Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Istriku Widya dan Para Preman Yang Menjadikannya Budak Seks

Part 12

Aku terlelap setelah bercinta dengan Nadia, adik sepupu istriku sendiri. Dahulu, Nadia adalah muridku ketika aku sempat menjadi guru les ketika kuliah. Waktu itu, Nadia masih seorang gadis SMA. Sekarang, Nadia adalah seorang gadis matang yang cantik. Sesuatu yang tidak pernah aku sadari ketika itu.

Aku merasa bersalah, sangat bersalah. TIdak seharusnya aku bercinta dengan Nadia. Tidak seharusnya aku mengkhianati istriku sendiri. Meskipun aku tahu, jika istriku sekarang ini mungkin sedang menikmati sodokan-sodokan kontol para preman itu.

Mengingat itu, kontolku jadi mengeras lagi. Aku tak tahu di mana Widya sekarang berada. Yang jelas, ia tadi pergi bersama dengan Parjo dan kawan-kawan. Ia membawa bikini yang aku belikan untuk-nya. Mungkin mereka akan pergi ke satu pantai.

Aku memutuskan untuk mandi. Malam itu udara cukup dingin meskipun hujan tidak turun. Selesai mandi, aku mendengar beberapa pesan masuk ke dalam handphoneku. Aku buka pesan itu, dan ternyata pesan itu berisi video. Pesan itu tidak lain tidak bukan berasal dari nomor Widya.

Jantungku seketika itu berdegup dengan kencangnya. Video itu jelas bukan video sembarangan. Video itu pasti berisi kegiatan Widya hari ini bersama dengan Parjo dan kawan-kawan.

Sambil menelan ludah, aku mencoba membuka video itu. Aku bahkan lupa untuk mengenakan pakaian. Hanya ada handuk menutupi tubuh bagian bawahku.

“Indah sekali pemandangan di sini.” Kata sebuah suara di dalam video itu. Aku yakin itu adalah suara Parjo. Rekaman video itu menunjukan alam pegunungan yang indah. Aku tak tahu di mana itu, tapi hutan di daerah pegunungan itu cukup lebat.

Kamera kemudian memutar ke arah wajah Parjo, “Lain kali, ajak suamimu untuk ikut ke sini ya non.” Kata Parjo.

“Iya.” Jawab suara wanita yang tidak jauh ada di sana. Suara itu jelas adalah suara Widya.

“Nih non, kasih salam buat suami non.” Kata Parjo sambil mengarahkan kamera ke arah Widya.

Alangkah terkejutnya aku ketika melihat Widya sekarang. Di pegunungan dan alam terbuka seperti itu, Widya mengenakan bikini yang ia beli kemarin. Kulit tubuhnya nyaris kelihatan semua di balik bikini two pieces yang minim itu.

“Widya, gimana kalau ada orang yang lihat?” Teriaku seketika.

Namun meskipun menggunakan bikini seperti itu. Widya masih tetap mengenakan jilbab di kepalanya. Sungguh kontras sekali apa yang aku lihat dalam video itu. Seorang wanita, mengenakan jilbab, berbaju bikini, menggendong sebuah tas punggung besar, sedang berada di alam pegunungan terbuka bersama para pria paruh baya.

Entah apa yang diinginkan Parjo kali ini terhadap Widya. Apapun itu, ini sudah sangat keterlaluan. Bagaimana jika Widya sampai dilihat orang-orang lain? Bagaimana juga jika sampai fotonya beredar di media sosial?

“Gimana non, capek ndak?” Tanya Parjo.

“Iya Mang, aku capek.” Kata Widya dengan suara terputus-putus. Nafasnya terengah-engah, mungkin karena ia tidak terbiasa mendaki gunung. Memang Widya dahulu cukup rajin olah raga. Tapi olah raga yang ia lakukan hanyalah olahraga ringan seperti jogging dan sepeda statis.

“Ya udah non, di deket sini ada tempat buat istirahat yang bagus. Nanti kita berhenti di sana dulu ya.” Kata Parjo.

Widya hanya menjawab dengan anggukan kepala.

Aku bisa melihat keringat mengucur deras di sekujur tubuh Widya. Bulir-bulir peluh jelas tercetak ditubuhnya yang hanya ditutupi oleh bikini two pieces mini itu. Dan aku baru sadar juga, kalau para preman itu nyaris tidak membawa apa-apa di punggungnya. Hanya Widya saja yang membawa tas dengan ukuran sangat besar.

Dari video itu, aku bisa melihat jika matahari cukup terik. Meskipun hawa pegunungan bisa terasa cukup sejuk. Parjo memperlihatkan tubuh Widya secara dekat ke kamera. Sehingga aku bisa dengan jelas melihat kulit tubuh istriku yang benar-benar halus itu.

Aku merasa terangsang melihat adegan video itu. Aku putuskan untuk melanjutkan menonton video-video itu sambil bersandar di atas kasur dan melepaskan handuk yang menutupi kemaluanku. Kontolku sudah berdiri tegak dibalik handuk itu.

“Non bentar ya, aku ambil minum dulu.” Kata Kusni.

Kusni mengambil botol minum di tas yang Widya gendong. Kusni nampak menenggak isi botol minum itu dengan rakus dan kemudian mengembalikannya kembali ke tas yang Widya gendong itu. Seolah Widya menjadi pesuruh para preman itu untuk membawakan barang-barang mereka.

“Seger banget non!” Kata Kusni.

Kontolku semakin berdiri tegak melihat adegan itu. Widya tidak hanya dipermalukan dengan disuruh mendaki sambil hanya mengenakan bikini. Tapi mereka juga memperlakukan istriku sangat rendah seolah Widya adalah pesuruh mereka.

Entah apa saja yang ada di tas itu. Tapi yang jelas aku bisa membayangkan jika beban-nya pasti sangat berat. Nampak dari wajah dan tubuh Widya yang nampak begitu kelelahan.

“Non haus ndak?” Tanya Kusni.

“Iya Mang, aku haus.” Kata Widya.

“Nanti ya non, kalau sudah sampai pos. Non boleh minum.” Tambah Parjo.

Para preman itu benar-benar seenak sendiri mengerjai Widya. Di satu sisi aku kasihan melihat istriku diperlakukan seperti itu. Tapi di sisi lain aku merasa terangsang bukan main.

Video berlanjut ketika mereka mulai memasuki wilayah hutan yang semakin lebat. Aku bisa melihat batang-batang pohon yang besar dan kokoh di sana sini. Tapi di sisi lain jurang, aku masih bisa melihat rumah-rumah penduduk dan bahkan kebun milik mereka.

“Ayo non, jalan lebih cepet lagi.” Ujar Parjo sambil menampar pantat Widya.

“Ahh, sakit!” Jerit Widya.

Parjo hanya tertawa-tawa saja melihat tingkah istriku.

Video berhenti di titik itu. Aku menarik nafas panjang setelah melihat video itu. Masih ada beberapa video yang belum aku lihat. Dan jantungku terasa berdegup kencang. Aku ingin melanjutkan melihat video-video lainnya. Sambil mengocok kemaluanku yang berdiri dengan tegak itu.

Aku putuskan untuk melihat video berikutnya. Di video itu, aku lihat Widya dan seluruh rombongan sudah sampai di pos istirahat. Nampak Kusni dan Somad duduk-duduk di sebuah batu sambil minum. Widya juga nampak duduk di sebuah batu dari kejauhan sambil membongkar isi tas gunung yang ia bawa tadi.

“Gimana non, capek?” Tanya Parjo.

Widya menganggukan kepala.

Tangan Parjo mulai bergerak merangkul pundak Widya. Ia pijat-pijat kecil pundak istriku itu dengan lembut. Terkadang ia pijat juga punggung istriku yang sekarang ini terbuka tanpa penutup karena bikini yang ia kenakan hanya sebatas tali di bagian punggung.

“Enak non?” tanya Parjo lagi.

Widya kembali mengangguk.

Tiba-tiba, datang dua orang laki-laki mendaki gunung itu. Pakaian mereka sangat aneh. Mereka hanya mengenakan penutup kain warna putih di sekitar kemaluannya. Selain itu, mereka tidak memakai apa-apa lagi kecuali tas di punggung dan tongkat kayu untuk membantu mereka mendaki.

“Wah, ada rombongan lain.” Kata salah satu dari dua orang pendaki itu.

Aku taksir usia mereka sudah berada di angka 50an. Rambut putih menyebar di kepala mereka serta perut mereka sudah buncit. Tubuh mereka nampak tidak sebugar Parjo dan teman-temannya, tanda jika mereka kemungkinan besar adalah pekerja kantoran.

“Ayo non, buka kaki non, goda mereka.” Bisik Parjo kepada Widya.

Widya menuruti perintah Parjo tanpa protes. Ia lebarkan kakinya sehingga kain tipis penutup kemaluannya bisa terlihat dengan sangat jelas.

Aku lihat, para bapak-bapak itu menelan ludah melihat sosok istriku. Bagaimana tidak, seorang wanita cantik, hanya mengenakan bikini dan jilbab naik gunung di tempat terbuka seperti ini. Pria normal pasti akan terangsang melihat sosok istriku seperti ini.

“Kalian mau ke tempat ritual juga?” Kata salah satu bapak itu. Sekilas ia terus mencuri-curi pandang ke arah istriku.

“Wah iya pak, kami mau ke sana. Tapi sambil jalannya santai aja.” Kata Parjo.

Ritual? Ritual apa? Tanyaku di dalam hati. Aku memang pernah mendengar salah satu gunung menjadi tempat ritual pesugihan di sekitar sini. Bahkan ada beberapa orang yang menjalankan ritual untuk mendapatkan momongan. Aku tidak tahu, apakah Parjo membawa Widya ke gunung keramat itu. Dan yang lebih tidak aku tahu lagi, apa maksud Parjo membawa Widya ke sana.

“Ritual akan dijalankan besok malam, di malam bulan purnama. Kalian harus sampai ke tempat itu jalan kaki sebelum besok malam.” Kata pria satunya.

“Iya pak, kami santai saja, sambil jalan pelan-pelan. Lagipula di rombongan kami ada wanita. Jadi kami tidak terburu-buru.” Tambah Kusni.

Lucunya, sambil bicara seperti itu, tonjolan di kain penutup kedua pria paruh baya itu nampak semakin menggembung. Jelas sekali kalau mereka sangat terangsang melihat Widya.

“Jarang ada wanita yang ikut ritual, apalagi yang masih muda seperti Neng ini.” Kata salah satu pria.

“Iya, lagian Neng berani banget, cuma pakai pakaian daleman. Eh tapi neng masih pakai jilbab juga ya.” tambah pria satunya.

“Hehe iya pak, Non saya ini ada permintaan khusus di ritual itu. Makanya dia jalanin ritual ndak pakai baju dari awal kami ndaki gunung ini.” Ujar Parjo.

“Wah gitu ya, semoga keinginan Non terpenuhi ya.” Ujar salah satu bapak itu.

Sampai sini aku benar-benar dibuat bengong, aku sama sekali tak tahu apa yang akan Widya lakukan. Ya aku paham, ada satu gunung keramat dimana orang-orang yang punya keinginan biasanya mendaki gunung itu hanya mengenakan sarung, atau malah tak pakai baju sama sekali. Tapi kenapa Widya ingin naik gunung itu? Apa yang dia inginkan sebenarnya? Atau apakah Parjo ingin sesuatu dari Widya?

Video terus berlanjut ke adegan berikutnya. Widya menyiapkan makan siang untuk Parjo dan kawan-kawan. Semua peralatan masak dan bahan makanan ada di tas besar yang Widya bawa dari tadi. Widya mau repot-repot memasak dan membawa peralatan buat para preman itu. Sedangkan di rumah, ia malah jarang sekali memasak untuk aku.

“Masak yang enak ya non.” Kata Parjo.

“Masak apa aja, kalau non WIdya pasti enak.” Tambah Somad.

“Wah, kita boleh minta juga kah?” sahut salah satu dari kedua bapak-bapak yang tadi bercawat.

“Boleh lah, masak ndak boleh.” Kata yg Parjo.

Aku tak tahu yang ada di benak Widya. Seorang wanita berhijab, tidak mengenakan pakaian kecuali bikini mini. Kini sedang memasak di alam terbuka untuk 5 orang pria paruh baya yang bukan sanak saudaranya. Aku tak tahu apakah Widya merasa malu. Dari tadi, gerak-geriknya diawasi oleh para bapak-bapak itu. Sementara itu Parjo dan kawan-kawan menunggu sambil bersantai, ngobrol dan merokok. Mereka bahkan tak segan meminta WIdya juga untuk membuatkan teh hangat dan menyajikan teh hangat itu kepada mereka.

Sejauh ini, kedua bapak-bapak itu masih berlaku sopan kepada Widya. Mereka tak berani melecehkan maupun menyentuh Widya. Mungkin mereka segan dengan Parjo dan kawan-kawan. Badan mereka jauh lebih besar dari kedua bapak-bapak itu. Tentu jika sampai berkelahi, kedua bapak-bapak yang tidak berotot itu pasti akan kalah.

Yang jelas, tonjolan terlihat jelas di kain penutup para bapak-bapak itu. Tanda jika mereka ereksi maksimal melihat Widya. Wajar saja, akupun merasa ereksi maksimal melihat kondisi Widya sekarang.

Widya sebenarnya hanya memasak mie instan dengan sosis. Tapi para preman dan bapak-bapak itu nampak begitu menikmati masakan Widya. Mereka memuji-muji masakan Widya.

“Masakan Neng mantab banget,” Kata salah seorang bapak-bapak itu.

“Iya, coba Neng jadi istri bapak, bakal betah bapak di rumah.” Kata bapak-bapak yang lain.

Aku lihat Widya malu-malu menerima pujian para pria paruh baya itu. Sekilas, aku sempat melihat bra bikini yang WIdya kenakan sedikit bergeser. Samar-sama aku bisa melihat aorela puting susunya yang berwarna cerah. Dan aku yakin para bapak-bapak itu sadar juga akan hal itu.

Para bapak-bapak itu berkata kalau mereka ingin berlama-lama di sana. Tapi janji mereka dengan seorang guru di puncak gunung itu mungkin tidak bisa ditunda. Setelah makan, mereka pergi meninggalkan rombongan istriku dan para preman.

“Wah sayang, mereka pergi.” Kata Parjo.

“Iya lho, padahal non udah mau pamer badan sama mereka.” Tambah Kusni.

Widya diam saja, ia tidak menanggapi ocehan para preman itu. Setelah makan, ia memunguti pring dan membersihkannya di sungai kecil yang mengalir di dekat mereka istirahat. Tak lama setelahnya, mereka melanjutkan perjalanan juga. Meskipun mereka cukup santai mendaki karena memang tidak dikejar oleh waktu seperti para bapak-bapak tadi.

Video berhenti sampai di sana, dan video selanjutnya menunjukan suasana ketika hari sudah mulai gelap. Widya, Parjo dan kawan-kawan akan bermalam di sebuah tempat yang cukup datar. Parjo dan Kusni sudah menyalakan api unggun. Dan mereka mengenakan jaket untuk menghangatkan badan. Kabut sudah mulai turun, dan tentu saja udara pasti terasa dingin sekali.

Tapi Anehnya, Widya masih tidak diperbolehkan mengenakan baju lain kecuali bikini yang menempel di tubuhnya. Aku bisa membayangkan, pasti Widya mulai merasa kedinginan sekarang ini. Ia berkali-kali menyilangkan tangan untuk menghangatkan tubuhnya di dekat api unggun.

“Non, nanti kita tidur di sana.” Kata Parjo sambil menunjukan sebuah pendopo reyot.

Sepertinya memang daerah sekitar situ bekas sebauh kompleks bangunan. Ada beberapa pendopo kayu yang sudah lusuh dan ditumbuhi banyak rumput. Namun masih layak untuk digunakan sebagai tempat tidur. Dengan tidur di pendopo itu, mereka tidak perlu mendirikan tenda.

Dari tas yang Widya bawa, Parjo dan kawan-kawan mengeluarkan alas tidur serta selimut. Jumlahnya ada 3 buah. Aku agak merasa janggal karena jumalh orang yang ada di sana 4 orang termasuk Widya.

“Nanti non tidur ndak usah pakai alas ya. Tapi kalau non mau, nanti non bisa kok nylempit tidur sama kita.” Kata Parjo seenaknya.

Kurang ajar sekali mereka. Parjo dan kawan-kawannya memperlakukan Widya seperti babu. Bahkan jauh lebih rendah lagi. Ia nyaris memperlakukan WIdya seperti budak. Wdiya tidak hanya dilarang menggenakan pakaian yang layak. Ia juga dilarang menggunakan selimut untuk tidur. Padahal jelas sekali hutan di sekitar pegunungan itu kini sedang berkabut. Udara di sana pasti dingin sekali.

“Kalau non Widya mau tidur bareng kita, brati non rela kita apa-apain.” Lanjut Kusni.

Di sini mulai jelas gelagat para preman itu. Mereka sengaja memang tidak mengerjai Widya sedari tadi. Mungkin untuk membiarkan tenaga mereka utuh di malam ini. Mungkin mereka juga sengaja tidak mengerjai Widya tadi supaya birahi Widya memuncak. Berjalan-jalan nyaris telanjang di alam terbuka seperti itu, bisa jadi itu membuat birahi istriku memuncak. Mereka sengaja membiarkan birahi Widya tidak tersalurkan sedari tadi. Supaya malam ini Widya rela menyerahkan dirinya kepada para preman.

Rekaman berhenti di sana. Rekaman itu adalah video terakhir di hari ini. Aku tidak tahu apa yang Widya lakukan dengan para preman itu di gunung. Apakah ia akan tahan dinginnya malam di sana dengan hanya mengenakan jilbab dan bikini? Atau ia akan menyerah dan membiarkan tubuhnya kembali dijamah para preman itu?

Aku merasa panas dingin membayangkannya. Walaupun aku sudah sering melihat Widya disetubuhi secara langsung oleh para preman itu. Tapi tetap saja, aku masih merasa sangat tidak rela.

Dua hari berlalu sudah, tidak ada kabar sama sekali dari Widya dan para preman itu. Hari senin ini memang masih libur karena long weekend. Dulu aku biasanya menyempatkan diri untuk berlibur bersama dengan istriku. Tapi kali ini justru istriku yang berlibur dengan pria-pria lain.

Selain Widya, Nadia juga tidak lagi menghubungiku. Aku merasa bersalah kepadanya. Seharusnya, aku bisa mengontrol hawa nafsuku. Aku telah bersetubuh dengan adik sepupu istriku sendiri! Sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan bakal terjadi.

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Aku sudah menumpahkan spermaku di dalam rahim adik sepupuku sendiri. Aku akan menerima semua konsekuensinya.

Senin berlalu dengan cepat dan hari menjelang sore ketika aku kembali menerima pesan di dalam handphoneku. Pesan itu tidak lain dan tidak bukan adalah pesan dari Parjo. Isinya apa lagi kalau bukan video-video mesum istriku.

Kali ini aku membukanya ketika sedang duduk di sofa depan TV. Aku putuskan untuk menghubungkan layar TV-ku dengan handphone dan membuka video itu di sana. Video pertama adalah lanjutan apa yang terjadi di sabtu malam lalu. Ketika Widya dibiarkan tidur di atas pendopo dengan hanya mengenakan bikini dan jilbab di tubuhnya.

“Hehe non kenapa?” Tanya Parjo sambil kamera dihadapkan pada istriku.

Dengan muka malu, istriku berkata. “Aku kedinginan Mang, boleh aku tidur di dalam selimut itu?” Tanya Widya.

“Boleh Non, tapi non tahu kan tidur di selimut ini tidak gratis.” Kata Parjo.

Widya mengangguk, “Ya, aku tahu Mang.” tambahnya.

“Oke, kalau non paham. Sekarang, buka baju non dan minta ijin di video ini sama suami non. Kalau non mau tidur di selimut ini dan nurut sama semua kemauan Parjo.” Kata Parjo seenaknya.

Widya mengangguk, tanpa panjang lebar, Widya membuka bikini mini yang ia kenakan. Dari bra kemudian celana bikini itu. Tak lama, tubuh telanjang Widya sudah nampak tanpa penghalang kecuali jilbab di kepalanya. Dan anehnya, aku bisa melihat sekilas kemaluan Widya sudah sembab dengan cairan bening.

Kemaluanku langsung berdiri tegak melihat tubuh telanjang Widya. Entah mengapa, ia begitu mempesona. Apalagi sekarang ia telanjang di tempat umum.

“Sekarang, bilang non kalau non mau diapain aja sama kita.” Kata Parjo

Sekali lagi, dengan tanpa ragu, Widya mengucapkan, “Mas Arman, aku udah ndak tahan lagi dingin mas. Aku ijin minta diselimutin Mang Parjo dan temen2nya. Sebagai balesannya, aku rela diapa-apain sama mereka mas.” Ucap WIdya.

Aku merasa panas dingin mendengar itu. Tapi apa daya, aku tak bisa berbuat apapun. Aku lihat, Widya sudah menggigil kedinginan. Apalagi setahu aku memang ia tak kuat dingin. AC kamar pun tidak pernah diset kurang dari 24 derajat.

“Hehe, sini non masuk selimut.” Kata Parjo.

Aku lihat Parjo menyerahkan kamera kepada Somad. Sehingga kini aku bisa melihat Widya sedang mendekati Parjo. Tubuh telanjang Widya dipeluk oleh Parjo. Parjo sendiri masih menggunakan kaos dan celana pendek.

“Sini, cium aku non.” Ucap Parjo.

Merekapun berciuman dengan sangat mesra. Seolah mereka berdua adalah sepasang kekasih. Tangan Parjo tak lupa ikut bergerilya, ia remas-remas payudara Widya dan ia puntir puting susu-nya. Puting susu Widya yang bertindik itu nampak sudah tegang, tanda jika ia sudah terangsang.

Tangan Parjo satu lagi meraba kemaluan Widya. Ia menemukan jika kemaluan istriku itu sudah dipenuhi oleh lendir. “Ternyata, non udah konak dari tadi!”

Widya dibaringkan di atas alas tidur. Aku bisa melihat Parjo dan Kusni mulai menggerumuli istriku secara bersamaan. Mereka merangsangi tubuh istriku dengan jilatan-jilatan lidah dan rabaan tangan mereka.

“Ugh, egmmm, ehmmm.” rintih Widya. Tubuh WIdya nampak mengeliat-geliat dan pasrah menerima rangsangan demi rangsangan Parjo dan Kusni.

“Hehe, enak ya non?” Ucap Kusni.

Widya mengangguk, “iya enak, ugghh” rintih Widya.

Parjo membuka kaki Widya sehingga selangkangannya terlihat secara jelas. Sampai sekarang, aku masih kagum dengan selangkangan Widya. Kulitnya benar-benar mulus dan putih tanpa cela sedikitpun. Bibir kemaluannya juga masih nampak rapat, meskipun sudah berkali-kali disetubuhi kontol raksasa dari para preman.

Slurrph, sluurpph, slurrph, Parjo menjilati vagina Widya dengan rakus. Tak lupa ia mainkan juga tindik yang tertanam di itil istriku. Tindik bentuk cincin itu sesekali Parjo gigit dan tarik hingga membuat Widya sedikit merintih kesakitan.

Kusni tak mau kalah, ia terus puntir2 dan tarik tindik di puting susu WIdya. Widya merintih dan mengerang, tapi kedua preman itu sama sekali tak peduli. Mereka terus memperlakukan tubuh istriku seperti mainan.

“Neng, isep donk.” Kata Kusni.

Tanpa aku sadari, Kusni sudah membuka celananya. Dan kemaluannya yang besar itu sudah menjulang nyaris ereksi sempurna. Tanpa ragu, Widya memasukan kontol itu ke dalam mulutnya. Widya hisap kontol itu dan ia jilati seperti lolipop.

“Uh, manteb, enak banget emang seponganmu non.” Ujar Kusni.

Aku benar-benar merasa iri, sebagai suami, Widya hampir tidak pernah sudi menyepong kontolku. Tapi ketika para preman itu meminta Widya untuk menyepong kontolnya, Widya sama sekali tidak merasa keberatan. Andai saja, aku punya kontol sekuat dan sebesar para preman itu. Tentu Widya akan semakin sayang kepadaku.

Di bawah, Parjo terus merangsang kemaluan Widya dengan jilatan lidah serta kobelan tangan. Parjo tanpa ragu memasukan dua jari-jari gemuknya ke dalam memek Widya. Tak lama, ia masukan lagi satu jari hingga total tiga jari berukuran besar mengobok-obok vagina istriku. Pinggul Widya naik turun merasakan rangsangan demi rangsangan itu. Ia juga terdengar merintih-rintih tapi mulutnya tertutupi oleh kontol raksasa milik Kusni.

Plaaakk! Tiba-tiba Kusni menampar payudara Widya. Plakk! Plaakk!! Telapak tangan Kusni yang besar dan penuh kapal itu terus menampari payudara istriku.

“Ugghhh, ampun, ampun!” rintih Widya meskipun tidak terdengar cukup jelas karena mulutnya dijejali oleh kontol.

Tapi Kusni tidak mau berhenti, ia terus menampar-nampari buah dada istriku hingga warnanya mulai memerah. Tak hanya ditampar, kadang Kusni juga meremas payudara istriku itu hingga bentuknya tidak karuan. Remasannya sangat kuat hingga payudara Widya seperti adonan kue yang diremat-remat.

“Ahh, sakit, ampun Mang sakit. Tolong hentikan.” Pinta Widya lirih. Lagi-lagi suaranya tidak terlalu terdengar karena mulutnya masih tertutup dengan kontol.

“Hehe, tadi non bilang mau diapa-apain sama kita. Ya brati non nurut aja, ndak usah ngebantah.” Ujar Kusni.

Mata Widya menjadi sayu mendengar perkataan Kusni tadi. Ia mungkin sadar, malam ini tidak akan berlalu dengan mudah. Padahal mungkin tubuhnya sudah letih mendaki gunung dari siang tadi.

Parjo kali inipun tak mau ketinggalan. Ia paksakan satu lagi jarinya masuk ke dalam memek Widya, sehingga kini ada 4 jari Parjo bersemayam di sana. Widya menggeliat dan mengelepar, merasakan memeknya dipenuhi oleh jari-jari gemuk Parjo. Cairan vagina Widya juga membanjir keluar hingga membasahi alas tidur.

Perlahan, aku lihat Widya sudah diambang orgasme. Rintihannya terdengar sudah parau dan tak beraturan. Cairan vagina juga semakin banyak terlihat keluar. Tapi ketika berada diambang orgasme. Parjo mencabut kocokan jarinya dari kemaluan Widya.

“Ahh, ahh, aduh, oh!” Tubuh Widya belingsatan. Bukan karena orgasme, tapi karena ia gagal mencapai puncaknya. “Ah, aduh, kok berhenti Mang.” Tanya Widya.

Para preman itu tertawa-tawa mendengar pertanyaan Widya.

“Kenapa non, pengin ngecrot?” Tanya Parjo.

Widya hanya menjawab dengan anggukan kepala.

“Kalau non pengin ngecrot, sini, bikin badan non ngecrot sendiri.” Kata Parjo.

Parjo kali ini berbaring dan meminta Widya untuk berada dalam posisi Women On Top. Widya yang sudah kepalang tanggung itu menuruti kemauan Parjo. Ia kangkangi selangkangan Parjo, dan perlahan ia masukan kontol Parjo itu ke dalam memeknya.

Dalam posisi wanita di atas, biasanya kontol pria masuk jauh lebih dalam. Nampak dari raut wajah Widya yang begitu sange. Dengan memek yang dipenuhi cairan vagina, kontol Parjo dengan mudah masuk ke dalam memek istriku.

“Ah anget non memek kamu.” Kata Parjo. “Ayo, sekarang gerakin pinggul non. Usaha sendiri kalau mau ngecrot!” Tambah Parjo.

Dengan posisi menunggangi Parjo, kini Widya yang harus menggerakan tubuhnya sendiri demi mendapatkan orgasme. Pelan-pelan Widya mulai menggoyangkan pinggulnya. Seiring berjalannya waktu, ia tingkatkan tempo kecepatan goyangan pinggulnya. Widya nampak begitu menikmati persetubuhan itu, ia terdengar merintih dan menggerang keenakan.

“Mantab non, uggh edan, enak banget goyangan non!” Kata Parjo.

‘Gila!’ Kataku dalam hati. Widya, seorang istri baik-baik berwajah alim. Kini sedang menikmati persetubuhan terlarang dengan seorang preman. Tak hanya itu, Widya sendiri yang menggerak-gerakan pinggulnya supaya kontol preman itu menghujam-hujam masuk ke dalam memeknya. Jika ada yang melihat adegan ini, pasti orang akan mengira jika Widya adalah seorang pelacur.

“Non, sini, agak nunduk. Aku kenyot susu non!” perintah Parjo.

Widya menurut saja permintaan Parjo, ia majukan payudaranya supaya preman itu bisa menghisapnya. Payudara Widya yang menggantung itu Parjo bekap dan remas. Lalu ia hisap puting susu Widya yang indah.

Mereka benar-benar memperlakukan tubuh Widya seenaknya. Seolah tubuh Widya adalah mainan pemuas nafsu para preman itu. Aku mengira jika para preman tidak berhenti di sana untuk mengerjai Widya. Dan benar saja, Kusni yang sempat menghilang membawa sebuah ikatan tali panjat tebing. Tali itu memang mereka bawa di dalam tas pendakian.

Kusni membuka sedikit ikatan tali itu hingga panjangnya sekitar satu setengah meter. Tali itu lalu ia putar-putar dan tanpa aba-aba, ia lecutkan tali itu ke punggung Widya.

Ctarrr!! Bunyi lecutan tali yang mendarat ke punggung Widya terdengar cukup keras.

“Ah, sakit, ampun!” Jerit Widya.

Tapi Kusni sama sekali tidak bergeming. Ia kembali lecutkan tali itu ke punggung Widya. Ctarr!!

Tubuh Widya menggeliat kesakitan di atas tubuh Parjo. Hanya saja ia tak bisa bergerak bebas karena payudaranya sekarang sedang diremas oleh Parjo.

“Ampun, sakit, ampun.” Rintih Widya.

Aku kaget bukan main, mereka sampai hati menyiksa Widya seperti itu. Lecutan tali itu meninggalkan bekas semburat merah di punggung Widya. Aku tidak tahu apakah bekas lecutan itu akan meninggalkan luka permanen di sana.

“Ahhg, guuahh, sakit, jangan, ampun.” Jerit Widya. Tapi Kusni terus saja melecutkan tali itu ke punggung istriku.

“Terus Kus, pecut aja nih lonte! Pecut terus. Memeknya enak banget kalau lagi dipecut!” Kata Parjo.

“Hehe, dengan senang hati bos!” Kata Kusni.

Ctarr, ctarr, ctarr! Lecutan demi lecutan mendarat di punggung Widya. Widyapun menangis, mengerang, dan merintih kesakitan. Tapi Kusni sama sekali tak punya ampun. Ia terus saja mencambuki punggung istriku hingga garis-garis merah kini memenuhi punggung-nya.

“Kalau ndak mau dicambuk, ayo goyang lebih kenceng!” Perintah Parjo.

Widya menuruti perintah Parjo, ia goyangkan pinggulnya lebih kencang lagi. Ia sudah seperti pemain film bokep profesional di dalam rekaman itu. Widya nampak begitu menggairahkan.

Somad yang dari tadi memegang kamera, sempat mengcloseup lubang vagina Widya yang dijejali kontol Parjo. Aku bisa melihat banyak sekali cairan bening yang sudah membuih menjadi putih di sana. Bunyi kecipak juga terdengar dengan sangat jelas di dalam rekaman itu. Tanda jika memang WIdya juga menikmati persetubuhan Parjo.

Widya disiksa, dipermalukan, dan direndahkan, tapi itu justru membuat kemaluannya semakin membanjir. Entah mengapa istriku semakin lama menjadi semakin jalang seperti itu. Entah mengapa ia semakin terjerumus menjadi budak nafsu dari Parjo dan kawan-kawannya.

“Gitu non, terus lebih kenceng lagi goyangnya!” Perintah Parjo.

Widya berusaha sekuat tenaga menggerakan pinggulnya. Kontol raksasa Parjo juga nampak keluar masuk ke dalam memek Widya, menimbulkan bunyi kecipak yang semakin lama semakin keras terdengar. Keringat kini membasahi kulit tubuh Widya, panas persetubuhan ini sudah mengalahkan hawa dingin di gunung itu.

“Ah Mang, aku mau sampai ah, ah, ah!” Rintih Widya.

“Terus aja non, Mang Parjo juga udah mau sampai nih. Terus non!” Perintah Parjo.

Tak berapa lama kemudian, Widya dan Parjo mencapai puncaknya dalam waktu hampir bersamaan. Tubuh WIdya nampak melengking kemudian bergetar dengan hebat di atas tubuh Parjo. Widya mengalami orgasme yang cukup dahsyat. Bahkan tanpa sadar, ia juga mengeluarkan air kencing hingga membasahi alas tidur.

“Huff, enak banget ngentot sama non Widya.” Puji Parjo sambil memeluk Widya yang kini ambruk di atas tubuhnya.

Nafas Widya tambah terengah-engah dengan keringat muncul di sekujur tubuhnya. Payudaranya nampak tergencet diatas dada Parjo. Jilbab yang ia kenakan sudah sangat lepek dan sebagain rambutnya nampak keluar. Tapi, Widya masih bersikeras untuk tidak mau melepaskannya.

“Nih siapa yang mau lanjut” Kata Parjo setelah beberapa saat istirahat. Ia campakan Widya begitu saja ke atas lantai pendopo. Dari kemaluannya nampak cairan putih kental merembes keluar secara banyak. Vagina WIdya nampak sedikit menggangga, mungkin makin lama elastisatasnya sedikit rusak karena sering dipakai kontol raksasa. Meskipun jepitan vagina Widya masih kencang.

“Hayuk!” Kata Somad.

Kamera kini ditelatakan di sebuah penyangga. Entah apa penyangga itu, mungkin tas besar yang tadi Widya bawa. Tapi aku tak bisa melihatnya dengan jelas. Yang bisa aku lihat dengan jelas sekarang ini adalah, dua orang preman itu mulai mendekati tubuh Widya yang masih terkulai di atas matras.

Ctar! Ctar! Ctar! Kusni kembali melecuti tubuh Widya, tapi kali ini di bagian depan tubuhnya yang terbuka bebas.

“Ah sakit, ampun, sakit.” Rintih Widya.

“Ayo non, jangan rebahan mulu! Non sekarang nunggung!” Perintah Kusni, “Atau saya pecut lagi badan non!”

Widya yang sudah ketakutan tak punya pilihan lain. Ia turuti kemauan Kusni itu. Sekarang ia berada pada posisi merangkak. Membuat buah dadanya yang ranum itu menggantung bebas di udara.

Dari lubang memek Widya, nampak peju Parjo menetes-netes keluar. Jumlahnya lumayan banyak dan sangat kental. Kusni hanya mengelap saja peju itu dengan sebuah kain lusuh yang entah ia temukan dari mana. Mungkin kain itu peninggalan penghuni pendopo dahulu.

Kusni juga mendapatkan sebuah knob lemari. Mungkin knob itu juga peninggalan penghuni pendopo ini dulu. Knob berwarna keemasan itu mempunyai sisi bundar di ujungnya. Ukurannya tidak terlalu besar, mungkin hanya sedikit lebih besar dari kelereng ukuran jumbo.

“Eh, apa-apaan ini, ah jangan, jangan, tolong, jangan!” Widya menjerit ketika tahu Kusni mulai memasukan knob itu ke dalam lubang duburnya.

“Tenang aja non, ndak terlalu besar kok, pasti ndak sakit!” Kata Kusni.

Entah mengapa Kusni sedari tadi ingin menyiksa Widya. Memang ukuran knob itu tidak besar. Dan mungkin saja Kusni tidak tahu kalau Widya sudah pernah disodomi oleh seorang pria. Tapi tetap saja, knob itu terbuat dari logam yang cukup keras. Dimasuki benda keras seperti itu tentu membuat dubur Widya terasa sakit. Belum lagi aku bisa lihat samar-sama permukaan bulat knob itu mulai tidak rata karena ada karatnya. Bisa saja luka dan karat itu akan membuat Widya infeksi.

“Ughh, sakit, uggh jangan, hu hu hu.” Tangis Widya.

Kusni tak peduli dengan tangisan Widya. Ia paksakan knob itu masuk, dengan hanya cairan lubrikasi sisa sperma Parjo yang merembes dari memek Widya. Perlahan, knob itu masuk hingga menancap erat di dubur Widya. Bentuk knob yang mempunyai leher ramping membuat benda itu menancap erat di dubur Widya.

“Hehe, manteb non, nancepnya pas!” Kata Kusni.

Somad juga terkekeh-keheh melihat kondisi Widya. Ia juga tak mau ketinggalan mengerjai istriku. Ia ambil juga satu tali lagi mirip tali pramuka dari tas yang tadi Widya bawa. Tali itu ia ikat ke cincin tindik di kelentit Widya. Dengan tindik cincin terikat tali itu, Somad bisa dengan mudah menarik-narik kelentit istriku.

“Ahh uuh, uaggh, ampun!” Rintih Widya ketika kelentitnya tertarik oleh Somad.

“Hehe, enak kan non, itil non ditarik-tarik gini?” Ucap Somad.

Kedua preman itu tak mau buang-buang waktu lagi. Kusni mulai memasukan kontolnya ke dalam memek Widya, sedangkan Somad melesakan kontolnya di mulut istriku. Widya dalam posisi merangkak kini harus dijejali kontol dari dua arah.

“Ayo, sekarang non Widya yang gerak. Jangan males ya non!” Perintah Kusni.

“Kalau non ndak gerakin badan non, tali ini bakal aku tarik yang kenceng.” Tambah Somad sambil sesekali menarik tali yang terikat dengan tindik di itil istriku.

“Ah, iya, ampun, jangan ditarik lagi. Sakit!” Rintih Widya.

Pilu sekali Widya, ia mau tak mau harus menuruti kemauan para preman itu. Tubuhnya bergerak maju mundur untuk memuaskan nafsu Kusni dan Somad. Ia dengan suka rela membiarkan kontol dua preman itu merangsek masuk ke dalam lubang memek dan mulutnya.

Sembari terus menggerakan tubuhnya, Kusni dan Somad tak lupa memain-mainkan tubuh Widya. Diremas-remasinya payudara istriku yang menggantung bebas di udara. Kadang aku lihat mereka meremasinya sangat kencang hingga membuat Widya kesakitan.

Lalu bagaimana dengan aku? Apakah aku merasa iba tubuh istriku dipermalukan dan disakiti seperti itu?

Aku sendiri sudah melepas celanaku dan kini beronani di sofa depan televisi. Aku merasa begitu terangsang melihat istriku sendiri disetubuhi oleh dua preman sekaligus. Dan ya, aku masih merasa kecewa karena Widya tidak menceritakan hal sesungguhnya kepadaku. Ia tidak cerita kalau dirinya ternyata mandul.

“Ayo non yang lebih kenceng lagi, ayo!” Perintah Somad sambil menarik-narik tali yang terikat ke itil istriku. Widya menangis dan mengerang kesakitan, bahkan aku lihat ada sedikit air muncrat dari dalam memek istriku. Aku tidak tahu apakah cairan itu keluar karena Widya squirt atau ia terkencing-kencing karena kesakitan.

Widya sudah berusaha maksimal menggerakan tubuhnya. Aku bisa mendengar nafasnya menderu dengan kencang. Aku juga bisa melihat keringatnya keluar dengan deras di tengah dinginnya malam di atas gunung. Jilbab yang ia kenakan sudah basah oleh keringat, namun sekali lagi, ia bersikeras untuk tidak mau melepasnya.

“Ah kelamaan!” Kata Parjo.

Ia rupanya sudah tidak sabar menggenjot memek Widya secara kencang. Ia cengkram pinggul Widya dan kemudian ia tusuk-tusukan kemaluannya secara kencang bukan main. Widya menjadi sangat gelagapan, apalagi kontol Somad sekarang bisa menembus lebih dalam hingga merangsek ke kerongkongannya.

“Hooekk, houukk, hooeek, ampun, hooeek!” Rintih Widya merasakan kontol Somad masuk cukup dalam.

Widya sempat mengelepar-lepar seperti kehabisan nafas. Wajahnya juga pelan-pelan mulai memerah. Kontol Somad memang tidak sebesar Parjo, tapi tetap saja ukurannya cukup panjang. Jika masuk seluruhnya, tentu kontol itu akan menyumbat aliran nafas istriku.

“Hooeek, hoeek, huuuk hoeek, sudah, hooeek!” Rintih Widya lagi. Cairan busa keluar dari mulutnya dan bahkan aku lihat dari hidungnya. Widya mungkin benar-benar sudah kesulitan untuk bernafas. Apalagi ia juga mulai terbatuk-batuk.

“Heh, mati istri orang nanti.” Kata Parjo yang duduk merokok tak jauh dari tempat persetubuhan itu.

“Haha, ya nanti tinggal kita cari lonte lain.” Sahut Kusni.

“Bener banget, kita cari yang lebih muda, mungkin mahasiswi atau cewek SMA.” tambah Somad.

Dadaku terasa sesak mendengar kata-kata para preman itu. Bisa-bisanya mereka ngomong seenteng itu. Padahal mereka sudah menikmati tubuh Widya selama berminggu-minggu lamanya.

“Ayo lonte, masukin kontolku lebih dalem lagi!” Kata Somad. Ia terus memaksa Widya untuk melakukan deepthroat. Kontolnya yang panjangnya nyari 18 cm itu sudah nyaris masuk seluruhnya ke dalam kerongkongan Widya. Tentu saja istriku gelagapan dan kehabisan nafas.

Naas sekali kondisi Widya. Dari belakang, Kusni melesak-lesakan kontolnya sambil mencengkram pinggul Widya kencang-kencang. Sementara itu Somad menjejalkan kontolnya sedalam mungkin di mulut istriku sambil memegangi kepalanya yang masih berbalut hijab. Aku masih bisa melihat semburat-semburat merah di punggung istriku karena lecutan-lecutan Kusni tadi. Kusni yang nampak masih belum puas, tak lupa menampar-nampar pantat Widya hingga merah merona.

“Uhuuk, uhuukk, hooekk uhuuuk.” Widya semakin terbatuk-batuk dan wajahnya semakin merah. Kedua preman itu semakin mempercepat sodokan kontol mereka di memek dan mulut Widya, nampak keduanya sudah hampir mencapai puncaknya.

Benar saja, tak lama setelah itu, Somad orgasme terlebih dahulu. Ia jejalkan kontolnya hingga mentok di dalam kerongkongan istriku. Somad memasukan kontolnya begitu dalam hingga mata Widya mendelik menjadi putih semua.

“Uahh, enak bener nih seponganmu non.” Ujar Somad sambil tubuhnya bergetar berkali-kali. Tanda ia menyemprotkan pejunya di dalam kerongkongan Widya.

Kusnipun menyusul, tak berapa lama, ia tanamkan kontolnya sedalam mungkin di memek Widya. Tubuh preman itupun bergetar diikuti dengan semburan peju di dalam memek Widya.

“Uedan, enak bener memek kamu Non!” Tambah Kusni.

Kedua preman itu menyemburkan peju yang begitu banyak di dalam memek dan mulut Widya. Aku lihat cairan putih dan kental itu meluber keluar dari dua lubang istriku. Bahkan aku melihat, hidung Widya juga mengeluarkan cairan itu.

Tubuh Widya benar-benar lemas seperti orang yang mati. Tidak ada suara gelagapan lagi keluar dari mulutnya, juga tak ada suara batuk-batuk. Di saat itu aku khawatir jika Widya pingsan. Atau lebih buruk lagi, ia mati!

Begitu kedua kontol preman itu dicabut dari tubuh Widya, istriku langsung ambruk di atas matras. Nyaris aku sama sekali tak bisa melihat gerakan dari tubuh telanjangnya yang tengkurap. Bahkan sekedar gerakan nafaspun tidak.

“Widya mati? Widya mati?” Kataku dengan keras.

Bukannya aku panik atau apa, aku justru mempercepat kocokan kontolku sambil melihat tubuh Widya yang diam membeku itu. Somad memegang kembali kamera dan ia dekatkan ke tubuh Widya sehingga aku bisa melihat dengan jelas air mani berceceran di mulut dan hidungnya, lubang memeknya yang terbuka lebar, dan duburnya yang dijejali dengan knob.

Tak berapa lama, akupun mencapai orgasme. Pejuku muncrat membasahi televisi dimana video Widya aku putar. Sambil orgasme aku masih teriak. “Widya mati, ndak gerak dia, Widya mati!”
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd