Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG LAKUNA : SESUATU YANG HILANG

BAGIAN 14 : PERTARUHAN

**

0000035864_14.jpg

Saka Agra Aliendra
POV 3D

Angin berembus lirih di antara rimbun dedaunan pohon sawit, asap-asap tipis mengabur di antara derap jantung yang memburu di dada Saka yang tengah dipeluk erat bahunya oleh Sang Istri, Anggana Raras Rengganis. Mata Saka nyalak, hijau yang tadi sempat padam memancar kembali menyelimuti bola matanya.

“Hahahaha.. sungguh memalukan mendapati kepala trah serigala termasyhur pulau ini hanya bisa berlindung di balik Kacapura dan tubuh orang lain. Sudah terlalu nyaman kah dia menjadi bagian dari keluarga utama Purantara?” Ki Saptadi berseru lantang dengan tatap merendahkan. Dan perkataan lelaki tua itu langsung disambut gelak tawa orang-orang yang berada di belakangnya.

“Hherrrgghhh..” Saka mengeram mencoba mengendalikan dirinya.

“Sabar Mas.. sabar.. jangan terpengaruh ya.. aku mohon..” Ujar Rengganis terus berusaha menenangkan suaminya yang terlihat mulai diliputi amarah.

“Lihat.. bahkan dia hanya bisa berlindung di pelukan istrinya yang maha kuat itu. Miris sekali bukan? Ndak heran trah-nya sekarang terancam punah karena kehilangan pewaris hahaha” Ki Saptadi terus berusaha mengkonfrontasi Saka, dan setiap ucapannya selalu disambut dengan gelak tawa nyaring yang memekakkan telinga.

“Sepertinya trah Taraksa sekarang ndak lagi melambangkan keganasan serigala, tetapi ndak lebih seekor anjing lemah yang Cuma bisa berlindung di ketiak majikannya..” Seru Ki Saptadi lagi.

“HAHAHAHAHA..” Sambut gelak tawa menyemai ke udara.

Saka benar-benar berusaha mengendalikan dirinya sekuat tenaga. Logikanya benar-benar menuntut agar ia tak terbawa setiap konfrontasi yang datang padanya, namun hati kecilnya benar-benar berontak, benar-benar terbakar setiap mendengar hinaan-hinaan yang ditunjukkan kepada trah leluhurnya, terlebih hinaan tersebut datang dari salah satu orang yang paling dibenci oleh Saka.


“Tenang Mas.. tenang ya..” Rengganis terus berusaha menenangkan Saka dengan segala kelembutan yang ia punya.

Namun konfrontasi yang terus datang, hinaan demi hinaan pada trah leluhur serta keluarganya, dendam masa lalu yang membara telah membuat Saka benar-benar terbakar emosinya saat ini.

Matanya menghijau sepekat-pekatnya, membuat hilang sudah pupil mata hitamnya, hijau keseluruhan. Dan di tengah emosinya yang naik ke ubun-ubun itu, hati kecilnya langsung mengambil alih fungsi otak Saka. Di kepalanya ia menyadari, bahwa ia tidak akan bisa keluar dari Kacapura milik Pak Wangsa dan Satya Weda. Memohon untuk dibukakan juga percuma, mereka tidak akan membukanya jika Rengganis melarang.

Namun ia juga sadar, Kacapura ini tidak akan bisa bertahan jika nanti orang-orang di luar sana melakukan serangan demi serangan. Ada batas waktu ketahanan kubah kaca ini. Otak Saka benar-benar memproses segala rencana di kepalanya, andai Mang Diman memiliki cukup kekuatan, mungkin mereka semua bisa langsung berpindah lokasi, menghindari pertarungan di depan mata mereka saat ini.

Namun Saka sadar, hal itu sangat tidak memungkinkan. Meski sesungguhnya, Saka bisa saja memberikan tambahan tenaga kepada Mang Diman, namun itu tetap membutuhkan waktu. Saka benar-benar berada dalam dilema saat ini, meski dalam keadaan emosi tingkat tinggi dia tetap memikirkan keselamatan orang-orang yang bersamanya saat ini.

Huh..

Saka menghela napas berat, mencoba mengontrol emosinya agar berbuah kekuatan yang bisa menyelamatkan seluruh anggotanya saat ini, utamanya tentu sang istri, Rengganis. Mata Saka terpejam sejenak, ia resapi elusan lembut telapak tangan Rengganis di pipinya, ia ingin meresapi baik-baik hangat dan lembutnya telapak tangan perempuan yang sudah dan selalu membuatnya bersyukur akan kehidupannya itu. Bersamaan itu hati kecilnya mengambil keputusan besar, keputusan yang akan menentukan keselamatan semua orang yang saat ini ada bersamanya.

Merasa cukup, Perlahan Saka membuka matanya, memandangi baik-baik mata Rengganis seraya telapak tangannya mulai ditempelkan ke atas aspal, mencoba merasakan unsur kehidupan di bawah sana yang hendak ia manfaatkan. Namun nihil, Kacapura ini bukan hanya melingkupi bagian samping dan atas saja, melainkan rapat sempurna sampai ke dalam tanah.

Saka mengeram tertahan, matanya langsung awas melirik sana sini, hingga akhirnya ia menangkap sebuah ranting patah yang tergeletak di dekat Satya Weda.

Kebetulan yang sempurna baginya, karena ia tahu, Satya Weda belum sematang Pak Wangsa dalam mengontrol Kacapura. Pemuda itu masih terlalu bau kencur dalam perihal ini, itulah yang membuat pemuda tersebut terlihat tegang pucat pasi, karena ini pertama kalinya seorang Satya Weda mendapatkan kepercayaan untuk menjadi pengawal utama.

“Maaf Dek..”

TEEKKHHH..
TEEKKHHH..

Saka berucap seraya tangan kanannya menyarangkan totokan secara beruntun di kanan dan kiri bahu bagian depan istrinya, tanpa siapapun sadar akan itu. Membuat sekujur tubuh Rengganis kaku tak bisa digerakkan. Kemudian dengan lembut Saka melepaskan genggaman tangan sang istri, dikecupnya lembut kening istrinya itu penuh kasih.

Dan Rengganis.. ia hanya bisa melirik setiap perlakuan Saka padanya, berderai langsung air matanya.

Hati Rengganis berteriak, hendak memprotes dan memberontak atas keputusan suaminya. Namun apa daya, totokan yang disarangkan Saka kepadanya bukanlah totokan tingkat rendah, itu diluar kemampuan Rengganis untuk melepaskan sendiri kaku di tubuhnya. Hanya orang-orang tertentu saja yang mampu melepaskan totokan tersebut, tidak sembarang orang.

Dan Saka.. dengan mengandalkan pancaran energi berwarna hijau miliknya, ia menggerakkan ranting yang tadi ia lihat dengan cepat dan senyap, langsung melingkar di pergelangan tangan kanan Satya Weda, di mana di pergelangan tangan kanannya itu terdapat kepalan tangan yang keras tertanam ke atas aspal, berusaha memperkuat kacapura yang pemuda itu bangun dengan seniornya, Pak Wangsa.

Dan belum sempat Satya bereaksi apa-apa, ranting tersebut langsung bertumbuh. Akar-akar dengan secepat kilat keluar dan menghujam ke bawah dengan keras, membuat kepalan tangan milik Satya terdorong ke atas, terangkat dari aspal.

KRREEERRRKK

Dinding kaca yang berada dalam kendali Satya tertarik sedikit ke bawah, membuat bagian atas kubah tersebut terbuka sedikit, menampilkan ruang segitiga kecil selebar satu meter di puncak kubah tersebut.

Dan itu adalah cela yang Saka buat, sebelum bibir Satya mengeluarkan suara sepatah kata pun, sebelum Pak Wangsa sempat menyadari apa yang terjadi dengan Kapucaranya, dan sebelum semua orang di dalam kubah maupun di luar kubah ini sadar, Saka melonjakkan tubuhnya dengan penuh tenaga, meluncur ke atas.

WUSSHHH..

Tubuh lelaki tegap itu langsung melesat meninggalkan Rengganis yang terduduk kaku. Bak peluru yang ditembakkan, tubuh Saka melesat ke udara, melewati celah yang sudah ia buat, keluar dari kubah kaca tersebut lewat atas, terlonjak dan langsung meluncur kembali ke bawah, mendarat di bagian luar kubah kaca tersebut, tepat di bagian depannya.

Dan tepat setelah kakinya berpijak di luar kacapura, tepat saat Pak Wangsa, Mang Diman dan yang lain menyadari apa yang sedang terjadi. Saka langsung menggerakkan tangan kanannya ke bawah, seperti gerakan membanting bola. Hal tersebut langsung membuat kepalan tangan Satya Weda yang sempat terangkat, kembali menyatu dengan aspal jalan, ditarik kembali oleh akar-akar dari ranting yang tadi “dihidupkan” oleh Saka. Begitu pun puncak kubah kaca itu, celahnya kembali tertutup dengan sempurna.

Kepanikan seketika menjalar di hati Mang Diman dan yang lain. Abdi setia Purantara itu pun langsung memutar tubuh, berjongkok dan mencoba berbicara dengan Rengganis. Namun ia sadar, junjungannya itu berada dalam pengaruh totokan. Mang Diman segera melirik Pak Wangsa.

“Cepat buka!” Seru Mang Diman panik. Karena ia benar-benar khawatir jikalau membiarkan Saka berada di luar seorang diri. Pak Wangsa mengangguk, ia pun lantas hendak mengangkat kepalan tangannya dari aspal, namun tidak bisa.

Dan begitu ia melirik ke bawah, matanya membelalak ketika tanpa ia sadari, lilitan ranting berakar sudah melilit pergelangan tangannya, menahan kepalan tangan tersebut agar tidak kemana-mana, persis seperti yang terjadi pada Satya Weda, juniornya yang juga mengerti maksud dari perintah yang Mang Diman serukan, berusaha kerasa mengangkat kepalan tangannya. Namun semakin kuat ia berusaha, semakin kuat juga tangannya ditahan akar-akar tersebut.

Melihat kedua pengendali Kacapura tersebut tertahan, Mang Diman segera menoleh ke depan, melihat ke arah Saka yang ternyata tengah menggerak-gerakkan jemari di kedua tangannya, mengendalikan ranting-ranting berakar tersebut.

“Pak Saka..” Gumam Mang Diman parau menahan gejolak hati. Kekhawatiran langsung menyeruak dari inti perasaannya. Ia amat tahu, meski Saka sang pimpinan sangatlah kuat mandraguna, tapi menghadapi belasan musuh bukanlah sesuatu yang bisa diterima nalar.

Terlebih Mang Diman tahu betul, tentang seseorang yang sedari tadi terus mengkonfrontasi Saka. Ia adalah Ki Saptadi, salah satu jenderal papan atas pegunungan utara yang terkenal bengis dan gila. Dan Mang Diman sendiri sudah pernah melihat betapa gila dan bengisnya orang itu. Dan itu terjadi beberapa tahun lalu, ketika Nyai Putri masih hidup. Ya.. beberapa tahun lalu..

***

“Nyai Putri.. apa Nyai tidak khawatir karena telah membiarkan Raden Ayu dan Mas Saka ikut?” Tanya Mang Diman kepada perempuan tua dengan rambut yang sudah memutih sepenuhnya. Beliau adalah junjungan sekaligus pemimpin utama wilayah barat pulau utama, Purantara.

Dan nama perempuan tersebut adalah Putri Kemala Sari, orang-orang di sekitarnya biasa memanggil beliau dengan panggilan 'Nyai Putri'.

“Mengapa Mamang menanyakan hal itu?” Nyai Putri yang tengah sibuk menyulam di atas sebuah pendopo bertanya balik dengan santainya.

Pendopo tempat Nyai Putri menyulam tersebut berada di halaman belakang sebuah villa besar dengan gaya arsitektur tradisional, terletak di sebuah daerah perbukitan yang masuk dalam cakupan wilayah barat pulau utama. Tepatnya berada di pedalaman sebuah kabupaten yang memiliki julukan kota bung.

Yang siang ini terlihat diselimuti gemawan, dengan dersik angin yang mesra membawa aroma hujan.

“Saya.. saya agak riskan jika semua keluarga utama pergi bersama seperti ini..” Ujar Mang Diman yang kini sudah duduk bersila di depan pendopo. Berusaha menempatkan dirinya agar tidak lebih tinggi dari sang junjungan.

Nyai Putri menghentikan sejenak kegiatannya, setengah jarum sulamnya yang sudah menembus kain putih terhenti. Matanya langsung menatap mata Mang Diman.

“Maaf sekali jikalau saya lancang pada Nyai, saya hanya khawatir akan keselamatan..”

“Mang Diman..” Nyai Putri memotong perkataan sang abdi dengan lembut. Membuat Mang Diman terdiam dan langsung menundukkan wajah.

“Jangan duduk di bawah seperti itu, duduk di atas saja..” Tegur Nyai Putri lembut. Mang Diman semakin menundukkan wajahnya dalam-dalam, menggelengkan kepalanya pelan.

“Terimakasih Nyai, saya di sini saja..” Ujar Mang Diman merasa tak pantas.

Nyai Putri tersenyum melihat betapa formal sang abdi tiap kali bicara kepadanya. Dari itu Nyai Putri pun berdiri, ia benarkan sedikit letak potongan kain jariknya, lalu perlahan menurunkan tubuhnya, duduk bersimpuh di depan Mang Diman.

Hal itu tentu saja membuat Mang Diman merasa tidak enak, wajahnya memucat pasi dengan raut panik karena merasa sudah membuat Nyai Putri duduk beralaskan rumput dan tanah kotor.

“Jangan Nyai.. jangan duduk di sini.. di atas saja.. tolong Nyai.. di atas saja..” Ujar Mang Diman panik. Nyai Putri tersenyum, tak menggubris ucapan Mang Diman, melanjutkan kegiatan menyulamnya.

“Semua manusia itu diciptakan sama Mang, bentukannya sama semua, pun derajat, harkat dan martabatnya, di mata Sang Pencipta semua manusia itu sama rata. Tidak ada bedanya..” Ujar Nyai Putri dengan lembut, tangannya sibuk membolak-balik arah tusukan jarum sulamnya, mencoba mengutuhkan pola bunga yang ada di kain putihnya.

“Tapi Nyai.. enggak pantas rasanya jika melihat Nyai Putri duduk di bawah seperti ini, duduk sejajar dengan saya yang Cuma..”

“Cuma apa? Memangnya kenapa kalau aku duduk di bawah? Ada yang bakal marahin aku gitu?” Potong Nyai Putri lagi dengan acuhnya.

“Enggak Nyai, bukan begitu maksud saya. Tapi kan saya ini Cuma abdi dalam keluarga ini. Rasanya enggak pantas jika saya duduk sejajar dengan Nyai Putri.” Tukas Mang Diman penuh ketidakenakan di hati.

“Yasudah.. kalau Mang Diman mau nyari tempat duduk yang lebih rendah ya tidak apa-apa, di dasar kolam ikan itu tempatnya lebih rendah, kalau Mamang mau.. bisa duduk di sana, soalnya aku tetap mau duduk di sini.” Ujar Nyai Putri dengan santainya.

Dan mendengar itu, seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, Mang Diman segera merangkak menuju tepian kolam, entah apa yang ada di pikirannya, mungkin sungguh-sungguh hendak melakukan apa yang dikatakan junjungannya.

“Awas aja kalau ikannya pada mabok, terus mati, aku suruh Mamang cari ganti yang sama persis bebet, bibit sama bobotnya..” Ujar Nyai Putri santai saja, dan hal itu tentu saja langsung membuat Mang Diman terdiam dan mengurungkan niatnya.

“Mang Diman.. aku itu sudah berapa ratus kali bilang. Di keluarga ini, semuanya sama, tidak ada beda. Mamang manusia, aku juga manusia, Anakku, menantuku, dan cucuku juga manusia. Masih sama-sama makan nasi, atuh jangan dibeda-bedakan gitu ah Mang..” Nyai Putri kembali menasehati abdinya itu, entah untuk berapa ratus, atau bahkan ribuan kalinya. Namun Mang Diman tetaplah Mang Diman, ia tetap menempatkan dirinya sebagaimana mestinya.

“Maafkan saya Nyai..” Hatur Mang Diman lirih. Nyai Putri tersenyum kecil. Kembali melanjutkan aktivitas sulam menyulamnya.

“Dan mengenai kegelisahan Mang Diman.. aku mengerti betul. Aku juga sama. Tapi bagaimanapun, Rengganis harus mempersiapkan diri untuk mengemban tanggung jawab yang jauh lebih besar Mang. Karena aku ini kan sudah tua, aku tidak akan bisa selamanya menemani keluarga ini Mang. Biarlah Rengganis belajar lebih banyak, toh sekarang kemampuannya juga sudah melebihi perkiraan kita bukan?” Nyai Putri berkata dengan lugasnya, sedang Mang Diman hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala, mengamini ucapan junjungannya itu.

“Apalagi nanti, setelah adiknya Regan lahir, Rengganis harus menjalani pemurnian. Mamang tahu sendiri kan, kemungkinan besar ramalan tentang Aruhara itu tidak akan terjadi di generasiku, tapi di generasi anakku, atau mungkin generasi cucukku nanti. Jadi sebisa mungkin mereka harus mengembangkan dan menyempurnakan setiap kemampuan mereka, karena bagaimanapun, jalan hidup mereka pasti akan lebih sulit dibandingkan jalan hidupku Mang..” Lanjut Nyai Putri dengan raut wajah datar namun memendam keresahan pula. Keresahan akan nasib anak cucunya di masa depan nanti.

Jikalau saja ia bisa memilih, perempuan sepuh itu lebih memilih agar Aruhara yang sudah diramalkan datang di generasinya saja, jangan di generasi anak cucunya nanti. Namun bukankah takdir tidak bisa dipilih? Jadi yang bisa dilakukan Nyai Putri hanyalah mempersiapkan sebaik mungkin keturunannya untuk menghadapi masa depan berat yang pasti akan menyapa mereka.

“Iya Nyai..” Jawab Mang Diman lirih setelah beberapa saat.

“Lagi pula, toh rumah besar kita itu tiangnya bukan Cuma aku, bukan Cuma Rengganis, tapi ada Mamang, lalu sekarang ada Saka dan Damar, serta banyak lagi tiang yang lainnya. Kalau satu tiang rapuh dan roboh, tiang yang lain pasti tetap bisa menopang rumah tersebut supaya tidak ambruk. Benar kan Mang?” Nyai Putri menatap Mang Diman dengan senyuman, yang segera direspon lelaki itu dengan anggukkan kepala.

“Iya Nyai..” Sahut Mang Diman berusaha melegakan hatinya. Nyai Putri tersenyum, kembali menusukkan jarum sulamnya ke kain, namun tiba-tiba hatinya didera angin yang terasa sesak, mengalirkan getaran ke sekujur tubuhnya.

Hingga tanpa sengaja, jarum yang ia tusukkan itu terlewat dan menusuk sedikit jemari di telapak tangan kirinya. Membuat Nyai Putri mengernyitkan dahi, pun Mang Diman. Bukan, Mang Diman tidak merasakan desah angin yang menyesakkan dada itu, tetapi karena di saat bersamaan terdengar dentuman keras dari arah bukit yang berada jauh dari villa tempat mereka tengah bercakap-cakap sekarang.

“Nyai..” Gumam Mang Diman sembari kepalanya tertoleh ke arah suara dentuman itu. Arah di mana dentuman tersebut berasal tak lain adalah arah yang sama, di mana tadi Mang Diman mengantarkan keluarga kecil yang begitu ia sayangi, Rengganis, Saka dan Regan kecil.

“Bawa yang lain Mang, aku akan menyusul.” Seru Nyai Putri seraya bangkit dari duduknya, dan berlari tergopoh ke dalam villa. Mang Diman tanpa menunggu lagi langsung berlari ke halaman samping, dan langsung disambut beberapa orang lain, sisa-sisa pengawal yang berjaga. Sedang sisanya lagi memang menemani Rengganis sekeluarga di bukit sana.

“CEPAT!!” Bentak Mang Diman seraya merentangkan tangannya. Ada empat orang yang tergopoh merapat ke Mang Diman, dan mereka pun langsung membuat lingkaran, saling menyatukan telapak tangan, bersiap-siap.

Asap hitam mulai membumbung dan menyelimuti mereka berlima, dengan Mang Diman sebagai pusat energinya. Dan diiringi kerjatan listrik, yang disusul hembusan angin, tubuh kelima orang itu pun langsung menghilang dari halaman. Berpindah tempat dengan begitu cepatnya.

Drrrrrrttttt...

Kepulan asap itu kini muncul di atas sebuah perkebunan teh, membawa lima orang di dalamnya yang langsung terperangah melihat kekacauan menyambut mereka.

Api membumbung, kabut-kabut tipis menyaru dengan asap dari kobaran api. Bukan itu saja, beberapa tubuh pengawal keluarga utama sudah bergelimpangan tak bergerak. Beberapa di antaranya bahkan sudah tidak lagi bernapas.

Namun lagi-lagi bukan itu saja yang membuat kelima orang itu terpekur. Melainkan pemandangan mengerikan yang tersaji di puncak perbukitan tersebut. Di mana terlihat Saka yang bajunya sudah compang camping bekas terbakar tengah tersungkur dengan posisi layakanya orang merangkak, napasnya terengah.

Di sisi lain Saka, tergolek Raden Ayu Rengganis yang tengah berbadan dua sudah dalam keadaan setengah sadar. Darah mengucur dari hidung dan mulutnya. Tidak hanya itu, di kedua kaki putih Rengganis tersaji darah segar yang terlihat mengalir.

Satu lagi pemandangan yang jauh lebih mengerikan tersaji di hadapan mereka kini. Seorang lelaki tua dengan tubuh gempal besar tengah mengangkat tinggi-tinggi Regan kecil yang terlihat berontak lemah. Lelaki itu mengangkat tubuh Regan dengan satu tangan saja, tidak dengan dicekik, melainkan dengan mencengkram wajah Regan kecil dengan telapak tangan besarnya, membuat Kedua kaki anak sulung dari Saka dan Rengganis itu mengerjat-ngerjat seperti ikan yang diletakkan di darat. Sesak kehabisan udara.

Di samping orang besar bertubuh gempal itu, terdapat dua orang lainnya. Satu lelaki tua yang umurnya sebaya dengan Mang Diman, memiliki kumis dan jenggot, yang ditangannya tengah memegang benda semacam cambuk. Namun bukan cambuk biasa, melainkan cambuk yang dilapisi api yang menyala menjilat-jilat.

Sedang satu orang lainnya adalah lelaki dengan tubuh pendek, agak lebih muda dari pemegang cambuk, di tangan lelaki itu memegang semacam cakram yang juga dilapisi api. Mereka bertiga kompak melirik Mang Diman dan ke empat rekannya yang baru datang.

“Mainan tambahan rupanya..” Ujar lelaki gempal yang terus mengangkat tubuh Regan tinggi-tinggi di udara, dan semakin memperkuat cengkeramannya pada wajah bocah yang usianya bahkan belum genap 12 tahun itu.

Dan setelah di amati, ada semacam balutan energi berwarna merah padam yang menyelimuti telapak tangan lelaki gempal itu, sedang dari wajah Regan yang tertutup, menguar balutan energi mirip asap berwarna biru tua, teriakan parau tertahan dan sesak dari Regan kecil masih sayup-sayup menguar. Langsung menyadarkan kelima orang yang baru datang itu.

WUSHH.. WUSSHH.. WUSHH.. WUSSHH..

Ke empat orang yang datang bersama Mang Diman langsung melesat, berusaha menolong Regan kecil yang kian mencapai batas antara hidup dan matinya saat ini.

“REMUK CEMETI!!”
“SAMPAR JAGAT!!”
“SAPU WESI!!”
“JAMALA WATU!!”

Keempat orang yang dibawa Mang Diman langsung menyerang dengan ganasnya, membabi buta dan terbakar emosi, segala macam warna energi melesak terarah ke tubuh lelaki gempal yang berada di tengah, berusaha sesegera mungkin membebaskan tuan muda mereka dari cengkeraman lawan.

“Le.. paskan.. anakku.. huukkhh..” Saka tersungkur ke depan, tengkurap dan tak lagi bergerak. Melihat itu Mang Diman segera melonjak hendak menolong tuannya itu.

Namun baru saja tubuhnya melayang di udara, sebuah cambukan kencang menyasar tubuhnya, membuat Mang Diman harus berkelit cepat, membanting dirinya ke samping dan jatuh di antara pohon-pohon teh. Padahal ia tak sampai terkena cambuk api itu, hanya hampir terkana, namun tetap saja dadanya terasa panas dan terbakar, tidak terbayang jika ia benar-benar terkena cambukan tersebut, mungkin akan lebih mengerikan efeknya.

Lalu detik berikutnya, tubuh salah satu pengawal yang ikut bersama Mang Diman terpental tak jauh darinya, dan bagian mengerikannya adalah, tubuh itu tak lagi memiliki kepala. Mang Diman bergidik ngeri, keringatnya mengucur deras mendapati salah satu rekannya gugur dengan kondisi memprihatinkan. Namun ia tak bisa meratap saat ini, ada hal yang jauh lebih penting harus ia lakukan saat ini.

Mang Diman bangkit, dilihatnya lelaki tua berkumis yang seumuran dengannya itu menyeringai. Cambuk api dikebas-kebaskan oleh lelaki tersebut, membuat punggawa-punggawa lain yang berusaha menyelamatkan Regan kecil susah payah untuk membanting tubuh, menghindari cambukan itu.

Sayangnya, satu di antara punggawa itu tak berhasil menghindar, tubuhnya terkena cambuk api dengan telak, terpotong jadi dua antara pinggang ke bawah, gugur menyusul satu punggawa yang kepalanya sudah terpenggal lebih dulu tadi. Kembali tubuh Mang Diman bergetar, dadanya kembali sesak.

Namun sekali lagi, Mang Diman tak mau menyerah, ia segera melakukan lipat jagat guna menjangkau Saka dan Rengganis yang sudah tak sadarkan diri, namun baru saja kepulan asap hitam keluar dari tubuhnya, sebuah cakram api melayang ke arahnya, menyasar lehernya dengan cepat, membuat Mang Diman kehilangan fokus dan menghindar dengan bergulingan ke tanah.

Dan baru saja Mang Diman tegap menjejak, cakram lanjutan kembali datang menyasarnya, membuat Mang Diman segara bertiarap. Merasa sudah selamat dari sabetan cakram api yang terbang kencang tersebut, Mang Diman segera berusaha membangun kembali lipat jagatnya, Mang Diman tidak sadar, jikalau kedua cakram yang terbang tadi tak ubahnya sebuah boomerang, terbang kembali menyasar Mang Diman dari arah belakang, tanpa disadari oleh Mang Diman sendiri.

Dan ketika kepulan hitam samar mulai keluar, di saat Mang Diman sudah memaksa konsentrasinya ke tingkat tertinggi, saat itulah seorang punggawa lain melonjak terbang melewati kepala Mang Diman, berusaha menyapu langsung kedua cakram api yang melayang tersebut dengan ajian sapu wesi. Yang tak lain berupa tendangan memutar cepat bak gasing.

CRAAAKK.. CRAAAKK..

Tepat saat kilatan keluar dari asap hitam Mang Diman, tubuh pemilik sapu wesi itu terkoyak cakram. Kaki kanannya langsung terputus, dan dada sebelah kirinya robek lebar terkena terjangan sepasang cakram tersebut. Satu lagi punggawa gugur.

Kepulan asap Mang Diman sudah hilang dari tempatnya, kemudian muncul di antara tubuh Saka dan Rengganis dengan cepatnya. Namun baru saja kepulan hitam itu hilang tersapu angin, baru saja Mang Diman hendak mengangkat kaki untuk melangkah ke tubuh Saka, cambuk api tersulur dengan cepatnya, menyasar tubuh Mang Diman.

Melihat itu satu punggawa tersisa yang baru saja mendarat setelah terpental kencang akibat pukulan sang lelaki tua gempal langsung meloncat dan terbang dengan kecepatan tinggi, seraya ketika di udara ia menggigit keras ibu jarinya sampai berdarah, lalu darah yang keluar itu ia sapukan ke telapak tangannya yang lain, didekap erat-erat seraya bibirnya melafalkan mantra terakhir yang bisa ia lafalkan.

“Bendung watu..” Ujar punggawa tersebut lirih penuh kepasrahan, tubuhnya langsung diposisikan menekuk bak bayi dalam kandungan.

Dua kata tersebut tak ubahnya sebuah bentuk pengabdian terakhirnya bagi keluarga utama. Karena setelah itu, seluruh tubuh punggawa tersebut perlahan menghitam dan mengeras. Dan energi berwarna hitam keluar dari tubuhnya, menyelimuti keseluruhan tubuh tersebut, membentuk gumpalan hitam sempurna yang kemudian memadat keras, mengkilap bak batu permata berwarna hitam legam dengan ukuran raksasa.

Batu besar itu kemudian jatuh tepat di depan Saka, tegap menghalang datangnya cambukkan api yang berkobar dengan besarnya, melesat hendak meluluhlantakkan areal di mana Mang Diman, Saka dan Rengganis berada. Menjadi tameng terakhir bagi anggota keluarga utama, menjadi pelindung untuk ketiga orang di belakangnya.

“Ban.. banda..” Mang Diman jatuh terduduk pada apa yang dilakukan kawan sesama punggawanya tersebut. Habis sudah, itu saja yang ada di kepala Mang Diman saat ini. Habis sudah kawan-kawannya.

Namun Mang Diman tidak bisa berdiam diri, ia harus bisa membawa Saka dan Rengganis pergi, itu saja yang ada di kepalanya saat ini. Di tengah cambukan demi cambukan yang terus menghujam batu hitam di depannya, Mang Diman berusaha menarik tubuh Saka agar mendekat pada tubuh Rengganis.

Kedua junjungannya itu benar-benar sudah dalam keadaan lemah, Saka bahkan sudah benar-benar tidak sadarkan diri, sedang Rengganis sayu-sayu masih merintih dengan untaian kabut yang terus keluar dari jemari-jemarinya.

“Regan Mang.. Regan..” Lirih Rengganis yang posisinya berbaring miring, sebelah tangannya memegangi perutnya sendiri, perut yang tengah mengandung janin berusia 5 bulan itu terasa begitu sakit saat ini. Darah terlihat membasah di kaki perempuan itu.

“Maafkan Mamang.. tapi Mamang harus bawa kalian berdua ke tempat aman dulu..” Ujar Mang Diman dengan air mata menetes di pipi.

Ia sadar betul, bahwa ia adalah punggawa terakhir yang tersisa. Ia harus mengambil pilihan berat, dan ia memilih menyelamatkan Rengganis dan Saka terlebih dahulu, karena mustahil baginya untuk menyelamatkan Regan kecil saat ini.

“Enggak Mang.. Regan..” Rengganis terus merintih, tangisan semakin deras keluar dari pipinya.

“Maafkan Mamang.. Maafkan Mamang..” Tukas Mang Diman dengan berat hati seraya tangan kanannya menggenggam jemari Rengganis, sedang tangan kirinya menggenggam jemari Saka. Bunyi cambukkan terus mendera batu besar yang melindungi mereka, dan dari arah atas, muncul dua cakram api yang berputar kencang, lalu menukik dengan tajamnya menuju ketiga orang tersebut.

Mang Diman sadar akan itu, segera ia keluarkan segala tenaga dalamnya untuk membawa kedua junjungannya itu pindah ke tempat yang lebih aman. Namun entahlah apakah waktu yang ia miliki cukup atau tidak, sebab cakram itu sudah berada sangat dekat dengan dirinya sendiri.

“Jagat dewa batara.. tolong kami..” Lirih Mang Diman di dalam hati, dan tepat ketika cakram api tersebut berjarak tak lebih tiga meter tingginya. Tiba-tiba sebuah dinding kaca nan tebal keluar dari dalam tanah.

SREEKKK
SREEKKK
SREEEKK
SREEEKK

Bukan hanya di depan saja, namun di kanan dan kiri, serta di bagian belakang Mang Diman dinding-dinding kaca keluar dan menyatu menjadi sebuah kubah kecil yang menaungi mereka bertiga.

TRAANGG
TRAANGG

Kedua cakram api itu menghantam kubah kaca dan langsung terpental jauh. Bersamaan dengan itu..

DAARRRR!!!

Batu di depan mereka pun hancur, tak mampu lagi menahan cambukkan demi cambukkan api yang menghantam. Mang Diman langsung terpekur, asap-asap hitam yang terbentuk dari energinya kembali menipis. Matanya membelalak ketika mendapati batu hitam tersebut hancur berkeping-keping tak bersisa, membawa perasaan kehilangan yang mendalam bagi Mang Diman.

“Hikss.... terimakasih semuanya..” Ujar Mang Diman lirih kepada seluruh kawan seperjuangannya yang sudah berkorban diri untuk menjadi pelindung.

Kini mata Mang Diman menyapu ke segala arah, dan betapa leganya ia ketika mendapati bala bantuan dari punggawa-punggawa lain sudah datang. Kubah kaca yang melindungi Mang Diman, Saka dan Rengganis saat ini adalah buatan dari Pak Wangsa, entah di mana lelaki itu berada, yang jelas ia harus aman dari serangan apa pun agar kubah kaca yang ia buat tidak terganggu dan hancur.

Napas Mang Diman kian melega ketika melihat Nyai Putri tengah melayang di udara dengan sebelah tangan menggendong Regan kecil di pundak, sedang tangannya yang lain menghunuskan sebuah pedang pusaka dengan bagian bilah pedangnya bergelombang seperti keris, itu adalah Giriwarsa, pusaka utama tanah purantara, mengkilap di tengah angin perbukitan.

“Nyai Putri sudah datang.. Regan baik-baik saja Den Ayu..” Seru Mang Diman bahagia. Rengganis dengan sisa-sisa kesadarannya tersenyum, lalu perlahan matanya terkatup, kesadarannya pergi menjauh.

“Perempuan jahanam!” Maki lelaki tua bertubuh gempal yang menjadi pimpinan dari dua orang lainnya. Lelaki tersebut menahan sakit dengan wajah memerah, tangan kirinya memegangi luka di lengan kanannya yang memancarkan darah.

Ya.. memancarkan darah segar, sebab tangan kanannya baru saja putus terkena tebasan giriwarsa. Sedang dua ajudan yang berada bersamanya segera melayangkan serangan demi serangan beruntun ke arah Nyai Putri yang melayang di udara, namun entah mengapa, dengan anggunnya perempuan renta itu menari-nari dengan mudahnya, menghindari cambukkan dan cakram-cakram api yang mencoba menghantam tubuhnya.

Melihat itu beberapa punggawa lain yang datang bersama Nyai Putri pun segera mengambil kesempatan. Dua di antara mereka yang berusia remaja segera membentuk formasi agung. Satu orang di depan sudah mengeluarkan sulur, sedang satu orang di belakangnya melayang dan membalut sulur yang keluar itu dengan lapisan emas.

Dan sulur-sulur emas pun itu langsung menjerat tubuh lelaki yang mengendalikan cakram api, menarik lelaki tersebut hingga jatuh terjerambab ke tanah. Kemudian satu punggawa lain berjongkok, ia tempelkan telapak tangannya di tanah, melafalkan rapalannya dengan seksama.

“Pusthika Sekti..” Lirih bibir punggawa tersebut sembari menatap ke arah depan, ke arah sang target.

Seketika itu juga dari dalam tanah, kristal-kristal panjang dan tajam bak jarum raksasa, langsung menusuk tubuh si pengendali cakram api. Darah langsung memancar.

“Aarrggghhh..” Teriakkan sekarat terdengar melaung. Lalu senyap. nyawa orang itu pun langsung terlepas dari raganya.

Sedang lelaki tua berkumis yang mengendalikan cambuk api itu bernama Ki Saptadi, ia mengeram marah penuh kengerian melihat rekannya gugur . Segera saja ia hendak mengalihkan cambukkannya ke arah para punggawa yang baru datang tersebut, namun baru saja ia menarik cambuknya, sang pimpinan menahannya.

“Mendekatlah padaku..” Ujar sang pimpinan yang sudah selesai menghentikan pendarahan di lengan putusnya, ia menghentikan pendarah tersebut dengan membakar luka terbuka di sisa lengannya yang terputus. Matanya tajam menatap Nyai Putri yang terbang tenang dan menguarkan aura kengerian tersendiri.

Di dahi sang pemuncak kuasa tanah Purantara tersebut, terpampang sebuah pola lingkaran bercahaya dengan empat titik menghiasi garis lingkaran tersebut, empat titik yang posisinya menggambarkan empat arah mata angin.

“Aku tidak menyangka kau berani berbuat sampai sejauh ini..” Ujar Nyai Putri dengan tenangnya, pedang giriwarsa di tangannya terhunus ke depan, sedang tangannya yang lain mengelusi punggung Sang Cucu yang sudah tak sadarkan diri.

“Aku ndak menyangka kamu berani memotong tangan yang dulu pernah kamu genggam, Kemala..” Sahut lelaki gempal yang rambutnya sudah banyak ditumbuhi uban-uban putih. Amarahnya membuncah, ia sangat tak menyangka jika ternyata pimpinan Purantara turut serta berada di daerah ini.

Sebab sepengamatannya sebelum melakukan penyergapan, ia tak merasakan energi Nyai Putri yang olehnya hanya dipanggil Kemala saja, ia mengira bahwa hanya tikus-tikus kecil saja yang ada di tempat ini. Ia mendengus sebal, tujuannya untuk mengambil bocah kecil di punggung Nyai Putri bisa dipastikan telah gagal sepenuhnya.

“Aku tidak akan memaafkanmu kali ini, Mahesa..” Nyai Putri berkata dengan nada geramnya. Kemudian memusatkan tenaga dalamnya di mata pedang yang tengah ia genggam. Dan perlahan, langit yang sudah mendung dari sananya, semakin menggelap, awan-awan hitam seolah berkumpul jadi satu di atas daerah ini. Petir menggelegar, dan angin kian kencang berhembus menerpa tubuh-tubuh yang saling memandang tegang.

“Kamu ndak akan pernah lagi melihat wajahku, Kemala..” Gumam lelaki yang dipanggil Mahesa oleh Nyai Putri itu, dan entah mengapa, kata-kata lelaki itu seolah mampu mengganggu konsentrasi Nyai Putri. Tenaganya sedikit tertahan, hatinya sedikit meragu.

Melihat itu, Mahesa tersenyum, kemudian dengan tangan kirinya ia mencengkeram bahu Saptadi. Dan secepat kilat tubuh dua orang itu sudah melesat dan hilang tanpa jejak.

Nyai Putri memandang penuh amarah, ia mengutuk keraguan dirinya. Ia langsung terbang meninggi, hendak mengejar sisa-sisa energi kuat yang ia rasakan sudah kian menjauh dari jangkauannya. Namun beberapa saat sebelum Nyai Putri hendak melesat untuk mengejar dua orang tersebut, tubuhnya langsung terpekur, sebab ia sudah tidak lagi merasakan detak jantung cucu kesayangannya tersebut, padahal sebelumnya, meski lemah.. detak jantung bocah itu masih ada dan bisa ia rasakan.

Degan cepat tubuh perempuan renta itu turun ke bawah, pedang di tangannya pun ia masukkan kembali ke sarung pedang yang berada di punggung. Kemudian dengan lembut ia baringkan Regan kecil yang wajahnya sudah memucat di atas tanah.

Para punggawanya pun segera berlari mendekat, Kacapura yang melingkupi Mang Diman, Saka dan Rengganis pun terbuka, Pak Wangsa muncul dari belakang pohon besar, segera membantu Mang Diman untuk mengurus dua junjungan mereka.

“Nggann..” Ujar Nyai Putri lirih dengan air mata keluar dari pipinya. Di dekapnya tubuh sang cucuk erat-erat, diciuminya kening dan pipi Regan dengan penuh kesedihan yang mendalam.


***


“Pak Saka!!” Mang Diman berlari ke bagian depan kubah kaca ini, memukul-mukul keras kubah kaca nan tebal itu.

Sedang Saka yang kini seluruh tubuhnya sudah diselimuti energi berwarna hijau menoleh dengan senyuman kecil. Air matanya menetes lirih di pipi. Saka tahu betul keputusannya ini berbahaya, namun ia juga tak bisa diam saja melihat Ki Saptadi, salah satu orang yang sudah membuatnya kehilangan calon adik dari Regan tertawa lepas tanpa dosa.

Di sisi lain, ia juga tak mau sampai kejadian gugurnya para punggawa purantara terulang. Dari itu, ia berusaha agar orang-orang yang ia pedulikan tetap ada di dalam kacapura, memastikan Kacapura itu bertahan, setidaknya sampai energi yang ia berikan ke Mang Diman cukup untuk membawa mereka semua pergi dari sini.

Saka menggerakkan jemarinya pelan, kemudian ranting-ranting berakar yang mencengkeram pergelangan tangan Pak Wangsa dan Satya Weda pun diliputi energi hijau. Ia melakukan itu supaya para pembuat kacapura di dalam sana tidak memutus aliran tenaga dalam mereka, sebab ranting dan akar tersebut akan terus mengaliri tenaga dalam ke tubuh mereka berdua, menjaga agar kacapura tidak terbuka.

“Jika situasi memburuk, aku mohon kerahkan seluruh tenaga yang mengalir di dalam tunuh Mang Diman untuk membawa Rengganis dan yang lain pergi dari sini. Aku akan coba menahan mereka selagi memulihi tenaga Mamang pulih..” Saka berkata tanpa membuka bibirnya, ia berbicara dengan Mang Diman lewat telepati yang menjadi salah satu kemampuannya.

Kontan saja itu semakin membuat Mang Diman lemas, tubuhnya luruh ke bawah, kemudian sebuah ranting di dekat Mang Diman pun bergerak pelan, lalu tumbuh mengeluarkan sulur yang sudah dilapisi energi hijau, langsung melingkari pergelangan tangan Mang Diman, mengalirkan tenaga dalam agar Mang Diman memiliki energi yang cukup untuk membawa Rengganis dan seluruh punggawa pergi menjauh dengan ajian lipat jagat yang lelaki tua itu miliki.


Setelah itu Saka kembali menatap ke arah depan, ke arah Ki Saptadi dan rombongannya yang tersenyum bengis dan penuh nafsu buas.

“Kamu terlalu jumawa untuk keluar seorang diri menghadapiku dan orang-orangku. Kamu pikir kamu bisa mengalahkan kami semua? Kamu ndak ingat kalau aku pernah membuatmu bertekuk lutut sebelumnya?” Seru Ki Saptadi dengan tatapan meremehkan. Namun sedikit pun Saka tidak gentar. Ia gerakkan kembali jemari tangan kanannya, untuk menambah perlindungan bagi Rengganis dan yang lainnya.

Seketika itu juga dedaunan pohon yang berada di sekitar mereka berguguran, terbang dan hinggap di kubah kaca yang dibangun Pak Wangsa dan Satya. Terus berhinggapan menutupi kubah kaca itu secara keseluruhan, sampai benar-benar rapat sepenuhnya. Daun-daun tersebut seolah saling mengikat dan merekatkan tubuh, tebal melapisi kaca di bawahnya. Kemudian pancaran hijau keluar dari dedaunan tersebut, pertanda utuh sudah perlindungan yang dibangun Saka.

Mendapati itu jelas saja tubuh Mang Diman, Rengganis dan seluruh punggawa Purantara melemas. Betapa mereka kini benar-benar hanya bisa berdiam diri di dalam kacapura, tak bisa melindungi salah satu junjungan mereka yang berada di luar sana.

“Selama sukmaku masih melekat di raga, kalian semua ndak akan bisa menyentuh mereka..” Ujar Saka seraya memasang kuda-kuda, kedua tangannya terhunus ke depan, matanya nyalak, berusaha memetakan tiap pergerakan yang akan datang padanya.

“Hancurkan kubah kaca itu, lalu bawakan kepala anjing tersebut padaku..” Ki Saptadi tersenyum dengan bengisnya, memberikan isyarat kepada orang-orang yang berada di belakangnya untuk maju menyerang.

“HYAAA!!!!” Seru belasan anak buah Ki Saptadi seraya berlari ke depan. Beberapa di antaranya sudah menyalakan api yang berada di tangannya, mengobarkan api yang siap membakar apa saja yang menjadi target penggunaannya. Sebagian yang lain sudah mengeluarkan aneka senjata tajam, dari mulai parang, golok, sampai tombak.

Dan yang lebih mengerikannya adalah, senjata-senjata tersebut pun sudah memerah bak besi yang tengah dipanaskan sebelum ditempa.

Tak mau kalah, Saka berlari ke depan dengan beringasnya, mencoba menahan sejauh mungkin orang-orang tersebut dari Kacapura.

Saka menghela napas, lalu dua jemari tangannya sibuk bergerak-gerak bak seorang pemain boneka tali, seolah ia tengah mengendalikan sesuatu lewat jari-jarinya itu. Dan benar saja, dari bawah aspal keluar akar-akar besar yang amat banyak, mengibas-ibas sembarang dan langsung membuat orang-orang hematala memperlambat laju mereka, berusaha melawan akar-akar yang tengah menyerang mereka.

Saka terus berlari, jaraknya sudah amat dekat dengan belasan lawan yang tengah sibuk menebas maupun membakar akar-akar panjang yang tengah mengamuk bak lengan-lengan gurita di lautan. Ditebas satu, dia keluar dari bawah mereka. Saka tersenyum, kemudian dengan santainya ia melonjak ke atas, mengarahkan tendangan pada seorang di hadapannya yang tengah bertarung melawan akar besar yang dilapisi tanah.

BUGGHHH

Kaki Saka telak menghantam leher lawannya, membuat orang tersebut terpelanting dan jatuh menabrak tubuh lawan Saka yang lain, membuat sekali tendang, dua tubuh jatuh di atas tanah. Dan tak menyia-nyiakan hal tersebut, Saka segera mengangkat kedua tangannya ke atas, membuat dua sulur akar yang berada paling dekat dengannya menegak bangkit, berada dalam kendalinya.

Lalu dengan tanpa bebannya, saka membanting kedua tangannya ke bawah, membuat bagian atas kedua akar tersebut ikut menukik tajamnya ke bawah, lalu..

JLEEBB
JLEBBB

“AARRGGHH..”
“OUURGGH..”

Kedua lawan Saka yang jatuh di tanah itu langsung melotot dan mengejang hebat, tatkala bagian ujung sulur akar yang dikendalikan Saka menembus dada mereka. Melihat itu beberapa kawan dari dua orang tersebut langsung berteriak marah. Tiga orang langsung menghunuskan senjatanya masing-masing setelah berhasil menebas akar-akar yang menghalangi mereka.

Namun Saka yang masuk ke mode beringasnya bukanlah seorang lawan yang bisa dianggap terlalu remeh. Karena tanpa menggerakkan kakinya sama sekali, Saka segera menarik satu akar di sekitarnya dengan jemari tangan kanannya, kemudian dengan cepat Saka mengayunkan tangannya dari kanan ke arah kiri sembari memutar telapak tangannya. Lalu..

JLEBB.. JLLEBB.. JLEEBB...

Ujung akar yang oleh Saka memang dibuat agak meruncing pun menembus tiga tubuh secara berurutan, bak benang yang tengah menyulam kain, namun justru menghasilkan tiga tubuh yang tertusuk bak sate daging di pinggir jalan.

“Hhhrrrggghh..” Saka mengeram, lalu dilemparkannya ketiga tubuh itu dari hadapannya. Seorang lawan sudah berada dekat dengannya, menyongsong Saka dari arah belakang, mengangkat parang panas yang siap menembus kepala bagian belakang Saka.

Hanya saja lawannya tersebut memiliki satu kesalahan fatal, ia menghadapi seorang Gana Taraksa, orang yang digelari sebagai pasukan serigala, yang hampir tak memiliki titik buta di segala penjuru sensornya. Dari itu, Saka memutar tubuhnya sembari jemarinya bergerak lembut, membuat satu sulur akar segera bergerak dan menjerat pergelangan tangan lawan yang hendak membokong Saka. Kaget dengan tangannya yang terlilit membuat sang lawan lamban bereaksi. Dan hal itu langsung dimanfaatkan saka dengan menghunuskan pukulan keras yang berbalut energi hijau.

JRRUUUGGG

“Heeiirrgghhh..” Sang lawan mengerjat dengan mata membelalak, bersamaan itu cipratan darah menetes ke tanah yang berada di belakangnya.

Kepalan tangan Sang Gana Taraksa sudah menembus dada lawannya, membuat kulitnya berbalur darah merah, dengan gelombang energi hijau yang kian bergejolak menyelimuti tubuhnya.

“Sampaikan salamku pada pimpinanmu di sana, Si Bangsat Mahesa ggggrrr...” Saka berkata dengan emosi yang naik ketika mengingat nama Mahesa, beliau sendiri adalah pimpinan Hematala sebelumnya, orang yang sama yang telah meluluhlantakkan Saka dan keluarganya beberapa tahun lalu.

Dan orang yang sama, yang telah membuat Saka kehilangan jabang bayinya, dan hampir kehilangan anak sulungnya juga.

CROORKK..

Saka menarik tangannya ke belakang, membawa keluar tangannya dari rongga dada lawan yang berlubang dan menyemprotkan darah segar. Lalu dengan cepat Saka berputar seraya kakinya terayun kuat, menyapu seorang lawan lain yang kembali hendak membokong sang pemilik sensor termasyhur itu.

DUUGGHHHH

Tumit Saka bersarang tepat di tulang iga lawan yang terbuka sebab hendak menyabetkan golok padanya. Membuat tubuh lawannya itu terpental sangat jauh, dan belum sempat tubuh lawannya itu mendarat, Saka langsung menggerakkan jemari telunjuknya, membuat satu sulur akar berdiri dengan ujungnya menekuk, menyambut datangnya tubuh sang lawan.

JRREEEBBB..

Tubuh itu langsung tertembus ujung akar yang dipasang Saka, tergantung di atas tanah dengan kaki dan tangan bergerak-gerak bak ayam yang baru saja di sembelih.

BUURRRRRHHHHH..

Saka menghindar ketika kobaran api terbang menerjangnya, berguling ke samping. Namun dengan cepat kobaran api yang lain datang mengarah ke padanya. Saka dengan cepat bereaksi, kedua tangannya ia tempelkan ke tanah, kemudian ia tarik ke atas dengan cepat, seperti tengah mencabut singkong di kebun.

Seketika itu juga akar-akar pohon yang ukurannya jauh lebih besar keluar merobek aspal, langsung saling melilit dan saling merapat membentuk perisai bagi Saka, tepat ketika kobaran api hampir sampai padanya. Saka mengencangkan pijakannya, dihitungnya tiap sambaran api yang datang padanya seraya terus membuat akar-akarnya di lawan yang lain mengamuk dengan gila.

“Satu, dua, tiga, jeda.. satu, dua, tiga, jeda..” Saka menghitung sesaat tiap hentakkan api yang menghantam perisai akarnya, menunggu cela.

“Satu, dua, tiga..”

SRAAAKK..

Saka langsung menurunkan perisainya dan melonjakkan tubuhnya ke depan dengan keras. Dan tentu saja itu membuat lawannya kaget, karena ternyata Saka mengetahui jeda waktu yang dibutuhkan untuk kembali melesakkan serangan api tersebut. Sang lawan bersiap dan langsung memasang kuda-kuda, hendak menyambut tubuh Saka yang meluncur padanya.

Saka tersenyum melihat itu, kemudian tangan kirinya ia rentangkan ke luar, lalu di banting kembali ke dalam.

CRROOKKKK..

Sebuah akar berukuran kecil sudah menembus kepala sang lawan. Masuk dari telinga kanan hingga tembus ke telinga kiri lawannya. Membuat bola mata salah satu pengendali api dari Hematala tersebut langsung memutih seluruhnya, lalu ambruk dengan darah memancar dari lubang telinganya.

Saka terus menumpas satu demi satu lawan-lawannya itu dengan beringas. Yang lolos dari hadangannya segera ia sambar dengan sulur-sulur akar, menarik kembali mereka yang sudah mendekat ke arah kubah kaca di belakang Saka. Tak membiarkan seorang pun mendekat ke sana.

Saka benar-benar menampilkan keberingasannya, tak ada satu pun yang ia biarkan bernapas lega. Ada yang ia bunuh secara langsung dengan tangan dan kakinya, ada yang ia bunuh secara tidak langsung dengan menggunakan akar-akarnya. Dan tentu saja, setiap lawannya yang jatuh bergelimpangan di atas tanah, selalu dengan luka yang mengerikan. Entah dada atau perutnya yang tertembus, entah kepalanya yang tertembus, bahkan ada yang lehernya ditebas putus oleh Saka, dan itu ia lakukan hanya dengan menggunakan sulur akar tipis dari kejauhan.

Sedang dari kejauhan Ki Saptadi tersenyum kecut, bersamanya masih ada dua orang tersisa. Satu adalah Joko selaku ksatria kepercayaannya, satu lagi adalah Suryo, pemuda berambut cepak yang juga merupakan ksatria kesayangannya.

“Apa yang kita tunggu Ki?” Tanya Joko dengan tangan terkepal ketika mendapati satu persatu rekannya bertumbangan dengan darah menyemprot kemana-mana.

“Kita harus mengukur kekuatan anjing itu Joko, dan buat ia lelah dahulu. Dengan begitu kita akan lebih mudah untuk memenggal kepalanya, setelah itu baru kita hancurkan kubah kaca itu...” Jawab Ki Saptadi dengan tatapan penuh kebencian. Ia pun sama dengan Joko, jengah melihat satu persatu anak buahnya gugur dengan konsisi mengenaskan.

Namun seperti yang ia bilang, ia hendak mengukur kekuatan sang lawan terlebih dahulu. Meski ini memang bukan pertama kalinya ia melihat Sang Gana Taraksa mengamuk. Dan dari pengamatannya saat ini, kekuatan sang raja muda Purantara itu sudah jauh meningkat, amat drastis malahan, yang jelas kekuatan Saka yang sekarang mengamuk di sana sudah jauh lebih besar dari kekuatan Saka yang beberapa tahun lalu diporak-porandakan oleh Ki Saptadi dan pimpinannya.

“Tapi bagaimana dengan yang lain ki? Kita masih bisa menyelamatkan mereka yang tersisa saat ini.” Joko bergumam resah, di kedua tangannya sudah mengeluarkan badik kembar andalannya. Sudah dialiri juga dengan panas api dari telapak tangannya. Membuat besi badik tersebut memerah dan berasap.

“Dalam setiap peperangan akan selalu ada prajurit yang dikorbankan Joko, itu sudah lumrah. Kamu harus mengerti itu. Dan mereka yang gugur akan kita kenang sebagai pahlawan nantinya.” Jawab Ki Saptadi dengan napas tertahan, tangannya kemudian mengeluarkan sebuah benda dari belakang punggungnya.

Sebuah cambuk yang masih dalam posisi terlipat dan terikat rapih. Kemudian ia lepaskan ikatan cambuk tersebut, dan segera mengibaskan-ibaskan cambuk berwarna hitam legam itu, meluruskan dan memanjangkan bentuk senjata andalannya itu.

“Pelajari musuhmu, dia itu petarung jarak dekat yang sangat andal pada dasarnya. Dan kini.. Matak Rimba miliknya sudah semakin kuat dan mengerikan. Itu membuat dia juga sangat sulit untuk didekati. Jadi sederhananya, dia ini petarung hebat. Jarak dekat dan jarak jauh bukanlah masalah baginya” Ki Saptadi menjelaskan dengan napas mulai tak beraturan, ia tak bisa membohongi dirinya sendiri, bahwa ia juga amat takjub dengan perkembangan kekuatan milik Saka saat ini.

“Matak rimba?” Tanya Suryo yang sedari tadi hanya diam ngeri menatap kekacauan di hadapannya itu. Di tangan kanannya sudah terhunus keris hitam yang memerah panas.

“Ya.. itu adalah puncak dari kekuatan seorang yang memiliki darah Taraksa, darah pasukan serigala termasyhur di pulau ini. Dan Matak Rimba adalah kemampuan yang paling mengerikan, bahkan trah taraksa dulu pun tak sampai seperempatnya yang mampu menguasai kesaktian itu. Kesaktian yang membuat pemiliknya bisa mengendalikan rimba, mengendalikan apa saja yang berkaitan dengan hutan dan tumbuhan.” Terang Ki Saptadi sembari mengagumi kemampuan Saka yang benar-benar sudah meningkat amat pesat.

“Jadi itu yang membuat dia bisa mengendalikan akar-akar itu?” Tanya Suryo yang benar-benar menatap ngeri ke setiap tubuh yang bermandikan darah di hadapannya.

“Ya.. dan itu hanya secuil dari kemampuan matak rimba, masih banyak lagi kemampuan gila anjing di depan kita ini. Intinya kita harus benar-benar waspada. Ndak fokus dikit, nyawa kita pasti tercabut..” Tukas Ki Saptadi seraya mencambuk aspal dengan keras.

CTAARRR..

Bunyi cambukan tersebut memekakkan telinga, aspal pun langsung koyak setelahnya, bersamaan dengan cambuk di tangan Ki Saptadi yang sudah diselimuti api berwarna biru kehijauan.

“Bukan kamu saja yang meningkatkan kekuatanmu keparat!” Batin Ki Saptadi dengan seringaian bengisnya.

Ya, bukan hanya Saka yang kemampuannya meningkat pesat paska pertemuan terakhir mereka. Tetapi juga Ki Saptadi sendiri. Di pertemuan sebelumnya, Ki Saptadi belum sepenuhnya mampu mengontrol api biru, hanya mengandalkan api jingga sebagai kekuatan utamanya. Tapi saat ini, api jingga bukanlah mainan Ki Saptadi lagi.

“AARRRRGGGGHHHH...” Saka berteriak kencang dengan kepala tertengadah ke atas, seluruh tubuhnya yang diselimuti aura hijau tebal itu sudah basah bermandikan darah.

Ia sudah selesai, lima belas tubuh sudah bergelimpangan tak bernyawa. Beberapa kepala tergeletak, dan tubuh-tubuh dengan dada berlubang sudah tak lagi bergerak. Kini Saka menatap sengit ke arah tiga orang tersisa, berjalan pelan ke arah Ki Saptadi dan dua punggawanya.

Pruk.. pruk.. pruk.. pruk..

“Luar biasa.. sungguh sangat luar biasa ini..” Ki Saptadi berseru lantang dengan riang dan terdengar bahagia, telapak tangan kirinya menepuk-nepuk kulit pergelangan tangannya, bertepuk tangan mengapresiasi.

“Aku benar-benar ndak menyangka kalau anjing yang dulu aku bumi hanguskan ini ternyata sudah benar-benar tumbuh menjadi serigala.. sungguh mengagumkan..” Sambung Ki Saptadi lagu sembari melecut-lecutkan cambuknya santai. Sedang Saka menatap bengis. Kakinya tarus melangkah tegap.

Sedang Joko dan Suryo segera memasang kuda-kuda, bersiap melakukan serangan ketika dirasa waktunya telah tiba.

“Tapi sayangnya.. bukan Cuma kamu yang berkembang dan terus berkembang menambah kekuatan..”

CTAAARRRR!!!

Tepat ketika kata-katanya selesai, Ki Saptadi melecutkan kencang cambuknya ke depan, membelah aspal dengan api birunya, membuat Saka harus meloncat ke samping untuk menghindari sambaran api tersebut.

“Jadikan kepala wedus iki sebagai hadiah ulang tahun untuk Nyimas kalian!” Titah Ki Saptadi kepada dua anak buahnya yang tersisa, dan tanpa menunggu titah kedua, Joko dan Suryo segera meloncat dan melesat menyambut kedatangan Saka. Kedua abdi Hematala itu dengan penuh keyakinan menghunuskan senjata mereka masing-masing. Joko dengan badik kembar membaranya, dan Suryo dengan keris berapinya.

Saka pun segera membangkitkan beberapa sulur akar berukuran besar untuk menghalau dua lawannya tersebut, namun dua lawannya kali ini berada di level berbeda dengan lima belas orang sebelumnya yang sudah ia rebahkan ke tanah. Sebab dengan cepat dan lincahnya, baik Joko maupun Suryo berkelit-kelit menghindari tiap sapuan akar yang dikendalikan Saka. Meloncat, berguling, merunduk dan sesekali memundurkan tubuh, dan hal tersebut berhasil membuat mereka terhindar dari sambaran sulur yang dikendalikan Saka.

Dan pelan namun pasti, baik Joko maupun Suryo berhasil memangkas jarak mereka dengan Saka, semakin dekat untuk berhadapan langsung dengan sang serigala terakhir tersebut.

SRRAAKKK..

Badik kembar berapi milik Joko berhasil menebas dua sulur langsung ke pangkalnya. Segera melompat untuk langsung menyasar sang pengendalinya.

“Hyyaaa!!” Joko menghunuskan sepasang badiknya, lalu menyabetnya bergantian ke depan, menyasar dada Saka yang diselimuti energi hijau tersebut.

Saka berkelit ke belakang, kakinya menapak mundur menghindari serangan Joko yang bak babi hutan, ganas dan penuh agresivitas.

“Sekarang!” Seru Joko pada Suryo yang sudah selesai dengan rintangan sulurnya. Tubuh dua orang bawahan Kisaptadi itu langsung terarah ke Saka, kemudian Suryo melemparkan kerisnya ke arah Saka dengan kencang, menyasar kepala Saka dengan bidikan yakin.

Saka menyadari kecepatan lemparan keris tersebut, tak cukup waktu jika ia hendak menepis keris itu dengan sulurnya, apalagi membangun dinding akar, tidak akan cukup. Dari itu Saka memilih menggeser tubuhnya ke samping, memiringkan tubuhnya, hendak membiarkan keris tersebut melewatinya.

Dalam gerakan yang amat lambat, keris tersebut lewat dekat sekali dengan tubuh Saka yang termiring, namun dengan wajah tetap menghadap ke lawan-lawannya. Tapi tiba-tiba..

“REMBAKA GENI!!”

WOOOARRRHHHHH.. BUSSSHHHHH..

Suryo berseru dengan kedua telapak tangan terkatup di depan dada, dan seketika itu juga, api yang amat besar berkobar dari keris yang ia lemparkan itu. Kerisnya yang tadi hanya diselimuti api tipis-tipis itu kini disiram bensin, berkembang begitu besar.

Rembaka Geni.. benar-benar sesuai namanya. Ajian itu membuat api yang tadinya tidak seberapa berkembang menjadi jauh lebih besar.

( Rembaka : berkembang, Geni : Api )

Beruntung insting Saka bukanlah sembarang insting, melainkan insting dari seroang Trah serigala termasyhur di pulau ini. Hal tersebut membuat Saka langsung menyadari perubahan energi dari keris yang melayang di dekatnya itu, dan segera mendorong tububnya keras hingga terpental ke samping, menghindari kobaran api yang hampir membakar tubuhnya itu.

Belum sempat Saka menghela napasnya, Joko melemparkan satu badiknya ke udara, kemudian disusul lemparan badik kedua setelahnya, semua terarah ke udara yang ada di atas Saka.

“JAWEH GENI!!”

TRAANNNGGGG

Tepat saat Joko merapalkan kata-katanya, badik kedua yang ia lemparkan menghantam badik pertama di udara, beradu dengan keras dan memercikan api kecil yang entah mengapa bermutasi menjadi percikan yang lebih besar dan makin banyak.

“Asuu!!” Gumam Saka sendiri seraya menggerakkan kedua tangannya, mengangkat tangannya dari bawah ke atas, seraya menurunkan tubuhnya ke bawah.


Sulur-sulur besar pun kembali keluar dari bawah tanah, langsung jahit menjahit dan bahu membahu menutup keseluruhan tubuh Saka, membuat kubah kecil nan tebal yang melindungi tubuh sang serigala hutan itu, karena sedetik kemudian, butiran api yang begitu banyak jatuh bak hujan di awal musim.

Dess.. Dess.. Dess.. Dess.. Dess.. Dess..
Dess.. Dess.. Dess.. Dess.. Dess.. Dess..

Bulir-bulir api terus menghujami pelindung yang Saka bangun dengan derasnya. Sebagian padam sedang sebagian lainnya tetap menyala, membakar sulur-sulur akar yang digunakan Saka untuk berlindung. Bukanlah tanpa sebab Saka memilih berlindung di bawah sulur-sulurnya ketimbang berpindah posisi, sebab kemana pun ia berpindah dan lari, jaweh geni yang dikeluarkan Joko akan tetap memburunya.

Saka mengeram, tubuhnya mulai merasakan hawa kelelahan yang amat sangat. Beberapa hari ke belakang ia sudah banyak mengeluarkan tenaganya, kemudian hari ini ia terpaksa harus mengerahkan kemampuannya yang belum pulih betul. Huhh.. tenaga dalamnya sudah keluar cukup banyak.. membuat napasnya terengah bukan main.
Tapi ia tidak boleh menyerah di sini, tidak sama sekali. otaknya ia peras sekuat tenaga. Ia sadar betul, kekuatan dua lawan yang tengah menyerangnya benar-benar tak bisa dianggap remeh, masih dengan kekuatan penuh. Saka menghela napas sejenak, mulai bersiap untuk melakukan serangan balasan.

“Keluar dari sana dasar pengecut!” Seru Ki Saptadi ikut turun gelanggang. Cambuknya dihentak ke arah kubah akar mungil itu dengan senyum jumawa. Joko dan Suryo sudah selesai mengeluarkan kemampuannya, hujan api sudah berhenti saat ini. Kedua lelaki itu merapat ke arah Ki Saptadi.

CTAR.. CTARR.. CTARR..

Terbakar.. kubah perlindungan Saka sudah terbakar sepenuhnya, membuat hawa panas jelas sekali terasa menyelimuti dirinya saat ini. Ia harus memutar otak baik-baik, karena jika tidak, ia bisa menelan kelelahan untuk kedua kalinya ketika menghadapi Ki Saptadi.

Saka menghela napas dalam-dalam, sedikit lega karena jaweh geni sudah berhenti menghujaminya. Sekarang tinggal langkah selanjutnya.

Saka menempelkan tangannya ke tanah, meresapi baik-baik segala unsur hara yang ada di bawahnya, bersamaan dengan itu ia alirkan tenaga dalamnya untuk menyatu dengan tanah di bawahnya. Senyumnya mengembang kecil, kemudian ia pun menatap kembali pertarungan dengan percaya diri. Ia bisa merasakan dengan jelas pijakan kaki dari setiap lawannya.

“Ndak ada kata pengecut di dalam darahku!”

Geram Saka di dalam hati. Lalu ia rapatkan katupan tangannya pada aspal yang sudah berantakan. Mengalirkan tenaga dalamnya ke sana. Kemudian..

SLRREEEEKKK...
SLREEEEEKKK...

Belasan sulur akar berukuran kecil keluar dari tanah, langsung melilit kaki dan tangan dari dua lelaki yang berada di samping Ki Saptadi dengan cepat, terus melilit dengan kuat sampai keseluruhan tubuh Joko dan Suryo, hanya menyisakan bagian kepalanya saja.

Akumulasi serangan tak terduga dengan kejumawaan bahwa Saka sudah terdesak membuat Joko dan Suryo sedikit mengendurkan kewaspadaannya. Membuat tubuh mereka kini benar-benar dililit sulur akar milik Saka, membentuk kepompong dan hanya menyisakan bagian leher ke atas saja.

Dan belum sempat Ki Saptadi bereaksi atas apa yang terjadi pada kedua anak buahnya yang tersisa, Saka dengan cepat menarik kebawah kedua tangakapannya tersebut, membuat tubuh Joko dan Suryo langsung terpendam ke tanah, hanya bagian kepala mereka saja yang masih terlihat.

BRRUUAAAKKKKK...

Saka pun memecahkan kubah kayunya, berkeping-keping dan berserakan dengan api membakar beberapa pecahan tersebut. Ki Saptadi sedikit terperanjat, ia yang tadinya hendak berjongkok untuk mengecek kondisi kedua anak buah di bawahnya segera menatap Saka lamat-lamat, cambuknya ia regangkan dengan keawasan yang kian ia tingkatkan.

“Ki Saptadi.. sekarang Cuma tersisa kita berdua..” Ujar Saka seraya bangkit dan merenggangkan urat lehernya. Terlihat aura hijau yang menyelimutinya semakin pekat dan gelap. Dengan mata Saka yang kini sudah berubah warna menjadi hijau kehitaman.

“Hehehe.. sebagai anjing peliharaan ternyata kamu lumayan cerdik, kamu buat seolah-olah sudah terdesak, sehingga kedua anak buahku mengendurkan kewaspadaannya. Cerdik sekali.. pintar sekali.. hahaha..” Ki Saptadi tertawa dengan lantangnya, kakinya melangkah maju dengan pelan, meninggalkan Joko dan Suryo yang berusaha melepaskan diri dari kemustahilan.

“Kamu terlalu banyak omong tua bangka..” Sahut Saka seraya ikut berjalan, kedua tangannya terentang ke bawah, menyambut sulur-sulur tambahan yang muncul dari dalam tanah, langsung melilit lengan bagiN bawah dan betis Saka dengan kuat dan rapat, serta melingkari bagian dada dan perut serigala hutan itu, seolah menjadi zirah tempur untuk Saka.

“Anjing sepertimu ndak pantas menghinaku!”

WWUUUSSSHHH
TAAARRRRRRRR

Ki Saptadi mengibaskan cambuknya ke arah Saka, menguarkan hawa panas yang dengan cekatannya di hindari Saka. Sang Raja Rimba itu meloncat dengan cepat ke udara, melonjak kedepan seraya menghujamkan kaki ke arah Ki Saptadi.

Tak tinggal diam, Ki Saptadi pun menarik kembali cambuknya, langsung mengarahkan ujung cambuk berapi itu untuk menangkap tubuh Saka, namun sebelum sempat cambuknya mengenai sasaran. Belasan sulur akar keluar dari tanah, langsung melilit cambuk berapi itu hingga tertahan di udara.

WUUSSSHHHH
BBUUMMMM

Ki Saptadi berkelit ke samping, membuat tendangan Saka hanya menyasar ruang kosong dan mendarat keras di atas aspal, membuat aspal yang sudah hancur itu pun semakin terkoyak-koyak.

Dan tanpa melepaskan genggamannya pada pegangan cambuk, Ki Saptadi langsung menyapukan kakinya untuk menyasar punggung Saka yang baru mendarat.

WUSSHH..

Sapuan kaki lelaki tua itu hanya mengenai udara, sebab Saka segera berguling ke depan.

DRAAAKK..
DRAAAKK..
DRAAAKK..
DRAAAKK..
DRAAAKK..

Sulur-sulur yang menahan cambuk api milik Ki Saptadi pun mulai hancur satu persatu, sebab kayu sejatinya memang bukanlah tandingan untuk panas api yang membara. Dengan cepat Saka memutar tubuh, menerjang ke depan, seraya mengayunkan pukulan.

TAAARRR..

Belum sempat pukulannya mendekati sasaran, cambuk api milik Ki Saptadi sudah mendarat di pergelangan tangannya dengan keras. Membuat Saka terpelanting ke samping. Beruntung lengan bagian bawah sampai pergelangannya itu terlapisi pelindung, jika tidak.. mungkin Saka sudah kehilangan lengannya saat ini.

Pelindung tangan Saka sudah pecah dan hancur terbakar, segera saja ia ganti dengan pelindung yang baru, dieratkan dan dipusatkan lebih energinya di sana. Karena ayunan cambuk berikutnya kembali datang.

WUUSSSHHHH..

Saka menghindar ke samping, namun berbarengan dengan itu sebuah semburan api keluar dari tangan kiri Ki Saptadi dengan lebatnya, membuat Saka harus berkelit dan berlari berkali-kali menghindari amukan api biru yang menyasarnya.

Dan di tengah kesibukannya menyerang Saka, Ki Saptadi pun membagi pikirannya, tangan kanannya yang memegang cambuk api segera ia perkuat, tenaga dalam dalam jumlah besar mengalir di sana. Lalu Ki Saptadi pun melecutkan cambuk apinya dengan kekuatan penuh, menyambar bagian depan kubah kaca yang ditutupi daun berselimut energi hijau tersebut.

TAARRR.. TAARRR.. TARRRR..

Cambukan demi cambukan api biru Ki Saptadi menghantam kubah, membuat daun-daun yang berada di bagian depan kubah tersebut menghambur berserakan. Bisa terlihat raut terkejut penuh kekhawatiran terpancar dari arah dalam kubah itu. Mang Diman menelan ludahnya keras. Matanya terperangah ketika melihat pemandangannya atas apa yang terjadi di luar kubah, tubuh-tubuh berserakan, kobaran api mengejar sang pimpinannya.

“Jangan ganggu keluargaku!!!” Seru Saka yang sedikit kewalahan, berguling dan melompat ke sana ke mari.

Sembari menghindari kobaran api yang mengejarnya, Saka masih sempat untuk memperbaiki perlindungan daun untuk kubah kaca tersebut. Memanggil lebih banyak daun, dan menyelimuti kembali kubah itu.

“Pedulikan saja dirimu, Jancuk!” Maki Ki Saptadi seraya membesarkan api di tangan kirinya, bersamaan itu ia terus melecuti bagian depan kubah itu dengan cambuk apinya, membuat daun-daun Saka kembali luruh.

Saka memutar otak nya, napasnya terengah, ia sudah mulai merasakan tenaganya menipis. Tentu saja, karena selain harus mengeluarkan banyak tenaga dalam untuk menghadapi lawan-lawannya, ia juga harus menyalurkan energi untuk perlindungan kubah, serta mengalirkan energi untuk mengembalikan tenaga dalam Mang Diman, Pak Wangsa dan Satya di dalam sana.

“JANGAN GANGGU KELUARGAKU!!” Seru Saka yang tubuhnya tengah melayang di udara, terputar kencang menghindari amukan api Ki Saptadi. Bersamaan itu tangannya terentang lebar, terarah ke hutan dan menarik keras sesuatu dari dalam sana.

KREEEKKK.. KREEEKK.. WWUUURRRHHH..

“Jancuk!” Ki Saptadi melompat dari posisinya saat dua pohon sawit yang berada dekat dengannya roboh, hendak menimpanya.

BRRUUUGGGHHH.. BRRUUGGHHH...

“Aarrghhh..”

BUUMMM..

Saka berteriak, mengaduh lirih ketika sisi kanan tubuhnya sempat tersambar api milik Ki Saptadi. Perobohan dua pohon sawit yang ia lakukan, berbarengan dengan pelapisan kembali kubah pelindung keluarganya, serta pengaliran energi ke dalam kubah tersebut benar-benar membuat fokusnya sedikit terganggu.

Tubuh Saka berdebum dengan keras di tepi tebing, napasnya terengah. Sulur pelindung tubuhnya rusak, membuat ia segera memperbaiki tameng alamnya itu.

“Kamu benar-benar memedulikan keluargamu ya? Hahaha.. mari kita lihat, seberapa lama kamu bisa terus bertarung sembari melindungi keluargamu itu!!” Seru Ki Saptadi geram karena aksesnya ke kubah kini terhalang dua pohon sawit yang roboh. Ia menatap Saka dengan berang, kembali melecutkan cambuknya menyasar tubuh Saka yang sedang berusaha bangkit.

CTAAARRR..

Saka melonjak menghindari sapuan cambuk itu, seraya tanpa menyerah ia kembali mengeluarkan sulur-sulur dari dalam tanah yang langsung melompati bagian atas cambuk api di dekatnya, lalu bagian ujung sulur-sulur itu kembali menukik ke bawah masuk kembali ke dalam tanah, mencoba menahan cambuk api tersebut dengan menguncinya.

Saka pun kemudian mendaratkan kakinya di atas sulur-sulurnya yang tengah menahan cambuk Ki Saptadi, berlari kencang meniti titian di bawahnya. Matanya tajam menyudut sang lawan. Ki Saptadi mencoba menarik cambuknya, namun belum berhasil sebab ternyata Saka terus menambah penahan cambuk tersebut.

Sedang Saka semakin dekat, Ki Saptadi tak bisa mengandalkan cambuknya terus menerus. Dari itu, ia lekas. Melepas pegangan cambuknya, dan ikut melompat ke atas titian akar yang sejatinya menahan senjatanya sendiri. Ia butuh waktu untuk kembali mengeluarkan semburan apinya, dan itu tentu tak bisa ia lakukan ketika Saka sudah amat dekat dengannya.

Ki Saptadi pun lekas Menyongsong kedatangan Saka dengan berlari, kedua kepalan tangannya mengepal keras, api keluar dan menyelimuti kepalan tangannya, juga menyelimuti bagian bawah kakinya.

“HYAAA!!” Kedua lelaki berbeda rentang usia itu pun berteriak dengan nyalak ketika tubuh mereka sudah sama-sama mendekat. Lalu..

WWUSHHH...
WUSSHHH..

Saka dan Ki Saptadi pun saling melayangkan pukulan. Saka lebih dulu sampai dan melayangkan pukulan yang dibalut energi hijau pekat ke arah wajah Ki Saptadi, namun sang lawan lekas berkelit menyampingkan kepalanya sembari melancarkan pukulan balasan, mengarah ke dada Saka. Yang oleh Saka segera direspon dengan memiringkan tubuh ke samping.

BAGH.. BUGH.. BAGH.. BUGH..

Jual beli serangan terus terjadi, perkelahian jarak dekat tingkat tinggi tersaji. Kaki menyapu, kepalan tangan terhunus. Satu dua pukulan maupun tendangan Saka berhasil masuk telak, pun sebaliknya, satu dua pukulan maupun tendangan Ki Saptadi yang dibalut api biru berhasil menghancurkan tameng akar yang melilit beberapa bagian tubuh Saka.

Napas terengah, amarah membuncah, hingga pada satu moment..

DUGGG...

Siku Saka dengan keras menghantam kening Ki Saptadi, membuat lelaki itu terdorong ke belakang. Saka tak membuang kesempatan, ia pun segera mengayunkan pukulan dengan kecepatan tinggi ke arah rusuk Ki Saptadi. Lalu..

BBUGGGHH
BUUUMMM

Tubuh Saka terlempar dari atas titian dan langsung mendarat di atas tanah dengan posisi tertelungkup, tubuhnya berdebum keras. Ia yang berniat melayangkan serangan malah lebih dulu merasakan tendangan berbalut api milik Ki Saptadi di dadanya, membuat pelindung dada dan perut Saka hancur dan terlepas. Dadanya serasa terbakar, sakit dan panas menjaram di sana. Balutan energi hijau miliknya pun menipis menebal tak beraturan, seolah menandakan bahwa Saka sudah amat kelelahan.

Ki Saptadi berdiri jumawa, kedua tangannya langsung mengeluarkan sepasang belati yang tersimpan di pinggang. Di panaskan sejenak belati tersebut, lalu dengan kencang di lemparkan ke arah Saka, menyasar kepala sang lawan dengan nafsu membunuh yang amat membuncah.

TRAAKK..

Satu belati di halau saka dengan sulur di dekatnya, namun..

CRREEEPPP..

“ARRRGGGHHHH..” Saka berteriak keras ketika belati yang tersisa lolos dari halauan sulur akarnya, menyasar wajahnya, beruntung ia masih sempat mengangkat tangannya, hendak menghalau belati itu dengan pergelangan tangannya yang masih terlindung lilitan sulur, namun entah mengapa.. belati itu tiba-tiba berbelok sedikit dari arah lesatannya, langsung menancap di punggung telapak tangan Saka, tertembus hingga bagian bawah telapak tangannya.

Rasa sakit dan terbakar langsung menyerang Saka saat ini, dengan cepat tangannya terhunus ke arah rimbun pepohonan. Dari sana kemudian melesat beberapa buah tanaman kantung semar, dengan cepat saka memosisikan tiga buah kantong semar yang katupnya masih tertutup itu bertumpuk di atas punggung telapak tangannya, lalu tanpa perlu menyentuh, Saka meremas jemarinya pelan, membuat kantung semar yang melayang di atas punggung telapak tangannya pun ikut teremas, langsung mengucurkan air ke pisau yang menancap di tangan Saka tersebut.

CRRREPPPP..

“Arrrgghh..” Saka kembali mengeram keras ketika satu belati yang tadi sempat ia halau tiba-tiba menancap di punggungnya, membuat Saka tersungkur ke depan.

Panas terbakar, pedih dan rasa sakit, itu saja yang Saka rasakan saat ini. Namun ia tidak menyerah akan hal tersebut, segera ia julurkan tangannya ke arah jurang, mengeram dengan tertahan, kemudian dari sana melesat lumut-lumut yang basah oleh air, langsung menyelimuti belati yang menancap di punggung Saka saat ini.

CESSSS...

Bunyi bara yang padam langsung terdengar, wajah Saka meringis. Balutan energi hijau yang menyelimutinya mulai menipis.

Melihat itu Ki Saptadi mendengus marah. Ada satu pantangan yang harus dijaga oleh setiap orang-orang Hematala yang sudah memiliki kemampuan mengendalikan senjata dan api sekaligus, yakni jangan sampai senjata mereka terkena air yang berasal dari tumbuh-tumbuhan tertentu dan dalam jumlah yang banyak, sebab itu akan langsung memudarkan mantra perekat di senjata tersebut, yang alhasil akan membuat sang pemilik kehilngan kendali akan senjatanya.

“Anjing itu benar-benar mengetahui hal ini, atau hanya kebetulan saja?”

Batin Ki Saptadi penuh kekesalan di hatinya. Segera ia pusatkan seluruh tenaga dalamnya di tangan kanan, membuat api di tangan kanannya itu kian menyala biru. Waktu yang lelaki tua itu butuhkan untuk mengumpulkan api biru sudah cukup.

“Uhuk..” Saka terbatuk dengan keras, bersamaan itu darah keluar dari mulutnya. Rasa panas dan perih masih bersisa di telapak tangan dan punggungnya. Saka memang memutuskan untuk tidak mencabut pisau-pisau yang tertancap tersebut, sebab jika dicabut, pasti ia akan kehilangan lebih banyak darah.

“ANJING KECIL SEPERTIMU NDAK PANTES BERHADAPAN DENGANKU!!” Seru Ki Saptadi dari atas titiannya, telapak tangan kanannya yang diselimuti api biru pun terhunus ke arah Saka, bibirnya merapalkan sesuatu, dan ketika Saka yang mulai melemah hendak bangkit dari posisinya. Ki Saptadi langsung menarik sedikit telapak tangannya ke belakang dengan lembut, lalu dihentakkan kembali ke depan.

“Brastha geni..” Bisik Ki Saptadi lirih, lalu..

BUUSSSSSHHHHHH...


Api biru yang berada di telapak tangannya pun bergulung, membesar dan langsung melesat ke arah Saka, menyembur bak api yang disemburkan oleh pelaku akrobat di tepi jalan.

Saka menahan napasnya, tubuhnya tak mampu bergerak, pandangannya langsung mengabur putih ketika dengan gerakan lambat, api biru mendekat padanya. Dan dengan sisa-sisa tenaga serta sempitnya waktu yang ia miliki, Saka mencoba membuat tameng akar di hadapannya, meski ia tahu, bahwa tameng yang ia buat takkan mampu bertahan lama, sebab tenaganya sudah benar-benar berada di ambang batas.

“Maafkan aku Dek..” Lirih Saka ketika dirasakan hawa panas yang maha dahsyat mulai mendekat ke tubuhnya. Kemudian..

BUUUSSHHHHHH.. BBBRRRRRRRRRRR...

Api biru itu langsung menggulung Saka dan tameng akarnya dengan amukan yang mengerikan. Menyelimuti areal sekitar tubuh Saka berada, deras dan panas penuh amarah dari pengendalinya, Ki Saptadi.

Brastha Geni.. itu adalah salah satu ajian api yang paling ditakuti, sebab ajian tersebut adalah salah satu ajian tertinggi. Di mana penggunanya akan mengerahkan minimal kekuatan abi biru yang amat panas dengan kuantitas tak terhingga, menggulung lawannya sampai benar-benar habis tak bersisa.

Sedang di dalam kubah, situasi masih sama seperti sebelum pertarungan Saka di mulai. Tegang, panik dan lemas di saat bersamaan. Mang Diman terus berusaha menembus kacapura yang sudah rapat diselimuti daun berenergi hijau itu sekuat tenaga, namun percuma. Karena kacapura termasuk salah satu perlindungan terkuat, tidak ada sesuatu yang bisa memasukinya, pun sebaliknya, sekalipun itu ajian lipat jagat milik Mang Diman.

Meski begitu, bukan berarti kubah itu tak bisa dihancurkan. Karena dengan kekuatan yang amat besar, bukan hal yang mustahil jika pada akhirnya kubah kaca itu retak dan bahkan mungkin hancur berkeping-keping.

“Mm.. Ma.. Mang..” Sura dan Sora berucap dengan terbata, berbarengan. Mereka menunjuk ke arah pergelangan tangan Mang Diman, di mana sulur yang melilit di sana perlahan kehilangan selimut energi hijaunya. Hal yang sama pun terjadi pada sulur yang menahan tangan Pak Wangsa dan Satya Weda selaku pembangun kacapura ini.

Dan ketika selimut energi hijau itu benar-benar menghilang, lilitan sulur-sulur tersebut pun melemah, mengendur dan melonggar. Rengganis yang masih dalam pengaruh totokan pun menyadari itu lewat lirikan matanya, hatinya mendadak sesak bukan main, air mata yang lebih deras keluar dari pipinya saat ini. Ia menangis lirih dan menjerit parau di dalam hatinya.

Secara perlahan juga, ribuan dedaunan yang menyelimuti kubah kaca itu pun mulai kehilangan jalinan perekat mereka. Dedaunan itu bahkan mulai berubah warna menjadi kekuningan, lalu gugur dan jatuh satu persatu ke tanah. Membuka kembali penglihatan orang-orang Purantara yang sedari tadi hanya bisa mendengar riuh suara perkelahian.

“Pak Saka..” Mang Diman yang berada paling depan seketika melemas, ia jatuh terduduk dengan air mata merembes di pipinya, lilitan sulur di tangannya benar-benar sudah terlepas. Pun dengan Pak Wangsa dan Satya.

Terkecuali Rengganis yang memunggungi arah pertarungan, meski terhalang rimbun dedaunan pohon sawit yang roboh, namun seluruh orang-orang purantara yang berada di dalam kubah itu bisa melihat samar-samar apa yang sedang terjadi.

Tubuh-tubuh bergelimpangan, serta sebuah kobaran api biru nan besar tengah bergulung melahap sesuatu. Bersumber dari seorang lelaki tua berkumis yang berdiri melayang di atas sebuah cambuk api yang padam menghitam di bawah nya.

Kini bukan hanya Mang Diman yang jatuh lemas terduduk, namun juga Sura dan Sora, Goufar dan Gunar, serta Pak Wangsa dan Satya Weda yang tertunduk wajahnya meresapi kesedihan.

“Kita harusnya membantu Pak Saka..”
“Kita harusnya membantu Pak Saka..”

Ujar Sura dan Sora lirih bersamaan. Mewakili rasa kesal dan putus asa yang tengah melingkupi mereka keseluruhan. Dan Rengganis.. ia terisak dengan mata terpejam. Hatinya menjerit sekuat tenaga. Ia mengutuk dirinya sendiri yang tak bisa menahan suaminya, mengutuk dirinya sendiri yang tak bisa membantu suaminya, Saka Agra Aliendra.

JRRRUGGG.. JRRRUGGG.. JRRRUGGG.. JRRRUGGG..
JRRRUGGG.. JRRRUGGG.. JRRRUGGG.. JRRRUGGG..

Di tengah keputusasaan mereka, tiba-tiba deretan tembok tanah yang tinggi dan tebal muncul dari bawah. Beberapa tembok langsung, berbaris tinggi menghalau pandangan Mang Diman dan yang lain dari apa yang tadi mereka tengah lihat. Dua pohon sawit yang roboh langsung terangkat dari tanah, tertahan di atas tembok-tembok tanah tersebut.

“INI BUKAN WAKTU YANG TEPAT BUAT MENANGIS MANG DIMAN!!”

Suara seorang lelaki melaung, bersamaan dengan itu sebuah tubuh mendarat tepat di depan Mang Diman, di bagian luar kubah.

Lelaki tersebut sibuk menggerak-gerakkan kedua tangannya, terus membangun tembok-tembok tanah dan mempertebal maupun mempertinggi tembok-temboknya itu.

“Mas Kusno..” Mang Diman terperangah, kehadiran Kusno sang tangan kanan Parung Wetan yang kemarin ia temui benar-benar di luar perhitungannya.

“Aku ndak bisa nahan dia lama-lama Mang..” Geram Kusno yang pijakan kakinya mulai gemetar, satu persatu ia rasakan tembok tanahnya meroboh di depan sana, terkena lecutan cambuk api yang maha kuat.

Mang Diman terkesiap, segera ia memerintahkan Pak Wangsa dan Satya Weda untuk membuka kacapura mereka. Perintah itu pun langsung dijalankan cepat, Pak Wangsa dan Satya memutus aliran enegi di tangan mereka, mengangkat kepalan tangan mereka dari aspal.

“Kita mundur sekarang, semuanya merapat..” Seru Mang Diman seraya memundurkan langkah, mendekat ke arah Rengganis.

“ENGGAK MANG!!” Seru Sora membantah.

“KITA HARUS NOLONG PAK SAKA!!” Sambung Sura dengan wajah penuh amarah.

“Api biru tadi adalah Brastha Geni, tidak ada yang bisa selamat dari kobarannya. Yang bisa kita lakukan saat ini hanyalah mengevakuasi Non Rengganis secepat mungkin.. ” Pak Wangsa mengambil alih jawaban, ia berjalan merapat ke Rengganis. Hal yang sama dilakukan Satya Weda dengan berat hati.

Pun Goufar dan Gunar dengan mendung penuh kesedihan di wajah.

“Bangsat!”
“Bangsat!”

Maki Sora dan Sura bersamaan, ikut merapatkan tubuh dengan langkah yang amat berat, mereka langsung membuat lingkaran dengan posisi tubuh membelakangi Rengganis, hanya Mang Diman saja yang menghadap ke pimpinan tertinggi Perantara tersebut.

“Maafkan Mamang.. Maafkan Mamang..” Ujar Mang Diman lemah seraya kedua tangannya memegang bahu Rengganis, memegangnya erat-erat. Kemudian Pak Wangsa yang berada di kanan Mang Diman segera memegang bahu sang pemilik lipat jagat tersebut, sadang sebelah kiri bahu Mang Diman dipegang oleh Goufar. Sisanya saling bergandengan tangan, merapatkan lingkaran mereka, bersiap ikut kemana saja Mang Diman membawa mereka.

“Ayo Mas Kusno..” Seru Mang Diman sembari menolehkan kepala, memanggil Kusno untuk ikut bersama mereka.

“Jangan tunggu aku Mang Diman.. du.. lu.. an.. sa.. saja..” Sahut Kusno dengan pijakan kaki yang kian termundur, tembok-tembok tanahnya makin banyak yang runtuh, diserang amukan cambuk geni yang mencoba menerabas dan menerobos pertahanan yang ia bangun.

“Terimakasih Mas.. Purantara berhutang banyak pada pertolongan Parung Wetan..” Seru Mang Diman mulai memfokuskan tenaganya.

“Jangan anggap ini sebagai hutang Mang.. aku melakukan ini ndak mengatasnamakan Parung Wetan, ini murni keinginanku..” Jawab Kusno dengan tubub yang kian rendah, lututnya kian tertekuk ke bawah.

“Apapun itu.. Terimakasih Mas Kusno.. Terimakasih sekali..” Ujar Mang Diman sebelum akhirnya ia benar-benar memejamkan matanya, mengheningkan jiwanya, mengosongkan pikirannya.

Ia rasakan tenaga berlimpah mengalir di dalam darahnya saat ini, tenaga yang begitu besar yang bahkan belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dan tentu saja, tenaga berlimpahnya saat ini tak lain sebab aliran energi dari sulur akar yang sempat dililitkan Saka kepadanya, mengisi penuh kekuatan Mang Diman yang sempat terkuras.

Dan itu membuat Mang Diman amat yakin, bahwa ia bisa membawa semua orang yang bersamanya saat ini, dan amat optimis dengan tujuan yang ia canangkan saat ini.

“Aku harus bisa.. aku harus bisa.. demi Pak Saka..” Batin Mang Diman dengan lirihnya.

Bibirnya mulai merapal mantra, kabut hitam mulai keluar dan mengepul menyelimuti mereka.

Rengganis terisak kian dalam, andai ia bisa lepas dari totokannya, ia pasti akan menolak mentah-mentah situasi ini. Ia akan berlari menjemput suaminya, tak perduli jikalau pun ia harus kembali berhadapan dengan salah seorang terkuat Hematala, ia tak perduli itu. Ia hanya ingin bersama Saka saat ini, hanya ingin bersama suaminya saat ini.

Asap hitam sudah sepenuhnya tersebar merata, menyelimuti utuh orang-orang Perantara yang akan melakukan lompatan ruang lewat ajian lipat jagat. Kilatan-kilatan cahaya mulai muncul di kepulan asap itu, mendengungkan suara peraduan listrik yang membuat Kusno kian berteguh hati menahan dinding-dinding tanahnya agar bisa menahan sang lawan lebih lama lagi.

DEEERRRRTTTTT..
DERRRRRRRTTTT..
WUSSSSSHHHH...

Bunyi Sambaran listrik terdengar nyaring, setelah itu angin berembus lembut menerpa kepulan asap hitam di belakang Kusno yang sekuat tenaga mencoba bertahan. Menyapu asap-asap hitam itu sampai tak tersisa, menampilkan kekosongan dan kehampaan di sana, sebab orang-orang yang tadi berada di sana sudah hilang entah kemana. Hanya menyisakan beberapa kendaraan yang posisinya sudah tak beraturan di sana.

Kusno mendengus berat, ia pijakan kakinya, ia bawa naik kembali tubuhnya, kemudian ia dorong sekuat tenaga dinding-dinding tanahnya itu ke depan, melesak dan menabrak sang lawan yang sedari tadi terus menghujami Kusno dengan lecutan api nan keras.

Kusno langsung melepas pengendalian terhadap dinding-dinding tanahnya yang tengah meluncur bebas. Langsung mundur dan masuk ke dalam rapat pepohonan, membawa tubuhnya pergi dari arena pertarungan. Mendaki sisi tebing yang berada di belakangnya.

“Berpencar dan cari tempat teraman, setelah situasi membaik nanti aku akan kabari..” Ujar Kusno lewat telepati kepada dua orang rekannya yang juga tengah menjauhi arena pertempuran tadi. Senyap dan diam-diam.

“Baik Pakde..”
“Baik Pakde..”

Jawab dua rekan Kusno yang tengah berloncatan menuruni jurang dalam, berhati-hati agar tidak disadari keberadaannya.

“Raden Rama pasti bakal marah besar kalau tahu aku ikut campur terlalu jauh, mampus aku..” Maki Kusno pada dirinya sendiri dengan sebal, karena memang tugasnya hanya sebatas menangkap para penghianat, ia bahkan diwanti-wanti keras oleh pimpinannya agar jangan sampai ikut campur dengan konflik yang sedang disulut oleh orang-orang Hematala.

Tapi lihat apa yang ia lakukan sekarang? Ia justru turun tangan langsung dan memamerkan liris kisma (pengendalian tanah) miliknya ke hadapan musuh, hal itu pasti akan berbuntut panjang nantinya, dan ia amat yakin, murka sang pimpinan akan langsung diarahkan kepadanya ketika mengetahui bahwa ia terlibat terlalu jauh dalam tugasnya ini.

“Mampus aku.. mampus udah pasti..” Gerutu Kusno frustasi sendiri.

**
.
.
Purantara, di waktu yang sama..

rio-dewanto_20181005_110644.jpg

Damar Raksa Aliendra

Damar berjalan cepat menuruni tangga di sebuah bangunan bawah tanah, wajahnya tegang bukan main, hatinya resah tak terkendali. Gelisah menyelimuti pikirannya saat ini, yang membuat ia benar-benar kalut sendiri. Bahkan untuk sekedar menunggu lift saja ia tak sudi, sebab kekhawatirannya sungguh telah membuat ia tak bisa berdiam diri.

Napas Damar terengah, ia sudah tiba di lantai paling bawah bangunan yang terletak di bawah tanah itu. Ornamen mewah dengan ukiran indah tak mampu memperlambat langkah kaki Damar, begitupun beberapa orang penjaga yang memberikan anggukkan kepadanya, tak digubris sedikit pun oleh lelaki bermata tajam itu. Ia sudah setengah berlari menuju ruangan yang terletak di bagian kiri bangunan ini.

BRAAAAGGHH.

Damar membuka pintu ruangan tersebut dengan keras, membuat pintu besi yang memiliki ukiran yin dan yang itu terbanting ke arah dalam, langsung mengejutkan beberapa orang yang berada di dalamnya.

“Bagaimana?” Tanya Damar segera memasuki ruangan tersebut, langsung menuju ke bagian tengah ruangan yang bertaburkan banyak sekali layar monitor tersebut.

“Gps mereka tetap tidak bergerak Pak, dan tidak ada yang menjawab panggilan kami.” Jawab salah seorang di dalam. Ia tadinya tengah sibuk mengutak-atik komputer, namun tetap menyempatkan waktu untuk berhadapan dengan petingginya itu.

“Assuuu..” Maki Damar geram meremas tangannya.

“Kami sudah mengirim tim untuk mengecek lokasi, setengah jam lagi tim akan tiba di sana Pak..” Jawab seorang lain yang sedari tadi sibuk dengan sebuah alat komunikasi berbentuk telepon.

“Aku akan pergi sendiri..” Geram Damar seraya berbalik badan.

“Tapi Pak, kalau Bapak pergi, bagaimana mana dengan..”

“Persetan! Dengan atau tanpa aku, kalian harus tetap bisa melindungi tempat ini!!” Bentak Saka yang tubuhnya sudah berada di ambang pintu, hendak keluar dari ruangan itu.

Namun tiba-tiba kakinya terhenti, wajahnya yang menampilkan raut amarah langsung menegang tatkala di bagian tengah ruang utama lantai tersebut mengepul sebuah asap hitam pekat. Sedikit demi sedikit hingga benar-benar membumbung, menyelimuti seisi ruang utama lantai ini.

Di belakang Damar, orang-orang yang tadi sibuk dengan layar monitor pun ikut berdiri, menatap ke arah yang sama dengan wajah tegang dan tanda tanya di relung hati.

DDDRRRRRTTTT... DRRRRTTT...

Kilatan cahaya muncul dari asap hitam nan tebal tersebut.

WUSSSSHHHH..

Angin yang entah datang dari mana langsung terhembus, menyapu asap hitam tersebut hingga mengabur ke segala penjuru arah, membuat Damar dan orang-orang yang berada di sana harus mengangkat tangan untuk melindungi wajah mereka.

Dan setelah pandangan mereka kembali, betapa terkejutnya mereka ketika mendapati orang-orang yang mereka khawatirkan sudah berada di depan mereka saat ini. Datang dari antah berantah menggunakan lipat jagat milik Mang Diman.

BUUGGHHH..

Bunyi berdebum langsung terdengar ketika tubuh Mang Diman jatuh ke lantai dengan posisi terlentang, darah mengucur deras dari hidung dan mulut Mang Diman, efek samping dari penggunaan lipat jagat yang terlalu jauh ia paksakan.

“Mang Diman!!” Seru Pak Wangsa segera berjongkok dan mengecek kondisi Mang Diman.

Damar pun mengembuskan napas lega, ia berjalan cepat menuju orang-orang yang baru datang tersebut.

“Cepat bawa Mang Diman ke ruang penyembuhan!!” Seru Damar seraya mendekat. Langkahnya tegas, hatinya melapang sedikit, lega karena orang-orang yang ia khawatirkan kini sudah kembali.

Pak Wangsa dan Goufar tanpa bicara langsung membopong tubuh Mang Diman yang sudah tergolek lemah. Sedang sisanya mulai berjongkok lelah, menundukkan kepala dan menutupi wajah.

Melihat itu Damar mengernyitkan dahi, bingung pada apa yang terjadi. Matanya awas menyapu orang-orang tersebut, jeli menghitung di dalam kepalanya. Hingga kemudian perhatian Damar tertuju pada tubuh Rengganis yang terduduk membelakanginya.

Ia segera mendekat dengan lemah, ia menyadari ada sesuatu yang kurang dari kembalinya orang-orang di hadapannya itu. Setelah itu ia pun segera berjongkok di depan Rengganis yang kaku terduduk, wajah kakak iparnya itu dipenuhi air mata, basah sebasah-basahnya dengan kelopak mata memerah.

Damar mulai merasakan sesak di dadanya, ia menelan ludah dengan susah, sedikit tercekat. Dipandanginya Rengganis baik-baik. Damar amat sadar apa yang terjadi pada Rengganis, dan ia amat tahu siapa yang telah melakukan ini, siapa orang yang telah menotok puncak tertinggi kuasa di Purantara itu. Dan hal itulah yang kian membuat dada Damar sesak, ada badai ketidaknyamanan yang menerpa hatinya saat ini, membuatnya menggusar bukan main.

Kemudian dengan jemari tangan gemetar, damar membuka simpul totokan di kedua bahu Rengganis. Mudah saja bagi Damar, sebab sepertinya sang pemberi totokan memang menghendaki agar Damarlah yang membuka totokannya tersebut.

Selepas totokan di tubuhnya lepas, Rengganis langsung lemas dan terjatuh ke depan, menangis sesenggukan dengan memeluk Damar erat-erat. Sedang tubuh Damar langsung kaku, pandangannya langsung berbias kaca, kesedihan entah mengapa langsung menguar dari inti terdalam perasaannya. Badai amarah yang begitu hampa menaungi ranah wajahnya.

Sesak, sakit dan susah bernapas, dan kelopak mata menghangat, itu saja yang Damar rasakan saat ini.

“Hiks.. Hiks.. Mas Saka Damar.. Mas Saka.. hiks..” Rengganis menangis lirih, dan itu lebih dari cukup untuk membuat Damar merasa semakin kosong tak berjiwa.

Pun punggawa-punggawa yang berjaga di sana, semua langsung menampilkan muram. Beberapa langsung menutup wajah mereka, beberapa yang lain langsung terduduk lemah.

Damar menghela napasnya berat, kemudian dengan lembut ia pegang kedua pundak Rengganis, mendorong Kakak iparnya itu pelan, membuat Rengganis merenggangkan pelukannya. Dan tanpa kata-kata, Damar langsung berdiri, berjalan limbung menuju sebuah ruangan lainnya. Sekelilingnya terasa menghening, hanya denging yang mengisi telinga Damar saat ini. Pandangannya mengabur, langkahnya terseret limbung dan penuh kekosongan.

“Damar..hiks..” Rengganis memanggil lemah adik iparnya itu, yang punggungnya kian menjauh. Sebab Rengganis tahu, Damar mengerti akan apa yang tengah terjadi. Dan Rengganis amat tahu, hati adik dari suaminya itu pasti seperti hatinya, remuk seremuk-remuknya.

Krreeeeeeeyyyytttt..

Pintu ruangan yang dituju Damar terbuka, lelaki berjaket hitam itu berdiri di ambang pintu, wajahnya sedikit menunduk, dengan sembilu luka yang menghujam titik perasaannya. Damar menghela napasnya dengan amat nyeri.

“Aku ingin sendiri, jadi jangan menggangguku. Karena siapapun yang berani menggangguku, siapapun yang berani mengetuk pintu ruangan ini, aku akan menghabisinya saat itu juga, sekalipun itu kamu, Raden Ayu..” Ujar Saka dengan dingin dan penekanan tegas, ia sebut Rengganis dengan panggilan kehormatan, tak lagi memanggil Rengganis dengan panggilan “Mba” seperti yang biasa ia lakukan.

BRAAAGGGHHH!!!

Pintu ruangan itu terbanting dengan amat keras, berdebum dengan getar yang amat mengerikan.

Lengang, tidak ada yang terdengar selain isak tangis nan lemah dari Rengganis yang luruh di lantai. Semua merasakan kehampaan menjalar di hati masing-masing, air mata berderai, mendung seketika mengungkung ruangan yang berada jauh di bawah tanah itu. Awan hitam seketika menyelimuti langit Purantara sore ini.

“Mas sakaaaaa... Hiks..” Rengganis semakin tenggelam dalam tangisannya, kedua tangannya menutup wajah, kehampaan dan kesakitan yang maha pilu menyelimuti sesak dadanya saat ini.

Tak ada yang bisa menggambarkan betapa luluh lantaknya hati perempuan yang berkalang ribuan sembilu itu saat ini, hancur berserakan dan luluh lantak sudah ruang-ruang perasaannya saat ini, sebab harus merasakan rasa sakit akibat kehilangan orang yang begitu ia kasihi, untuk ke sekian kali, dalam beberapa tahun belakangan ini.

SAMSONS - LULUH
****
Ingin ku yakini

Cinta takkam berakhir

Namun takdir menuliskan

Kita harus berakhir..

****

.
.
.
Bersambung..
 
Terakhir diubah:
Hallo suhu-suhu dan seluruh pembaca yang sangat saya cintai, terimakasih atas segala bentuk apresiasinya atas karya aneh yang ndak jelas ini, terimakasih sudah bersedia membaca, terimakasih sudah selalu sabar menunggu, dan terimakasih sudah memberikan support selama penulisan setiap bagian cerita ini, support dari kalian benar-benar menjadi penyemangat untuk saya, sekali lagi terimakasih kembali ya 🙏

Berikut saya lampirkan bagian 14 untuk menemani waktu luang para suhu sekalian, semoga terhibur dan maaf jikalau mengecewakan dan ada kekurangan ya. Saran dan masukan selalu dinanti, diskusi pun dipersilahkan 😊

Terimakasih.. terimakasih dan terimakasih semuanya. Salam cinta dan kecup jauh dari.. Hhhmm.. dari siapa pengennya? Hhhmm.. kayanya dari Bogi aja deh ya? Enggak apa-apa kan? Enggak apa-apa lah ya hehehe.

Hatur nuhun sadayana 🙏🙏🙏
 
Hallo suhu-suhu dan seluruh pembaca yang sangat saya cintai, terimakasih atas segala bentuk apresiasinya atas karya aneh yang ndak jelas ini, terimakasih sudah bersedia membaca, terimakasih sudah selalu sabar menunggu, dan terimakasih sudah memberikan support selama penulisan setiap bagian cerita ini, support dari kalian benar-benar menjadi penyemangat untuk saya, sekali lagi terimakasih kembali ya 🙏

Berikut saya lampirkan bagian 14 untuk menemani waktu luang para suhu sekalian, semoga terhibur dan maaf jikalau mengecewakan dan ada kekurangan ya. Saran dan masukan selalu dinanti, diskusi pun dipersilahkan 😊

Terimakasih.. terimakasih dan terimakasih semuanya. Salam cinta dan kecup jauh dari.. Hhhmm.. dari siapa pengennya? Hhhmm.. kayanya dari Bogi aja deh ya? Enggak apa-apa kan? Enggak apa-apa lah ya hehehe.

Hatur nuhun sadayana 🙏🙏🙏
sami nuhun suhu parantos masihan carita nu sae Pisan :tepuktangan::tepuktangan::tepuktangan:
 
Hallo suhu-suhu dan seluruh pembaca yang sangat saya cintai, terimakasih atas segala bentuk apresiasinya atas karya aneh yang ndak jelas ini, terimakasih sudah bersedia membaca, terimakasih sudah selalu sabar menunggu, dan terimakasih sudah memberikan support selama penulisan setiap bagian cerita ini, support dari kalian benar-benar menjadi penyemangat untuk saya, sekali lagi terimakasih kembali ya 🙏

Berikut saya lampirkan bagian 14 untuk menemani waktu luang para suhu sekalian, semoga terhibur dan maaf jikalau mengecewakan dan ada kekurangan ya. Saran dan masukan selalu dinanti, diskusi pun dipersilahkan 😊

Terimakasih.. terimakasih dan terimakasih semuanya. Salam cinta dan kecup jauh dari.. Hhhmm.. dari siapa pengennya? Hhhmm.. kayanya dari Bogi aja deh ya? Enggak apa-apa kan? Enggak apa-apa lah ya hehehe.

Hatur nuhun sadayana 🙏🙏🙏
:mantap: :mantap: huu..
Hatur nuhun updatedna suhu @Aridanfais
:semangat::cendol:
 
Hatur thank you hu...tapi kok sedih yah
Saka di buat game over sama suhu...untuk menyelamatkan banyak nyawa harus ada yang berkorban..

Damar pasti akan ngamuk karena kakaknya meninggal di tangan orang hematala, ini kalo regan tahu ayahnya udah nga ada kira2 kekuatan regan bakal keluarkah...

Regan keturunan dari 2 orang luar biasa (saka dan rengganis) pasti akan mewarisi atau mungkin memiliki kelebihan yang luar biasa...
 
Hatur thank you hu...tapi kok sedih yah
Saka di buat game over sama suhu...untuk menyelamatkan banyak nyawa harus ada yang berkorban..

Damar pasti akan ngamuk karena kakaknya meninggal di tangan orang hematala, ini kalo regan tahu ayahnya udah nga ada kira2 kekuatan regan bakal keluarkah...

Regan keturunan dari 2 orang luar biasa (saka dan rengganis) pasti akan mewarisi atau mungkin memiliki kelebihan yang luar biasa...
Nanti akan terjawab ya kang diupdate-update berikutnya, cuman kisi-kisi aja, asal bacanya jeli dan detail, pasti bakal tahu arah ke depannya pelan-pelan heheh. Hatur nuhun Kang, hatur nuhun juga buat yang lainnya, maapkeun gak bisa bales satu-satu ya. Hapenya kentang soalnya ckckck
 
Cakue mang oleh kang aridanfais...haturnuhun updatena,bae ah teu nyamungge
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd