Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Kisah Hidup Dokter Anak dan Sopir Ojol (True Story)

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Mohon diijinin ane selonjoran disini Hu biar bisa cepet baca updatetan ceritanya..
 
Itu si anton pk, bisa2nya kepikiran ya cara2 aneh ky gitu, ky bukan co ajah ih...
Btw speechless baca crita cecil hu, mirip2 ama crita adel yg dulu....keep update hu...
 
ayooo omm update lagi...
ijin Tanam pohon Trembesi dulu ya om, biar teduh nih nunggu updatenya...
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
4

Singkat cerita, setelah tahu apa yang dilakukan David pada Grace, Cecil meminta cerai. Mereka bertengkar hebat pastinya, tapi Cecil tidak cerita detail bagaimana mereka bertengkar. Awalnya David sempat menyangkal dan menuduh Ben dan Alina berbohong. Lalu dia mulai bilang benar dia menyetubuhi Grace tapi atas dasar suka sama suka. Barulah setelah lama berdebat David mengaku kalau dia memang tidak bisa menahan diri kalau lihat Grace.

Mereka bercerai dengan alasan yang tidak diketahui oleh keluarganya. Cecil tidak menceritakan kepada keluarganya karena malu dan tidak mau mengungkit masalah Grace. Masih terlalu sakit katanya. Cecil yakin David tidak menceritakan apa yang dia lakukan ke keluarganya juga karena seluruh keluarga David menyalahkan Cecil atas perceraian mereka. Cecil kemudian menjual rumah yang mereka tinggali lalu membeli apartemen dan tinggal sendirian.

Cecil sempat berubah perangainya dan memengaruhi kinerjanya di rumah sakit. Akhirnya dia memutuskan untuk menemui psikolog dan didiagnosa depresi. Lalu Cecil mencoba menyibukkan diri dalam pekerjaan dan kegiatan lainnya, makanya dia sibuk sekali ngajar, praktik, dan olahraga. Tapi semua itu hanya bertahan di siang hari. Ketika dia pulang dan mau tidur, depresinya datang lagi. Psikolognya menyarankan menceritakan pengalaman Cecil pada orang lain dan akhirnya dia curhat ke Ben, membagi ceritanya ke Mbak apartemen, dan akhirnya saya.

Sampai sini dulu cerita Cecil. Kita tinggalkan yang depresi dan kembali ke Gilang yang baru saja diterima kerja.

Gilang yang masuk kantor baru sebagai Account Relation Officer mulai beradaptasi dengan kehidupan kerja. Ada empat orang ARO yang bekerja di kantornya. Mereka dibagi menjadi dua tim dan Gilang kebagian menjadi partner Bang Boi. Bang Boi ini adalah ahli dalam pekerjaannya. Sudah belasan tahun dia bekerja di kantor itu.

Hari pertama bekerja, Gilang dibawa ke ruang Bu Wita dan diperkenalkan. Bu Wita adalah wanita yang semok dan mencuri perhatian Gilang. Tapi cuma sebatas itu karena Gilang langsung sibuk sama kerjaan.

Selama masa percobaan sebagai karyawan baru tiga bulan, Bang Boi membawa Gilang ke mana-mana. Dia diajak meeting strategi, pitching, negosiasi harga, mengawasi syuting iklan, mengadakan event-event on dan off air, dan segala macam kegiatan lainnya. Karena Gilang memang anak yang cerdas dan pintar bicara, Bang Boi suka dengan kinerjanya. Di sinilah Gilang bertemu banyak artis-artis.

Gaji bulan pertama Gilang cuma 80% dan separuhnya dia kirim ke Kota Kelahiran untuk ibunya. Gaji bulan kedua dia berikan sebagian untuk uang saku adiknya supaya ibunya tidak usah kasih uang buat si adik. Bulan ketiga, Bu Wita memanggil Gilang ke kantornya untuk penilaian. Bu Wita dapat laporan dari Bang Boi dan penilaian dari dia bagus sekali. Gilang langsung diberikan status karyawan tetap. Gaji gilang jadi penuh 100% ditambah tunjangan pendidikan, uang makan dan transport, de el el, de el el, dan uang dia jadi banyak. Maka biaya pendidikan adiknya dia yang tanggung sepenuhnya.

Di bulan keempat Gilang sudah dilepas sepenuhnya oleh Bang Boi untuk meeting dan bertemu klien. Di akhir bulan keempat itu kantornya kedapatan klien besar. Ada satu perusahaan Afrika Selatan yang akan meluncurkan seri berlian yang mahal. Mereka menggandeng perusahaan Amerika yang kemudian menggandeng perusahaan Indonesia. Perusahaan Indonesia menggandeng kantor Gilang untuk marketing campaign. Waktu itu Bang Boi yang pegang tapi Gilang ikut kasih ide-ide untuk marketing campaignnya. Ketika perusahaan berlian itu datang, Bang Boi menyuruh Gilang untuk persentasi dan hasilnya memuaskan. Si klien cuma mau ditangani oleh Gilang. Bang Boi dengan bangga melepas Gilang dan bilang ke Bu Wita kalau dia akan fokus ke proyek lain. Bu Wita khawatir dan menyuruh Bang Boi mengawasi Gilang. Gilang pun disuruh melapor secara rutin ke Bu Wita.

Maka proyek miliaran pun dimulai. Gilang mulai mengoordinasikan ide-idenya untuk peluncuran berlian dengan menelepon banyak Event Organizer terkenal lalu menghubungi Production House juga untuk pembuatan video. Selama dia bekerja, dia selalu laporan langsung ke Bu Wita. Setelah EO dan PH didapat, Gilang menyusun rapat koordinasi besar dengan si perusahaan berlian. Ini adalah meeting terbesar yang akan Gilang lakukan. Bu Wita deg deg ser sama meeting ini dan dia memutuskan untuk ikut.

Di meeting itu akan dibicarakan venue yang akan dipakai untuk peluncuran berlian. Ini tugasnya si EO. Setelah berdiskusi lumayan lama, akhirnya diputuskan bahwa Lombok yang akan menjadi lokasinya. Gilang yang mengusulkan dan menengahi diskusi antara perusahaan berlian dan EO. Kemudian akan dibuat juga video iklan berlian itu. Ini bagiannya si PH. Diskusi panjang terjadi soal konsep video sampai model yang akan dipakai. Akhirnya diputuskan bahwa artis JE yang akan dipakai untuk iklan karena waktu itu si JE lagi naik daun karena membintangi film-film kelas internasional. Itu pun diputuskan berdasarkan beberapa masukan Gilang. Melihat bagaimana piawainya Gilang, Bu Wita menjadi terkagum dengan kemampuannya. Meeting selesai tanpa halangan.

Selesai meeting, Bu Wita memanggil Gilang ke ruangannya. Dia meminta semua progress proyek dilaporkan ke dia langsung. Maka dijadwalkanlah meeting pribadi dengan Bu Wita setiap jam empat sore hari Senin dan Kamis.

Di antara kesibukannya, Gilang selalu memastikan kalau di hari Minggu dia bisa libur. Dia juga butuh istirahat dan sebetulnya sangat ingin pulang ke Kota Kelahiran untuk bertemu keluarga tapi belum bisa. Jadi dia hanya kontak-kontakan dengan ibu dan adiknya dengan chat saja. Tidak lupa, dia tetap menjaga hubungan dengan Tante Yuli. Gilang ingin sekali pulang dan ML dengan Tante Yuli. Tapi sayang belum terlaksana.

Suatu ketika di hari Minggu, Gilang diajak main sama teman-teman kampusnya yang ada di Jakarta. Mainlah dia dan sedikit terkejut campur senang melihat ada Regina di sana. Regina tambah cantik dan imut. Juga makin seksi dan putih. Kehorny-an Gilang yang dulu tidak tersalurkan padanya muncul lagi. Kalau dulu Regina sempat judes sama Gilang, sekarang tidak lagi. Regina ramah dan baik. Besoknya di sela-sela pekerjaan, Gilang mengirimkan chat ke Regina dan mereka mulai rutin ngobrol.

Kembali ke pekerjaan. Saking sibuknya Gilang sempat demam karena kelelahan. Ketika dia bilang begitu ke Regina, Regina berkata kalau dia mau jenguk Gilang. Gilang menyambut ini dengan bahagia. Regina lalu datang ke kosan Gilang membawa makanan dan obat. Oh, iya, Gilang ini kos di kos-kosan campur cowok dan cewek. Alasannya karena, ya, dia tidak mau tinggal sama cowok doang. Jadi ketika Regina datang berkunjung, tidak ada yang melarang Regina lama-lama main di kamar Gilang.

Regina bilang kalau akhirnya utang dia terbayar. Dulu Gilang mengurusnya waktu sakit, sekarang Regina yang gantian mengurusnya. Gilang senyum-senyum bahagia. Dia langsung berpikir lagi soal membuat kesempatan untuk bisa ngewe dengan Regina. Tapi dia harus pelan-pelan. Cewek kayak Regina ini bakal kabur kalau dikasih agresif. Pokoknya Regina menjadi permainan jangka panjang Gilang selama di Ibukota.

Di pekerjaan, Gilang yang sering ketemu artis dan ngobrol dengan mereka membuat tingkat kepercayaan diri dia meningkat. Gilang tidak ganteng tapi dia diajari cara dandan oleh Bang Boi supaya rapi dan menarik. Di sini dia jadi berani buat bicara sama siapa pun. Dari mulai OB sampai ke Presdir, dari mulai kru syuting paling rendah sampai ke sutradara, Gilang bisa ngobrol dengan santai.

Ada pengalaman menarik bagi Gilang ketika bantu-bantu event Bang Boi. Di event itu artis yang dipakainya adalah R. Si R ini terkenal judes dan sombong. Pokoknya saking sombongnya dia enggak mau ngobrol sama kru dan siapa pun. Dia cuma mau ngomong sama manajernya. Terus dia punya banyak permintaan yang aneh-aneh dan ngeyel. Tapi Gilang bisa masuk ke pertahanan R dan ngobrol lumayan akrab. Buat Gilang itu pencapaian yang hebat. Karena skill bicaranya yang mulus itu, di HP Gilang sudah banyak nomor telepon artis yang kalau-kalau ada rejeki, akan Gilang dekati dan dia ajak esek-esek. Siapa tahu dia bisa dapatkan salah satu dari mereka.

Cerita Gilang soal artis perempuan ini lumayan banyak dan menarik tapi bakal kepanjangan kalau dijabarkan satu-satu. Apakah ada yang suka sama grup cewek-cewek Ibukota yang anggotanya banyak itu? Katanya Gilang tahu mana yang centil dan mana yang lesbian. Atau mantan lesbian, ya? Yah, pokoknya gitu.

Skip.

Maka tibalah hari peluncuran brand berlian yang super mahal dan mewah di Lombok. Gilang dibelikan tiket oleh admin kantor untuk ke Lombok dan disiapkan kamar di hotel bintang lima. Bu Wita memutuskan ikut ke Lombok karena dia khawatir kalau-kalau ada yang tidak beres dengan acaranya. Bang Boi tidak ikut karena kebetulan proyek besar yang dia kerjakan juga sedang sibuk-sibuknya.

Terbanglah Gilang dengan Bu Wita ke Lombok.

Bu Wita ini berjilbab syari tapi dia tidak kagok kalau bersentuhan kulit sama laki-laki. Bersentuhan kulit ini maksudnya salaman, ya, bukan yang lain. Jadi dia kalau bercanda suka tepak tepok pundak orang. Gilang juga ditepok kalau ngobrol. Waktu mereka duduk sebelahan di pesawat, si Gilang mulai nakal. Bu Wita ternyata kalau dari dekat badannya wangi. Kulitnya juga mulus. Wajah sama tangan sama putihnya jadi Gilang yakin kalau sekujur tubuh Bu Wita juga pasti putih. Gilang mulai tanya-tanya latar belakang Bu Wita.

Bu Wita punya suami yang berbisnis di bidang properti. Bisnis itu juga menghasilkan, sangat menghasilkan malah. Dua anaknya sudah SD dan tidak khawatir kalau ditinggal-tinggal karena ada yang ngurus di rumah. Rumah tangga Bu Wita adem ayem dan harmonis kalau dengar dari cerita Gilang.

Sesampainya di Lombok, Gilang dan Bu Wita langsung sibuk mengurusi event. Eventnya masih lusa tapi sibuknya dari sekarang. Mereka sibuk siapkan ini itu sampai subuh di hari pertama. Ada sedikit kendala yang mengharuskan mereka bergadang. Besoknya juga masih ada beberapa hal yang harus diurus. Gilang belum pernah secapek itu dalam hidupnya. Sekitar jam dua belasan, Gilang ngantuk banget dan memutuskan untuk merem dulu di tenda perlengkapan. Ternyata di tenda sudah ada Bu Wita yang lagi menguap.

“Lang, saya tidur dulu sebentar, ya.”

Yah, keduluan, pikir Gilang. Bu Wita bos, ya, jadi Gilang ijinkan untuk tidur. Masa dilarang?

Bu Wita tidur di kursi. Baru lima menit, kepala Bu Wita sudah lunglai ke kiri dan tidur pulas. Gilang duduk-duduk di meja sambil main HP dan standby siapa tahu ada kendala lagi di persiapan. Tapi selama setengah jam dia duduk tidak ada masalah. Lalu mulailah otak mesumnya beraksi.

Bu Wita montok, bro. Yah, badan ibu anak dua kebanyakan gimanalah. Montok tapi enggak gemuk. Lebih kecil dari Linda badannya. Dadanya lumayan berisi dan sepertinya kalau dipegang enak. Sepertinya. Jadi mau pegang.

Gilang berjalan keluar tenda lalu tengok kanan kiri. Kru lagi sibuk siapkan dekorasi dan panggung dan tata ruang. Gilang menepuk pundak kepala kru dan bilang jangan masuk ke tenda, Bu Wita lagi tidur. Kru itu mengiyakan lalu berjaga di sekitar tenda supaya tidak ada yang masuk.

Gilang masuk ke tenda terus memosisikan diri di belakang Bu Wita. Dengan hati-hati Gilang meremas dada Bu Wita dari belakang. Sesuai harapan, rasanya njoooos. Jenderal yang lama tidak tegak langsung berdiri siap. Gilang memejamkan mata dan membayangkan isi baju Bu Wita sambil meremas dada Bu Wita dengan khidmat.

Tahunya Bu Wita bergerak. Dia bangun. Gilang dengan spontan menendang kaki kursi dan Bu Wita terjungkal. Gilang menahan tubuh Bu Wita dari jatuh. Satu tangan di dada Bu Wita, meremasnya keras, satunya berpegangan ke meja supaya mereka tidak jatuh ke lantai. Bu Wita kaget dan bangun.

“Astaghfirullah!”

“Hati-hati, Bu!” Gilang melepas pegangannya dari Bu Wita. Jantungnya dag dig dug kencang sekali. Si jenderal langsung melempem. Takut ketahuan.

“Kamu ngapain di belakang saya?”

“Saya mau ambil ini, Bu,” Gilang menyambar kotak peralatan di meja di belakang Bu Wita tadi tidur.

“Saya jatuh, ya?”

“Iya, tadi Ibu tidurnya keenakan kali terus miring ke kiri. Kursinya enggak seimbang terus terguling. Untung saya tangkap, Bu,” Gilang ngeles.

“Oh, gitu?”

“Iya. Bu. Tapi saya minta maaf, Bu. Tadi kayaknya tangan saya kena itu Ibu.”

Bu Wita menyentuh dada kirinya. Kayaknya terasa ngilu, deh, karena Gilang cengkeram pas jatuh.

“Iya…,” Bu Wita seperti belum sadar penuh dari tidurnya.

Tips buat cowok-cowok. Kalau lagi gerayang yang lagi tidur terus jatuh kayak Bu Wita tadi, remas aja keras dan alibinya menangkap dia jatuh. Kalau bilang begitu reaksi cewek yang digerayang bisa kayak Bu Wita.

“Enggak apa-apa. Makasih,” kata Bu Wita.

Keputusan yang bagus. Kalau Gilang tidak bilang begitu, mungkin Bu Wita bakal marah. Karena Gilang sok polos dan sok jujur, Bu Wita jadi menganggapnya itu murni kecelakaan dan Gilang tidak punya niat jelek. Aman.

Pekejaan berlanjut lagi dan Bu Wita sama Gilang bergadang lagi. Sekitar jam delapan malam para petinggi perusahaan berlian, artis, dan PH berdatangan. Gilang dan Bu Wita menyambut mereka, menempatkan mereka di kamar-kamar hotel, dan memastikan prasmanan hotel sudah siap. Sekitar jam sebelas, Gilang dapat kabar kalau hotel penuh sama tamu-tamu event. Lalu Gilang punya ide buruk.

“Bu,” kata Gilang.

“Ya?”

“Ada satu manajer yang enggak dapat kamar.”

“Kok, bisa?”

“Yang mereka bawa lebih tiga orang. Katanya ada orang asing yang maksa ikut.”

“Terus gimana?”

“Saya kasih kamar saya saja.”

“Oh. Kamu tidur di mana?”

“Kamar Ibu ada dua kasur, kan, ya? Eh, enggak, deng, jangan. Masa sekamar sama Ibu. Saya cari penginapan di sekitar sini saja.”

“Memang ada?”

“Belum nyari, sih.”

“Nanti susah enggak bolak balik ke sininya?”

“Ya, enggak tahu, Bu.”

Bu Wita terdiam. Gilang terus pergi, deh, ngalor ngidul. Dia bohong tentu saja. Kamarnya sudah pas, kok, dia cuma mau sekamar sama Bu Wita. Bu Wita mana cek hotelnya penuh atau enggak. Direktur, mah, tahu beres. Bu Wita ikut sibuk di venue karena dia cek sana cek sini sambil tunjuk-tunjuk Gilang. Teknis dan segala macamnya, mah, Gilang yang tahu.

Taktik Gilang buat Bu Wita adalah teknik penanaman ide. Inception, kalau kata Gilang. Dia melemparkan ide ke Bu Wita soal tidur sekamar tapi tidak dia follow up. Harapannya Bu Wita sendiri yang bakal kepikiran soal Gilang yang enggak dapat kamar tidur dan mengajaknya untuk tidur sekamar. Tapi itu persentasi itu berhasil cuma 50% atau kurang karena Bu Wita orangnya jilbaban syari.

Sampai jam dua belas, Bu Wita belum ada bicara sama Gilang. Gilang masih sibuk memantau perkembangan event sama EO. Jam setengah satu, Gilang ketiduran di kursi di belakang panggung. Saat itulah Bu Wita menepuk pundaknya.

“Lang. Dapat enggak penginapannya?”

“Enggak, Bu.”

“Ya, sudah, pakai kamar Ibu saja.”

“Ibu gimana?”

“Ibu, mah, gampang.”

“Ah, enggak, ah. Masa saya pakai Ibunya luntang lantung.”

“Ih, pakai sana.”

“Terus Ibu tidur di mana?”

“Enggak akan tidur.”

“Ya, saya juga enggak akan tidur, Bu. Masa direktur kerja sayanya tidur?”

“Ih, ngeyel.”

“Enggak enak, Bu. Saya diajarin sama orang tua saya buat menghormati perempuan, apalagi yang lebih tua dan lebih tinggi jabatannya. Ibu tidur saja. Nanti sakit.”

“Kamu yang enggak boleh sakit. Kamu, kan, project manager.”

“Ya, saya tidur di sini.”

“Di kamar, Gilang. Masuk angin.”

“Ya, masa sendirian?”

“Ya, sudah, Ibu juga di kamar. Rese banget jadi anak.”

Gilang diam. Apakah rencananya berhasil?

“Berdua gitu, Bu, sekamar?”

“Tuh, tadi disuruh sendiri enggak mau.”

“Kan, Ibu saja yang tidur. Saya di sini.”

“Terus kalau kamu sakit besok enggak bisa kerja?”

Gilang mengangguk. Berhasil! Berhasil! Hore!

Jam satu malam, Gilang dengan jantung berdegup keras dan si jenderal yang berdiri karena geer memikirkan apa yang akan terjadi berjalan masuk ke kamar Bu Wita.

“Mukanya biasa-biasa saja,” kata Bu Wita. Mungkin kegugupan Gilang terpancar di wajahnya.

Kamar hotelnya sama seperti Gilang tapi ada dua kasur. Memang sengaja Gilang memilihkan begitu. Gilang duduk di kasur dan menatap Bu Wita. “Maaf, ya, Bu.”

“Iya. Tidur sana.”

Bu Wita masuk ke kamar mandi lama sekali dan keluar dengan baju tidur berupa piyama gombrang yang sama sekali tidak memperlihatkan lekuk tubuh. Dia masih pakai jilbab tapi tidak selebar biasanya. Yang ini cuma menutupi bagian dada atasnya saja dan bentuk payudaranya lumayan terlihat. Gilang membetulkan posisi jenderal supaya kalau berdiri tidak kentara. Dia rebahan terus menutup tubuhnya pakai selimut.

“Mandi dulu Gilang. Jorok kamu.”

Gilang tertawa lalu masuk ke kamar mandi. Kamar mandinya wangi Bu Wita, meeeen. Makin sangelah Gilang. Sambil mandi dan bersih-bersih, terbersitlah ide di otak Gilang. Dia tersenyum. Oke. Kita lancarkan rencana mendapatkan Bu Wita.

--

Ini mulustrasi Bu Wita, hu....

cuma ane gak yakin kalo ini betul betul bu wita. jadi ane cari di followersnya gilang di burbir buat yang namanya wita. ada dua. tapi yang jilbabnya syari yang ini. mudah mudahan ini betul orangnya. kecuali si bu wita pake username yang beda di burbir. yah kalopun ini bukan orangnya ya kira kira bentuknya kaya ginilah...

http://www.imagebam.com/image/bdeb0c1323539967


Apa suhu-suhu di sini pernah grepe cwek tidur juga? Ane sih pernah hehe
Ane pernah Hu, malah sepupu ane sendiri, siangnya di tampar, eh tp lama2 malah mau dicoba lg tp sama2 melek dan ga tdur, hehehe
 
5

Sehabis mandi, Gilang keluar dari kamar mandi dan melihat Bu Wita lagi telponan. Bu Wita menyuruhnya diam dengan tangannya. Rupanya dia lagi menelepon suami. Gilang diam di tempat sampai Bu Wita selesai menelepon. Bu Wita enggak bilang kalau dia sekamar sama Gilang ke suaminya tentu saja dan sempat panik waktu ditelepon tengah malam. Kata Gilang suami istri punya ikatan batin yang bisa tahu kalau pasangannya lagi ngelakuin yang enggak-enggak.

Eniwei, habis teleponan Bu Wita langsung selimutan buat tidur. Gilang harus mencegah Bu Wita tidur. Kalau tidur kesempatan buat speak-speak iblisnya akan hilang dan Gilang harus SSI pas tengah malam supaya Bu Wita setengah ngantuk. Kata Gilang kalau kita ngobrol sama orang setengah ngantuk, maka orang itu bakal lebih mudah dipengaruhi karena omongan kita akan terbawa ke alam bawah sadar terutama pas nanti dia tidur. Teori ini sempat saya buktikan buat jual asuransi ke teman saya. Saya prospek dia jam sebelas malam pas dia lagi capek pulang kerja dan ngantuk. Malam itu saya jelaskan manfaat asuransi, omongan saya dibawa tidur, tiga hari kemudian dia menelepon buat buka asuransi. Jadi teori ini patut dicoba.

Gilang duduk di kasur sambil menghadap Bu Wita.

“Bu.”

“Ya?”

“Sudah mau tidur?”

“Iya.”

“Bu.”

“Apa?”

“Grogi.”

“Grogi apa?”

“Soal event nanti. Ini, kan, event pertama saya,” dan Gilang sok-sokan jadi orang yang insecure dan gugup soal kerjaannya sebagai pembuka topik. Ini membuat Bu Wita yang tadi rebahan jadi duduk lagi. Bu Wita memberikan tips-tips supaya Gilang tidak grogi. “Lagian, kan, kamu sudah matang persiapannya. Kamu itu jago, loh, cara presentasinya. Pemahaman materi juga bagus,” Bu Wita menjabarkan kelebihan Gilang. Di sini otak Bu Wita seperti dapat konfirmasi ulang bahwa Gilang ini adalah orang yang bernilai lebih dengan cara mengatakan pendapatnya dengan lisan.

Lalu Gilang menggiring percakapan ke obrolan yang menyinggung soal kejombloan Gilang.

“Iya, loh, makanya saya sempat heran kenapa kamu masih jomblo,” kata Bu Wita.

“Ngeri, Bu, pacaran. Banyak yang cerai.”

“Enggak semua Gilang.”

“Iya, sih, tapi banyak banget orang di sekitar saya yang cerai. Bukan orang tua saya, sih, tapi mungkin itu karena Bapak saya meninggalnya cepat jadi enggak sempat cerai,” kata Gilang bercanda.

Lalu Bu Wita bercerita soal pernikahannya. Bu Wita dan suami adalah tim yang baik walaupun pasti pernah bertengkar. Tapi ribut mereka biasanya enggak tahan lama. Cek cok sedikit terus baikan tidak lama kemudian.

“Enggak bosan, Bu, selama itu menikah sama orang yang sama?”

“Maksudnya apa? Kamu nyuruh Ibu punya suami dua?”

“Lah, enggak, Bu. Jadi gini, Bu, saya punya sepupu yang psikolog di Belanda,” eaa Gilang pakai narasi ini lagi, “sepupu saya bilang bahwa insting setiap manusia berakal sehat itu mencari hal yang lebih dari apa yang dia punya sekarang. Setuju, enggak, Bu?”

“Iya.”

“Maka sama dalam percintaan dan hubungan, banyak orang gonta ganti pasangan buat cari yang lebih. Betul, ya, Bu?”

“Betul.”

“Nah, konsep pernikahan monogami itu secara ilmu psikologi menentang insting manusia yang terus mau yang lebih. Makanya di Belanda ada konsep open marriage di mana setiap orang yang menikah boleh pacaran dalam tanda kutip dengan orang lain tapi di penghujung hari mereka tetap pulang ke rumah pasangannya dan berumah tangga.”

“Itu liberal. Karena mereka enggak beragama.”

“Setuju, Bu. Tapi di Islam laki-laki, kan, boleh beristri empat. Nah, itu membuktikan bahwa memang insting manusia mencari yang lebih.”

“Iya, sih. Tapi, kan, cuma laki-laki. Perempuan enggak.”

“Makanya di Belanda agama Islam enggak populer. Di sana, kan, kedudukan laki sama perempuan sama. Jadi open marriage itu jadi konsep yang lebih disukai.”

“Jadi kamu mau nikah pakai konsep begitu?”

“Enggak, Bu. Saya cuma jadi berpikir apa saya bisa kayak Ibu yang sudah menikah lama tanpa berpikir cari yang lebih. Bukan lebih di fisik, ya, Bu, tapi lebih ke pengalaman. Maaf, ya, Bu, yang namanya cowok mau sealim apa pun pasti kalau lihat cewek cantik, ya, minimal pasti nengok. Betul enggak, Bu?”

“Perempuan juga kadang begitu.”

“Nah, di psikologi ada teori yang bisa membuat pernikahan lebih langgeng, Bu. Cuma memang menjauhi agama, sih, jadinya.”

“Apa, tuh?”

“Sex buddy.”

Bu Wita mengernyit.

“Namanya aneh, ya, Bu? Jadi itu konsep di mana setiap yang sudah berkomitmen untuk menikah punya satu teman buat diajak seks selain pasangannya. Gunanya apa? Gunanya untuk merecharge orang itu secara seksual. Karena pasti ada bosannya, kan, kalau berhubungan sama pasangan yang sama. Nah, waktu bosan kita lari ke sex buddy, berhubungan sama dia, bikin mood bagus lagi, di rumah tangga mereka jadi fresh lagi.”

“Justifikasi selingkuh itu namanya.”

“Bisa jadi. Tapi menurut Ibu konsepnya masuk akal enggak?”

“Jelek.”

“Masuk akal atau enggak, Bu, kok, jawabannya enggak nyambung.”

“Oh. Iya, masuk akal, tapi dosa.”

“Betul, ya, Bu, dosa banget itu.”

“Dosa besar.”

“Ah, Bu, buat saya, mah, semuanya dosa besar.”

“Hah? Gimana?”

“Maksud saya orang-orang kadang-kadang kasih tingkatan ke dosa. Misalkan berbohong itu dosanya kecil, mencuri lebih tinggi, terus zina paling tinggi. Padahal kalau menurut saya dosa itu sama efeknya. Pas kita dosa kecil terus kita terbiasa dengan itu, nanti kita lebih mudah melakukan dosa lainnya dan lama-lama bisa ke dosa paling tinggi. Setuju enggak, Bu?”

“Iya.”

“Jadi kalau buat saya dosa berbohong sama makan babi sama levelnya. Toh, mau dosa yang mana pun kalau kita taubatnya betul-betul dimaafkan juga.”

“Ooh, pantas kamu beranggapan kalau sex buddy itu wajar karena buat kamu dosa sama semua bobotnya.”

Gilang nyengir. Kalau Bu Wita sudah bilang begitu berarti dia sudah menangkap dan mencerna dengan baik omongan Gilang. Waktunya Gilang mundur.

“Ya, gitu, deh, Bu. Kalau saya, mohon maaf, ya, Bu, belum berani menikah karena masih berada di situ levelnya. Sampai nanti saya dapat hidayah yang bisa mengubah persepsi saya baru saya mikir soal nikah.”

“Kamu sudah pernah ngeseks, ya, sama pacar kamu?”

“Sudah, Bu,” Gilang sok-sok malu-malu.

“Sudah kuduga,” Bu Wita tidak men-judge Gilang. Dugaan Gilang karena Bu Wita orang kota dan sudah lumrah dengan perilaku seperti itu.

“Ibu belum pernah, ya?”

“Sama suami. Waktu kami belum menikah.”

“Oh. Enggak mau coba sama yang lain?”

“Sudah tua.”

“Masih cantik.”

Lalu mereka tertawa dan Gilang pamit tidur. Tugasnya selesai. Tinggal menuai hasil. Hasilnya? Ada perubahan dalam sikap Bu Wita pada Gilang sewaktu mereka bangun tidur nanti.


Bersambung.

--

Kebaca enggak pola Gilang kalau dia lagi berusaha meyakinkan orang kayak gimana, Hu?
Polanya sangat terstruktur dan rapih, gilang memang mantap lah. harusnya sarjana psikologi dia.
 
10

Masih ingat cerita Gilang ML sama Bu Wita yang dia jadi pihak dominan? Sehari setelah kejadian itu, Gilang pulang ke apartemen dia. Waktu itu jadwal Gilang bersama Regina jadi sekitar jam 7 malam, Regina datang ke apartemen untuk menginap. Regina mengecup bibir Gilang terus mandi.

Waktu Regina mandi, Gilang dapat kiriman gambar dari Bu Wita. Waktu dibuka Gilang kaget. Gambar yang dikirim adalah foto dada Bu Wita. Gilang panik tapi senang. Panik karena takut Regina lihat. Gilang melirik ke pintu kamar mandi dan Regina masih di dalam. Gilang membesarkan gambar payudara Bu Wita di HP-nya dan ternyata payudara Bu Wita memar.

“Biru-biru gara-gara kamu,” isi pesan Bu Wita.

Gilang mengirimkan balasan meminta maaf. Lalu Gilang berpikir. Selama dia bersama Regina, mereka belum ML. Selain karena Gilang yang terlalu bawa santai, Regina juga seperti agak malu-malu. Gilang mau mencoba metode agresif seperti yang dia lakukan pada Bu Wita.

Maka, sebelum Regina keluar dari kamar mandi, Gilang buru-buru buka baju. Dia berdiri telanjang di depan pintu kamar mandi dan menunggu di sana. Waktu Regina beres mandi dan keluar, dia menjerit kaget.

Gilang langsung menarik handuk Regina sampai terlepas dan memperlihatkan tubuhnya yang telanjang.

F*uck, pikir Gilang. Ternyata berlaku agresif begini membuatnya jauh lebih terangsang.

Regina masih terkejut. Gilang tidak membuang waktu. Dia langsung menyambar badan Regina dan menciumnya. Regina memberontak sebentar tapi balas mencium Gilang. Gilang menekan tubuh Regina ke pintu kamar mandi. Mereka berciuman dengan ganas. Bibir dan lidah bergerak-gerak liar.

Gilang meremas pantat Regina dan Regina membalas dengan meremas pantatnya. Regina ternyata bisa main buas juga. Regina mendorong Gilang sampai dia menabrak meja di dapur. Gilang membalik posisi dan menaikkan Regina ke atas meja. Tanpa ba bi bu, Gilang menyodok vagina Regina dengan penisnya yang sudah tegang maksimal.

Regina merintih kesakitan dan mendorong Gilang. Tapi Gilang tidak berhenti. Dia memaksakan penisnya ke vagina Regina. Keras, boi! Kepala jenderal saja susah masuk. Regina mendorong Gilang dengan kaki dan Gilang mundur.

Regina melompat turun sambil memegang vaginanya. Dia berjongkok kesakitan.

“Sakit, ya?”

Regina tidak menjawab. Dia berdiri, masuk ke kamar, dan menutup pintu lalu dikunci.

Yah, marah.

Regina keluar dengan baju lengkap lalu pergi keluar apartemen.

Minggat.

Gilang memutuskan untuk memberi Regina waktu.

Besoknya, waktunya Gilang ketemu si JE. Mereka janjian ketemu buat makan siang di daerah utara di restoran timur tengah. Gilang menyempatkan untuk makan siang dengan JE di sela kesibukan rapat dia.

JE waktu itu datang sendiri. Rambutnya diikat dan pakai baju tanpa lengan. Buat Gilang, JE lebih cantik dari biasanya karena makeup dia minimalis. Beda dengan waktu dia kerja, makeupnya full dan total. Mungkin karena disorot lampu dan kamera, makeupnya perlu lebih tebal.

Mereka bersapaan lalu memesan makanan dan mengobrol. JE ini orangnya supel tapi Gilang merasa kalau dia tidak mau membagikan soal kehidupan pribadi dia pada sembarang orang. Gilang masih berstatus orang asing dan rekan kerja, belum teman, jadi JE bicara seolah memilah-milah informasi apa yang dia mau kasih ke Gilang. Gilang juga merasa kesulitan mencari celah untuk membuat JE lebih nyaman dengan dia supaya Gilang bisa mengaitkan obrolan mereka ke arah esek-esek.

Topik obrolan berputar di masalah kerjaan dan masalah umum, seperti cuaca dan ekonomi. JE menanggapi Gilang dengan sopan dan baik. Gilang merasa kalau ilmu JE jauh lebih tinggi ketimbang ilmu dia ataupun perempuan-perempuan lain yang dia pernah coba dobrak pertahanannya.

Waktu mereka membicarakan pekerjaan, Gilang menanyakan soal film terbaru apa yang akan JE bintangi. JE bilang sedang ada beberapa proyek yang kerja sama dengan luar negeri. Di situ Gilang coba masukkan teknik SSI-nya.

“Susah enggak, sih, buat aktris Indonesia menembus Hollywood? Maksud saya, Indonesia punya nilai dan norma sendiri dalam bikin film. Beda sama mereka. Kayak nudity atau kekerasannya.”

“Iya, beda. Aktris kita mesti lebih fleksibel kalau mau kerja bareng orang luar.”

“Fleksibel dalam arti misalnya mau nudity?”

“Bisa. Bisa juga kaya berperan sebagai gay. Atau buat artis baru yang sedang cari nama, dia jangan sok-sok idealis enggak mau merankan peran stereotipe kayak orang Asia yang genius, atau cupu, atau gitulah.”

Sh*t, nudity-nya enggak dibahas.

“Kamu sendiri enggak keberatan jadi orang fleksibel?”

“Kurang lebih.”

“Meski harus nudity?” Gilang membelokkan lagi ke topik nudity.

“Kalau berhubungan dengan ceritanya dan masuk akal, kenapa enggak. Cuma enggak banyak, kok, sutradara yang minta nudity. Sekarang lebih banyak yang minta jadi gay.”

JE membelokkan lagi topiknya.

Obrolan bergulir lagi dan Gilang menemukan celah lagi ketika JE keceplosan ngomong kalau dia kemarin jalan sama cowoknya.

“Kalau artis itu harus pacaran sama artis lagi atau sama pengusaha, ya?” tanya Gilang.

“Emang kenapa? Mau punya pacar artis?” JE tertawa.

“Enggak. Eh, tapi boleh juga. Eh, tapi… gimana ya…..”

“Apa, sih?”

“Konsep pacaran… bukan. Konsep komitmen itu buat saya masih abu-abu. Saya belum bisa komitmen.”

“Kok, bisa abu-abu?”

“Komitmen itu berat dan manusia itu dibuat untuk tidak berkomitmen.”

“Gimana gimana?”

“Manusia itu, kan, juga hewan. Hewan mana yang setia sama satu pasangannya?”

“Lumba-lumba, berang-berang, penguin.”

Gilang tidak menyangka JE akan menjawab begitu.

“Tapi kebanyakan, kan, enggak. Monyet, deh, yang DNA-nya 99% sama kayak manusia. Ada monyet yang setia? Enggak ada.”

“Terus?”

“Jadi ketika kita nikah dan berjanji setia sampai mati, kita lagi menyalahi takdir.”

JE tertawa. “Bisa jadi. Tapi, kan, bedanya kita punya akal. Hewan enggak.”

“Justru karena punya akal kita itu harusnya berdamai dengan sisi alamiah kita, bukan malah dilawan.”

“Jadi kamu penganut poligami, dong?”

“Open relationship lebih tepatnya,” oke, Gilang sudah pada jalurnya untuk masuk ke esek-esek.

“Enggak bisa. Siapa yang mau ada di hubungan begitu?”

“Enggak ada,” Gilang tertawa. “Tapi seharusnya open relationship itu menjadi panduan pernikahan, loh. Atau bahkan waktu pacaran sekalipun.”

“Kenapa?”

“Waktu pacaran, kita berkomitmen sama pacar kita untuk setia. Betul? Tapi, kan, enggak ada jaminan kalau kita bakal nikah sama pacar kita. Jadi ngapain setia sama pacar kita doang sementara kita bisa cari alternatif lain.”

“Itu, mah, bukan pacaran namanya.”

“Betul. Makanya kalau kita suka sama orang, ya, kita bilang suka saja. Jalan berdua. Tapi jangan saling larang untuk berhubungan dengan orang lain. Karena kita, kan, cari partner hidup. Kalau sama orang ituuu aja, ya, kita enggak akan dapat perbandingan.”

“Kalau sudah ketemu sama orang yang tepat terus nikah, masa harus terus open relationship?”

“Ya, bagusnya, sih, masih begitu. Mohon maaf, bukan maksudnya menyamaratakan semua laki-laki, tapi hampir semua laki-laki itu enggak bisa setia. Paling enggak, setelah nikah, laki-laki pasti ngelirik kalau ada cewek lewat. Mending kalau enggak diapa-apain, kalau enggak kuat? Selingkuh. Jadi mending ada di open relationship. Aman. Perempuan juga sama.”

“Sama gimana?”

“Tahu enggak berapa persen laki-laki di dunia ini yang bisa bikin istrinya orgasme? Enggak sampai 20. Kalau kamu misalkan kebagian suami yang enggak jago di ranjang tapi cinta setengah mati, solusinya bukan cerai cari lagi suami yang jago. Solusinya adalah cari sex buddy. Itu tujuan open relationship.”

JE diam. Dia tampak berpikir.

“Dengan open relationship, tingkat perceraian kecil. Lihat di Jepang. Cowok-cowoknya sering ke bar-bar yang ada ceweknya. Pulang tetap sama istri. Karena terkadang yang dicari manusia itu bukan cuma cinta dan seks. Tapi manusia mencari keintiman antar sesama manusia lain yang itu kadang bisa didapat dari seseorang yang bukan pasangan kita. Yang penting, habis itu kita kembali ke pasangan dan tetap mencintai dia apa adanya.”

JE tersenyum.

“Kenapa?”

“Enggak bakalan ada orang yang berpikir kayak kamu di sini.”

KRAK. Usaha meyakinkan Gilang patah dengan kalimat itu.

Tapi enggak apa-apa. Ini bukan gagal, tapi keberhasilan yang tertunda. Mereka berpisah dan Gilang kembali kerja.

Setelah makan siang itu, sebisa mungkin Gilang akan merekomendasikan JE sebagai brand ambassador setiap produk yang ditangani kantornya. Enggak selalu berhasil, tapi kebanyakan ada walaupun acaranya off air. Setiap ketemu JE, si Gilang pasti membicarakan soal sex buddy dan open relationship walaupun cuma sekilas dan satu kali. Mudah-mudahan ide itu menempel di kepalanya. Sampai sekitar enam bulan berlalu, hasilnya belum tampak.

Selama enam bulan itu, Gilang tidak bisa berhenti membayangkan bagaimana rasanya menggenjot JE. Saking horny-nya, Gilang jadi sering masturbasi. Kebetulan waktu itu Regina masih ngambek dan sulit dihubungi. Suatu hari, Gilang yang sudah kelewat terangsang dan tidak puas hanya dengan masturbasi dan menggenjot Bu Wita, bertekad untuk menjebol gawang Regina.

Gilang datang ke kosan Regina dan akhirnya dia dimaafkan. Alasan Regina marah adalah, waktu diserang sama Gilang, Regina merasa dilecehkan sebagai perempuan dan dia paling tidak suka dilecehkan. Gilang minta maaf berkali-kali.

Setelah itu Regina bilang kalau dia mengerti bahwa Gilang pasti mau ML karena mereka sudah sering tidur berdua tanpa busana. Tapi Regina tidak mau diserang seperti kemarin. Akhirnya Regina mau pulang ke apartemen Gilang lagi. Di sana, mereka tidur tanpa baju lagi. Walaupun horny, Gilang bersabar. Jangan sampai Regina marah lagi dan menghancurkan rencananya.

Keberuntungan datang pagi harinya. Regina meminta Gilang untuk bolos kerja. Gilang mengiyakan. Regina pamit pergi dulu sebentar dan kembali membawa makanan, minuman, dan sebungkus kondom.

“Yuk, pelan-pelan. Sakit banget soalnya.”

Gilang girang bukan main. Akhirnya penungguannya terbayarkan.

Habis sarapan, Gilang dan Regina duduk telanjang di kasur. Mereka mulai dengan ciuman yang lembut. Lama-lama, tangan Gilang mulai memainkan payudara Regina. Putingnya disentuh dengan halus sambil berciuman. Regina merebahkan badannya dan menarik Gilang untuk berciuman lebih lama. Regina mengambil tangan Gilang dan menempelkannya di vaginanya. Lalu dia menyuruh Gilang untuk menggosok vaginanya. Gilang menurut.

Gilang mengusap lembut vagina Regina lalu dia gosok perlahan. Lalu dia mulai tancap gas secara bertahap. Regina yang diam, berubah mendesah, lama-lama suaranya yang keenakan memenuhi kamar. Tangan Gilang basah dan dia menyelipkan satu jari ke dalam vagina. Hangat. Gilang mengocok vagina Regina dan membuatnya mendesah lebih keras.

Regina menarik tangan Gilang dari vaginanya dan menyuruh Gilang memakai kondom. Gilang menurut. Dengan bimbingan Regina, Gilang mendekatkan penisnya ke vagina dan dia dorong masuk perlahan. Masih keras. Regina merintih sakit. Gilang berhenti dan menunggu aba-aba. Regina menyuruhnya bergerak lagi. Keras tapi sudah sedikit masuk. Gilang berhenti. Lalu dia maju lagi. Sekarang sudah hampir setengah penis yang masuk. Regina mengernyitkan kening dan menggigit bibirnya kesakitan. Gilang melihatnya malah tambah terangsang, jadi dia genjot dengan satu kali gerakan dan masuk semua.

Regina menjerit kesakitan tapi tidak lama. Dia diam. Gilang mulai maju mundur. Pelan-pelan karena sempit. Badan Regina bergetar. Gilang tidak tahu apa dia kesakitan atau keenakan, tapi dia tidak mau berhenti. Gilang mulai bergerak dengan kecepatan stabil. Regina mendesah. Fix, dia keenakan. Gilang perlahan menaikkan kecepatan dan ketika penisnya sudah lancar keluar masuk, dia genjot dengan serius.

Sepanjang permainan, Regina memeluk Gilang erat dan mendesah begitu keras. Gilang tidak bertahan lama. Karena sempit, penisnya terasa begitu enak dan duar! Keluar di kondom di dalam vagina Regina yang hangat dan sempit. Rasanya berbeda dengan rasa-rasa yang lain.

Habis itu mereka tidur sampai siang dan waktu bangun, Regina mengajak ML lagi. Biar lancar katanya. Gilang tidak menolak. Hari itu mereka menghabiskan empat sesi ML.

Keesokan harinya, kantor Gilang kedatangan tamu dari Jepang. Mereka datang untuk mengembangkan produk makanan terbaru dan akan dipasarkan di sebuah film anak-anak yang akan tayang di TV. Salah satu tim Jepang itu seorang perempuan berusia 24 tahun bernama Hinako. Di antara semua orang Jepang, cuma dia yang fasih berbahasa Inggris. Wajah Hinako ini tidak usah saya jelaskan, saya tempel saja di gambar di bawah. Berhubung Gilang adalah ARO paling jago, maka dia yang ditugaskan menemani tim Jepang ini.

Ketika berkenalan dengan Hinako, Gilang tersenyum lebar. Gimana rasanya menggenjot orang Jepang?

--

Pic
Regina:

Hinako (yang kiri):
 
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd