Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA - INEFFABLE -

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Mau tanya, seberapa pentingkah mulustrasi buat kalian?

I mean stiap adegan kayak lagi makan, lagi di taman, lagi jalan berdua atau apapun itu patut diberi mulustrasi atau nggak? Soalnya utk beberapa org mulustrasi yg kebanyakan malah merusak imajinasinya.

Sharing pendapat kalian yuk~
Mulustrasi menurut pandangan ane bagusnya di awal (page 1) atau tiap chapter (saat pengenalan tokoh yg terlibat). Jadi mulustrasi nya seperti profil pemeran. Mulustrasi adegan rasa ane sih tergantung penulis, tapi kalau pribadi ane gausah repot. Karena terkadang the best part being a reader yah waktu meng-imajinasikan adegan-adegan yang ada dalam cerita. Apalagi jika cerita tersebut memiliki penyampaian ciamik. Contohnya saat kita membaca buku bagus, lalu buku tersebut di film kan. Tak jarang ada yang merasa kurang sreg. Maaf panjang. Hanya berbagi pikiran.
 
Karena namanya sama kayak nama ane.. Nambah liar dah delusi gua ahahahahah
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gue sih niatnya pengen bikin kayak suhu INSYFCL dan aesthetics, yang ada beberapa mulustrasi stiap chapternya karena gue emang sulit berimajinasi orangnya haha. Tapi nanti liat ke depannya deh.
 
Mau tanya, seberapa pentingkah mulustrasi buat kalian?

I mean stiap adegan kayak lagi makan, lagi di taman, lagi jalan berdua atau apapun itu patut diberi mulustrasi atau nggak? Soalnya utk beberapa org mulustrasi yg kebanyakan malah merusak imajinasinya.

Sharing pendapat kalian yuk~
Kalo ane (bisa diliat dari cerita yg ane tulis) memasukkan itu di beberapa bagian
Biasanya sih sebagai penggambaran yang dirasa perlu aja. Contohnya waktu menggambarkan merlion atau kapsul pod hostel, ane merasa perlu untuk sedikit menunjukkan foto

Dan kalo ngerasa nggak cukup mewakili atau bahkan berbeda dari apa yg diinginkan penulis (misal soal ekspresi atau suasana yg beda) mending nggak usah

*pendapat seorang amatiran. CMIIW
 
mana nih lanjutannya lg seru... aku menunggu... aku menunggu... semangat hu nulisnya
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Part 4 : Limerence

Setelah kejadian hari itu, aku makin intense chat dengan Anin, bahkan malam itu aku sempat video call dengannya setelah dia pulang latihan. Aku tidak tahu itu latihan apa, setiap kutanya ia selalu mengalihkan pembicaraan. Pernah suatu waktu kami skype di malam minggu yang sunyi sampai ia tertidur, alhasil dua jam aku memandangi wajah pulas Anin dari layar laptopku.

Sebetulnya nanti malam aku ada jadwal hangout dengannya, tapi entah kenapa ia meng-cancel agenda kami secara sepihak katanya ada urusan yang tak bisa ia lewatkan.

Mungkinkah urusan itu bertemu dengan kekasihnya? Entahlah aku juga tak tahu dan gak berhak tau.



Besok malamnya aku diminta Anin untuk menunggunya selesai aktifitas di FX Sudirman,

BANGSAT. Respon pertamaku saat ia memintaku menjemputnya di tempat ini.



Mau tak mau aku harus berani melawan ‘trauma’ masa laluku akan tempat ini, tempat dimana aku..... ah sudahlah, kelak kau pun tau.



“Dimanaaaa??” suara manja Anin langsung terdengar saat kuangkat panggilan telepon darinya.

“Gue di FB, buruan sini,” ujarku sambil tetap mengunyah popcorn caramel ku.

“Jauh ih, mager akunya,”

“Emang kamu dimana?”

“F4,”

Uhukk..

“Di—Dion kamu kenapa??” suara Anin panik saat aku tersedak popcorn-ku.

Aku meminum air putih sejenak dan kembali menghubunginya.

“Eh, sorry sorry tadi keselek hehe,” jawabku menutupi kekagetanku barusan.

“Pelan-pelan gih makannya,” katanya,

“Aku gak minta kok,” ia menimpali sambil terkekeh.

“Yee bocah bisa aja, buruan turun apa gue tinggal nih,” ancamku kepadanya.

“Iyaiya sabar, ini kak Acha mau ikutt,”

“Achan?” selidikku, alih-alih aku salah dengar.

“Achaa, budeegg!!” katanya mengejekku.

Huft, syukurlah. Kukira aku bakal patah hati untuk kedua kalinya karena masalah yang sama.

Masih setia dengan popcornku, dari kejauhan aku melihat ada gerombolan lelaki membawa Lighstick dan memakai kaos warna merah bertuliskan JKT48.

“Cih, wota, gerombolan pria berdelusi yang menganggap idol adalah milik mereka,” gumamku sendiri.



“LIAATT WOII GUA DAPET PP YUPII NIHH,”

“EH ITU PP PIYAMA GUA ORDER DI TOK*PED BELOM NYAMPE SAMPE SEKARANG MASA,”

“MAKANYA BELI DI BOOT MERCH AJA JANGAN ONLEN!!” ujar lelaki lainnya menimpali.

“Ada yang punya pp Ayana gak? Tukeran dong sama Vio, gue tambahin deh!” ujar seorang pria yang kutaksir lebih tua sedikit dariku.



Tiba-tiba ide gila terlintas di pikiranku, aku menghampiri gerombolan wota tersebut.

“Gue ada nih pp Ayana yang lo cari, tapi tukeran sama Cinhap dong dia kan oshi gue seorrangggg,” kata seorang pria.

“Alah denial lu, HS kemarin satu sesi Devi lo embat semua kan!” ujar pria berkulit hitam lainnya.

“Kalo mau tukeran pp Ayana noh di om Joni, doi lengkap semua pp Ayana dari jaman Heavy Rotation!” kata seseorang yang baru datang di belakangku. Aku kini di tengah gerombolan wota, mereka tak merasa curiga karena memang mereka sedang transaksi bertukar photopack, jadi mereka kira aku merupakan ‘bagian’ dari mereka.

“Wettss apa nih ayana-ayana,” kata seorang om-om bertubuh gendut, berkumis lebat, dan baunya itu loh yang sanggup menewaskan satu koloni gajah dewasa.

“Eh om Joni, ini ada yang nyari pp Achan,”

“Berani tuker sama apa lu?” katanya sok diktaktor.

“Sama pp Vio om,” kata pria tadi malu-malu.

“Yaelah ama begituan ditukernya, lo tuker aje sama voucher chatime noh!” katanya meledek. Disambut gelak tawa orang di sekitarnya.

“Gak akan gue ngelepas Ayana buat siapapun,” katanya sambil memeluk fotopek Ayana.



GILAK! DIA FREAK BANGET!

SORRY BUKAN FREAK LAGI, UDAH KE PSHYCO INI MAH JATUHNYA!

Tanpa sadar aku melihatnya dengan tatapan jijik, dan nampaknya ia menyadarinya.

“Kenapa lo? Gak seneng?” tanyanya padaku,

“Eh, sorry?” jawabku sok cool.

“Itu tatapan lo kayak gak seneng ama gue, ada masalah?” tanyanya lagi, sambil berbalik arah mendatangiku.

“Eh enggak om, eh mas, itu saya kagum aja sama lo bisa kekeh sama satu oshi. Itu yang lainnya pada multi-oshi semua, hehe,” jawabku sekenanya.

“Ohh ya jelas!! Gua udah ngefans berat sama Ayana dari teater cuman masih tumpuan batako doang! HAHAHA,” ia tertawa lepas, aku terpaksa untuk ikut tertawa.

“Wota baru ya? Kenalin gue Sendy, koordinator komun ini,” sapa seseorang disampingku.

“Komun?” tanyaku, jujur aku gak ngerti sama sekali ini fandom apa, bagaimana cara kerjanya, dan apa faedahnya.

“Iyaa komunitas, di fandom ini ada beberapa komunitas-komunitas gitu biasanya tergantung regional sih,” jawabnya ramah.

“Kalo ini komunitas apa?” tanyaku yang akhirnya tertarik dengan topik pembicaraan ini.

“Ini komunitas namanya MISKIN WAROAN! Hahaha,” ia tertawa, disusul gelak tawa semua orang disekitarku yang ternyata merupakan anggota komunitas ini.



Waro itu apa? Tanyaku sambil membuka kembali memori kelam di kepalaku.



“Wota jaman sekarang nyari waronya over,” ujar Ayana sambil terlentang, kepalanya diposisikan di pahaku.

“Waro itu apa?” tanyaku polos.

“Perhatian,” jawabnya, sambil memain-mainkan tanganku seperti anak kecil yang kehilangan mainannya.

“Aku juga butuh waro kalo gitu,” ujarku lirih, Ayana menengok ke arahku dengan tatapan bingung.

“Dari kamu,” ucapku tersenyum puas, kuturunkan kepalaku mendekati wajahnya lalu kukecup lembut bibir tipisnya.



“Woy bro! Malah bengong ditanyain,” bentak salah satu anggota komunitas itu.

“Eh sorry, apa tadi?” jawabku plonga-plongo.

“Mau gabung komun kita? Kebetulan udah 47 orang, nambah lo jadi pas 48 kan keren angkanya,” pintanya.

“Boleh deh boleh,” Sial, aku keceplosan.

“Okesipp, boleh minta nomor WA lo? Biar gue invite ke grup,” pinta Sendy.

“OK,” aku memberi nomor WAku dan pamit untuk mencari Anin.



“DIIOOONNNN!!” Anin berlari kecil menghampiriku,

“Apa? Kangen?” godaku.

“Ih apaansih, eh temenin gue non—“ belum selesai Anin ngomong, aku segera menariknya menuju pintu keluar ke arah tempat parkir.

“Ngapa..in sii..hh buru-..buru..?” tanyanya terengah-engah menyusul lariku yang sudah seperti maling kutang kepergok warga.

“Udah diem, gue jelasin di mobil,” kataku sambil mencubit hidung peseknya.



BUKK! Bunyi pintu mobilku saat Anin menutupnya terlalu keras.

“Pelan-pelan ngapa, masih nyicil ini mobil,” candaku.

“Bodo,”

“Kenapa lagi sih ya Tuhan.... salah mulu gue di mata lo,”

“Kenapa tadi lari-lari kayak orang gila? Kan malu diliatin orang-orang,” Anin cemberut, ujung bibir merahnya menyatu mengundangku untuk mengecupnya.

“Tadi ada wota,” jawabku santai, sambil memasukkan persneling mobilku.

“CUMAN KARENA ITU DOANG KAMU GERET AKU KAYAK ANJING TADI?” Anin membentak, teriakannya mengalahkan klakson mobil sampingku yang juga hendak keluar.

“Nin..”

“KENAPA GAK KAMU AJA YANG LARI SENDI—“ ia masih mengomel, mungkin efek capek setelah latihan ditambah perlakuan kasarku barusan.

“ANIN!” bentakku, sambil menghentikan laju mobilku secara mendadak.

Ia tersentak, lalu terdiam. Aku kembali menjalankan laju mobilku keluar dari Mall FX Sudirman.



Di tengah kemacetan, aku melihat kearah Anin, ia masih terdiam namun sekarang matanya memerah.

Matanya berair, suara tangisan tak dapat dibendung oleh bibir mungilnya.

Sorry,” ucapku lirih.

Ia masih tetap menangis , sekarang tangisannya makin kejer.

Aku meminggirkan mobilku di bahu jalan, dan beranjak memeluknya.

“Maafin gue, gue khilaf tadi,” ucapku sambil mengelus lembut kepalanya.

“A..aku gaakk... suka.. dib..entak ka..yak ...tadi...” ucapnya terbatah-batah.

“Iya iya maaf, gue kelewatan tadi, gue cuman mau lo gak kenapa-napa. Tolong pahami itu,” tangisan Anin perlahan mereda, aku menghapus air matanya dengan jari tanganku yang mengakibatkan eyeshadow nya luntur.



Ia terdiam,

“Udah yaa adik impian jangan nangis, udah 19 tahun loh inget,” godaku.



Perlahan senyumanannya kembali, cantik, gumamku.



Saat tangisannya sudah mereda, aku menyetel radio mobilku.



Yang mencinta Fortune Cookies
Masa depan tidak akan seburuk itu
Hey! Hey! Hey!


Deg, aku lupa mengeluarkan VCD JKT48 milik Ayana.

“Dion... kamu.... wota?” tanya Anin menebak.

“Eh, bukan.. anu... itu kaset adek gue, adek gue suka JKT48, tapi gak terlalu fanatik,” responku sekenanya.

“Ohh...kirain,” ujarnya, terpampang jelas ekspresi lega di raut wajahnya.


Fyuh, syukurlah, kan malu kalo laki-laki gagah perkasa tampan nan rupawan seperti diriku harus mengakui dirinya sebagai seorang wota.

Eh tunggu, kok mengakui?

Tidak, aku bukan wota!

Sungguh!

Percayalah!

Sial, kenapa aku jadi ber-monolog sendiri.


Setelah berputar-putar kurang lebih satu jam menyusuri kemacetan Ibukota, kami pun memutuskan singgah di Taman Ayodya di daerah Kebayoran Baru.

Sungguh jos gandos pemandangan Taman Ayodya kala itu, bintang-bintang bersinar bagaikan kunang-kunang yang bersemayam di langit malam, tak ada awan sebagai penghalang kecantikan rasi bintang Cancer yang menghiasi atap bumi. Benar-benar suasana yang pas untuk orang ngedate. Dan aku sangat berharap tidak ada wota-wota kampr*t yang membuntuti kami sampai kesini. Aku dan Anin berjalan ke arah bangungan segitiga sembarang dengan ornamen-ornamen lampu putih unik menghiasi sudut-sudutnya.




Anin meminta izin untuk duduk, lalu aku mengiyakannya. Aku tetap berdiri sambil sekali lagi mengagumi keindahan taman ini.

“Langitnya bagus,” ujar Anin membuka pembicaraan.

“Iya,” balasku, menengadahkan kepalaku ke atas langit malam.

“Bintangnya cantik,” Anin tetap melihat kearah atas, matanya tak henti-hentinya memperhatikan barisan bintang seolah-olah bintang-bintang itu mempunyai makna tersendiri untuk dirinya.

Aku malah fokus memperhatikan dirinya, begitu anggun ciptaanmu Ya Tuhan. Entah kau memang sedang berbaik hati menurunkan bidadari-Mu ke duniaku atau memang kau sengaja menurunkan satu bidadari surgamu untuk menunjukkan ke-eksistensianmu kepada umatmu, aku tak tahu. Karena yang ku tau, aku bahagia di dekatnya.

“Eh coba kamu liat bintang itu! Rasi bintang apa hayo tebak?!” undang Anin karena ia tersadar aku tak melihat keatas sedari tadi.

“Itu ih, coba liat bintangnya bagus,”

“Kamu mah dibilangin susah, nanti bintangnya keburu pergi lho,” dan sebagainya, ia terus merocos agar pandanganku teralih darinya.



“Kamu gak mau lihat bintang?” tanyanya sekali lagi,

“Ini aku lagi lihat bintang,” jawabku sambil tetap terus memandang dalam kedua bola matanya.

“......”


Anin tersipu malu, pipinya merona merah mengundangku untuk mencubitnya. Ia alihkan pandangannya seolah takut berkontak mata denganku.

“Bulan sama Matahari itu hebat ya,” ungkapnya,

“Hebat?” tanyaku,

“Iya, mereka tetap setia walau tak pernah bertemu satu sama lain,” ujar Anin, kembali memandang ke langit.

“Kalo matahari ada, bulan pergi, kalo bulan ada, matahari yang pergi,” tambahnya,

“Ya itu karena memang tugasnya untuk saling bergantian menyinari bumi,” jawabku , beranjak duduk di sampingnya.

“Bukan, itu karena komitmen,”

“Maksudnya?”

“Iya komitmen mereka untuk saling setia satu sama lain, tak peduli jarak dan waktu atau apapun itu yang berusaha memisahkan mereka, mereka tetap percaya satu sama lain dalam menjalankan tugasnya,” sungguh aku tak bisa menangkap kemana arah pembicaraanya kala itu.

“Tapi kasian juga ya kalo LDR kayak gitu,”

“Aku gak yakin bisa setabah Bulan,” Anin ber-monolog sedangkan aku masih berusaha menangkap maksud pembicarannya itu.



“Lo emang bukan bulan kali, lo itu bintang,”

“Maksud kamu?” Pandangan Anin berubah ke arahku.

“Lo itu bintang kehidupan gue,” Aku tersenyum, sambil mengelus lembut poninya.



Ada hening beberapa saat kala itu, cuitan-cuitan jangkrik mewarnai malam milik kami.

Sorry ya, udah lama kenal tapi baru sekali kita bisa kayak gini,” ujarnya.

Kita? Kayak gini?

“Gapapa, buat kebaikan karirmu juga, toh kalo karir dance kamu melejit kan aku juga yang bangga,” jawabku, setelah mengetahui latihan yang selama ini Anin katakan adalah latihan Dance. Syukurlah dia bukan member idol group sialan itu.

“Aku pengen jujur,”

“Kalo sebenernya aku itu mem—“ belum selesai Anin selesai kalimatnya, tiba-tiba...

“Jagung bakar jagung bakar jagung bakar, ayo mas mbak dibeli jagung bakarnya, dingin-dingin gini makan jagung enak loh!!” ujar seorang penjual jagung bakar di dekat kursi kami.

“Tadi mau ngomong apa?” tanyaku kepadanya,

“Memm...mau jagung, aku mau jagung maksudnya!” jawabnya sambil tersenyum.

“Ohh yaudah, sok atuh beli,” aku menghampiri orang jualan tadi dan membeli dua buah jagung bakar.

Aku pun menghampiri pria paruh baya yang berjualan jagung bakar tadi, tanpa disadari Anin mengikuti langkahku padahal sudah kusuruh dirinya untuk tetap duduk, emang lucu-lucu batu anaknya.

“Pak, ada jagung bakar?” tanyaku,

“Ada, jang, mau beli berapa? penjual jagung itu tersenyum ramah, keriput di wajahnya membuatku tak tega orang sepuh seperti dia harus berjuang menembus angin malam menjajakan jagung bakar untuk bertahan hidup di Jakarta, Jakarta memang keras, gak kerja ya gak makan. Btw dia memanggilku Ujang, sebutan anak laki-laki dalam bahasa Sunda.

“Beli dua deh pak,”

“Gak tiga aja, jang?”

“Kami ikut KB, pak,” jawabku, Anin tertawa, aku melirik barisan gigi putih terawat miliknya, kelopak matanya terkatup saat ia tertawa, sungguh pemandangan yang membuatku hatiku tentram seketika.

Setelah melebihkan uang tip untuk bapak tua penjual jagung bakar karena aku sungguh tak tega melihatnya, mengingatkanku akan almarhum kakekku yang berjualan baju di tanah abang dulu.

Aku kembali duduk bersama Anin, kulihat ia makan lebih lahap dari dugaanku, tak sesekali kami bertukar suapan jagung , sungguh lezat menyantap jagung manis di bawah naungan nirwana, ditemani seorang bidadari yang bersembunyi di tubuh remaja wanita berumur sembilan belas tahun ini. Kucubit gemas pipi gembulnya saat ia sedang mengunyah jagung bakar, ia hanya pasrah atas perlakuanku padanya sambil melihatku dengan tatapan ‘udah dong aku kapan makannya’.





“Kamu tu bercanda mulu sukanya,” katanya, lalu bersender di pundakku.

“Hehe biarin, awet muda kalo suka guyon itu,”

“Tadi dia sampe bingung gitu astaga hahaha,”

“Beliau, Nin. Bukan dia,”

“Iya-iya maaf,”

“Aku suka bercanda itu biar...” Aku memberikan jeda pada kalimatku, Anin menengok ke arahku namun kepalanya tetap betah di pundakku, mengakibatkan wajah kami sekarang berjarak tak lebih dari dua senti.

“Biar kamu ketawa, aku suka liat kamu ketawa. Beban hidupku, hutangku, tunggakan listrikku, sampai problematika kuis mekanika quantum-ku kemarin jadi hilang seketika,”

“Kamu... le....bay, wlek!” Anin menjulurkan lidahnya, kucubit hidung jambunya.

“Eh ohiya, tadi temenmu yang mau ikut gakjadi?” sungguh kulupa tentang satu temannya satu itu.

“Dia pulang sama pacarnya,” jawabnya singkat.



“Aku pengen punya pacar...” ujar Anin, aku yang sedang lahap makan jagung hampir tersedak.

“Ya...yaudah cari, kamu gak jelek-jelek amat kok,” candaku sambil tersenyum kepadanya.

“Bukannya gak mau, tapi gak bisa...”

Belum sempat Anin selesaikan kata-katanya, tiba-tiba ponselku berdering, aku meminta izin padanya untuk mengangkatnya karena ini dari ibuku yang nampaknya ada suatu hal yang penting.

Haloo, kamu dimana nak?”

“Di taman,”

“Ngapain malem-malem gini di taman, nyari capung?”

“Bukan, nemenin temen ini lagi makan jagung, ada apa sih mah tumbenan nelfon?”

“Ini teman lamamu, si Talia minta Linemu,”

“Natalia?”

“Nah iya itu, katanya dia kangen, kamu tu lho sombong banget padahal kamu dulu deket banget sama dia pas masih kecil,”

“Time flies, mom,”

“Yaudah ini mama kasih ya linemu ke dia, jangan lupa diacc,”

“Iya-iya bawel deh,”

Aku menutup telfonku, ku lihat Anin dan kusadari dirinya menyimak pembicaraanku ditelefon sedari tadi. Anin menaikkan alisnya menunggu penjelasanku.

“Cieee yang mau dijodohin, Cie ciee selamat ya kak!!” Anin bersorak gembira, ekspresi terpaksa terlihat jelas dari raut wajahnya.

“Apaan sih, orang mau ketemu temen lama doang,”

“Halah halah, ituu dibuka dulu hapenya siapatau suka kan sama fotonya,”



Aku tak mengiyakan sarannya, kusudahi saja malam kami itu saat kutengok jam tangan yang menunjukkan pukul sebelas malam. Kuantar Anin menuju kostnya yang berjarak tak jauh dari sini, ia terlelap selama perjalanan. Kutengok sesekali wajah terlelapnya selama perjalanan, mengagumi stiap inci dari dirinya, sungguh suatu keajaiban dunia yang tak tercatat dalam tulisan manapun. Kukeluarkan ponsel cerdasku dan iseng mengabadikan fotonya kala Anin menguap, lucu sekali ekspresinya haha.



Sesampainya di kostnya, aku bangunkan dia lalu kubopong hingga ke depan pintu kostnya. Kuucapkan selamat malam untuk dirinya lalu kupamit pulang karena aku tidak ingin mengganggu tidur lelapnya. Di perjalanan kubuka aplikasi Line-ku, ada notif ‘Anda mendapat permintaan pertemanan’. Pasti ini Natalia, kami berteman baik sedari kecil hingga empat tahun lalu ia berpindah ke Jakarta, meninggalkanku sendirian bersama sejuta kenangan yang ia ukir.

Dulu ia tergolong gadis yang bukan tipeku, ia termasuk gadis tomboi dan jarang mengurus diri. Berbeda jauh dari gadis-gadis yang kukenal, mungkin sekarang ia berambut pendek dan gaya tomboi-nya makin menjadi setelah kutinggal. Aku berdelusi tanpa bukti selama perjalanan, setelah sampai di rumah barulah kuterima permintaan pertemanannya dan kugaget bukan kepalang, ternyata perkiraanku tentangnya berbeda jauh dari kenyataannya sekarang.





Damn.
 
Terakhir diubah:
Disclaimer: All the events in this story are pure 100% fiction that come across my mind. Sorry kalo ada yang kesinggung atau semacamnya. Please do not bring anything in this thread to Real Life, jangan bawa ke permukaan kalo masih mau menikmati delusi dan imajinasi liar kalian.

Thanks buat momod yang udah ngasih thropy, dan thanks buat reader yang udah setia mantengin thread ini.

Spoiler: next chapter besok diupload besok atau lusa, ada enak-enaknya loh haha.

At last but not least, happy reading ^^
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd