Badanku cukup berkeringat setelah hampir satu jam mengikuti gerakan ketua murid paguron melakukan gerakan-gerakan silat. Ditambah paparan sinar matahari pagi yang cukup panas semakin meleleh saja keringatku. Ya, hari ini adalah hari jadi paguron kakek dan kami akan merayakannya dengan kerja bakti membersihkan jalan desa. Tapi sebelumnya seluruh murid paguron harus melakukan olah tubuh terlebih dahulu. Paguron kakek beraliran ‘Cikalong’ yang sangat menitik beratkan pada ketahanan tubuh serta kekuatan pukulan dan tendangan, maka tidak aneh jika olah tubuh kami cukup berat dan pasti mengeluarkan banyak keringat.
“Selesai ...!” Teriak kepala murid yang bernama Ahmad. Kami pun menjura sebagai salam penutup latihan. “Sekarang bergerak ke jalan desa ...!” Teriak Ahmad lagi.
Murid paguron yang tidak kurang dari dua puluh orang dengan berbagai lapisan usia segera bubar menuju jalan desa. Sementara aku menghampiri kakek yang sedang berdiri di teras gedung padepokannya. Sikap kakek kalau sedang di paguron tampak gagah dan berwibawa, sepasang matanya mencorong seperti mata harimau, tarikan mulutnya membayangkan kekerasan dan keteguhan hati. Pakaiannya berbentuk sederhana bermode pangsi. Sungguh seorang yang gagah perkasa dan mudah diketahui bahwa orang dengan sikap seperti ini sudah pasti memiliki ilmu silat yang sangat mumpuni.
“Kamu tidak pernah melatih silatmu ... Gerakanmu tak bertenaga dan lambat ...” Kakek langsung menyambar dengan kata-kata teguran tatkala aku berada di depannya.
“Ya kek ... Mana sempat ... Aku sibuk ngurus bengkel ...” Kilahku agak ngelemes karena malu.
“Bukan itu ...! Karena kamu malas ... Hanya setengah jam saja, masa tidak punya waktu ...!” Kakek malah menaikan tensi suaranya.
“Maaf kek ... Iya nanti disempetin latihan ...” Percuma melawan kalau kakek sudah begini, mendingan mengalah untuk menghindar.
“Bagus ... Sekarang ikuti mereka ke jalan desa ... Atur mereka biar kerjanya pada bener ...!” Kini kakek memerintah dan tanpa berlama-lama aku segera ke jalan desa.
Kakekku yang bernama Abah Minta memang seorang jawara tua yang terkenal dan sulit dicari tandingannya. Seorang yang sangat lembut di rumah namun garang di luar. Orang-orang di sekitar desa bahkan sampai desa-desa sekitar tak ada yang tidak mengenalnya. Pernah sekelompok warga yang akan membuat keributan ‘dibabat’ oleh kakek sendirian. Kakek juga sangat mengayomi seluruh anak cucunya, jika ada yang tersakiti sangat dijamin akan ‘dihakimi’ kakek dengan caranya sendiri.
Selang sebentar, kerja bakti mulai, setelah diantara murid paguron dan warga saling sapa serta saling ucapkan salam. Sasaran utama, bersihkan rumput liar di sepanjang pinggir jalan desa menuju makam. Kerja sama, sambil sesekali terdengar canda tawa riang ria diantara warga. Tua muda, membaur jadi satu. Semua guyub rukun, tidak ada tingkatan yang tersusun. Belum lama kami kerja, datang makanan kiriman dari warga. Makanan dan minuman sudah siap diserang, jadikan perut kenyang. Jadi, untuk sebagian orang, acara kerja bakti berubah menjadi acar kerja makan.
Sebenarnya tampak sekali kerja bakti ini hanya seremonial belaka. Orang-orang yang serius membersihkan jalan desa adalah murid-murid paguron kakekku. Mereka serius dan gesit membersihkan dan memperbaiki jalan desa hingga jam sepuluh siang kerja bakti pun selesai. Setelah mendapat instruksi bubar dari kepala murid, semuanya pun membubarkan diri pulang ke rumah masing-masing, termasuk aku.
Sesaat sampai di rumah, aku melihat sedan putih terparkir di pinggir jalan depan rumah kakek. Ternyata Dinda berada di ruang depan sedang ngobrol dengan nenek. Dinda menjerit dan menghindar ketika aku akan sentuh tangannya karena memang tanganku masih belepotan tanah. Aku tertawa melihat adikku yang bersikap seperti anak kotaan. Aku langsung ke pancuran untuk membersihkan badan. Tak lama, aku sudah kembali menjumpai adikku setelah berpakaian dan berdandan rapi.
“Kang ... Anter ke kota kabupaten ya ...” Kata Dinda sambil memandangku.
“Ngapain?” Tanyaku dan duduk di sebelah nenek.
“Aku pengen service mobil ... Temenin ya ...” Rajuknya setengah memelas.
“Iya ...” Jawabku singkat.
“Duh ... Nenek seneng banget liat kalian akur begini ...” Ucap nenek sambil tersenyum gembira. “Coba cucu-cucu nenek seperti kalian, pasti rame rumah nenek ...” Lanjutnya.
“Iya sih nek ... Harusnya cucu tertua yang punya inisiatif ngumpulin cucu-cucu nenek ... Bener gak nek?” Ucap Dinda dengan matanya melirik sekilas kepadaku. Aku tidak merespon karena tahu Dinda sedang menyindirku.
“Hi hi hi ... Mana mau dia begitu ...” Malah nenek yang menjawab sesuai dengan pikiranku.
Beberapa menit kemudian, aku dan Dinda berpamitan kepada nenek dan kami pun langsung berangkat ke kota kabupaten. Aku yang membawa mobil sedan putih adikku. Rasanya mempunyai mobil pendek di wilayah ini kurang cocok karena kerap terjadi benturan body bawah mobil dengan jalan desa yang berkerikil. Namun, setelah masuk jalan kabupaten, kendaraan ini mulai terasa enak dipakai.
Sepanjang perjalanan, Dinda terus bicara sementara aku menjadi pendengar setia. Selain cantik, adikku ternyata orangnya
humble, lincah, dan sedikit genit. Jika dilihat dari penampilannya, ia wanita yang cukup anggun, badannya tinggi semampai dengan warna kulit putih kekuning-kuningan, rambut panjang terurai dan mempunyai bola mata warna coklat serta hidungnya mancung. Dia pasti mewarisi kecantikannya dari ibunya.
“Kang ... Kenapa akang gak kuliah saja ...?” Tanya Dinda di sela mempermainkan smartphone-nya.
“Males ... Udah gak keotakan ... Mending cari duit ...” Jawabku pasti.
“Penting loh kang ... Lagi pula, keren kan kalau nama kita punya titel ...” Katanya lagi kini menoleh ke arahku.
“Keren gimana? Orang kan gak tau kita punya titel atau nggak ...!” Aku tersenyum mendengar pernyataan Dinda yang tidak masuk akal bagiku.
“Ih, si akang mah ... Gak bisa dibilangin ...!” Dinda sewot sambil cemberut.
“He he he ... Kamu aja yang kuliah ... Akang mah cukup segini aja ... Lagian malu, udah tua ...” Kataku mengungkapkan alasan kenapa aku enggan melanjutkan pendidikan.
“Nah ini ... Karena gak gaul ... Ada kelas untuk karyawan kok kang ... Nanti akan kuliah dengan orang-orang yang sudah bekerja, bahkan sama kakek-kakek ...” Jelas Dinda membuatku agak tertarik.
“Masa? Emang ada kuliah khusus untuk karyawan atau orang tua?” Tanyaku penasaran dan ingin tahu.
“Ada kang ... Kalau mau, nanti kuliah tempatku ya ...?!” Nada Dinda agak berharap.
“Ya ... Nanti akang pikir-pikir dulu ...” Kataku dan memang aku baru ingat kalau Dinda kuliah di ibukota di mana aku tinggal sekarang.
Sampai akhirnya aku dan Dinda sampai di sebuah mall besar, salah satu mall terkenal di kota kabupaten ini. Mobil terparkir di lahan parkir di depan mall. Kami pun jalan memasuki mall tersebut. Suasana mall tidak begitu ramai mungkin karena bukan hari libur, kebanyakan hanya remaja yang sekedar cuci mata dan makan di restoran. Tiba-tiba, tanganku ditarik Dinda masuk ke dalam sebuah salon.
“Waduh ... Kok ke sini?” Tanyaku kaget. Bisa lama menunggu kalau cewek sudah masuk ke salon.
“Hai tante ... Apakabar ...?” Dinda menyapa seorang wanita paruh baya yang sedikit menor.
“Hai ... Anak tante ... Kemana aja ... Tante baik ... Bagaimana kabarmu nak ...?” Jawab wanita itu dengan wajah sumringah dan jalan dengan gaya yang kemayu.
“Baik tante ... Ini tante ... Tolong permak kakakku ... Biar keliatan macho ...” Kata Dinda yang sukses membuatku terkejut.
“Dinda ...!” Aku ingin protes tapi tangan si wanita paruh baya langsung menyambar lenganku. Aku tak berkutik, mengikuti saja tarikan tangannya.
“Em ... Kakak ketemu gede kan ...?” Genit si wanita sembari mendudukan aku secara paksa di kursi rias.
“Bukan tante ... Ini bener-bener kakakku ... Kakak seayah beda ibu ...” Jawab Dinda sambil tersenyum padaku lewat kaca rias besar di depanku. Aku sebenarnya ingin protes keras, tapi malu dengan orang-orang yang ada di salon ini.
“Oh ... Ini toh kakakmu yang sering kamu omongin ... Em, ganteng juga ...” Kata wanita paruh baya itu sambil menoel daguku genit. Aku pun cukup melambung dipuji demikian. Seumur-umur baru wanita ini yang mengatakan kalau aku ganteng. Lumayan lah.
Setelah mendengar ucapan wanita salon ini, aku melirik adikku yang ternyata ia memang sering membicarakanku kepada siapa saja. Terbukti dari omongan si wanita salon tadi yang menyatakan kalau Dinda sering membicarakan diriku dengan wanita tersebut. Sekarang aku semakin percaya kalau Dinda memang menghendaki bertemu denganku sudah sejak lama. Apapun motivasinya aku sangat menghargai keinginan adikku itu.
Di salon ini, aku pasrah akan diapakan oleh Dinda. Rambut dan mukaku rasanya sudah ‘diobrak-abrik’ adikku ini sesuai dengan seleranya. Dan yang jelas, aku sangat ingin segera selesai. Akhirnya, keinginanku terkabul juga, ‘permak kepalaku’ selesai. Setelah Dinda membayar ongkos permak, kami pun keluar salon. Aku hanya menghela nafas panjang, ketika Dinda mengajakku nonton bioskop. Aku tak bisa berbuat banyak, aku hanya menuruti keinginannya saja.
Film yang aku tonton adalah drama percintaan. Sungguh aku merasa bosan, tidak ada yang menarik. Tidak hanya bosan, aku bahkan mengantuk. Aku menoleh ke wajah Dinda dan aku geleng-geleng kepala saat melihat mimik muka Dinda yang sendu dan ada sedikit air mata yang mengalir di pipinya. Rupanya adikku ini sangat menghayati film yang sedang ditontonnya. Bahkan saat aku senggol tangannya, Dinda sama sekali tidak bereaksi, ia tetap konsentrasi pada layar bioskop.
Satu jam setengah terlewati, aku bernafas lega karena film bioskop selesai juga. Aku dan Dinda keluar dari bioskop dengan lengan Dinda yang melingkar di lenganku, mungkin ia masih terobsesi dengan film yang baru saja ia nikmati. Kami pun menuju lantai teratas mall di mana
food court berada. Kami memutuskan untuk mengisi perut di sana. Setelah sampai, kami makan sambil ngobrol ringan. Berkali-kali aku memergoki laki-laki yang mencuri pandang pada Dinda. Memang aku akui, kecantikan Dinda membuat mata setiap lelaki tidak berkedip jika melihatnya.
“Kang ... Mau kemana lagi kita sekarang?” Tanya Dinda yang membuatku sangat heran.
“Loh ... Bukannya mau service mobil?” Tanyaku sambil melotot padanya.
“Nanti aja ah servicenya ... Males nunggu di bengkel ... Mending kita main ... Kemana yuk?!” Katanya tanpa beban, membuat aku geleng-geleng kepala.
“Tau mau gini mah ... Akang tadi di rumah aja ...” Kesalku tak mampu lagi ditahan.
“Ih, akang mah ... Gitu deh ...” Dinda langsung memasang muka cemberut, sehingga aku bingung harus bagaimana menghadapinya. Jujur, aku tidak memiliki pengalaman menghadapi adik seperti ini.
“Ya udah ... Terserah kamu ... Sekarang mau kemana?” Akhirnya aku menyerah.
“Nah ... Gitu dong ...” Wajahnya tiba-tiba sumringah. “Gimana kalau kita ke ...” Ucapan Dinda terputus gara-gara smartphone-nya berdering. Ia ambil smartphone dari saku celananya. Setelah melihat layar sebentar, ia menempelkan alat komunikasi itu di telinganya.
“Ya mah ... Ada apa?” Ucap Dinda dan ternyata ibunya yang menelepon.
“.......” Tiba-tiba raut muka Dinda berubah drastis. Mukanya langsung mendung berat.
“Iya ... Iya ... Aku pulang sekarang ...” Kata Dinda tampak panik.
“Kang ... Kita harus ke rumah sakit sekarang juga ...!” Ucap Dinda agak memekik dan gelisah.
“Ke rumah sakit? Kenapa?” Tanyaku limayan terkejut juga.
“Papah ada yang ngebacok ... Papah terluka parah ...” Kata Dinda bergetar seperti sedang menahan tangis.
“Papah ...” Gumamku dan langsung terbayang Pak Tatang, ayah tiri Dinda. “Pak Tatang?” Tanyaku lagi sambil berjalan di belakang Dinda yang telah duluan meninggalkanku.
“Iya ... Buruan ...!” Katanya sambil setengah berlari.
Kami berlari larian kecil untuk sampai area parkir. Setelah masuk mobil, kami langsung meninggalkan mall. Aku yang di balik kemudi hanya fokus menatap jalan ke depan, karena memang tak ada obrolan antara aku dan Dinda. Kami diam dengan pikiran masing-masing. Tidak setengah jam, akhirnya kami sampai di rumah sakit. Dinda langsung saja keluar mobil dan berlari memasuki rumah sakit. Aku yang harus mengunci pintu mobil agak tertinggal tapi sekilas aku melihat Dinda masih di meja informasi. Aku pun berlari cepat untuk mengejar Dinda yang telah selesai dengan pegawai informasi. Untung Dinda masih dalam jarak pandang sehingga aku masih bisa mengikutinya walau jaraknya agak jauh.
Ternyata ruang operasi yang aku tuju. Aku menghentikan lariku lalu berjalan saat aku melihat orang-orang yang aku kenal berkumpul di depan sebuah ruangan. Langkahku pun terhenti di depan ruang operasi nampak beberapa orang sedang menangis. Semua sanak saudara Tatang berkumpul, tak terkecuali Dewi. Semuanya menangis bahkan saudara laki-laki Tatang pun menangis. Hanya aku yang tidak menangis.
Tak lama berselang, Dewi sudah berada di sampingku. Tiba-tiba saja tangannya menggenggam tanganku sangat kuat dan terasa sekali bergetar. Aku terkejut karena genggamannya semakin erat. Aku lihat wajahnya dan tampak rona merah di sana. Bulir-bulir keringat mulai membasahi keningnya. Terdengar suara nafasnya yang berat seperti menahan sesuatu.
“Denta ... Akuuu ... Ingiinn ...” Bisiknya terdengar sangat parau.
Untuk kedua kalinya aku terperanjat. Aku lupa kalau Dewi sedang terpengaruh sugestiku yang kutanam beberapa hari yang lalu. Segera saja, aku geser cincin ajaibku hingga berada di telapak tangan dan jempolku menekan mata cincin agak kuat.
“Semua sugestiku padamu ... Hilang sekarang juga ...” Kuucapkan kata-kata penyembuhan dari hipnotisku dengan berbisik di telinganya.
Seperti yang sadar dari bangun tidur, Dewi menepiskan tangannya dari tanganku. Wanita itu menatapku sejenak lalu berjalan ke depan pintu operasi. Dewi berbaur dengan yang lain namun sesekali ia menatapku. Aku pun pura-pura tidak tahu dan tidak memperdulikannya. Dalam situasi dan kondisi seperti ini, aku harus bisa menjaga sikap.
Kulihat pintu operasi terbuka, beberapa dokter keluar. Teriak tangis langsung menggema ketika dokter menyatakan kalau nyawa Tatang tidak bisa diselamatkan karena lukanya terlalu parah dan kehabisan darah. Dinda menangis di dadaku. Walau berstatus anak tiri, ia tampak terpukul. Kupeluk dan kuusap kepala Dinda berusaha memberikan kekuatan batin untuknya.
Akhirnya kubawa Dinda keluar dari rumah sakit. Aku putuskan membawa Dinda pulang ke rumahnya. Aku berpikir ada anggota keluarga yang mengurusi jenazah Tatang hingga datang di rumah duka. Mobil sedan putih ini kupacu dengan kecepatan tinggi namun saat sampai di jalan desa aku harus melajukan pelan. Dan akhirnya, aku pun sampai di rumah Dinda yang sudah ramai oleh para tetangga. Aku bawa Dinda ke dalam rumah karena adikku ini tak berhenti menangis. Karena adikku tak mau aku tinggal, terpaksa aku harus terus bersamanya. Aku baru bisa bernafas lega, saat kakek dan nenek datang. Kini posisiku diganti nenek dan aku bisa membantu warga mempersiapkan kedatangan jenazah.
“Kakek mencium yang tidak beres dari kematian Tatang.” Bisik Kakek padaku saat kami duduk berdua di halaman belakang rumah besar ini.
“Tidak beres gimana, kek?” Tanyaku penasaran.
“Orang yang menganiaya Tatang ... Sepengetahuan kakek ... Mereka itu tidak punya masalah dengan keluarga ini ... Tapi menurut pengakuannya, dia membacok Tatang karena sakit hati ditagih-tagih terus sama Tatang ... Kakek sudah bicara dengan keluarga yang ngebacok ... Mereka tidak pernah mempunyai hutang pada Tatang ... Lagi pula, kenapa pengawalnya sampai bisa membiarkan Tatang dibacok ... Sangat aneh ...” Jelas Kakek panjang lebar.
“Hhhhmm ... Kalau menurut kakek ... Sebenarnya apa yang sedang terjadi?” Tanyaku lagi.
“Kakek belum yakin ...” Jawab kakek sambil berdiri karena terdengar seseorang berteriak kalau jenazah datang.
Aku dan kakek segera ke depan rumah menyambut kedatangan jenazah. Suasana haru biru menguasai rumah ini. Ketika mobil jenazah berhenti tepat di depan rumah duka, suara tangis yang memilukan hati mulai bersahut-sahutan. Tak terasa mataku mulai berkaca-kaca. Apalagi ketika mendengar Dinda dan Hesti berteriak histeris memanggil ayahnya. Belum lagi suara tangis bersahut-sahutan oleh semua keluarga besarnya. Ya, sungguh memilukan dan aku hanya bisa terdiam.
Suasana penuh duka yang tak lagi sanggup digambarkan terlihat memayungi kediaman keluarga Dewi. Terlebih setelah Tatang dikebumikan, seluruh anggota keluarga terlihat lemas dan linglung, tak ada tawa bermekar di bibir mereka, hanya ada kesedihan yang berlarut-larut. Bahkan Hesti terus menangis seperti tidak rela. Kematian ayahnya seolah-oleh menjemput terlalu awal menurut jalan pikirannya. Sementara Dinda terlihat terus melamun seperti sedang meratapi kepergian ayah tirinya.
“Sudahlah ... Tidak baik diingetin terus ... Terima saja dengan ikhlas ...” Kataku pada Dinda yang sedang menyenderkan tubuhnya padaku di ruang tengah.
“Aku merasa kehilangan kang ... Walau aku hanya anak tiri, tapi kasih sayang papah sangat terasa ... Bahkan aku rasa kasih sayangnya padaku melebihi pada anak kandungnya sendiri ...” Keluh Dinda.
“Kamu yang kuat saja ... Hari sudah malam ... Sebaiknya kamu tidur, tenangkan pikiran ...” Kataku.
Tak lama, Dinda pun masuk ke dalam kamarnya dan aku memutuskan untuk pulang. Dengan diantar saudara, aku pun meluncur pulang ke rumah kakek. Sesampainya di rumah, kurebahkan tubuh di atas kasur. Sejenak merenung. Entah butuh waktu berapa lama sampai akhirnya mataku benar-benar terkatup rapat. Aku terlelap masuk ke dalam alam mimpi teramat dalam.
Bersambung
Sambungannya ada di sini ...