Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Status
Please reply by conversation.
Ceritanya mantap san berkelas.....semoga sampai dapat titel tamat.....tetep semangat suhu

Ijin baca suhu @ichtyophile :ampun: semoga ada lanjutannya..tetep semangat berkarya suhu...:semangat:
Tetep saya lanjutkan koq, hu sekalian. Ini juga saya nyicil ngetik sambil riset untuk alurnya. Cuma memang kadang terhalang mood yang buruk dan serangan kantuk. Terima kasih support dan doanya, hu.:ampun:
 
MAKLOEMAT

Toean2, Njonja2, Nona2, Meneer2, Mevrouw2 dan Juffrouw2 sekalian.

Silahken menoenggoe sebentar. Dalem waktoe jang tidak lama lagi, akan ada update terbaroe.

Terima Kasih.​
Setia menanti om.. @ichtyophile tetep semangat dan tetep sehat sehat aja..
Semoga bisa updet kedepannya... :semangat:
 

UPDATE!


Zuster Eisinga


Dari Gelap Menuju Cahaya


Selama dua hari pasca pengebumian ibunya, hari-hari Adriaan masih juga kelabu, kegelapan menggantung di langit yang menaungi anak muda itu. Namun kali ini kegelapan bukan hanya “kegelapan”, ia bukan hanya kiasan, tapi juga harfiah. Ya, bukan hanya Adriaan yang merasakan kegelapan. Seluruh langit Rotterdam menggelap tampak muram, bukan hanya Rotterdam, seluruh Nederland, seluruh Eropa, bahkan seluruh permukaan bumi terselubung temaram.

Kesuraman yang meliputi muka bumi saat itu bukanlah kebetulan. Satu kegemparan luar biasa yang menjadi biang keladinya terjadi beberapa bulan sebelumnya, ribuan kilometer jauhnya dari Rotterdam, di tengah-tengah lautan di Hindia, negeri elok sahaya Nederland. Dua puluh enam Agustus tahun seribu delapan ratus delapan puluh tiga sebuah pulau vulkanik di selat Sunda yang memisahkan Sumatra dan Jawa, Krakatau, meletus. Mungkin meletus bukan kata yang tepat untuk menggambarkannya. Meletus terlalu halus, hanya cocok untuk balon permainan kanak-kanak yang robek karena kelebihan muatan. Meledak, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan peristiwa itu. Pulau bergunung api itu meledak. Ledakannya silih berganti berdentum-dentum hingga dua hari kemudian. Punggungnya yang berhutan hijau lebat berguncang hebat, memecah kuat, serpihan-serpihannya terlontar ke segala penjuru mata angin. Gelegarnya memekakkan telinga hingga ribuan kilometer jauhnya. Mulutnya memuntahkan batuan pijar merah membara, melontarkan isi perut bumi tinggi ke udara membentuk jejak cendawan awan panas lagi menyesakkan. Awan panasnya tertiup bayu ke Utara membakar hangus dan menghabisi napas ribuan korban sepanjang lintasan mautnya hingga ke Lampung di ujung Selatan Sumatra. Pulau itu runtuh ke dasar laut, mengguncangkan air bagai batu berat jatuh ke dalam pasu, meluapkan air ke tepian, melepas ombak-ombak gergasi setinggi pokok nyiur bergulung-gulung menggilas pantai-pantai Selatan Sumatra dan Barat Jawa. Memorakporandakan permukiman sepanjang capaiannya, menghanyutkan kapal-kapal sebesar istana hingga jauh masuk ke daratan. Manusia, hewan, tetumbuhan dan bangunan hampir semuanya rusak binasa, menyisakan jejak kematian dan kehancuran. Jerit tangis kengerian berakhir dalam kesenyapan. Dalam catatan resmi kolonial Hindia Belanda, hampir empat puluh ribu orang meregang nyawa. Mereka yang selamat membawa luka-luka raga dan lebih lagi, luka-luka jiwa yang mengerak di benak. Lontaran ledakan Krakatau membawa abu halus melayang di angkasa yang menapis sinar mentari, menyisakan cahaya redup yang menggapai muka bumi dengan susah payah. Berkurangnya kehangatan sang surya itu menggelapkan dan mendinginkan muka bumi, mengantarkan kesuraman hingga lima tahun ke depan. Namun bagi Adriaan kesuraman itu jauh lebih mencekam, rasa kehilangan dan ketakutan menghadapi hari depan menyatu membentuk selubung gelap ketidakpastian.

Pagi itu, dua hari setelah pemakaman Magda, hawa terasa lebih sejuk daripada seharusnya. Saat itu Eropa seharusnya sedang menikmati musim panas. Namun, limpahan cahaya dan panas yang terampas sebagian oleh abu halus di atmosfer, menjadikan musim panas kehilangan kehangatannya. Sudah pukul sembilan pagi, mentari sudah bergulir lebih dari setengah perjalanannya ke titik puncak pendakian hari itu. Tetapi, redupnya langit dan sejuknya udara menyerupai saat mentari baru bangkit dari peraduannya.

“Kling…kling…kling!"

Lonceng pintu panti asuhan berdenting.

“Kling…kling…kling!"

Masih berdenting, tak mungkin karena angin, pasti ada orang yang menarik tali pengayunnya.

“Kling…kling…kling…kling!"

Masih juga berdenting. Apakah pengantar susu? Ataukah pengantar koran? Tapi, peti berisi botol susu sudah dibawa masuk ke dalam, bahkan botol-botolnya pun telah kosong dari susu yang sudah habis diminum. Koran hari itu pun sudah terlipat rapi di dalam raknya di ruang tamu.

“Kling…kling…kling…kling…kling!”

Denting lonceng semakin nyaring. Pintu tak kunjung diketuk, mungkin sang tamu terlalu sopan atau ia tak hendak menyiksa buku-buku jari tangannya.

“Antje, wil je alsjeblieft kijken wie er komt!" (Antje, tolong kau tengok siapa yang datang!)” sahut satu suara jernih nan berwibawa dalam bahasa Belanda dengan lembut yang mengalir dari sepasang bibir merah tipis yang selalu basah.

Bocah perempuan berpipi gembil yang dipanggil Antje itu segera berlari ke arah pintu depan. Disibaknya vitrase jendela, tampak seorang lelaki di depan pintu menengok dan tersenyum ke arahnya.

“Moeder Overste, er is een oude man met een zware snor die naar me glimlacht voor de deur. (Ibu kepala, ada bapak-bapak berkumis tebal senyum-senyum ke aku di depan pintu.)” Antje setengah berteriak nyaring.

“Hé, niet gillen. Wacht, laat mij hem zelf zien. (Hey, tak usah berteriak, tunggu, biar dia kutemui sendiri.)” sahut sang pemilik suara jernih nan berwibawa itu.

Sang pemilik suara itu segera menghentikan aktivitas di ruang kerjanya lalu bergegas menghampiri pintu depan. Seorang wanita tinggi sintal dalam balutan pakaian longgar bertudung khas biarawati berjalan cepat dengan langkah-langkah lebar, wajahnya ayu putih halus berpipi kemerahan, hidungnya mancung lancip berhulu pada apitan dua mata beriris hijau gelap yang teduh namun menyala-nyala oleh semangat, yang tepiannya hanya sedikit menunjukkan gurat-gurat penuaan. Postur tubuhnya tegap dan berwibawa. Ialah sang pemilik suara lawan bicara Antje, yang tak lain adalah Zuster Eisinga, sang kepala panti asuhan.

“Kriet…”

Dibukalah pintu itu dengan perlahan oleh sang nyonya rumah. Tampak seorang lelaki setengah baya tinggi agak kurus, memakai topi tinggi dari wol berwarna hitam, wajahnya lonjong dengan tulang pipi yang sedikit menonjol kedua mata jenaka beriris kelabunya mengapit hidung mancung bertulang tinggi, sebuah kumis baplang melintang di atas bibir keunguan jejak hisapan asap tembakau yang tak henti menyungging senyum mempertontonkan gigi-gigi yang berderet kuning oleh noda nikotin. Tubuhnya dibalut setelan jas dan celana panjang wol hitam dengan kemeja dan rompi dalam putih berdasi kupu-kupu yang juga hitam. Tangan kirinya menenteng tas kantor kulit warna coklat tua dan kakinya mengenakan sepatu kulit warna hitam mengilap oleh semir. Sebuah bendi bersais menungguinya di tepi jalan yang ramai oleh kereta, kuda dan orang yang lalu lalang.

“Goedemorgen, zuster! (Selamat pagi, zuster!)” terdengar suaranya rendah memberi salam sambil mengangkat topi tingginya, otomatis tampak kepala botak licinnya yang dikelilingi lingkaran rambut tipis pirang berselang-seling perak menjuntai liar.

Kepalanya sedikit menunduk memberi hormat pada lawan bicaranya. Zuster Eisinga memandangnya dengan sedikit curiga. Ia tak pernah bertemu lelaki ini. Entah apa niatnya bertandang ke panti asuhannya. Sempat tebersit dalam benaknya, jangan-jangan si tamu berniat buruk. Ia memikirkan situasi panti asuhan tanpa lelaki yang dapat diandalkan menghadapi mereka yang berniat jahat. Dipelototinya si tamu itu dari pucuk kepala licinnya hingga ujung sepatu mengilapnya. Bila ia hendak merampok, tak tampak rupa kriminal penjahat jalanan yang biasa membegal. Lagi pula apa yang hendak ia rampas dari panti asuhan yang tak menyimpan barang berharga itu. Jika ia pemerkosa, tak pernah ada dalam sejarah seorang pemerkosa menyasar korbannya di saat terang di tengah keramaian macam ini. Dilirik olehnya ke ujung jalan, tampak seorang agen polisi yang juga berkumis baplang dalam seragam warna hitam bertopi helmet logam sedang berbincang dengan seseorang. Sedikit lega hati Zuster Eisinga, memastikan paling tidak ada bala bantuan dalam jangkauan jikalau si tamu ternyata seorang bandit.

“Goedemorgen, mijnheer, is er iets dat ik zou kunnen helpen? (Selamat pagi, Tuan, ada yang bisa saya bantu?)” sahut Zuster Eisinga sambil balas tersenyum yang kentara dipaksakan.

“Ik ben Hendrik de Jong. (Saya Hendrik de Jong.) Panggil saja saya Henk. Saya seorang notaris. Saya mencari Ibu Kepala Zuster Eisinga.” lanjut si pria botak menjelaskan.

“Ik ben de persoon naar wie je op zoek bent. (Sayalah orang yang Anda cari.)” Zuster Eisinga memberi tahu.

“Ach, beste eerwaarde Moeder-overste. (Ah, yang terhormat Ibu Kepala.) Saya ada pesan dari seseorang yang sangat anda kenal. Jika Anda izinkan, boleh saya masuk dulu?” pinta si botak dengan sopan.

Zuster Eisinga tertegun sesaat. Penampilan si tamu memang bersih dan terhormat, namun bisa saja ternyata ia seorang penipu. Seorang penipu biasanya tampak meyakinkan, bibirnya manis tapi lidahnya berbisa penuh tipu daya. Zuster Eisinga segera menepis kekhawatirannya sendiri. Ia bukan anak kemarin sore, ia bisa mentahkan tipu daya itu nanti, lagi pula ia bisa memastikan kebenaran pengakuan si tamu ke lembaga yang berwenang.

“Natuurlijk, alsjeblieft kom binnen. (Tentu saja, silakan masuk.)” akhirnya ia mempersilakan tamunya masuk.

Diajaknya si tamu langsung menuju ruang kerjanya yang tak jauh dari ruang tamu. Kamar kerja itu sederhana saja, diperantarai oleh sebuah pintu kayu ke koridor penghubung ruang tamu di depan dengan dapur di sisi belakang. Dua daun jendela kayu ruangan itu terbuka lebar menampakkan hijau daun-daun tetumbuhan yang merambati tembok pembatas di tentangnya. Ada satu meja tulis kayu berukuran besar di tengahnya, dikelilingi oleh tiga kursi kayu. Sebuah kursi kayu di dekat jendela bersandaran tinggi dan beralas tangan bergaya abad pertengahan dengan bantal kecil yang terpisah. Dua kursi lainnya serupa satu sama lain bersandaran rendah beralas tangan dengan jok empuk yang tipis. Di atas meja ada tumpukan kertas dokumen-dokumen dan sebuah botol tinta beserta pena celup di tentangnya. Sebuah pigura kayu berpenopang berdiri di atas meja menghadap ke arah jendela. Di langit-langit tergantung lampu minyak tanah dari kuningan. Sebuah penghangat ruangan berbahan bakar batu bara tertanam di dinding di sudut kanan ruangan berdekatan dengan jendela. Sebuah lemari buku dengan banyak kotak penyimpanan di bagian bawahnya menempel di dinding kiri. Di dinding kanan melekat sebuah salib perunggu berukuran sedang dengan figur Kristus terpaku padanya, diapit potret Sri Paus Leo ketiga belas dan Sri Raja Belanda, Willem ketiga. Di bagian bawah dinding tersebut menempel sebuah rak empat tingkat yang puncaknya ditutupi taplak kain bersulam, di atasnya ada sebuah jam mekanis yang terus berdetak, dan sebuah vas porselen Delft yang terisi beberapa tangkai bunga potong, bakung putih dan tulip merah yang tampak segar mengisyaratkan adanya air dalam vas tersebut. Di dalam tiga tingkat terbawah rak tersebut berderet-deret kotak kayu yang berisi kertas-kertas dokumen baik yang telanjang maupun yang bersampul kulit.

“Ga zitten alsjeblieft. (Silakan duduk.) Anda mau minum apa? Teh? Kopi?” tawar Zuster Eisinga.

Segera ia duduk di kursi dekat jendela, sedangkan tamunya mengambil tempat duduk di kursi yang kiri pada sisi yang berdekatan dengan pintu.

“Koffie zonder suiker, alstublieft, als je het niet erg. (Kopi tanpa gula, jika Anda tak keberatan.)” jawab si tamu yang bernama Henk itu.

“Antje, vertel Zuster van Weert om een kop koffie zonder suiker te maken, en breng het naar mijn studeerkamer, alsjeblieft! (Antje, tolong minta Zuster van Weert buatkan secangkir kopi tanpa gula, lalu bawa ke kamar kerjaku.)” perintah Zuster Eisinga.

Mata Henk mengedari isi ruangan, pandangnya tertumbuk pada dua potret di dinding. Kedua potret tersebut bukan lukisan melainkan hasil fotografi.

“Sepertinya tempat ini bukan panti asuhan sembarangan.” batinnya.

Memang, pada paruh kedua abad kesembilan belas ini, memiliki potret orang lain tak semudah saat abad kedua puluh. Masa itu potret harus dicetak pada kertas albumin memakai negatif asli, yang artinya mencetak harus seizin empunya potret, atau si empunya sendiri yang memberikan potret tersebut. Hampir dapat dipastikan kedua orang besar itu sendiri yang menghadiahkan potret mereka pada panti asuhan ini.

“Alstublieft, Meneer. (Mari, Tuan.) Silakan utarakan maksud Anda mencari saya.” lanjut Zuster Eisinga.

“Moeder-overste, ik heb de wil van Magda met mij. (Ibu Kepala, surat wasiat Magda ada pada saya.) Ia meminta saya untuk menemui Anda sebagai wali putranya.” ujar Henk.

“Magda? Hoe ken je Magda eerder? (Magda? Bagaimana Anda bisa kenal Magda?)” tanya Zuster Eisinga sambil menatap tajam lawan bicaranya.

“Hmmm, Moeder Overste, excuseer mij, wist u wat Magda deed om te leven? (Hmmm, Ibu Kepala, mohon maaf, apakah Anda tahu mata pencaharian Magda?)” tanya Henk setengah berbisik.

“Ja, dat wist ik. (Ya, saya tahu itu.)” sahut Zuster Eisinga cepat.

Air mukanya menandakan penasaran. Kedua sikunya ditelekan pada alas tangan kursinya. Jari-jari kedua tangannya saling menjalin satu sama lain dengan kedua telunjuk kiri dan kanan yang menunjuk ke atas ditemupisahkan berulang-ulang.

“Hmmm, Oké, ik schaam me een beetje om je dit te vertellen. (Hmmm, baiklah, saya sedikit malu menceritakan ini pada Anda.)” Henk melanjutkan.

Pandangnya ke arah Zuster Eisinga beralih ke arah bawah, ke lantai tegel yang mulai kusam. Tajamnya tatapan lawan bicaranya menggugupkan Henk. Ingin merokok ia untuk mengusir gugupnya. Dirabainya saku-saku dalam jasnya, mencari-cari pipa cangklong kesayangannya. Tak jua ditemukan apa yang dicarinya. Henk masih terdiam, keningnya mulai berkeringat. Keberaniannya tak bangkit jua, ia membisu, malu menguasai benaknya.

“ Tok…tok…tok!”

Terdengar ketukan cukup keras di pintu ruangan. Henk sedikit lega, ia terselamatkan untuk sementara. Ketukan itu memecah tatapan tajam lawan bicaranya, sedikit mengendurkan kegugupannya.

“Wie is daar? (Siapa di situ?)” sahut Zuster Eisinga dengan lantang.

“Helga is hier. (Helga di sini.)” sahut suara cempreng seorang wanita dari balik pintu.

“Ah, zuster van Weert, alsjeblieft, kom binnen! (Ah, Zuster van Weert, silakan masuk!)” Zuster Eisinga mempersilakan.

“Kriet…”

Pintu ruangan terbuka, dari baliknya masuk seorang wanita muda berbadan subur bertinggi tubuh sedang berpakaian khas biarawati dengan celemek tersampir menutupi dada hingga lututnya, mendorong masuk nampan beroda bertingkat dua di atas tingkat keduanya terdapat talam kayu berukuran sedang dengan dua cangkir sedang beralas piring kecil berisi minuman berbeda, kopi dan teh hitam, uap lamat-lamat masih mengepul dari permukaannya, sebuah sendok kecil masing-masing diletakkan di atas piring kecil menyamping terhadap tiap cangkir. Di atas talam itu juga ada dua toples kaca berukuran berbeda, yang lebih kecil berisi keping-keping gula batu, sedangkan yang lebih besar berisi kue-kue kering bundar pipih kecoklatan. Oleh biarawati yang dipanggil Helga itu diletakkanlah talam kayu itu di atas meja, cangkir berisi kopi diletakkan berdekatan dengan posisi Henk, sedangkan yang berisi teh diletakkannya berdekatan dengan posisi Zuster Eisinga.

“Helga, hoe aardig van je, ik vroeg alleen om koffie voor mijn gast, maar je brengt ons zoveel. (Helga, betapa baiknya kamu, aku hanya minta kopi untuk tamuku, malah kau bawa sebanyak ini.)” puji Zuster Eisinga sambil tersenyum lebar.

Yang dipuji hanya terkekeh sambil menggosok-gosok hidung.

“Ach! Ik was het vergeten, Meneer de Jong. (Eh, aku sampai lupa. Tuan de Jong.) Perkenalkan, ini Zuster van Weert, chef mumpuni kami. Helga, perkenalkan ini Tuan de Jong, seorang notaris, ia datang ada keperluan mengenai Magda.” Zuster Eisinga memperkenalkan keduanya.

Setelah saling memperkenalkan diri dan berbasa-basi sebentar, Zuster van Weert pamit kembali ke dapur.

“Probeer alstublieft de koekjes, Meneer. (Silakan mencoba kuenya, Tuan.) Itu buatan Zuster yang tadi.” Zuster Eisinga menyilakan, sambil menuangkan dua keping gula batu ke dalam cangkir tehnya.

Setelah sedikit menyesap kopinya, Henk mengambil sekeping kue dari dalam toples dan mulai memakannya. Kue itu dirasakannya sangat renyah, seakan meleleh tersentuh saliva dalam kulumannya, rasa manisnya pas dan aroma rempahnya kaya tercecap menghangatkan. Dalam hatinya, Henk mengakui kepiawaian Zuster van Weert sang juru masak, kue buatannya seenak keluaran pâttiserie kelas atas.

“Hmm, smaakt als speculaas. (Hmm, rasanya seperti speculaas.) Tapi sekarang belum juga masuk Desember, Ibu Kepala.” ujar Henk heran.

“Ja, het zijn inderdaad speculaas, Meneer. (Ya, memang itu speculaas, Tuan.) Kan kita tak harus menunggu Sinterklaas datang untuk menikmati kue yang enak. Kebetulan saja anak-anak pada suka.” jawab Zuster Eisinga sambil tersenyum.

“Ayo, Tuan. Silakan lanjutkan cerita Anda, tak usah malu-malu. Tak ada orang lain yang ikut mendengarkan di sini.” pinta Zuster Eisinga dalam bahasa Belanda. Ia mulai menyesap-nyesap tehnya.

Henk menyesap kopinya sedikit, sekadar menghilangkan kesat remah-remah kue di pangkal tenggoroknya.

“Huuupp, ahhh…” ia menghela napas panjang dan menghembuskannya.

Coba dikumpulkan keberaniannya, setidaknya sesapan kopi dan rerempah hangat sedikit menyalakan kekuatannya.

"Oké, eigenlijk was ik een van haar klanten.
(Baiklah, sebenarnya, dulu saya adalah salah seorang pelanggannya.)… Magda begitu cantik, baik, ramah…hingga saya pun menyimpan rasa kepadanya…hmmmppphhh…” hela Henk sambil memejamkan matanya.

Terbayang olehnya sosok Magda di masa lalu yang muda remaja bagai dewi cantik jelita.

“En toen werd je ook verliefd op haar? (Dan lalu Anda pun jatuh cinta kepadanya?)… Sejauh apa perasaan Anda padanya?... Sudah pernah Anda melamarnya?” sela Zuster Eisinga sambil meletakkan tangan kanannya di depan mulutnya menutupi senyuman gelinya.

Jangankan Henk yang lelaki, ia sendiri yang seorang wanita pun jatuh hati pada Magda. Bersemu merah wajah Henk dari telinga satu ke telinga lainnya. Malu ia jadinya, terbaca oleh lawan bicaranya perasaan bagai anak ingusan yang baru pertama kali dimabuk asmara.

“Sudah terlanjur basah. Sudahlah, biar kulanjutkan saja.” batinnya.

"Ja, je hebt gelijk, Moeder-overste.
(Ya, Anda benar, Ibu Kepala.) Saya jatuh cinta kepadanya, bahkan saya pernah mencoba melamarnya.” Henk mengaku.

“Tapi ia menolak lamaran saya dengan sopan. Cinta dan hidupnya hanya untuk putranya seorang. Tak ada ruang untuk seorang suami dalam hatinya. Ia hendak mencurahkan perhatian sepenuhnya pada anaknya.” lanjutnya dalam bahasa Belanda.

“Lalu kami menjadi teman baik. Magda bahkan mencarikan pasangan hidup untuk saya, yang sekarang jadi istri saya. Tetapi, setelah menikah pun perasaan saya padanya tak kunjung padam. Terpaksa saya tak menghubungi Magda lagi, agar tak menyakiti perasaan istri saya. Bertahun-tahun saya tak tahu kabarnya…Hingga tiga bulan yang lalu, ada sepucuk surat sampai ke kantor saya. Itu surat dari Magda, ia meminta saya menemuinya di sanatorium…” Henk meneruskan.

“Hkk..hkkehhhemm…” Henk merasakan tenggorokannya kering.

“Maaf, saya minum dulu.” Henk meminta izin.

"Alstublieft, Meneer.
(Silakan, Tuan.)” jawab Zuster Eisinga.

Henk meneguk kopinya yang sudah tak terlalu panas, kopinya menyusut hingga tinggal seperempat cangkir.

"Ik wilde Magda in het begin niet zien. (Awalnya saya tak mau menemui Magda.) Tapi, istri saya memaksa saya untuk menemuinya, bahkan ia hendak juga ikut saya. Ia juga merasa berhutang budi pada Magda… tanpa Magda, mimpi buruknya tak kan berakhir.” cerita Henk lebih lanjut.

“Dus ook je vrouw? (Jadi istri Anda juga?) Apakah ia seorang…” potong Zuster Eisinga tak dapat menyembunyikan keterkejutannya.

Belum selesai ia bicara, Henk mengangguk pelan. Mengertilah Zuster Eisinga, ternyata istri Henk pun menyimpan kepahitan hidup yang serupa. Karena jengah, ia mengalihkan pandang sambil menghela napas.

“Het spijt me. (Maafkan, saya.) Silakan Anda lanjutkan, Tuan.” pinta Zuster Eisinga.

“Eindelijk zijn we ook weg. (Akhirnya kami pergi juga.) Saat kami tiba, apa yang kami lihat benar-benar membuat kami menangis. Tentu Anda tahu maksud saya, Ibu Kepala?” lanjut Henk.

Ia sebentar mengusap kedua kelopak matanya yang mulai basah dengan sapu tangan. Zuster Eisinga hanya mengangguk mengiakan. Air mukanya berubah menjadi sendu, mengingat penampilan terakhir Magda yang ia lihat.

“Magda vertelde me dat het mogelijk was dat haar dood nabij was. (Magda bilang pada saya bahwa mungkin hidupnya tak lama lagi.) Ia meminta saya menyiapkan surat wasiatnya. Beberapa kali saya kembali lagi menemuinya untuk mengurus wasiat dan warisannya. Karena ada beberapa kontrak yang harus saya awasi, acapkali pengurusan dokumen wasiat dan warisannya tertunda. Ya, akhirnya selesai juga, dan saat semuanya telah siap, saya pergi ke sanatorium untuk menemuinya lagi kemarin pagi… Dan.. dan ternyata saya sudah terlambat…” Henk mengakhiri ceritanya dengan mata sembab.

"Mensen zouden kunnen plannen, maar het is God die beslist.
(Manusia boleh berencana, tapi Tuhan jualah yang memutuskan.)” ucap Zuster Eisinga mencoba menghibur.

“Het spijt me zo dat ik er niet was toen ze stierf ... ik niet naar haar begrafenis ben gegaan ... Oh God… (Saya sangat menyesal tak ada saat ia menghembuskan napas terakhirnya… tak datang ke pemakamannya… ya Tuhan…)” Henk meratapi kealpaannya dengan pilu.

"Heb alstublieft geen medelijden met jezelf, Meneer.
(Tolong jangan menyesali diri, Tuan.) Sekarang kita hanya bisa mendoakan Magda. Saat ini, yang perlu dipikirkan adalah apa yang terbaik bagi anaknya.” pungkas Zuster Eisinga.

Henk pun menghentikan ratapannya. Bagaimana pun ia kini punya tugas yang harus diselesaikan. Tugasnya kali ini membutuhkan ketegasan dan kearifan, yang tak mungkin terselesaikan dengan melarutkan diri dalam kesedihan.

“En nu, over de wil van Magda. (Dan sekarang, mengenai wasiat Magda.) Kabar apa yang Anda bawa? Kabar baik atau burukkah?” tanya Zuster Eisinga penasaran.

“Ik breng alle documenten in deze tas. (Saya bawa semua dokumen dalam tas ini.)” ujar Henk sambil menunjukkan tas yang dibawanya dengan mengangkatnya ke depan dadanya.

Ia tak menjawab langsung pertanyaan Zuster Eisinga.

“Tapi, alangkah baiknya jika saya bacakan isinya di depan Anda dan putra Magda sebagai ahli warisnya.” lanjut Henk dalam bahasa Belanda.

Air muka Zuster Eisinga berubah. Ia tampak khawatir, keningnya sedikit berkerut. Bukan karena ia hendak menguasai harta Magda, namun ia mengkhawatirkan kondisi kejiwaan Adriaan yang masih dirundung duka. Ia khawatir kalau-kalau yang diwariskan Magda hanyalah tumpukan utang belaka. Kalau memang hal itu yang terjadi, ia takut Adriaan semakin terpuruk.

“We moeten hier eerst over praten voordat we het hem vertellen. (Seharusnya kita bicarakan dulu hal ini sebelum bicara dengannya.) Saya belum yakin Adriaan siap mendengar ini. Ia masih sangat sedih ditinggal oleh ibunya. Saya takut jikalau ia semakin terpuruk.” Zuster Eisinga mengungkapkan kekhawatirannya.

“Neem me niet kwalijk, Moeder-overste. (Saya mohon maaf, Ibu Kepala.) Saya mohon putra Magda, Adriaan, mendengar langsung isi surat wasiat ibunya. Saya wajib menyampaikannya secara langsung. Ibu Kepala tidak perlu khawatir.” tegas Henk sambil tersenyum.

“Hmm, ik zie het. (Hmm, baiklah.) Mari ikuti saya, Tuan.” ajak Zuster Eisinga.

Tiba-tiba ia bangkit dari kursinya dan bergegas keluar ruangan meninggalkan Henk. Henk yang terkejut, segera berlari kecil mengejar Zuster Eisinga membawa segenap barang bawaannya. Zuster Eisinga berjalan cepat ke arah pintu depan panti asuhan.

Henk dengan agak terengah-engah bertanya,”Adriaan woont hier niet? (Adriaan tidak tinggal di sini?)”

“Nee. (Tidak.) Selama ini ia tinggal bersama ibunya di penginapan sebelah.” jelas Zuster Eisinga.

Sekeluarnya dari panti asuhan, kedua orang itu berbelok ke kanan menuju penginapan tepat di sebelah panti asuhan. Sesampainya di penginapan, Zuster Eisinga segera menuju meja resepsionis. Bertanya ia pada seorang wanita tua bersanggul yang menunggui meja itu.

“Mevrouw Herbergier, heb je Adriaan gezien? (Nyonya Herbergier, apakah Anda melihat Adriaan?) Di mana dia?” tanya Zuster Eisinga.

“Hij is nog steeds in zijn kamer. (Ia masih di kamarnya.) Sejak tadi malam ia belum tampak keluar dari kamarnya.” jawab si wanita tua.

“Ik wil hem nu zien. (Aku mau bertemu dengannya sekarang.)… Ayo, Tuan de Jong! Mari ikut saya.” ajak Zuster Eisinga sambil bergegas menuju tangga.

“Hé... Hé... Hé, wacht even. (Hey… hey… hey, tunggu sebentar.) Biar Jan menemani kalian.” wanita tua itu menawarkan.

Zuster Eisinga berhenti sehasta saja dari anak tangga pertama. Menoleh ia pada Henk.

“Hebt u haast, Meneer? (Apakah Anda terburu-buru, Tuan?)” tanya Zuster Eisinga.

Henk merogohnya saku bajunya, dikeluarkannya arloji rantainya. Jarum pendek tersebut sudah hampir tepat menunjuk ke angka sepuluh, sedangkan jarum panjangnya baru saja melewati angka sebelas. Ternyata hampir satu jam lamanya ia berbincang dengan Zuster Eisinga.

“Nee, Ik heb opzettelijk geen afspraak gepland met mijn klanten vandaag, Moeder-overste. (Tidak, hari ini saya sengaja tidak merencanakan pertemuan apapun dengan klien saya, Ibu Kepala.)” jawab Henk santai.

“Jan... Jan... begeleid alsjeblieft de moeder-overste Eisinga naar Adriaan's kamer. (Jan…Jan…tolong temani Ibu Kepala Eisinga pergi ke kamar Adriaan.) Jangan lupa bawa kunci cadangannya.” panggil si wanita tua ke pelayan yang bernama Jan itu.

Seorang pemuda berambut hitam cepak bertubuh tinggi kurus tergopoh-gopoh berjalan membawa serenteng kunci-kunci ke arah Zuster Eisinga. Dipimpinnya Zuster Eisinga dan Henk menuju kamar Adriaan di lantai atas penginapan. Untung saat itu tak bertepatan dengan jam makan siang, sehingga Jan punya kesempatan menemani dua orang tersebut.

Kamar tempat Adriaan dan ibunya tinggal selama ini terletak paling ujung di sisi kiri koridor. Di atas lantai kayu di depan pintunya tergeletak sebuah talam timah dan gulungan koran hari itu di sebelahnya. Talam itu berisi sepiring uitsmijter lengkap dengan salad, pisau dan garpunya, sebuah serbet makan yang terlipat rapi, sebotol susu sapi segar dan sebuah gelas kaca kosong.

"Kijk dat eens, Meneer!
(Lihat itu, Tuan!) Adriaan tak memakan sarapannya pagi ini. Semalam saya menyuapinya makan dengan susah payah, hanya habis seperempat porsi saja.” keluh Zuster Eisinga.

“Saya khawatir ia tak sanggup mengetahui isi surat wasiat ibunya.” ia menambahkan dalam bahasa Belanda.

“Maak je geen zorgen, moeder-overste. (Jangan khawatir, Ibu Kepala.) Percayalah pada saya. Ayo, segera kita temui Adriaan.” timpal Henk mencoba meyakinkan.

Sesampainya mereka di depan pintu kamar Adriaan, setelah menyingkirkan talam berisi sarapan yang tak tersentuh itu ke samping,
Zuster Eisinga mencoba membuka pintu kamar.

“Trrrkk…trrrkk…dug.”

Gagang pintu ditekan ke bawah dan daun pintu didorong ke depan. Daun pintu itu bergeming.

“Ck, Het is op slot. (Ck, dikunci.)” keluhnya.

"Laat mij het aan, mevrouw.
(Biar saya urus, Bu.)” timpal pemuda yang bernama Jan itu cepat.

Diintip olehnya bagian dalam kamar melalui lubang kunci, pandangannya jelas tanpa halangan. Anak kunci tak tergantung pada lubangnya. Keberuntungan untuk Jan, ia tak harus berpayah-payah membongkar kunci pintu itu. Segera dibukanya pintu itu menggunakan kunci cadangan yang ia bawa.

“Kriet…”

Aroma apak tercium keluar dari kamar. Ketiga orang tersebut segera masuk ke kamar. Kamar itu terasa pengap. Hanya sedikit berkas cahaya dari luar yang masuk, melalui pintu yang baru dibuka dan tepi jendela kaca yang tak tertutup tirai. Berjalan cepat Zuster Eisinga ke arah jendela. Ditariknya tirai ke tepi yang berlawanan, semuanya, gorden dan vitrase. Dibukanya seluruh daun jendela ke arah luar, berhembus udara segar masuk mengusir pengap. Cahaya remang mentari masuk lebih banyak… Masih temaram, belum cukup terang.

“Jan, steek alsjeblieft de lamp aan. (Jan, tolong nyalakan lampu.)” perintahnya pada Jan.

Jan segera menghampiri lampu gas di dinding di atas perapian, dibukanya katup keran lampu gas sedikit saja, disulutnya dengan korek api, setelah menyala, katupnya dibuka lebih besar hingga cukup terang. Jan mengulangi lagi prosedur itu pada tiga lampu serupa di kamar itu, tampak terang jadinya kamar itu. Ruangan itu cukup luas. Pada sisi kirinya terdapat perapian tertanam di dinding yang merangkap sebagai kompor. Di atas rak dalamnya ada sebuah ceret kusam dan seterika arang. Di dinding bingkai perapian bergantung berbagai tangkai pengaduk dan sebuah peniup api. Di lantai dekatnya tergeletak sebuah belanga logam dan kotak logam berisi potongan kayu bakar dengan tongkat perapian di dalamnya. Pada bagian atas bingkai perapian ada sebuah jam mekanis diapit beberapa pajangan kecil-kecil dari porselen. Di dinding atasnya diapit oleh dua lampu gas terdapat sebuah rak yang tergantung di dinding berisi bumbu-bumbu masak, toples-toples berisi gula, teh dan kopi. Di samping perapian dekat jendela terdapat meja bertegel putih tempat mencuci piring dengan keran air pada dindingnya. Pada samping perapian di sisi yang lebih jauh dari jendela di dindingnya menempel sebuah meja kayu berukuran sedang bertaplak kain putih berenda dikelilingi dua kursi kayu bersandaran tanpa alas tangan. Di atas meja terdapat tumpukan piring dan cangkir porselen yang tersusun rapi. Di dinding atasnya terdapat sebuah foto ukuran sedang berpigura kayu. Di atasnya pada dinding yang sama tergantung sebuah salib perunggu polos tanpa ukiran.

Sebuah lemari kayu menempel di dinding di sebelah pintu masuk kamar, rak bagian atasnya ditutup dua daun pintu yang berangka kayu membingkai kaca bening kotak-kotak. Bagian bawahnya berderet laci-laci penyimpanan. Rak pertama diisi alat-alat makan cadangan, sedangkan rak kedua diisi buku-buku. Ternyata Magda seorang pembaca yang antusias. Tampak koleksi buku nyonya rumah yang cukup banyak, malah terlalu banyak untuk ukuran seorang perempuan desa. Mulai dari kitab suci, kumpulan cerita rakyat, himpunan puisi van Alphen dan Tollens, hingga novel kontemporer seperti Max Havelaar karya Multatuli menjadi khazanah koleksinya. Di sebelah pintu pada sisi yang berbeda terdapat tiang penggantung topi, payung dan jas dari kuningan yang di sampingnya ada sebuah rak sepatu dari kayu. Pada dinding di atas rak sepatu itu terdapat sebuah lampu gas yang menerangi sudut tersebut. Pada dinding yang menyiku dengan dinding tempat bergantungnya lampu itu, menempel sebuah lemari pakaian dari kayu berukuran cukup besar yang permukaannya berukir sulur-suluran. Di samping lemari itu ada sebuah nakas kayu kecil yang bersama sebuah cermin lonjong besar yang berbingkai dan berkaki kayu mengapit sebuah ranjang besi berukuran besar. Di kaki ranjang itu ada sebuah sofa empuk warna kelabu yang cukup untuk diduduki dua orang. Ranjang itu diterangi pancaran sinar lampu gas yang menempel pada dinding antara cermin dan jendela. Di atas ranjang itu terhampar kasur empuk berseprai merah jambu. Tergolek di atas kasur, berselimut hanya menampakkan kepala, seorang bocah lelaki tanggung gelisah dalam tidurnya.

Tiba-tiba terdengar rintihan.

“Mama… mama… laat me niet alleen… (Mama… mama… jangan tinggalkanku sendirian…)” igau bocah itu lirih.

“Adriaan ... Adriaan ... wat is er met je gebeurd, zoon? (Adriaan… Adriaan… Kamu kenapa, nak?” tanya Zuster Eisinga cemas, tahu-tahu ia sudah berdiri di samping tempat tidur.

Bocah itu diam saja. Dielus oleh Zuster Eisinga rambut kepala Adriaan, terasa lebih hangat dari biasa. Penasaran, dengan punggung tangannya ia merasai dahi Adriaan. Panas menyengat kulit tangannya.

“Ya, Tuhan. Kamu demam, nak.” ujar Zuster Eisinga dalam bahasa Belanda.

Pikirannya membuncah, takut ia kehilangan Adriaan, bocah yang ia sayangi seperti anaknya sendiri. Amanah dari Magda bisa-bisa tak terlaksanakan, yang akan membebaninya dengan rasa bersalah seumur hidup. Tak ada waktu untuk menggeragap, ia harus segera ambil tindakan.

“Jan, bel Dokter Dubois snel! (Jan, cepat panggil Dokter Dubois.)” perintah Zuster Eisinga.

“Ja, Mevrouw. (Ya, Bu.)” jawab Jan.

Ia segera berlari keluar kamar memanggil dokter yang dimaksud. Sang biarawati segera mengambil pasu kayu kecil di bawah meja cuci, diisinya dengan air dan diletakkannya di atas nakas di samping ranjang. Dibukanya lemari pakaian dan diambilnya sehelai celana dalam Adriaan. Celana itu direndamnya dalam pasu, setelah basah sempurna, diperasnya lalu diletakkan di dahi Adriaan. Aktivitas itu dilakukan Zuster Eisinga berulang-ulang.

Lama kelamaan terasa angin dari jendela yang terbuka membawa hawa dingin ke dalam ruangan. Khawatir demam Adriaan bertambah parah, Henk segera menutup jendela yang terbuka. Pintu ruangan tetap ia biarkan terbuka agar ruangan tak menjadi pengap. Ditaruhnya beberapa potong kayu bakar ke perapian, lalu disulutnya. Dengan tongkat perapian Henk mengaduk-aduk potongan-potongan kayu di perapian. Percikan api yang muncul berlompatan memantik seluruh potongan kayu bakar di perapian hingga menyala memancarkan panas menyengat yang merambat ke seluruh ruangan menghangatkannya.

Namun demam Adriaan belum turun juga, bertambah cemas keduanya. Menunggu dalam ketidakpastian, semenit serasa seperti satu jam. Setelah empat puluh menit menunggu datanglah orang yang ditunggu bersama Jan. Jan segera mohon diri untuk mengerjakan tugas hariannya di penginapan itu. Dokter itu, seorang lelaki berambut pendek, berkacamata dan bercambang lebat berusia empat puluhan tahun, segera memeriksa keadaan Adriaan, sesekali ia bertanya mengenai Adriaan pada Zuster Eisinga.

“Moeder-overste, u hoeft zich geen zorgen te maken. (Ibu Kepala, Anda tak perlu khawatir.) Tidak ada yang serius pada Adriaan. Ia demam karena kurang cairan dan kurang asupan makan. Suasana batinnyalah yang membuatnya seperti ini. Berikan ia cukup minum dan makan. Akan saya bantu dengan resep obat penurun demam. Ini kulit kayu pohon Willow. Nanti tebus di apotek. Setelah dapat, segera rebus dalam seliter air selama tiga puluh menit. Minumkan air hasil rebusannya dalam gelas kecil tiga kali sehari. Bila demamnya turun, air rebusan itu tak usah diminumkan lagi. Jangan lupa, tolong besarkan hatinya. Itu yang terpenting.” jelas sang Dokter sambil mengangsurkan resepnya ke Zuster Eisinga, setelah selesai memeriksa Adriaan.

Dokter itu pun pamit mohon diri. Henk segera meminta resep dokter itu ke Zuster Eisinga. Ia tawarkan diri untuk mengantar sang Dokter, sekaligus menebus resep di apotek. Satu jam kemudian Henk kembali membawa kantung kertas berisi potongan kulit kayu pohon Willow dalam takaran tertentu. Setelah membilas belanga dan mengisinya dengan air keran hingga terisi seliter, ia segera merebus potongan kulit kayu tersebut di dalamnya. Dalam waktu tiga puluh menit lebih sedikit segelas air rebusan ramuan tadi telah tersaji di atas nakas. Zuster Eisinga duduk di atas kasur mengambil posisi menyamping di sisi kiri Adriaan. Diguncang-guncangkannya tubuh bocah itu.

“Adriaan…Adriaan…Adriaan, wakker worden, zoon! (Adriaan…Adriaan…Adriaan, ayo bangun, nak!)” seru Zuster Eisinga membangunkan.

“Mama…mama…mama…” racau Adriaan gelisah.

“Adriaan…Adriaan…” panggil Zuster Eisinga sambil mengguncang-guncang bahu Adriaan.

Tiba-tiba… Adriaan membuka mata.

“Tante!? (Bibi!?)” serunya kaget saat terlihat olehnya Zuster Eisinga di hadapannya.

Ia tampak bingung. Seakan nyawanya belum terkumpul sempurna, setelah sejak malam sebelumnya ia tenggelam dalam kesadaran yang berkabut.

“Zoon, je hebt koorts. (Nak, kamu demam.) Ayo, minum obat dulu biar lekas sehat.” kata Zuster Eisinga menyejukkan.

Dibantu oleh Henk, didudukkan olehnya Adriaan bersandarkan bantal di kepala ranjang. Dengan kasih sayang pelan-pelan disendokkan dulu air rebusan obat tersebut ke mulut Adriaan, setelah dipastikan ia menyesapnya dengan baik tanpa tersedak, perlahan-lahan air obat itu diteguk-tegukkan kepadanya hingga habis segelas penuh. Dalam lima belas menit selepas tegukan terakhir air obat itu, panas tubuh Adriaan turun dengan cepat, demamnya hilang berganti dengan berkeringatnya ia sekujur badan. Basah seluruh pakaian yang dikenakannya. Selimut Adriaan tak lagi ditutupkan ke badannya. Oleh Zuster Eisinga segera digantikan semua pakaian basah bocah itu dengan pakaian baru yang kering dari dalam lemari. Rasa nyaman yang menjalar di tubuh Adriaan menerbitkan rasa kantuk yang sangat. Ditinggal tidur Adriaan, Henk dan Zuster Eisinga duduk tercenung di kursi dekat meja makan. Tak lama kemudian, Jan datang membawakan makan siang bagi keduanya. Roti lapis isi keju Edam dan daging asap lengkap dengan selada pendamping. Dua gelas susu hangat pun tersaji sebagai pengusir dahaga.

“Jan, breng alsjeblieft ook noenmaal mee voor de koetsier. (Jan, tolong bawakan juga makan siang untuk kusir.)” pinta Zuster Eisinga, teringat sais bendi yang menunggui Henk di luar.

Sepeninggal Jan, kedua orang itu makan dalam senyap, tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Keduanya mengunyah malas, memamah perlahan bagai lembu mengaso di padang penggembalaan. Makan siang yang biasanya selesai cepat, baru habis setelah satu jam.

“Tante! (Bibi!)” tiba-tiba dengan suara serak Adriaan terdengar memanggil.

Zuster Eisinga segera menghampirinya ke tepi ranjang.

“Dorstig… (Haus…)” ujar Adriaan lirih.

“Wacht, zoon. (Tunggu, nak.)” jawab Zuster Eisinga.

Zuster Eisinga bergegas turun setelah meminta Henk menemani Adriaan. Henk meletakkan sebuah kursi kayu di samping kiri ranjang Adriaan. Mata Adriaan tampak terpejam dadanya naik turun teratur mengikuti dengkur halusnya. Ia tertidur kembali. Perutnya belum terisi makanan, otomatis kantuk menguasainya, mekanisme alami tubuhnya menghemat simpanan tenaga. Henk tertegun menatap wajah bocah itu, kekanakan dan kusut masainya tak mampu menyembunyikan fakta, bahwa bocah itu rupawan. Bukan, Henk bukan seorang pelaku pederasti, ia lelaki normal yang birahinya hanya dapat dibangkitkan oleh wanita dewasa. Tapi ia melihat wanita itu, wanita yang dulu sangat dicintainya pada anak itu. Ya, Adriaan mengingatkan Henk pada Magda. Mengungkit kembali kenangan lama padanya, cantik wajahnya, molek tubuhnya, halus budinya, ramah sikapnya, semuanya. Bermenit-menit Henk melamun memandangi wajah Adriaan. Mendadak bocah itu membuka mata.

“Hmm, neem me niet kwalijk, wie ben jij? (Hmm, maaf, Anda siapa ya?)” tanya Adriaan ke Henk sambil menatap bingung.

Baru ia sadar ada orang asing yang tak ia kenal seruangan dengannya.

”Ik ben een vriend van je moeder. (Aku teman Ibumu.) Namaku Hendrik de Jong, cukup panggil aku Henk.” jawab Henk memperkenalkan dirinya.

“Hmm, oom Henk, wat brengt je hier? (Hmm, ada apa Paman Henk datang ke mari?)” Adriaan lanjut bertanya.

“Ik… (Aku…)” jawab Henk terputus, karena dilihatnya tahu-tahu Zuster Eisinga sudah ada di sampingnya membawa talam.

Henk segera berdiri dari kursi. Posisinya digantikan oleh Zuster Eisinga. Talam sudah berpindah ke atas nakas, di atasnya ada segelas susu hangat, secangkir teh dan setoples kue kering yang seharusnya hanya ada saat bulan Desember.

“Adriaan, Tante Maria brengt je melk en speculaas, we dopen de koekjes in de melk, oké? (Adriaan, Bibi Maria bawa susu dan speculaas, kuenya kita celupkan di susu ya?)” bujuk Zuster Eisinga pada Adriaan.

Sedikit-sedikit kepingan kue kering yang basah terendam susu itu masuk ke perut Adriaan. Tak perlu lama-lama mengunyah, kue-kue yang telah melunak itu langsung luluh dalam mulut dan meluncur turun ke kerongkongan. Adriaan tampak menikmati makanan pertamanya hari itu. Dalam waktu singkat, sepuluh keping kue, segelas penuh susu dan setengah cangkir teh sudah berpindah ke dalam lambungnya.

“Bedankt, Tante. (Terima kasih, Bi.) Sekarang aku sudah lebih enakan.” ujar Adriaan sambil tersenyum.

“Oom Henk, wat wilde je me vertellen? (Paman Henk, tadi apa yang Paman mau katakan?)” tanya Adriaan kembali.

“Laat maar, daar hoef je niet over na te denken. (Sudahlah, kamu tak usah pikirkan itu.) Sekarang yang penting kamu istirahat, nak.” timpal Zuster Eisinga.

“Maar, Tante, ik voel me al goed. (Tapi, Bi, aku sudah lebih baik.) Paman Henk kan sudah jauh-jauh ke sini, sayang kalau ia datang sia-sia.” bantah Adriaan.

“Maar Adriaan… (Tapi, Adriaan…)” Zuster Eisinga masih bersikeras.

“Alsjeblieft, Tante. (Tolong, Bibi.) Sekali ini saja.”, mohon Adriaan.

Akhirnya Zuster Eisinga memberi isyarat pada Henk untuk menceritakan maksud kedatangannya.

“Adriaan, ik heb de wil van je moeder met mij. (Adriaan, surat wasiat ibumu ada padaku.) Ia memintaku mengurus harta miliknya dan mengalihkannya kepadamu.” terang Henk pada Adriaan.

“Boleh saya mulai membacakan dokumen-dokumennya?” Henk meminta izin dalam bahasa Belanda.

Ia mulai membuka tas kulitnya dan mengeluarkan lembaran-lembaran dokumen yang tersimpan di dalamnya. Tak lama kemudian dokumen-dokumen itu berjejer rapi di atas ranjang pada sisi kanan Adriaan. Berkeringat dahi Zuster Eisinga, khawatir ia kalau-kalau yang akan diumumkan adalah deret-deret hutang Magda yang harus dilunasi ahli warisnya.

“Voordat ik het testament lees, zal ik een brief van je moeder lezen, Adrian. (Sebelum aku membacakan wasiat, aku akan bacakan dulu sepucuk surat dari ibumu, Adriaan.)” ujar Henk.

Sebuah amplop putih panjang bersegel lak merah ia sobek pada ujungnya, kemudian dikeluarkanlah sepucuk surat dari dalamnya.

Henk mulai membacakan isi surat itu yang ditulis dalam bahasa Belanda,

“Beste Adriaan, mijn zoon. (Adriaan tersayang, anakku.)

Anakku sayang, apa kabarmu, nak? Mama harap kau selalu sehat dan semakin dewasa, sayang. Mama masih ingat malam itu saat pertama Mama dengar suara tangisanmu, nak. Rasa lega dan bahagia menghapus lelah Mama mengandungmu dan nyeri Mama selama persalinan. Ketika pertama kali Mama genggam jemari mungilmu, nak, rasa gembira Mama hilangkan semua pedih di hati akan hinaan dan nyinyir orang-orang terhadap kehamilan Mama. Mama benar-benar bersyukur, Mama yang sebatang kara ini menemukan orang-orang yang menyayangi Mama bagai keluarga sendiri. Saat Mama kecil, Mama bagaikan anak tunggal, kakak-kakak Mama telah tiada sebelum Mama lahir. Saat Mama remaja, Mama kehilangan kedua orangtua Mama. Saat dewasa, Mama menemukan seorang kakak perempuan pada sosok Bibimu, Maria, Mama menemukan sosok seorang abang pada Henk, laki-laki yang Mama minta membawa surat ini. Dan yang terpenting Mama mendapatkan karunia terbesar dalam hidup Mama, yaitu engkau, nak, darah daging Mama, cinta terbesar Mama dalam hidup ini. Saat kau baca surat ini, mungkin Mama telah meninggalkan dunia fana ini. Jangan kau terus bersedih, nak. Bangkitlah kau, nak, kaulah warisan terbesar Mama. Mama tak kan biarkan engkau, anakku satu-satunya larut dalam kesedihan dan terlunta-lunta dalam kehidupan. Henk sudah kutitipkan surat wasiatku, nak. Percayalah padanya, nak, ikuti instruksinya. Kakakku Maria tersayang, kutitipkan anakku padamu, bekerjasamalah dengan Henk, ia telah kutitipkan segala urusan warisanku. Kak, tolong bimbing Adriaan, jadikan ia manusia yang berguna. Adriaan, Maria dan Henk, terima kasih atas cinta yang kalian berikan selama ini, aku mencintai kalian, aku tak dapat lagi membalas kasih sayang kalian, hanya pintaku semoga Tuhan selalu merahmati kalian.

Mamamu yang selalu mengasihimu,

Magdalena de Vries”

Henk mengakhiri pembacaan dalam serak dan sengau, hidungnya beringus dan matanya memerah. Mata ketiga orang itu sembab, bulir-bulir air mata mengumpul di sudut-sudut mata mereka dan tumpah menganak sungai di pipi. Isi surat itu bagai mengoyak luka lama, kenangan pada Magda yang membangkitkan keharuan, namun surat itu juga berisi ketegasan agar mereka yang ditinggalkan segera melanjutkan hidup. Tak ada alasan untuk mempertanyakan keaslian surat itu. Surat itu jelas-jelas ditulis oleh Magda, tulisannya khas, tegak-tegak dengan tarikan garis serupa tulisan kanak-kanak.

Henk mengusap air matanya dengan sapu tangan, lalu mengambil selembar gulungan kertas perkamen yang terikat oleh benang tebal yang direkatkan menggunakan lak. Setelah ia melepaskan lak perekat itu, gulungan kertas itu dibentangkan olehnya.

“Vervolgens zal ik het testament lezen. (Selanjutnya saya akan bacakan surat wasiatnya.) Selama saya membacakan tolong didengarkan baik-baik dan jangan dipotong dulu.” ucap Henk, ternyata gulungan kertas yang dibentang itu adalah surat wasiat Magda yang resmi.

“Saya Magdalena de Vries, lahir di …, tanggal…, pada hari ini hari…, yang bertempat tinggal di… dengan disaksikan notaris Tuan Mr. Hendrik de Jong yang beralamat kantor di… dengan ini menyatakan wasiat sebagai berikut… “ Henk pun membacakan surat wasiat Magda, butir demi butir.

Kedua orang yang lain di ruangan itu mendengarkan dengan seksama. Isi surat wasiat itu benar-benar tak terduga, yang membuat Adriaan dan Zuster Eisinga terperangah.

“Apa!? Tak mungkin…ini tak mungkin…” batin Adriaan.

“Ya, Tuhan!!!…. Ini mustahil…. Pasti aku salah dengar…” batin Zuster Eisinga.

Kedua orang itu tak percaya pada apa yang mereka dengar saat itu, serasa yang mereka dengar hanyalah ilusi pendengaran.

“Tertanda… Yang memberikan wasiat… Magdalena De Vries… Notaris… Mr. Hendrik de Jong.” Henk memungkasi pembacaan surat wasiat.

“Drieduizend zeshonderd tweeënvijftig gulden!? (Tiga ribu enam ratus lima puluh dua gulden!?) Apa Anda sengaja mempermainkan kami? Mana mungkin Magda bisa punya simpanan sebanyak itu?” sergah Zuster Eisinga gusar.

Ketidakpercayaannya bermuara pada kecurigaan akan kejujuran Henk.

“Deze herberg was van Mama en is nu van mij? (Penginapan ini milik Mama, dan sekarang jadi milikku?) Tak mungkin, Paman. Paman pasti bergurau.” tanya Adriaan dengan suara keras.

Baginya ini lelucon yang tidak lucu, bahkan kurang ajar. Adriaan yang begitu pedih ditinggalkan ibunya, satu-satunya keluarganya yang tersisa, penuntun dan sandaran hidupnya, seakan diiming-imingi impian semu yang tak terbayangkan bahkan dalam fantasi terliarnya sekalipun.

Dalam surat wasiat itu dinyatakan bahwa selain barang-barang peninggalan Magda di penginapan, warisan Magda terdiri dari simpanan bank sebesar tiga ribu enam ratus lima puluh dua gulden, uang dengan jumlah cukup fantastis yang nilainya hampir sama dengan penghasilan total rata-rata pekerja di Belanda saat itu selama sepuluh tahun, dan penginapan tempat tinggal Adriaan dengan ketentuan lima puluh persen dari keuntungan yang didapat diperuntukkan bagi panti asuhan yang dipimpin Zuster Eisinga.

“Ik maak geen grapje, Adriaan, Moeder-overste. (Saya tidak sedang bercanda, Adriaan, Ibu Kepala.) Coba lihat ini, tanda tangan Magda ini otentik, mana mungkin palsu.” jawab Henk sembari mengangsurkan surat wasiat Magda ke hadapan Adriaan dan Eisinga.

Ya, benar, tanda tangan yang ada di surat itu benar milik Magda adanya, walaupun surat itu ditulis oleh juru tulis dengan tulisan yang jauh lebih rapi.

“Hoe is dat mogelijk!?(Bagaimana mungkin!?) Bagaimana mungkin Magda bisa menyimpan uang sebanyak itu, bahkan mampu membeli penginapan ini?” tanya Zuster Eisinga masih tak percaya.

“Ik zal proberen uit te leggen op basis van de informatie die ik kende. (Saya akan coba jelaskan berdasarkan informasi yang saya tahu.) Tapi bukan hari ini, Ibu Kepala” jawab Henk.

“Begini saja, Ibu Kepala. Besok Ibu dan Adriaan dapat mengecek kebenaran isi surat wasiat ini ke Gemeentekantoor dan bank. Saya mohon maaf, besok saya sudah ada janji dengan klien saya, sehingga tak dapat menemani Anda sekalian. Saya sewakan bendi untuk Anda yang besok akan datang pukul delapan pagi. Saya akan tuliskan memo untuk kerani di tiap kantor, agar mereka membantu Ibu mengecek dokumen yang diperlukan. Esok lusa saya akan datang lagi dan menjelaskan pertanyaan Anda.” tambah Henk dalam bahasa Belanda sambil menuliskan surat permintaan tolong pada dua lembar kertas yang ditutup dengan tanda tangannya, tak lupa ia menuliskan alamat kantor yang dituju dan menyerahkan buku tabungan bank yang dimaksud.

“Oké, morgen ga ik met Adriaan naar die plekken. (Baiklah, saya dan Adriaan ke tempat-tempat itu besok.)” pungkas Zuster Eisinga.

Hari itu menjelang petang, Henk pun mohon diri untuk pulang. Keesokan harinya, tepat pukul delapan pagi ternyata sebuah bendi telah siap di depan panti asuhan. Walau dilarang oleh Zuster Eisinga yang khawatir pada kesehatannya, Adriaan tetap memaksa ikut pergi. Apa yang didapatkan Zuster Eisinga dan Adriaan dari perjalanan seharian itu tak ada bedanya dengan pernyataan Henk hari sebelumnya. Surat wasiat dan transaksi jual beli bangunan penginapan tercatat resmi di Gemeentekantoor. Saat dicocokkan di bank saldo tabungan Magda pun senilai dengan apa yang ditulis dalam surat wasiat. Fakta-fakta sudah tak terbantahkan lagi, hanya tersisa rasa heran Adriaan dan Zuster Eisinga, tak habis pikir entah sulap apa yang mengubah nasib Adriaan dalam semalam, dari seorang anak yang suram masa depannya, menjadi seseorang yang bermasa depan gilang gemilang.

Keesokan harinya, Henk mengunjungi panti asuhan sesuai janjinya. Besertanya ikut pula sang istri, seorang wanita cantik tinggi langsing berambut gelap disanggul, dan dua orang anaknya, sepasang kembar dampit lucu berusia enam tahun. Selepas makan siang yang penuh keakraban menikmati masakan Zuster van Weert yang nikmatnya serupa masakan restoran bintang lima, dan menidursiangkan anak-anaknya, pasangan suami istri itu duduk bersama di ruang tamu panti asuhan bersama Adriaan, Zuster Eisinga dan para biarawati junior yang juga turut penasaran asal muasal perubahan nasib Magda menjadi seorang juragan.

Selanjutnya Henk menjelaskan berdasarkan apa yang ia tahu dari mulut Magda sendiri. Magda telah menjelaskan pada Henk saat ia dan istrinya berkunjung pertama kali ke sanatorium. Ternyata selama ini Magda mendapatkan cukup banyak klien kakap. Di antara klien-klien kakap itu ada yang pengusaha, pejabat pemerintah, bahkan ada juga anggota Tweede Kamer yang terhormat. Boleh dikatakan Magda menjadi seorang courtesan, perempuan sundal kelas atas, yang cukup tenar walaupun tidak setenar Aspasia pada masa jayanya. Sebagai seorang courtesan, bayaran Magda tidaklah murah, dan penghasilannya cukup besar. Berbeda dengan banyak pekerja di dunia malam, Magda tidak lekas menghambur-hamburkan uang yang didapat. Keinginannya untuk menjamin masa depan Adriaan, membuat Magda berupaya mencari cara menggandakan uang simpanannya. Pergaulannya di kalangan elit mempertemukan Magda dengan seorang pialang Bursa Saham Amsterdam yang cukup piawai. Magda menitipkan sebagian dana tabungannya pada sang pialang yang kemudian olehnya dibelikan saham-saham yang berpotensi berprofit tinggi. Berkat tangan dingin sang pialang dalam waktu tidak terlalu lama keuntungan yang didapat berlipat ganda. Setelah dipotong untuk jasa sang pialang, sebagian uang yang didapat dari penjualan saham tersebut Magda gunakan untuk membeli penginapan yang kebetulan dijual oleh pemilik lamanya yang sedang butuh uang, dan sisanya ditabungkan kembali.

Jelaslah sudah, kekayaan Magda bukan didapatkan dari hasil simsalabim semalam belaka. Kekayaannya didapatkan berkat kerja keras, kedisiplinan berhemat, kegigihan mencari kesempatan dan sedikit keberuntungan.

Berkat kepastian keamanan finansial dan dukungan moral Zuster Eisinga berserta segenap penghuni panti asuhan, Adriaan berhasil berlepas diri dari kesedihannya. Kini awan gelap nasib buruk yang memayunginya lenyap menguap, tersingkir oleh cahaya keberuntungan. Fase perjalanan hidupnya saat itu bagaikan memasuki terowongan gelap menuju cahaya di ujung akhirnya. Ingatan Adriaan pada sang Bunda tak lagi menjadi pemadam semangat hidupnya. Bahkan kini pesan-pesan sang Bunda menjadi pelecut semangat hidup Adriaan.

Berusaha keras memenuhi harapan ibunya, Adriaan berubah total menjadi anak yang mandiri dan rajin. Prestasinya di sekolah terus membaik, ia lulus dengan nilai yang sangat memuaskan di sekolah dasarnya. Sebenarnya berkat otak encernya ia mampu untuk masuk gymnasium, namun Adriaan memilih masuk hogere burgerschool yang lebih mengedepankan pendidikan kecakapan terapan yang lebih berguna dalam kehidupan sehari-hari daripada kecakapan klasik yang tampak canggih dan berkelas namun tak menjamin pemiliknya mampu mengisi perut setiap hari.

Bukan hanya ingin bermanfaat bagi dirinya sendiri, sebagai balas budi ia ingin juga berbagi manfaat dengan panti asuhan yang telah ikut membantu sang Bunda membesarkan dirinya. Selain membantu pembiayaan operasional panti asuhan dari keuntungan penginapan miliknya, Adriaan yang berbakat hitung menghitung akhirnya juga menjadi bendahara tak resmi panti asuhan. Jalan hidup Adriaan muda memang tampak terang, namun masih ada yang kurang pada terang benderang itu. Terang hidupnya bagai padang luas kosong di bawah teriknya mentari, jalan panjang hidupnya memang jelas terlihat hingga ke cakrawala, namun tak tampak warna warni kembang setaman yang menyertai.

“Duggghhh!!!...”

Tiba-tiba buyar lamunan Adriaan. Satu guncangan kuat mengembalikan kesadarannya pada kekinian di geladak. Tanpa dinyana sapu tangan kenangannya terlepas dari genggaman. Di depan matanya sapu tangan itu meluncur deras terjatuh dari tepian geladak ke arah bawah menuju laut bebas. Dan Adriaan pun menjerit sekeras-kerasnya…

“Nee!!!...(Tidaak!!!...)”


To be continued...
--------------#################--------------

Done, mohon maaf, telat banget karena ada masalah teknis, terpaksa edit langsung di thread, terpotong sahur pula....:ampun:

Mohon saran dan kritiknya para suhu sekalian,.....:ampun:


Terima kasih...
 
Terakhir diubah:
GLOSSARIUM:

Vulkanik: sesuatu yang bersifat/berkait gunung berapi.
Pasu: bejana
Gergasi: raksasa
Delft: kota di Belanda yang terkenal sebagai penghasil porselen bermotif biru-putih yang khas.
Albumin: protein putih telur
Saliva: air liur
Pâttiserie: toko kue (bahasa Prancis)
Speculaas: kue kering/biskuit berempah khas Belanda yang biasanya dibuat untuk merayakan hari Santo Nicholas (Sinterklaas) pada 5 Desember (Red. kue favorit TS, dulu pas masih kuliah belum sibuk, sering bikin bareng nyokap dan adek untuk Lebaran, hehehe).
Uitsmijter: menu sarapan khas Belanda yang terdiri dari roti putih, ham dan telur ceplok yang kesemuanya digoreng memakai mentega (mentega ya, bukan margarin).
van Alphen dan Tollens: Hieronymus van Alphen dan Hendrik Tollens, dua penyair Belanda terkenal di abad ke-19.
Max Havelaar: novel terkenal karya Multatuli (nama pena dari Eduard Douwes Dekker) yang mengisahkan kesewenang-wenangan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) di Lebak, Jawa Barat antara tahun 1830-1870.
Willow: nama pohon yang tumbuh di belahan bumi Utara, kulit kayunya mengandung salicin, zat yang dalam tubuh manusia diubah menjadi asam salisilat, zat aktif yang berkhasiat antiradang dan antidemam.
Edam: kota kecil di Belanda yang menjadi tempat asal keju dengan nama serupa.
Pederasti: hubungan homoseksual antara pria dewasa dengan anak atau remaja pria.
Lak: getah yang dihasilkan serangga parasit tumbuhan tertentu, yang digunakan sebagai perekat, pewarna alami dan cap stempel.
Mr.: Meester in de rechten, harfiah: magister dalam ilmu hukum.
Gemeentekantoor: balaikota/kantor administrasi kota
Kerani: petugas administrasi rendahan
Kembar dampit: kembar yang terdiri dari anak lelaki dan perempuan.
Tweede Kamer: parlemen Belanda
Courtesan: pelacur kelas atas, biasanya memiliki kemampuan intelektual yang tinggi agar dapat menghibur kalangan elit. Kurang lebih seperti geisha di Jepang.
Aspasia: seorang courtesan terkenal pada zaman Yunani kuno, ia menjadi gundik Pericles yang menjadi pimpinan Republik Athena, terkenal karena kecerdasannya.
Gymnasium: sekolah menengah atas khusus di Eropa, diperuntukkan bagi anak-anak tercerdas, unik karena juga mengajarkan bahasa Latin dan Yunani.
Hogere burgerschool: sekolah menengah atas umum untuk warga negara, kurikulumnya cukup padat, namun tak mengajarkan bahasa Latin dan Yunani.
 
Terakhir diubah:
Setia menanti om.. @ichtyophile tetep semangat dan tetep sehat sehat aja..
Semoga bisa updet kedepannya... :semangat:
Alhamdulillah sehat, Om. Aaamiin...:beer:

Reserved for Pertamax.
Pertamax sekarang mahal ya, Mang? Pake disimpen2 segala...:)

Thanks update nya suhu... Di tunggu kelanjutan kisah adrian di nusantara hu...
Sama2, hu...pastilah, tahu nehh, kapalnya gak nyampe2:nohope:

Mkasih updetnya om..
Ijin baca dulu...
Masama, hu...silahken...

Detail ceritanya mengagumkan bung !

Lekker !

Ga nyangka scene Gunung Krakatau bisa masuk ke cerita ini dan pas dengan penggambaran duka yang di alami Aadrian, verrassend goed !!

oia, utk glosarium, kalau boleh saran sih, langsung di buat di akhir paragraf saja dengan memakai fasilitas quote atau spoiler. kalau pakai spoiler lebih bagus, karena spoilernya bisa diberikan judulnya.

misalnya


...Surat wasiat dan transaksi jual beli bangunan penginapan tercatat resmi di Gemeentekantoor. Saat dicocokkan di bank saldo tabungan Magda .....

Balaikota



kalau glosarium di taruh di bawah postingan cerita, reader ada kecenderungan malas mengingat2 letak ''istilah" tersebut di paragraf mana dan utk kembali scroll ke atas.

kalaupun ente ttp maunya glosarium ada di bawah, istilah yang perlu penjelasan di berikan bold saja, biar ngeh,

" oh yang di bold ini akan masuk glossarium."

s
elebihnya, lanjutkan !

oia, ini cerita kalau semakin banyak mulutrasi foto2 tempoe dulu, semisal rottedam jaman dlu,gw yakin makin keren !

Thanx berat saran dan kritiknya, Tuan Serpanth. Ane coba edit sesuai saran Tuan...:ampun:

Pertamax...
Yaelah, bro. Sekarang udah jamannya pake hidrogen cair...:hammer:
 
Bah, ini TS-nya ngaco banget yak!!!???:dwarf:

Ini mau bikin cerpan atau bikin tesis ???:bingung:

Masak daftar istilah sebanyak itu!!!???:pandabelo:

Wooyy, TS guobloggg bin keblinger, orang baca cerpan mau coli, men...coli ampe lecet, men...:coli::coli::coli:

Malah dikasih kuliah...:gila:


Gak sekalian aja elo bikin daftar kepustakaan!!!???..............................................:ngacir:
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd