-------------------------------------------------------------------------------
Cerita 42 – The Lust Hunter
Episode A Few Good Men
Namaku Sari. Tahun ini aku berusia 27 tahun..
Aku tergolong kurus dengan tinggi badan 176 dan berat badan kurang 5 kilo dari idealnya.
Rambutku kini pendek seleher.. –tidak lagi di highlite biru..– dan aku masih berkaca mata minus.
Oh ya.. April lalu aku sudah menikah.. jadi aku sudah menghentikan semua petualangan gilaku.
----oOo----
Kota S.. beberapa tahun yang lalu.
Aku sedang duduk di lobi sebuah hotel berbintang yang terletak berdampingan dengan sebuah mall besar.
Tidak seperti biasanya, siang itu aku sendirian saja, tidak ditemani beberapa asisten.
Maklum.. kadang-kadang untuk negosiasi yang bernilai agak tinggi.. aku cenderung bekerja sendirian.
Bukannya tidak ingin berbagi ilmu dengan para staffku.. Aku hanya sering terganggu oleh ulah mereka..
yang seringkali mengacaukan keseluruhan negosiasi. Lagipula.. waktu itu aku sedang ingin menguji ketajaman negosiasiku.
Masa’ sih Si Pemburu dikalahkan orang-orang supplier..? Hihihi.. nyombong boleh dong..!
Cukup lama juga aku menunggu, dan rasa bosan sudah mulai merambati kepala.
Iseng-iseng aku berjalan-jalan di lobi yang luas itu, melihat-lihat papan iklan kecil tentang Nite Club hotel itu..
membaca jadwal ruang meeting, dan apa saja yang bisa kulakukan untuk membunuh waktu.
Beberapakali sudah aku mengirimkan SMS ke kantor agar mengkonfirmasi pihak yang akan bernego denganku..
dan beberapakali juga sekretarisku meng-SMS-kan bahwa mereka sudah berangkat.
Hm.. aku benci jam karet.
Di balkon atas tampak sejumlah pria muda berdasi rapi, para broker dari sebuah perusahaan valas di lantai dua.
Kupandangi satu per satu.. hmmm, tidak ada yang menarik, wajah-wajah mereka tampak kurang cerdas atau masih hijau.
Sejenak teringat pengalamanku dengan boss mereka, Ebzan. Pria yang sempat menarik perhatianku..
lalu mengecewakanku karena pada dasarnya ia seorang anak manja yang bahkan tak tau harus berbuat apa di ranjang.
Aku tersenyum geli mengingat waktu itu.
Akhirnya, sekelompok orang yang aku tunggu datang juga.
Dengan basa basi yang sangat basi mereka meminta maaf karena terlambat.
Aku tidak terlalu mendengarkan belasan alasan mereka.. karena toh keterlambatannya sudah terjadi.
Ingin juga rasanya mendamprat mereka dengan kalimat-kalimat sangar..
namun karena wajah-wajah mereka benar-benar polos, aku jadi tidak tega.
Negosiasi berjalan lebih cepat daripada waktu yang kupakai untuk menunggu.
Usai menandatangani beberapa helai kontrak.. aku membiarkan mereka pergi..
dan mencorat-coret laporan di Palm-ku.. lalu meng-email-kannya lewat ponsel.
Untung kantorku mau membiayai abonemen dan pulsa ponselku..
kalau tidak, mungkin aku harus rela mondar mandir hanya untuk sebuah laporan.
Nah.. sekarang tugas dari kantor sudah selesai, dan waktu sudah menunjukkan jam setengah empat sore.
Tidak cukup waktu untuk kembali ke kantor.
Dan orang-orang kantor pasti akan maklum kalau aku tidak kembali, toh reportnya sudah aku kirim.
Lagipula aku orang nomer dua di kantor waktu itu, dan atasanku sedang keluar negeri.
Boleh dong sekali-kali korupsi waktu..? Kan tidak sampai sehari..? –Kids, don't do it at home..!–
Ketika masih asyik mengutak-utik PDA.. seseorang menghampiri dan duduk di sofa sebelahku di lobi itu.
Orang yang tidak kukenal.
Aku menengok ke kiri kanan, memang semua kursi di lobi itu terisi, jadi sah saja ia duduk di situ.
Aku cuek saja dan meneruskan laporanku hingga semuanya terkirim dengan lengkap.
Diam-diam aku mengamati orang yang duduk di dekatku itu.
Seorang pria 30-an tahun, dengan tubuh tidak terlalu atletis, namun juga tidak terlalu gemuk.
Tingginya mungkin sepadan denganku, meski dia agak lebih pendek.
Ia mengenakan kemeja biru muda Van Heusen, dan celana hitam tidak bermerk.
Sepatunya pun juga buatan lokal, meski disemir mengkilat.
Di dasi biru tua yang dipakainya, tampak logo J&J kecil-kecil.
"Bapak dari J&J..?” Tanyaku membuka pembicaraan, sambil menyebutkan nama pabrik produsen bedak bayi itu.
Pria itu menengok ke arahku dan menebar senyum manis.
"Iya, kok Ibu tau..?” Tanyanya balik.
*Cukup sopan juga jika seorang pria memanggil ‘Ibu’ pada seorang wanita yang baru dikenal.. meski usianya sebaya.*
"Dari dasinya..” Jawabku.
"Oh, ini..” Pria itu memegang dasinya sendiri.. "Iya nih, jatah kantor..”
Kami lalu tertawa kecil.
"Berarti Bapak sudah lama dong kerja di situ..?” Tanyaku lagi..
mengingat bahwa perusahaan itu sudah hampir bangkrut, dan menutup pabriknya di seluruh Asia.
–Produk J&J yang kita jumpai di pasaran hanya produksi 3rd party yang diberi logo..–
"Yah, lumayan, baru empat bulan..” Jawabnya sambil tersenyum.
*Hanya ada dua alternatif.. dia berbohong.. atau dasi itu pemberian atasannya yang lebih senior.*
Meski aku berbicara sambil menganalisis dalam, ternyata pria itu memang enak diajak ngobrol.
Ia punya selera tinggi, dan joke-joke intelek yang menyenangkan.
Tidak sok berbahasa ilmiah seperti para fresh-graduate yang ingin dianggap dewasa..
juga tidak sok menggurui seperti umumnya pria. Intelektualitasnya enar-benar natural.
Ia cerita bahwa ia hanya membunuh waktu di situ.. karena perjalanan pulangnya akan macet pada jam-jam rush-hours..
maklum.. rumahnya ada di SDA, kota suburban untuk metropolitan Kota S ini.
Kami berkenalan dan saling bertukar kartu nama. Handy, nama pria itu.
Seorang post-graduate dari Amerika.. yang ingin mencari pengalaman profesi di perusahaan Amerika juga.
"Sari mau pulang jam berapa..?” Tanyanya setelah kami cukup akrab.
"Yah.. jam berapa aja nggak masalah. Aku tinggal sendiri kok..” jawabku sekaligus memberi pancingan.
"Mau makan malam bareng..?” Tanyanya frontal, khas anak lulusan Amrik.
–Lulusan Euro dan Oz biasanya lebih indirect..–
"Boleh aja..” Jawabku singkat, "Mau makan di mana..?”
"Sari sukanya makan apa..?”
Tanyanya lagi sambil matanya mencuri-curi pandang ke bawah rok span pendek yang kupakai.
"Suka makan orang seperti kamu..!”
Godaku sambil menatap matanya dengan tajam, namun sekaligus tersenyum simpul.
*Seperti biasa.. tatapan mata tajam diiringi senyuman.. akan membuat lawan jenis grogi dan mengikuti irama permainan kita.*
Dengan agak kaget.. ia tertawa mengikuti senyumanku.
Singkat cerita.. akhirnya kami memutuskan untuk makan malam di coffee shop hotel itu, daripada jauh-jauh.
Makan malam berlangsung manis.
Kami mengobrol panjang tentang ekonomi korporat, ekonomi makro, sampai ke hal-hal konyol.
Bahkan kami juga membicarakan situs-situs dewasa di internet.
"Kamu pernah masuk website ACEH..?” Tanya Handy.
"Yah, pernah juga..” jawabku, "Lumayan sering..”
"Wah, berarti kamu suka dong..?” Tanyanya lagi.
"Lumayan juga, abis lucu-lucu sih..” Jawabku memancing reaksi..
"Emangnya kamu juga sering baca..?”
"Iya. Ada satu dua cerita yang bagus sekali..” Ujarnya lagi.
"Oh gitu..” Jawabku. "Berarti sudah banyak pengetahuan nih. Tentang hal-hal yang seru..!”
"Boleh diuji kalau tentang yang itu! Hahaha" Jawabnya dengan tertawa.
"Hihihi, berani diuji itu karena sering praktek apa karena sering baca ceritaseru..?” Godaku lagi.
Kami lalu tertawa-tawa. Tatapan mata Handy mulai agak nakal dan sering memandang wajahku lama-lama.
Pembicaraan terus berlanjut sampai pukul delapan malam.
Kami juga sudah cukup akrab, hingga di sela pembicaraan seringkali kami menyentuh satu sama lain.
Sempat aku meremas lengannya di sela pembicaraan, hmmm, bisep-nya lumayan terlatih.
Namun tentu saja aku tidak membiarkannya menyentuh bagian tubuhku selain lengan atau bahu.
Usai makan malam.. setelah agak ribut tentang siapa yang harus membayar..
kami lalu berjalan-jalan sebentar di plaza yang bersambungan dengan hotel itu.
Handy tampak berjalan dengan menegakkan badan dan membusungkan dada.
Sepertinya ia ingin menunjukkan kalau yang berjalan bersamanya ini adalah pacarnya.. haha, lucu juga pria ini.
Sementara aku sendiri juga mengikuti pola permainannya..
seringkali aku mengaitkan lenganku pada lengannya saat berjalan melihat-lihat etalase.
Kami terus berjalan sambil ngobrol. Ia seorang teman bicara yang sangat 'nyambung' denganku.
Terutama masalah buku-buku. Hampir semua buku yang kubaca. Mulai Cashflow Quadrant 7..
Habits of Highly Effective People.. sampai Crayon Sin-Chan, ia juga membaca dan memahami isinya.
Aku suka teman seperti ini! Sampai suatu ketika kami terdiam kehabisan obrolan..
dan bersandar di railing logam koridor plaza lantai 7.. sambil menatap ke arena ice-skating di lantai bawah.
"Sari, apa sebenarnya kita benar-benar nggak pernah ketemu..?” Tanyanya.
"Nggak tau..” Jawabku singkat.
"Kenapa emangnya..?”
"Kamu seperti mengingatkanku pada seseorang..” Jawabnya lagi, sambil tetap menerawang ke lantai bawah.
"Oh ya..?” Tanyaku, "Siapa..? Mantan pacar..? Mantan istri..? Apa malah nenekmu..?” Godaku terus.
Kami tertawa sejenak. Lalu Handy terdiam sambil mengerutkan kening seperti berpikir.
"Kenapa Han..?” Tanyaku.
"Ah, nggak apa-apa..” Jawabnya, seolah menutupi sesuatu.
"Well, udah malam..” Kataku sambil melirik arloji, "Kita pulang aja yuk..?”
Handy setuju, lalu kami berjalan kembali ke arah hotel.. karena mobil kami sama-sama diparkirkan petugas valet hotel.
"Aku member di club hotel ini, lho..” Ujarnya saat kami melewati depan resepsionis menuju pintu keluar.
"Lantas..?” Tanyaku.
"Yah, aku bisa bermalam di sini kalau kemaleman untuk pulang..” jawabnya lagi.. seolah mencari jalan.
"Udah sering toh..?” Tanyaku. "Kan jatahnya cuman semalam, kalau nggak salah..?”
"Belum pernah, makanya aku terpikir untuk memakai fasilitas itu malam ini..” jawabnya dengan nada agak ragu.
Aku tersenyum kecil dan menarik lengannya sampai langkahnya terhenti.
"Kamu pengen aku menemani kamu..?” Tanyaku dengan wajah begitu dekat pada wajahnya.
Sesaat pria itu tampak bingung.. menengok ke kanan-kiri..
seolah merasa bahwa semua orang di hotel sedang menatap kami.
"Eh.. aku.. hmmm..” Ia kehabisan kata-kata.
"Aku mau kok..” jawabku singkat dan jelas.. sambil menatap matanya dalam-dalam.
"Oke.. ayo kita check in..” lanjutku setengah memaksa.
Lalu dengan agak ragu.. Handy berjalan ke arah resepsionis.. menunjukkan member card..
kemudian menandatangani berkas-berkas check in.
Ia tampak ragu-ragu, meski tidak berbuat banyak untuk menolak.
Suasana kamarnya khas kamar ekonomi di hotel berbintang lima.
Tidak terlalu besar.. tidak juga kecil.. dilengkapi dengan sebuah ranjang Queen size di tengah ruangan..
di hadapannya ada buffet pendek menyangga sebuah televisi.. di sampingnya ada meja rias dan cermin..
Di samping ranjang ada meja kecil tempat menaruh telepon, dan sebelum masuk tadi, ada kamar mandi.
Standar sekali untuk sebuah hotel.
Handy segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan badan..
sementara aku duduk di kursi di samping ranjang, sambil memindah-mindah channel televisi.
Agak bingung juga aku menghadapi pria yang seperti ini.
Ia seorang kawan yang baik.. juga teman bicara yang menyenangkan..
serta tidak memiliki tendensi mengajak wanita untuk langsung naik ke ranjang.
Tadinya memang aku hanya sekedar ingin mencari teman ngobrol..
Dan memang Handy orang yang menyenangkan untuk itu.
Namun, saat aku ingin mengubah pola pikirku jadi pola berpikir avonturir..
–Pola berpikir yang kukembangkan jika aku sedang ingin menikmati kehangatan pria di ranjang..–
Kelambatan respons Handy membuatku harus bekerja keras untuk membangun suasana yang tepat..
untuk melakukan yang lebih jauh, karena aku tidak ingin dipandang murah.
Repotnya.. ia seolah begitu menjaga sopan santun. Sulit sekali membawa suasana ke arah 'ranjang'.
"Nggak mandi-mandi dulu, Sari..?” Ujar Handy sekeluarnya dari kamar mandi.
Ia tampak segar dengan rambut basah begitu.
Konyolnya.. ia masih mengenakan pakaian kerjanya tadi dengan sangat rapi.
Benar-benar tidak ada tanda bahwa ia mempersiapkan diri untuk sebuah 'petualangan'.
Di situasi seperti ini, aku harus lebih proaktif..! Pikirku.
"Males, Han..” jawabku sambil terus memindah-mindah channel televisi.
"Mandi kok malas..?” Tanyanya setengah bergurau.
"Bosen nunggu..” jawabku singkat.. masih terus memindah-mindah channel televisi.
"Nunggu apa..?” Tanyanya sambil menyisir rambut dengan jari di depan cermin..
namun matanya melirik ke arahku.
Aku tidak menjawab. Aku hanya berdiri dari kursi.. menggeliat sedikit melepaskan penat..
lalu membuka blazer Versace-ku dengan gaya yang dibuat-buat untuk memancing responnya.
Ia agak terkejut saat melihat bahwa kemeja kerja Escada yang kukenakan ternyata tanpa lengan..
juga pendek hingga membiarkan pinggang dan perutku sedikit mengintip.
Dari sudut mataku.. aku mendapati bahwa Handy terus mengamati aku lewat cermin di hadapannya.
"Nunggu adegan seperti di cerita seru..!” Jawabku lirih.. menjawab pertanyaannya tadi.
Aku berdiri tegak berkacak pinggang.. menatap ke arahnya. Kemeja pendek ini begitu tipis..
membiarkan siluet tubuhku terlihat cukup jelas.. sementara kakiku agak melebar..
agar rok span pendek yang kukenakan jadi terlihat mencetak bentuk dua pahaku.
Melihat semuanya, Handy tampak kebingungan.
"Kamu serius..?” Tanya Handy sambil membalikkan badan.. menghadap ke arahku.
Aku mengangguk sambil melangkah mendekati tubuhnya yang berdiri memaku membelakangi meja rias.
"Bilang dong dari tadi..!” Jawabnya singkat.
Mengakhiri kalimatnya, wajah Handy jadi berubah.
Sorot matanya yang tadinya hangat dan sopan santun, kini jadi tajam dan berkesan 'lapar'.
Dengan cepat ia mempreteli sendiri kancing-kancing kemeja kerjanya.. lalu menyibakkannya ke kiri kanan..
menampakkan dada yang cukup lebar meski tidak terlalu berotot.
"Kenapa nggak dari tadi bergaya seperti itu..?” Tanyaku sambil tersenyum manis.
"Karena aku masih ragu-ragu..” Jawabnya singkat sambil menatap ke arah leher dan dadaku.
"Sekarang udah enggak..?” Tanyaku lagi sambil perlahan-lahan melepaskan kancing kemejaku.
"Nggak. Sekarang aku bener-bener yakin sedang berada bersama siapa..” Jawabnya memberi isyarat tidak jelas.
Belum sempat aku menanyakan maksudnya.. ia keburu mendekap tubuhku..
lantas menghujani leher ini dengan ciuman serta jilatan kasar.
Hmm.. ini yang aku inginkan. Aku memeluknya dan menengadahkan kepala..
agar mulut hangatnya lebih leluasa menikmati leherku yang panjang.
Rasanya hangat dan geli merangsang.. memudahkanku mengubah mind-set menjadi 'Si Pemburu'.
Ciuman dan jilatannya kasar.. namun juga manis dan menggairahkan.
Belum lagi tangannya meraba-raba pinggang dan punggungku sambil meremas-remas kecil.. hangaat sekali rasanya.
Aku juga ikut meraba-raba otot tubuhnya.. mengelus punggungnya.. sambil mendongakkan kepala..
merasakan nikmatnya leherku mendapat perlakuan yang begitu istimewa.
"Hh.. Kamu cantik sekali..!” Bisiknya sambil melepaskan mulutnya dari leher dan rahangku.
"Thanks..!” Jawabku sambil tersenyum menatapnya sayu.
"Mata kamu bagus..” Pujinya lagi, melambungkan perasaanku.
Aku menggerakkan tangan untuk melepaskan kacamataku.. namun ia mencegahnya.
"Aku suka kamu pakai kacamata..” Bisiknya lagi.. "Cantik dan cerdas..!”
Menyenangkan sekali jika seorang pria memuji wanita tentang kualitas nonfisik..
perasaan ini menambah bumbu percumbuan.
Masih aku termangu kege-eran.. ia menarik kemejaku ke bawah dengan kasar..
berikut bra sport yang kukenakan.. sehingga ia dapat melihat jelas pundak..
payudaraku yang tidak besar namun padat.. juga perutku yang datar.
Aku menatap matanya dalam-dalam..
menanti responnya tentang pemandangan yang sedang diamatinya sekarang.
"A masterpiece..!” Gumamnya sambil melepaskan pelukannya..
lalu berkacak pinggang mengamati badanku.
"You too..!” Jawabku singkat.
Dengan gerakan cepat.. aku melepaskan kemeja dan bra yang masih melilit perutku..
kemudian menabrak tubuhnya yang bertelanjang dada.
Aku mendekap erat tubuhnya sambil meremas-remas otot-otot dada dan bahunya yang cukup liat itu.
Hmm.. tubuh yang baik, cukup terlatih.. namun tidak bertonjolan otot seperti binaragawan..
tidak juga kelewat membusung seperti pria sewaan. Sangat proporsional.
Handy membalas dengan memeluk pinggangku..
lalu dengan gerakan kasar dan cepat.. ia menarikku hingga aku kehilangan keseimbangan.
Hampir aku terjatuh.. namun kedua tanganku sempat menyangga meja rias..
hingga kini aku melihat diriku sendiri dalam cermin.. berkacamata namun bertelanjang dada.
Hmm.. sempat aku melakukan ritual mengagumi diri sendiri..
Tersenyum simpul sambil menatap lekat wajah sendiri..
Dengan alis yang tipis namun tegas.. sinar mata yang tajam..
hidung dan dagu yang runcing dan tirus.. juga bibir tipis yang basah.
Leher dan bahu yang proporsional membuatku begitu percaya diri..
bahwa tidak akan ada satu pun orang di dunia yang menganggapku buruk rupa.
"Mengagumi kecantikanmu sendiri, eh..?” Tanya Handy sambil memelukku dari belakang.
"Kok tau..?” Tanyaku singkat sambil tetap memandangi wajah sendiri.
"Sudah kubilang kalau kamu benar-benar seperti orang yang aku kenal..!” Jawabnya.
Belum sempat aku bertanya lebih lanjut.. dua telapak tangan Handy sudah hinggap..
di atas dua buah payudaraku ini.. memberikan rasa hangat yang menyenangkan.
Aku menegakkan tubuh dan bersandar pada dadanya.
"Dada kamu ini.. perfect..!” Bisiknya di telinga kananku.
"Aku benci dada yang besar dan terkesan tidak praktis..”
Sempat aku ingin tertawa mendengar komentarnya tentang payudara yang tidak praktis..
Namun ia keburu menjilati belakang telingaku.. hingga aku harus mengerenyit menahan rasa geli yang nikmat.
Jemarinya mulai meremas-remas dua payudara ini, memberiku perasaan rileks yang nyaman.
Tak lama kemudian ia menyusupkan kepalanya lewat bawah lengan kananku..
hingga aku bisa memeluk lehernya.. lalu dengan leluasa mulut hangatnya melahap puting susuku yang kanan.
Uhh.. saat itu juga aku merasakan tulang-tulang di badanku melemas.
Kepalaku terkulai lemah ke belakang, mataku menyipit, dan kedua alis menyatu di keningku.
Aduhh .. rasanya benar-benar geli dan nikmat yang luar biasa.
Lidahnya yang basah begitu terampil mengait-ngait puting susuku..
sementara bibir-bibirnya ikut melumat-lumat lembut.. hingga kenikmatannya benar-benar sulit ditahan.
Gigiku menggeretak meski mulutku terbuka..
apalagi ketika puting susuku yang kiri juga mendapat pilinan jarinya, aduuh, semakin tak tertahankan.
"Mau pindah ke ranjang..?” Bisiknya ketika melihat dua kakiku gemetar dan tak mampu berdiri tegak.
Aku mengangguk pelan. Aku lantas dibaringkan terlentang di ranjang.
Kulitku yang berwarna terang tampak senada dengan sprei yang putih.
Aku diam saja di situ sambil mengatur nafas..
menatap ke langit-langit yang polos dihiasi ornamen garis di tepi-tepinya.
Kudengar Handy membuka celananya sendiri..
sementara aku dibiarkannya hanya bertelanjang dada.. dengan rok span pendekku tetap terpasang.
Ia juga tidak melepaskan kacamata Cartier minus dua yang kukenakan ini.
Diam-diam aku merasa kagum pada kemampuannya mengalunkan kata-kata indah yang membuatku terhanyut.
Se-terhanyut ketika lidahnya memainkan puting susuku.
Usai menelanjangi diri sendiri.. ia langsung naik ke ranjang
kemudian merangkak di atas tubuhku yang terlentang.
Sesuai harapanku, ia melanjutkan permainannya pada payudaraku.
Kali ini, permainan mulut dan lidahnya terasa lebih terampil.
Puting-puting susuku terasa makin mengencang dalam mulutnya..
dan rasa geli yang diberikannya, aduuuh, begitu luar biasa.
Puting susu ini terasa seperti diusap-usap oleh benda lunak dan hangat yang lembab. Tanpa henti.
Sampai aku harus menggelinjang kegelian seperti cacing kepanasan.
Tanganku mencengkeram kepalanya agar tidak lepas dari puting-putingku..
sementara mataku terpejam menikmati rangsangan yang luar biasa ini.
Nafasku tersengal tiapkali putingku tersentuh lidah hangatnya.. tubuh ini terasa makin lemah dan pasrah.
"Ngg, udah donggg..” Aku mengerang memintanya berhenti..
karena dadaku benar-benar tak mampu lagi menahan kenikmatan ini.
Handy menurut. Ia melepaskan dadaku dan membiarkanku menarik nafas agak panjang.
"Kamu cantik sekali dalam kondisi seperti ini, Sari..” Pujinya lagi.
Aku berusaha tersenyum meski dada ini terasa berat karena membengkak oleh permainannya.
Pelan-pelan aku membuka mata dan menatap wajahnya yang tersenyum manis.
Pelan-pelan aku mengangakan dua tungkaiku.. membiarkan pria itu melihat ke bawah sana..
di mana segalanya sudah basah terbanjiri lendir yang meleleh sejak dari tadi.
Handy hanya melirik singkat ke arah kewanitaanku.. lalu kembali menatap wajahku.
"Sorry.. aku kurang suka menaruh mulutku di situ..
Mulut ini banyak kuman.. kasihan nanti mahkota kamu..” Ia menjelaskan.
Aku tersenyum agak kecewa karena mengharapkan lidahnya menari-nari di kewanitaanku.
"Adil kan..?” Ujarnya lagi.. "Aku tau kalau kamu ngga suka blowjob..!”
Lanjutnya sambil mengambil posisi.
Belum sempat aku bertanya dia tau dari mana..
tiba-tiba tubuhku disesaki oleh kejantanannya yang mendadak diselipkan masuk.
Jlebbb..!! Hkkh..! Aku agak tersentak oleh kenikmatan yang begitu tiba-tiba.
Namun Handy tidak terlalu memberi waktu.. ia langsung bergerak dengan cepat sambil menatap wajahku.
Di sela gempuran-gempurannya yang hebat.. aku berusaha menatap matanya..
namun ia keburu memilin-milin puting susuku.. hingga aku kembali menyipit..
menahan geli yang menyatu dengan kenikmatan pada kewanitaan dan sekujur tubuhku.
Batang kejantanannya tidak terlalu besar.. namun keras dan kokoh..
hingga tiap gerakan di dalam sini membuat sekujur tubuhku terasa disiram-siram oleh kenikmatan.
Ia mendudukkanku di pangkuannya.. lalu menyetubuhi sambil mendekap.
Nggh.. aku tak tau kenapa bisa begitu pasrah saja..
Mungkin karena power dan staminanya yang benar-benar prima..
serta ke-galant-annya yang membuatku berserah diri.
Uhh.. enak sekali rasanya dua payudaraku menempel pada dadanya yang lebar dibasahi keringat..
sementara kedua kelamin kami saling bergesekan.
Gerakan naik-turun yang cepat tidak terlalu terasa..
hanya gesekan dalam kewanitaan ini yang terasa mendominasi.
Aku mendekap badan Handy dan mengerang-ngerang menahan kenikmatan.
Ahh.. pria ini begitu terampil mengantarkan wanita ke puncak.
Aduhhh.. kejantanannya benar-benar mengenai bagian yang tepat dalam liang kewanitaanku..
Berulang-ulang.. berkali-kali..
Ahhh.. aku merapatkan tubuhku dengan mata terpejam.
Ohh.. hanya kenikmatan dan kegelapan yang kini kurasakan. Makin memuncak dan sulit ditahan..
Hhhhhh..
Nafasku makin berat, tubuhku terasa seperti dialiri listrik kenikmatan yang begitu dahsyat.
Ahkkk.. hingga akhirnya puncak itu tiba menjemputku.
Sempat aku terlena kehilangan tiga perempat kesadaranku dan terkulai lemah dalam pelukan Handy..
Namun mungkin pria itu tidak menyadari bahwa aku telah mencapai puncak,,
Karena aku memang tidak mengkomunikasikannya..
hingga ia terus saja dengan kecepatan konstan.. mengocok tubuh kami naik-turun.
Uhh.. cairan dalam kewanitaanku meluap-luap..
hingga berlelehan keluar dan gerakan Handy di dalam sana terasa licin.
"Eh, kamu sudah..?” Bisiknya seraya berhenti bergerak.
Aku diam sambil tetap terkulai dalam pelukannya..
Mengumpulkan energi untuk menggerakkan mulut dan menjawab.
"Udah..” bisikku lirih.. "Kalau kamu masih belum.. lanjutin aja..”
Baru saja kalimatku selesai.. Handy membaringkanku telentang..
Kemudian menyetubuhiku dengan gerakan yang liar dan dahsyat.
Benar-benar gerakan yang bertujuan mengantar dirinya sendiri ke puncak.
Kewanitaanku yang becek dan licin serasa tak mampu menjepit kejantanannya yang bergerak keluar masuk.
Ohhh.. tubuhku terguncang-guncang hebat..
sementara aku masih terlarut dalam sisa-sisa kenikmatan orgasme yang tadi..
kini rangsangan baru mulai mengaliri tubuhku.
Aku tak ingat berapa lama ia 'menyiksaku' dengan kenikmatan yang tak kunjung berhenti.
Untunglah.. akhirnya ia mencapai puncaknya..
Dan kemudian menumpahkan isi kejantanannya dalam karet pengaman yang dipakainya.
Jika ia masih kuat beberapa menit saja, tentu aku sudah jatuh pingsan dibuatnya.
Sesaat kami terbaring telentang berdampingan.
Sama-sama menatap langit-langit dengan mata sayu dalam keheningan.
Hanya terdengar sedikit embusan angin dingin AC kamar dan helaan nafas-nafas panjang membuang letih.
"Sari..” Ujarnya setelah hening cukup lama.
"Kenapa, Han..?” Tanyaku sambil setengah tertidur namun masih tersadar.
"Apakah kamu.. si ..” Ia menghentikan kalimatnya dengan nada ragu.
"Siapa..?” Aku memotong kalimatnya.
"Si Pemburu..?” Tanyanya setelah berpikir sejenak.
"Ya..” Jawabku singkat,
"Aku Sari..” –Aku menyebutkan ‘Sari’ karena sejak awal ia mengenalku dengan nama asli..–
"Gila..!” Ujarnya sambil menghela nafas.
"Kenapa..?” Tanyaku agak tersenyum.
"Jauh lebih indah dari yang tertulis di cerita-cerita ACEH..” Pujinya lagi.
Kami tidak langsung tertidur malam itu.. kami ngobrol panjang tentang cerita seru dan para crew-nya.
Sampai kami benar-benar lelah dan tertidur pulas.
"Ngantor jam berapa, Sari..?” Tanya Handy sambil kembali duduk di kursi coffee shop..
setelah mengambil semangkok bubur ayam dari meja buffet.
"Jam sembilan aku sampai di kantor..!” Jawabku sambil mengiris Swiss Omelette..
"Kalau kamu..?”
"Sama sih, cuman kantorku di kota P..” Jawabnya,
"Jadi mesti berangkat sebentar lagi..”
Kami menikmati makan pagi buffet di coffee shop hotel itu. Tempatku mengenal Handy..
yang malam itu di tempat yang sama menambah daftar panjang pria-pria yang kujumpai dalam petualanganku.
Pria yang menarik. Di balik perilakunya yang santun, cerdas.. dan begitu menghormati wanita..
Ia juga piawai dalam bercinta.
Rayuan dan pujiannya dikemas secara tulus dan tersamar dalam pembicaraan..
Namun disampaikan secara vulgar dan menggoda di saat percintaan. Benar-benar dewasa dan jantan.
Memang ia kurang memiliki rasa humor..
Namun secara keseluruhan aku memberinya respek yang cukup tinggi.
Sebagai seorang wanita normal.. pria-pria seperti itu memang sulit ditolak.
Apalagi jika dibalut dengan penampilan yang rapi dan menawan. Benar-benar
‘A Few Good Men’.
Bagi para pria.. mungkin saja ini dapat dijadikan contoh..
Bahwa.. –kebanyakan..– wanita cukup cerdas untuk tidak menyukai pria dengan penampilan jorok..
Mulut kasar.. dan Obrolan bodoh.
(. ) ( .)
--------------------------------------oOo-------------------------------------
Credit goes to Sari The Lust Hunter.
Thanks to Wiro The Legend.
---
END OF CERITA 42..
SAMPAI JUMPA PADA CERITA LAINNYA.. ADIOS..!!