaki sofa yang bergesekan dengan lantai keramik terdengar nyaring.

“Terima peju aku… Refi Oktaviaaaaaaaaaaaa”

Pria itu menekan dalam-dalam penisnya hingga ujung kepala penis menyentuh mulut rahim. Seketika itu juga cairan kental berisi jutaan sperma keluar memenuhi lorong peranakan dan sebagian masuk ke lubang servik, lalu masuk lebih jauh ke rahim hingga ke tuba falopi. Sel telur Refi secara perlahan keluar dari ovarium menyusuri lorong tuba falopi. Puluhan sperma berlomba-lomba menembus dinding lapisan terluar sel telur, tapi hanya satu yang mampu membuahi.

“Hhhhhh… Hhhhhhh”

Mereka berdua terengah-engah kelelahan.

“Enak?” tanya Refi.

“Enak dong, kamu gimana?”

“Gak enak”

“Kok gitu?”

“Soalnya aku belum orgasme. Kamu jahat, Zal!”

“Biarin… weeeekk” ujar Rizal menjulurkan lidah.

“Aaaaaahhhh”

Refi mendesah ketika Rizal melepaskan penis yang menancap dengan kasar. Mencampakkan Refi tidur telentang di sofa.

“Iingat ya. Fifty Fifty” ujar Rizal pergi meninggalkan Refi menuju kamar mandi.

“Siap. Kamu jangan khawatir” jawab Refi.

***

***

Sebulan kemudian, Melinda telah mengikuti ujian semester. Hasil ujiannya sangat memuaskan. Sempurna. Semua nilainya A. Sekarang memasuki liburan semester yang berjumlah 10 hari. Ia berencana akan pulang ke kampung halamannya, akan tetapi ia mengurungkan niatnya. Refi menelepon untuk mengajak liburan ke beberapa tempat pariwisata terkenal.

Pada dini hari, Refi dan Heru menjemput Melinda dengan mobil, lalu berangkat menuju kota Malang. Pukul 9 pagi, mereka sudah berada di kota Malang. Tidak banyak yang dikunjungi mereka. Hanya satu tempat saja, yaitu museum yang berada di jalan Ijen. Selanjutnya mereka melaju melewati jalan Veteran yang dekat dengan dua kampus negeri ternama. Heru belok kanan melewati jalan Sumbersari. Di jalan ini, mobil mereka terjebak kemacetan. Jalan yang sempit serta padat kendaraan memenuhi badan jalan yang sekitarnya banyak tempat indekos serta toko-toko berjajar. Di daerah Dinoyo, yaitu di jalan MT Haryono, mereka juga terjebak kemacetan. Mobil melaju pada kecepatan 30 sampai 40 kilometer per jam. Sampai melewati jalan di depan kampus putih, arus kendaraan sedikit lebih lancar. Mobil mereka dapat melaju kencang menuju ke kota Batu. Tujuan mereka adalah sebuah tempat rekreasi bernama Jatim Park.

Pukul 12:40, mereka tiba di Jatim Park. Melinda bahagia. Baru pertama kali ia masuk ke tempat pariwisata yang bagus. Sebetulnya di kabupaten tempat tinggal Melinda ada tempat pariwisata terkenal sampai mancanegara dan menjadi destinasi wisata yang masuk ke dalam Wonderful Indonesia. Yaitu, Pulau Merah dan Kawah Ijen. Melinda pernah mengunjungi keduanya, bahkan pantai Teluk Hijau ia kunjungi.

Dalam dua hari, mulai dari Jatim Park 1 sampai Jatim Park 3 mereka kunjung. Selama menikmati wisata itu, mereka menginap di Vila Songgoriti.

Keesokan hari, mereka melanjutkan perjalanan menuju tempat pariwisata alam. Air terjun Cuban Rondo dan pemandian air panas, Cangar. Jaraknya cukup berjauhan. Cuban Rondo berada di sebelah Barat kota Batu, sedangkan Cangar berada di sebelah Utara kota Batu. Dari pertama kali masuk ke museum di jalan Ijen kota Malang sampai pemandian air panas Cangar, Refi dan Melinda saling berswafoto. Kadang dilakukan secara mandiri, kadang secara bersama-sama. Mereka juga saling bertukar ponsel untuk menggunakan dua merk ponsel dengan fitur yang berbeda. Heru tidak ingin kalah. Ia juga melakukan swafoto, tapi kebanyakan disuruh sebagai juru foto.

Sebelum menuju ke pintu keluar pemandian air panas, mereka mengunjungi gua Jepang. Mereka tidak masuk dan sekedar berswafoto di depan mulut gua. Puas mengambil gambar, mereka pulang pada sore hari dan mampir di salah satu rumah makan di Selecta, lalu kembali ke penginapan di vila Songgoriti.

"Kak, besok kita ke mana?" Tanya Melinda berbincang-bincang di kursi pelataran vila sambil meminum teh hangat.

"Ke Bromo. Kamu belum pernah, kan?" Jawab Refi.

"Belum" sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Sip. Nanti jam 1 malam kita ke sana untuk melihat matahari terbit di puncak Penanjakan"

"Iya kak. Terima kasih" ujar Melinda.

"Kalau lelah, kamu istirahat dulu"

"Belum kak. Nanti setelah baca novel, saya tidur"

"Jangan lupa nyalakan alarmnya ya?"

"Baik kak. Saya ke kamar dulu mau baca novel"

"Iya, silahkan"

Melinda beranjak dari duduknya, berjalan memasuki pintu vila menuju ke kamarnya. Ia membuka tas yang berisi novel, lalu membacanya sambil duduk di kasur dengan sepasang kakinya diselimuti oleh selimut yang tebal dan lembut.

Tidak lama kemudian, Heru muncul ke pelataran vila menemui istri yang telah memperjakainya.

"Sayang, kamu yakin mau melakukan itu?"

"Iya dong mas. Yakin dong. Ini untuk masa depan kita. Tolong dibantu ya mas"

"Iya sayang. Yuk, kita istirahat"

"Ayuk"

Refi dan Heru masuk ke vila. Heru mengunci pintu depan lalu secara bergandengan tangan, mereka berdua masuk menuju kamar.

1 jam kemudian, Melinda selesai membaca 4 bagian cerita dalam novel. Sepasang kelopak matanya mulai terasa berat, lalu tidur.

Tengah Malam, alarm ponsel Melinda berbunyi. Selang 6 menit kemudian, alarm ponsel Refi berbunyi. Mereka bertiga bangun dan segera berkemas untuk pergi meninggalkan vila. Jaket telah dikenakan. Heru membantu membawakan dua ransel ke bagasi mobil. Pada pukul 13:00, mobil yang dikemudikan Heru berangkat.

"Kamu masih ngantuk, Mel?" Tanya Refi.

"Tidak kak"

"Cuaca di Bromo mungkin lebih dingin dari kampung halaman kamu"

"Mungkin kak. Kan gunung Bromo lebih tinggi dari rumah saya, hihihi"

"Emang adik punya rumah"

"Eh bener juga. Yang punya rumah itu ibu. Hahaha"

"Hahaha. Ya syukurlah. Aku kira rumah di kampung selalu ikut terus"

"Kalau itu sih namanya kura-kura dong, kak"

"Hahaha"

Jalanan tidak semacet ketika mereka berangkat dari Surabaya. Terlihat beberapa kendaraan melewati jalan penghubung kota Batu dan kota Malang. Di Daerah Dinoyo sampai jalan Mayjen Pandjaitan yang biasanya di siang hari macet, sekarang lengang. Heru dan Refi duduk di bangku depan menyerahkan botol minuman kepada Melinda yang duduk bangku tengah. Tidak lupa, Melinda mengucapkan terima kasih.

Beberapa puluh menit, mereka memasuki kecamatan Tumpang. Suana juga lengang. Beberapa truk bak terbuka yang sedang tidak bermuatan berpapasan dengan mobil Heru. Sampai tidak terasa, mereka sudah memasuki hutan dan sudah meninggalkan kecamatan Tumpang. Tidak ada rumah di sisi kiri dan kanan. Penerangan jalan pun tidak ada. Hanya dari lampu depan mobil saja.

Suara-suara hewan malam bergema di sekeliling mereka. Bagi Melinda, suara hewan sudah biasa. Di kampung halamannya, sering mendengar suara hewan-hewan yang saling berkomunikasi satu sama lain. Bahkan, hewan tonggeret yang suaranya nyaring, tidak terdengar di sekitar mereka. Sewaktu kecil, Melinda pernah menangkap hewan tonggeret, yaitu hewan mungil yang dapat berbunyi nyaring, lalu Melinda melepaskannya.

Jalan tidak rata. Mobil berguncang. Heru memperlambat laju kendaraan. Refi menoleh ke belakang dan melihat Melinda sedang tertidur. Gunung Bromo masih beberapa kilometer lagi. Akan tetapi, mobil tersebut belok ke kanan menuju ke sebuah rumah joglo khas rumat adat Jawa Timur yang terbuat dari kayu. Tidak ada rumah lain di tengah hutan selain rumah itu. Di halaman depan, terdapat sebuah lentera sebagai penerangan. Dua buah kursi dan sebuah meja dari kayu. Asbak dari potongan bambu jenis dendrocalamus asper masih menyisakan bekas hitam dari puntung rokok dan abu yang masih segar.

Mobil berhenti dan Heru mematikan mesin. Refi keluar dari mobil disertai Heru yang menyusul di belakangnya.

TOK TOK TOK

Refi mengetuk pintu kayu tua yang warnanya gelap yang menandakan kayu tersebut adalah kayu yang sangat tua. Rayap pun sukar untuk memakannya. Selain rasanya tidak enak, kayu tersebut cukup keras.

Seorang pria membuka pintu tersebut.

“Sudah kamu bawa yang kamu janjikan?” tanya pria tersebut.

“Sudah dong, tuh ada di mobil” ujar Refi.

“Sip. Bawa dia ke dalam”

“Siap. Mas, tolong bawa Melinda ke dalam” perintah Refi ke suaminya.

“Oke, sayang” jawab Heru.

Heru balik badan menuju ke mobil untuk mengambil tubuh Melinda yang tertidur pulas, kemudian ia menggendong untuk membawa masuk ke dalam rumah.

“Tidurkan dia di sini” perintah pria pemilik rumah menunjuk ke dipan yang seluruhnya terbuat dari kayu.

Heru mengangguk. Ia letakkan tubuh Melinda secara telentang.

“Kenalkan mas, dia Rizal” ujar Refi memperkenalkan ke suaminya.

“Heru” jawab Heru.

Mereka berdua bersalaman.

“Gimana janjinya?” tanya Refi.

“Nih, lihatlah” ujar Rizal menunjukkan sebuah keris luk tiga belas bergandik ular naga.

Refi dan Heru terkesima dengan keris tersebut. Sesuai kesepakatan, keris itu akan diserahkan kepada mereka berdua. Rizal sudah menerima uang dari Refi. Bukan sekedar uang, bahkan Rizal meminta untuk tidur dengannya.

“Telanjangi dia” perintah Rizal.

“Lho, kok. Kita cuma butuh darah perawan, ngapain juga ditelanjangi. Silet saja tangannya” ujar Refi.

Rizal menatap ke Refi, lalu tersenyum.

“Yang, kita saja” ujar Heru berdiri di samping Refi.

“Iya, mas. Biar aku saja yang melakukannya”

“Iya. Silahkan, sayang” ujar Heru.

Refi berjalan mendekati Melinda. Ia kemudian mendudukan, lalu melucuti seluruh pakaian yang dikenakan Melinda. Mulai dari jaket sampai pakaian dalam hingga telanjang bulat. Refi tampak takjub. Sebagai orang kota, ia tidak menyangka adiknya yang dari desa terpencil memiliki tubuh yang indah. Gundukan daging kembar di dada Melinda cukup padat dan berisi. Belum ada seorang pria pun di dunia yang menyentuhnya. Sewaktu kecil, hanya dukun bayi dan ibunya yang menyentuh kulit pribadi Melinda. Kemaluannya ditumbuhi rambut yang cukup lebat, namun tidak pada ketiaknya.

Obat tidur yang dicampurkan ke air kemasan botol yang diminum sewaktu bertolak dari Songgoriti membuat Melinda mengantuk dan berakhir dengan kehilangan kesadaran. Nafasnya masih stabil. Kelopak matanya tertutup rapat dan ada sedikit gerakan pada bola matanya.

Pada selangkangan Heru dan Rizal yang ditutupi oleh celana panjang tampak cembung. Sebagai pria, hal itu normal. Mungkin mereka berdua juga ada nafsu ke Melinda.

“Jangan lupa ikat dia” ujar Rizal.

Refi nurut. Ia kemudian mengikat pergelangan tangan Melinda ke sudut atas bagian kiri dan kanan dengan tali yang sudah disediakan. Begitu pula dengan sepasang pergelangan kaki. Ia mengikatnya ke sudut dipan bagian bawah. Kini, tubuh Melinda tidur telenjang dengan paha terbuka. Memperlihatkan bagian vital yang warnanya lebih gelap dari kulit paha dan perut. Sepasang ketiaknya juga terpampang jelas. Kepala Melinda sedikit menoleh ke arah kiri.

“Bagus. Mari kita mulai” ujar Rizal.

Refi dan Heru duduk bersila di sisi kanan Melinda, sedangkan Rizal duduk bersila di sebelah kiri Melinda. Tinggi dipan dari tanah dua jengkal dengan ukuran yang cukup untuk digunakan oleh satu orang.

Rizal memanjatkan puja mantra serta membakar kemenyan yang ditabur di bara arang yang menyala di depannya. Ia memandikan keris tersebut dengan asap kemenyan.

“Terimalah darah perawan ini. Hisaplah… Hisaplah…” ujar Rizal seraya mendorong wadah arang dan kemenyan yang terbakar tepat di bawah dipan, tepat di bagian dada Melinda yang tertidur pulas.

Rizal berdiri. Tangan kanan memegang gagang keris. Tangan kirinya meraih puting kiri dan sebagian areola Melinda dengan ibu jari dan jari telunjuk menjepit kuat. Puting Melinda masih tenggelam di tengah areola, itu dikarena Melinda belum pernah dirangsang seseorang dan belum pernah merangsang dirinya sendiri. Rizal menarik ke arah langit-langit ruangan, membuat buah dada kiri Melinda sedikit mengerucut. Tangan kanannya mendekatkan ujung keris ke kulit payudara sisi samping.

Tiba-tiba…..

AAAAAAAAHHHH

Melinda terbangun ketika merasakan ujung keris itu bersentuhan dengan kulit payudaranya. Efek obat tidur tidak berjalan sesuai rencana. Minuman yang berisi obat tidur, oleh Melinda diminum sedikit. Ia tidak merasa kehausan, karena sebelum keluar kamar di vila, ia sudah minum air mineral.

“A.. Apa ini? TIDAAAAAAAKKKK” teriak Melinda menyadari kondisinya yang telanjang bulat dengan puting kiri ditarik oleh pria yang tidak ia kenal.

“AAAAAAARGGGHHHH Sa.. Sakit”

Rizal dengan cepat melesakkan keris tersebut. Mammary ducts tertusuk oleh benda asing. Sepersekian detik, ujung keris tersebut keluar dan berada di antara sepasang buah dada Melinda.

“Kak.. Kak Refi? M.. Mas Heru? To.. tolong sa.. ya.. Aaarrgg” ujar Melinda menoleh ke kanan.

Rizal melepaskan puting kiri lalu meraih puting kanan. Ia tarik lagi hingga mengerucut, lalu mendorong keris hingga menusuk buah dada sebelah kanan, menembusnya sampai ujung keris keluar di sebelah kanan di dekat pingganh atas disertai darah.

Jeritan falsetto Melinda memekik terdengar nyaring. Seperti menekan tuts piano pada nada D8. Refi dan Heru bergeming. Ia hanya menunduk.

Beberapa menit kemudian, Melinda menjerit lagi. Keris tersebut mulai menghisap darah Melinda. Rasa panas dan perih seperti terbakar.

“Bagus, sekarang giliran kalian berdua” ujar Rizal.

Seorang pria datang dari belakang rumah menembak Heru tepat di punggung kepala. Seketika Heru tersungkur dan menghembuskan nyawa.

“Apa maksud semua ini, Rizal!!!” Ujar Refi berdiri.

PLOK PLOK PLOK PLOK

Terdengar tepuk tangan di belakang Refi. Seorang wanita muncul di ruangan yang berukuran persegi empat dan cukup luas.

“Ma.. Mama Rani?” ujar Refi terkejut.

“Hahaha, sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui” ujar Rani.

“Apa maksud semua ini?” ujar Refi.

“Sedari awal aku menikah dengan si tua bangka, aku hanya mengincar hartanya saja. Aku tidak menyangka kamu membawa Melinda. Ia datang ke Surabaya. Jadi aku tidak perlu repot-repot datang ke Banyuwangi untuk membunuhnya, hahaha”

“Oh jadi aku tahu, mengapa mama selama ini baik kepadaku, ternyata…. ”

“Jika kamu sadar sekarang, itu telat. Kamu akan mati dan kujadikan tumbal selanjutnya”

“Tidak semudah ini mama”

Refi mengeluarkan pisau lipat yang tersimpan di balik pakaiannya, lalu menodong ke arah Rani. Kaki Refi melangkah cepat, tetapi dari sebelah kiri Rizal mendekati Refi. Dengan cepat Rizal melakukan gerakan tendangan berputar ke pergelangan tangan kanan Refi hingga pisau tersebut terlepas. Refi hendak mengambil pisau, tapi Rizal sudah memegang tangan kiri dan menjatuhkan tubuh Refi. Tangan Refi dikunci oleh Rizal.

“Perlu kamu tahu. Keris itu tidak akan pernah kami jual. Hahahaha” ujar Rani.

“Ada lagi. Asal kamu tahu, Rizal dan Tedi adalah sepupu saya” lanjutnya.

“Cepat proses mereka” perintah Rani.

“Siap” jawab Rizal dan Tedi serentak.

Melinda mulai kekurangan darah. Badannya lemas dan mulai pingsan.

Refi dan Heru kemudian diikat di pergelangan tangan dengan posisi sepasang tangan ke atas dan membentang dengan jarak satu setengah meter. Tubuh mereka berdua kemudian ditarik ke atas hingga ujung kakinya terangkat dari lantai. Selanjutnya di telanjangi hingga telanjang bulat. Rizal melakukan ke Refi, sedangkan Tedi ke mayat Heru. Tedi beranjak ke belakang membawa perkakas yang berisi aneka senjata tajam.

“Kamu cantik, sayang sebentar lagi kamu akan mati dan sebagian daging kamu akan kita makan. Hahahaha”

“Cuiiihhh….. Dasar banjingan!!! Kurang puas kamu menikmati uang dan tubuhku, hah?”

Refi meludah, tapi dibalas senyuman oleh Rizal.

Tedi mengambil pisau scalpel. Ia berdiri di punggung Heru lalu mulai menyayat kulit berwarna kegelapan itu dengan cepat dan tepat. Tedi ingin melakukan taxidermy. Sedangkan Rizal, ia ingin mengeluarkan organ dalam Refi.

Sama seperti Tedi, Rizal mengambil pisau scalpel dan menusukkan ke ulu hati Refi. Membuat luka sayatan vertikal ke arah bawah.

“AAAAAAAAAAAARGGGGH”

Jerit memekik yang suaranya tidak senyaring Melinda. Rizal tidak menghiraukan. Ia lanjut menyayat hingga pisau scalpel berhenti di atas tulang pubis. Darah mengalir keluar dan jatuh ke lantai. Rizal menyayat lagi hingga membelah lemak, daging, dan otot. Sayatan pertama memisahkan kulit kiri dan kanan, sedangkan sayatan kedua memisahkan bagian dalam. Pada sayatan ketiga, organ dalam mulai terlihat dan usus halus disertai mesentery, yaitu jaringan berwarna kuning yang mengikat usus halus. Organ dalam mulai menyembul. Rizal segera mengeluarkan organ tersebut berserakan di lantai. Di mulai dari usus halus, usus besar, ginjal, dan limpa. Abdominal cavity bagian bawah tidak sepenuhnya kosong. Tersisa rahim, ovarium, dan kandung kemih. Rektum sudah terpotong rapi.

Refi masih sadar. Organ vitalnya masih berfungsi dengan baik, tapi ia mulai merasa lemas.

Rizal melanjutkan pekerjaannya dengan mengeluarkan organ hati, lambung, pankreas, paru-paru, dan jantung. Ia mengosongkan abdominal cavity bagian atas dengan baik. Saat jantung Refi dipotong dan dikeluarkan, Rizal merasakan detak lemah. Ia melemparkan begitu saja ke lantai. Jantung itu dapat bergerak sendiri, namun tidak jauh. Hanya 5 milimeter saja.

Nyawa Refi sudah melayang. Darah dari rongga dalam mengalir keluar melalui lubang feses, merambat turun ke sepasang paha, betis, ujung kaki, lalu menetes ke lantai.

Di sisi lain, Tedi sudah menguliti tubuh Heru. Kulitnya masih menggantung di leher. Tampak darah yang jauh lebih banyak dari Refi bersimbah di bawah kaki. Tedi melanjutkan dengan memotong leher Heru hingga putus. Kepala Heru dan kulit kemudian di bentangkan di lantai. Kulitnya seperti selembar kain kusut. Penis dan buah zakar yang ditumbuhi rambut masih menempel erat.

Merasa sudah selesai, Tedi membantu Rizal untuk menyelesaikan pekerjaan. Sedari tadi Rani memandang dengan duduk di kursi kayu. Ia menyulutkan rokok dan menghisapnya. Rani melihat bayangan mereka dari sebuah lentera yang digantung di atas dan di antara mayat Refi dan Heru.

Rizal memotong kulit ulu hati Refi secara horizontal dan melingkar, sedangkan Tedi memotong untuk memisahkan pelvis dengan lumbar vertebrae. Tidak sulit bagi Tedi. Tubuhnya yang berotot dan bertenaga dapat melakukan dengan beberapa iris. Walaupun tulang sangat keras, tapi kekuatan Tedi dan scalpel jauh lebih kuat.

Beberapa detik kemudian, tubuh Refi bagian bawah jatuh. Tedi kemudian duduk dan memotong labia mayora di selangkangan Refi secara melingkar. Memisahkan kemaluan dan anus dengan bagian tubuh lainnya. Cukup cekatan, hingga tangan kirinya menenteng kemaluan, anus, rahim, dan ovarium yang menjadi satu kesatuan lalu menunjukkannya ke Rizal.

“Memeknya enak lho. Pakai saja, mumpung masih anget” Ujar Rizal yang sibuk memotong ketiak kiri sampai bahu kiri.

“Boleh mbak yu?” tanya Tedi ke Rani.

“Boleh” jawab Rani.

Sambil berdiri, Tedi menurunkan celananya sampai lutut, lalu mengeluarkan penis yang telah mengacung keras. Dengan dibantu tangan kanan, Tedi membentangkan labia mayora hingga rongga kemaluan Refi yang warnanya belum pucat menganga membentuk oval. Ia memasukkan ke kemaluan Tedi lalu mengocoknya. Rahim dan sepasang ovarium ikut terguncang.

“Ohhhhh… mantep nih bangkai memek ini” ujar Tedi seraya mengocok cukup cepat.

“Uuoooohhhh” lanjutnya melolong menikmati jepitan kemaluan Refi.

Kenikmatan tedi sudah diubun-ubun. Penisnya berkedut dan menandakan ia akan ejakulasi.

“Terima nih peju… Uuooooooohhh” teriak Tedi dengan mempercepat kocokan tangan yang menggenggam saluran vagina Refi. Sampai pada akhirnya, Tedi tak kuasa menahan tekanan kuat dari belakang pangkal penis yang dipenuhi oleh sperma.

“Ohhhhhhh.. Ohhhh enak banget” ujarnya setelah menumpahkan sperma ke rongga kemaluan Refi.

Tedi mencabutnya. Saat itu juga, cairan kental putih mengalir keluar dari sela-sela labia minora Refi. Tedi mengambil pisau scalpel, lalu memotong pangkal vagina untuk memisahkan antara vagina dan rahim.

Bagian kemaluan Refi jatuh, sedangkan bagian rahim dipegang tangan kiri Tedi. Ia membaliknya untuk melihat lubang servik. Beberapa cairan masuk memenuhi rongga dalam rahim Refi. Sepasang ovarium dengan tuba falopi masih setia melekat dan bergelantungan.

Rizal sudah melakukan pekerjaannya. Sepasang lengan Refi sudah lepas menyisakan kepala, dada, dan bagian tulang punggung sampai tulang ekor. Ia kemudian mengambil wadah kecil berbentuk lingkaran dan rantai untuk dipasangkan ke tubuh Refi. Ia ikat rantai dengan wadah, lalu mengaitkannya ke bagian bawah tulang rusuk bawah Refi. Tedi kemudian meletakkan rahim di wadah tersebut secara vertikal dengan posisi servik berada di atas.


Melinda semakin kekurangan darah. Sepasang payudaranya yang berisi mulai kempis. Perutnya bergerak menandakan nyawanya masih bersemayam pada raga yang tidur telentang.

“Kerja bagus adik-adikku, saatnya kita berpesta”

BRUAAAAKK..

Tiba-tiba dari pintu belakang masuk belasan orang mengenakan jas hitam.

DOR DOR DOR

Masing-masing kepala Rani, Rizal, dan Tedi tertembus peluru revolver. Dari depan pintu, masuk 3 orang. Pria paruh baya, pria berumur 28 tahun, lalu wanita berumur 24 tahun.

“Kerja bagus, Vin!!” ujar pria paruh baya tersebut.

“Cepat tolong dia, lalu bawa bersama kita” lanjutnya berjalan keluar dari rumah itu.

“Siap pak”

***

***

***

3 tahun berlalu. Rumah tempat pembunuhan telah hangus menjadi abu. Bangkal mobil milik Heru dan Refi juga lenyap.

Di suatu tempat, seorang wanita cantik sedang bersimpuh ke sebuah lentera.

“Hikss… Kak, kenapa melakukan ini? Hikss… Kenapa kak? Kasihan ibu dan papa. Mereka pasti sedih, hikss” ujarnya sembari terisak.

“Dik Melinda yang sabar ya. Ada bapak di sini. Anggap rumah ini sebagai rumah adik” ujar pria yang ikut duduk di sampingnya.

“Hikss.. Iya pak”

“Beruntung Vino segera tanggap. Jika tidak, mungkin sekarang dik Melinda ada di Surga” lanjutnya.

Melinda kemudian berdiri bersama pria disampingnya, lalu menghampiri Vino.

“Makasih, om” ujar Melinda kemudian memeluknya.

“Hayooo lagi ngapain, ini kakak bawakan makanan kesukaan adik” ujar koki wanita datang menghampiri Melinda sebuah nampan berisi makanan kuah bening berisi kacang panjang dan sayur mayur lainnya.

“Terima kasih, chef Jessica” Ujar Melinda menerima makanan tersebut.

“Silahkan dimakan ya dik, kami tinggal dulu”

“Iya. Terima kasih, pak Borgan” jawab Melinda.

Borgan, Vino, dan chef Jessica meninggalkan kamar Melinda sendirian. Bukan, melainkan berduaan dengan jasad Refi yang telah mengering dan menjadi lentera. Api sedang menyala di servik yang telah ditanam sumbu. Minyak yang ada di dalam rahim terserap sumbu dan menghantarkan ke api yang ada di puncak.

***

***

Beberapa bulan kemudian, Melinda tampak ceria. Kini, ia sedikit bisa memainkan piano. Di dalam kamarnya terdengar tuts-tuts yang ditekan dengan jemari lentik dan mengeluarkan nada hingga terdengar di telinga Borgan. Walaupun ia ceria, tapi nada-nadanya mengandung kesedihan dan kegelapan.





***

***

***


Melinda menginjak umur 22 tahun. Selain belajar membaca buku dan kuliah privat, ia juga membantu membersihkan mansion yang megah dan besar. Saat menyapu lantai, ia berpapasan dengan seorang wanita muda yang hanya mengenakan pakaian dari kain satin. Wanita tersebut kebingungan mencari jalan menuju ruang tengah. Melinda menunjukkan jalan ke wanita itu. Sebelum melangkahkan kaki, wanita tersebut sempat menanyakan namanya. Ia pun memberitahu namanya.

Siska. Wanita muda yang malam ini akan dibunuh dan dagingnya dijual di acara pelelangan. Melinda tersenyum. Ia menyadari, bahwa di luar sana ada wanita yang ingin dibunuh secara sukarela. Mungkin ia akan melakukannya, tapi teringat ibu di kampung, ia mengurungkan niat. Mungkin suatu saat nanti, jika sudah siap.

Borgan, seorang mafia perdagangan manusia, kanibal, organ dalam, dan barang-barang antik, termasuk keris milik Rani dan Rizal. Ia tidak mengetahui, bahwa dari keindahan keris yang panjang 45 centimeter dan luk 13 dapat berbuah kesialan kepada pemiliknya. Khodam di dalamnya marah. Darah perawan yang dihisap dari Melinda sangat kotor. Kotor terkontaminasi oleh obat tidur.







TAMAT​
 
warbiyasaaahhhh :jempol:
Okay
ijin baca disini gan
Silahkan. Pasti sudah baca beberapa hari yg lalu. 😄
Hiiiii ngeriiii nih 🇨🇳🥃😰
Yup. Tapi aku bergairah. :p
dih... dah ada 3 orang... tapi masih pejwan lah...

nongki dui dimari :mabuk:
Gpp, masih banyak bangku yang kosong.
Waw sadis hehehe...mksih updet di cerita perlombaan LKTCP 2020 HU..semoga sukses..
Thanks and you are welcome.
Duhh, kalo suhu satu ini uda ga perlu diragukan lagi bikin adegan gorenya .. aku merinding bayangin gimana nyodok meki doank tapi badannya uda buntung² 🙈

Semogaaa suksessss!! :beer:
No no, bukan aku saja yang bisa bikin gore. Hanya saja, penulis gorenya gak mau bikin. Upss...

One piece of pussy. Its very nice and tender. Kalau di trit sebelah, cock yang di potong. Trit lktcp sebelumnya, banyak cock yang dikeringkan dan dijadikan furnitur a.k.a fosil dildo. 😋

Btw, thanks sista.

Rebutan keris to awale.....vino+chief Jessica Udah tewas
Yup. Mereka tewas dengan cara yang aku sukai. 😉

Ijin baca ya sis..

Pasti mengerikan nih critanyaaa..
:pandajahat:
Okay. Tidak begitu mengerikan kok. 😋

Selamat mba @RoroLilith, telah rilis ceritanya di ajang LKTCP 2020.
Semoga sukses.
Terima kasih.
sik asik sik
Asik dong. Baca bikin panas dingin. Hihihi
Luar biasa...... Sukses ya mbak? :beer:
Terima kasih.
Sadis, tp ceritanya bagus

makasih @RoroLilith
Okay. Terima kasih ya.
kanibal ternyata lalu nasib kuliah melinda gmn bos
Melinda kuliah ke Jepang untuk belajar cara bikin mesin jagal yang bisa dalam 10 detik bisa memisahkan antara daging paha, betis, tits, pussy, uterus, cock, testis, hati, ginjal, dll. Semuanya dalam keadaan fresh. Thats it. 😋

Aduuhh... Kak @RoroLilith pasti kejam gini ujungnya... :rolleyes: tapi bagus banget kak ...hehee... :ngakak
Tidak begitu kejam kok. Kalau Vino yang eksekusi pasti bagus. Hihihi

oo, jadi ini cerita awalnya hantu yang ada di kamar pak Borgan itu :lol: :pandaketawa:
Oohh, jadi saudara baca juga part itu. 🙈
 
Bimabet
O iya dong, gw kan fansnya cerita itu :pandaketawa: pengen deh bisa nulis kaya gt dengan detil, cuma gw gak paham bagian tubuh :pandajahat: kapan2 gw 'kirim' char gw ke pak Borgan ah. banyak yg pengen mati jg soalnya :bata: =))
Woow thanks. Sekarang lagi memprioritaskan cerita itu. Beberapa scene di part auction sudah kutulis. Silahkan saja PM cerita yang dibikin gore dan snuff, nanti tinggal aku tulis. I will wait for that. 😊
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd