BAGIAN 2 : HITAM, PUTIH, ABU-ABU, LAGI.
Aku dan Dito berpandangan heran, khusus Dito, wajahnya memucat pasi. Ia memandangku denga sebal, seolah menyalahkanku atas suara lantang yang terdengar dari arah belakang kami.
Lagian, ini suara siapa sih? Lembut banget kedengarannya. Tapi nadanya ituloh, nyeremin.
Bukan.. ini bukan suara Pak Gopur, mana mugkin Pak Gopur suaranya semerdu dan selembut ini? Kecuali Guru BK kami itu habis operasi kelamin dan operasi pita suara di Negeri Gajah sana.
Tapi serius, ini suara siapa dong kalo gitu?
Aku menelan ludahku, kemudian mengangguk pada Dito. Setelah itu kami pun membalikan tubuh kami perlahan-lahan. Dan begitu terlihat pemilik suara tersebut, aku langsung tertegun seribu Bahasa, terpaku dan terdiam seribu lamunan.
Rok ketat di bawah lutut, kemeja batik lengan pendek berwarna putih dengan motif bunga-bunga warna biru tua, dan rambut hitam Panjang yang tergerai. Sialan, wajahnya manis sekali. Matanya indah, tidak terlalu minimalis, pas-pas saja. Kulitnya aduhai cerah sekali, dengan sapuan merah muda yang berbayang di kedua pipinya.
Jagat Dewa Batara.. Ini Bidadari kenapa enggak pake selendang coba?
“Kalian kenapa diam saja? Ayo ikut saya!” Bentak Bidadari di hadapanku ini, membuatku tersadar dari lamunan. Kakinya dihentak keras, raut wajahnya menyiratkan bahwa ia berusaha membangun aura kengerian di sekitarnya. Tapi bukannya ngeri, aku malah kembali menelan ludahku sendiri. Bagaimana tidak? Saat ia menghentakkan kakinya, dadanya yang dibalut kemeja itu seperti tengah mengalami gempa tektonik berkekuatan 8 Skala Richter. Mantep..
“Ibu siapa?” Tanyaku spontan karena benar-benar tidak mengenali siapa orang di hadapanku ini. Dan tepat setelah aku mengucapkan itu, Dito yang berada di sampingku langsung menginjang ujung sepatuku.
“Ini guru baru yang gua certain bangsat.. yang guru Bahasa Indonesia..” Bisik Dito padaku, membuatku langsung menatapnya dengan sengit. Bukan.. bukan perkara sakit karena ia barusan menginjak sepatuku, tapi karena sepatu Converseku ini baru saja ku cuci, ujung sol sepatunya masih mengkilap putih. Kampret ..
Eh tapi bentar, guru baru Bahasa Indonesia? Oalah.. jadi ini guru baru yang Dito certain kemarin? Yang katanya cantik bukan main. Yang katanya muda kaya pucuk daun teh. Yang dia bilang imut kaya member BKT48? Wagelashh.. muantep ini, muantep banget malahan.
Oh iya, dua hari belakangan memang aku tidak masuk sekolah, karena harus mengantar Ibuku ke kota hujan. Karena sepupuku menggelar syukuran tujuh bulanan gitu. Dan karena memang aku merasa lebih dekat dengan kerabat dari garis Ibuku, makanya aku tidak keberatan begitu Ibuku minta tolong.
Mungkin bakal lain ceritanya kalau itu acara kerabat dari garis Ayahku, aku pasti akan mencari beribu alasan untuk berkelit. Aku pasti akan beralasan bahwa tugasku tengah banyak-banyaknya, atau ada kerja kelompok. Entahlah, dari kecil memang aku merasa gimana gitu sama kerabat yang berasal dari garis Ayahku.
“Sudah kalian tidak perlu bisik-bisik kaya gitu, sekarang cepat ikut saya menghadap Pak Gopur..” Ujarnya seraya membalikkan tubuh dan mulai berjalan. Sialan.. bagian belakang bidadari ini sempurna sekali. Pas dan tidak terlihat over gitu.
“Ayo Nyuk.. cepet.. keburu dimarahin lagi nanti!” Gerutu Dito yang sudah mulai melangkah, meninggalkanku begitu saja. Membuatku mendengus sebal, dan akhirnya ikut pula melangkah.
Sialan.. meski kemarin Dito sempat menyampaikan perihal guru baru di sekolahku, dengan segala penggambaran indahnya, tapi ya aku mana percaya dengan ke-lebay-an kawanku itu. Ya.. maksudku, secantik-cantiknya guru baru yang dibilang Dito, semuda-muda dan seimut-imutnya, di kepalaku ya tetap saja penggambarannya adalah Ibu-Ibu.
Tapi ternyata aku salah, sialan, yang dibilang Dito itu semuanya benar. Guru muda itu benar-benar muda dalam artian sebenarnya. Wajah dan perawakannya seperti anak-anak kuliahan yang sering aku jumpai ketika bus yang aku tumpangi lewat di depan sebuah kampus swasta ternama.
“Pokoknya kalau suruh bersihin toilet, elu bagian yang nyikat kloset, gua bagian nyapuh sama ngepel doang..” Dito mewanti-wantiku dengan bibir dimanyunkan, membuat bibirnya yang memang sudah offside itu semakin menjorok kedepan.
Hhhhhh.. rasanya pengen aku karetin aja itu bibirnya.
Aku tak menjawab ucapan Dito, aku hanya mengibaskan tangan seraya berjalan mendahului Dito menuju lapangan. Di mana dari kejauhan terlihat beberapa anak yang terlambat tengah dimarahi oleh Pak Gopur. Tapi aku hanya melirik pemandangan itu sebentar saja, sebab di hadapanku sekarang, ada sesuatu yang tengah bergeal-geol dengan indahnya, seolah menuntut untuk diremas.
Arrghhh.. ini Si Marco salah kiblat ini, sialan..
Dan setelah hampir sampai di lapangan, kulihat Bidadari itu berbicara sebentar dengan Pak Gopur seraya menggunakan kedua tangannya untuk dukungan cerita tersebut. Aku tak bisa mendengarnya sebab memang jarakku dengan mereka masih cukup jauh, sesekali kulihat Bidadari itu menunjuk ke arahku dan Dito yang masih berjalan pelan mendekati sedang. Dan sesekali pula Pak Gopur menatap jalak ke arahku, sebelum kemudian mengalihkan pandang ke arah Bidadari di hadapannya. Sialan ya? Kayanya doyan juga itu. Bajigur..
Dan setelah kami semakin dekat, Pak Gopur pun melambaikan tangannya, meminta kami berjalan lebih cepat. Sedang Bidadari yang sedari tadi memandang aku dan Dito dengan tatapan kesal hanya tersenyum kecil. Aku balas menatapnya, lalu melempar senyum. Namun bukannya dibalas senyum lagi, Bidadari tak berselendang yang menyamar menjadi guru baru di sekolahku malah berbalik badan dan pergi begitu saja.
Tik.. Tik.. Tik..
Bunyi jentikan jari dari Pak Gopur di depan wajahku membuat aku terkesiap.
“Matamu ituloh Gan.. Kurang ajar!” Hardik Pak Gopur padaku, membuat aku seketika langsung menundukkan wajah.
“Maaf Pak..” Ucapku seraya terus menundukkan wajah.
“Kalian berdua tunggu di sini, jagan kemana-mana..” Ucap Pak Gopur sembari berjalan meninggalkan kami menuju kumpulan anak-anak yang sebelumnya sudah berdiri lebih dulu dari kami. Setelah mendengar pengarahan blab la bla dari Pak Gopur, murid-murid yang terlebih dahulu tertangkap pun membubarkan diri. Sepertinya sudah mendapatkan tugas masing-masing.
Kemudian Pak Gopur kembali pada kami, berdiri dengan tangan bersendakap, membuatku ngeri-ngeri sedap ketika meliriknya.
“Regan.. Regan.. kamu itu.. kok bisa-bisanya kamu punya ide buat ngakalin saya.. segala pakai manjat-manjat tembok segala.. kurang ajar..” Ucap Pak Gopur masih dengan tangan bersendakap. Membuat telingaku panas sendiri, gimana enggak panas? Akuloh manjat tembok bareng Dito, kenapa coba Cuma namaku aja yang disebut?
“Dahlah.. saya lagi males marah-marah. Udah capek saya marahin kalian. Sekarang kalian pilih lah, mau saya kasih hukuman apa?” Tanya Pak Gopur sembari berjalan mundur kemudian duduk di undakan beton tempat di mana tiang bendera upacara tertancap.
Loh.. loh.. loh.. tumben banget Pak Gopur begini nih? Biasanya mah maki-maki dan hardik-hardik sampai ludah-ludahnya muncrat dan membasahi wajahku. Aku dan Dito berpandangan heran, kemudian tanpa aba-aba dan kesepakatan. Dito langsung memajukan langkahnya.
“Bersihin toilet aja Pak, iya.. bersihin toilet aja..” Sahut Dito dengan entengnya. Membuatku jengkel sendiri, enteng banget dia milih hukuman tanpa persetujuan dariku? Bajigur.. kenapa enggak minta hukuman yang lebih ringan kaya nyiram taneman hias gitu?
“Udah ada.. yang lain..” Ujar Pak Gopur dengan santai, kedua tangannya sudah bertopang di undakan beton.
“Ngepel koridor aja Pak..” Sahut Dito lagi memberi saran. Wuasu.. dikira ngepel koridor itu hukuman enteng apa? Iniloh ada tiga lantai, apa enggak encok nanti pinggangku?
“Yang lain..” Tukas Pak Gopur lagi.
“Bersihin perpus deh Pak” Rayu Dito lagi, dan itu benar-benar kembali membuatku menggerutu dalam hati.
Bajigur sekali si Dito ini, dikira bersihin Perpus itu gampang? Itu malah paling berat loh. Harus bersihin lantai perpus, ngelap meja, ngelap buku, ngelap rak-rak buku beserta bagian atasnya, belum lagi harus merapihkan urutan buku. Gila ini, kalau aku diam saja bisa makin ngelantur ini si Dito.
“Yang lain, udah ada juga itu..” Sahut Pak Gopur lagi dengan santainya.
“Dijemur ajalah Pak, saya liat enggak ada yang dijemur nih di lapangan, biar enggak polos-polos banget ini lapangan..” Seruku dengan enteng, membuat Pak Gopur dan Dito langsung menatapku dengan dua tatapan berbeda.
Dito menatapku dengan sengit, sedangkan Pak Gopur menatapku dengan senyuman aneh. Eh eh aku enggak salah kan? Dijemur doang kan enggak berat ya? Cuma berdiri aja, ya pait-pait paling hormat bendera kan?
“Baik kalau gitu, sekarang kalian berdiri di tengah lapangan..” Ujar Pak Gopur dengan riangnya sambal berdiri.
“Loh enggak di depan tiang bendera aja Pak?” Tanyaku lagi menyela. Bukannya apa nih, areal dekat tiang bender aitu soalnya enggak kena sinar matahari, jadi kan adem. Itu juga makanya aku menyarankan berdiri di lapangan tadi.
“Banyak nawar kamu Gan.. cepat berdiri sana..” Seru Pak Gopur padaku, membuat aku dan Dito saling berpandangan dan akhirnya mulai melangkah pelan menuju tengah lapangan. Enggak usah ditanya deh mukanya Dito kaya gimana, asem banget kaya rujakan manga.
“Eh eh eh bentar..” Belum sampai aku ke tengah lapangan, Pak Gopur kembali memanggil kami berdua untuk mendekat. Dan setelah kami berada lagi di depannya, beliau langsung tersenyum aneh lagi.
“Buka seragam kalian..” Ucap Pak Gopur dengan santainya, membuat aku dan Dito langsung berpandangan, bingung.
“Cepet.. enggak usah pake pandang-pandangan” Seru Guru BK-ku itu mulai meninggikan suara. Membuata aku dan Dito terkesiap dan lekas melakukan perintah Pak Gopur.
Namun baru saja aku memegang mengangkat sedikit bagian bawah baju seragamku, membuka kuncian ikat pinggangku, namun aku ditahan oleh Pak Gopur.
“Heh! Mau ngapain kamu Gan?” Tahan beliau. Aku memandangnya bingung sejenak.
“Katanya tadi suruh buka seragam Pak?”
“Ya enggak gitu maksud saya, buka seragam bagian atas kamu aja!”
“Ohh..”
Aku pun kembali mengencangkan ikat pinggangku, lalu membuka kancing atas seragamku. Setelah itu aku mengangkat seragam putihku sampai terlepas dari tubuhk. Hal yang sama dilakukan Dito, setelah itu kami meletakkan tas dan seragam putih tersebut di atas undakan beton tiang bendera.
“Kaos kalian juga”
Njir.. kaos juga? Buset dah, telanjang dada dong ini?
“Tapi Pak..” Dito hendak menyela, namun hanya dengan pelototan mata, Pak Gopur berhasil meredam suara Dito.
Sedang aku menghela napas saja, dan segera meloloskan kaos hitam polosku. Kemudian meletakkan kaos tersebut di atas tas. Dito melakukan hal yang sama, meski agak ragu-ragu awalnya.
“Nah sekarang silahkan kalian berdiri di tengah lapangan sana, dan karena saya sedang berbaik hati, kalian tidak perlu melakukan hormat bendera, posisi istirahat di tempat saja.”
Aku tersenyum mendengar penjelasan Pak Gopur, Fyuh.. selamat nih lenganku hehehe.
Dengan riang, aku pun berjalan ke tengah lapangan, dengan wajah masam Dito menemaniku. Setelah itu, dengan tubuh tegap aku berputar menghadap ke tiang bendera. Megah Gedung tiga lantai sekolahku ini pun terhampar angkuh di hadapanku. Gedung berbentuk seperti huruf U ini benar-benar menampilkan kesan megah.
Bagaimana tidak? Jika sekolah-sekolah lain mengecat gedungnya dengan warna-warna keren, semacam warna hijau, biru atau putih. Gedung sekolahku justru dicat bergaya vintage, dengan warna utamanya adalah krem kusam, dan kelir-kelirnya dicat warna hitam. Benar-benar menampilkan kesan vintagenya, ini juga nih yang bikin aku jatuh cinta sama sekolah ini ketika pertama kali menginjakkan kaki dulu.
Tidak ada rasa malu maupun gentar sedikit pun di benakku ketika menghadapi tatapan-tatapan heran dan senyuman-senyuman tertahan dari beberapa siswa-siswi yang masih berada di koridor kelas. Lagian ngapain malu? Aku kan Cuma telanjang dada, enggak bugil di sini.
Tapi rasanya, kawan di sampingku ini enggak sepemikiran denganku. Dialoh dari tadi komat-kamit menggerutu sendiri.
“Bawa santai aja elah, angkat pala lu To.. jangan bikin gua malu dah.” Ucapku yang sudah berada dalam posisi istirahat di tempat, kusenggol sedikit bahunya dengan bahuku.
“Bajingan.. santai pala lu! Ini kita dijadiin tontonan anjing..” Maki Dito dengan suara tertahan, aku hanya tersenyum kecil kea rah beberapa siswi yang memandangiku dari lantai dua dan lantai tiga.
“Yaelah ambil hikmahnya aja, seenggaknya kita bisa jadi artis sementara sampe istirahat To..” Ujarku penuh kepercayaan diri. Mencoba menebar semangat pada kawan di sampingku ini.
“Artis pala lu.. malu ini gua, mana panas banget anjir.” Gerutu Dito lagi tak selesai-selesai.
“KALIAN KALAU MASIH RIBUT TERUS, HUKUMANNYA SAYA TAMBAH NANTI, SAMPE PULANG. MAU?”
Mendengar seruan dari Pak Gopur, Dito pun langsung mengantungi kembali gerutuannya yang siap ia keluarkan tadi. Wajahnya kembali ia tundukkan, mulutnya komat-kamit. Lucu sekali kalau kalian lihat sendiri, lah aku aja nahan ketawa ini.
“Saya tinggal dulu, kalian jangan berani-berani neduh sampai hukuman kalian selesai. Kalau kalian ngelanggar, bener-bener bakal saya jemur sampai bel pulang.” Ucap Pak Gopur mewanti-wanti kami, aku hanya mengangguk dan kembali mengangkat wajahku, meresapi sinar mentari pagi yang terasa terik-terik pedas di mataku.
Hah.. mending ginilah, dari pada harus nyikat-nyikat toilet.
Dan ketika aku tengah mengedarkan pandanganku, tiba-tiba Gerakan mataku langsung terhenti ke koridor lantai dua Gedung bagian sebelah kanan. Dekat tangga. Di depan kelas tersebut, berdiri seorang gadis manis yang rambutnya diikat tinggi, tangannya memegang besi pembatas koridor lantai dua tersebut, matanya sendu, raut wajahnya sedih-sedih khawatir gitu.
Mata kami sempat beradu beberapa detik, sebelum akhirnya ia mnegalihkan pandang kea rah lain. Padahal aku baru saja ingin memulas senyum untuknya, tapi dia keburu melengos. Membuatku harus menarik napasku sendiri dalam-dalam. Karena setelah itu, gadis dengan rambut dikuncir itu menghilang dari pandanganku.
“Sialan.. kenapa sih harus milih dijemur kaya gini nyuk? Gua mending disuruh bersihin perpus dah, adem, kaga terik kek gini”
Aku menghela napas, pening sendiri mendengar keluhan Dito ini.
“Gua sih mendingan dijemur gini, enak, Cuma berdiri. DIbanding harus ngelap-ngelap rak buku, sambal ngatur-ngatur buku. Hihhh..” Jawabku santai, membuat Dito segera mengangkat wajahnya.
“Ya iya sih Cuma berdiri, tapi ini lu kebayang enggak pas ntar bel istirahat. Kita diliatin satu sekolah anjir..”
Aku hanya terkekeh mendengar kekhawatiran Dito, lebay sekali memang kawanku ini. Perkara seperti itu saja sampai dikhawatirin. Padahal ya biasa aja harusnya.
“Yaealah santay aja ngapa” Gumamku percaya diri seraya menolekan wajah menatap Dito. Ia memasang wajah sebal, alisnya tertaut. Bibirnya dikerucutkan. Seolah siap mematuk kedua putting di dadaku. Namun anehnya, sedetik kemudian dia tersenyum, lebih seperti menyeringai.
Sialan.. kok serem sih? Apa jangan-jangan dia nafsu ya melihat aku telanjang dada kaya gini? Wah bahaya ini. Masa iya Dito gay?
“To.. lu masih normal kan? Lu enggak nafsu sama gua kan?” Tanyaku khawatir dan sedikit ngeri-ngeri sedap.
“ANJIRR.. gua juga kalau homo milih-milih kali” Hardik Dito seraya mendengus seperti banteng.
“Lagian lu ngeliatin gua sambal senyam-senyum, kan gua jadi ngeri” Ucapku acuh, namun sangat lega sebenarnya.
“Najis amat.. gua mah Cuma mau ngingetin, itu buburnya Mang Dudung paling sejam lagi abis..”
Bajigur.. Pakai diingetin. Bangsat..
Kan jadi keinget lagi.. aku belum sarapan ini woy!
“Bangsat lu To! Bajigur!” Makiku dengan perasaan kesal bukan main. Dito hanya tertawa penuh kemenangan, sedang aku mendadak lemas lunglai lesu tak bertenaga.
Sialanlah.. harusnya aku lagi sarapan bubur ayam Mang Dudung di kantin sekolah yang melegenda itu, yang kalau sudah diaduk terasa bak makanan hotel-hotel bintang lima. Aargghh.. ini rasanya cacing-cacing di perutku langsung menggelar aksi demonstrasi ini. Menuntut hak mereka pagi ini. Siake..
Yang lebih sialannya lagi, itu Bubur Mang Dudung benar-benar best seller. Paling enggak sampai jam delapan udah tandas itu. Sialanlah.. sialan..
Dan akhirnya, kini giliran aku yang menggerutu sambal berdiri. Rasanya juga sinar matahari lebih terik dari sebelumnya. Membuat keringatku mengucur deras, sialanlah. Bener-bener sialan ini. Kerucukan asli perutku ini. Arrghhh..
Akhirnya aku melewati detik demi detik hukuman ini dengan perasaan amat jengkel, mmebuat bel istirahat rasanya begitu lambat datang. Ini berbanding terbalik dengan Dito yang tak henti-hentinya memanas-manasiku dengan melafalkan kalimat-kalimat nikmat mengenai Bubur Mang Dudung yang hanya tinggal di awang-awang.
“Bayangin.. Perpaduan kerupuk yang lumer, suiran ayam, potongan cakwe, belum lagi sate ususnya, beuh.. enggak ada lawan emang.” Dito terus meracau tak karuan, membuatku benar-benar sebal bukan main. Sialan ini, sialan banget sumpah.
Hingga akhirnya, setelah penungguan yang terasa bak ribuan purnama. Bel sekolah pun berbunyi nyaring, yang disusul dengan berhamburnya siswa-siswi dari dalam kelas. Dan bisa ditebak, kami mendadak menjadi artis beken yang mampu mencuri perhatian penonton.
Sesekali tawa-tawa sembunyi terdengar gemerisik, tatap mata yang mencuri-curi, serta gelengan-gelengan kepala. Ya untungnya kelenjar maluku sih sudah pecah, jadi tidak terlalu terpengaruh dengan tatapan tersebut.
Sebenarnya kami bisa saja langsung menyelesaikan hukuman ini, kan tadi Pak Gopur bilang sampai bel istirahat kan? Cuma gimana ya.. tetep harus nunggu beliau datang dulu pastinya.
Berbeda dengan Dito yang menunduk dalam-dalam, aku malah celingak celinguk menunggu kedatangan Pak Gopur. Namun bukannya Pak Gopur yang kutemui, malah aku kembali bersitatap dengan Bidadari yang tadi pagi memergokiku dan Dito. Siapa lagi kalau bukan guru baru tadi.
Ia memandang ke arahku dari lantai dua sebelah kiri, dekat ruang guru. Entahlah dia menatap ke arahku atau bukan, sebab mataku sedikit agak-agak rabun untuk menatap hitam bola matanya. Tapi yang jelas, beberapa detik setelah aku menatapnya balik, Bidadari tak berselendang itu langsung membuang pandang ke arah lain, dan segera bergegas pergi.
Aihh.. manis..
Itu saja yang ada di pikiranku. Lalu di tengah-tengah lamunanku pada tempat di mana guru baru tadi berdiri, aku merasakan ada langkah mendekat perlahan, yang membuatku langsung memutar kepala, karena kupikir adalah Pak Gopur, tapi ternyata bukan.
Entah aku harus kecewa atau bahagia, tapi yang kini berada tepat di sampingku adalah seorang gadis jelita dengan rambut tergerai di depan bahu. Wajahnya cemberut dengan kedua tangan menenteng totebag di depan pahanya. Matanya menyipit, dengan tatapan yang seolah tengah menghakimiku.
Nama gadis di sampingku ini adalah Maharani Sukma. Nah sebelum lanjut, sekarang aku minta kalian pikirkan kira-kira nama pendek atau panggilan dari gadis di sampingku itu siapa. Jadi jangan dilanjut dulu, pikirkan baik-baik, tebak sebisa dan sejujur mungkin, kira-kira aku dan kawan-kawan yang lain memanggil dia apa. Ayo pikirkan. Tenang, nama pendeknya adalah bagian dari nama lengkapnya kok, jadi bukan nama aneh-aneh atau nama alias. Pokoknya pikirkan baik-baik. Oke?
Nah kalau sudah ayo kita lanjut. Karena ini dia semakin rapat nih berdirinya.
“Dihukum bukannya mikir kaya Dito, malah tebar-tebar pesona sama adek kelas. Dasar bebel!”
Bajigur.. dibilang apa aku barusan sama dia? Bebel? Bebel itu mirip-mirip sama bodoh kan ya? Serius deh.
“Emang.. omelin aja, dari tadi tuh kerjaannya Cuma senyam-senyum gak jelas” Dito yang sedari tadi diam malah ikut mengompori. Seolah mendapatkan moment.
“Bisa diem enggak To?!”
“Bisa diem enggak To?!”
Aku dan gadis di sampingku berseru bersamaan ke arah Dito, membuat kawanku itu sedikit terkejut dan langsung terdiam, kembali menunduk.
Setelah itu, kami kembali saling berpandangan, kami yang kumaksud itu tidak ada Dito di dalamnya ya. Tolong dicatat.
“Nih..” Ucapnya ketus seraya mengangkat plastik yang ada di tangannya, dan mengangkatnya untuk kemudian disodorkan di wajahku.
“Apaan nih?” Tanyaku kebingungan, dengan posisi tangan masih di belakang pinggang.
“Buat lo.. gue tau lo pasti belom sarapan kan? Makanya ini bekel gue buat lo aja..” Jawabnya dengan masih nada ketus, matanya dalam-dalam menghujam retina mataku.
Aku mengangkat kedua alisku bersamaan, ini bentukannya sih emang kaya kotak makanan. Cuma ini beneran untukku?
“Enggak usahlah Han, makasih. Ntar gua bisa beli ke kantin..” Tolakku halus masih dengan tangan di posisi yang sama.
Tunggu! Tadi aku manggil gadis ini apa? Han? Honey gitu? Bukan! Jadi ini jawaban untuk kalian, meski nama gadis di sampingku ini adalah Maharani Sukma. Tapi dia justru lebih dikenal dengan nama 'Hani', tolong dicatat baik-baik. Hani.
Masih mewakali nama lengkapnya bukan? Iya dong? Ha-nya dari Maha, dan Ni-nya dari Rani. Jadi kalau digabung menjadi Hani, kependekan dari Maharani. Kenapa? Kalian salah tebak semua ya? Pasti nebaknya antara Rani atau Sukma kan? Hahaha maaf Bung kalian salah.
“Jadi sedari pagi gue nahan laper karena belom sarapan, Cuma buat denger jawaban lo barusan? Haizzz.. dasar bebel!” Hani berucap seraya menghentak kakinya ke lapangan, membuat logo osis yang berada di sebelah kirinya bergoyang indah. Sialan.. mataku ini kok malah kemana-mana ya?
Namun di tengah lamunan indahku pada titik indah itu, Hani langsung beranjak pergi meninggalkanku dan Dito tanpa sepatah kata pun. Kakinya sesekali dihentakkan seolah memberitahu bahwa ia sedang kesal. Aku pun langsung hendak menyusulnya, namun oleh Dito di tahan.
“Nyuk please banget.. please.. ini kulit gua rasanya udah ke bakar, dan gua gak mau kulit gua terus dipanggang sampe jam pulang nanti.” Dengan wajah memelas, Dito mencengkram erat lenganku.
Benar juga dia, kalau sampai aku dan Dito terkena hukuman tambahan hanya karena menyusul Hani. Bisa-bisa jadi rengginang kami nanti. Akhirnya aku pun mengurungkan niatku, dan kembali ke posisi semula, dengan mata yang lekat memperhatikan Hani, ia terus berjalan menuju tangga hingga menghilang di areal dekat tangga.
“HEY!! HUKUMAN KALIAN SUDAH SELESAI!! KENAPA ENGGAK KALIAN PAKAI LAGI BAJU KALIAN, SETELAH ITU JANGAN PERNAH MELAKUKAN KESALAHAN YANG SAMA!”
Mataku dan Dito seketika menoleh ke sumber suara yang berada di depan ruang guru yang berada di lantai dua gedung sekolahku. Dan yap.. itu adalah suara Pak Gupor.
Setalah mengatakan itu, beliau melempar senyum dan anggukkan. Aku pun segera berjalan cepat dan menyambar kaos hitamku, Dito mengikuti dengan terburu.
Namun karena aku berpacu dengan waktu, aku selesai terlebih dahulu. Untuk kemudian kutenteng tasku dan berjalan cepat meninggalkan Dito yang masih mengancingkan seragamnya.
“Nyuk! Tunggu dong..” Seru Dito ketika aku mulai menjauh, aku pun memutar tubuhku dan berjalan mundur.
“Beliin gua minum! Aus nih, abis itu bawa ke kelasnya Hani..” Ucapku santai sembari mulai menaiki tangga, entahlah apa yang keluar dari benak Dito? Pasti menggerutui aku ini.
Yang ingin kulakukan sekarang hanyalah menyusul Hani yang sekarang mungkin sudah berada di kelasnya. Dan setibanya di kelas Hani yang berada di lantai tiga, aku langsung mendekatinya yang tengah duduk sendirian, memandang ke luar jendela, ke halaman belakang sekolahku yang memang memiliki sebuah tanah kosong dengan rimbun pepohonan. Sesekali aku menganggukkan kepala pada beberapa orang yang tersisa di dalam kelas ini.
Untuk apa aku mengangguk? Ya jelas untuk meminta izin masuklah. Iniloh kakak kelasku semua. Ngerti kan? Gini gini.. Hani itu kelas 3, nah aku kan masih kelas 2. Enggak sopan dong kalau aku Cuma nyelonong masuk gitu aja?
Hani sepertinya tak menyadari kedatanganku, hingga sedikit pun ia tak mengalihkan pandangannya. Tangannya bertopang dagu, wajahnya ditekuk dan auranya benar-benar tak mengenakan, ngambek ini.
Dengan sedikit mengendap, aku mendekat ke meja di mana siku Hani tengah bertopang. Lalu sedikit membungkukkan tubuh, dan memposisikan wajahku tepat di samping wajahnya, ikut memandangi halaman belakang tersebut.
Hani yang menyadari keberadaanku hanya melirikku sejenak, untuk kemudian kembali memusatkan pandangannya pada rimbun pohon dan rerumputan.
Sedang aku seperti dimabuk kepayang, harumnya rambut Hani berpadu dengan harum parfumnya yang sangat aku senangi. Karena tak seperti kebanyakan gadis yang senang menggunakan parfum beraroma vanilla-vanilla atau buah-buahan gitu, Hani justru menggunakan parfum dengan aroma mirip sabun Lifebuoy berwarna merah. Enggak persis sih, Cuma mirip.
Dan karena tidak mendapatkan perhatian Hani, aku pun mencoba cara lain untuk mendapatkan perhatiannya. Jadi aku putuskan mendorong sedikit meja yang mengapit tubuh kami ini, untuk sekedar memberikan ruang. Setelah itu aku duduk di atas meja, tepat di depan Hani. Sekali lagi ia sempat melirikku, namun kemudian acuh kembali.
Gini nih.. Hani kalau sudah ngambek pasti begini.. haizzz..
Ketika tengah berpikir, aku melihat totebag berisi tempat makan yang tadi Hani hendak berikan padaku, teronggok begitu saja di pahanya. Dan dengan cepat aku mengambil totebag itu, membuat Hani mendesis sebal dengan mata melirikku tajam, namun aku tak memperdulikan itu. Aku buka totebag tersebut dan mendapati kotak makan beserta Tupperware berwarna hijau. Lalu kedua benda itu kuletakkan di meja.
Tupperware hijau adalah yang pertama kupegang setelah aku melipat totebag milik Hani, kuputar tutupnya lalu kuteguk isi air di dalamnya untuk mengentaskan hausku setelah berjemur sepagian ini. Setelah bersisa setengah, aku ambil kotak makan dan membukanya.
Susunan nasi putih, telur ceplok, dan indomie goreng tersaji di sana. Mainstream banget ya? Indomie pake telur plus nasi. Tapi memang menu seperti ini yang justru membangkitkan selera makanku.
Dan setelah mengambil sendok serta garpu yang ternyata ada di dalam totebag tadi, aku pun mulai menggulung mie, kemudian menyodorkan gulungan mie tersebut pada Hani. Ia sempat melirikku sebentar, sebelum akhirnya acuh kembali. Aku menghela napas, membawa garpu tersebut untuk lebih mendekat ke arah bibir Hani.
“Aa..” Pintaku pada gadis jelita yang sedang merajuk ini. Hani kini memutar kepalanya, sudah tidak hanya melirik lagi. Wajahnya menghadap padaku. Matanya sayu, dan bibirnya sedikit diruncingkan. Sebagaimana orang sedang merajuk kebanyakan.
“Gak!” Ucapnya sembari hendak bangkit, namun dengan cepat aku meletakkan kotak makan di tangan kiriku, lalu menahan Hani yang sudah selangkah berpindah dari tempat duduknya. Kugenggam lembut lengannya, membuat ia berhenti seketika.
“Yaelah Han.. segala gala bangat dah. Udah sini duduk, belom sarapan kan lu?” Ucapku santai dengan tatapan mata kuarahkan pada lambang osis di.. eh maksudku dengan tatapan ku arahkan ke matanya.
“Bodo! Awas ah.. gue mau keluar..” Ujar Hani seraya mencoba menepis peganganku, namun tepisannya halus saja. Membuat posisi kami tidak bergerak sama sekali.
Aku menghela napas dalam, entah mengapa aku mulai merasakan hawa panas beringsut naik di sekitar dada, punggung dan bahuku. Bukan, aku bukan marah karena rajukan Hani. Tapi karena aku tahu, dia ini kan belum sarapan, dan ini sudah jam sepuluh. Mau kena magh nanti dia? Terus kalau kena magh nanti aku juga yang kebadanan buat nganter pulang. Malah harus pinjam motor teman, pasti ribet deh.
“Lu disini! Dari pada Cuma bikin napsu makan lu ilang, mending gua aja yang pergi.” Ucapku dengan penekanan tegas. Secara bersamaan aku letakkan garpu di tangan kananku ke kotak makan, serta pegangan tangan kiriku di lengan Hani ku lepaskan.
Hani terperangah dengan kelopak mata melebar, sejanak bisa kulihat bening-bening kaca dan raut ketakutan terpampang di wajahnya. Namun aku abaikan itu, yang perlu kulakukan sekarang adalah membawa tubuhku untuk pergi dari sini, mencari tempat aman agar bisa menurunkan hawa panas ini.
Dengan secepat kilat, aku menyentak kakiku melewati meja yang tengah aku duduki ini, setelah itu langsung melompat dan berjalan pergi.
Dunia di sekitarku seperti menghening, sedang mataku menampilkan pemandangan yang paling aku benci dan hindari. Di mana jika hawa panasku naik seperti ini, maka penglihatanku akan berangsur-angsur terganggu. Mataku sepertinya kehilangan pigmen warna.
Hal ini membuat pandanganku perlahan berubah menjadi monokrom, hanya hitam putih dan abu-abu saja yang ada di pandanganku. Dan sialnya ini kenapa datang di saat aku harusnya tengah sarapan pagi dengan Hani? Arrgghh.. makin panjang nih aksi demonstrasi dari cacing-cacing di perutku.
Begitu aku sampai di ambang pintu kelas ini, aku segera mengangkat sebelah tanganku untuk menghalau sinar matahari agar tidak mengganggu penglihatanku. Karena entah bagaimana, jika kondisi penglihatanku sedang seperti ini, maka aku akan sangat terganggu dengan keberadaan sinar matahari yang secara langsung menghujam bola mataku.
Aku percepat langkahku, karena sungguh, penglihatanku semakin tak bisa aku ajak kompromi. Berbayang, silau, bias dan sesekali mengabur. Sialan ini.. perasaan aku lagi enggak punya masalah besar, tapi kenapa kok penglihatan bangsat ini bisa kambuh?
Sebab biasanya kondisi ini hanya akan kambuh jika aku dalam keadaan emosi tingkat tinggi, sedang ini? Perasaan aku fine-fine aja. Ngambeknya Hani juga sudah biasa aku hadapi. Tapi kenapa kok ini bisa bangkit? Aarrgghh
Aku terus membawa kakiku menuruni anak tangga, dan tepat di tangga lantai satu, aku bertemu Dito yang tengah membawa dua plastik es di tangannya, meski pandanganku monokrom seperti ini, aku tahu salah satu plastik es tersebut pasti berisi nutrisari jeruk peras, kegemaranku. Namun apa aku sempat mengurusi itu? Tidak! Yang harus kulakukan sekarang adalah mencari tempat untuk bisa meredam gejolak panas dalam tubuhku ini.
“Ma.. ma.. mao kemana lu Gan?” Dengan langkah terhenti dan kepala di tengadahkan, Dito bertanya dengan nada terbata. Namun aku sungguh tak punya kata-kata untuknya saat ini, yang bisa kulakukan hanyalah menepuk bahunya sebanyak dua kali. Lalu pergi.
Aku membelokkan langkahku ke bagian ujung koridor lantai satu ini, menuju deretan ruangan yang biasa dipergunakan untuk aktivitasnya ekskul. Dan tujuanku saat ini adalah salah satu ruangan yang aku yakin pasti kosong saat ini, karena aku tahu jadwal ekskul di ruangan itu. Hari-hari dan Jam-nya aku sudah hafal. Karena aku juga salah satu yang menggunakan ruangan itu untuk ekstra kuliker.
Dan setelah sampai, aku langsung mendorong pintu ruangan itu agak kasar, sebuah ruangan dengan aneka peralatan musik terpampang di hadapanku. Beberapa speaker tergantung di sudut-sudut atas ruangan ini. Stand-stand dengan gitar diletakkan berdiri tersaji. Tak lupa sebuah keyboard pun melengkapi alat-alat yang berada di atas lantai yang sedikit dibuat lebih tinggi dari lantai ruangan ini, mungkin agar seperti panggung mini.
Aku langsung menutup pintu, dan berjalan lelah menuju areal panggung mini itu, aku bukan sedang ingin bermain musik, bukan! Tapi aku menuju bagian paling ujung panggung mini itu, dimana terdapat drum set yang angkuh berdiri sendiri. Dengan kontruksi terlihat berotot dan rapat, drum set tersebut adalah tempat yang tepat untuk meredam apa yang bergejolak di dalam tubuhku saat ini.
Aku pun langsung berjalan ke balik drum tersebut, memindahkan kursi yang biasa digunakan drumer untuk beraksi, lalu menurunkan tubuh dan duduk dengan menekuk lutut kuat-kuat.
Hawa panas ini semakin menjalari tubuhku, dan itu diiringi dengan deru napasku yang kian memburu. Bergetar.. terasa tubuhku seperti bergetar kuat. Sial..
“Nek.. tolong..” Gumamku pelan dan mulai merasakan hawa ketakutan memanjat dari lubuk hatiku. Suaraku parau, dan buku-buku jariku terasa panas sekali.
Kusembunyikan wajahku dalam-dalam, kucoba atur napasku sekuat tenaga. Semakin kutekuk punggungku untuk mengentaskan getaran dan hawa panas yang terasa di sana.
“Nek.. tolongin Nggan..” Aku meracau parau, beraharap seseorang ada di sini. Seseorang yang dahulu selalu mampu meredam keadaanku jika seperti ini.
Aku terus mengeratkan gigiku, mengatupkan bibirku kuat-kuat, dengan mata terpejam kuat. Sampai tiba-tiba, kurasakan sebuah sentuhan lembut nan sejuk hinggap di bahu kananku. Kepalaku pelan terangkat, apa mungkin Nenek datang lagi untuk membantuku? Tapi bukannya Nenek bilang kalau dia takkan bisa membantuku lagi?
Dengan perasaan yang campur aduk, antara hawa panas, gejolak tubuh dan getaran di aliran darahku, yang berkolaborasi dengan perasaan takut, sekarang ditambah perasaan sedikit bahagia karena ternyata Nenek tidak pernah benar-benar meninggalkanku.
Dengan sekuat tenaga, aku menolehkan pelan kepalaku, dengan pandangan yang masih monokrom, betapa terkejutnya aku karena ternyata yang datang bukanlah Nenek. Tetapi orang lain..
“Ka.. ka.. kamu kenapa?”
Dia..
Tepat saat dia mengucapkan kalimat itu, ada perasaan sakit yang teramat kuat kurasakan menghantam dadaku. Seperti ada suatu benda yang menusuk di sana, lalu berusaha masuk secara paksa. Ngilu dan perih sekalih.
Sungguh.. ini sakit sekali. Sampai-sampai aku harus menahaan napasku untuk mengurangi rasa sakitnya. Namun tetap saja, ini sakit bukan main. Dan sakit ini.. terakhir kali aku merasakan sakit seperti ini adalah saat..
NGIIIIIINNNNGGGGGGGGGGG