Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Istriku Widya dan Para Preman Yang Menjadikannya Budak Seks

Part 09

Sudah dua minggu lewat sejak kejadian di taman itu berlalu. Aku dan istri sudah kembali ke kehidupan normal kami. Normal dalam artian setelah pemerkosaan Parjo dan rekan-rekannya. Istriku tetap hampir selalu telanjang jika di rumah. Ia hanya mengenakan pakaian dalam saja. Kadang ia justru tidak mengenakan pakaian sama sekali, kecuali jilbab di kepala.

Minggu ini, Widya mendapatkan perintah baru dari para preman itu. Setiap kali keluar dari rumah, ia tidak boleh pakai pakain dalam sedikitpun. Aku geram dengan tingkah laku mereka. Mereka terus saja mengerjai Widya dengan berbagai macam peraturan konyol ini. Tapi Widya nampak sama sekali tak keberatan. Ia menuruti permintaan para preman bahkan ketika para preman itu nyaris tidak mengawasi.

Widya hanya diancam, jika sampai ketahuan ia tidak menuruti perintah, maka video asusila istriku akan disebar.

Sampai sekarang, aku sama sekali belum lihat para preman itu datang untuk cek keadaan istriku. Setidaknya ketika aku ada dirumah dan tidak pergi ke kantor.

Apakah mereka punya mainan baru? Atau mereka bosan dengan Widya?

Hari ini hari rabu, kebetulan aku tidak masuk kantor sebagai pengganti lembur di hari sabtu minggu kemarin. Badanku lelah, dan berencana hanya ingin tidur-tiduran saja seharian.

Tapi tiba-tiba Widya memberi tahu kalau ia mau keluar. Ia bersama teman-temannya mempunyai kegiatan amal. Beberapa acara diantaranya adalah mengajar anak-anak jalanan dan juga memberikan makan buat pengemis. Hari ini ia berencana mengajar anak-anak jalanan, pemulung, dan banyak lagi di sebuah tempat di dekat kolong jembatan.

Widya pergi dengan menggunakan mobil sendiri. Aku awalnya ingin melanjutkan istirahatku di siang ini karena tubuhku yang sedang lelah bukan main. Tapi tiba-tiba aku ingat, minggu ini, Widya masih dilarang oleh Parjo dan teman-temannya untuk pakai pakaian dalam ketika keluar rumah.

“Gawat!” Kataku di dalam hati.

Apa yang akan terjadi kepada Widya ketika ia nanti mengajar? Pakaian yang ia gunakan memang gaun gamis modern terusan. Tapi tanpa pakaian dalam, paling tidak puting susunya akan tercetak dengan jelas. Apalagi gaun gamis yang ia kenakan cukup ketat.

Karena beberapa alasan itu, aku putuskan untuk membuntuti Widya. Untungnya, aku tahu kemana ia akan pergi. Setidaknya jika ia tidak berbohong kepadaku.

Aku segera mengendarai mobil ke arah luar kota. Di daerah terpencil dekat dengan pemukiman kumuh aku melihat mobil istriku terparkir dekat dengan kolong jembatan. Benar saja, ternyata ia berada di sini.

Dengan hati-hati aku coba mencari keberadaan Widya. Ternyata ia berada berada di sebuah kelas terbuka di bawah kolong jembatan itu. Kelas itu cukup sederhana, hanya ada papan dan bangku kayu sederhana. Tidak ada atap, karena kelas ini menggunakan jembatan sebagai atap ruangan.

Di sana, Widya mengajar bersama dengan temannya bernama Nadia. Nadia adalah teman Widya semasa kuliah. Perawakannya mirip dengan istriku, wajahnya juga tidak kalah cantik.

Nadia mengajar anak-anak di sana matematika, sementara Widya mengajar bahasa Inggris di jam berikutnya. Meskipun mengajar di jam berikutnya, Widya tetap membantu Nadia ketika ia mengajar. Anak-anak itupun nampak semangat, apalagi mereka diajar oleh 2 guru yang cantik.

Aku lega, Widya tidak mengalami pelecehan apa-apa di sini. Meskipun samar-samar aku bisa melihat puting susunya tercetak di gamis yang ia kenakan. Buah dadanya juga nampak berguncang-guncang ketika ia menunduk untuk mengajar anak-anak.

Aku sempat mendengar Nadia berbisik.

“Kamu ndak pakai BH ya Wid?”

“Oh iya.” Kata Widya dengan sedikit panik.

“Wah berani banget? Ndak risih?”

“Kebetulan lagi ada iritasi, jadi hari ini tidak pakai dulu.” Jawab Widya berbohong.

“Oh, hihi, sebenarnya aku juga pengin sekali-sekali kayak kamu.” Kata Nadia.

“Maksudmu?”

“Iya, ndak pakai BH kayak gini, di tempat umum. Kayaknya bakal adem.”

“Hihi, ya udah sana coba.”

“Oke, nanti deh aku coba. Oh ya, aku jam 11 mungkin ijin dulu ya. Ada perlu dadakan ngantar ibu ke rumah sakit.” Kata Nadia.

“Iya, nanti aku lanjut mengajar sendiri.”

Widya dan Nadia terus mengobrol, kebetulan mereka mengobrol dekat aku mengintip. Jadi aku bisa dengan jelas mendengar suara mereka.

Tak lama kemudian, Nadia pamit kepada Widya. Ia bergegas pergi karena akan mengantarkan ibunya ke rumah sakit seperti yang disebutkan tadi. Jadilah Widya hanya mengajar anak-anak jalanan itu sendiri.

“I am going to school, saya mau pergi ke sekolah.” Kata Widya.

Ia mengajar kata-kata sederhana bahasa Inggris. Aku cukup bangga kepada Widya karena ia bisa mengajar dengan sabar anak-anak itu.

Bruaakk, bruakkk!!

Tiba-tiba beberapa remaja punk memasuki area kelas itu.

“Mana, mana yang namanya Somad, mana!” Teriak para remaja punk itu.

“Eh itu, si Somad, itu tuh!” Kata Remaja Punk yang lain.

“Oh ini, ini yang namanya Somad!” Kata yang lain.

Seorang anak jalanan dikepung remaja punk itu. Kerah kaosnya ditarik dan mereka menyeretnya ke belakang kelas.

Karena Somad menolak, salah satu remaja punk itu meninjunya. Yang lain bahkan menampar Somad hingga ia wajahnya memar.

“Tunggu-tunggu, ada apa ini, sudah hentikan, kita bisa bicara baik-baik dulu.” Kata Widya sambil menghambur ke remaja punk itu. Ia berusaha melerai mereka agar tidak menghajar Somad.

“Diem ini urusan kami.” Kata Remaja punk itu sambil memukuli Somad.

Somad menangis ketakutan dan kesakitan. Usianya mungkin awal-awal SMA, sementara remaja punk itu usianya di akhir SMA atau awal kuliah jika mereka sekolah.

“Tolong, sudah, jangan pukuli Somad lagi. Stop, hentikan.” Kata Widya masih mencoba melerai.

“Gara-gara dia nih, temen kita ditangkap polisi. Ini bocah ngadu ke polisi nangkep temen kita yang rampok barang di toko!”

“Iya, hajar aja nih bocah. Biar kapok!”

“Please, kita bisa bicara, tolong.” Ucap Widya lagi.

Tapi para anak punk itu tak peduli. Mereka terus menghajar Somad. Ketika Widya mencoba lebih jauh untuk melerai. Salah satu anak punk itu mendorong tubuh Widya hingga istriku tersungkur di atas lantai tanah kelas itu.

Rok Widya sempat terbuka, namun buru-buru ia menutupnya.

Salah satu anak punk itu sepertinya sadar, ada yang salah dengan Widya. Ia minta teman-temannya untuk berhenti menghajar Somad. Aku lihat ia memperhatikan daerah payudara dan selangkangan istriku. Dan mungkin ia sadar akan sesuatu.

Anak punk itu berbisik-bisik kepada teman-temannya dan mereka kemudian sepakat akan sesuatu.

“Oke, kita tidak akan hajar ni bocah ingusan.” Kata salah satu anak punk. “Tapi ada syaratnya.” Tambahnya.

“Apa syaratnya, kalau uang, aku ada sedikit, yang penting lepaskan Somad.” Kata Widya.

“Uang itu gampang, nanti bisa kita cari.” Kata si anak punk itu.

“Lalu, apa yang kamu butuhkan?” Tanya Widya lagi.

Anak punk itu tadi mendekat kepada Widya dan membisikan sesuatu. Mata Widya sempat membelalak, ia kaget bukan main.

“Ka kalian!” Kata Widya dengan nada suara terbata-bata.

“Bagaimana? Tante setuju?” Kata Anak punk itu.

Widya tertunduk sejenak, ia nampak menimbang-nimbang sesuatu.

“Lepaskan dulu Somad dan anak-anak lainnya. Setelah itu aku akan menuruti kata-katamu.” pinta Widya.

Anak punk itu tersenyum, ia memerintahkan teman-temannya untuk melepaskan Somad. Ia juga mengusir anak-anak jalanan lain dari kelas itu. Kini hanya ada Widya, dan 4 orang anak punk di dalam sana.

“Nah, sekarang semua sudah pergi. Jadi tante bisa lihatin apa yang aku minta tadi ya.” Kata si anak punk kepada Widya.

Widya mengangguk tanda mengerti. “Kalian juga harus janji, jangan ganggu Somad lagi.” pinta Widya.

Anak punk itu mengangguk, 3 orang rekannya juga.

“Nah, sekarang buka baju tante. Kami mau liat badan tante. Lagian, tante ndak pakai dalaman kan? Emang dasar tante-tante mesum.” Kata si anak punk.

Deeggg! Jantungku terasa mau copot. Ternyata itu permintaan anak-anak punk itu. Mereka mau melihat tubuh telanjang Widya. Salah satu anak punk itu ternyata sadar jika Widya tidak menggenakan pakaian dalam.

Perlahan, Widya membuka resleting gamis yang ada di belakang punggungnya. Setelah itu, ia tarik gamis itu kebawah dan sedikit demi sedikit pundak Widya nampak terlihat tanpa penghalang.

“Putih bersih cuy!” Kata salah satu anak punk.

“Mulus!” Kata yg lain.

Dengan perlahan tapi pasti, gamis yang dikenakan Widya melorot ke atas tanah. Dan karena ia tidak mengenakan pakaian dalam lagi, sekarang ia benar-benar telanjang. Kecuali jilbab di kepala dan sepatu yang ia kenakan.

Widya menutupi payudara dan kemaluannya dengan tangan. Wajahnya memerah, mungkin karena malu telanjang bulat di tempat yang hampir terbuka seperti ini. Apalagi di depannya kini ada anak-anak punk yang matanya jelalatan melihat tubuhnya.

“Manteb bro!” Kata salah satu anak punk.

“Kelas atas ini, licin banget kayak pualam.” tambah yang lain.

“Udah cantik, badannya bagus, mesum lagi. Masak ngajar ndak pakai daleman.”

“Haha, ndak papa, kita yang untung kok.” kata yg lain lagi.

Widya tambah malu dan merapatkan tangannya ketika anak-anak punk itu mulai mendekat. Istriku itu hanya bisa menutupi payudara dan kemaluannya. Tapi tak bisa menutup bongkahan pantatnya.

Anak-anak punk itu mulai meraba dan membelai kulit tubuh Widya dengan jari-jarinya.

“Alus banget ni ya ampun.” Kata salah satu anak punk.

“Edan, kalau tante jadi pacarku, udah aku kekep tiap hari ini.” Kata yg lain.

Anak-anak punk itu melotot sambil merabai kulit tubuh Widya. Seolah tubuh istriku itu adalah benda yang paling indah yang pernah mereka lihat. Widya sedikit terpekik, ketika anak-anak punk itu mulai berani meremas-remas bongkahan pantatnya.

“Ayo, tangannya dibuka aja tante!” Kata salah satu anak punk.

Tapi Widya sedikit bersikeras, tidak mau membuka tangannya. Ia tetap menutupi payudara dan kemaluannya dengan tangan. Meskipun begitu, Widya tak mampu melindungi pantatnya. Sedari tadi, anak-anak punk itu terus saja membelai dan meremasi pantat istriku. Bahkan tak segan mereka merogoh-rogok masuk diantara dua bongkahan sekal itu.

“Wangi banget deh ini tante.”

“Pakai parfum apa sih tante? Bisa wangi gini?” Tambah yang lain.

Widya semakin nampak risih ketika anak-anak itu mulai mengendus-endus tubuhnya. Beberapa aku lihat mulai tak segan untuk menjilati tubuh istriku.

“Tante, ajarin kita biologi dong.”

“Iya tante, kita ndak pernah sekolah lho, jadi ndak tau bilologi itu apa.”

“Biologi tau bukan bilologi.”

“Eh iya, biologi.”

“Hahaha!”

Mereka merayu-rayu Widya sambil tertawa-tawa. Sementara itu tangan-tangan jahil mereka tak lepas membelai dan meraba-raba tubuh istriku. Semakin lama, mereka semakin berani. Tak segan mereka mulai menyusupkan tangannya ke sela-sela payudara istriku.

“Sudah, jangan.” Pinta Widya lirih.

Tapi anak-anak punk itu sudah kesetanan. Mana mungkin mereka mau berhenti di saat seperti ini. Di hadapan mereka, sudah tersaji seorang wanita cantik tanpa busana. Mereka tentu tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.

Aku sendiri bagaimana?

Aku sebenarnya bisa saja melabrak anak-anak punk itu dan menyelamatkan istriku. Tapi sekali lagi, nafsu birahiku mengalahkan segalanya. Aku begitu terangsang melihat Widya dilecehkan oleh anak-anak punk. Sama seperti aku sangat terangsang ketika melihat Widya diperkosa oleh para preman. Kontolku sekarang sudah ereksi maksimal. Hal yang tidak pernah terjadi ketika aku berhubungan badan dengan Widya.

“Sudah, tolong.” pinta Widya lirih.

“Tante ajarin kita biologi dulu dong, baru kita berhenti.” Kata satu anak punk.

“Iya, ini namanya apa sih tante, yang tante tutupin pakai tangan ini?” Kata satu anak lain sambil meraba-raba payudara Widya.

“Sudah, ini payudara, sudah hentikan!” pinta Widya lagi.

“Oh payudara ya? Tetek ya?”

“Iya!” Jawab istriku sekenanya.

“Kalau ini apa tante, yang tante tutupin di bawah ini.” Kata yg lain lagi sambil meraba-raba daerah selangkangan Widya.

“Ini organ intim wanita, ini vagina!” Jawab Widya lagi singkat.

“Oh vagina ya, memek ya?” Kata yg lain.

“Kita pengin liat lebih jelas ni tante, biar kita pinter kayak tante.” Katanya.

Tapi Widya bersikukuh untuk menutupi daerah sensitifnya dengan kedua tangan. Mungkin ia masih berharap anak-anak punk itu akan melepaskannya sebelum berbuat lebih jauh lagi. Satu hal yang sangat amat aku ragukan.

Tiba-tiba, anak-anak punk itu menyeret Widya dan menidurkannya di atas meja kelas. Kedua tangan dan kaki Widya diikat di masing-masing kaki meja sehingga Widya tidak bisa lagi menutupi bagian-bagian sensitif tubuhnya. Widya sempat meronta, tapi apa daya ia tak punya tenaga cukup melawan berandalan itu.

“Hentikan! Hentikan! Kalian apa-apaan ini!” Jerit Widya.

Ia mencoba meronta ketika kedua tangannya dipaksa untuk diikat di kaki-kaki meja, begitu juga dengan kakinya. Anak-anak punk itu kebetulan menemukan setumpuk tali di sudut kelas. Entah buat apa tali-tali itu sebelumnya.

“Tante jangan teriak-teriak, tante tau kan ini daerah kumuh, kalau tante teriak-teriak, bisa-bisa banyak pemulung dan pengemis dateng ke sini.” Kata salah satu anak punk.

Seketika itu Widya nampak sadar. Bisa jadi mungkin nasibnya akan lebih buruk lagi jika ia teriak-teriak.

Tak berapa lama, tubuh Widya sudah terikat tak berdaya di atas meja. Payudara dan kemaluannya yang gundul itu terpampang dengan jelas tanpa penghalang. Begitu juga dengan tato di selangkangan dan berbagai tindik di payudara dan kelentitnya.

“Eh baru sadar, ini tante pakai tindik!” Kata satu anak punk.

“Ada tatonya lagi di atas memek.” Kata anak punk yang lain.

“Jangan-jangan, tante ini memang lonte ya? Kok bisa punya tato sama tindik gini?”

“Iya, jangan-jangan abis ngajar di sini, ini tante ngelonte di hotel-hotel?”

“Haha, iya, abis ini ngelonte.”

“Liat nih, memeknya basah cuy.”

“Eh iya bener lho, memeknya udah basah!”

Dari jauhpun, aku bisa melihat jelas jika memek Widya sudah basah dan lembab. Apakah ia terangsang juga dilecehkan seperti itu oleh anak-anak punk? Atau ia sejak tadi sudah terangsang karena tidak pakai pakaian dalam?

“Eh ayo lanjutin pelajarannya!” Kata satu anak punk.

“Ini payudara buat apa tante fungsinya?” Tanya anak punk lain.

Mereka bertanya seperti itu sambil meraba-raba tubuh istriku. Beberapa bahkan sudah tidak segan meremasi payudara Widya.

Widya awalnya tak mau menjawab, tapi salah satu anak punk mencubit puting susu Widya.

“Ah sakit!” rintih Widya, “Ini gunanya untuk susu, untuk menghasilkan air susu ibu, untuk asi anak!” kata Widya.

“Asi ya? Mana tante? Kok ndak keluar asinya?” Kata satu anak punk sambil meremas-remas cukup kuat payudara Widya.

“Mungkin kudu disedot-sedot!” kata yang lain.

Anak-anak punk itupun mulai menjilati puting susu Widya dan menyedotnya. Tentu saja tak ada asi yang keluar dari sana. Tapi jilatan dan sedotan itu membuat Widya merintih-rintih tidak karuan. Puting susu adalah salah satu titik lemah istriku.

“Gimana sih ini, ndak keluar juga ASI-nya.” Kata salah seorang anak punk.

“Iya, gimana donk, padahal kita pengin nyusu.” Kata yang lain.

“Kalau yang ini, bisa disedot-sedot juga ndak ya?” Kata seorang anak

Anak itu menunjuk ledir di kemaluan istriku yang gundul. Dari memek Widya keluar banyak sekali cairan. Beberapa bahkan membasahi meja tempat tubuhnya diikat sekarang.

“Coba aja, cuy.” Kata salah seorang teman anak punk itu.

Tanpa ragu, salah satu anak punk itu menjilati memek Widya. Tentu saja Widya melenguh dan merintih merasakan memeknya dijilati. Anak punk itu ternyata sangat suka dengan aroma dan rasa cairan kemaluan istriku.

“Enak cuy, gurih, sedep.” Kata si anak punk itu.

“Sini, aku mau coba juga.” Kata anak punk lain.

Akhirnya, dua anak punk lain ikut mencicipi cairan memek Widya. Mereka menjilati dan menyedotnya seperti makan es krim yang enak. Tak ada rasa jijik sama sekali. Yang ada justru mereka merasa kegirangan.

Widya sendiri hanya bisa menggeliat seperti cacing kepanasan di atas meja itu. Tubuhnya yang terikat membuatnya tak bisa berbuat apa-apa. Selain itu, puting susu dan payudaranya diremas-remas juga juga para anak punk itu. Membuatnya semakin mengeliat dan melenguh tidak karuan.

“Aduh, aku ndak tahan nih.” Kata satu anak punk.

Ia melepas celananya hingga kontolnya yang sudah tegang itu menyembul. Ukurannya tidak besar, standar remaja asia. Diameternya juga cenderung kecil.

Anak itu kemudian menggesek-gesekan kontolnya ke paha Widya. Anak-anak punk yang lain tak mau kalah. Mereka juga melepas celana mereka masing-masing. Aku lihat, ukuran kontol mereka rata-rata standar. Hanya sedikit lebih panjang dari punyaku. Tapi diameternya kecil-kecil.

“Ah mulus banget, enak!” Kata satu anak punk yang mengesek kontolnya di tangan Widya.

“Iya, enak banget, alusnya.” Kata yang lain sambil mengeluskan kontolnya di perut istriku.

Tubuh Widya benar-benar menjadi bulan-bulanan para anak punk itu. Tidak lama setelah itu, mereka berani menggesek-gesekan kontol mereka di payudara Widya. Satu anak juga mulai berani meminta Widya untuk menyepong kontolnya.

Widya awalnya menolak menyepong kontol anak punk itu. Tapi akhirnya ia mau karena anak-anak punk itu menyiksa Widya dengan menarik-narik tindik di puting dan klitorisnya.

“Wah, aku jadi pengin masukin ni kontol ke memek!” Kata satu anak punk.

“Aku juga pengin.” Kata yang lain.

Lalu ada satu orang yang punya ide, bagaimana jika mereka mencelupkan kontol mereka secara bergantian dulu. “Biar kenalan.” Kata anak punk itu. Ide itu mereka terima berjamaah.

Kontol-kontol anak punk itupun satu per satu masuk ke memek Widya. “Kenalin nih tante, kontol saya.” Kata satu anak. Ia mencelupkan kontolnya tiga sampai lima kali di dalam memek Widya sembelum memberikan kesempatan bagi yang lain.

Anak punk lain gantian mencelupkan kontolnya ke memek Widya. “Duh tante, memek kamu sempit banget. Enak banget sih.” Kata anak punk itu.

Empat anak punk itu bergantian mencelupkan kontolnya. Mereka hanya mencelupkan tiga sampai lima kali dan kemudian bergantian. Entah apa maksud mereka sesungguhnya. Tapi yang jelas, sekarang mereka rata bisa merasakan memek istriku ketika masih bersih tidak dipejuin.

Aku lihat, wajah Widya sudah sayu. Ia tidak lagi melawan ketika kontol-kontol anak punk itu masuk ke memeknya satu per satu. Kemaluannya bahkan semakin banjir. Meja tempat tubuhnya tergeletak sekarang sudah basah bukan main.

Pesta icip-icip pun berakhir, kini anak punk itu bersiap untuk benar-benar menyetubuhi Widya.

“Nah sekarang giliranku.” Kata satu anak punk yang sedari tadi memang sepertinya pemimpin mereka. Ia masukan kembali kontolnya ke memek Widya, dan kali ini ia menggenjotnya secara intens.

Kontol pemuda itupun keluar masuk ke dalam memek Widya. Kontol anak punk itu masuk dengan mudah ke memek Widya yang sudah dipenuhi lendir. Apalagi memek Widya memang sudah sering mencicipi kontol yang jauh lebih besar dari anak-anak itu.

“Huff, enak tante, memek kamu luar biasa!” Kata si anak punk.

Tanpa basa-basi lagi, si anak punk itu langsung menggenjot Widya. Ia bersemangat sekali menyetubuhi istriku, sodokan-sodokan kontolnya bahkan membuat meja tempat Widya terikat sekarang berdecit-decit.

“Sepong lagi donk tante!” Kata anak punk yang lain. Ia sodorkan kontolnya ke depan mulut Widya yang sekarang tanpa perlawanan langsung saja mengemut kemaluan itu.

Dua anak punk lain tak mau ketinggalan. Mereka meremasi payudara Widya dan menyedoti putingnya. Istriku berkelenjotan bukan main, mungkin ia merasakan sensasi nikmat yang luar biasa. Tubuhnya dipermainkan dan tak berdaya di depan anak-anak punk yang usianya jauh lebih muda darinya.

“Ah, tante, aku mau keluar tante!” Jerit anak punk yang menggenjot memek Widya.

Cairan sperma-pun menyembur keluar di dalam memek Widya. Cukup banyak juga cairan peju yang ia keluarkan, nampak beberapa sisanya keluar hingga menetes ke meja.

Si anak punk itu keluar dalam hitungan tidak sampai 5 menit. Walau bagaimanapun, mereka masih remaja dan belum berpengalaman dalam hubungan seks. Wajar jika ia keluar cepat-cepat.

“Enak tante, terimakasih ya!” kata anak punk itu.

“Sekarang giliranku!” Kata anak punk lain yang tadi kontolnya Widya sepong.

Bless, dalam sekejap, kontol itu sudah masuk ke dalam memek Widya. Ia jauh lebih kikuk dari anak punk pertama tadi. Gerakannya juga tidak mantab, ia seperti menahan ejakulasi yang hampir saja keluar.

“Aduh, enak banget ini memek, aduh!” Jerit si anak punk

Widya hanya bisa membuang muka saja. Ia tidak menatap para anak punk yang memperkosa dirinya. Namun apakah benar ini pemerkosaan? Iya, Widya memang dipaksa melakukan hubungan badan, tapi ia sama sekali tidak menolak sekarang. Bahkan ia membiarkan saja ketika ada anak punk yang minta disepong dengan mulutnya.

Braakkkk!!!

Tiba-tiba sebuah kayu menghantam salah satu anak punk. Anak punk itu jatuh tersungkur di atas lantai dan langsung pingsan.

“Dasar! Bocah gemblung!” Kata suara bapak-bapak yang tadi mengayunkan balok kayu. “Mau apa kalian, ngentot di siang bolong kayak gini. Bocah gendeng!”

Raut muka anak-anak punk itu berubah ketakutan. Mereka sepertinya kenal siapa orang yang baru saja memukul temannya dengan balok kayu. Cepat-cepat mereka pakai celana yang mereka lepas tadi dan buru-buru juga mereka mengangkut temannya yang pingsan.

“Ampun Bang, kita ndak akan ulang bang, ampun!” Kata salah satu anak punk itu.

“Bajingan tengik, pergi kalian! Kalau kalian dateng lagi ni ke wilayah gue, bakal gue hajar kalian!” Kata si bapak-bapak itu.

Bapak-bapak itu rupanya penguasa daerah sini. Ya seperti preman, tapi ia memang warga sini dan cukup dihormati. Namanya Juned, Ia seperti jawara di daerah sini. Pihak berwajib-pun segan dengan dia.

Anak-anak punk itupun pergi, meninggalkan Widya masih terikat telanjang di atas meja.

“Ck ck ck, dasar pelacur. Cuh!” Kata si Juned sambil meludahi wajah Widya.

Widya tak bergeming, ia hanya memalingkan muka.

“Bodi cakep, tapi jadi lonte! Pakai jilbab lagi! Malu-maluin, ini lepas aja!” Kata si Juned.

Ia sudah memegangi jilbab Widya, siap untuk menarik lepas.

“Tidak, tolong, jangan!” pinta Widya.

Plakk! Juned menampar pipi Widya. “Lonte kayak kamu tidak pantas pakai jilbab.” Gertak-nya. “Lonte kayak kamu pantasnya ndak pakai baju, telanjang aja kemana-mana. Lonte murahan mana yang mau ngentot ama bocah-bocah ingusan kayak tadi? Hah! Loe lonte murahan ndak usah ngelawan sama gue!” Gertaknya lagi.

Widya menangis, ia benar-benar tertusuk dengan kata-kata Juned tadi. Selama ini ia memang dilecehkan dan direndahkan oleh banyak pria. Tapi tak satupun dari mereka mau menarik jilbab yang Widya kenakan.

Dengan sekali tarikan, jilbab Widya lepas. Ini kali pertama ia telanjang di depan pria lain selain aku tanpa mengenakan jilbab. Widya menangis, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa karena tubuhnya yang masih terikat di atas meja.

Juned lalu melepaskan ikatan kaki dan tangan Widya di meja. Tapi rupanya ia tidak berniat untuk melepaskan Widya begitu saja.

“Dih memekmu penuh peju gini, jijik gue!” Kata Juned.

Ia mencari sesuatu dan menemukan botol oli bekas di ujung rongsokan barang. Widya yang sudah hampir beranjak dan hendak memakai kembali bajunya tiba-tiba dijambak oleh Juned. Ia dorong tubuh Widya hingga menungging di atas lantai.

Juned lalu menungkan isi botol oli ke dalam dubur Widya. Juned juga melepaskan celananya sendiri. Lalu ia tuangkan juga sedikit oli ke kontolnya yang ternyata sudah berdiri tegak. Kontol Juned nampak keras dan berurat-urat. Ukurannya sedikit lebih kecil dari kontol Parjo dan Kusni. Namun urat-ruatnya yang besar itu nampak sangat menonjol.

“Eh, mau apa? Jangan, aku mohon jangan di situ!” Pinta Widya. Ia tahu jika Juned sebentar lagi akan menganal duburnya.

“Diem lu lonte, anggep aja ini balas budi lu karena gue udah nyelametin lue dari berandal-berandal itu!” Kata Juned seenaknya.

“Tapi, tidak, aku mohon jangan di situ, aku belum pernah.” Kata Widya.

“Brisik lu, lonte kayak lu masak belum pernah ngentot di dobol? Ya, anggep aja ini kehormatan buat lu, lu bisa ngerasain kontol gue buat perawanin tu dobol lu.” Kata Juned lagi.

“Ndak aku mohon jangan, ini mau aku kasih buat suamiku!” Kata Widya.

Degg! Jantungku terasa mau berhenti mendengar kata-kata Widya itu. Aku tak menyangka jika ia masih ingin memberikan keperawanan duburnya kepadaku. Tempo hari memang aku pernah akan menganal Widya. Tapi aku gagal waktu itu, dan aku sudah keluar duluan sebelum sempat menjebol keperawanan dubur Widya.

“Hehe, udah punya suami toh? Kok lu ngelonte?” Kata Juned.

Widya tak menjawab, aku lihat ia ingin memberontak dengan sisa tenaganya. Namun badan Juned yang kekar itu terus menahannya diatas lantai.

“Siap-siap ya non.” Kata Juned.

Perlahan Juned mulai memasukan batang kontolnya ke dubur Widya. Widya menjerit-jerit dan mencoba membebaskan diri. Tapi tubuhnya tidak mampu melawan badan Juned yang kekar.

“Aduh sakit, aku mohon hentikan!” Pinta Widya.

“Tenang neng, sakit dikit, nanti juga enak. Kayak waktu neng diperawanin memeknya dulu.” Sahut Juned.

“Sudah, aku mohon, yang lain aja, please, masukin memek aja atau aku sepong.” Kata Widya mencoba memohon lagi.

“Malas gue neng, memekmu dah kotor gitu.” Kata si Juned.

“Sepong, aku bakal sepong kamu Bang. Tolong, yang penting jangan di pantat.” Pinta Widya sambil menangis-nangis.

“Udah, nikmatin aja, nanti juga enak kok.” Kata Juned

Perlahan namun pasti, kontol Juned terus melesak masuk ke memek Widya. Oli yang tadi dituangkan benar-benar membuat dubur Widya lebih mudah untuk dimasuki. Meskipun kontol Juned sebenarnya cukup besar ukurannya.

“Sakit, perih, aduh, udah stop!” Rintih Widya.

“Bentar non, bentar lagi masuk semuanya.” Kata Juned.

Benar saja, kontol Juned itupun akhirnya ambles seluruhnya di dalam dubur Widya. Aku lihat wajah Widya benar-benar kesakitan. Wajar saja, karena ini adalah kali pertama ia di anal.

“Sempit banget non boolmu. Bool paling enak yang pernah gua rasain selama ini.” Kata Juned.

Widya diam saja, ia hanya merintih kesakitan.

“Gua mulai gerakin ya non!” Kata Juned.

Perlahan, Juned menggerakan pinggulnya. Kontol berurat miliknya itupun mulai maju mundur di dalam dubur Widya. Widya masih meringis kesakitan, tapi tidak separah tadi.

“Ayo neng, rileks aja biar ndak sakit.” Kata Juned.

Widya sepertinya menuruti kata-kata Juned itu. Lagipula, tak ada gunanya lagi melawan. Lubang duburnya sudah jebol sekarang. Semakin melawan, ia justru semakin sakit.

Dengan gerakan pelan namun pasti, Juned menyetubuhi lubang anal Widya. Dari gerakannya, nampak sekali ia sudah berpengalaman. Tidak seperti para anak punk ingusan tadi. Widyapun aku lihat sudah bisa sedikit rileks. Raut mukanya masih menunjukan sedikit rasa sakit. Tapi selebihnya ia bisa menikmati sodokan kontol Juned di duburnya.

“Gimana non enak kan sodokanku?” Tanya Juned.

Widya hanya menjawab dengan anggukan kecil.

“Haha, dasar lonte, emang neng itu lonte. Di anal sama orang yang baru ketemu aja bisa nikmatin. Lonte-lonte!” Kata Juned sambil tertawa-tawa.

Tapi benar saja, memang tubuh Widya terlihat menikmati sodokan-sodokan Juned di duburnya. Ia sekarang tidak menungging lagi, tubuhnya dalam posisi merangkak. Payudaranya menggantung bebas, dan bongkahan mulus itu tak lupa diremas-remas oleh Juned.

“Tetekmu mulus banget neng, enak diremes-remes.” Kata Juned. “Dah berapa orang yang remes-remes ni tetek neng? Banyak ya?” Tanya Juned lagi.

Widya tak menjawab, hanya lenguhan kecil keluar dari bibirnya. Tubuhnya sekarang sudah belingsatan, menimpali sodokan demi sodokan kontol Juned yang semakin intens.

“Suami neng tahu ndak, kalau istrinya lonte?” Tanya Juned lagi kepada Widya.

Widya menjawab dengan anggukan kepala.

“Wah, suami neng dah gila ya. Biarin istrinya yang mulus kayak gini jadi lonte.” Kata Juned. “Udah, neng cerai aja. Neng ikut gua aja, jadi gundik gua. Neng bisa ngentot enak tiap hari. Neng lonte karena suami neng ndak bisa puasin neng kan?”

Sekali lagi Widya menjawab dengan anggukan kepala. Semua itu ia lakukan dengan terus menikmati sodokan demi sodokan kontol Juned di duburnya. Rasa sakit sudah hilang dari ekspresi wajahnya.

“Sudah aku duga, biasanya cewek baik-baik kayak neng jadi lonte karena suaminya ndak bisa puasin nafsu neng. Neng liat gudang di seberang sungai itu? Gua ada di situ neng, lain kali kalau neng butuh kontol gua, neng bisa kesana.” Kata Juned.

Widya lagi-lagi menjawabnya dengan anggukan kepala yang lemah.

“Haha bagus-bagus neng.” Kata Juned.

Widya dan Juned terus melakukan anal sex itu hingga lebih dari dua puluh menit. Selain di anal, tubuh Widya juga diremas dan digigiti oleh Juned hingga nampak bekas gigitan merah di kulit tubuhnya yang halus. Juned cukup perkasa menyetubuhi Widya, bahkan nyaris tempo sodokannya tak terputus.

“Oh bener-bener enak ni badan lonte, oh, oh!!” Lenguh Juned sambil mempercepat sodokan kontolnya di memek Widya. Rupanya ia sudah mau orgasme.

Tubuh Widyapun bergetar-getar dengan hebat menimpali sodokan Juned. Raut mukanya juga menggambarkan jika ia pun sudah mau sampai di puncaknya. Tubuhnya juga sudah mulai bergetar-getar kecil seperti tersetrum.

“Aku keluarin neng! Ouuugghh Hoooh!” Jerit Juned sembari menyemburkan peju-nya ke dalam dubur Widya.

Widya-pun mengalami orgasme yang nyaris bersamaan. Tubuhnya bergetar dengan hebatnya, bahkan punggungnya sampai melengking.

Tubuh Widya ambruk setelah orgasme itu. Tubuhnya jatuh ke atas lantai tanah yang kotor. Junedpun mencabut batang kontolnya dari dubur Widya. Ada sedikit bekas bercak merah di sekitar lubang dubur Widya karena lecet.

“Puas saya neng!” Kata Juned.

Aku kira Juned sudah selesai mengerjai Widya. Tapi ternyata perkiraanku salah. Ia mengangkangi tubuh istriku sambil mengarahkan kontolnya ke sana. “Nih aku kasih bonus neng.” Kata Juned.

Surrr! Air kencing Juned yang berwarna kuning pekat itu mengalir dengan deras membasahi tubuh Widya. Widya sempat kaget, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa, tubuhnya sudah terlalu lemah untuk melawan. Ia biarkan cairan kuning pekat itu membasahi dan mengotori tubuhnya.

“Lonte kayak neng emang pantesnya mandi pakai air kencing.” Kata Juned.

Ia lalu meninggalkan WIdya begitu saja di sana. Membiarkan tubuh Widya telanjang dengan lubang dubur dan kemaluan penuh dengan peju. Sementara itu air kencing membasahi seluruh tubuhnya.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd