BAB 7
Fania melepas lelah setelah seharian bekerja. Orderan yang masuk hari ini sangat banyak jumlahnya, baik itu orderan set gamis atau pun orderan tas wanita dan juga aksesoris. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Setelah makan bersama, Fania berniat langsung merebahkan badan. Pintu kamarnya terbuka, Laras masuk dan mendekati putrinya.
"Fania, dicari Bu RT." Fania mendesah perlahan kemudian mengangguk.
"Iya, Ummi. Fania ganti baju dulu." Setelah selesai berpakaian, Fania keluar kamar dan menyapa Rahma dengan sopan. Dia duduk di samping umminya.
"Assalamu'alaikum, Tante."
“wa'alaikumussalaam ... maaf, ya, Fania. Tante mengganggu," ucap Rahma sedih.
"Nggak mengganggu, kok. Fania lagi santai. Bagaimana, Tante?" Pertanyaan Fania langsung pada intinya. Fania tak lagi berbasa-basi karena mengerti tujuan Rahma datang ke rumahnya.
"Hemm ... begini, Fania. Ini Tante mau bayar sisa DP seragam. Tapi ... maaf kalau Tante belum bisa kasih semuanya, soalnya ibu-ibu banyak yang belum membayar. " Rahma terlihat gelisah sekaligus bingung.
"Bagaimana, ya, Bu? Kan perjanjiannya waktu itu satu minggu," balas Fania mengingatkan.
"Hemm ... begini, Fania. Kata ibu-ibu, kalau memang dengan uang segini nggak bisa, kami sepakat pesanan gamisnya dibatalkan saja ...."
Menghadapi tetangga seperti di lingkungan Fania memang dilema. Dibantu salah, nggak dibantu lebih salah lagi. Fania tak henti-hentinya mengucapkan istighfar dalam hati, menenangkan perasaannya sendiri.
Wajah Laras terlihat merah menahan amarah. Fania tahu perubahan ekspresi wajah umminya. Dia pun mengusap punggung wanita itu dengan lembut agar tak terpancing emosi. Namun, Laras sudah tak bisa menahannya lebih lama lagi. Dia berdiri dengan kedua tangan berkacak pinggang.
"Hey, Bu RT! Nggak bisa begitu, dong! Sudah dibilang dari awal kalau orderan yang masuk tidak bisa di-cancel! Coba Bu RT jadi Fania, apa yang akan Bu RT lakukan?" teriak Laras tak terima.
"Maaf, Bu, saya bingung. Kalau saya teruskan orderan ini, terus mereka pada nggak bayar, siapa yang bertanggung jawab? Saya nggak mungkin bisa membayar semuanya sendiri. Saya nggak ada uang," balas Rahma dengan ekspresi wajah sedih. "Saya juga maunya sesuai dengan kesepakatan, Bu Laras, tapi ternyata warga kita benar-benar nggak bisa diajak kerja sama. Maafkan Tante, Fania," lanjut Rahma.
"Bukankah waktu itu sudah saya peringatkan kalau jangan pakai uang pribadi Bu RT?" Suara Laras melemah, dia pun duduk kembali. Laras dan Fania iba melihat Rahma yang kebingungan.
"Saya niatnya 'kan bantu, Bu, tapi nggak tahu kalau ternyata seperti ini," balas Rahma dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca.
"Bagaimana, Ummi,?" tanya Fania pada umminya.
"Terserah kamu saja, Ummi juga bingung. Ummi yakin kalau kamu yang mengambil keputusan pasti sudah dipikirkan dan diperhitungkan. Beda sama Ummi. Kalau Ummi pasti nggak mau karena Ummi merasa dirugikan. Ummi pusing!" jawab Laras sembari memijit pelipisnya. Fania menarik napas dalam sebelum berbicara. Apa pun keputusan yang akan diambil, sama-sama merugikan baginya.
"Tolong, Fania, Tante tidak tahu lagi harus bagaimana. Sepertinya ada yang mempengaruhi mereka. Padahal mereka sudah sepakat akan membayar setelah gajian. Sekarang sudah tanggal lima, hanya beberapa orang saja yang membayar." Rahma berusaha memberi penjelasan agar Fania mau mengerti.
"Baiklah, Tante. Maaf, terpaksa Fania memilih mengembalikan uangnya saja. Tapi untuk uang DP sebelumnya, Fania baru bisa kasih besok karena Fania nggak ada uang tunai. Kalau Tante mau, uangnya bisa Fania transfer sekarang." Fania akhirnya mengalah.
"Tapi... nggak ada potongan, kan? Semacam denda gitu?" tanya Rahma cemas.
"Nggak, Tante. Meskipun dalam hal ini Fania merasa dirugikan, tapi Fania tidak akan mengambil satu rupiah pun uang Tante," jawab Fania dengan sabar.
"Terima kasih, Fania. Kalau begitu, ditransfer saja uangnya. Biar besok pagi bisa langsung Tante ambil." Rahma pun tersenyum senang.
"Baiklah, Tante. Fania ambil ponsel dulu di kamar."
Fania berjalan ke kamarnya dan mengambil ponsel. Dia kembali duduk dan meminta nomer rekening Rahma. Setelah Fania mentransfer sejumlah uang melalui aplikasi mobile banking, Rahma pun langsung pamit pulang.
Laras berdecak kesal, rasanya ingin memaki orang-orang di sekitarnya. Emosi di hatinya masih belum reda, meskipun Rahma sudah tak ada lagi di hadapannya.
"Ummi rasanya ingin pindah. Ummi nggak kuat lama-lama tinggal di sini ...." Belum selesai Laras meluapkan amarahnya, terdengar suara Bambang memberi salam.
"Assalamu'alaikum ...." Laras dan Fania pun menjawab salam. "Wa'alaikumussalaam ...." Mereka berdua kemudian mencium punggung tangan Bambang secara bergantian.
Bambang melihat wajah istrinya yang cemberut.
"Kenapa, Ummi?" tanya Bambang.
"Nggak ada apa-apa, Pak." Laras tak ingin bercerita saat suaminya baru pulang bekerja.
"Maaf kalau Abi pulang terlambat. Kalau ada apa-apa, terus terang saja sama Abi," ujar Bambang sembari tersenyum.
"Abi mau mandi? Ummi masakin air hangat dulu, ya?" Laras mengalihkan pembicaraan.
"Nggak usah, Ummi. Abi mandi air dingin saja. Badan Abi gerah banget, lengket semua rasanya."
"Ya, sudah kalau begitu. Ummi buatin madu hangat ya, Pak, biar segar badannya."
"Sudahlah, Ummi, Ummi lanjutkan ngobrol sama Fania saja. Abi mandi dulu." Bambang tak mau merepotkan istrinya. Apalagi wanita yang sangat dicintainya itu wajahnya tampak murung.
"Ummi mau siapin baju Abi saja kalau begitu." Laras beranjak dari duduknya dan berjalan ke kamar, begitu juga dengan Bambang yang pergi ke kamar mandi. Setelah selesai mandi, Bambang duduk menemani Fania yang duduk di ruang keluarga. Laras masih di dalam kamar, menangis karena kesal.
"Ummimu kenapa? Kok kelihatan kesal, sedih, nggak semangat." Bambang bertanya pada Fania yang sedang menatap layar ponselnya.
"Biasa itu, Pak, ibu-ibu di sini,” jawab Fania. Dia pun segera meletakkan ponselnya di atas meja.
"Ada apa lagi?" tanya Bambang penasaran.
"Hemm ... Bu RT baru saja dari sini, bilang kalau pesanan gamisnya dibatalkan."
"Astaghfirullah ... terus ummimu marah?"
"Nggak, ummi hanya kesal. Ya sudah Fania batalkan saja dan uang DP-nya Fania kembalikan."
"Yang sabar ya, insyaa Allah akan ada pembeli yang akan menggantikannya."
"Aamiin ... siap, Pak."
Laras mendengar percakapan suami dan putrinya, hatinya semakin kesal. Dia keluar kamar dan duduk di hadapan mereka dengan wajah yang sudah basah karena air mata.
"Abi sama Fania sama saja. Sabaarrr terus. Ummi nggak bisa, Pak. Ummi lama-lama nggak betah tinggal di sini. Ummi mau pindah!" Bambang beranjak dari duduknya kemudian mendekat dan duduk di samping Laras.
"Ummi, istighfar. Tinggal di manapun sama saja, Ummi. Sifat manusia ya seperti ini, bermacam-macam. Kita harus bisa bersabar dan tidak ambil pusing dengan ucapan mereka." Bambang berusaha menenangkan perasaan istrinya.
"Abi sama Fania sih enak, kalau siang nggak pernah ada di rumah. Kalau Ummi 'kan setiap hari menghadapi mereka. Mereka kadang ngomongin Fania di depan rumah. Apa itu nggak bikin hati Ummi panas? Ummi kesal lama-lama. Apa salah Fania sama mereka? Anak kita juga nggak pernah mengganggu mereka. Mengganggu orang tuanya saja nggak pernah. Ummi nggak terima, Pak!" Laras meluapkan emosi yang ada di hatinya. Dia kembali menangis. Bambang mendekap erat wanita yang sangat dicintainya itu. Sementara Fania diam tak bisa bersuara, hanya air mata yang tak mau berhenti berlinang, membasahi kedua pipinya.
"Silakan mereka kalau mau ngomongin Ummi, nggak apa-apa. Tapi jangan ngomongin Fania. Ummi lama-lama nggak kuat, Ummi ingin pindah biar tenang." Laras berkata di sela-sela tangisnya.
"Ummi, coba jawab pertanyaan Abi. Ummi ingin pindah ke mana?" tanya Bambang hati-hati. Perasaan Laras sedang sensitif.
"Ummi juga nggak tahu, Pak," jawab Laras terus terang.
Laras memang tak tahu dan tak ada rencana ingin pindah ke mana. Dia hanya ingin mengungkapkan semua isi hatinya. Bambang pun membiarkan Laras menumpahkan kekesalannya agar hatinya lega. Setelah tangisnya reda, Laras pun mengurai pelukan. Dia menghela napas Panjang kemudian mengembuskannya perlahan, menenangkan perasaan dan pikirannya.
"Maaf, kalau Ummi bicara aneh-aneh. Ummi lagi kesel saja. Nggak usah dipikirkan omongan Ummi tadi. Maafkan Ummi ya, Fania." Fania mengangguk sembari mengusap air matanya. Dia berjalan mendekat kemudian memeluk umminya.
"Ummi nggak salah, Fania yang harusnya minta maaf. Fania sangat bersyukur punya Ummi. Maaf kalau Fania belum bisa membuat Ummi bahagia."
"Nggak, Nak, Ummi bahagia punya anak seperti kamu. Sekali lagi maafkan Ummi." Laras mengecup kening putrinya dengan lembut.
"Sudah, ayok siapa yang mau menemani Abi makan. Abi lapar." Bambang berusaha mencairkan suasana. Dia tak ingin kedua wanita yang disayanginya larut dalam kesedihan.
"Ayok, kita temani Abi makan, Ummi. Tapi Fania nggak makan, Fania mau ngemil saja sambil minum teh lemon hangat. Apa Ummi dan Abi mau?" Bambang dan Laras mengangguk dan tersenyum.
"Mau, Nduk. Buat tiga sekalian," jawab Bambang.
"Siap, Pak."
Akhirnya Laras dan Fania menemani Bambang makan malam. Mereka duduk bertiga dan berbincang santai, tanpa menyinggung masalah yang membuat Laras emosi. Sesekali ekor mata Fania memandang wajah umminya yang kembali ceria dan abinya yang selalu membuat umminya bahagia. Dia sangat bersyukur Laras selalu membelanya, bukan menyalahkan. Begitu juga dengan Bambang yang selalu mengingatkannya tentang rasa ikhlas dan sabar.
******
Pagi harinya, Fania dan Bambang bersiap untuk berangkat bekerja. Laras mengantar mereka sampai di depan pagar. Namun, sebelum Bambang melajukan kendaraan roda duanya, terdengar suara seseorang memanggil nama Fania.
"Fania, tunggu!!"
Bambang, Fania dan Laras memandang ketiga orang yang sedang berjalan dengan cepat ke arah mereka. Fania mendesah lirih, mengucapkan istighfar, begitu juga Laras dan Bambang. Mereka tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Kamu itu lho, Fania, sekali-sekali bantuin tetangga kenapa, sih! Katanya pemilik toko, kenapa nggak diterima saja uang muka kemarin. Kalau gamisnya datang, kita bayarnya nyicil. Pasti kita bayar, kok!" teriak Rani dengan jari telunjuk tertuju pada gadis bercadar itu.
"Iya, betul. Kita pasti bayar. Anggap saja kita beli kredit. Masak kalah sama Bu Wiwin, dia bisa mengkreditkan baju dan kita bayarnya tiga bulan. Lha kamu yang punya toko di tengah kota kenapa nggak bisa?" Sari pun menimpali ucapan Rani.
"Perawan itu jangan pelit-pelit, nanti jodohnya jauh." Mirna--tetangga yang rumahnya di samping Rahma, ikut berbicara.
Belum hilang keterkejutan Fania, sebuah mobil mewah tiba-tiba berhenti di depan mereka. Seorang wanita cantik dan anggun berpakaian syar'i keluar dari mobil dan berjalan ke arah mereka. Dia tersenyum pada Bambang dan juga Fania kemudian mengucap salam.
"Assalamu'alaikum ....
Wa'alaikumussalaam ...."
"Pagi-pagi sudah pada kumpul. Ada acara apa ini?" Wanita itu menyapa mereka dengan ramah.
"Ini lho Ummi. Kita sudah pesan gamis buat acara pengajian akbar di masjid agung dua minggu lagi. Ternyata sama Fania dibatalkan hanya karena uang DP kita kurang. Kita ini 'kan tetangganya, apa nggak ada toleransi?" Rani bersemangat menceritakan keburukan Fania pada wanita itu.
"Memang DP-nya kurang berapa, Fania? Biar Ummi bayar lunas semuanya!"
Bambang mendekat dan mengajak masuk istri, anak, dan juga wanita itu. Terpaksa dia ijin datang terlambat ke kantor. Dia ingin mengurus masalah keluarganya terlebih dahulu. Apalagi dengan kedatangan wanita itu yang menawarkan bantuan jutaan rupiah, pasti mengandung maksud tertentu. Sementara trio kwak-kwak yang sudah mengacaukan suasana pagi putrinya, terpaksa harus pulang. Bambang mengusir mereka dengan sopan, tanpa kemarahan apalagi cacian. Setelah duduk di ruang tamu, Bambang pun memulai percakapan.
"Maaf, Mbak Laila, tolong jangan campuri urusan putri saya."
Wanita itu adalah Laila--ibunya Fauzan. Dia datang ke rumah Fania untuk meminta maaf dan berterima kasih karena Fania sudah mengembalikan gelang permatanya. Selain itu,Laila juga ingin berusaha mendekati Bambang agar mau menjadikan Fauzan menantunya.
"Kenapa Bambang? Apa kamu masih dendam padaku? Bukankah dulu aku sudah meminta maaf padamu? Aku sangat menyesal, Bambang," sahut Laila dengan pandangan matanya yang sendu.
"Bukan masalah itu, Mbak. Saya tidak pernah mengungkit masa lalu, yang saya pikirkan adalah putri saya. Biarkan dia menyelesaikan masalahnya sendiri. Saya juga nggak mau masyarakat sini semakin bersikap kurang ajar padanya dan seenaknya sendiri."
Bambang membalas ucapan Laila dengan tenang. Fania dan Laras hanya diam mendengarkan. Pandangan mata Laras hanya tertuju pada Laila, menahan rasa cemburu.
Bagaimana Laras tidak cemburu? Wajah Laila begitu cantik meskipun usia mereka hampir sama. Kulit putih, hidung mancung, alis tebal, bulu mata panjang dan lentik, payudaranya juga besar membuat Laila terlihat semakin menarik. Gamis dan khimarnya pun dari brand terkenal, penampilan Laila sangat elegan. Siapa pun yang memandangnya, terutama pria, pasti akan tertarik.
"Aku hanya ingin membantu Fania biar nggak rugi. Apa itu salah? Justru jika Fania memberikan pesanan mereka hanya dengan membayar DP yang mereka punya, bukankah mereka akan menghargai Fania?" Laila berusaha membujuk Bambang agar mau menerima bantuannya.
"itu pendapat Mbak, karena Mbak Laila tidak tahu seperti apa sifat mereka. Semakin dibantu, semakin tak tahu diri," jelas Bambang.
"Lalu, kenapa kalian masih tinggal di kampung ini? Apa mau aku carikan tempat tinggal yang lebih baik, jauh dari masyarakat toxic? Aku bisa membantumu."
Laras berdecih lirih mendengar ucapan Laila. Wanita keturunan Arab itu terlihat sangat bersemangat memberi bantuan pada suaminya. Bahkan Laila sama sekali tak memandang ke arahnya. Jangankan memandang, melirik pun tidak.
"Terima kasih sudah mau peduli dengan keluarga saya. Tapi saya masih mampu menghidupi mereka." Bambang terus berusaha menolak tawaran Laila, tetapi wanita itu tak mau menyerah begitu saja.
"Aku bukan bermaksud merendahkanmu, Bambang. Aku hanya ingin membantu kalian. Sebentar lagi kita akan menjadi keluarga. Bukankah begitu, Fania?" Pertanyaan Laila membuat Fania terkejut.
"Maksud, Ummi?" tanya Fania tak mengerti.
"Fauzan sangat memujamu. Ummi datang ke sini untuk Fauzan," jawab Laila terus terang. Bambang menggelengkan kepala.
"Maaf, Mbak Laila. Saya rasa kami tidak akan mungkin bisa menjadi bagian dari keluarga kalian. Bukankah kakek nenek Anda selalu menentang perjodohan di luar kebangsaan kalian?"
Bambang yang pernah bekerja pada keluarga Laila selama bertahun-tahun, sudah hafal dengan tradisi keluarga Laila. Wanita yang berparas cantik itu pun menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Bambang.
"Aku akan memperjuangkan Fania untuk Fauzan. Aku rela melakukan semuanya untuk putraku satu-satunya. Apapun akan aku lakukan. Kalau hanya membayar sepuluh juta untuk set gamis yang diinginkan ibu-ibu kampung sini, itu bukan sesuatu yang besar. Asalkan Fania bahagia dan bisa menerima Fauzan."
"Jadi bantuan Anda itu ditukar dengan Fania?" tanya Laras dengan geram. Bibir Laras sudah tak tahan lagi ingin ikut bersuara.
"Bukan ... bukan begitu maksudku. Tolong jangan salah paham dulu." Laila memandang Laras dengan tatapan memohon.
"Mbak Laila, saya sangat mengenal keluarga Anda. Silakan rundingkan dulu jika ingin mempersunting putri saya. Jika keluarga besar Anda menerima, datanglah lagi ke rumah ini. Saya akan menerima dengan senang hati. Tapi soal diterima atau tidak, saya menyerahkan sepenuhnya pada Fania." Bambang mencoba mencairkan suasana yang mulai tegang. Istrinya sudah terlihat menahan emosi. Laila merasa lega mendengar ucapan Bambang.
"Tolong, Fania. Jangan menerima lamaran dari orang lain dulu. Fauzan benar-benar menginginkanmu jadi istrinya. Bahkan dia ingin langsung menikah seandainya kamu menerimanya." Laras berdecak kesal tapi Laila tak menghiraukannya. Fania menarik napas dalam sebelum bicara.
"Ummi, kalau jodoh tidak akan ke mana. Meskipun banyak halangan, pasti kami akan bersama. Tapi kalau kami memang bukan jodoh, jalan yang mudah pun tak akan bisa menyatukan kami." Laila mengangguk pasrah.
"Kamu benar. Fania, Ummi minta maaf, ya. Ummi sudah menghinamu dan merendahkanmu. Ummi menyesal, Fania." Laila sangat menyesali ucapannya saatpertama kali datang menemui gadis bercadar itu.
"Iya, Ummi. Fania sudah memaafkan Ummi," balas Fania dengan ramah. Dia tak pernah menyimpan dendam.
"Lalu bagaimana dengan pesanan set gamis itu?" Laila berharap Fania mau menerima bantuannya.
"Maaf, Ummi, Fania berterima kasih Ummi berniat baik membantu. Tapi sekali lagi Fania mohon maaf, seperti yang disampaikan Abi, Fania juga tidak setuju kalua Ummi membayarkan gamis mereka. Sekali lagi, Fania mohon maaf," jawab Fania dengan sopan. Laila mengangguk mengerti.
"Baiklah kalau begitu. Tapi kalau kamu berubah pikiran, tolong hubungi Fauzan." Laila masih tak mau menyerah.
"Insyaa Allah Fania tidak berubah pikiran. Sekali lagi terima kasih tawaran Ummi," tegas Fania.
"Kalau begitu, Ummi pamit dulu. bambang, maaf kalau kedatanganku mengganggu. Bu ... maaf dengan Bu siapa?" tanya Laila pada Laras.
"Laras!" jawab Laras singkat.
"Bu Laras, saya mohon maaf kalau ada kata-kata yang membuat Anda tersinggung." Laila mengulurkan tangan mengajak Laras bersalaman.
"Ya, sama-sama!" balas Laras dengan ketus.
Laila berjalan menuju mobil mewahnya, diantar Fania. Bambang dan Laras hanya memandang mereka dari teras rumah. Laila menyadari, sikap dan cara bicara Fania memang sangat lembut dan sopan. Bahkan Fania mau mengantar dan menunggu, sampai kendaraan roda empatnya melaju meninggalkan rumah. Laila mengendarai mobilnya dengan perlahan. Jalan di kampung Fania tidak lebar dan tidak sempit. Sangat pas untuk dua kendaraan roda empat jika berpapasan. Apalagi di pagi hari seperti ini, banyak ibu-ibu yang berkumpul sambil menyuapi anaknya yang masih balita. Laras berkendara dengan hati-hati dan juga waspada. Tepat di ujung gang, terlihat oleh Laila beberapa orang wanita menghadang jalannya. Kening Laila berkerut memperhatikan mereka melalui kaca mobilnya. Laila terpaksa keluar dari mobil untuk menemui mereka. Siapa lagi kalau bukan Rani, Sari, Mirna, ditambah Mak Ijah. Mereka sengaja menunggu Laila pulang dan menghadangnya.
"Bagaimana, Ummi jadi membayar semua set gamis ibu-ibu kampung sini, kan?" tanya Rani dengan ramah.
"Mohon maaf, Ibu-ibu semuanya. Ternyata jumlahnya cukup banyak jadi saya tidak bisa membantu kalian."
Laila sengaja berbohong. Dia tak mau menjelekkan Fania di depan mereka. Namun, mereka tak percaya begitu saja. Ekspresi wajah mereka langsung berubah kesal.
"Bilang saja Fania menolak bantuan Ummi. Anak perawan kok gitu banget, sih! Pakaiannya saja alim tapi nggak punya perasaan," sahut Mak Ijah kesal.
"Fania tidak menolak, tapi saya yang menolak membantu kalian. Lagi pula, Fania itu calon menantu saya. Jadi saya akan lebih menuruti keinginan Fania." Mendengar ucapan Laila, keempat orang itu tertawa.
"Calon menantu? Apa Ummi nggak menyesal menjadikan Fania menantu? Apa Ummi sudah pernah lihat wajah Fania?" tanya Sari penasaran.
"Hemm ... belum, sih." Laila menjawab dengan jujur.
"Kalau belum, kenapa mau menjadikan Fania menantu? Dia itu wajahnya jelek, kulitnya banyak bekas cacat air. Nggak ada cantik-cantiknya."
Laila terkejut mendengar penjelasan Mak Ijah. Dia berusaha tak terpengaruh dengan ucapan mereka.
"Memangnya ibu-ibu sudah pernah melihat wajah Fania?" Mereka semua menggelengkan kepala, tak bisa menjawab pertanyaan Laila.
"Tapi, kecilnya Fania begitu. Dia kurus, dekil, kulitnya hitam dan banyak bekas cacat airnya. Ummi 'kan cantik, apa nggak malu punya menantu seperti Fania?" Rani tak mau kalah dan berusaha mempengaruhi Laila.
Tanpa sepengetahuan mereka, seseorang tak jauh dari mereka, memperhatikan dan mendengar semua percakapan Laila dengan keempat wanita itu. Dia pun tak terima dan berusaha membela fania. Alif yang akan berangkat bekerja, sedang duduk di atas motor sportnya, menunggu seorang teman. Dia pun turun dari motor dan berjalan mendekat.
"Jangan percaya sama mereka, Tante. Mereka semuanya biang gosip!" Teriakan Alif sangat mengejutkan mereka.
"Hei, Alif, kamu itu nggak usah ikut-ikutan. Kerja sana yang benar!" sahut Rani tak terima.
"Kamu kenal sama Fania?" Laila heran melihat pemuda tampan itu begitu membela gadis bercadar itu.
"Nggak kenal lagi. Dia juga fans-nya Fania makanya selalu dibela!" Sari memberi jawaban.
"Kasihan sekali kamu, Alif. Percuma kamu membela Fania, nggak akan dapat apa-apa. Lihat Ummi ini, kaya raya, mobilnya saja mewah. Anaknya pasti tampan kearab-araban. Nggak mungkin kamu menang!" cibir Mak Ijah.
"Kita lihat saja nanti. Alif pantang menyerah sebelum berperang!" tegas Alif tak mau kalah.
Laila memijit pelipisnya melihat tingkah Alif. Apalagi melihat Alif yang berkulit putih dengan wajah oriental. Alif pun memiliki tubuh yang tinggi dan tegap. Dalam hati, Laila mengakui ketampanan pemuda yang ada di hadapannya membuat gairahnya muncul. Alif pun juga tertarik dengan kecantikan Laila, tubuh Laila juga sangat sexy dimata alif. Setelah ibu-ibu itu pergi Laila masih tinggal berdua dengan alif. Laila mengajak alif berkenalan bahkan mereka saling bertukar nomer.
"Hemm ... ternyata Fauzan banyak saingannya. Nggak cuma yang berwajah Arab, yang seperti Oppa Korea juga ada ...."
******
"Laila itu kenapa sih datang-datang terus? Bikin Ummi kesal saja!" Laras merasa kesal dengan kedatangan Laila. Dia masuk ke dalam kamar dan menjatuhkan tubuhnya di tepi ranjang dengan kasar.
"Kesal apa cemburu?" Bambang tersenyum dan menggoda istrinya.
"Memangnya ummi nggak boleh cemburu?"
"Ya boleh saja, yang penting nggak pakai marah-marah." Bambang mencubit gemas hidung mungil istrinya.
"Abi suka 'kan si Laila sering datang ke sini?" Rasa cemburu Laras semakin menjadi.
"Astaghfirullah ... jangan mikir macam-macam, ummi. Laila juga punya suami ...."
"Oh kalau dia janda, Abi mau?" Laras semakin kesal mendengar ucapan suaminya.
"Astaghfirullah ... Laila ke sini 'kan tujuannya buat Fania, ummi. Dia ingin melamar putri kita buat Fauzan. Nggak ada hubungannya sama Abi." Bambang berusaha mereda kemarahan Laras.
"Ummi yakin ada hubungannya dengan Abi. Kemarin saja waktu belum tahu kalau Fania anaknya Abi, Laila marah-marah, menghina, jelek-jelekin Fania. Eh waktu tahu Abi, kok dia jadi baik dan setuju kalau Fauzan berhubungan sama Fania. Jelas itu ada hubungannya." Bambang menghela napas dalam, berusaha sabar menghadapi kecemburuan istrinya.
"Ya, mungkin kebetulan saja, Ummi. Kita nggak tahu juga hatinya orang, bisa jadi berubah karena nggak mau anaknya sedih."
"Jadi Abi setuju kalau Fania sama Fauzan?" Emosi Laras mulai mereda.
"Ummi sendiri 'kan juga senang kalau punya menantu Fauzan. Bener, kan?" Bambang mengingatkan Laras yang dulu pernah mendambakan Fauzan menjadi menantunya.
"Itu dulu, tapi setelah tahu Laila itu mantannya Abi, Ummi jadi malas. Ummi nggak mau punya menantu Fauzan." Bambang kembali menggelengkan kepala mendengar ucapan istrinya.
"Astaghfirullah ... Laila itu bukan mantan Abi, Ummi. Abi nggak punya mantan."
"Bukan mantan, tapi pernah sayang. Sama saja!"
"Terserah ummi saja, Abi mau berangkat. Sudah terlambat berapa jam ini?" Bambang mengalah karena istrinya tak pernah mau kalah.
"Semua 'kan gara-gara Laila itu! Pagi-pagi sudah bertamu. Apa dia nggak ada kerjaan di rumahnya? Paling juga pengen cepet-cepet ketemu Abi." Bambang tersenyum kemudian mencuri ciuman di pipi Laras.
"Sudah ya, Sayang. Abi libur saja kalau ummi masih marah-marah. Abi mau menemani ummi seharian." Laras berdecak kesal, Bambang semakin menggodanya.
"Ish, Abi ini! Iya... iya ... ummi minta maaf. Abi berangkat saja. Kasihan Fania sudah menunggu di teras."
Laras selalu seperti itu, mudah marah tetapi mudah luluh dengan sikap suaminya. Bambang memeluk dan mengecup kening istrinya dengan lembut.
"Bener nih, nggak mau ditemani seharian?"
"Abi ini! Bisa bahaya kalau Abi di rumah seharian nggak ada Fania." Bambang terkekeh mendengar jawaban Laras.
"Ya sudah, Abi berangkat dulu. Jangan lupa kunci pintunya. Di rumah saja nggak usah ke mana-mana. Kalau butuh apa-apa, nanti Abi saja yang belikan waktu pulang kerja. Ummi telepon saja."
"Iya, abi. Ummi mau lihat YouTube kajian saja di rumah," sahut Laras.
"Masyaa Allah, istriku memang the best."
"Mulai, deh, Abi ini. Nggak malu sama umur." Bambang kembali tertawa.
"Abi berangkat dulu, Ummi. Assalamu'alaikum ...."
"Wa'alaikumussalaam ...."
Bambang dan Fania segera berangkat bekerja karena hari sudah beranjak siang. Laras pun kembali pada aktivitas rumah tangganya. Setelah sampai di toko, terlihat oleh Fania Citra dan Mawar yang sudah melayani beberapa orang pembeli. Fania segera berjalan menuju ruangannya kemudian fokus pada layar laptop yang sudah menyala. Beberapa saat kemudian, Citra datang mendekat.
"Mbak, ada ibu Maryam mau bertemu," ujar Citra.
"Suruh masuk sini saja, Citra."
"Baik, Mbak."
Maryam sudah mengirim pesan pada Fania sebelum dia berangkat. Dia pun menerima kedatangan Maryam dengan senang hati. Maryam adalah salah satu pelanggan yang menyenangkan dan tak pernah rewel.
"Assalamu'alaikum, Fania. Apa Ibu mengganggu?" sapa Maryam sembari mengajak Fania berjabat tangan.
"Wa'alaikumussalaam, nggak kok, Bu. Silakan duduk," jawab Fania dengan sopan. "Terima kasih, Fania." Fania mengangguk dan tersenyum di balik cadarnya.
"Ada yang bisa Fania bantu, Bu?"
Maryam menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan gadis bercadar itu.
"Fania, tolong bicara terus terang pada Ibu. Di mana kamu kenal dengan Shella?"
"Gimana, ya, Fania nggak enak membicarakan orang," jawab Fania terus terang.
"Tolong, Fania, Ibu tidak punya siapa-siapa lagi yang bisa Ibu percaya kecuali kamu. Bagas sudah cinta mati sama Shella, tapi terus terang saja Ibu kurang setuju. Ibu terpaksa karena Bagas selalu mengancam akan meninggalkan rumah kalau Ibu nggak merestui hubungannya dengan Shella." Maryam mulai menceritakan masalahnya dengan Bagas--putranya.
"Maaf, Bu, Fania sebenarnya berat sekali menceritakan ini..."
"Ibu mohon ... tolong Ibu, Fania," sahut Maryam dengan pandangan memohon.
"Hemm, sebenarnya Fania nggak kenal sama Shella. Fania hanya bertemu satu kali saja waktu di rumah calon suaminya. Itu pun karena mereka sudah memutuskan untuk membatalkan pernikahan dengan Shella, jadi bukan karena Fania, Bu. Fania ke rumah calon suaminya karena mengembalikan dompet Ummi Aminah yang tertinggal di sini."
Fania menjelaskan dengan jujur, tanpa ada yang ditutupi.
"Jadi memang benar Shella itu sudah mau menikah?" Fania terpaksa mengangguk mengiakan.
"Iya, Bu. Pernikahan batal karena pihak laki-laki sering melihat Shella pergi berduaan bersama putra Ibu. Itu yang mereka bilang pada Shella karena Fania juga ada di situ waktu mereka bertengkar." Maryam percaya dengan cerita Fania.
"Menurutmu, apa yang harus Ibu lakukan sekarang? Belum apa-apa, Shella sudah terbukti memfitnah kamu. Ibu takut kalau jadi menantu Ibu nantinya seperti apa? Tapi kalau Ibu melarang atau menegur Bagas, pasti dia nggak peduli. Justru Ibu yang kena marah," ucap Maryam sedih.
"Do'akan saja yang terbaik buat putra Ibu. Jangan meremehkan do'a, apalagi do'a orang tua pada putra putrinya itu tidak tertolak. Sabar, ya, Bu. Semoga putra Ibu mendapatkan hidayah dan bersikap baik pada Ibu." Fania berusaha memberi saran dengan hati-hati, takut Maryam tersinggung.
"Terima kasih, Fania. Ibu sebenarnya bingung harus menerima Shella atau tidak. Tapi melihat Bagas yang terlihat sangat membelanya, Ibu takut untuk tidak menyetujuinya." Kedua bola mata Maryam mulai berkaca-kaca mengingat sikap putranya.
"Fania paham, semua Ibu ingin yang terbaik. Kembali pada Allah, pasrahkan semua urusan. Kalau memang jodoh, bagaimanapun Ibu berusaha memisahkan mereka, pasti mereka tetap bersatu. Begitu pun jika bukan jodoh, mereka akan terpisah, semudah membalikkan telapak tangan. Yakinlah dengan do'a jika Ibu sudah berusaha mengingatkannya." Fania memandang iba wanita di hadapannya.
"Kamu memang gadis yang luar biasa, Fania. Terima kasih sudah membuat hati Ibu tenang. Insyaa Allah Ibu akan menuruti nasihatmu. Ibu akan berdo'a terutama di sepertiga malam." Fania mengangguk setuju.
"Insyaa Allah, Allah akan mendengar dan mengabulkan do'a Ibu."
"Maaf, kalau Ibu mengganggu waktumu. Oh ya, Fania, anggota pengajian di daerah tempat tinggal adikku ingin memesan gamis 40 set. Apakah bisa pesan untuk minggu depan?" Pertanyaan Maryam membuat kedua bola mata indah Fania berbinar.
"Model dan warnanya bagaimana?" tanya Fania bersemangat.
"Mereka percaya pada pilihanmu," jawab Maryam sembari tersenyum.
"Kalau Ibu berkenan, ada pembatalan pemesanan 50 set gamis. Ini model dan warnanya. Insyaa Allah beberapa hari ini sudah ready. Barangkali ibu-ibu pengajian di daerah adik Ibu mau, Fania sangat bersyukur sekali." Fania menunjukkan foto set gamis berwarna mauve yang ada di ponselnya pada Maryam.
"Ini juga bagus, insyaa Allah mereka pasti mau. Bagaimana bisa mereka membatalkan pesanan dalam jumlah besar?" tanya Maryam geram.
"Qadarullah ... semua bisa terjadi atas kehendak Allah. Seperti Ibu yang baru saja menyampaikan ada pesanan 40 set gamis ini, insyaa Allah set gamis yang sudah dibatalkan adalah memang sudah jatah mereka," jawab Fania dengan tenang.
"Masyaa Allah, kamu benar. Akan Ibu kabari secepatnya, Ibu pulang dulu. Sekali lagi terima kasih atas waktunya."
"Sama-sama, Bu."
Maryam memeluk dan mencium kedua pipi Fania sebelum beranjak pergi. Fania membalasnya dengan penuh kasih. Setelah Maryam pergi, Fania kembali melanjutkan pekerjaannya.
Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang. Setelah makan dan menjalankan kewajiban empat rakaat, Fania kembali duduk di ruang kerjanya. Dia memeriksa laporan penjualan hari ini. Fania tersenyum dan tak henti-hentinya mengucap syukur. Tak lama kemudian, Mawar masuk ke dalam ruangannya dan menyampaikan sesuatu yang mengusik perasaannya.
"Mbak, ada cowok di depan, ingin bertemu. Namanya Mas Fauzan."
"Mawar, Citra, kalian nggak ada acara, kan?" tanya Fania.
"Nggak ada, Mbak." Kedua gadis itu menjawab dengan serempak.
"Kalau begitu, nanti setelah sholat ashar, kalian mau menemani Fania?"
"Ke mana, Mbak?" tanya Mawar penasaran.
"itu tadi teman Fania mau nraktir makan. Fania nggak mau kalau hanya berdua, makanya dia ngajak kalian. Nanti pulangnya diantar lagi ke sini, bagaimana?"
"Mau, Mbak," jawab Mawar senang,
"Siap, Mbak." Citra mengangguk mengiakan.
"Alhamdulillah, terima kasih, ya."
"Sama-sama, Mbak."
Setelah selesai sholat dan menutup toko, mereka berjalan mendekati mobil Fauzan yang sudah menunggu. Mereka bertiga membuka pintu tengah, membuat Fauzan kecewa.
"Fania, kamu nggak duduk di depan?"
"Kamu mau kami semua turun?" ancam Fania, membuat Fauzan tak berkutik.
"Iya, deh. Maaf...."
Fauzan melajukan kendaraan roda empatnya dengan kecepatan sedang. Sesekali matanya melirik Fania melalui kaca spion. Fauzan tersenyum bahagia. Sementara Fania yang merasa diperhatikan, mengalihkan pandangannya ke arah luar jendela. Dia mendesah lirih, menenangkan perasaannya yang tiba-tiba gelisah. Sesampainya di sebuah restoran yang cukup mewah, mereka berjalan masuk beriringan dan duduk saling berhadapan. Fania terpaksa duduk di hadapan Fauzan. Citra duduk di samping Fauzan, berhadapan dengan Mawar.
"Kalian pilih saja, Fauzan mau ke kamar mandi sebentar. Fania, samakan saja pesanan Fauzan denganmu.”
Fauzan memberikan lembaran menu pada Fania sebelum beranjak pergi. Fania mengangguk mengerti. Seorang pramusaji menunggu dan mencatat semua pesanan mereka. Seorang pemuda tampan menyadari kedatangan Fania dan kedua karyawannya. Dia tersenyum kemudian berjalan mendekat dan menyapa gadis bercadar itu.
"Assalamu'alaikum, Fania."
"Wa'alaikumussalaam ... Eh, Fahri. Kamu kok di sini?" Fania pun tersenyum dan bertanya pada Fahri dengan heran.
"Iya, Fahri bekerja di sini," jawab Fahri dengan tenang. Fahri terpaksa berbohong karena dia selalu seperti itu. Dia bukan pemuda yang bangga dengan kekayaan yang dimiliki orang tuanya.
"Ooh ... Fania pikir kamu punya usaha sendiri. Selama ini Fania perhatikan, waktu kerjamu santai, tidak seperti seorang karyawan yang harus berangkat pagi dan pulang sore tepat waktu." Fania yakin Fahri tidak mau berkata jujur padanya, terapi Fania tidak memaksa.
"Kalian hanya bertiga? Apa ada janji?" Fahri duduk di hadapan Fania dan berusaha mengalihkan pembicaraan mereka. Fahri tahu, Fania bukan gadis yang bodoh dan ucapan Fania membuat Fahri merasa bersalah.
Fauzan keluar dari kamar mandi dan berjalan ke arah mereka. Pandangan matanya langsung tertuju pada Fahri yang duduk di kursinya, berhadapan dengan gadis pujaannya. Fauzan mempercepat langkahnya karena kesal dan cemburu.
"Fania tadi ke sini sama ...." Fania belum selesai bicara, Fauzan sudah berdiri di hadapan mereka. Dia pun berkata pada Fahri dengan nada tegas, sedikit emosi.
"Ya sudah, silakan kalian nikmati hidangannya. Fahri mau ke dalam dulu." Fahri hendak beranjak pergi tapi Fania mencegahnya.
"Kenapa nggak ikut makan sekalian? Mumpung ditraktir sama Fauzan. Boleh 'kan kalau Fahri ikut kita makan di sini, Zan?" tanya Fania pada Fauzan.
"Eh... i... iya, deh. Boleh!" Fauzan terpaksa mengiakan. Tak mungkin dia menolak permintaan gadis pujaannya meskipun dalam hati tak setuju.
Fahri menepuk pundak Fauzan dengan perlahan. Dia mengambil kursi dan duduk di dekat Fauzan dan Fania. Fahri tersenyum senang melihat Fauzan yang cemberut.
"Terima kasih, ya, Zan. Kalau rame-rame begini 'kan lebih nikmat makannya. Betul nggak, Citra, Mawar?" tanya Fania pada kedua gadis di sampingnya.
"Betul, Mbak!" jawab mereka berdua serempak.
"Terima kasih, ya, Zan," ucap Fahri dengan senyuman menggoda. Dia tahu Fauzan kesal padanya.
"Ya!" sahut Fauzan ketus. Fania menggelengkan kepala melihat tingkah kedua pemuda itu.
Setelah pesanan datang, mereka makan bersama. Sesekali Fania mengajak bicara mereka secara bergantian. Terkadang mengajak bicara Mawar dan Citra, terkadang mengajak bicara Fauzan dan juga Fahri. Fania bukan tipe gadis yang hanya diam saat makan, seperti orang-orang pada umumnya. Bambang selalu membuat suasana santai dan ceria di mana pun dan kapan pun, bahkan saat makan. Berbicara ketika makan ternyata hal yang biasa dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, bukan adab yang tercela sebagaimana disangka oleh Sebagian orang. Bahkan berbicara ketika makan adalah adab yang mulia karena menimbulkan kebahagiaan bagi orang-orang yang makan. Begitu yang diajarkan Bambang pada istri dan putrinya. Makanan di piring mereka pun habis tak bersisa. Fania memuji masakan yang ada di restoran itu di hadapan mereka. Begitu pun dengan Fauzan. Fahri hanya tersenyum mendengarnya.
"Ayam bakarnya sedap sekali. Fania suka," ucap Fania sembari mengacungkan kedua ibu jari tangannya.
"Fauzan juga suka. Sayur asem dan gurami gorengnya juga mantap. Apalagi sambalnya. Padahal dengar-dengar yang punya restoran ini bukan orang Jawa lho," sahut Fauzan.
"Oh ya, bisa-bisa yang punya restoran keturunan Arab seperti kalian." Fania membalas ucapan Fauzan dengan senyuman. Kedua bola matanya melirik ke arah Fahri.
"Nggak mungkin, lah. Mana ada orang Arab bisa masakan Jawa seenak ini. Kalau owner restoran ini memang orang Arab, Fauzan janji akan belajar masak dari dia!" tegas Fauzan, membuat Fahri ingin tertawa.
"Beneran lho, ya? Mawar dan Citra, kalian berdua saksinya. Kita lihat ke depannya nanti. Sampai yang punya restoran ini owner-nya orang Arab, Fauzan akan belajar memasak di sini!"
Fania berkata pada kedua karyawannya dengan menahan senyum di balik cadarnya. Melihat Fahri senyum-senyum sendiri, Fania semakin yakin restoran tempat mereka makan adalah milik Fahri atau Aminah.
"Siap, Mbak." Mawar dan Citra kembali menjawab dengan serempak.
"Ngapain kamu senyum-senyum? Iri bilang, Bos!" Fauzan memandang Fahri dengan tajam.
"Ngapain juga Fahri iri, Fahri sudah jago masak. Nggak perlu belajar seperti kamu." Fahri berkata dengan tenang.
"Hebat kamu, cowok tapi bisa masak." Fania menimpali ucapan Fahri.
"Fauzan juga bisa masak, tapi masakan modern. Bukan masakan Jawa seperti ini," sahut Fauzan tak mau kalah.
"Masyaa Allah, kalian berdua memang keren." Fania tersenyum di balik cadarnya melihat tingkah Fauzan.
"Iya, dong!" Fahri dan Fauzan menjawab dengan serempak, membuat Fania menggelengkan kepala.
Mawar dan Citra terkekeh melihat tingkah kedua pemuda tampan itu. Fania hanya tersenyum, apalagi mendengar janji Fauzan yang terkesan kekanak-kanakan. Fania pun yakin kalau Fahri pemilik restoran, bukan hanya karyawan.
"Fauzan, tadi katanya mau ada yang kamu bicarakan. Ada apa?" Fania teringat dengan tujuan Fauzan mengajaknya.
"Oh itu, Ummi cerita katanya ada pembatalan pesanan 50 set gamis dari ibu-ibu pengajian di kampungmu, ya?" Fauzan bertanya dengan terus terang.
"Memangnya kenapa?" Fania sudah menduga tujuan Fauzan bertanya seperti itu, tetapi dia ingin memastikan.
"Kalau boleh Ummi dan Fauzan mau bantu kamu, biar kami yang beli semua pesanan gamis itu," jawab Fauzan.
"Buat siapa?" tanya Fania penasaran.
"Ada, deh. Yang penting kamu nggak rugi," jawab Fauzan yakin.
"Alhamdulillah Fania nggak rugi, kok. Alhamdulillah juga sudah ada yang ganti." Fania membalas ucapan Fauzan dengan sabar, tanpa emosi.
"Oh, ya? Siapa?" tanya Fauzan tak percaya.
"Yang pasti itu semua rizqi dari Allah yang tak disangka-sangka. Lagi pula, semua itu juga bukan salah Fania. Mereka sendiri yang minta uang DP dikembalikan karena takut nggak mampu membayar kalau barangnya datang. Apa Fania mau marah-marah sama mereka? Fania yakin semuanya kehendak Allah, rizqi sudah ada yang mengatur. Yang pasti, Fania tidak mau dikasihani!" tegas Fania.
"Ummi nggak berniat mengasihanimu, hanya membantu." Fauzan tak ingin gadis pujaannya salah paham.
"Iya, Fania paham. Terima kasih atas niat baik Ummi Laila," balas Fania dengan lembut.
Fania memahami niat baik Laila dan Fauzan, tetapi Fania tidak ingin berhutang budi pada mereka. Fahri hanya diam dan mendengarkan percakapan Fauzan dan Fania, begitu juga dengan Mawar dan Citra.
"Baiklah, kalau begitu. Fauzan dan Ummi hanya berniat menolongmu, jangan salah paham." Fania mengangguk mengerti.
"Sekali lagi terima kasih. Kalau sudah tidak ada lagi yang mau dibicarakan, lebih baik kita segera pulang," ajak Fania dan Fauzan pun setuju.
"Baiklah kalau begitu. Fauzan mau ke kasir dulu."
Fauzan beranjak menuju meja kasir untuk membayar pesanan makanan mereka. Fahri membiarkan Fauzan membayar meskipun dia bisa memberi gratis. Fania hanya memperhatikan Fahri yang senyum-senyum sendiri sambil memandang Fauzan di meja kasir.
"Fahri ... Fahri ... Fania tahu kamu ini pemilik restoran. Bisa-bisanya kamu seperti itu sama Fauzan."
Fahri terkekeh mendengar sindiran Fania. Namun, belum sempat Fahri membalas ucapan Fania, seorang gadis cantik dengan tubuh tinggi dan ramping berjalan mendekat dan menyapanya.
"Fahri, apa kabar?" Fahri terkejut dengan kedatangan gadis itu.
"Nazifa?" Gadis yang bernama Nazifa itu mengangguk dan tersenyum.
"Ternyata kamu masih ingat. Zifa ke sini disuruh sama Paman Amir."
Kening Fahri berkerut mendengar nama yang disebut Nazifa. Bibirnya langsung mengerucut. Fania hanya memperhatikan sosok cantik yang ada di hadapannya. Fania bahkan mengagumi kecantikan gadis itu. Nazifa mirip artis India menurutnya.
"Ada apa?" tanya Fahri ketus.
"Katanya kamu butuh asisten manager. Zifa disuruh melamar kerja untuk jabatan itu." Nazifa mengatakan tujuannya datang ke restoran Fahri.
"Ya sudah, kirim saja CV lewat email," balas Fahri dengan kesal.
"Lho, kata Paman Amir, Zifa bisa langsung kerja," protes Nazifa.
"Maaf, di sini tidak menerima KKN. Kalau mau diterima, silakan kirim surat lamaran dan CV sesuai prosedur. Banyak yang ingin bekerja, bukan hanya kamu saja," tegasFahri.
"Kamu kok gitu, sih? Kita 'kan bukan orang lain, Fahri. Zifa ini calon istrimu. Paman Amir sudah melamar Zifa buat kamu dan abi juga sudah menerimanya." Nazifa menjelaskan pada Fahri dengan kedua mata yang berkaca-kaca.
"Yang mau nikah siapa? Fahri atau Paman Amir? Dengar ya, Zifa! Fahri sudah tidak mau dijodohkan lagi. Kalau Paman Amir melamar kamu tanpa sepengetahuan Fahri, lamaran itu tidak sah! Paham?! Ayo, Fania, biar Fahri antar pulang kalian." Fahri berniat mengantar pulang Fania untuk menghindar dari Nazifa. Fauzan yang sudah datang dari kasir dan mendengar percakapan Fahri dan Nazifa, langsung protes.
"Hei, enak saja. Fania pulang sama Fauzan. Kamu urus itu calon istrimu!"
"Fahri juga mau pulang. Rumahmu 'kan berlawanan sama Fania. Biar Fahri saja yang mengantar sekalian pulang. Kita 'kan searah."
Fahri tak mau menyerah begitu saja. Nazifa memperhatikan Fania yang saat ini menjadi rebutan kedua pemuda tampan di hadapannya. Dalam pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan tentang siapa gadis bercadar itu?
"Tidak bisa! Fauzan yang mengajaknya, jadi Fauzan yang harus mengantarnya pulang. Lagi pula Fania pulang kembali ke tokonya, kok, bukan ke rumahnya," tegas Fauzan tak terima.
"Ya sudah kalau begitu. Kamu hati-hati bawa anak gadis orang!"
Fahri terpaksa mengalah. Beberapa pasang mata mulai memperhatikan mereka. Keinginannya untuk dekat dengan Fania, membuatnya lupa akan keberadaan Nazifa. Fahri yakin, gadis itu adalah mata-mata pamannya. Dia tak ingin Fania menjadi korban.
"Nggak usah dikasih tahu, Fauzan pasti menjaga dan melindungi gadisnya. Oke, kita semua pamit,”" ucap Fauzan dengan senyum kemenangan. Fania hanya menggelengkan kepala.
"Jangan lupa, mulai besok belajar masak di sini." Rasa kesal melihat Fauzan Bersama Fania, membuat Fahri lupa diri.
"Lha, kenapa jadi kamu yang ngatur?" Fauzan heran mendengar ucapan Fahri.
"Tadi 'kan sudah janji kalau owner-nya orang Arab, kamu akan belajar masak sama dia," sahut Fahri mengingatkan.
"Kamu itu sok-sokan. Memang kamu kenal sama owner-nya?" tanya Fauzan tak terima. Fahri tersenyum kemudian mengajak Fauzan berjabat tangan.
"Kamu mau kenal? Nih, kenalkan, Muhammad Fahri Ardana, owner restoran Pelangi Nusantara ini!"
**********
Uztadzah Haifa memanggut bibir Alif untuk menuntaskan hasratnya yang tidak dipenuhi suaminya, mereka berciuman sangat panas, saling bertukar air liur selama beberapa menit. Sembari berciuman tak henti-hentinya telapak tangan Alif membelai punggung dan pantat Uztadzah Haifa yang masih memakai pakaian lengkap. Uztadzah Haifa melepaskan ciumannya ketika Alif menarik keatas gamis yang ia kenakan.
"Tetek Uztadzah indah sekali." Puji Alif.
"Kamu suka?"
Alif mengangguk. "Sangat suka Uztadzah ." Jawab Alif cepat.
"Tetek ini milikmu sayang." Bisik manja Uztadzah Haifa.
Alif langsung menyambar payudara Uztadzah Haifa, mulutnya mencaplok payudara Uztadzah Haifa, menghisapnya dengan rakus. Lidahnya dengan perlahan mengitari aurola puting Uztadzah Haifa, lalu kembali melahapnya, menghisapnya dengan lembut. Kedua tangan Uztadzah Haifa mendekap kepala Alif, ia membiarkan pemuda itu mengulum dan menjamah payudaranya secara bergantian.
"Enak Uztadzah ... Srruuppss..." Lirih Alif.
"Oughk... Enak lif! Aaahkk..." Desah Uztadzah Haifa, dengan wajah mendongak keatas.
Sesekali Alif menggigit puting Uztadzah Haifa, lalu kembali menghisap puting Uztadzah Haifa yang terasa semakin membesar. Uztadzah Haifa mendorong pelan pundak Alif, lalu ia berjongkok di depan Alif. Kedua tangannya dengan tangkas melepas celana Alif, merogoh kontol Alif keluar dari celananya. Sembari tersenyum ia mengurut kontol Alif yang berbentuk seperti buah pisang.
"Kontol kamu besar Lif!" Puji Uztadzah Haifa.
Wanita yang telah bersuami itu mulai menciumi kontol Alif, mula-mula bagian kepalanya, lalu turun ke batang kemaluan Alif. Ia menuntun kontol Alif masuk ke dalam mulutnya, dan mengulumnya dengan lembut sembari mengurut batang kontol Alif. Wajah Alif menegang, ia menikmati setiap sentuhan bibir dan lidah Uztadzah Haifa.
"Enak lif?" Tanya Uztadzah Haifa.
Pemuda itu mengangguk. "Enak banget Uztadzah ! Aaahk... Terus Uztadzah ." Erang Alif, sembari membelai rambut hitam Uztadzah Haifa.
"Sluuuppsss... Kontol kamu keras banget lif! Beda dengan kontol Mas bambang. Sruuupsss... Sluuuppsss... Sluuuppsss... Sluuuppsss..." Pujinya sembari mengulum kontol Alif, jemarinya mengurut kantung zakar Alif.
Telapak tangan Alif meraih payudara Uztadzah Haifa dan meremasnya dengan perlahan. Setelah di rasa cukup, Uztadzah Haifa kembali berdiri. Di depan Alif ia melepas celana piyamanya, memamerkan kemolekan tubuhnya. Pemuda itu tampak tegang menatap tubuh telanjang Uztadzah Haifa untuk yang kesekian kalinya.
"Masukan sekarang lif!" Pinta Uztadzah Haifa.
Wanita cantik itu berbalik menghadap tembok, sedikit mencondongkan pantatnya kearah Alif. Alih-alih langsung menyetubuhi tetangganya itu, Alif malah berlutut di depannya. Kedua tangan Alif merenggangkan kedua kaki Uztadzah Haifa hingga ia dapat melihat bibir kemaluan Uztadzah Haifa yang tampak bergelembir.
"Lif..." Tegur Uztadzah Haifa.
Alif menatapnya. "Sebentar aja Uztadzah ..." Jawab Alif setengah berbisik.
Kemudian ia mendekatkan bibirnya kearah memek Uztadzah Haifa, menciumnya dengan lembut. Menghisap bibir Mayoranya dengan rakus. Tubuh Uztadzah Haifa bergetar hebat, dari kemaluannya tampak cairan bening keluar sedikit demi sedikit yang langsung di seruput oleh Alif. Ia dapat merasakan lidah Alif yang menyeruak masuk ke dalam lobang memeknya, mengorek-ngorek liang kemaluannya.
"Uughk... Lif! Aaahkk..." Desah tertahan dari Uztadzah Haifa.
Dengan rakus Alif menyedot clitoris Uztadzah Haifa yang semakin membengkak, menggigit kecil membuat Uztadzah Haifa memekik pelan. Tubuh Uztadzah Haifa menggelinjang, kedua kakinya melejang-lejang, bergetar tak tertahankan. Dengan mata membelalak ia merasakan sensasi yang begitu nikmat yang membuatnya mengerang lebih keras. Di bawah sana Alif makin bergairah menyeruput cairan cinta Uztadzah Haifa yang baru saja Orgasme. Pemuda itu kembali berdiri, dari belakang Alif memeluk tubuh Uztadzah Haifa, mencium aroma tubuh Uztadzah Haifa yang membuatnya makin bergairah, lidahnya terjulur menjilati leher Uztadzah Haifa. Perlahan Alif menuntun kontolnya kearah cela sempit memek Uztadzah Haifa.
"Pelan-pelan sayang." Bisik Uztadzah Haifa.
Perlahan kontol Alif membela masuk ke dalam lobang memek Uztadzah Haifa. "Sempit... Hangat." Puji Alif yang menikmati jepitan dinding vagina Uztadzah Haifa yang terasa nikmat.
"Ughh... Aaaahk... Tusuk lebih dalam sayang! Aaahk... Yeaaaa... Eenggk..." Erang Uztadzah Haifa yang ikut menggoyangkan pantatnya.
Dengan gerakan perlahan ia menghujamkan kontolnya, lalu menariknya lagi hingga kontolnya hampir terlepas, dan memasukannya lagi. Gerakan tersebut ia lakukan berulang-ulang. Kedua tangan Alif menyusup dari bawah ketiak Uztadzah Haifa, ia meraih buah dada Uztadzah Haifa dan keremasnya dengan perlahan.
“Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss...”
“Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss...”
“Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss...”
"Aaahkk... Hah... Hah... Aaahkk... Hah... Terus lif! Aaahkk... Makin cepat sayang... Uugkk..." Uztadzah Haifa menjerit-jerit keenakan.
"Jangan keras-keras Uztadzah , nanti ada yang bangun." Bisik Alif agak khawatir dengan suara Uztadzah Haifa yang mengerang semakin keras.
Kepala Uztadzah Haifa terbanting ke kiri dan kanan sanking nikmatnya. "Enak banget Lif! Aaahkk... Uztadzah gak tahan sayang... Aaahkk... Aaahkk..." Jerit Uztadzah Haifa yang seakan mengabaikan peringatan Alif.
Tubuhnya yang bermandikan keringat kelajotan merasakan setiap tusukan bervariasi dari Alif yang terkadang kasar dan cepat tapi terkadang lembut tapi menghentak. Belum lagi sentuhan kedua jari Alif di kedua putingnya, membuatnya makin menggeliat keenakan. Tidak butuh waktu lama bagi Uztadzah Haifa untuk kembali mendapatkan orgasmenya. Pinggulnya bergetar hebat, dan tampak cairannya yang hangat menenggelamkan kontol Alif yang masih sibuk melakukan penetrasi di dalam memeknya.
"Aliifff... Ougk..." Jerit Uztadzah Haifa.
Tapi tiba-tiba...
Tok... Tok... Tok...
Deg...
Mereka berdua saling pandang, raut wajah yang tadi penuh kepuasan berubah menjadi pucat pasih.
"Umi..."
"Intan." Bisik Uztadzah Haifa kepada Alif.
"Jawab Uztadzah ."
"I-iya sayang ada apa?" Tanya Uztadzah Haifa gugup, sementara kontol Alif masih tertancap di dalam memeknya.
"Umi kenapa kok teriak-teriak..."
Uztadzah Haifa tampak gugup. "Anu... Gak apa-apa sayang! U..Umi lagi BAB." Jawab Uztadzah Haifa membuat Alif terkikik pelan.
"Iih... Ya udah Intan ke kamar lagi."
Mereka berdua dapat mendengar suara derap langkah Intan yang menjauh dari kamar mandi. Sejenak mereka saling pandang, kemudian tertawa renyah.
"Hampir saja..." Gumam Alif.
"Masih mau lanjut?" Bisik Uztadzah Haifa.
Alif mengangguk. "Masih Uztadzah ..." Jawab Alif sembari membelai bibir kemaluan Uztadzah Haifa.
Kedua tangan Uztadzah Haifa melingkar di leher Alif, ia memanggut mesrah bibir anak kenalannya itu. Perbedaan usia mereka seakan tidak menjadi penghalang bagi mereka berdua. Kedua tangan Alif mengangkat kedua kaki Uztadzah Haifa, lalu menopang pantatnya agar Uztadzah Haifa tidak sampai terjatuh. Tangan kanan Uztadzah Haifa melingkar di leher Alif, sementara tangan kirinya menuntun kontol Alif kearah lobang peranakannya. Bleeesss... Dengan satu hentakan kontol Alif bersemayam di dalam lobang peranakan Uztadzah Haifa.
"Ughk... Dalem banget sayang!" Erang Uztadzah Haifa.
Perlahan Alif mulai mengayun-ayunkan tubuh Uztadzah Haifa, membuat kontolnya menusuk semakin dalam ke dalam memek Uztadzah Haifa.
"Enak Uztadzah ... Aaahkk..." Desah Alif.
“Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss...”
“Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss...”
“Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss...”
Tubuh Uztadzah Haifa terhentak-hentak di dalam gendongan Alif. Kontol Alif yang tidak hanya panjang tapi juga sangat besar dan tebal, hingga membuat memek Uztadzah Haifa terasa penuh. Beberapakali Uztadzah Haifa terpekik ngilu ketika kontol Alif menusuk memeknya hingga ke rahimnya. Sudah lima belas menit Alif menggenjotnya dalam kondisi berdiri, tetapi belum ada tanda-tanda kalau pemuda itu kelelahan.
"Alif... Aaahkk... Kamu kuat sekali sayang." Erang Uztadzah Haifa.
Alif memanggut mesrah bibir Uztadzah Haifa, menjulurkan lidahnya ke dalam mulut Uztadzah Haifa yang di balas liar oleh Uztadzah Haifa. Tidak lama kemudian tubuh Uztadzah Haifa kembali kelajotan, untuk kesekian kalinya ia mendapatkan orgasmenya. Memek Uztadzah Haifa yang terasa semakin licin membuat kontol Alif makin leluasa menjelajahi relung memek Uztadzah Haifa.
"Saya keluar Uztadzah ..."
"Di luar aja Lif! Uztadzah belum minum obat." Erang Uztadzah Haifa.
Tetapi peringatan Uztadzah Haifa terlambat, Alif keburu menumpahkan spermanya ke dalam rahim Uztadzah Haifa. Croooottss... Croooottss... Croooottss... Uztadzah Haifa dapat merasakan betapa banyaknya sperma Alif di dalam rahimnya yang kini terasa hangat. Setelah puas Alif menurunkan tubuh Uztadzah Haifa yang tampak kelelahan.
Sejenak mereka berdua terdiam mengingat apa yang baru saja mereka lakukan. Dan sedetik kemudian Uztadzah Haifa tersenyum menatap Alif.
"Maaf Uztadzah , kelepasan." Lirih Alif.
Uztadzah Haifa menggelengkan kepalanya. "Gak apa-apa sayang! Siapa tau jadikan?" Goda Uztadzah Haifa membuat Alif panik.
"Ya jangan dong Uztadzah ."
"Hihihi... Emang kenapa kalau Uztadzah mengandung anak kamu." Goda Uztadzah Haifa.
"Tapi Uztadzah ..."
"Jangan takut, walaupun Uztadzah hamil sekalipun, Uztadzah gak akan minta pertanggung jawaban dari kamu. Uztadzah kan punya suami." Ujar Uztadzah Haifa, tetapi tetap saja Alif merasa takut.
"Mudah-mudahan gak jadi ya Uztadzah ."
Lagi-lagi Uztadzah Haifa tertawa renyah. "Kamu ini, mau berbuat tapi gak mau bertanggung jawab." Goda Uztadzah Haifa membuat Alif serba salah.
"Bukan begitu Uztadzah ."
"Udah gak usah di pikirin! Sekarang kamu pulang ya, takut nanti ada yang bangun lagi."
"Iya Uztadzah ."
"Tunggu sini, Uztadzah mau cek dulu."
Uztadzah Haifa perlahan membuka pintu kamar mandinya, melihat kondisi aman terkendali, barulah ia mengizinkan Alif untuk segera keluar dari kamar mandi. Sebelum pergi meninggalkan kediaman Uztadzah Haifa, mereka berciuman bibir selama beberapa detik, lalu barulah Alif pamit. Dengan cara mengendap-endap ia kembali ke rumahnya.