Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Kegagahan Ayah Mertua

Dukun

Suatu malam Mas Iwan mengutarakan sesuatu yang belum pernah aku sangka sebelumnya. Saat itu kami berbaring berdua di tempat tidur. Hari sudah larut dan kami memang akan tidur. Tiba-tiba saja Mas Iwan mengagetkanku dengan ucapannya.

“Tadi siang aku ga sengaja lihat ayah,” kata Mas Iwan.

“Lihat di mana?”

“Di kamar mandi?”

Aku langsung menoleh pada suamiku. “Di kamar mandi?”

“Eh…ngapain?”

“Aku malu mau bilang,” kata Mas Iwan.

“Emang apa sih?” tanyaku. Sebenarnya aku mulai khawatir dengan apa yang akan di sampaikan Mas Iwan.

“E…tadi ga sengaja lihat ayah lagi…” ucap Mas Iwan masih ragu, “lagi ngocok.”

“Hah?” jawabku kaget. Entah sebenarnya aku harus kaget atau bagaimana.

“Iya,” kata Mas Iwan. “Mas bener-benar kaget. Kenapa ayah gitu ya?”

“Ayah kan laki-laki, Mas,” jawabku. “Apalagi ayah sendirian. Jadi wajarlah.”

“Kok mas jadi khawatir ya?”

“Khawatir kenapa?” tanyaku.

“Takut berbuat yang bukan-bukan,”

“Ah, kamu mikirnya terlalu jauh.”

“Ya bisa aja, kan,” ucap Mas Iwan, “Apa cob akita jodohkan aja ya?”

“Ih, mas kok makin jauh sih mikirnya?”

“Kamu emang ga setuju?”

“E…bukan gitu, bukannya ayah emang ga mau untuk nikah lagi ya?”

“Ya siapa tau sekarang mau,”

“Terserah mas aja deh gimana enaknya,” jawabku. “Tapi menurutku soal kejadian di kamar mandi, wajar aja sebagai laki-laki dan duda pula.”

Setelah itu obrolan tidak berlanjut lagi. Kami berdua melanjutkan tidur. Tapi sejujurnya aku khawatir kalau sampai Mas Iwan berencana menikahkan ayah lagi. Jujur saja aku tidak rela jika ayah harus menikah. Harus aku akui, aku mulai nyaman dengan ayah. Apalagi aku sudah berulang kali melakukan hubungan intim dengannya. Seperti ada yang sudah tertaut pada diri ayah mertuaku itu.

***​

Beberapa hari setelahnya, Mas Iwan kembali mengutarakan rencananya padaku.

“Mas udah nemuin orang yang cocok buat ayah,” kata Mas Iwan.

“Mas serius?”

“Iya,”

“Sudah bilang ke bapak?”

“Belum,”

“Ya kan harus ngomong dulu ke ayah, Mas,” jawabku. “Kalo misal ga mau gimana?”

“Nanti kita omongin bareng sama ayah,”

Aku kembali dilanda rasa khawatir. Aku tidak menduga bahwa Mas Iwan akan benar-benar melakukan itu. Kukira dia tidak serius dengan ucapannya. Tapi ternyata dugaanku salah.

“Siapa orangnya?” tanyaku.

“Ada di desa sebelah,” jawab Mas Iwan. “Mas yakin ayah pasti mau.”

Sampai akhirnya, aku dan Mas Iwan mengutarakan kepada ayah. Dari ekspresinya kulihat ayah terkejut dengan keinginan Mas Iwan.

“Ayah sudah tua,” jawab ayah. “Ayah tidak memikirkan itu. Ayah fokus bekerja aja sekarang. Ngurus sawah.”

“Tapi aku kasihan lihat ayah sendirian,”

“Sendirian bagaimana?” sahut ayah. “Kan ada kamu sama istrimu. Ada Rizal juga. Apanya yang sendirian?”

“Maksudku biar ada yang ngurus,” kata Mas Iwan.

“Jadi maksudnya ini kamu udah ga mau ngurus ayah?” tanya ayah. Kukira Mas Iwan sudah salah bicara. Harusnya dia tidak mengatakan hal itu.

“Bukan, Yah…”

“Ya kalo kamu udah ga mau ngurus, biar ayah tinggal sendiri aja,”

“Ayah jangan salah paham,” kata Mas Iwan.

Ayah langsung beranjak dari kursi dan meninggalkan obrolan. Ia pergi ke luar rumah. Mas Iwan coba mengejar tapi aku cegah.

“Biarin ayah sendiri dulu,” kataku. “Nanti aku bantu ngomong sama ayah.”

Sampai sore, ayah belum kembali ke rumah. Akhirnya aku memutuskan untuk menyusulnya. Aku menyusul ke sawah dan kulihat ayah di sana.

“Yah, ayo balik. Ayah belum makan mulai tadi pagi.” ajakku pada ayah.

“Biar ayah tinggal di sini aja,”

“Jangan gitu, yah,” aku mencoba menenangkan. “Kita coba omongin lagi sama Mas Iwan.”

“Apalagi yang mau diomongin?”

“Ayo, Yah,” ajakku lagi. “Kalo ga mau pulang karena Mas Iwan, seenggaknya pulang karena aku.”

Ayah menoleh padaku. “Kamu setuju dengan rencana Iwan?”

Aku duduk di samping ayah. “Ngga. Aku ngga setuju.”

“Kenapa?”

“Kenapa ayah masih tanya lagi?”

Beberapa detik kemudian, ayah sudah mulai menciumku. Perlahan aku juga mulai membalasa ciumannya sampai akhirnya aku sadar bahwa ini bukan situasi yang aman.

Ayah pun ikut kembali ke rumah. Selama di rumah, ayah sama sekali tidak bertegur sapa dengan Mas Iwan. Aku coba bujuk Mas Iwan, tapi ia bilang tunggu dulu sampai semuanya tenang.

***​

Beberapa hari setelah itu, Mas Iwan sakit deman dan harus istirahat di rumah. Harunsya hari ini ia mengantarku ke pasar untuk membeli kebutuhan selamatan di rumah. Rencananya kami mengadakan selamatan untuk awal tanam padi.

“Aku pergi sama ayah aja ya?” tanya pada Mas Iwan.

“Iya. Hati-hati,”

Akhirnya aku berangkat ke pasar berdua dengan ayah. Rizal kuajak tidak mau dan memilih bermain di rumah temannya. Kami pergi dengan mengendarai sepeda motor.

Selepas dari pasar, ayah tidak langsung pulang. Ia malah membelokkan motornya ke arah lain.

“Ayah, ini mau ke mana?” tanyaku.

“Ikut ayah bentar, ya?”

Aku hanya diam saja dan mengikuti ke mana ayah pergi. Ternyata ayah membawaku sebuah rumah. Aku tidak tahu nama daerahnya. Rumah yang kami datangi ini letaknya berjauhan dengan tetangganya.

“Yah, ini rumah siapa?” tanyaku.

“Saudara ayah,”

Tak lama kemudian, seorang laki-laki yang sebaya dengan ayah keluar dari rumah itu membawa cangkul.

“Lho, ada kamu?” kata laki-laki itu pada ayah.

“Iya,” jawab ayah. “Kamu mau ke sawah? Aku numpang bentar yah. Habis dari pasar nih.”

“Oh iya. Nanti kuncinya taruh di bawah pot bunga saja. Aku mau ke sawah dulu. Udah siang nih.”

Akhirnya laki-laki itu berangkat ke sawah dan meninggalkan kami. Ayah sendiri mengajakku masuk ke dalam rumah.

“Ayah, kita mau ngapain di sini?” tanyaku.

“Ayah mau bicara sesuatu sama kamu,”

“Ngomong apa?” tanyaku heran. Apa yang ingin ayah bicarakan sampai harus membawaku ke sini?

“Jujur,” ayah memulai pembicaraan, “ayah kecewa dengan Iwan. Kenapa dia punya pemikiran seperti itu. Bahkan mungkin ayah emosi padanya. Tapi coba ayah tahan.”

“Kamu tahu,” lanjut ayah, “alasan utama ayah menolak rencananya itu karena…ayah kepikiran kamu.”

“Aku?” tanyaku kaget.

“Iya. Sejak kita sering berhubungan, ayah rasa ayah mulai sayang sama kamu. Ayah merasa kamu menghadirkan sosok ibu Iwan pada ayah.”

Aku hanya terdiam. Aku tidak menduga bahwa ayah akan mengutarakan hal ini padaku. Namun, meskipun aku terkejut, jujur aku merasa senang dengan ucapan itu. Wanita mana yang tidak senang bila ada laki-laki yang membuatnya nyaman mengutarakan rasa sayangnya? Ya, ayah memang membuatku merasa nyaman.

“Entah kamu senang atau ngga dengan perasaan ayah ini,” lanjut ayah kembali, “tapi itulah yang ayah rasakan.”

“Yah,” jawabaku, “sejujurnya aku juga merasa nyaman sejak berhubungan dengan ayah. Bukan soal ayah bisa memuaskanku, tapi lebih dari itu. Aku merasa nyaman saat berada di samping ayah.”

“Kamu yakin?”

Aku mengangguk. “Iya, Yah.”

Kemudian ayah mendekat kepadaku. Ia langsung memegang daguku dan perlahan wajahnya mendekat ke wajahku. Beberapa detik setelahnya, kami sudah mulai berciuman. Aku memejamkan mataku sambil menikmati ciumanku dengan ayah. Ciuman itu semakin lama terasa semakin panas. Kurasakan juga tangan ayah mulai bergerilnya di pahaku.

Aku menghentikan ciumanku saat tangan ayah mulai menyelinap ke dalam kaos yang kukenakan. “Nanti saudara ayah dateng gimana?”

“Tenang. Aman kok.”

“Yaudah di kamar aja, Yah.” Kami berdua pun langsung masuk kamar.

Kami melanjutkan ciuman. Tangan ayah kembali masuk ke dalam kaosku dan meraih kedua payudaraku yang masih tertutup BH. Karena merasa kesusahan, ayah membuka kaitan BH-ku hingga ia leluasa meremas kedua payudaraku.

Aku sendiri tidak tinggal diam. Tanganku bergerak ke selangkangan ayah dan menemukan sesuatu yang sudah mengerasa di sana. Aku mencoba membuka kaitan celana ayah dan tanganku masuk ke dalam. Kuraih kontol ayah yang sudah menegang.

Karena tidak puas, ayah memintaku membuka kaosnya. Aku menuruti permintaan ayah. Kubuka kaosku berikut juga BH-nya. Ayah juga memintaku sekalian dengan celana yang kukenakan. Tanpa pikir panjang, aku menuruti kemauannya. Aku pun kini telanjang bulat. Ayah merebahkanku di atas tempat tidur.

Ayah melucuti pakaiannya satu per satu sampai akhirnya ia juga telanjang. Kontolnya sudah tegak berdiri. Seolah sudah siap memuaskanku. Ia kemudian menindihku. Kami kembali berciuman dan kurasa kini lebih panas.

Puas berciuman, ayah menurukan ciumannya ke dadaku dan mulai melahap kedua payudaraku. Mulutnya secara bergantian melahap dan menjilati puting susuku. Bahkan, ia meninggalkan bekas cupang di sana. Entah kenapa aku membiarkannya. Mungkin karena aku sudah terlanjur merasakan nikmat.

Puas dengan kedua payudaraku, ciuman ayah terus turun ke bawah. Ia jilati perutku sampai akhirnya sampai di bagian selangkanganku. Beberapa detik berikutnya, lidah ayah sudah kurasakan di memekku. Ia mulai bermain di sana. Menyentuh bagian-bagian sensitifku dan membuatku merasakan kenikmatan.

“Ahh…ahh…” desahku. Ayah terus menjilati memekku. Tepatnya di bagian klitorisku.

Aku memegangi seprai tempat tidur untuk menahan rasa nikmat yang menjalar dari memekku.

“Yah…ah…” Aku terus mendesah karena ayah tak hentinya memberikan rasa nikmat lewat permainan lidahnya. Sampai akhirnya aku tidak tahan lagi dengan jilatan ayah di memekku.

“Ah…a…ku…ah…” aku mencapai orgasmeku. Ayah memberiku kepuasan hanya dengan jilatan lidahnya.

Siang itu aku dan ayah kembali berhubungan intim. Namun, ayah masih mengeluarkan spermanya di luar. Selepas bercinta, kami istirahat sejenak sebelum akhirnya kembali mengenakan pakaian masing-masing dan bersiap untuk pulang. Namun, sebelum pulang ayah mengutarakan sesuatu padaku.

“Kamu yakin dengan perasaanmu ke ayah kan?” tanya ayah padaku.

Aku mengangguk. “Kenapa?”

“Ayah pengin jadi Iwan,”

“Hah? Mana bisa yah?”

“Bisa kok,”

“Mas Iwan mau dikemanain?”

“Dia tetap suamimu,” katanya. “Ayah akan jadi suami keduamu.”

“Ngga mungkin. Mas Iwan pasti akan tahu.”

“Ayah punya rencana,”

“Rencana apa?”

“Kita pergi ke dukun,”

“Dukun? Buat apa?”

“Kita pergi dukun. Kita buat Iwan setuju dengan hubungan kita.”

“Hah?”

“Iya. Gimana?”

“Tapi, Yah?”

“Kamu tetap dengan Iwan,” jawab ayah. “Tapi kamu juga bisa bersama ayah.”

Aku terdiam mencoba memikirkan rencana ayah. “Apa bisa, Yah?”

“Bisa,”

“Tapi aku ga yakin, Yah.”

“Percaya aja sama ayah. Gimana?”

“Terserah ayah aja deh,” kataku. “Tapi kalo berbahaya ngga usah, Yah.”

“Iya. Tenang aja,”

Entahlah. Aku tidak yakin dengan rencana ayah. Namun, aku seperti tidak punya kuasa untuk menolaknya. Akhirnya aku hanya memasrahkan semuanya kepada ayah. Meskipun sebenarnya aku tidak tega melihat Mas Iwan diperlakukan seperti itu. Namun, aku juga tidak bisa mengelak dari fakta bahwa aku merasa nyaman dengan perselingkuhan ini.

Selain itu, hal yang membuatku enggan menolak rencana ayah adalah bayangan bagaimana jika nanti Mas Iwan ‘mengijinkan’ aku dengan ayah bahkan mungkin ia akan melihatnya sendiri.

To be continued…
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd