ilustrasi Ratih menggunakan gaun tidur warna pink
Raka Priambudi Gemilang aka Raka
Pov 3rd
Sejak Ratih memakai gaun tidur tersebut, kini seakan ia berada di alam kematian, semua arwah yang mati di rumah ini kini satu persatu menampakkan wujud nya.
"KUSNO....".
Tapi, untuk sejenak, Ratih tidak dapat bergerak pergi dari dapur. Bulu kuduk semakin merinding ketika disadari, bahwa bukan hanya Kusno yang terlihat di taman, tetapi ada lagi seseorang yang ia kenal, yaitu
Maman, bekas pembantu di rumah ini yang mati dalam keadaan gantung diri.
Ratih mengedip-gedipkan mata, tetapi mata nya tetap memandang sosok
Maman yang sedang memunguti daun-daun kering. Tangan kiri
Maman memegang tempat sampah plastik bertangkai, sedangkan tangan kanan nya memegang sepotong besi berujung tajam.
Ujung besi itulah yang dipakai untuk menusuk daun-daun kering kemudian dimasukkan ke dalam tempat sampah plastik.
Sama seperti hal nya
Kusno,
Maman juga tidak menghiraukan curahan air hujan. Sorot lampu taman yang ada dibawah rimbunan pohon cemara menampakkan betul wajah
Maman yang dulu di kenal Ratih. Mulut nya juga menyebut nama pemuda itu dengan lirih, nyaris tidak dapat di ucapkan nya.
Dan yang lebih membuat nya shock adalah pemandangan diantara batu-batu karang hias.
Disana tampak
Yuli sedang asyik bermain dengan
Pak Gani.
Yuli tertawa-tawa tanpa suara memperlihatkan sebatang ranting kepada
Pak Gani. Mereka berdua juga seperti nya tidak merasakan guyuran air hujan.
"Yuli....!", kali ini Ratih sempat berseru memanggil gadis kecil itu, kendati dengan suara yang pelan.
Namun, seperti nya seruan nya yang bercampur curahan air hujan itu sempat di dengar oleh mereka.
Maman, Kusno, Pak Gani, dan Yuli... Orang-orang yang telah meninggal dunia itu secara bersamaan mendongak memandang Ratih.
Spontan seluruh tubuh nya merinding mendapat tatapan mata dari mereka. Wajah-wajah pucat pasi itu kini memperlihatkan kengerian nya.
Bibir-bibir mereka membiru, pandangan mata kosong, mereka serempak bergerak perlahan mendekati Ratih.
Langkah-langkah kaki mereka kaku seperti robot, namun gerakan nya jelas mempunyai maksud tertentu.
Mereka berempat seperti menyimpan dendam kepada Ratih.
Maman mengacungkan besi penusuk daun kering, seakan ingin dihujamkan ke tubuh gadis itu.
Kusno menggenggam erat-erat pisau yang dipakai meruncingi bambu.
Pak Gani menggenggam batu.
Dan
Yuli membawa ranting kering yang tajam ujung nya.
Ratih sangat tegang dan mulai ketakutan sekali. Mereka berjarak antara 25 meter dari dapur.
Selangkah demi selangkah mereka maju dengan mata kosong, tertuju pada Ratih. Dengan susah payah, ia berusaha keluar dari cekaman rasa takut yang membuat nya kaku.
"Tidak....!", seru Ratih, ia berhasil melangkah mundur.
"Ja...Ja...Jangan", Ratih berbicara dengan suara tergagap-gagap ketakutan. "Aku tidak mau ikut kalian! Pergi!!".
Raka sempat mendengar teriakan Ratih, firasat nya mengatakan, telah terjadi sesuatu pada diri gadis yang tengah dilamunkan nya dari tadi.
Segera ia berlari ke dapur dan menemukan gadis itu dengan wajah ketakutan.
"Ratih...?! Ada apa...?!".
Raka menjadi tegang melihat mata Ratih mendelik menyeramkan. Gadis itu berusaha memegang lengan Raka kuat-kuat seraya menunjuk-nunjuk ke arah taman.
Raka masih dalam kebingungan.
"Ada apa sih....?!".
Ratih ketakutan sekali, nafas nya tidak beraturan dan muka nya jadi pucat seputih kapas.
"Mereka.....!", Ratih tampak sulit berkata-kata.
"Mereka siapa?".
"Orang....Orang itu....!".
Raka memandang ke arah taman, ia tetap merasa heran, ia tidak tahu mengapa gadis itu amat ketakutan sedangkan di taman itu ia tidak melihat apa-apa, kecuali hujan, tidak ada apa-apa di sana.
"Mereka, Raka....?! Mereka makin mendekat kemari....! Mereka ingin membunuh ku....!".
"Ah, kamu mulai ngaco, Ratih. Tidak ada siapa-siapa di taman itu. Hanya ada hujan".
Sekali lagi Raka memandang ke arah taman,
Benar. Tidak ada siapa-siapa.
Ratih terengah-engah dan menggenggam lengan Raka kuat-kuat.
"Tolong, tolong aku....! Mereka sebentar lagi mendekati kita....! Tolong, Raka.....!".
"Kamu stress, Ratih.....", kata Raka sambil membimbing gadis itu meninggalkan dapur.
Raka menuntun Ratih. Kaki nya terasa tidak bisa digerakkan lagi, seakan tidak mampu untuk melangkah sehingga akhirnya pemuda itu menggendong Ratih ke kamar nya.
Wajah Ratih masih terlihat tegang memandang sekeliling dengan liar. Raka ikut terharu menyaksikan gadis secantik Ratih gemetaran tubuh nya seperti sedang ketakutan.
Raka membaringkan Ratih di ranjang, mengusap-usap rambut nya sambil membujuk nya.
"Tenang.....! Tenang, Ratih. Kamu sudah berada di kamar mu sendiri.... Kamu ada bersama ku, Tih...".
Nafas Ratih tersendat-sendat. Ia mengap-mengap bak seorang yang menjelang ajal. Raka pun terlihat sedih menyaksikan hal itu.
"Raka...Tolong aku....", ucap Ratih bagai hendak kehilangan nyawa.
Raka manggut-manggut, dia berusaha menenangkan Ratih,
"Ya, aku pasti menolong mu, Tih....".
"Tutup....Tutup pintu kamar....Tolong, Raka....".
Raka mengikuti permintaan gadis itu yang bagai orang dalam keadaan sekarat. Lalu, ia segera kembali lagi menemui Ratih.
"Sudah. Sudah ku tutup pintu kamar ini. Sekarang kamu aman, Ratih".
Mata Ratih bergerak-gerak liar. Bahkan kini ia bangkit dari rebahan nya. Ia sembunyi di belakang Raka, ketika dilihat nya pintu kamar tidur nya terbuka sendiri.
"Raka...Mereka membuka pintu....! Itu....Itu lihat.....!".
"Ah, pintu itu masih tertutup, Tih. Kamu jangan mengada-ada!".
Raka sempat kesal, pasalnya ia melihat pintu dalam keadaan tertutup rapat.
Tapi, seperti nya Ratih masih ketakutan. Bahkan amat ketakutan. Gerakan nya lebih cenderung menyerupai gerakan orang yang sudah tidak waras lagi. Ia menyingkir ke sudut, mengambil bantal seperti ingin menahan suatu serangan.
"Mereka muncul.....!", seru gadis itu lagi.
Raka kaget dan berpaling ke pintu, tapi pintu kamar tetap tertutup rapat-rapat. Aneh, pikir Raka.
"Mengapa Ratih sampai ketakutan begitu?".
"Mereka mendekat, Raka....Oh, tolong aku....". Suara Ratih sudah tidak sejelas tadi.
"Itu....
Kusno masuk...
Kusno membawa pisau, dan....Lihat, Raka. Lihat..., ada
Maman di belakang nya....Usir mereka. Usir mereka, Raka!".
"Ratih.....Sadarlah, ini di kamar mu. Tidak ada apa-apa di sini!".
"Tapi....Tapi...Tapi itu lihatlah!
Yuli dan..... Oh,
Yuli dan
Pak Gani mulai menyusul. Usir dia, Raka. Tolong lah aku!".
Raka sangat kebingungan. Ia tidak tahu apa yang harus diusir, sebab ia tidak melihat siapa pun di pintu. Raka jadi terbengong sesaat.
Ratih semakin takut.
"Raka....!", seru nya dengan lontaran kata yang serak.
"
Kusno mendekati ranjang.....! Oh, tidak! Jangan sentuh aku!".
Dalam pandangan mata Ratih, ia melihat
Kusno mulai mendekati ranjang, sementara
Maman dengan wajah nya yang putih pucat pasi juga ikut mendekati ranjang perlahan-lahan sekali.
Ratih menangis dalam ketakutan. Ia menutup wajah nya dengan bantal. Ia amat histeris, sehingga Raka berkesimpulan, pasti ada sesuatu yang dapat dilihat Ratih, namun tidak dapat di lihat oleh nya.
Lalu, Raka ingat sebuah barang yang selalu ada dalam kantong nya, terutama sejak ia merasakan ada ketidakberesan di rumah itu.
Barang itu berupa taring babi hutan, pemberian seorang kenalan nya ketika ia berada di pedalaman Kalimantan.
Raka memandang ke arah pintu yang masih tertutup. Lalu, ia melemparkan taring babi hutan ke atas kasur.
Ia menunggu reaksi, kendati Raka sebenarnya tidak tahu, apakah taring babi hutan itu telah berhasil mengusir bayangan mengerikan yang dilihat Ratih, atau tidak.
Raka sendiri berdebar-debar. Masih dalam kebingungan. Tangis Ratih masih terdengar tersendat-sendat karena nafas nya yang terputus-putus itu.
"Mereka telah pergi....", Raka mencoba meyakinkan Ratih, karena konon taring babi hutan yang berukuran setengah jengkal itu mampu mengusir roh jahat.
Apakah hal itu benar?
Hanya Ratih yang bisa mengetahui saat itu. Tapi Ratih tetap menangis dan tidak berani memandang ke arah pintu.
Bersambung......