17: Angka Tiga
Dua minggu lagi. Detik demi detik terasa begitu lambat. Aku berpikir untuk membiarkan kesempatan ini hilang begitu saja. Memangnya, kalau aku tidak menggunakan tiga jatah yang Aris berikan, mereka mau apa? Memperkosaku? Semakin aku membayangkan apa yang sudah terjadi, semakin aku merasa harga diriku terluka. Namun di sisi lain, bisikan dalam diriku juga berkata: mengapa aku tak menikmati saja kesempatan ini?
Sehari setelah kejadian persenggamaan absurd kami, Rina tak masuk kerja. Ia beralasan ke atasannya bahwa ia sedang masuk angin. Mungkin saja itu benar. Mengingat apa yang ia lakukan di lantai kamar mandi tanpa mengeringkan badan terlebih dahulu, tak heran kalau ia benar-benar masuk angin.
Namun satu hari setelahnya, Rina kembali masuk kantor. Kami berpapasan di pantry saat aku sedang menyeduh kopi. Awalnya, aku sempat mengira bahwa obrolan kami akan menjadi canggung lagi, tapi ternyata tidak demikian. Rina tampak fresh, jauh lebih fresh dari sebelumnya. Ia mengenakan rok pendek berwarna krem dengan kemeja putih ketat yang berlengan pendek. Hari itu rambutnya dikuncir dan ia mengenakan sebuah kacamata berwarna merah.
Ia seperti Rina yang kujumpai saat ia pertama kali datang ke kantor ini.
"Gimana? Bagus nggak kacamata baruku?" tanyanya sambil berpose di hadapanku.
"Ngg... bagus, kok," jawabku sekenanya.
"Nggak kegedean, kan?" tanyanya lagi sambil menggerak-gerakkan posisi kacamatanya.
"Agak kegedean sih, tapi cocok, kok. Lebih fresh aja," ucapku.
Tanpa berusaha mengajaknya mengobrol lebih lanjut, aku segera berlalu sambil membawa cangkir kopiku. Namun ketika melewatinya, aku tak bisa menahan sudut mataku untuk tak melirik ke arah tubuh Rina.
Tengkuk leher itu adalah tengkuk leher yang kuciumi kemarin lusa. Bibir mungil itu adalah bibir yang sama yang menghisap batang penisku dengan penuh nafsu. Bokong bulat itu, selangkangan mulus di balik rok pendek itu, baru kemarin lusa aku memasukkan batang penisku ke dalamnya dan menggenjotnya di atas lantai kamar mandi.
Hasratku bergejolak lagi, tapi aku berusaha mengabaikannya sekuat kemampuan pikiranku. Ini bukan lagi soal kenikmatan, tapi soal harga diri.
Hari ini mungkin akan berjalan dengan normal. Rina selalu menyapaku seperti biasa, mengobrol seperti tak pernah terjadi apa-apa, koordinasi urusan pekerjaan pun berjalan normal. Namun setiap kali mata kami bertatap-tatapan di ruang kantor, aku seolah dapat melihat sebuah angka tiga yang mengambang dan menyala-nyala di atas kepala Rina. Gadis cantik ini, yang berdiri hanya beberapa meter dariku ini ... memberiku kesempatan untuk menyetubuhinya tiga kali lagi, kapan pun aku mau, di mana pun aku mau.
Jantungku berdetak sangat kencang membayangkannya. Pikiranku tak bisa berkonsentrasi mengerjakan pekerjaanku. Setiap kali aku melewati ruangan Accounting tempat Rina berada, imajinasi liarku muncul lagi. Bagaimana jika aku sekonyong-konyong masuk ke ruangan itu, menghampiri kubikel Rina, menggenggam tangannya, lalu berbisik kepadanya: "Rina, gue mau pakai jatah gue, sekarang"? Apa yang akan terjadi? Apakah ia akan mengangguk, lalu mengajakku ke toilet atau tangga darurat, lalu kami akan bercinta dengan liar di sana?
Mustahil. Punya jatah tidak sama dengan bisa melakukannya di mana saja. Bahkan mereka yang suami-istri sekalipun tidak berarti bisa bercinta di toilet atau tangga darurat. Logika pikiranku sepertinya mulai kacau sampai-sampai tak bisa lagi membedakan fantasi dan kenyataan.
Aku memutuskan untuk mengabaikan fantasi itu dan mencoba fokus pada pekerjaanku. Namun sekeras apa pun aku berusaha, aku tak pernah berhasil berkonsentrasi. Akhirnya, aku berencana menghabiskan sisa jam kerjaku siang itu dengan melamun di depan meja kerja. Kupikir aku hanya perlu menunggu beberapa jam dan semua ini akan berakhir. Besok akan jadi hari yang baru dan mungkin akan jadi hari yang jauh lebih ringan.
Sayangnya, semua harapanku itu buyar. Atasanku memanggilku ke ruangannya. Aku tak menyangka, sejak pertama kali aku bekerja di kantor itu, baru pertama kalinya aku dimarahi dan dipermalukan oleh atasanku sendiri. Sebenarnya, itu memang salahku. Salah satu hasil pekerjaanku memiliki kesalahan yang cukup fatal. Klien memprotes keras atas kerugian yang mereka alami. Sementara itu, atasanku menyindir keras kinerjaku. Katanya, beberapa waktu terakhir ini kinerjaku menurun, seolah ada sesuatu yang mendistraksi pikiranku.
Ia tidak salah, memang. Namun rasa malu dan kesal yang ia hunjamkan ke dadaku tidak bisa kusangkal. Aku keluar dari ruangannya dengan kepala yang terasa panas mengepul dan dada yang terasa sesak bukan main. Langkah kakiku memburu di lorong kantor itu. Aku ingin meninju tembok atau memecahkan barang, tapi aku tahu tak dapat melakukannya. Lalu aku melewati ruang Divisi Accounting. Aku berpapasan dengan Rina yang baru saja memfotokopi sesuatu.
Sekonyong-konyong, aku menggenggam pergelangan tangan Rina dan menariknya.
"Rin!" ucapku.
Rina menoleh. Raut wajahnya tampak kebingungan. Ia mengernyitkan dahi.
"Kenapa, Mas Panji?" tanyanya.
"Gue butuh lo. Sekarang," ujarku singkat.
"Ma... maksudnya?" tanya Rina gugup.
"Jatah gue masih berlaku, kan?"
Rina mengangguk.
Dalam waktu kurang dari lima menit kemudian, apa yang terjadi adalah kami sudah berada di ruangan ME yang sepi dan jarang didatangi orang. Ada jadwal-jadwal tertentu para teknisi akan mendatangi ruangan ini, dan jadwal itu bukanlah sekarang.
Aku menutup pintu besi ruangan itu, kemudian menyandarkan tubuh Rina hingga berhimpitan dengan sebuah lemari besi yang berisi peralatan listrik dan kabel-kabel. Aku menciumi bibirnya yang lembut sambil berusaha menanggalkan kancing kemejanya satu per satu. Ketika tiga kancing atasnya sudah terbuka, tanganku segera menelusup dan meremasi sepasang payudaranya yang mungil dan bulat.
"Ah... Mas... Mas Panji... Mmmh," desah Rina ketika ciumanku mulai turun dari leher ke belahan dadanya, kemudian ke putingnya yang sebelah kiri.
"Sori, ya. Tadinya gue nggak mau pake jatah gue, tapi ... tapi ... mmmh," gumamku sambil menjilati dan menghisap payudaranya yang satu lagi.
"Ahhh... nggak apa-apa, Mas. Boleh, kok."
Tangan kiriku mulai bermain di selangkangan Rina, masuk ke balik rok pendeknya, lalu menggunakan jari tengahku untuk menggesek-gesek bibir vaginanya. Sementara itu, tangan kananku kugunakan untuk membuka retselting dan kancing celana kerjaku sendiri. Sepasang tangan Rina membantuku menurunkan celanaku berikut dengan celana dalam yang kukenakan, kemudian dengan lihainya ia mengeluarkan penisku yang sudah tegang sempurna ke alam bebas.
Setelah penisku berhasil ia bebaskan, ia segera menurunkan roknya sendiri hingga terjatuh di mata kaki.
"Kita nggak punya banyak waktu," gumamku.
Rina mengangguk, seolah memahami benar apa yang aku inginkan. Ia segera membalikkan badannya, kemudian menundukkan punggungnya hingga pantatnya berada dalam posisi menungging. Aku langsung memerosotkan celana dalam kremnya hingga pantat mungilnya terpampang jelas di hadapanku. Kuremas pantat mulus itu, kemudian kuarahkan agar ia membuka selangkangannya lebih lebar.
Dengan nafsu yang meluap-luap, aku mulai memasukkan batang penisku dengan posisi doggy, menekannya hingga urat-uratnya yang keras menelusup di antara celah kemaluan Rina yang hangat dan basah. Dengan sekali dorongan, seluruh bagian batangku kini sudah berada di dalam tubuh Rina. Ia mendesah keras ketika ujung kepala penisku terasa menyentuh bagian terdalamnya.
"Mmmmh, ahhh," desah Rina. "Jangan lama-lama, Mas!"
Aku mulai menggoyang dan menggenjot Rina dari belakang di ruangan yang sempit ini. Dalam benakku, aku mencoba meluapkan kekesalan dan rasa maluku. Kata-kata atasanku yang tajam dan sinis masih terasa sakit mengiris dadaku, dan aku ingin meredakan rasa sakit itu dengan memanfaatkan kenikmatan dari tubuh Rina. Tidak ada salahnya, kan? Tidak ada yang dirugikan. Semua pihak telah setuju dan aku hanya mengambil apa yang sudah menjadi hakku.
Ketika aku sedang asyik menikmati dinding lubang kemaluan Rina, tiba-tiba saja pintu ruang ME terbuka. Seseorang membuka pintu itu dengan tiba-tiba. Aku menahan napas. Sempat terbersit dalam pikiranku bahwa ini adalah ulah Aris lagi. Harus sampai berapa kali Aris memergokiku?
Namun rupanya aku salah. Aris tidak mungkin ada di sini. Ia tidak bekerja di kantor ini. Sosok yang muncul dari balik pintu dan menyaksikan persetubuhan kami adalah Dimas. Rekan kerjaku yang sejak lama memang sudah mengagumi Rina.
"Anjir! Gilaaaa!" ujar Dimas dengan mulut menganga.
Bersambung....