Chapter IV: A Friendly Reminder
Sebuah pesawat raksasa A380 bergerak dengan amat anggun menembus awan kabut sebelum akhirnya mendarat di runway Bandara International Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Waktu saat itu menunjukkan pukul 06:00 waktu setempat.
Di dalam pesawat tersebut, Syifa, Tika, dan Mira duduk bersebelahan di baris tiga kursi pesawat, dan saling berpegangan tangan selagi pesawat itu mendarat. Mira dan Tika memegang tangan Syifa amat kencang, karena dalam pengakuan mereka, mereka sama sekali belum pernah naik pesawat.
Mereka sebenarnya tidak sendiri, karena ada Anwar yang menemani, tapi dia duduk agak jauh di belakang.
Lampu tanda sabuk pengaman pun mati, tapi baik Syifa, Tika, maupun Mira masih belum bergerak, bahkan ketika penumpang lain mulai berdiri dan mengambil bagasi mereka di atas.
"Heh, diam saja? Ayo, dilepas itu sabuknya"
"Oh iya, maaf, Mas Anwar"
Mereka pun langsung melepas sabuk pengaman atas arahan dari Anwar, petugas yang mendampingi mereka. Kemudian Anwar membantu ketiganya untuk mengambil barang bawaan pada bagasi di atas kabin, sebelum memandu mereka untuk keluar.
Bandara Abu Dhabi ini sungguh luar biasa luas, dan pada dini hari ini, bahkan orang yang berada di dalamnya masih cukup banyak. Anwar kemudian menyiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan sebelum membawa mereka untuk mengurus izin masuk di imigrasi.
Karena pada pagi hari ini bertepatan juga dengan kedatangan beberapa pesawat dari seluruh dunia, maka antrian imigrasi pun dibagi2 sesuai dengan arah kedatangannya. Anwar memastikan ketiga wanita berada di barisan yang sama, supaya dia tidak repot mengurusnya. Dalam sekejap saja seluruh barisan pun penuh dengan orang dari berbagai belahan dunia.
"Syif, Tik, coba lihat deh di sana"
Syifa dan Tika pun mengikuti lirikan mata Mira, yang menunjuk seorang Afrika berpostur tinggi besar dengan kulit hitam legam yang mereka sendiri menganggapnya seperti jelaga pada panci. Belum pernah Syifa melihat orang dengan warna kulit sehitam itu, tidak di Indonesia.
"Kenapa?"
"Itu orang Afrika katanya tititnya gede2 ya? Kalau orangnya aja segitu tititnya seberapa ya?"
"Hus, kamu itu pikirannya mesum aja!"
"Kalau ngentotin aku mentok kali ya, Syif, kan aku pendek"
"Astaga, pagi2 kesambet apa sih, kamu??"
Entah bagaimana si orang Afrika itu seperti tahu kalau sedang diomongin, dia melirik ke arah mereka bertiga dan memberi senyuman, memperlihatkan giginya yang putih bersih. Ketiganya pun membalas juga dengan senyum simpul.
"Habis gimana ya, kita juga pas latihannya gitu sih. Emangnya kamu nggak pengen, Syif?"
Syifa hanya menghela napas saja.
"Cuman Tika masih bingung, Mbak, itu Mas Suhail nggak kelihatan lagi ya abis yang kapan itu"
"Nggak tahu, Tik, aku nggak dikasih tahu apa2"
"Tika jadi ngerasa bersalah, Mbak"
"Kenapa?"
"Ya, kan, karena Tika, terus..."
"Ya udah sih, kita kan emang nggak tahu"
Tika mengangguk.
"Tapi kita dilatih gitu maksudnya buat apa ya, Mbak?"
"Kerja di panti pijet di Arab" celetuk Mira.
"Ih, Mbak, masak di Arab ada panti pijet?"
"Eh, malah pada ngobrol, ayo semua maju!" kata Anwar.
Mira, Tika, dan Syifa lalu terdiam sambil maju karena ternyata barisan di depan mereka baru saja selesai di pos pemeriksaan imigrasi. Saat maju itulah Mira menyempatkan diri mengerling pada si orang Afrika di barisan sebelah mereka.
Karena Anwar sudah menyelesaikan dokumen2nya, mereka pun tak begitu lama tertahan di pos imigrasi. Setelah mengambil koper2 mereka dan berfoto2 sejenak, Anwar memandu mereka sambil menghubungi seseorang, dan mereka pun mengikuti Anwar dengan amat dekat.
"Kita abis ini ke tempat klien, Mas Anwar?" tanya Mira.
"Enggak, kita ke tempat transit dulu, besok baru dibawa ke tempat klien"
"Lho, bukan di Abu Dhabi, kliennya?"
"Bukan, Mir, lokasinya di kota namanya Al-Maghreb, sekitar 5 jam perjalanan darat dari Abu Dhabi"
"Kenapa nggak berangkat sekarang aja, Mas, biar kita cepet sampai di sana?" tanya Syifa.
"Ada yang harus diurus, lagian mereka mintanya kalian semua sampai di sana jam segini pas, artinya ntar malem dini hari kalian baru berangkat ke Al-Maghreb."
"Lho, Mas Anwar nggak ikut, entar?"
"Enggak, aku cuman nganterin kalian sampai di sini, nanti setelah kalian dijemput dari transit, besoknya aku udah harus pulang ke Indonesia"
"Hah? Koq cepet banget??" Mira tampak amat terkejut.
"Ya, namanya juga kan kerjaan, Mir, bukan liburan. Oh ya, kita udah dijemput di deket gerbang kedatangan, yuk, ntar kasihan sopirnya nunggu lama"
Mereka pun segera menuju ke sebuah mobil wagon mewah yang sudah menunggu di parkiran bagian kedatangan. Setelah si Anwar agak berbicara cas cis cus dengan sopirnya, mereka semua pun masuk dan mobil pun mulai melaju. Sepanjang jalan, ketiga gadis ini tampak memperhatikan jalanan yang terlihat begitu berbeda dengan yang pernah mereka lihat di Indonesia. Wajar, ini adalah pertama kalinya mereka keluar negeri. Segalanya jadi terasa asing.
"Arab ternyata ada kota juga ya, Mbak, Tika kirain cuman ada unta ama padang pasir doang" kata Tika polos
"Ya ada lah, emangnya zaman dulu, padang pasir thok" jawab Syifa.
"Habis kayaknya orang2 kalau cerita gitu sih" kata Tika
"Emang yang ngomong pernah pada ke Arab?"
"Hehehe, nggak tau, Mbak"
Pada saat itu memang Syifa dan Tika duduk bersebelahan, sementara di belakang mereka, Anwar dan Mira. Syifa tampaknya lebih fokus mendengarkan yang dibicarakan oleh Anwar dan Mira daripada melihat situasi di luar.
"Emangnya kenapa, Mas?" tanya Mira.
"Diem2 aja tapi ya, Mir, tapi aku nggak gitu suka kalau kalian masuk ke sana" jawab Anwar.
"Lha iya kenapa, apa alasannya, Mas?"
"Aku udah ngecek dokumen di Balai, Mir, tapi masalahe nggak ada catetan soal orang2 yang dikirim ke sono pernah balik. Padahal kan waktu balik ke Indonesia kudu lapor dulu ke Balai buat semua TKI atau TKW supaya dijadiin catatan"
"Ya mungkin pas mereka balik langsung balik aja kali, Mas, nggak pake lapor dulu"
"Nggak mungkin lah, kan ada barang2 pribadi yang dititip ke Balai, masa nggak diambil"
"Barang pribadi macem apa, Mas?"
"Ya salah satunya hape"
"Heh? Hape ntar dibawa pulang ke Balai?"
"Iya, makanya itu"
"Lha terus kalau kita mau pulang gimana?"
"Ada prosedurnya, kudu ngehubungin employer, nanti dari employer dihubungkan ke kita, ntar kita yang ngurus prosedur kepulangan ke Indonesia"
"Ih, koq aneh banget sih, Mas"
"Aku juga nggak tahu, Mir, makanya aku khawatir, soalnya aku ngecek gak ada sama sekali yang pulang. Itu barang2 malah ampe numpuk di gudang, nggak tahu mau diapain"
"Aku koq jadi ngeri ya, Mas, tapi mau gimana lagi? Kita pulang pun juga nggak ada apa2 di sono. Mending kalau ada kesempatan di sini, bisa cari uang, gak papa deh, gak pulang juga"
Anwar hanya mendengus saja. Mereka terdiam sejenak.
"Oh ya, Mas Anwar sering ya ke Arab gini?"
"Nggak sih, yang pertama malahan ini, kayaknya juga yang terakhir"
"Lho, koq bisa?"
"Kontrakku mau abis 3 bulan lagi, kayaknya sih aku nggak bakal perpanjang, mau cari kerjaan lain aja"
"Yah, kita nggak bisa ketemu lagi dong, Mas"
"Kalau emang jodoh, pasti bisa ketemu lagi, Mir, semoga aja"
Diam2, Mira menyelipkan tangannya pada tangan Anwar. Melihat itu, Anwar agak terkejut, namun bukannya menarik tangannya, dia justru menggenggam jari2 Mira. Bagi Mira, genggaman itu entah kenapa membuatnya merasa aman, bukan seperti genggaman para lelaki yang selama ini selalu mendekatinya atas nama napsu.
Tanpa terasa mereka sudah keluar dari pusat kota menuju ke daerah kota di sebelah barat yang lebih kurang riuh. Di sana ada sebuah kompleks semacam bangunan dengan ciri arsitektur Arab modern dan dipagari oleh tembok tinggi. Syifa agak tertegun, karena selain melihat bendera Uni Emirat Arab dan Keemiran Abu Dhabi, juga ada semacam panji khusus berwarna merah dan hitam, namun dengan lambang elang yang mencengkeram sepucuk senapan.
"Kenapa, Mbak?" tanya Tika.
"Benderanya"
"Benderanya kenapa?"
"Nggak papa, beda aja"
Tapi mereka tak bisa lama2 memandangi bendera, karena di dalam mereka sudah disuruh untuk masuk ke dalam bangunan. Di dalam kompleks bangunan itu, ada orang2 berjaga di hampir setiap sudut, dan masing2 membawa senjata. Semuanya tampak membawa janbiya, pisau khas Arab, dan beberapa bahkan dilengkapi oleh pedang semacam shamshir atau scimitar, di samping beberapa orang yang membawa pistol atau senapan otomatis jenis FN FAL. Semua orang tampak menatap kedatangan mereka dengan bengis. Saking takutnya, Tika sampai memegang lengan Syifa, dan Mira bahkan selain lengan Syifa, juga menggamit lengan Anwar.
Mereka masuk ke dalam ruangan besar di dalam bangunan, di mana seseorang tampak menyambut mereka. Dari tampangnya jelas dia orang Arab, berkulit gelap dan berjenggot lebat serta memakai pakaian semacam safari warna hitam dengan baret di kepala.
"My name is Hameed. I will be in charge in lodging you here before taking all of you to Al-Maghreb. Now, mention your name"
"S-Syifa, Sir" dia menunjuk ke Syifa.
"T-Tika"
"M-Mira..."
Tiba2 Hameed memukul tangan Mira yang masih menggamit lengan Anwar menggunakan tongkat lentur yang dibawanya. Mira menjerit kesakitan dan melepaskan pegangannya.
"No touching men except my Masters, unless they gave you permission, you understand?"
"Y-Yes, Sir..." kata Mira sambil mengelus2 tangannya yang baru dipukul itu.
Dia menatap Mira dengan bengis, membuat Mira beringsut ke arah Syifa.
"I'm terribly sorry, Sir, they just don't use to the rule here" kata Anwar.
"I'll let it pass for this time. This is not my first time see this from you people. Perhaps your country is quite liberal, you're free to touch whoever you like. But not here. Here, you all have rules to follow"
Semua pun diam. Hameed kemudian menunjukkan sebuah lukisan besar seseorang yang tampak terhormat dengan baju kebesaran khas Arab, lengkap dengan menyandang janbiya dan memegang samshir.
"This is Sheikh Hamzah bin Ghaffar al-Maghribi, he is the 4th generation of lords from the House of Maghreb. Now, the House of Maghreb is an honorable House. His grandfather once play a vital role in Arab Revolt, by marching with Faisal bin Hussein to conquer Damascus from the Turks. His father also helped Sheikh Zayed bin Sultan al-Nahyan to ascend to the throne of the Emirates of Abu Dhabi. Therefore, for you, to serve the family of Al-Maghribi, is not just a job, but an honor. I will not let you besmirched the name of the family. Do you understand?"
"Yes, Sir..." kata semuanya serempak.
"Okay, now you three must go to the next room for medical check up, starting from you, Mira"
Mira mengangguk, kemudian mengikuti ke arah yang ditunjukkan oleh Hameed. Tidak lama kemudian, Tika yang ganti disuruh untuk masuk ke dalam, meninggalkan Syifa hanya bersama Anwar saja. Syifa tampak melihat sebuah emblem besar keluarga Al-Maghreb, elang Arab yang mencengkeram sepucuk senapan, seperti yang dia lihat di panji di luar.
"Anything interesting, Miss Syifa?" tanya Hameed.
"The emblem"
"What about it?"
"Why holding a gun? Not sword, or knife?"
Hameed mengernyitkan dahi, kemudian dia berjalan memutari Syifa dari jarak dekat sambil melihatnya. Syifa tahu pandangan itu, dia sudah sering melihatnya dari seorang pria.
"Unlike any other Arabs royalties, our master, Sheikh Al-Maghribi, believe in the value of firearms over traditional edged-weaponry. The old master once said that sword is held only for nostalgic, ceremonial, and historical purpose, and serve a very little practical use in the real battlefield. That's why the first Sheikh of Al-Maghribi use rifle as his personal emblem"
Syifa hanya mengangguk saja. Hameed lalu meletakkan ujung tongkatnya ke dagu Syifa, kemudian mengangkatnya sehingga pandangan mata mereka bertemu.
"I know there's something different about you. You are beautiful, very beautiful, indeed, but also smart. Beauty could take you higher there, but smart..."
Hameed menggeleng2kan kepalanya pelan sambil berdecak.
"No place for smart person in your destination ahead, Miss. Only loyalty, and skill to serve your master"
Tongkat itu pun dilepaskan dari dagu Syifa, dan Hameed tersenyum, sambil memberikan tatapan mata keserakahan.
"But who knows, you might be able found your way to the top. Pity that you've been selected by my master. Now it's your turn to go inside"
Hameed menunjuk ke arah pintu yang tadi sudah dilewati oleh Mira dan Tika. Syifa menatap sejenak ke arah Anwar, yang memberinya kode supaya mengikuti kata Hameed. Syifa mengangguk kemudian berjalan ke ruangan sebelah. Di sana ternyata ada semacam klinik, namun pekerjanya adalah wanita2 berbaju putih, dan untuk kali ini benar2 diadakan pemeriksaan fisik. Walau tetap diharuskan untuk telanjang, tapi tak ada pemeriksaan semi-cabul seperti di Balai, dan lagi pula yang memeriksa adalah wanita semua. Selain cek fisik, juga ada tes darah, alergi, rambut, dan penyakit atau kelainan pada alat kelamin.
Syifa akhirnya bertemu dengan Mira dan Tika setelah tes terakhir di sebuah ruangan. Bedanya, mereka tidak diharuskan telanjang, namun memakai semacam gaun yang biasa digunakan bagi pasien rumah sakit.
"Kalian tadi diapa2in?" tanya Syifa
Mereka menggeleng.
"Biasa aja sih, Syif, nggak kayak pas di Balai" kata Mira.
"Iya, katanya kita disuruh nunggu di sini buat hasilnya, Mbak" tambah Tika.
Syifa hanya mengangguk, lalu duduk di dekat mereka berdua.
"Aku koq kepikiran katanya Mas Anwar ya"
"Emang Mas Anwar bilang apa?" Syifa berpura2 tak tahu yang telah dia curi dengar di mobil.
"Dia nyuruh kita buat nggak usah ngambil kerjaan di sini, soalnya yang pada ke sini katanya nggak pernah kecatet pulang ke Indonesia"
"Pada kerasan kali di sini"
"Ya nggak tahu ya, tapi aku kan jadi kepikiran, Syif"
"Udahlah, kita ke sini kan nyari penghidupan. Lagian kalau kita pulang pun mau ke mana coba? Emang kita punya ijazah atau sertifikat buat nyari kerja? Ada juga balik kita malah jadi lonte"
"Tapi gimana kalau di sini kita malah dijadiin lonte juga, makanya nggak boleh pulang2"
"Ya nggak papa, paling gak di sini bayarannya lebih gede. Sama2 jadi lonte ini"
"Dasar kamu, Syif, ngomongnya"
"Lha mau gimana lagi? Aku udah ngalamin semuanya, jadi kalau misal beneran jadi lonte ya udah, sama aja, paling nggak dibayarnya pake emas atau dolar, malah bisa sugih aku di sini, jadi nggak perlu balik"
Mira hanya mencibir perkataan Syifa ini.
"Tapi Tika malah jadi takut beneran, Mbak" kata Tika.
"Takut kenapa?" jawab Syifa.
"Tika kan belum pernah ngalamin kayak gituan, Mbak"
"Halah, Tik, sama aja kayak pas perawanmu jebol. Awalnya susah dan berat, ntar lama2 juga lancar dan menikmati"
"Ih, Mbak Syifa ki porno omongane"
"Biarin, lha daripada kalian ntar pada spaneng di sini"
Semuanya tertawa sejenak. Ya, memang tak ada gunanya mengkhawatirkan banyak hal kalau di kampung halaman pun orang2 seperti mereka tidak diterima. Tak berapa lama, seorang suster yang memakai masker masuk dan mengumumkan bahwa hasil pemeriksaan fisik mereka baik semua dan tidak ditemukan adanya masalah atau kelainan. Suster itu lalu mengarahkan mereka ke ruangan berikutnya.
Dalam ruangan ini, mereka disuruh tidur di masing2 semacam ranjang untuk perawatan. Ternyata di sini mereka menjalani prosedur semacam suntik antibiotik macam2, serta wax untuk menghilangkan rambut2 berlebih pada badan. Otomatis ini membuat Mira, yang memang memiliki bulu kemaluan lebat, menjadi agak panik, begitu pula Tika, yang memang ini pengalaman pertamanya, padahal bulu kemaluannya tak terlalu banyak. Hanya Syifa yang tak begitu panik, karena ini memang bukan pengalaman pertamanya melakukan waxing.
Setelah selesai semuanya, mereka pun mengenakan pakaian, diberikan kembali barang2, kemudian digiring ke sebuah kamar di lantai dua bangunan. Kamar itu luas dan memiliki sekitar 5 tempat tidur susun. Mungkin dulu pernah untuk menampung orang sebanyak ini, hanya saja minim dengan hiasan selain lampu gantung khas Arab dan wadah dupa yang memberi aroma wangi pada ruangan. Mira langsung duduk di salah satu ranjang asal pilih saja.
"Duh, sakit banget tadi waxing-nya. Memekku masih cenat-cenut" kata Mira.
"Iya, Mbak, aku juga, padahal udah tipis koq ya masih mau di wax" kata Tika.
"Nggak tahu deh, mintanya yang mulus kali, padahal orang Arab kan bulunya banyak ya? Tapi kamu koq bisa tenang2 aja sih, Syif?"
"Aku sih udah pernah dulu di panti," kata Syifa, "tiap 2 minggu sekali kan disuruh waxing, nggak boleh pakai pisau cukur, soalnya ntar tumbuhnya panjang2, pelanggan nggak suka, katanya. Awalnya ya panik kayak kalian"
"Berarti Mbak Syifa ini yang paling pengalaman ya ngentotnya?"
"Bukan, lebih seringan Mira malahan kalau soal ngentot"
"Aku itu ngentot ama orang cuman buat fun doang, kalau Syifa kan buat nyari duit"
Syifa hanya mengangkat bahunya.
"Ya kalau aku sih kayak gitu emang cuman kalau buat perlu doang. Rugi aku kalau gituan ama cowok nggak ada hasilnya"
"Kamu nyindir aku, Syif?" tanya Mira.
"Nggak lah, kamu kan emang yang dicari kenikmatannya. Kalau aku sih selain kenikmatan ya duit juga" tukas Syifa sambil memeletkan lidahnya.
"Huu, awas ya kamu. Eh, omong2 Mas Anwar ke mana ya?"
"Ciee, nyariin Mas Anwar. Suka ya? Ganteng sih, emang"
"Ah, enggak, siapa yang suka, dasar kamu"
"Tapi emang ganteng koq, Mbak, Tika aja suka. Kalau Mas Anwar nembak Tika juga pasti Tika bakal mau"
"Heh! Anak kecil mau ngikut2 aja urusan orang gede!" kata Mira.
"Ciee, marah ya. Ya udah, liat aja, ntar siapa dari kita yang bisa dapetin Mas Anwar"
"Curang, malah ikut2an! Mana bisa aku kalau saingan ama kamu, huuu, dasar"
Mira langsung melemparkan bantal ke Syifa, yang dengan tangkas menghindarinya. Mereka lalu tertawa, namun tak lama, karena pintu diketuk dari luar.
"Siapa?" tanya Mira.
"Aku Anwar"
"Cieee, panjang umur tuh, baru aja diomongin" kata Syifa.
"Iih, mulutnya itu lho!"
"Udah, cepetan buka, kasihan, kering ntar Mas Anwar-nya nungguin"
Mira buru2 menuju ke pintu. Sebelum membukanya, dia merapikan dulu jilbabnya agar terlihat cantik. Dengan senyum lebar, dia membuka pintunya, namun seketika itu pula senyum itu menghilang, karena Anwar datang bersama dengan Hameed.
"Tenang, Mr. Hameed cuman minta aku bilang supaya kalian semua sampai diberangkatkan ke Al-Maghreb nanti malam, nggak boleh ke mana2. Keluar kamar boleh, tapi nggak boleh keluar dari lantai ini"
"Waduh, koq ketat banget gitu ya, Mas?"
"Instruksi dari Mr. Hameed ini, dan bukan dia juga yang bikin aturannya. Ntar Mr. Hameed juga bakal langsung ngejagain lantai ini supaya nggak kejadian apa2"
Hameed tersenyum saja, dan dia tampak mengerlingkan mata pada Syifa.
"Ada yang mau ditanyakan?"
Syifa melihat ke arah Mira yang tampaknya menjadi agak murung.
"Eh, Mas, turumu nang ngendi?" tanya Syifa tiba2, dalam bahasa Jawa.
"Yo nang kene, ning kamare cedek ondo, sebelahe Hameed"
"Mengko arep dolan nang nggonmu kena?"
"Eh O..."
Syifa memberi isyarat dengan jari, dan Anwar langsung diam, hanya mengangguk saja. Hameed tampak agak bingung dengan yang mereka bicarakan.
"What is she talking to you?"
"Oh, she's just asking when do they have to go to Al-Maghreb"
"She can just asked that in English"
"I'm sorry, we both from Java, and we often talk Javanese on each other"
"Next time, I don't want any other language I don't know. I know some Indonesian words, so I can take it, but that's it, no more"
"Okay, so will you give them the time?"
"Right, you all will be going at 3am"
"Jam piro, Mas?" tanya Syifa
"Jam sewelas, Dik"
Anwar memberikan tanda jempol dan Hameed manggut2 saja, mengira bahwa Anwar sudah menerjemahkan perkataannya dengan baik.
"Ya sudah, be careful aja yah, itu pesan saya. Nanti kita ketemu lagi 'sebelum' kalian berangkat. Barang2 pribadi tolong disiapkan"
"Iya, Mas" kata mereka bertiga serentak.
Anwar dan Hameed pun kemudian permisi, dengan Hameed terlebih dahulu keluar ruangan, sambil memberikan senyum dan lirikan mencurigakan pada Syifa, yang mengantar mereka. Saat Anwar akan keluar dari ambang pintu...
"Kowe meh apa?" tanya Anwar lirih.
"Wis, pokoke Mas Anwar tunggu ae"
Syifa langsung menutup pintu sebelum Hameed curiga bahwa ada pembicaraan rahasia yang sedang berlangsung. Tika dan Mira langsung saja menghampiri Syifa, karena tak paham dengan apa yang terjadi.
"Maksudmu apaan sih, Syif, koq ngomong gitu ama Mas Anwar tadi?" tanya Mira.
"Udah, tenang aja. Kamu mau ketemu ama Mas Anwar gak, buat yang terakhir kali?"
"Gimana caranya, kan lantai ini dijagain ama Hameed?"
"Ntar liat aja kalau udah waktunya. Tika, kamu mau ikut bantuin gak, ntar?"
"Takut, Mbak" jawab Tika.
"Ya nggak ikut juga gak papa, Tik"
"Tapi Tika pengen ngebantuin, Mbak"
"Yakin?"
Tika mengangguk.
"Ya udah kalau yakin, tapi jangan mundur ya. Sekarang kalian istirahat deh"