Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[KOMPILASI] FROM OFFICE AFFAIR (CopasEdit dari Tetangga)

Bimabet
:beer: .. eroS dooG
Eperibadi..

Noh.. di atas Nubi posting Cerita 42.. Episode Shade of The Pyramids

Sialkan dikenyot.. :nenen: n KEEP SEMPROT..!!
 
Terakhir diubah:
---------------------------------------------------------------------------

Cerita 42 – The Lust Hunter

Episode The Reunion


KRRRRR.. KRRRR.. KRRRR.. Getaran ponsel ini terasa membuatku geli..
Apalagi aku selalu meletakkannya di pangkuan.. pada saat mengemudi seperti ini.

Dengan penuh kerepotan akhirnya aku berhasil memasang earpiece dari peralatan handsfree ini..
Tanpa harus mengurangi kecepatan Katana hijauku.

–Mengherankan.. bukankah mereka merancang ‘handsfree’ untuk mengurangi kerepotan..?
Tapi kenapa kabelnya selalu kelewat panjang.. hingga malah bikin repot..?–

“Halo..!?” Sapaku dengan nada datar karena aku tidak sempat melihat caller id pada display.
“Sari..?” Tanya suara seorang pria di ujung sana.

“Yup..! Saya sendiri..”
Jawabku sambil melenggokkan setir menghindari sebuah truk sampah yang kelewat pelan.

“Masih inget aku nggak..?” Tanya suara itu lagi.
“Hmm.. siapa ya..?”

“Bret..!” Jawabnya singkat.
–info: Huruf e pada ‘bret’ itu dilafalkan seperti pada EmbEr, bukan pada kEntang..!–

“Hm.. Bret.. Bret.. siapa sih..?”
“Walah.. masa’ lupa sih..? Kamu dulu suka nyontek ke aku pas sumatif bahasa Inggris..!”

“Aaayayayaaa..! Bret..! Iya.. iya aku inget..!” Jawabku antusias ketika aku mengingatnya.
“Tumben nelpon..! Apa kabar..?”

“Baik..! Kamu sendiri gimana..?” –Percakapan selanjutnya nggak saya tuliskan..
karena hanya berkisar pada percakapan dua orang teman SMA yang sudah hampir 10 tahun tidak ketemu..–

Nama Bret itu sebenarnya bukan nama asli pria itu. Itu adalah panggilannya semasa SMA dulu..
karena celana abu-abunya pernah robek terkait paku di tembok pinggir kelas dan mengeluarkan bunyi ‘bretttt..!’

Dia salah seorang teman dekatku di SMA.
Kami menjadi begitu dekat karena saling membutuhkan dalam ulangan atau ujian.
–Bagi yang pernah SMA.. tentu mengerti maksud ’saling membutuhkan’ itu..! Nggak usah sok pinter..!–

Ia memberikan informasi padaku tentang reuni SMA kami dulu.. yang rencananya akan digelar besar-besaran..
dan melibatkan 50 angkatan.. sejak lulusan tahun 1950 sampai 2000.

Beberapa hari kemudian.. mantan-mantan teman SMA-ku juga lantas menginformasikan hal yang sama.
Begitu juga di beberapa website..
maklum SMA tempatku bersekolah dulu termasuk salahsatu SMA negeri yang disukai di kota S sini ini.

Meski awalnya aku kurang tertarik untuk hadir.. setelah beberapa teman mendesak akhirnya aku ingin hadir juga.
Lumayanlah untuk ketemu teman-teman lama.. pikirku.

Dan tentunya aku juga punya tujuan sampingan.. yaitu mendapatkan petualangan baru..! Hehehe.
Tapi pertanyaannya adalah dengan siapa aku akan ke sana..?

Tentu tidak mudah untuk mencari gerombolan teman-teman lama di tengah lautan orang dari 50 angkatan.. pikirku.

Kalau dulu waktu SMA sih.. dengan reputasi seperti aku.. tentu
banyak lebah-lebah yang mencoba hinggap untuk menawarkan jemputan.. tapi sekarang..?

Setelah hampir 10 tahun.. apakah lebah-lebah itu juga masih belum menemukan ‘bunga terakhir’-nya..?
Namun ternyata.. keadaan tidak seperti yang kubayangkan.

Mungkin ini yang dalam psikologi disebut sebagai ‘pemanggilan kembali memori lama..
yang dipicu oleh kondisi lingkungan yang serupa dengan kondisi masa lalu’.

Beberapa teman SMA pria yang kebetulan masih single..
–atau mengaku masih single..– menawarkan untuk menjemputku.

Untuk menghindari konflik dengan ibu-ibu rumah tangga..
maka aku terpaksa mencari data yang benar tentang para calon penjemputku itu lewat teman-teman tempat kerja mereka.

Sampai akhirnya aku memutuskan untuk berangkat bersama si Bret.. yang pertamakali menelponku tentang acara reuni ini.
Singkat kata.. malam ini aku sudah duduk manis di lobby apartemenku.. menanti jemputan si Bret.

–Sekedar info.. aku pindah rumah dari apartemen P ke apartemen M..
tempat yang dekat dengan salahsatu gerai Mc Donald’s di kota S..–

Setelah menunggu beberapa lama.. akhirnya si Bret itu muncul juga diantar oleh sepasang Satpam.
Mungkin karena tongkrongannya tidak banyak berubah sejak SMA.. masih bertampang agak kriminil..
maka kepala Satpam memutuskan agar dia diantar dua orang untuk masuk ke lobi apartemen.

“Hey..! Kamu tambah keren deh..!” Sapaku dengan basa-basi setengah flirt.
Bret diam saja. Ia malah berkacak pinggang dan mengamatiku dari ujung kaki ke ujung rambut.
Tapi tidak berhenti sebentar di daerah paha dan dada.. seperti lazimnya pria hidung belang yang menatapku.

“Hmmm.. kamu banyak berubah ya, Sar..?” Gumamnya.
“Oh..? Masa’..? Kamu juga kok. Kamu lebih pinter milih baju sekarang..!” Godaku lagi.

“Ya.. ya.. ya.. kamu juga sudah mulai belajar kalau baju dengan garis horisontal akan mengurangi kesan kerempeng..!” Balasnya.
Kami lalu tertawa-tawa.. dan masih melanjutkan saling ejek sampai kami masuk ke mobilnya.

Malam itu aku memang mengenakan pakaian setengah casual.
Sebuah kamisol garis-garis hitam putih yang dilapisi blazer hitam dan celana favoritku.. Armani ketat warna hitam.

Sementara Bret tampil dengan kemeja hitam yang merek-nya tidak jelas..
dan celana yang warnanya sulit dibedakan apakah biru atau abu-abu.

Si Bret ini sebenarnya lumayan good-looking.. dengan tampangnya yang campuran Ambon-Manado.
Tapi rambutnya yang dipotong model Ivan Drago itu memang membuat wajah kerennya terlihat agak jahat..
dan pantas dicurigai sebagai pembuat onar.. didukung dengan posturnya yang tinggi tegap namun agak sangkuk.

Akhirnya kami tiba di tempat reuni itu dilaksanakan.. yaitu di gedung SMA kami dulu.
Di kompleks SMA negeri favorit di perempatan yang cukup beken di kota S.

Suasana di luar gedung sudah penuh dengan manusia dari berbagai usia dan berbagai dandanan..
yang menunjukkan dari generasi tahun berapa mereka dilahirkan.

Teman-teman seangkatanku cukup banyak juga yang hadir.
Rata-rata dari mereka sekarang bekerja atau punya usaha sendiri.. dengan posisi ekonomi yang mulai mapan..
meski belum sukses-sukses amat.

Beberapa temanku dari klub Jangkung.. –klub basket..– juga hadir di situ.
Rata-rata dari mereka masih single.. karena sulit menemukan pria segenerasi yang lebih tinggi.
–Yah.. anggap saja alasannya begitu..!–

Beberapa teman malah datang bersama dengan mantan pacarnya waktu SMA dulu..
bukan dengan suami atau istrinya yang sekarang.
Cukup lucu.. meski menyerempet risiko cukup tinggi.. yang nanti akan kuceritakan lebih detail.

Acara dimulai.. kami masuk ke tengah lapangan luas yang dikelilingi gedung sekolah.
Gedung sekolah sudah banyak berubah.. dibangun di sana-sini.
Maklumlah.. banyak anak pejabat yang bersekolah di sini sejak dulu.

Bahkan beberapa pejabat.. seperti mantan Wapres juga alumni di sini dulunya.
Ada juga beberapa artis terkenal yang rupanya alumni sekolah ini.

Konyolnya.. secara tidak sengaja aku sering bertemu pandang dengan banyak pria..
yang pernah mengisi malam-malam seru dalam petualanganku.

Umumnya mereka tidak menyapa dengan kata-kata..
hanya menyunggingkan senyum yang lebih mirip seringai dingin.

Mungkin mereka teringat kembali akan adegan-adengan yang pernah mereka lakukan bersamaku.
Gila.. rupanya mereka juga banyak yang sekolah di sini dulunya.

Banyak juga rekan bisnis dari perusahaanku yang hadir sebagai alumni angkatan yang berbeda.
Golongan yang ini umumnya menyapaku dengan.. “Selamat malam Bu Sari.. rupanya alumni juga toh..!?”

Tapi lantas berubah jadi ledekan karena melihat name-tag angkatan yang kukenakan..
menunjukkan tahun yang jauh lebih muda dari mereka.

Kalau sudah begitu.. umumnya mereka bilang..
“Walah..! Ternyata Bu Sari ini masih kecil toh..!” Gitu.

Acara demi acara berlangsung di panggung tanpa banyak diperhatikan penonton..
karena mereka lebih sibuk bernostalgia dengan gerombolan seangkatannya.

Begitu pula rekan-rekan seangkatanku. Kami juga saling bersalaman sambil menjerit..
“Aaaaaaa..! Kamu kok tambah gendut..” atau tambah kurus.. atau tambah jelek.. atau yang lain-lain..

Yang kemudian disusul dengan.. “Eh, denger-denger si anu udah cerai dengan si anu..”
Atau.. “Kamu denger nggak kalau si anu sekarang jadi anu di perusahaan anu..”
Atau bahkan.. “Si anu masuk bui, lho..!” Sampai yang paling seram.. “Tau nggak.. si anu bunuh diri..!”

Beberapa pria dari klub basket yang dulu pernah.. engg.. ‘menjadi sparing partnerku..
dalam latihan berpetualang semasa SMA’.. kini mengitariku sambil berbasa-basi.

Tidak ada dari mereka yang berani membicarakan tentang apa yang pernah kami lakukan di aula kosong..
di ruang ganti.. atau di sudut kelas kosong 10 tahun silam.

Bukan apa-apa.. mungkin karena mereka merasa nggak enak dengan teman-teman pria yang lain..
yang rupanya juga pernah mengalami hal yang sama. Agak risih juga kalau sudah dalam posisi ini.

Untuk menghindari suasana rikuh.. aku memutuskan mengikuti ajakan Bret..
untuk bernostalgia memasuki ruangan kelas tempat kami dulu belajar bersama di kelas satu.

“Kamu inget apa yang pernah terjadi di kelas itu dulu..?”
Tanyanya ketika kami berjalan di koridor menuju kelas tersebut.

“Yang mana tepatnya..?” Tanyaku berusaha diplomatis.
“Itu.. yang pernah dilakukan sama si anu dan si anu..” jawabnya sambil tetap melangkahkan kaki.

“Hm.. yah.. inget sih.. apa itu bukan cuman gosip..?” Jawabku, lagi-lagi berusaha diplomatis.
“Hihihi..” Bret tertawa kecil.. “Yang aku ingat sih .. cuman gosip tentang kamu waktu itu..!”
–Yah.. kalau rekan-rekan pembaca rajin mengikuti serial Lust Hunter.. mungkin pernah membaca kisah kuno itu..!–

Setibanya kami di pintu kelas yang legendaris.. –menurutku..– itu..
Kami agak kaget karena mendapati pintunya seperempat terbuka.

Aku menghentikan langkah dan memasang telunjuk di bibir.. memberi isyarat Bret untuk tidak bersuara.
Meski sebenarnya itu tidak berguna.. karena suara hingar bingar band di lapangan tetap saja kencang.

Aku ingat benar situasi seperti ini pernah terjadi 11 tahun yang lalu.
----oOo----

Waktu itu sore hari.. sehabis olahraga.. aku dan beberapa teman wanita memergoki sepasang teman kami..
sedang bermain cinta secara terburu-buru di sudut kelas.

“Kenapa Sar..?” Bisik Bret. Aku hanya menunjuk-nunjuk lubang angin yang cukup besar di atas pintu..
memberi isyarat untuk mengintip dari situ.

“Ah.. ngapain pakai ngintip.. kalau pengen lihat ya buka aja pintunya..” bisik Bret lagi.
“Emangnya ada apa..?”

“Kamu ingat si Bibir dan si Evil..?” Bisikku pada Bret.
Ia menganggukkan kepala sambil memasang pandangan girang.

Si Bibir adalah teman pria yang dijuluki begitu karena kebetulan bibirnya agak oversized..
Dan si Evil adalah teman wanita yang dulu dianggap paling manis di kelas.. namun lidahnya agak tajam..
Hingga dijuluki begitu.

Mereka itulah yang pernah kepergok bermain cinta di kelas pada saat ruangan kosong..
ketika anak-anak lain sedang berganti pakaian atau minum sehabis olahraga.
“Mereka punya cara sendiri untuk reuni..” bisik Bret sambil menahan tawa gelinya.

Akhirnya kami memutuskan untuk melakukan apa yang pernah kulakukan 11 tahun lalu.
Berdiri di atas pot besar di dekat pintu.. dan melongok ke dalam lewat lubang angin besar di atas pintu kelas.

Dan.. well.. tebakan kami benar..! Si Bibir dan si Evil sedang berpelukan sambil mengumbar ciuman satu sama lain.
Keduanya masih mengenakan pakaian lengkap..
tapi memandangi mereka melakukan adegan begini harus kuakui cukup mendirikan rambut di tengkuk.

Sedang asyik-asyiknya mengintip.. tiba-tiba Bret turun dari pot dan menarik lenganku untuk pergi dari situ.
“Sar.. ayo kembali ke lapangan.”
“Kenapa emang..?”

“Nggak enaklah ngintip begitu..” jawabnya dengan wajah rikuh.
“Udah sama-sama tuanya. Lagian aku sekantor sama calon istrinya si Bibir. Nggak enak ntar kalau ketemu di tempat kerja..”

Aku memahami alasannya dan mengikutinya kembali ke lapangan..
tempat di mana hingar bingar band memainkan lagu-lagu tahun enam puluhan.

Beberapa teman berpamitan pulang.. karena waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam..
dan band baru sampai di tahun enam puluhan.

Kata mereka.. bakalan sampai pagi kalau nunggu bandnya memainkan lagu tahun sembilan puluhan.
Jadi mereka memutuskan pulang lebih awal.

Aku sendiri tidak ingin pulang.
Aku berdiri di antara teman-temanku.. mendengarkan musik sambil sesekali mengobrol ringan.

Sampai tiba-tiba bahuku dicolek dari belakang.
“Tukang ngintip.. ngga berubah juga rupanya, eh..?” Sapa si pencolek tadi.. yang ternyata adalah si Evil.

“Yah.. kamu juga ngga banyak berubah tuh kayaknya..”
Jawabku sambil menyunggingkan senyum simpul dan mengangkat alis kanan.

Kami lalu mundur beberapa langkah dari kerumunan orang yang perhatiannya tertuju ke panggung.

“Well.. well.. well.. Si Pemburu.. apa kabar..?” Tanyanya sinis sambil menepuk-nepuk bahuku.
“Baik..” jawabku sambil menatap matanya dalam-dalam.

“Baik sekali, Evil..” sambungku dengan nada sinis juga.
“Ya terang aja baik. Tiap malam pindah ranjang sih.. gimana mau ngga bahagia terus..?” Sindirnya.

Aku sempat ingin menamparnya karena kata-katanya diucapkan dengan volume kelewat keras..
tapi aku masih menahan diri.

“Aku dengar kamu udah jadi boss sekarang yah..?” Sindirnya lagi..
“Mendaki corporate ladder lewat ranjang..?”

Kali ini aku benar-benar tidak mampu menahan diri..
dan hampir menampar mulut genitnya kalau saja si Bibir tidak keburu muncul di samping Evil.

“Sar.. maapin dialah..” kata si Bibir dengan nada sok bijak..
“Kamu dengar cerita tentang dia kan..?”

Aku lantas mengurungkan niatku untuk menampar.. karena teringat cerita..
bahwa si Evil ini baru saja kehilangan suami dan karirnya..
karena dia mencoba ‘mendaki corporate ladder lewat ranjang’.. seperti yang dituduhkannya padaku.

Memang tolol juga dia.. mencoba cara itu di perusahaan BUMN tentu sulit dan berisiko..
karena dinding-dinding di sana punya mata dan telinga.

Untuk melemaskan syaraf yang tegang aku menjauhi kedua orang itu..
juga kerumunan orang di seputar panggung yang asyik mendengar musik.

Aku melangkahkan kaki keliling bangunan sekolah itu. Suasana masih tidak sepi karena masih banyak orang..
Tapi umumnya mereka berkerumun di sekitar panggung di tengah lapangan..
hingga sudut-sudut sekolah tua ini kosong.

Sempat aku mengenang beberapa sudut tempat seorang teman pria menyatakan cintanya padaku..
dan di sudut yang sama pula kami mengakhiri masa pacaran yang cuma dua minggu..
hanya gara-gara dia mendengar cerita kalau aku tidak punya latar belakang keluarga yang jelas.

Ck.. memori-memori menyedihkan itu terus bermunculan sampai akhirnya aku capek..
Lalu duduk di sebuah bangku panjang di tempat yang semasa sekolahku dulu adalah kantin.

Namun sekarang berubah jadi koridor.
Koridor yang sepi dan gelap.. yang luput dari perhatian banyak orang di acara reuni besar itu.

“Lagi ngapain, non..?” Kata sebuah suara pria yang sudah tak asing lagi.
Agak kaget.. aku membalikkan badan dan bertatapan dengan dia..
Seseorang yang akan menikahiku tahun depan.. The Big D..!!!

“Kamu.. kamu juga alumni sini..?” Tanyaku setengah kaget sambil menatap kedua mata elangnya.
“Yup..!” Jawabnya singkat sambil menunjuk name-tag di dadanya.. yang menunjukkan kalau ia lulusan dua tahun di bawahku.


“Haha, kaget ya.. kalau ternyata aku lebih muda..?”
Tanyanya sambil merengkuh pinggangku dan mengecup keningku.
“Ya.. ya.. kaget sekali..” jawabku,

“Tapi di paspor kamu.. umurmu sama dengan aku..?”
“Well.. aku sempat ikutan program AFS dulu. Jadi aku ketinggalan setahun..
dan aku masuk SD umur tujuh..” jawabnya singkat.

Kami terdiam beberapa saat sambil tetap tangannya merengkuh pinggangku..
dan wajah kami bertatapan begitu dekat.

Karena mengingat bahwa kami sedang berada di tempat umum.. aku melepaskan diri dan membelakanginya..
melihat jauh ke arah lapangan yang kini mulai ditinggalkan para pengunjung meski band masih memainkan lagu.

Kurasakan lagi kedua tangan D memeluk tubuhku dari belakang.
Hm.. nyaman sekali rasanya.. aku meletakkan telapak tanganku di atas punggung tangannya di perutku.

Bibir hangatnya kini menyentuh-nyentuh dan mengendus di leher kiriku..
membuatku memiringkan kepala ke kanan dan agak terpejam karena tersengat-sengat rasa geli.

“Mmmh.. hey.. uhh.. Boss.. kita lagi ada di .. ngggh.. tempat umum nihhhh..”
Rintihku pelan berusaha mengingatkannya.

“So what..?” Bisiknya di dekat telingaku, yang disambungnya dengan mengulum daun telinga kiriku..
membuatku terpejam dan mulutku menganga menahan rasa geli yang begitu nikmat ini.

“Uhhh.. D-Dittt.. uhhh.. jangan d-d-dis..sini donggg.. uhhh.. n-not now..!”
“Ehggg..!!!” Aku memekik tertahan dan tubuhku terjingkat..
ketika tiba-tiba kedua telapak tangan D menyusup ke balik blazer dan meremas kedua payudaraku.

“Sass..” bisiknya lembut di telingaku.
“Mmmhh.. iyahhh..?” Jawabku lirih.
“Agak geser ke kiri dikit biar nggak kelihatan orang..”

Sebenarnya aku rikuh karena kuatir ketauan.. tapi jemari D yang teliti itu..
berhasil menangkap kedua puting susuku dari balik kamisol yang kukenakan..
membuat seluruh tenagaku seperti tiba-tiba hilang dan tubuhku serasa begitu lemas..

Hingga aku merasa tak punya pilihan selain bergeser ke kiri..
dan posisi kami tertutup oleh dinding yang kini berada di depan mataku.

Di balik dinding itu juga.. D membuatku menyandar di dada bidangnya..
sambil membiarkan kedua tangan D menyelinap ke balik kamisol..
kemudian melepaskan kaitan bra sportku yang ada di bagian depan..

Sampai akhirnya kehangatan kedua telapak tangan besarnya..
menyelimuti seluruh permukaan kedua payudaraku yang mungil ini sambil memijat-mijat pelan.

Telapak tangannya yang kasar itu kini bergesekan dengan kedua puting susuku..
memberiku rasa rileks dan lemas serta geli yang luar biasa.

Harus kuakui, saat itu aku benar-benar terangsang hebat sampai kewanitaanku terasa melembab.
Ahh.. Kupejamkan mata menikmati belaian-belaian lembutnya yang menerpa kedua titik paling sensitif itu..

Ehmm.. terasa semakin lemas badanku.. Kubuka sedikit mataku.. semakin lincah pula gerakan jemari D di situ.
Sejenak dilepaskannya.. memberiku waktu menarik nafas.

Namun tidak terlalu lama.. karena ia segera membalikkan badanku mengadap ke arahnya..
dan mencium serta menjilati leherku yang panjang ini..

Uuh.. terasa hangat dan mesra sekali gerakan lidah yang lembut.. licin.. dan lembab itu menyapu-nyapu leherku.
Telapak-telapak tangan besar itu kini bergeser di pinggangku..
menjamah punggungku dan menyangganya agar aku tidak terjengkang ke belakang.

Lidah dan bibir yang hangat dan lembab itu kini seperti berputar-putar pada kain tipis kamisol yang kukenakan..
berputar-putar di atas puting susu kananku..

Aduhhh .. tiap gesekan kain basah yang terdorong-dorong oleh lidah lembut itu memberiku sensasi yang sulit kulukiskan.

Meski mencoba membuka mata.. tetap saja alisku tak kuasa berada dalam posisi santai..
mereka terus mengerenyit ke tengah menahan rangsangan birahi yang semakin menggelegak.

Pandanganku yang tadinya jelas kini mengabur karena mataku menyipit..
hingga bulu mataku menghalangi pandangan.. sementara mulutku seperti tak sempat mendesah..

Karena untuk menarik nafas agak panjang saja selalu tersendat..
setiapkali sapuan lidahnya menggeser pada puting-puting susuku.

Kakiku tak lagi mampu menahan tubuhku. Keduanya terasa gemetar dan tidak menjejak tanah.
D menyandarkan aku ke dinding dan menghimpitkan tubuh besarnya ke tubuhku.

Puting-putingku yang telah mengacung tinggi seperti tertekan oleh otot-otot dadanya..
yang tersembunyi di balik kemeja itu.. bibir-bibir kami yang telah basah ini kembali beradu.

Kedua lenganku mendekap lehernya erat-erat..
Aku tak ingin melepaskannya kali ini.. benar-benar tidak ingin.

Kami berciuman dengan amat buas dan liar.. diiringi dengan pagutan dan isapan keras..
Dan kedua pasang mata kami terbuka, saling menatap.

Tajamnya sorot mata yang kini tak lagi terlindung kacamata itu..
makin membuat birahi dalam dadaku terasa menyesakkan..
Mata itu.. mata itu seperti menusuk dan mengaduk-aduk perasaanku yang sudah terlanjur dipenuhi nafsu.

Jemarinya bergerak lagi.. cepat sekali. Kali ini di bawah pusarku.
Dan kurang dari tiga detik.. jins Armani yang kukenakan telah turun hingga ke lutut.

Meski kedua kakiku terkatup rapat, tidak sulit bagi jemarinya..
untuk menerobos ke balik celana dalam St.Michael yang kukenakan..

Ia mengelus-elus sejenak rambut-rambut halus yang tumbuh di bawah perutku..
Lalu.. slekk..! Melesak ke tengah.. lebih ke dalam.. menyelusupi liang nikmatku.

Jepitan kedua pangkal pahaku tak mampu menghalangi jari tengahnya menyentuh pangkal bibir kewanitaanku.
“Ehgggg..” aku menjerit tertahan ketika tubuhku tersentak oleh rasa nikmat yang tiba-tiba menyambar kewanitaanku.

Jari itu tidak tinggal diam di situ.. ia berputar dan bergerak-gerak..
cairan pelumas yang sudah sejak tadi mengalir di situ seolah-olah hendak dioleskannya rata..
ke permukaan bibir kewanitaanku yang kini menguncup karena jepitan pahaku.

“Ohhh.. D-D-Diitttt.. j-j-jangan di siniiiihhhhh.. hhhhhh..” pintaku memelas.
“Sass.. relax. I dont wanna make luv wiz ya rite here, lady..! I just wanna give ya sumthin’ to rememba..!
Just enjoy..!” Cerocosnya sambil menjilati telinga kiriku.

Dengan agak susah payah.. aku berhasil merenggangkan sedikit kedua pahaku..
meski celana Armani ketat itu masih memborgol kedua lutut ini.

Kurasakan jari tengah dan jari telunjuk pria itu..
menekan kuat pada ujung atas bibir kewanitaanku, dan didorongnya ke bawah..

Ughhh.. kedua jari besar itu bergerak-gerak di pangkal terowongan kewanitaan..
yang kini makin lembab dan tergenang lendir pelumas hingga terdengar suara kecipak..

Aduhhh.. rasanya tak tertahankan, geli.. nikmat, dan penasaran berkecamuk di kepalaku..
makin erat kutarik lehernya hingga bibir kami makin rapat bertautan.

Clrupp.. Dijejalkannya lidahnya ke dalam rongga mulutku.. dan dijilatinya langit-langit di situ.
Aku kegelian.. dan berusaha untuk berontak.. namun tidak semudah itu.

Karena pada saat itu juga kedua jarinya yang besar dan kasar itu menerobos masuk!
“Unggghghhhhhh..” aku mengerang lirih ketika kedua jari itu terbenam ke dalam tubuhku.

Dilepaskannya kuluman pada bibirku.. ditatapnya mataku tajam-tajam dengan tanpa ekpresi.
Aku berusaha membalas tatapan tajamnya itu.. namun sulit sekali..
karena mataku menyipit-nyipit menahan rasa nikmat pada kewanitaanku.

Apalagi ketika kedua jarinya itu berpencar di dalam, dan bergerak-gerak sendiri-sendiri..
“Oohhhhh..” aku tak mampu lagi membuka mata dan mempertahankan ekspresi datar.

Kedua mataku tertutup rapat dan kedua alis mataku seperti dipaksa untuk berkumpul di keningku..
gigiku terkatup rapat sementara bibirku setengah terbuka.

Aku mendesah-desah menghayati permainannya..
yang membuat badanku seperti kehilangan tulang belulangnya, lemas.

Sambil tetap memainkan jemarinya dalam kewanitaanku.. ia membungkuk..
dan mulutnya menangkap puting susu kiriku yang tersembunyi di balik kamisol yang kukenakan.

Aku menggeliat dan menggelinjang sekuatku untuk menahan rasa geli dan birahi yang dikirimkannya secara intens ini.
Kedua jarinya seperti mengaduk-ngaduk isi kewanitaanku..
kedua bibirnya menjepit dan menarik-narik puting susuku dengan tak kalah cepatnya.

Semuanya membuatku seperti lupa daratan..
Lupa bahwa aku sedang berada di gedung sekolah tempatku belajar di SMA dulu..

Lupa bahwa tiap saat bisa saja ada seseorang yang muncul dan melihat kami berdua melakukan itu..
Lupa segala-galanya.
Yang terpikir hanya bagaimana agar kehangatan tubuhnya tetap menempel pada tubuhku selamanya.

Ia terus saja mengocok-ngocok cairan di dalam kewanitaanku dengan kedua jarinya yang lincah..
sementara kini aku tersandar di dinding hanya berpegangan pada bahunya yang keras itu.

Kubiarkan saja ketika gigi-giginya menggigit kerah blazerku yang kanan dan melorotkannya ke bawah.

Bahuku terasa dingin diterpa angin malam.. namun segera diselimuti kehangatan..
ketika ia mengoles-ngoleskan lidahnya di situ.. merambati leher dan pundakku.. menggigit tali kamisolku..
kemudian melorotkannya juga.. hingga aku merasa begitu seksi berada di hadapannya dalam kondisi seperti ini.

Tangan kirinya yang sedari tadi menyangga berdiriku terlepas dari punggungku.. dan berpindah pada puting kananku.
Dipilinnya.. dijentik-jentikkannya.. dan dicubit-cubitnya puting yang telah membengkak ini.

Aku berpegangan erat pada bahunya agar tidak jatuh karena kehilangan keseimbangan.
“Ohhh.. D-d-ditttt.. aduhhhh..” aku mengerang sambil menyebut-nyebutkan nama kekasihku itu.

Sesuatu yang tidak pernah kulakukan dalam hubungan intim dengan pria mana pun kecuali dia.
“Hold on, lady..” bisiknya lembut, “You look so great tonite.. I luv ya..” bisiknya lagi.

Karena berkali-kali kedua jemarinya itu menyentuh titik yang tepat..
dan karena birahiku sudah tak tertahankan sejak tadi.. akhirnya aku terlanda gelombang orgasme juga.

Tidak terlalu dahsyat memang.. karena aku tidak se-rileks jika berada di tempat yang lebih terjaga privacy-nya..
Namun yang namanya orgasme tetap saja orgasme.

Di mana pun kita mengalaminya..
tetap saja akan ada detik-detik yang terasa ‘kosong’ saat kesadaran meninggalkan raga kita meski sebentar.

Aku sempat mengerang panjang.. sebelum terkulai lemah di dinding batako itu.
D mencabut kedua jarinya dari tubuhku.. memasukkannya ke dalam mulutnya..

Slrupp.. slruppp.. kemudian terdengar bunyi cercapan mengisap.
Dikeringkannya kedua jari itu dengan celananya sendiri, dan dipeluknya tubuhku erat-erat.

Kutempelkan kepalaku pada dada bidangnya.. dan mataku terpejam sejenak..
merasakan perasaan hangat dan aman yang selama hidup ini baru dapat diberikan oleh dia.

Agak lama kami berpelukan erat begitu.. sampai aku merasa seluruh energi dan kesadaranku pulih kembali.
Kubereskan lagi letak celanaku. D membantuku mengancingkan kaitan bra sportku.
Jari-jarinya menyisir sejenak rambutku yang agak acak-acakan karena ulah kami barusan.

“Kok nggak keliatan warna birunya..?” Tanyanya mengomentari rambutku.
“Gelap sih. Kalau siang kan kelihatan sedikit..” jawabku singkat.. seolah tidak terjadi apa-apa barusan.

“Nggak balik ke gerombolan angkatanmu..?” Tanyanya lagi.
“Nanti sajalah..” jawabku cuek, tapi sambil menyandarkan kepala ke bahunya.

“Mm.. sebaiknya kamu segera balik ke sana..” kata D lagi.
“Kenapa emang, Boss..?” Tanyaku sambil berusaha mempertahankan posisi kepalaku di bahunya.

“Si Bret tampak mencari-cari kamu. Mungkin mau diajak pulang, udah malam..” jawab D lagi.
“Mana sih..?” Tanyaku sambil menatap jauh ke kerumunan orang di sekitar panggung di tengah lapangan.
Tampak kabur karena aku tidak mengenakan kacamata minusku yang memang jarang kupakai di luar jam kerja.

“Aku pulang sama kamu aja..” jawabku singkat.
“Weits..! Nggak bisa dong, Bret kan kasihan.
Dia sebagai cowok kan bertanggungjawab ngantar kamu sampai di rumah lagi. Kan dia yang jemput..” jawab D..

“Nanti aku susul ke apartemenlah.. jam satuan..” sambungnya.
Aku tersenyum dan mengecup bibirnya singkat, lalu kembali melangkahkan kaki ke arah kerumunan orang.
----oOo----

Di dalam Kijang EFI silver milik si Bret aku menurunkan sandaran bangku agar posisiku lebih rileks.
Kedua telapak tangan kuletakkan di belakang kepala sambil menatap jalanan, membayangkan kejadian bersama D tadi.

Bret menghidupkan radio dan terdengar suara Mr.Big melantunkan ‘To Be With You’.
“Nah, finally..” ujar Bret.. “Lagu tahun sembilan puluhan awal..!”

“Hihihi.. emangnya tadi band-nya sampai tahun berapa..?” Tanyaku.
“Mereka nggak urut mainnya..” jawab Bret..

“Mulanya mereka mainin lagu-lagu baru.. lantas lagu enam puluhan..
Tapi pas kamu nggak ada tadi, band-nya mainin New York, New York..”
“Ooo..” jawabku singkat.

Lalu kami terdiam sampai lagu Mr.Big tadi habis.

“Sari..” kata Bret memecah kesunyian.
“Kenapa..?” Jawabku sambil tetap dengan posisi duduk yang tadi.. hanya kini mataku melirik ke arahnya.

“Apa yang diceritakan beberapa orang tentang kamu itu betul..?” Tanyanya dengan nada diplomatis.
“Tergantung dari apa yang kamu dengar dari mereka..” jawabku tak kalah diplomatis.

“Hm.. aku rasa kamu lebih tau sih..” jawabnya lagi.
“Mereka mungkin masih terbawa performance kamu pas di sekolah dulu, sering ganti teman jalan..”

“Emangnya apa yang salah dari berganti-ganti teman jalan..?”Tanyaku mencoba membelokkan arah percakapan.
“Nggak ada sih..” jawabnya, “Nggak ada sama sekali.”

Suasana sepi lagi.. meski dari radio kini terdengar.. ‘You’re All I Need’-nya White Lion.
“Kamu udah ketemu D tadi ya..?” Tanyanya di tengah-tengah lagu.

“Kok kamu tau..?” Tanyaku balik.
“Nggak apa-apa..” jawabnya.

“Dia yang nyuruh aku nelpon kamu tentang acara ini. Dia juga bilang agar aku jemput kamu ke acara ini..”
“Oh..? Gitu..?” Tanyaku agak heran.

“Yup..! Dia memang sengaja ngasih kamu kejutan, katanya..” jawab Bret datar.
“Sudah dikasihin belum kejutannya..?”

“Hihihi.. well.. udah kok..!” Jawabku dengan tawa kecil penuh arti.
Bret tidak menjawab.. hanya tersenyum kecil.. seolah mengerti apa yang dimaksud.

“He’s a great guy, Sar..” kata Bret dengan nada datar lagi..
“Terlepas dari semua gosip tentang petualangannya, dia orang yang baik..”

“Yah.. well.. begitulah..” jawabku singkat.. “Kayaknya kamu tau banyak tentang kami..” sambungku.
“Kurang lebih begitulah..” jawabnya..

“Beberapa waktu lalu.. pas kalian pertamakali ketemu.. dia banyak tanya ke aku tentang kamu.
Karena dia tau kalau aku teman dekatmu dulu..”

“Hahaha..! Dasar cowok..!” Jawabku tertawa geli.. “Selalu konspirasi di sana sini..!”

Kijang silver itu mulai memasuki halaman apartemenku di daerah timur agak ke selatan kota S.
“Tuh, dia udah di lobby..!” Kata Bret sambil menunjuk ke arah lobby..

Di mana di situ terlihat sosok ‘The Big D’ sedang berdiri tegak menatap ke arah mobil kami.
Di sampingnya tampak seorang Satpam yang ukurannya nyaris setengahkali ukuran si D.

Setelah berpamitan dengan Bret dan mengucapkan terimakasih atas tumpangannya..
aku mengajak D melihat ke kamar apartemenku yang baru ini.. yang belum tertata..
dan D berjanji untuk membantu menatanya sebelum dia pulang ke Jakarta minggu depan.

Kami mandi bersama lalu pergi tidur. Di atas ranjang kami tidak melakukan apa-apa selain berpelukan sambil ngobrol.
Menceritakan teman-teman SMA di masa lalu.. di mana ternyata banyak dari teman-teman SMA-ku adalah teman SMP si D.

Ngobrol tentang bagaimana peran Bret dalam membantu D mendapatkan aku.. –hehehe, GR nih..!–
Konyolnya.. D juga menceritakan bahwa alasan Bret membantunya adalah..
karena D pernah membantu Bret mendapatkan calon istrinya yang sekarang.. –Dasar pria..!–

Setelah lama ngobrol.. akhirnya kami lelah dan sama-sama tertidur.

D masih menginap di apartemenku selama seminggu.. dan tentu banyak cerita..
tentang apa yang kulakukan bersamanya di sudut-sudut kamar apartemenku yang baru itu. (. ) ( .)
----------------------------------oOo-----------------------------------
 
Suhu, ingat cerita yang intinya ada istri lagi menunggu dijemput suami, terus quicky sama temen kantor sampe suaminya datang

Hampir ketahuan trus pura pura cari cincin di kolong meja
 
Suhu, ingat cerita yang intinya ada istri lagi menunggu dijemput suami, terus quicky sama temen kantor sampe suaminya datang

Hampir ketahuan trus pura pura cari cincin di kolong meja
:jempol: Woww.. cakepp brada..

Iya.. mudah2an sempet Nubi saving..
Ntar deh Nubi posting di mari..
 
----------------------------------------------------------------------

Cerita 42 – The Lust Hunter

Episode Fresh From the Oven


Malam itu.. sepulang dari kantor.. dua orang wanita rekanku mengajak bersenang-senang sejenak..
Sekedar untuk melupakan kesibukan.

Memang hari-hari itu terasa sangat menyesakkan dada dan memeras keringat..
–Meski agak memalukan kalau diingat.. bahwa semua kesibukan yang kulakukan itu..
hanya untuk bisa memarkir mobil di sebuah petak yang berbeda dengan yang selama ini harus didapat secara berebut..–

Kedua temanku itu Reni dan Nova single dan masih muda, usianya dua-tiga tahun di bawahku..
–tua nih..! Hihihi..–

Mereka relatif masih 'fresh from the oven'.. dan belum banyak mengenal dunia malam..
Meski ngakunya sok 'bergaya hidup bebas'.

Sejak awal.. mereka berjanjian untuk memakai busana paling seksi dan 'mengundang' untuk acara malam itu.
Ketika mereka mengajakku untuk tampil demikian.. aku hanya tersenyum.
Karena mereka mengatakannya di kantin.. hingga didengar banyak orang.

Tapi sejujurnya aku rada bingung juga untuk memilih pakaian macam apa yang harus kukenakan malam itu.
Setelah menanti jarum jam bergerak dengan sangat lamban.. akhirnya waktu yang dinanti-nanti tiba.

Nova yang kebetulan adalah bawahanku di kantor..
segera menyerbu masuk ke kamar kerjaku dengan tergopoh-gopoh.

"Bu Sari.. Jadi nggak nih..?” Tanyanya sambil menggerak-gerakkan gagang pintu..
untuk meyakinkan bahwa sudah terkunci dari dalam.
"Jadi dong. Udah siap..?” Tanyaku.

"Eh.. ntar jangan manggil bu ya..? Aku jadi kerasa tua.."
"Oh iya.. sori mbak Sari..” jawabnya sambil meletakkan kantong plastik besar di meja kerjaku..
yang masih penuh kertas-kertas laporan.

"Apa tuh..?” Tanyaku.
"Pakaian buat nanti..” Jawabnya sambil menuang isi kantongnya ke meja kerjaku yang malang itu.

"Iya, iya.. tapi gantinya ntar aja..! Kan kita makan malam dulu..!”
Jawabku sambil memungut sebuah sackdress hitam yang jatuh dari kantongnya.

"Apa nggak jemput Reni dulu, bu.. eh, mbak..?”
"Iya.. tenanglah.. Gugup amat sih..?”
Nova hanya tertawa kecil mendengar komentarku.

Ia lalu meminjam telepon dan meninggalkan pesan di rumahnya agar ayahnya tidak menjemputnya di kantor..
karena ia harus lembur sampai larut malam. Dasar anak nakal.. pikirku.

Lebih nakal lagi ketika ia menyerahkan gagang telepon padaku untuk bicara dengan ibunya..
dan menerangkan bahwa aku yang akan mengantarnya pulang seusai lembur.. –duh..!–

Nova menumpang di Katana hijauku. Kami lalu menuju ke ujung timur kota S untuk menjemput Reni..
yang bekerja di salahsatu cabang bank swasta dengan logo lucu.

Agak keberatan juga sebenarnya.. karena kedua anak itu minta untuk makan malam di apartemenku..
yang berada di ujung barat kota.. tapi akhirnya aku setuju saja.
Sudah begitu.. sesampainya di rumahku.. Nova dan Reni tidak membantuku menyiapkan makan malam.

Nova mematut-matut dirinya di depan cermin dengan sackdress hitamnya yang ketat..
Sementara Reni malah dengan giatnya meng-explore rumahku dengan komentar-komentar konyolnya..
mengenai ruang-ruang yang dicat hitam.

"Enak ya, punya rumah begini..” komentar Reni sambil melihat keluar jendela..
memandangi lampu-lampu di jalan yang tampak kecil dari lantai itu.

"Hmm.. yah.. nggak ada halamannya tapi.. dan juga nggak bisa melihara anjing..”
Jawabku sambil menata piring di meja makan.

"Mbak.. ini bagusnya dikasih sabuk apa enggak ya..?” Tanya Nova dari kamar tidurku.
"Nggak usah.. tapi tutup aja dengan kemeja tipis.. biar ngga terlalu mencolok gitu..” jawabku..
karena baju itu kelewat ketat di bagian dadanya.

"Wah, aku nggak bawa tuh..” jawab Nova.
"Kalau pinjam yang kuning ini boleh nggak, Mbak..?”

Rupanya anak itu sudah mengobrak-abrik lemari pakaianku juga.
"Oh iya, aku juga mau pinjam yang ini ya, Mbak....!” Kata Reni juga dari kamar tidurku.
"Aku udah lamaaa pengen pakai baju Escada.."

Setelah berbagai keributan dan kekonyolan, akhirnya kami siap juga.
Waktu yang tadinya kuperkirakan akan longgar.. ternyata tersita cukup banyak..
hanya untuk mendandani mereka berdua.

Harus kuakui.. mereka memang tampak elegan dan menggoda.
Tentu saja begitu.. karena apa yang mereka pakai hampir semuanya milikku..! Hehehe..

Aku mengenakan jins stretch Armani hitam.. kaos ketat hitam tanpa lengan.. dibalut kemeja Kenzo kuning..
yang kancingnya terbuka semua dan ujung bawahnya kuikat.

Reni mengenakan celana ketat Escada biru muda.. yang agak kekecilan.. –karena bukan miliknya..!–
dan kemeja Versace ketat kembang-kembang biru tua.

Sementara Nova.. tetap memakai sackdress mini hitam ketat yang sedari tadi disiapkannya dari rumah..
namun melapisinya dengan kemeja D&G putih transparan yang diambilnya dari wardrobeku.

Akhirnya, pada jam sembilan malam.. Katana hijau berhenti di depan pintu utama hotel S..
yang menempel pada plaza T3.. salahsatu plaza besar di kota S ini.

Dalam hotel S itu terdapat sebuah Niteclub.. namanya B. Niteclub biasa sih..
tapi pihak manajemennya memberi positioning 'Fun Pub' pada tempat itu.

Setelah menyerahkan mobil pada valet.. kami mulai berjalan melewati lobi hotel itu untuk menuju ke Niteclub B.
Puluhan pasang mata pria segera tertuju pada kami bertiga.

Well.. dapat dimaklumi.. karena Nova yang jangkung dan mantan atlet itu tampak begitu anggun dan elegan..
tanpa kehilangan kesan seksi.
Sementara Reni yang langsing dan agak pendek.. tampak begitu sensual dengan tampangnya yang tirus dan dingin.

Sedangkan aku sendiri..? Well.. hak sepatu setinggi 17 senti..
membuat tubuhku yang 176 ini tampak seperti kereta api yang diberdirikan.

Dekorasi dalam niteclub itu dibuat bernuansa gaya afrika.. lengkap dengan pohon-pohonan dan monyet-monyetan.
Kami bertiga duduk di sekitar bar yang terdapat di tengah ruangan.

Aku duduk di tengah.. Nova dan Reni di samping kiri-kananku.
Bartender menyapaku dengan ramah.. karena aku pernah mengunjungi tempat itu beberapakali.

Untuk mencegah risiko yang tidak-tidak..
aku meminta Reni dan Nova untuk tidak memesan minuman yang aneh-aneh..

Sementara aku sendiri tetap setia dengan trademark-ku.. aqua tidak dingin.
"Dah.. have fun, sana..!” Kataku pada dua temanku di sela bisingnya musik dari sebuah band asal Filipina.

"Mm.. gimana mau having fun.. tempatnya brisik gini..!?” Teriak Reni di depan telingaku.
Selagi aku omong-omong dengan Reni.. seorang pria bule duduk di stool di samping Nova dan menyapanya ramah.

"Ren, lihat tuh, si Nova dapat gebetan..!” Teriakku di kuping Reni.
"Iih.. kok bule..!?” Teriak Reni di kupingku dengan nada bertanya.

"Kenapa emang..!?” Teriakku balik.
"Bule kan biasanya senang dengan yang item, pendek, dan jelek..?” Kata Reni.
"Nova kan bukan tipe begitu..?” Sambungnya.

"Bule yang ini kayaknya lebih berselera tinggi..!”
Jawabku sambil membiarkan seorang pria berpakaian casual duduk di samping Reni.

Tidak butuh waktu terlalu lama untuk membuat Reni dan Nova bercakap-cakap akrab dengan kedua 'teman barunya'.
Mereka memang berlatar belakang PR dan CS.. sehingga menyenangkan dan mudah diajak bergaul.

Si Bule mengajak Nova turun ke lantai dansa dan Nova mengikutinya.
Mereka berdua berdansa mengikuti lagu 'Celebration' yang dinyanyikan band itu.

Nggak nyangka juga.. ternyata Nova yang tadinya terkesan kuper..
kini melenggok dengan seksinya di lantai dansa.

Bajunya.. –Eh, bajuku..!– dibiarkan terbuka kancing-kancing atasnya..
hingga bahu indahnya tersingkap saat ia bergerak. Si bule tampak makin penasaran.
Aku hanya tertawa geli melihat wajah Nova yang kini perpaduan antara risih.. geli.. bingung.. sekaligus senang.

"Eh, kenalin Mbak.. ini Norman..!” Kata Reni memperkenalkan teman barunya padaku.
"Norman..!" Kata pria berdagu panjang itu memperkenalkan diri.

"Rasa-rasanya kok pernah ketemu ya..?” Tanyanya lagi.
"Hm.. mungkin juga sih..!” Jawabku sambil mengingat-ingat. "

Kerja di mana Mas Norman..!?”
"Advertising..!” Jawab pria itu sambil berdiri memasang gaya macho di depan aku dan Reni.

"Ooh.. mungkin kita emang pernah kenal..!”
Jawabku lagi sambil menyebutkan beberapa nama di dunia Ad yang pernah kukenal.

Akhirnya pembicaraan kami menjadi akrab.. dan Reni jadi agak tersingkir..
karena ia berasal dari dunia banking, dunia yang berbeda.

"Kalo ngga salah.. Sari temannya Ditto kan..?” Tanya Norman lagi.
"Dulu kalo ngga salah ketemunya kan pas bareng dia..?”

"Hmm.. yah.. agak lebih dari sekedar teman..!” Jawabku.
Sengaja aku berkata begitu agar perhatian Norman kembali difokuskan pada Reni.
"Wah.. salam buat Ditto yah..!” Kata Norman sambil menghabiskan sisa Coke-nya.

"Kalau Reni, kerja di mana..?” Buset.. cepat amat perhatiannya beralih..
hanya gara-gara ia mendengar nama pacarku itu.
Akhirnya Reni dan Norman pun turun ke lantai dansa, meninggalkan aku sendirian.

Karena Nova dan Reni tampak asyik masyuk bersama pasangannya masing-masing..
aku meninggalkan pub itu untuk sekedar mencari suasana lain.

Aku berjalan ke lobi hotel itu dan duduk di salahsatu kursinya..
mengamati orang-orang yang baru pulang dari sebuah pesta pernikahan di lantai atas.

Mataku melihat-lihat ke arah balkon.. dan menjumpai seorang pria melambai-lambaikan tangannya padaku.
Karena waktu itu lensa kacamataku sudah waktunya ganti.. aku hanya membalas dengan senyum..
tanpa yakin benar siapa orang itu.

Tapi pria itu lalu menuruni anak tangga dan berjalan ke arahku.
Ternyata dia adalah Anto.. seorang broker forex yang bekerja di perusahaan investasi valuta asing..
yang berlokasi di lantai dua hotel itu.

Aku mengenalnya cukup baik.. karena pacarku Ditto pernah menginvestasikan sejumlah uangnya di tempat itu.
"Apa kabar, mbak..?” Katanya sambil menjabat tanganku.

"Nggak sama Pak Ditto..?”
"Nggak, dia lagi di Jakarta..” Jawabku.

"Tambak imut aja Tok..?”
Sambungku begitu melihat ia tak lebih tinggi dari dadaku karena sepatu hak tinggi yang kukenakan.

"Ah, biar imut yang penting kan kualitasnya..!”
Jawabnya bercanda sambil menyalakan sebatang Gudang Garam Surya.

Dia lantas menceritakan bahwa ia sudah tidak lagi bekerja di perusahaan forex itu.. karena terlalu lama tidak mendapatkan klien.
"Karena nggak dapat klien, atau karena nggak dapat jodoh, Tok..?” Tanyaku menggoda.
"Dua-duanya sih..!” Jawabnya. "Abis susah cari cewe yang bisa mengerti profesi seperti ini, kerja sampai pagi."

"Yah, kamu sih, masa cewe kamu ajak ngomongin duiiit terus. Mending kalo duit itu duit kamu."
"Hahaha, iya juga yah. Mungkin aku perlu juga nambah wawasan."

Seperti diundang, Reni muncul di hadapan kami. Rupanya ia kurang menyukai suasana ramai di pub tadi.
Aku memperkenalkannya dengan Anto.

"Tok, Reni ini bankir.. kerjaannya sama kayak kamu.. ngitungin duit orang..”
kataku pada Anto dengan nada penuh arti.

"Oh ya..? Di bank mana..?” Tanya Anto pada Reni dengan tatapan agak nakal.
Mata Reni memang mudah membuat pria menatapnya dengan gaya begitu.

Keduanya segera berbincang-bincang ramai membicarakan masalah mata uang asing..
topik yang agak aku hindari karena pacarku pernah kehilangan duit agak banyak dalam bidang itu.

Aku hanya senyam-senyum sambil sesekali bilang "Oh ya..?” dan "Luar biasa..” saja di sela pembicaraan seru mereka.
Sampai akhirnya si Norman yang tadi 'kehilangan' Reni di pub menyusul kami dan mengajakku pindah ke meja lain.

"Sar, temanmu yang satu lagi seru deh..”
Kata Norman sambil menawarkan sebatang Dunhill menthol yang aku tolak.

"Oh ya..? Ngapain emangnya dia..?”
"Band-nya main lagu Crazy, trus dia slow dance sama orang bule..
Wah.. dance-nya rapet banget.. bikin yang nonton pada deg-degan.."

"Crazy-nya Julio Iglesias apa Crazy-nya Aerosmith..?” Kataku bercanda.
Kami lalu tertawa-tawa dan melanjutkan pembicaraan akrab..

Karena memang kami pernah ketemu, dan kebetulan mengenal banyak orang yang sama.
"Nggak sepi ditinggal Ditto ke Jakarta..?” Tanyanya di tengah pembicaraan.
"Iya nih, sepi..” Jawabku sambil menyandarkan punggung di sofa.. "Kenapa..? Mau nemenin..?”

"Wah, kan nggak enak sama Ditto..” Jawabnya, "Bisa-bisa aku disembelihnya."
"Hihihihi.. berarti, kalau faktor Ditto kita singkirkan, kamu oke-oke aja ya, Man..?”
"Ya tergantung kamunya..” Jawab Norman santai, tapi matanya memberi isyarat lain.

Tidak perlu kuceritakan apa yang kami obrolkan sesudah itu..
Tapi lima menit kemudian aku berbisik pada Reni yang masih asyik ngomongin duit dengan Anto.

"Ren, aku tinggal dulu sebentar, nanti aku balik lagi..”
"Mau ke mana, Mbak..?” Tanya Reni.
"Ke atas sebentar, nanti balik lagi kok. Kamu sama Nova tunggu aja, oke..?” Jawabku.

Karena masih sedang berdiskusi seru dengan Anto.. Reni mengangguk saja.
Aku dan Norman segera melangkah cepat keluar dari lobby dan menuju ke gedung apartemen..
yang terletak bersebelahan dengan hotel itu.
Norman mendapat fasilitas untuk menginap di situ selama semalam karena mengerjakan Ad untuk apartemen itu.

Setelah menebar senyum manis pada satpam dan resepsionis.. dan setelah menyusuri koridor yang agak panjang..
kami tiba di unit kamar yang ditempati Norman.
Unit apartemen itu tidak besar, namun mewah. Lebih mewah dari apartemen yang kutinggali di ujung barat kota.

"Wah, untung juga kamu dapat voucher nginep disini..” Kataku sambil mengamati perabotan luks di ruang tamu unit itu.
"Aku lebih untung lagi karena kamu ada disini..” Jawabnya. "Dan si Ditto lagi di Jakarta..!” Sambungnya bercanda.

"Untuk sementara, nama itu tidak perlu diingat-ingat dulu..”
Jawabku sambil melepas ikatan di ujung bawah kemeja Kenzo kuningku.

Aku dan Norman berdiri bertatapan dengan jarak dua meter..
aku melepaskan kemejaku dan membiarkannya jatuh ke lantai..
sementara Norman melepaskan kaosnya dengan gerakan yang cepat dan tegas, lalu melemparkannya ke samping.

"Copot sepatumu dong, aku risih harus melihat ke atas..” katanya sambil tetap memasang muka serius.
Aku segera melepaskan kakiku dari sepatu.. lalu menendangnya ke samping.
Tanpa sepatu.. aku lebih pendek sedikit dari pria itu.

"Kenapa dada kamu itu..?” Tanyaku menunjuk dada Norman yang ditumbuhi sebentuk daging tebal melintang..
membuatnya berkesan tegap kalau memakai kaos ketat.

"Bekas jahitan operasi..” Jawabnya singkat. "Kamu jijik..?”
"Oh, nggak. Sama sekali enggak..”
Jawabku sambil juga memasang wajah serius dan tetap menatap matanya dalam.

"Kamu udah lihat dadaku kan..? Sekarang gantian dong..”
Katanya sambil tetap memasang wajah serius dan melangkah mendekat.

Dengan gerakan yang cepat tanpa dibuat-buat agar seksi.. aku menarik kaos tanpa lenganku ke atas..
dan melemparkannya agak jauh.. menyisakan sebuah bra sport putih.

Aku menghentikan gerakanku.. membiarkan tatapan Norman menelusuri kulit tubuhku senti demi senti.
Ia memiringkan kepalanya dan mengangkat alis kirinya.

"Aku masih belum bisa melihatnya..” Katanya lagi.

Aku menyunggingkan sedikit senyum dingin kemudian melepas kaitan di depan bra sportku..
Lalu dengan indahnya menggerakkan bahu agar bra itu melorot dan jatuh ke bawah kakiku.

Kini mata Norman tampak lapar.. mengamati kedua bukit payudaraku yang tidak besar.. namun kencang dan padat.
Warnanya putih bersih, agak lebih putih dari bagian lain di tubuhku..
dan di puncaknya dihiasi lingkaran cokelat muda dengan putik-putik mungil merah jambu yang waktu itu masih agak datar.

Norman lalu melepaskan kaitan sabuk Harley Davidsonnya..,
dan dengan gerakan yang amat cepat juga ia menanggalkan semua yang tersisa di tubuhnya.

Hingga kini nampak di depanku tubuh atletis yang meski agak sangkuk namun cukup berotot.
Halus.. hampir tanpa bulu.. kecuali di bawah perutnya.. ada sedikit bulu di situ.. tidak terlalu lebat.

Dan di tengahnya tampak kejantanannya yang rupanya telah siap sejak tadi.
Mengacung ke depan, agak miring ke kanan.

"Kamu sudah lihat semuanya kan..? Sekarang giliranku..”
Katanya lagi.. sambil tetap menatap tajam.. tapi kali ini bukan ke mataku, melainkan ke arah dadaku.

Segera aku melepaskan kancing-kancing baja di Armani ketatku.. dan dengan gerakan yang lumayan cepat..
kini Armani hitam itu teronggok di bawah kakiku.. terikut pula celana dalam St. Michael putih bersama Armani itu.

Norman kini dengan bebasnya dapat mengamati segalanya.
Kedua tungkai yang ramping dan jenjang.. rambut-rambut halus yang tumbuh di situ..

Juga rambut-rambut agak lebat di selangkanganku.
Perutku yang datar dan dadaku juga tak luput dari pandangannya yang kini agak jalang.

"Lucky Ditto..” gumamnya.
"Never.. never.. ever mention the name again..!” Jawabku dingin.. "Or you might lost what you'll get tonite..!"
"Sorry..” Jawabnya singkat.

Lalu badan kami saling bertabrakan dan ciuman pun menghambur dari mulutnya ke mulutku.
Bibir dan lidahnya tercabut dari mulutku lalu langsung menelusuri rahang dan leherku dengan cepat..

Sementara tangannya dengan liar meremas-remas pinggang, pinggul, dan pantatku.
Tanganku juga tak kalah agresif.. memijat dan meremas setiap gumpalan otot di lengan dan dadanya.

Sebenarnya sejak pertama melihatnya dulu.. aku sudah menginginkannya untuk masuk dalam buku harianku.
Dan kini keinginan itu segera menjadi kenyataan.

Ia mendorongku hingga tersandar di kaca jendela ruang apartemen itu.. rasa dingin begitu menyengat punggungku.
Namun tidak begitu lama.. karena ciumannya segera mendarat di bahu dan dadaku.

Kedua tangannya meremas-remas pinggangku.. dan tanganku meraba-raba punggungnya.
Mmmm.. kehangatan pria memang mampu membuatku melupakan segalanya.. Kesibukan kantor.. waktu.. bahkan logika.

Kedua telapak tangannya yang berotot tiba di pangkal payudaraku.. meremas dan mengusap-usap.
Kepalanya berhenti sejenak.. matanya mengamati kedua payudaraku yang berada dalam remasan-remasannya.

Aku menatapnya dengan tak sabar.. namun ia tetap saja memainkan pangkal payudaraku..
dengan kedua tangannya sambil matanya menatap kedua putingku yang makin terasa butuh sentuhan ini.

Aku menarik lehernya keras-keras ke dadaku.
Ia segera membuka mulut dan membiarkan puting susu kiriku masuk ke dalamnya.
Ughhhhh.. inilah perlakuan pria yang paling membuatku tak tahan.

Ia mengisap-isap puting kiriku itu.. lidahnya berkali-kali mengusap dan mengait-ngaitnya.
Mataku menyipit.. dan bahuku terangkat kegelian.. sementara nafasku terasa tersengal..
setiapkali putingku terlumat oleh lidah dan bibirnya.

Aku tersandar tanpa banyak berkutik di kaca jendela itu..
tak peduli apakah orang di luar gedung bisa melihat kami dengan teropong atau tidak.

Lalu ia berpindah ke puting kananku.. menangkapnya dengan bibir..
menjilat dan memijatinya dengan lidah.. dan digigit-gigit kecil dengan giginya.

Uhhh.. aku menggelinjang dan mendesah-desah keenakan..
sementara kedua tangannya kini memeluk erat pinggangku.

Dengan mata agak menyempit sayu karena birahi.. aku melihatnya melepaskan bibirnya dari putingku.
Puting susu itu tampak telah mengacung tinggi dan berwarna kemerahan.. basah oleh lidah dan mulutnya.

Tanpa kuduga.. ia bukannya membiarkanku menarik nafas panjang..
tapi justru menggerakkan lidahnya dengan cepat naik-turun menyapu-nyapu puting kananku.

"Ahhhkkkkkk.. Aduhhhhh.. mmmmmhhh..!" Rintihan dan desahan mengalir tak keruan dari mulutku..
ketika dua puting susuku mendapat sapuan-sapuan cepat itu.

Seluruh otot-otot tubuhku terasa melemah.. dan kakiku gemetar.
Butir-butir keringat mulai muncul di dahiku..
yang kini berkerut karena kedua alisnya bertemu di tengah menahan rasa geli birahi.

Belum lagi aku mampu menyesuaikan diri dengan rangsangan yang begitu besar itu..
tangan Norman tiba-tiba mendarat di selangkanganku, mencengkeramnya..
Lalu membiarkan jemarinya berputar-putar menggesek klitorisku.

"AAAGGGHHHH..!!" Aku menjerit keras.. tak tahan dengan kejutan itu.
Gigiku terkatup rapat bergemeretak.. sementara bibirku sedikit terbuka..
meringis menahan rasa birahi yang begitu melemaskan dan membakar.

Uhhh.. Jari itu.. jari itu begitu lincah bergerak di atas klitorisku.. mengirim rasa nikmat yang luar biasa..
ke dalam simpul-simpul syarafku, membuatku kian merasa lemas dan tak mampu berdiri tegak.

Tubuhku dilemparkannya ke atas ranjang.. telentang dan tak berkutik.
Ia mengangkangkan kedua kakiku lebar-lebar.. kemudian mendaratkan jilatan-jilatan mautnya ke kewanitaanku.

Lidahnya bergerak cepat di atas klitoris.. kadang-kadang menyerbu masuk ke dalam liangnya..
membuatku menggeliat-geliat dan memilin-milin puting susuku sendiri.. untuk mengimbangi perasaan nikmat dan gelinya.

Terasa desiran cairan yang mengalir keluar dari kewanitaanku.. cukup deras.
Norman segera membimbing kejantanannya ke arah kewanitaanku..

Plepp.. menempelkannya di situ.. kemudian.. Slebb.. menekannya ke dalam.
"OHHHHHH.." Aku merintih sejadi-jadinya.. karena ternyata ia mengenakan sesuatu di batang kejantanannya.

Sesuatu yang kasar.. bertekstur tajam-tajam.. yang belakangan kuketahui adalah sejenis kondom..
yang dilingkari cincin karet berduri-duri.

Alat itu menggesek-gesek bagian dalam kewanitaanku.. memberiku rasa yang tak pernah kualami sebelumnya.
Membuat tubuhku bergeliatan.. menggelepar-gelepar tak tentu arahnya.

Aku merasa seperti kehilangan seluruh kekuatanku.
Namun gesekan-gesekan itu begitu membuatku kegelian yang luar biasa..
hingga aku tak mampu mengontrol gerakan tubuhku.

Aku pun memekik-mekik keras.. tak peduli didengar orang atau tidak.
"Ahhhh.. Ahhhhhgggg..!! Aduhhhhh..!!"
Mataku kupejamkan rapat-rapat.. sedang kedua tanganku meremas dan mencengkeram bantal kuat-kuat.

Sementara Norman dengan liar menggerak-gerakkan kejantanannya di dalam kewanitaanku.
Mulutnya pun dengan rakus mencium dan menjilati puting-puting susuku..
yang kini juga berada dalam remasannya.

Mudah baginya untuk menyetubuhiku dengan buas.. sekaligus melumat-lumat puting susuku..
karena tinggi badan kami tak terpaut terlalu jauh.

Hal itu kian membuatku lupa daratan.. dan ikut menggerakkan pinggulku naik-turun..
Mengencangkan otot-otot kewanitaanku, memburu puncak kenikmatan.

"Ohhhhhhhhhhhhhhhhh.."
Aku merintih panjang ketika orgasme menyambar, membuat tubuhku mengejang kaku.

Namun Norman tak mempedulikan kondisiku.. ia malah mengangkat dan membalikkan tubuhku..
hingga kini aku menungging di atas ranjang.

Meski kakiku gemetar dan tak mampu menahan tubuhku..
Jlebb.. ia menyodokkan lagi kejantanannya yang dilingkari cincin karet berduri itu.

Kedua telapak tangannya menempel pada payudaraku.. menahan tubuhku agar tidak rebah ke ranjang..
sekaligus meremas-remas dengan kencang dan kuat. Jilatannya pun segera menyerbu tengkuk dan telingaku.

Saat itu aku merasa seperti akan jatuh pingsan.
Perlahan-lahan, birahi mulai bangkit kembali dalam tubuhku..
Meninggalkan sisa-sisa orgasme pertamaku.

Gerakan-gerakan Norman kian cepat dan intens.. tubuhku tersedak-sedak ke depan..
ketika panggulnya menabrak-nabrak pantatku. Ohhh.. rasanya semakin menjadi-jadi..

Mataku setengah terpejam.. menyaksikan ruangan seolah bergerak naik turun dengan cepat.
Kewanitaanku terasa seperti diparut dari dalam dengan cepat dan bertubi-tubi..

Kedua payudaraku seperti dialiri listrik kenikmatan yang begitu melemaskan..
Sementara jilatan-jilatan liarnya membuat tengkukku terasa merinding.
Uhh.. sungguh kombinasi yang hanya mampu dilakukan para petualang berpengalaman.

Rintihanku kian terdengar lantang dan memelas.. seperti memohonnya untuk berhenti 'menyiksa-ku.
Dilepaskannya payudaraku.. dibiarkannya tubuhku lunglai rebah tertelungkup di ranjang.

Dipegangnya pergelangan kakiku dan direntangkannya ke samping tubuhnya..
Jlebb.. jlebb.. lalu ia kembali menyodok-nyodok.

Ia juga menarik-narik kakiku agar tubuhku bergerak maju-mundur sesuai keinginannya.
Ohhhh.. Aku mencengkeram sprei kuat-kuat.. aku hanya mampu memejamkan mata.. dan memekik keras-keras..
mengharapkan semuanya segera tuntas.

Berkali-kali otot kewanitaanku mengejang.. namun saat itu juga gesekan duri-duri karet itu membatalkannya..
Hingga akhirnya aku merasa benar-benar kelelahan dihujani kenikmatan yang keterlaluan.

Aku sudah benar-benar hampir tak sadarkan diri.. ketika akhirnya ia menghentikan gerakannya dan menggeram keras.
Membiarkan karet pelindung yang dikenakannya tiba-tiba terasa panas di dalam kewanitaanku.

Ia menumpahkan semuanya ke dalam pengaman itu.
Kehangatan yang tiba-tiba itu memicu klimaks keduaku.. yang rasanya seperti menghantam tubuhku agak keras.

"Ahhhhhh..!" Aku mendesah panjang.. Untuk sesaat aku berjuang keras..
agar kenikmatan yang luar biasa hebat itu tidak merenggut kesadaranku..

Rasanya sulit dan berat.. seperti tak mampu.. kewanitaanku terasa begitu menggelegak.
Aku harus menahannya.. tubuhku terasa begitu lemas teraliri listrik.. aku harus menahannya..

Kesadaranku seperti nyaris terenggut keluar.. aku harus menahannya.. nafasku terasa terhenti..
Aku harus menahannya.. terus.. terus.. dan terus..
Sampai gelombang kenikmatan tak lagi datang menerpa tubuhku yang nyaris tak berdaya.

"Mmmm..” Gumamku sambil berusaha untuk duduk.
Aku sengaja bersikap seperti tubuhku tidak terpengaruh oleh hantaman-hantaman gelombang kenikmatan itu.

"Hebat juga kamu, Sar..!” Gumam Norman yang kini telentang penuh keringat di ranjang.
"Cewek lain sudah memohon-mohon minta berhenti.." katanya mengomentari.

Dengan agak gontai.. akhirnya aku berhasil berdiri pada kedua kakiku dengan tegak.
Aku sengaja membelakangi Norman.. karena tak ingin ia melihat ekspresiku yang sayu keenakan.

"Kamu juga.. well.. lumayan kok..!” Jawabku dengan nada se-cool mungkin..
Setelah mampu menguasai ekspresi.. aku membalikkan badan menatap matanya.

Ia menatap mataku dengan pandangan lemas bercampur heran.
Mungkin ia teringat akan wanita-wanita lain yang ditaklukannya dengan keahlian dan kondom berdurinya itu.

"Udah ah.. aku harus nganter pulang teman-temanku tadi..” jawabku sambil memunguti pakaianku dari lantai.
Sebenarnya agak susah juga.. karena kedua kakiku masih agak gemetar.
Namun entah kenapa.. aku ingin terkesan kuat di hadapan si –sok..– macho ini.

"Eits, Sar.. tunggu sebentar..!” Kata Norman seraya bangkit berdiri dengan lamban karena kehabisan energi.
Ternyata ia ingin menggunting beberapa helai rambut kewanitaanku.

Rupanya ia mengoleksi rambut-rambut kewanitaan dari banyak wanita..
Untuk kemudian diisolasinya pada sebuah buku notes kecil.

Di bawah kumpulan rambut yang diisolasi itu.. tertera tulisan nama.. tanggal.. dan tempat ia berkencan.
Dasar petualang..!! Pikirku.

"Akhirnya..!” Desahnya setelah menghela nafas panjang.
"Apanya yang akhirnya..?” Tanyaku sambil mengenakan kembali celana Armaniku.

"Sari telah berhasil aku kencani..!” Cerocosnya dengan girang.
Ia lalu menyebutkan beberapa nama wanita petualang di kota S yang semuanya cukup beken di kalangan para petualang.

"Si T, si R, si K, si M, si D.. semua udah pernah.. masa' kamu belum..!” Tambahnya lagi.
"Hihihi.. kamu aneh-aneh aja, Man..” Jawabku.

Padahal sebenarnya Norman termasuk salahsatu yang kuincar sejak dulu..
hanya saja belum ada waktu yang pas untuk itu.

Akhirnya aku meninggalkan kamar apartemen itu..
meninggalkan Norman di dalam untuk istirahat karena kecapekan. –Biasalah, pria..!–

Aku kembali menuju lobby hotel tempat aku meninggalkan Reni bersama Anto selama kurang lebih satu jam setengah.
Di sepanjang koridor.. aku menelpon pacarku.. –Waktu itu sebenarnya belum terlalu resmi jadi pacar, sih..–
Menceritakan apa yang baru saja terjadi.

Seperti biasa.. ia tidak marah..
ia mengucapkan terimakasih karena tetap menganggapnya yang terbaik dan tetap mencintainya.
Ia juga menitipkan salam pada Norman yang ternyata teman baiknya di masa lalu.

Di sela pembicaraan kami, terdengar suara wanita.
Ah.. ternyata si petualang yang satu itu juga sedang mengisi sisa 'waktu bebas'-nya..
dengan petualangan bersama wanita lain.

Cemburu..? Hmm.. ada sedikit rasa seperti itu.. tapi tidak terlalu dominan.
Aku malah minta maaf karena telah mengganggu kencannya.
–Tentu saja kejadian seperti itu tidak lagi terjadi sesudah ia balik lagi ke kota S awal April lalu..!–

Tiba di lobby hotel.. aku mendapati Reni dan Nova duduk di sofa dengan penampilan kuyu dan agak berantakan.
"Halo.. lama ya nunggunya..?” Tanyaku dengan wajah merasa bersalah.

"Mmmm.. Nggak kok Mbak..” jawab Nova dengan suara lemah agak mendesah..
sambil menggelosoh ke bahu Reni.. ia lalu memejamkan mata sambil menggumam.

"Lho..? Abis ngapain dia, Ren..?” Tanyaku pada Reni.
"Abis melakukan hal yang sama dengan Mbak..!”
Jawab Reni dingin sambil berdiri, membuat kepala Nova hampir jatuh ke kursi.

"Oh..?” Jawabku singkat. "Kamu sendiri gimana..?” Tanyaku pada Reni lagi.
"Ah.. si Anto itu nggak terlalu berkualitas..!” Jawab Reni dengan nada sok berpengalaman.
Tapi rambur Reni terlihat agak berantakan meski poninya sudah dibereskan hingga rapi.

"Lantas..?” Tanyaku pada Reni sambil mengerling curiga.
"Ya.. Aku mutusin untuk nemenin Mbak Nova..” Jawabnya lagi.

Kali ini sambil menepuk bahu Nova yang juga berdiri.
"Si bule yang malang..” Kataku sambil tertawa.
Kami lalu tertawa-tawa dan meminta valet mengambilkan mobil.

Sepanjang jalan pulang.. Reni dan Nova menceritakan..
apa yang mereka lakukan pada si bule yang mereka temui di pub tadi.

Si bule rupanya mengajak Nova ke kamarnya di hotel itu.. namun Nova mengajak Reni untuk ikut serta.
Si bule sempat melakukan foreplay yang lumayan jauh pada mereka berdua.

Namun dia tak tahan dan mengeluarkan semua isinya.. sebelum permainan utama dimulai..
bahkan sebelum pakaian-pakaian dibuka.

Akhirnya Nova dan Reni terpaksa menuntaskan diri masing-masing dulu di kamar itu..
sebelum akhirnya meninggalkan bule itu tanpa pamit.. Aah.. dasar bule bodoh.. pikirku.

"Kenapa kok kalian nggak.. memintanya untuk mengakhiri sampai tuntas..?”
Tanyaku sambil melihat ke kaca spion, mengamati wajah Nova yang cantik namun kin kuyu.

"Yah.. kita kan pemula, Mbak..” Seloroh Reni, "Itu tadi aja udah cukup kok buat senang-senang..”
"Iya..” Sambung Nova. "Tadi aku udah kuatir-tir-tir-tir, tapi untung Reni mau bantuin..”

Aku tidak menanyakan detailnya.. dan mereka juga tidak menceritakannya padaku..
yang penting malam ini kami semua mendapatkan tujuan masing-masing..
Bersenang-senang sejenak melupakan kesibukan rutin. Yah.. dengan cara masing-masing tentunya.

Setelah mereka turun di rumah masing-masing..
aku memacu Katana hijauku melalui jalan protokol yang lengang dengan kecepatan 120 km/jam.

Saat itu aku berpikir.. Wel.. sebenarnya aku telah belajar satu hal dari Nova dan Reni.
Mereka tidak terlarut dalam situasi.. dan masih dapat menguasai diri dalam saat-saat kritis seperti itu.

Belakangan kuketahui bahwa virginitas mereka tetap terjaga baik..
meski mereka menjalani kehidupan malam yang relatif bebas. Luar biasa.

Nova kini telah menikah dan hidup berbahagia dengan suami serta satu orang putera yang lucu dan ganteng.
Sementara Reni masih belum mendapatkan pasangan sejati.. namun tetap dapat mempertahankan virginity-nya.

Dalam hati.. aku mengacungkan jempol untuk kedua anak itu.
Bukannya aku menyesal telah menjadi petualang.. tapi aku hanya mengagumi 'faith' mereka.

Untuk menjaga apa yang mereka ingin jaga.. untuk mempersembahkan apa yang terbaik pada orang yang mereka cintai.
Tapi aku juga tetap memberikan yang terbaik pada yang kucinta..! (. ) ( .)
-----------------------------------------oOo-------------------------------------
 
Mantul cerita-ceritanya.... BTW, Lust Hunter: The Last Port..– mana ya hu?
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd