BAB 8
Selama dalam perjalanan pulang, Fauzan dan Fania hanya diam. Sementara Mawar dan Citra tidur karena kekenyangan. Fauzan masih syok dengan ucapan Fahri, yang memperkenalkan dirinya owner dari restoran tempat mereka makan tadi. Pikiran Fauzan benar-benar semrawut untuk saat ini. Nasi sudah menjadi bubur, Fauzan bingung apa yang harus dilakukannya. Dimakan gengsi, kalau nggak dimakan, Fania akan menganggapnya sebagai manusia yang ingkar janji.
Fauzan melirik Fania di balik kaca spion. Fania terlihat melamun sembari memandang ke arah luar jendela mobil. Fauzan sangat mencintai gadis bercadar itu. Apa pun akan dilakukan untuk mendapatkan hatinya. Dia pun bertanya pada Fania, apa yang harus dilakukannya. Selain untuk mengusir kesepian di antara mereka, juga sebagai solusi atas apa yang baru saja terjadi padanya.
"Fania, kamu tahu kalau Fahri pemilik restoran tadi?" tanya Fauzan dengan hati-hati.
"Nggak tahu," jawab Fania singkat.
"Kamu nggak bohong, kan?" tanya Fauzan tak percaya.
"Astaghfirullah ... Fania nggak bohong, Zan. Tapi Fania sudah curiga dari awal." Fania memandang ke arah Fauzan dan membalas ucapannya dengan sedikit kesal.
"Iya... iya ... maaf. Terus Fauzan harus bagaimana?" Fauzan berharap Fania bisa memberikan jawaban yang lebih bijaksana. Meskipun Fania akan memberikan nasihat panjang lebar padanya, Fauzan akan mendengarkan dengan senang hati. Fauzan sengaja membuat Fania bicara karena ingin mendengar suara gadis pujaannya itu, sebelum mereka berpisah untuk sementara waktu.
"tu semua buat pembelajaran kamu. Jangan terbiasa bicara sembarangan. Itu 'kan sama saja kamu mengucapkan nazar. Jadi kamu harus menepati janjimu. Kamu itu lulusan luar negeri, masak hal seperti itu saja tanya sama Fania," jawab Fania terus terang.
"Ya, barangkali saja kamu punya solusi lain." Fauzan menyengir mendengar Fania yang menyinggung tentang pendidikannya.
"Jangan tanya Fania, tanya saja sama Fahri langsung. Dia ridho nggak janjimu untuk belajar memasak diganti dengan yang lain." Fauzan mengangguk mengerti.
"Baiklah, Fauzan besok akan datang ke rumahnya untuk bicara," janji Fauzan.
"Bicara baik-baik, jangan pakai emosi. Usia kalian sudah dewasa, jangan kekanak-kanakan,* sahut Fania mengingatkan.
Fauzan menarik napas panjang sebelum menghentikan kendaraan roda empatnya. Waktu terasa sangat cepat bagi Fauzan karena mereka sudah sampai di depan toko Fania. Fauzan memutar badan, menghadap ke arah gadis pujaannya.
"Fania, menikahlah dengan Fauzan, biar Fauzan bisa menjadi lebih baik," pinta Fauzan. Fania tidak terkejut mendengarnya karena Fauzan sering mengatakan kalimat itu padanya.
"Semua itu karena niat, Fauzan ...."
"Dan juga pasangan ...."
"Terserah kamu mau bilang apa. Tapi kamu harus belajar mengendalikan emosimu. Fania juga nggak mau punya suami yang suka marah-marah apalagi cemburuan," balas Fania dengan nada kesal. Fauzan sangat senang melihat Fania seperti itu. Dia pun semakin menggoda Fania.
"Cemburu itu 'kan tandanya cinta." Fauzan tersenyum, Fania mengalihkan pandangannya.
"Tapi ya jangan keterlaluan juga," sahut Fania tak mau kalah.
"Iya... iya ... maaf. Insyaa Allah lain kali Fauzan nggak akan begitu lagi." Fauzan pun mengalah, tak ingin Fania semakin kesal padanya.
Fania kembali menarik napas dalam, menenangkan perasaannya sendiri. Melihat senyum Fauzan yang menawan, membuat jantung Fania berdetak tak beraturan. Fania segera mengucap istighfar berulang kali dalam hati, kemudian segera membangunkan kedua karyawannya.
"Mawar, Citra, ayo bangun, sudah sampai." Mawar dan Citra terkejut saat membuka mata.
"Astaghfirullah ... maaf, Mbak, kami ketiduran."
"Nggak apa-apa, kalian pasti lelah. Ayo turun, kita pulang. Fauzan, terima kasih, ya. Jangan lupa, bicara baik-baik dengan Fahri. Semoga Allah memudahkan semua urusanmu.” Fauzan mengangguk dan tersenyum.
"Aamiin ... Fauzan yang terima kasih." Fania keluar dari mobil, diikuti Mawar dan Citra. Sebelum meninggalkan mereka, Fauzan kembali tersenyum pada gadis bercadar itu. Fania pun membalas dengan melambaikan tangan kanannya, begitu juga Mawar dan Citra. Tak lama kemudian, Bambang datang menjemput putrinya. Mawar dan Citra pun segera pulang, dengan kendaraan roda duanya masing-masing,
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Laras masuk ke dalam kamar terlebih dahulu karena sudah mengantuk. Sementara Bambang mengajak bicara putrinya dengan serius.
"Lain kali kalau Fauzan mengajak pergi lagi, jangan mau." Bambang mengingatkan putrinya dengan lembut tapi tegas.
"Iya, Abi. Maafkan Fania, yang tadi untuk pertama dan terakhir kalinya. Fania juga sudah bilang ke Fauzan," balas Fania, menyesali perbuatannya.
"Ya sudah kalau kamu sudah memberi ketegasan begitu. Kamu bercadar, paham agama. Sebelum menikah, sebaiknya dihindari pergi dengan yang bukan mahram, meskipun tidak sendirian. Abi hanya ingin menjagamu, jangan tersinggung kalau Abi memberimu nasihat seperti ini." Fania mengangguk mengerti.
"Iya, Abi. Sekali lagi Fania minta maaf. Fania nggak marah, kok. Abi benar, Fania yang salah."
Bambang menghela napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya. Dia tahu, Fania sudah dewasa. Gadis lain yang seusia Fania di kampungnya, sudah menikah bahkan ada yang sudah memiliki dua anak, bahkan ada juga yang sudah menyandang status janda. Bambang tidak mau hal seperti itu terjadi pada putri satu-satunya.
"Nduk, apakah kamu suka sama Fauzan?" tanya Bambang hati-hati. Dia ingin tahu bagaimana perasaan Fania yang sebenarnya.
"Nggak tahu, Abi," jawab Fania lirih. Bambang mendesah perlahan, mendengar jawaban putrinya yang ambigu.
"Jangan sampai kamu jatuh cinta pada pria yang salah. Abi hanya mengingatkan. Menikah adalah ibadah terlama, seumur hidup. Kalau bisa, kita sehidup sesurga dengan pasangan kita. Abi nggak mau, putri Abi satu-satunya menderita dalam rumah tangganya karena salah pilih suami," jelas Bambang.
"Makanya, Fania lebih percaya pada pilihan Abi dari pada perasaan Fania sendiri." Fania menimpali ucapan Bambang. Pria paruh baya itu mengangguk mengerti.
"Wajar kalau kamu suka sama Fauzan. Dia tampan, tinggi dan tegap. Wanita mana yang nggak akan tertarik dengan Fauzan. Hanya saja, Abi sudah mengenal keluarganya luar dalam. Kalian tidak mungkin bersama. Seandainya ibunya berjuang pun, keluarga besar mereka tidak akan pernah setuju dengan hubungan kalian."
"Iya, Abi. Fania mengerti."
"Ya sudah, kamu istirahat sekarang. Jangan lupa jaga hafalannya, sering-sering muroja'ah. Jangan karena mengejar dunia, kamu jadi terlena. Gunakan waktu mudamu. Kalau sudah menikah nanti, kamu akan repot dengan urusan rumah, suami dan anak," ucap Bambang mengingatkan.
"Insyaa Allah, Abi."
"Abi mau tidur dulu."
Fania mengangguk dan memandang tubuh tegap Bambang hingga masuk ke dalam kamar. Fania kembali mendesah, menetralkan perasaan. Fania menyadari, perasaannya mulai goyah dengan kedatangan Fauzan. Pemuda tampan itu tak henti-hentinya berjuang untuk mendapatkan hatinya. Wanita mana yang tidak luluh dengan sikapnya? Sementara dengan Alif dan Fahri, Fania ragu. Apakah mereka benar-benar menginginkan hatinya atau hanya rasa kagum semata? Fania tidak ingin menduga-duga perasaan mereka, apalagi kedua pemuda itu tak pernah mengungkapkan perasaan mereka yang sesungguhnya.
"Astaghfirullah ... ampuni hamba-Mu ini, Ya Allah. Berikanlah jodoh terbaik, jodoh dunia akhirat," gumam Fania. Kaki jenjangnya pun melangkah ke kamar, untuk mengistirahatkan badan dan pikirannya yang mulai terasa lelah.
********
Didalam kamar Bambang dan laras
Bambang melepas ciumannya dari bibir laras. Tangannya lalu digerakkannya meraih sisi bawah jilbab laras dan menyingkapnya melewati pundaknya. Lalu diturunkannya resleting gamis laras yang terletak di bagian dadanya, turun hingga batas pusarnya. Bahan gamis laras yang halus, membuat sisi depan yang tak terkancing itu langsung terbuka. Hingga nampaklah sebagian kulit putih laras yang sudah bermandikan keringat, sekaligus menampakkan tetek laras, yang masih tertutup bh merah tua yang dia pakai, naik turun seiring gerakan tubuh laras yang naik turun di atas selangkangan Bambang. Tapi itupun tidak bertahan lama. Bambang lalu menarik turun bh yang dipakai laras, sehingga teteknya keluar dari sarangnya, dan makin membusung karena tertahan bh yang menahan sisi bawah teteknya. Kini teteknya itu telanjang dan berayun indah naik turun seirama dengan gerakan pinggulnya.
Splok.. Splokk.. Splookkk..
"Ssshhhh.. Hhhmmmppphh.. ouuugghhh.." desah laras
Vaginanya terasa makin lama makin nikmat lagi. Makin banyak pula cairan yang keluar membasahi penis Bambang yang menyumpal vaginanya. Sisi dalam liang senggama laras itu juga dia rasakan berkedut-kedut makin cepat. Gerakan laras kini mulai bervariasi dan makin liar. Selama beberapa saat, pantatk laras bergerak berayun-ayun menggenjot penis suaminya. Tangan laras bertumpu di pundak Bambang. Matanya merem melek menahan nikmat dan syahwat yang mendera.
Splok.. Splokk..
Makin cepat gerakan pantat laras. Paha Bambang beradu dengan pantat laras menghasilkan suara nyaring di dalam kamar. Buah dada sekal laras ikutan berayun indah di depan wajah Bambang. Bambang nampaknya gemas dengan tetek istrinya itu, hingga tangannya lalu meremas kuat tetek laras dan memainkannya, membuatnya makin panas. Tak lama, mulutnya ikut bermain di dua melon kembar itu. Putingnya sesekali dia gigit lalu dia hisap-hisap kuat.
"Sshh.. iiyaahh.. emutt yang kenceng Abiihh.. Ouuhhh.." desah laras
Splok.. Splokk.. Splookkk..
Penis keras suaminya itu benar-benar menstimulasi tubuh laras hingga pantatnya meliuk-liuk sebinal mungkin memeras penis suaminya. Keringat makin deras memandikan tubuh mereka. Gamis dan jilbab laras pun semakin acak-acakan. Rambut-rambut halusnya mulai keluar berantakan dari celah-celah jilbabku. Penis Bambang terasa makin keras dan makin hangat di dalam rongga liang senggama istrinya.
Splok.. Splokk.. Splokkk..
"Ouuhhh.. Sshhhh.. Umi mau pipiisshh lagiiiihh.." kata laras.
"Bareng, Umi.. Urggghh.."
"Ouuuhhhh.. Aaaaaaaahhh.. Abbii.. Piiipiiisssshhh.. Ooooooooooooooo hhhhhhhhh.." jerit laras melolong.
Crot.. crot.. croott..
Di saat yang hampir bersamaan, penis Bambang juga mengeluarkan isinya di dalam vagina istrinya. Pantat laras mengejut-ngejut seperti terkena sengatan listrik saat penis suaminya juga dirasakan menyemprotkan banyak sekali muntahan panasnya menyiram rahimnya.
********
"Ada apa, Bro, malam-malam ke rumah Fahri? Nggak bisa tidur, ya? Atau nggak sabar menunggu besok pagi?"
Fahri mencibir, melihat kedatangan Fauzan di waktu malam. Jam di dinding menunjukkan pukul sembilan. Fauzan hanya menyengir dengan wajah tanpa dosa.
"Fauzan mau naik banding." Fahri langsung terkekeh mendengar jawaban Fauzan.
"Hahaha ... memang kamu pikir ini pengadilan?"
"Ayolah, Bro. Fauzan minta maaf. Fauzan ingin kamu mau mengganti acara belajar memasak dengan yang lain. Apa pun itu akan Fauzan kerjakan. Lagi pula, Fauzan nggak ada waktu untuk belajar memasak. Fauzan juga harus bekerja," ucap Fauzan mencari alasan.
"Hemm ... apa pun itu?" tanya Fahri memastikan.
"Ya apa pun itu!" jawab Fauzan yakin.
"Oke, dengar baik-baik. Fahri punya satu permintaan sebagai pengganti nazarmu itu. Apa kamu sanggup?" Pandangan mata Fahri tiba-tiba membuat Fauzan gugup.
"A... akan Fauzan usahakan!" Fahri tersenyum penuh arti mendengar jawaban Fauzan yang mulai terdengar ragu.
"Jangan dekati Fania lagi! Apa kamu bisa??"
"Hah! Enak saja nyuruh aku jauhi Fania. Kalau mau bersaing, yang sehat, dong! Aku lebih baik belajar memasak dari pada harus menjauhi Fania, hanya satu minggu ini, akan aku lakukan!"
Fauzan tak henti-hentinya menggerutu, sepanjang perjalanan pulang. Bahkan sampai di rumah pun, bibirnya masih tak berhenti mengomel sendiri. Laila memperhatikan putra semata wayangnya yang baru pulang, keningnya berkerut melihat ekspresi wajah Fauzan yang cemberut.
"Pulang-pulang bukannya salam malah ngomel. Kamu kenapa, Zan?" tanya Laila penasaran.
"Itu tuh, si Fahri, masak nyuruh Fauzan jauhin Fania. Emangnya dia siapa? Pacar bukan, saudara bukan, suami apalagi. Jelas aku keberatan dong, aku nggak akan menjauhi Fania sampai kapan pun. Ummi ... kapan kita melamar Fania?" Fauzan seperti anak kecil yang merengek pada ibunya.
"Insyaa Allah abi besok pulang. Ummi akan bicara sama abi," jawab Laila sembari tersenyum.
"Kalau abi tidak setuju, bagaimana?" Laila menghela napas panjang sebelum memberi jawaban.
"Ummi akan berusaha membujuk abimu, Fauzan. Ummi akan berjuang. Meskipun Ummi nggak yakin, Ummi tetap akan berusaha demi kamu. Dan kamu harus membantu Ummi dengan do'a." Fauzan tersenyum mendengar ucapan Laila.
"Terima kasih, Ummi. Insyaa Allah aku pasti selalu berdo'a agar kami berdua berjodoh." Laila mengangguk dan tersenyum. Dia memandang iba putranya. Apakah dia bisa meluluhkan hati suami dan keluarga besarnya? Laila tahu ini adalah usaha yang sia-sia.
Namun demi putra semata wayangnya, Laila akan berusaha sekuat tenaga. Keesokan harinya, Ghaffar--abinya Fauzan pun pulang. Laila menyambut kedatangan suaminya dengan wajah yang ceria. Bahkan kali ini Laila melayani suaminya dengan sangat lembut dan istimewa. Kening Ghaffar berkerut, memperhatikan sikap istrinya yang tak seperti biasanya. Saat ini, mereka sudah selesai makan malam bersama. Ghaffar tetap pada tempat duduknya dan memandang Laila dan Fauzan secara bergantian. Dia memahami istri dan putranya pasti ada maunya.
"Ada yang ingin kalian bicarakan sama Abi?" Laila menghela napas panjang sebelum bicara. Fauzan hanya diam mendengarkan.
"Begini, Bi, Fauzan suka dengan seorang gadis. Dia ingin segera melamarnya ...."
"Apa dia juga berkebangsaan seperti kita?" tanya Ghaffar tanpa basa-basi. "Dia orang Jawa asli, Bi..."
"Kalian tahu 'kan aturan dalam keluarga kita? Ummi juga sudah tahu bagaimana kerasnya kakek dan nenek tentang masalah ini. Abi tidak bisa membantu, Fauzan. Lagi pula, kakek dan nenek sudah menyiapkan jodoh untuk kamu."
"Aku nggak mau dijodohkan, Bi!" sahut Fauzan dengan tegas.
"Mau tidak mau, kamu harus menurut dengan aturan keluarga besar kita. Kalau kamu nggak mau, kamu mau apa?" Ghaffar bertanya dengan tenang.
"Aku akan pergi dari rumah ini!" Ucapan Fauzan membuat Ghaffar tertawa.
"Hahaha ... Fauzan ... Fauzan ... Silakan kalau kamu mau pergi! Demi seorang gadis, kamu rela pergi dari rumah ini dan tidak membawa apa-apa? Apakah kamu bisa hidup sendiri?"
Ghaffar menarik napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya. Dia berusaha tenang menghadapi putranya yang sedang jatuh cinta, seperti dirinya dulu yang sempat menentang perjodohan.
"Fauzan ... melamar seorang gadis dan menikahinya juga perlu modal. Apa dia mau kamu yang tidak punya pekerjaan dan uang, menjadikanmu suami? Pikir, Zan, pikir! Jangan hanya karena cinta, kamu nekat pergi dari rumah! Ingat Pamanmu Rafi, apa yang terjadi dengannya sekarang?" Fauzan hanya tertunduk lesu. Dia teringat dengan pamannya yang kehidupannya sangat memprihatikan karena menolak perjodohan. Istrinya selingkuh dengan pria kaya raya, sementara pamannya tak berani kembali pulang karena malu.
"Kami semua sama, Zan. Abi dan Ummimu sama denganmu. Kami juga korban perjodohan. Abi juga tahu, Ummimu sampai sekarang belum sepenuhnya mencintai Abi, meskipun Abi sangat mencintainya. Tapi kami berusaha memahami satu sama lain. Hanya itu yang dibutuhkan dalam sebuah rumah tangga. Pengertian." Laila dan Fauzan hanya diam dengan kepala yang tertunduk. Laila pun tak berani bersuara meskipun dalam hati ingin memberontak. Rasa sesak memenuhi dadanya. Dia hanya bisa meneteskan air mata.
"Lupakan gadis itu. Lama kelamaan, kamu pasti bisa melupakannya. Bila perlu, pergilah ke luar negeri sebelum kamu menikah dengan pilihan kakekmu. Maaf, Fauzan, hanya itu yang bisa Abi lakukan. Abi tidak bisa berbuat apa-apa. Maaf, Abi lelah, Abi ingin beristirahat. Pikirkan ucapan Abi." Ghaffar pun beranjak pergi meninggalkan istri dan putranya menuju kamar. Sementara Laila dan Fauzan hanya bisa memandang kepergian Ghaffar dengan perasaan yang sedih dan menyesakkan.
******
Sementara di sebuah rumah mewah berlantai dua milik Amir, Nazifa mengadu pada pria paruh baya itu.
"Paman, sepertinya Fahri menolak perjodohan ini," ucap Nazifa dengan bibir yang mengerucut.
"Biar Paman nanti yang bicara. Kamu sudah bertemu dengannya?" tanya Amir sembari memandang wanita muda di hadapannya. Status Nazifa memang seorang janda, bukan gadis lagi. Namun demi bisa membangun bisnisnya kembali, dia rela mengorbankan Fahri.
"Sudah, Paman. Tapi Fahri tidak menerimaku. Aku disuruh mengirim surat lamaran dan CV lewat email." Amir menggelengkan kepala tak percaya.
"Akhir-akhir ini dia memang mulai berubah. Dia mulai menjadi pembangkang. Maafkan Fahri, ya. Mungkin karena pernikahannya dengan Shella gagal, dia jadi seperti ini." Amir berusaha menenangkan Nazifa dan mencari alasan.
"Apa jangan-jangan karena seorang gadis?"
"Tidak, Paman tahu kalau Fahri itu tidak sedang dekat dengan siapa pun," sahut Amir meyakinkan Nazifa.
"Tapi ... tadi ada seorang gadis bercadar, Paman. Aku lihat Fahri dan temannya berebut mengantar dia pulang." Kening Amir berkerut mendengar ucapan Nazifa.
"Benarkah?"
"Iya, Paman. Kalau nggak salah, namanya Fania. Sepertinya Fahri suka dengan gadis bercadar itu." Nazifa semakin memprovokasi Amir. Dia yakin Amir pasti akan membelanya.
"Kamu tenang saja, Paman akan menyelidikinya. Paman yakin, Fahri akan patuh sama Paman. Jangan khawatir, pertunangan kalian akan segera dilakukan." Senyuman Nazifa merekah, mendengar janji yang diucapkan Amir padanya.
"Terima kasih, Paman. Oh ya, Paman, aku sempat membuntuti mereka. Ternyata dia berhenti di depan toko busana muslimah. Kalau nggak salah mama tokonya Toko Wijaya Putri. Sepertinya dia kerja di situ, Paman."
"Terima kasih informasinya. Kamu tenang saja, biar Paman yang urus semuanya."
********
Sesuai janjinya, Amir pun mulai menyelidiki gadis bercadar yang diceritakan Nazifa. Dia tidak terima jika Fahri menolak jodoh yang sudah dia siapkan. Pria paruh baya yang masih tampak tampan dan gagah itu, saat ini berdiri di depan toko Fania. Dia pun masuk dan langsung bertanya pada Mawar yang menyambutnya dengan ramah. Seperti biasa, Fania sedang duduk sembari memeriksa laporan keuangan dan penjualan toko dengan serius. Mawar terpaksa menemui Fania dan menyampaikan pesan Amir.
"Mbak, ada tamu ingin bertemu. Katanya dia pamannya Fahri." Fania terkejut mendengar ucapan Mawar.
"Pamannya Fahri? Suruh saja masuk," balas Fania.
"Baik, Mbak."
Mawar pun mengangguk dan beranjak pergi menemui Amir. Fania menyambut kedatangan Amir dengan sopan.
"Silakan duduk, pak. Maaf, ada yang bisa saya bantu?"
"Kamu yang bernama Fania?" tanya Amir dengan pandangan mata yang tajam.
"Iya, betul," jawab Fania dengan tenang,
"Tolong, jauhi Fahri! Gara-gara kamu, dia menolak wanita yang sudah dijodohkan dengannya!" ucap Amir terus terang,
"Maaf, maksud bapak apa, ya? Saya tidak mengerti. Saya tidak ada hubungan apa-apa dengan Fahri. Kami hanya kenal dan tidak dekat. Kalau memang Fahri menolak dijodohkan, itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan saya!" tegas Fania.
"Apa kata-kata saya masih belum jelas, hah?!" Amir tak menyangka, gadis bercadar itu berani padanya.
"Kata-kata yang bapak sampaikan sangat jelas. Justru bapak yang tidak mengerti dengan kata-kata saya. Sekali lagi saya tekankan, saya tidak ada hubungan apa pun dengan Fahri. Bahkan saya baru tiga kali bertemu dengannya. Bagaimana bisa bapak menuduh saya yang menghalangi perjodohan mereka?" Jawaban Fania yang tegas membuat Amir semakin murka.
"Hah! Dasar anak zaman sekarang, hanya pegawai rendahan saja sudah sombong dan kurang ajar pada orang tua. Saya bisa membeli toko ini beserta isinya. Panggil yang punya toko ini! Saya akan melaporkan kamu biar dipecat!"
Fania menggelengkan kepala melihat sikap Amir yang angkuh. Amir beranjak dari duduknya dan berjalan mendekati Mawar dan Citra yang berdiri tegang.
"Hei, panggil yang punya toko ini! Kalian dengar tidak?" Amir berteriak pada mereka dengan kedua tangan berkacak pinggang. Fania mengikuti langkah Amir dan berdiri di belakangnya. Fania mengangguk pada mereka berdua, tanpa sepengetahuan Amir. Mawar dengan gugup dan takut terpaksa menjawab pertanyaan Amir yang melotot ke arahnya.
"Ta ... tapi, Pak. Mbak ... Mbak Fania itu pemilik toko ini ...."
"Bisa-bisanya Nazifa memberi informasi yang salah. Kenapa dia bilang gadis itu karyawan di sini? Pantas saja Fahri suka padanya. Dia gadis yang mandiri, berani, dan suaranya sangat merdu. Tidak perlu melihat wajahnya, siapa pun bisa jatuh cinta. Sial! Dibandingkan dengan Nazifa, gadis ini jauh lebih baik dan lebih segalanya. Astaga ... kenapa aku jadi memujinya?" gerutu Amir sembari menepuk keningnya sendiri berulang kali.
Amir langsung keluar dari toko Fania karena malu. Tak henti-hentinya dia mengomel sendiri selama berjalan menuju mobilnya. Niat ingin membuat malu Fania, justru dirinya yang malu. Apalagi beberapa pembeli terlihat menahan tawa saat Mawar menjelaskan siapa Fania sebenarnya. Amir melajukan kendaraan roda empatnya menuju restoran di mana Fahri bekerja. Sampai sekarang Amir belum mengetahui kalau restoran itu milik Aini. Setelah sampai di tempat parkir, Amir masuk ke dalam restoran dengan langkah terburu-buru, sekaligus menahan marah.
"Mana Fahri?" tanya Amir tak sabar pada salah satu karyawan yang ada di meja kasir.
"Maaf, Pak, Pak Fahrinya sedang ada meeting. Mohon ditunggu sebentar." Gadis manis yang bernama Nadia itu menjawab dengan sopan. Dia sudah mengenal Amir karena pria itu sudah beberapa kali datang ke restoran.
"Pakai meeting segala, seperti orang penting saja!" balas Amir.
"Pak Fahri 'kan memang orang penting...."
"Saya nggak peduli! Saya akan tunggu dan tolong buatkan saya satu porsi nasi ayam bakar dan jeruk hangat!" sahut Amir memotong ucapan Nadia.
"Baik, Pak. Mohon ditunggu," ucap Nadia pasrah.
Amir berjalan menuju tempat duduk di ujung ruangan. Restoran itu masih sepi dan hanya beberapa pembeli yang terlihat menunggu pesanan. Seorang gadis bernama Sinta, yang berdiri tak jauh dari Nadia itu pun menggelengkan kepala melihat sikap pria paruh baya itu.
"Astaghfirullah, itu siapa, sih?" tanya Sinta penasaran. Sinta salah satu karyawan baru bagian pramusaji.
"Biasa, pamannya Pak Fahri. Dia memang sering ke sini dan selalu merendahkan Pak Fahri. Padahal dia nggak tahu kalau Pak Fahri yang punya restoran ini. Aku tadi hampir keceplosan tapi untung saja pamannya Pak Fahri nggak percaya," jawab Nadia dengan suara perlahan.
"Ooh ... Alhamdulillah Pak Fahri baik dan sabar orangnya, nggak kayak pamannya itu, ya?"
Nadia mengangguk setuju. Fahri adalah pemimpin yang ramah dan rendah hati tapi dia juga tegas pada karyawan yang melanggar peraturan.
"Iya. Alhamdulillah, Ummi Aini juga sopan. Memang pamannya saja yang sombong. Tolong jaga sebentar, ya. Aku mau ke belakang dulu, buat mastiin kalau pesanan pamannya Pak Fahri didahulukan. Kalau terlambat nanti marah-marah."
"Kamu 'kan bisa minta mereka lewat intercom, kenapa harus ribet, sih?" tanya Sinta heran.
"Daripada pesanannya terlambat, nanti malah semakin ribet." Nadia segera melangkahkan kakinya menuju dapur. Dia pun menunggu sampai makanan yang dipesan Amir matang dan mengantarnya sendiri ke meja Amir.
Setelah selesai mengantarkan makanan pada Amir, Nadia kembali ke dapur untuk mengembalikan nampan. Dia berpapasan dengan Fahri yang baru keluar dari ruangannya.
"Pak, ada pamannya menunggu di meja depan," ucap Nadia.
"Baiklah, terima kasih, ya," balas Fahri ramah.
"Iya, Pak, sama-sama."
Nadia pun kembali ke meja kasir, sementara Fahri berjalan mendekati Amir. Fahri tersenyum melihat pamannya yang makan dengan lahap. Dia duduk diam sembari menunggu pamannya selesai menghabiskan makanan.
"Ada apa, Paman?" tanya Fahri dengan sopan. Sebenarnya Fahri sudah tahu tujuan pamannya datang, pasti tentang Nazifa.
"Kenapa kamu menolak Nazifa bekerja? Katanya kamu manager di sini. Kalau yang dibutuhkan jabatan asisten manager, kenapa nggak langsung saja kamu angkat Nazifa jadi asistenmu?" Amir langsung memberondong pertanyaan pada Fahri tanpa basa-basi.
"Maaf, Paman, saya hanya menjalankan aturan perusahaan. Kalau saya langsung angkat Nazifa jadi asisten, bagaimana pelamar lainnya? Terus bagaimana dengan karyawan lain yang menitipkan saudaranya mereka juga? Apa harus diterima semua?" Fahri menjelaskan meskipun dia yakin pamannya tak akan menerima.
"Alasan saja kamu! Oke, kalau urusan pekerjaan Paman mungkin nggak bisa ikut campur karena kamu bukan pemilik restoran ini. Pertanyaan Paman, kenapa kamu menolak perjodohan yang sudah Paman rencanakan? Paman sudah bilang ke ummimu kalau Paman akan melamar Nazifa menjadi istrimu." Fahri menggelengkan kepala mendengar ucapan pamannya yang seenaknya sendiri.
"Paman ... yang akan menikah itu 'kan saya, bukan ummi, apalagi Paman. Kenapa Paman nggak langsung tanya sama saya?" Fahri tak terima dengan keputusan Amir.
"Jawabanmu pasti nggak mau!"
"Kalau sudah tahu, kenapa Paman masih memaksa?" tanya Fahri tak mau kalah.
"Kamu sekarang sudah berani melawan, ya? Apa karena gadis bercadar yang Bernama Fania itu kamu jadi begini?" Mendengar Amir menyebut nama Fania, Fahri terkejut sekaligus marah.
"Jangan bawa-bawa Fania dalam masalah ini, Paman. Saya tidak suka!" tegas Fahri.
"Yang pasti Paman tidak akan membiarkan kamu berhubungan dengan gadis itu!" Amir masih tetap memaksakan kehendaknya pada Fahri. Pemuda itu menghela napas panjang menenangkan pikirannya sendiri. Berdebat dengan pamannya adalah sesuatu yang sia-sia karena pria paruh baya itu tak akan pernah mengalah. Namun jika dibiarkan, pamannya tak berhenti mengganggunya.
"Saya sudah dewasa, Paman. Saya tidak akan lagi menuruti perintah Paman lagi." Ucapan Fahri membuat Amir semakin marah.
"Kamu itu, karyawan rendahan saja nggak mau menuruti perintah Paman. Kecuali kalua kamu yang punya restoran ini, Paman tidak akan mengatur kamu lagi!" Amir mulai berteriak, membuat beberapa orang pengunjung restoran mulai memandang ke arah mereka.
"Tapi, Paman ...."
"Jadi, kamu bukan pemilik restoran ini?"
Tanpa sepengetahuan Fahri, Fauzan sudah duduk tak jauh darinya, mendengar semua percakapan mereka. Dia datang untuk melakukan nazar, belajar memasak pada Fahri. Meskipun untuk mendapatkan Fania ditentang oleh keluarganya, tetapi Fauzan tetap tak mau menyerah.
"Tentu saja, bukan! Mana mungkin Fahri bisa memiliki restoran sebesar ini? Hidup mereka saja numpang!" cibir Amir dengan pandangan merendahkan.
"Kenapa kamu berbohong, Fahri? Apa karena ada Fania? Bahkan Fania yakin kalua restoran ini benar-benar milikmu. Kalau begitu, nazarku tidak berlaku lagi, bukan? Aku terbebas dari belajar memasak padamu!" Fahri pun mengangguk pasrah. Dia masih belum mau mengakui semuanya di hadapan Amir. Dia harus bermusyawarah dulu dengan Aini, sebelum bicara terus terang pada pamannya. Fahri tak ingin salah langkah hanya karena emosi, yang akan membuat umminya kecewa.
"Ya, pergilah!" ucap Fahri terpaksa.
"Aku akan memberi tahu pada Fania tentang masalah ini!" Fauzan tersenyum dan beranjak meninggalkan restoran milik Fahri dengan tenang. Tak henti-hentinya dia mengucap syukur karena pelajaran memasaknya batal.
"Fahri ... Fahri ... Demi seorang gadis kamu sampai mengaku-ngaku pemilik restoran. Kasihan sekali, kamu! Sudahlah, Paman mau pulang Sekali lagi, jangan berhubungan lagi dengan gadis bercadar itu! Paman sudah melamar Nazifa untukmu. Ingat itu!" Rencana Fahri
"Astaghfirullah ... punya Paman satu kok gitu banget! Bisa tukar tambah, nggak?" Fahri berdiri di depan meja kasir sembari memandang langkah pamannya keluar restoran.
"Abi ini, memangnya pamannya Pak Fahri barang, bisa ditukar tambah." Nadia tersenyum geli mendengar ucapan bosnya itu.
"Barangkali kamu mau, ambil sana bawa pulang!"
"Ogah, Pak. Paman saya juga sebelas dua belas sama pamannya Pak Fahri. Jadi saya masih punya stock di rumah." Fahri menggelengkan kepala mendengar jawaban Nadia.
"Ada-ada saja kamu. Ini uang buat bayar pesanan paman tadi. Kembaliannya buat kamu." Fahri memberikan satu lembar uang berwarna merah pada gadis manis itu.
"Terima kasih, Pak. Semoga rizqinya semakin lancar dan berkah," balas Nadia tersenyum senang,.
Setiap Amir datang, Fahri pasti memberikan uang kembalian untuk Nadia. Meskipun restorannya sendiri, Fahri selalu membayar pesanan paman atau pesanannya sendiri.
"Aamiin ... saya mau pulang dulu. Kalau ada apa-apa, bilang saja sama Pak Hamdan," pamit Fahri dan Nadia membalas dengan anggukan.
"Baik, Pak."
Fahri melajukan kendaraan roda empatnya menuju rumah. Sudah dua hari Aini demam dan Fahri selalu mengkhawatirkan keadaan umminya. Sesampainya di rumah, Fahri langsung berjalan dengan cepat menuju kamar Aini.
"Ummi, bagaimana keadaan Ummi?" tanya Fahri.
"Alhamdulillah Ummi sudah sehat. Kemarin itu cuma kecapekan saja." Aini tersenyum melihat putranya yang selalu datang berkunjung di sela-sela kesibukannya.
"Alhamdulillah." Fahri tersenyum lega melihat umminya sudah tak pucat lagi.
"Fahri ...."
"Iya, Ummi?"
"Ummi kok kangen ya sama Fania? Bagaimana kalau kita ke rumahnya?" Fahri tersenyum mendengar permintaan Aini.
"Ummi ini ada-ada saja, baru kenal sudah kangen-kangenan." Fahri menggoda Aini. Wanita itu langsung mencubit gemas hidung mancung putranya.
"Bilang saja kamu juga kangen sama dia. Bener, kan?" Fahri duduk bersandar di sofa kemudian menarik napas panjang. Dia teringat ancaman pamannya saat di restoran.
"Tadi Paman Amir datang ke restoran, dia bilang aku nggak boleh dekatin Fania."
"Dari mana pamanmu tahu soal Fania?" tanya Aini penasaran.
"Pasti Nazifa yang kasih tahu karena waktu itu dia ada di restoran saat aku dan Fauzan berebut mengantar Fania pulang. Sepertinya dia nggak terima dengan penolakanku terus lapor sama Paman Amir." Aini mengangguk mengerti. Dia pun duduk di samping putranya.
"Maafkan Ummi, kemarin waktu pamanmu telepon dan bilang kalau mau menjodohkanmu dengan Nazifa, Ummi tidak berani membantah. Ummi terpaksa bilang iya karena Ummi takut dan bingung mau bicara apa," ucap Aini merasa bersalah.
"Nggak apa-apa, Ummi. Aku mengerti perasaan Ummi. Tapi Ummi, ada kabar gembira. Paman tadi bilang, kalau seandainya aku pemilik restoran, paman berjanji tidak akan mengaturku lagi. Apa sebaiknya kita mengaku saja pada paman kalau restoran itu memang milik kita? Jadi paman tidak akan bisa menjodoh-jodohkanku lagi." Kadua bola mata Aini berbinar seketika mendengar ucapan Fahri.
"Benarkah pamanmu bicara begitu?" tanya Aini tak percaya.
"Iya, Ummi. Paman bicara begitu tadi waktu di restoran. Kalau Paman sampai ingkar, aku ada bukti rekaman CCTV-nya. Qadarullah restoran tadi juga agak sepi karena belum jam makan siang. Pasti suara paman yang keras tadi terdengar jelas," jawab Fahri yakin.
"Baiklah, kamu atur saja bagaimana baiknya. Mungkin itu semua jalan keluar dari Allah untuk kita." Fahri mengangguk setuju.
"Benar, Ummi. Setelah itu, aku akan secepatnya melamar Fania. Bagaimana menurut Ummi?"
"Apakah kamu yakin? Kamu melamar Fania bukan karena Ummi, kan?"
"Tidak, Ummi. Aku juga suka sama Fania. Semoga saja Fania mau menerimaku menjadi suaminya. Aku tidak perlu ta'aruf lagi, aku sudah sangat yakin." Aini menggenggam erat kedua tangan putranya dengan semangat.
"Alhamdulillah, semoga Allah memudahkan dan melancarkan semua urusan kita."
"Aamiin ... sekarang Ummi istirahat. Aku mau kembali ke restoran. Masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Tadi pulang cuma ingin lihat Ummi saja, barangkali Ummi butuh sesuatu." Aini tersenyum bangga, putranya sangat sayang padanya.
"Tidak, Ummi tidak butuh apa-apa. Ummi akan istirahat. Berangkatlah!" Fahri mengangguk kemudian mencium kedua pipi Aini sebelum kembali beker;ja.
Malam harinya di rumah Bambang. Setelah selesai sholat isya' berjamaah, Fania dan Laras duduk berbincang santai. Bambang masih berada di musholla.
"Fania, Ummi tiba-tiba ingat sama wanita dan anaknya yang waktu itu ke sini bareng si Laila itu. Ummi mau tanya kok lupa-lupa terus. Kalau boleh tahu, siapa mereka?" tanya Laras penasaran.
"Oh itu, Ummi Aini sama Fahri, Bu," jawab Fania sembari menyesap teh lemon hangat yang ada di hadapannya.
"Kamu kenal di mana?"
"Fania kenal di depan toko dan dompetnya Ummi Aini ketinggalan di ruangannya Fania. Akhirnya Fania anterin ke rumahnya. Kenal, deh!" Fania terkekeh, menggoda umminya yang terlihat masih belum puas dengan jawabannya.
"Tapi kenapa bisa langsung akrab gitu sama mereka? Ummi juga dengar, Ummi Aini bilang kalau kamu calon menantunya. Heran Ummi sama mereka, baru kenal kok bisa ngaku-ngaku seperti itu. Niat mereka itu serius atau cuma mau manas-manasin si Laila saja?" Fania hanya mengedikkan bahu. Dia menghela napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan.
"Wallahu a'lam bish-shawab, ummi. Fania juga nggak tahu. Fania nggak mikir jodoh dulu. Biar Allah yang memilihkan jodoh terbaik buat Fania," jawab Fania dengan tersenyum. Dia tak ingin umminya terlalu memikirkan ucapan Aini.
"Semoga mereka benar-benar serius, ya. Mungkin mereka masih banyak urusan makanya belum berkunjung lagi."
"Hemm ... Ummi sepertinya senang dengan mereka."
"Ibunya baik, sopan, tentu saja Ummi lebih suka mereka dari pada Laila dan anaknya. Semoga Fahri nanti bisa jadi jodohmu." Fania menggelengkan kepala dan Kembali menarik napas dalam.
"Pamannya Fahri tadi marah-marah ke tokonya Fania. Dia bilang kalau Fahri sudah dijodohkan." Laras memandang iba putrinya.
"Oalah, Nduk ... kasihan kamu. Banyak yang suka tapi ada saja hambatannya. Nggak seperti Ummi..."
"Ummi jangan begitu. Ummi juga cantik ... dulu pasti Ummi banyak yang suka." Fania berdiri kemudian memeluk Laras dari belakang dengan penuh kasih sayang.
"Iya, tapi semenjak tahu kalau Ummi mandul karena kecelakaan, tidak ada lagi laki-laki yang mau sama Ummi. Hanya Abimu yang ikhlas menikah dengan Ummi ...."
"Dan Fania sangat bersyukur sekali punya Ummi. Ummi sudah merawat Fania dengan sangat baik. Terima kasih, ummi. Fania sayang Ummi," sahut Fania, tak ingin Laras larut dalam kesedihan.
"Ummi juga sangat sayang sama kamu, Nduk." Laras membalas pelukan dan membelai kepala putrinya dengan lembut. Laras bukanlah ibu kandung Fania. Ibu kandung Fania meninggal dunia saat melahirkan. Laras adalah sepupu dari Fatimah--ibu kandung Fania. Laras menawarkan diri merawat Fania dan Bambang pun setuju kemudian menikahinya.
"Hemm ... ada apa ini kok sayang-sayangan. Abi nggak disayang?" Bambang masuk ke dalam rumah dan menggoda mereka.
"Abi ini, seperti anak kecil saja, suka ikut-ikutan!" sahut Laras, Fania hanya tersenyum dan kembali duduk di samping umminya.
Bambang pun duduk di hadapan mereka kemudian menyesap minuman yang sudah disediakan putrinya. Helaan napas panjang terdengar sebelum pria itu berbicara.
"Fania, hari Sabtu besok, ada kenalan Abi yang mau main ke rumah. Katanya ingin mengenalkan anaknya sama kamu ...."