Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Finding Oshi [TAMAT]

Bimabet
suhu gw saranin mending julie jangan di masukin nanti bisa kena warning lu... doi msh 17 soalnya bukannya di forum ini harus 18 ya ya...
 
suhu gw saranin mending julie jangan di masukin nanti bisa kena warning lu... doi msh 17 soalnya bukannya di forum ini harus 18 ya ya...


17 atau 18 sih batasnya itu?







Update berikutnya nanti malem (itupun kalo udah ada next page)
 
:pandaketawa::pandaketawa::pandaketawa:
2b8aa01000349364.jpg
 
Part 21: STM (TTM Hari Kedua / TTM 2.0)

STM = Sekolah Teknik Menengah? Jelas bukan lah.
STM = Susu Telor Madu? Jahe nya kok ilang.
Trus apa dong?
Terserah sih. Mau,..

STM = Sahabat Tapi Mesra. Boleh.
STM = Sahabat Tapi Mau. Juga Gapapa.
STM = Shania Terlalu Manis. Terserah kalian lah.
STM = Shani Tuh Manusia? Bukan dong, Shani Tuh Malaikat!

Kok malah jadi kemana-mana ya.

STM = Stefi Telat Men- ASHEB-*?]*?=([:*SIEHUK+~$%@!BSAK

Orangnya lagi di Jepang (RL).
Kapan pulang sih?
Betah banget disana.
Pulang kenapa.
Gak tahu apa, yang disini kangen berat.
Kangen woi, KANGEN!!!

(Ini kapan mulainya?)

Oh iya. Kelupaan.
Ya udah.
Bersedia...
Siap..
Mulai.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Kan, nih anak pasti telat lagi" gumamku pada diri sendiri saat menunggu Shania.

Ya, dia masih meminta ku untuk menemaninya jalan-jalan lagi pagi ini. Padahal nanti siang dia harus sudah berada di event Circus. Bikin repot lagi kan.

Akhirnya dateng juga, batinku saat melihat mobil yang melaju ke arahku.

Sebenarnya aku hanya menebak saja, belum tentu yang ada di dalam mobil itu Shania.
Saat mobil itu berhenti dan seseorang keluar, ternyata tebakanku benar. Itu Shania.

1536781536496.jpg


"Sorry, lama ya" kata Shania meminta maaf.

"Banget. Tuh liat, rambut gue sampe ubanan" balasku bercanda.

"Yee, bukannya itu lo warnain sendiri. Lagian ngewarnain nanggung banget gitu"

Oh, iya. Shania belum tahu warna rambutku yang asli ya.

"Emang lo dateng dari jam berapa?" tanyanya kemudian.

"Setengah 7 kurang" balasku.

"Pagi banget, lo gak,.."

"Enggak, gue tadi gak mandi" jawabku memotong perkataannya.

"Jorok!" ledeknya.

"Emang lo mandi?" tanyaku balik.

"Ya mandi lah" jawabnya.

"Mau renang kok mandi, Shan Shan" kataku heran.

"S-soalnya gue mau keliatan cantik di depan lo" katanya pelan.

"Udah lah, ayo" ajakku tanpa menanggapi perkataannya.

"Ini dimana sih? Gue kan minta renang" tanyanya.

"Ya, nanti renang dibawah sana" balasku.

"Lho, bukan di kolam renang?" tanyanya lagi.

"Enak disini, air nya jernih.." jawabku.

Shania memandangku kagum seperti tertarik dengan tempat yang kupilih.

"..dan murah" tambahku.

"Yee, ternyata gara-gara murahnya ya" tuduhnya.

Aku tidak menjawabnya dan hanya membalasnya dengan tersenyum.

41527331-1007249316123054-7662439032948785152-o.jpg

.
.
.
"Pelan-pelan aja, Shan. Sabar. Tadi aja keliatannya gak excited, sekarang buru-buru" kataku saat melihat Shania berjalan cepat.

"Ini bukan buru-buru, tapi kemiringan jalannya aja yang kebangetan" balas Shania sewot.

Aku hanya bisa tertawa melihatnya.
.
.
.
.
.
"Ini nama tempatnya apa sih?" tanya Shania.

"Itu ada tulisannya gede gitu" tunjukku.

"Sumber Sira?" tanyanya memastikan.

"Yap" jawabku singkat.

"Lo pernah kesini?" tanyanya.

"Iya, dulu. Sama temen-temen gue. Udah setahun yang lalu lah" jawabku.

"Ih, airnya jernih banget. Ada ikan-ikan kecil nya juga" kagumnya.

"Kan gue udah bilang. Bagus kan tempatnya" balasku.

"Dalem ga-" tanyanya padaku yang terpotong saat dia melihat ke arahku. "ADRIAN!! Lo kok ganti baju disini?" bentak Shania.

"Ya terserah gue dong. Lagian gue kan cowok" jawabku.

"Y-ya, t-tapi kan-"

"Soal dalem apa enggak, ya,... ada yang dalem, ada yang enggak. Nanti gue periksain buat lo" kataku yang sudah berganti pakaian, menaruh barang-barang dengan rapi dan melepas sepatu, aku langsung melompat ke dalam air.

Byuurr....

"Enak, Shan. Gak dingin kok. Ayo" ajakku.

"Bentar, gue ganti baju dulu" balasnya.

"Disana ada kamar mandi" tunjukku. "Tapi siapin uang kecil" tambahku.

"Berapa?" tanyanya.

"Palingan seribu dua ribu. Kalo lo gak punya, coba periksa kantong celana gue, kayaknya ada uang kembalian sisa kemaren" balasku.

"Oh, oke" jawabnya kemudian berlalu kearah kamar mandi yang tadi kutunjuk.

Aku lalu melanjutkan berenang sekalian memeriksa bagian mana yang kedalamannya cukup dalam.
.
.
.
.
.
"Adrian" panggil Shania dari arah tangga saat aku sedang memeriksa kedalaman air.

"Iya. Bentar, Shan" balasku. "Yang disini dalem, Shan. Ini aja gue jinjit" kataku memberitahunya.

"Cepetan sini" panggilnya lagi.

"Ada apa?" tanyaku.

"Cepetan!" pintanya.

"Ya udah iya" balasku sambil berenang ke arahnya.

"Cepetan kok!!" pintanya lagi.

"Bentar, ada apa sih?" tanyaku saat aku sudah berada di dekatnya.

"G-gue.." Shania seperti ragu untuk melanjutkan perkataannya.

"Lo kenapa?" tanyaku lagi.

Shania tidak menjawab, dia malah menarik tanganku untuk mendekat ke arahnya. Dia kemudian membisikkan sesuatu di telingaku.

"Serius lo?" tanyaku.

Shania hanya mengangguk.

"Terus gimana? Mau udahan aja? Lo gak jadi nyebur?" tanyaku lagi.

Shania kali ini menggeleng cepat.

"Tapi nanti kelihatan ya" kata Shania.

"Mungkin. Lagian salah lo sendiri kenapa gak bawa dalem-"

Shania langsung membungkam mulutku dengan tangannya.

"Jangan di omongin keras-keras. Malu" kata Shania.

Aku langsung menarik tangannya agar membuka bungkamannya.

"Malu kenapa? Pengunjungnya juga baru kita berdua" balasku.

41440972-1007249352789717-3757956453965496320-o.jpg


Shania hanya diam.

"Sekarang gini aja, lo mau nyebur apa enggak?" tanyaku.

Shania tidak menjawab, hanya diam termenung.
Itu membuatku sedikit kesal dan akhirnya aku mencipratkan air padanya.

"Adrian!!" teriaknya.

"Kenapa sih? Udah basah kan. Ya udah, sekalian aja nyebur" kataku.

"Tapi nanti,.." Shania tidak melanjutkan kata-katanya.

"Emang siapa yang mau liat? Kan cuma ada gue" kataku sambil bersiap untuk mulai berenang lagi.

"J-justru itu"

"Halah, Shan. Udah pernah gue liat semua aja pake malu" kataku sambil menyipratkan air lagi. Kali ini cukup banyak.

"Adrian!!" Shania berteriak lagi.

"Kalo mau bales, ke sini dong" kataku menantangnya sambil perlahan menjauh ke tengah.

Shania memandangku dengan tatapan kesal. Ya, itu bukan salahnya. Semua orang pada dasarnya memang tidak mau diremehkan.

Shania berbalik, dia menaiki tangga.
Aku tidak tahu apa yang direncanakannya tapi,..

"Shan, jangan lompat ke arah gue" teriakku memperingatkannya.

Shania langsung menghentikan ancang-ancangnya untuk melompat setelah mendengar teriakanku.

"Lo pikir sekarang gue ngapain?" tanyaku. "Gue ini lagi duduk" kataku menjawab pertanyaanku sendiri. "Nih, lo liat" kataku lalu berdiri di batu yang tadi ku duduki. "Cuma sedengkul gue" tambahku.

Shania hanya bengong dengan mulut terbuka.

"Kalo mau lompat, disana aja. Sama kayak gue tadi" kataku sambil menunjuk ke titik dimana tadi aku melompat.

Shania masih saja bengong.

"Oi, Shan" teriakku lagi.

"Hah! Oh, i-iya. Makasih" kata Shania seperti orang bingung.

Shania lalu mundur untuk mengambil ancang-ancang melompat ke arah yang ku tunjuk tadi.

Byuurr....

Melihat Shania sudah masuk air, aku berenang mendekat ke arahnya.

"Hah.. hah..." Shania terengah-engah mengambil nafas.

"Ati-ati, Shan. Batunya agak kasar, dulunya sih ada taneman air nya. Mungkin sekarang udah dipangkas" kataku saat sudah berada di dekatnya.

Shania hanya diam tidak menanggapi perkataanku.

"Oi, Shan. Hari ini lo kok kebanyakan bengong sih?" tanyaku menyadarkannya.

"Eh, gak. Itu,.. anu.."

"Apa? Ngomong aja" kataku.

"Kalo diperhatiin, badan lo gak kurus-kurus amat ya" katanya heran.

"Ya emang gini" balasku.

"Tapi kalo pake baju kok kayak kelihatan kurus?" tanyanya.

"Kaos gue aja yang emang kebesaran dikit" jawabku.

"Biar apa?" tanyanya lagi.

"Itu namanya style, Shan. Biar SWAG" balasku seadanya.

"Sok keren lo" kata Shania.

"Gue emang keren kok" balasku.

"Adrian, gue mau jujur. Gue say-"

"Shan, balapan renang yuk. Yang sampe ke tangga itu duluan, dia yang menang" ajakku menantangnya sambil menunjuk ke arah salah satu tangga di pinggir kolam.

"B-boleh, siapa takut" balasnya.

"Oke. Siap? 1, 2,.."

Tanpa menyelesaikan hitunganku, aku berenang duluan meninggalkan Shania.

"Adriaaann!! Curang!" teriak Shania.

Saat tengah asik berenang, aku merasakan kakiku ditarik.

"Shan, lo mmppphh.."

Aku tidak bisa menyelesaikan kata-kataku karena Shania menarikku ke dalam air. Dia kemudian menarik tubuhku mendekat kearah nya, lalu dia menciumku dibawah air. Shania menciumku.
Entah kenapa, aku malah membalas ciumannya. Kami pun bercumbu di bawah air selama beberapa saat hingga akhirnya karena kehabisan nafas, kami pun naik ke permukaan.

"Buaaaahhh...." kami ngos-ngosan mengambil udara.

"Shan, lo.."

Belum sempat ku selesaikan kata-kataku, Shania tiba-tiba berenang ke arah tangga yang tadi kutunjuk meninggalkanku.

"Yee,.. gue menang" teriaknya kegirangan saat sudah sampai di dekat tangga.

"Curang lo" kataku tidak terima dengan kekalahanku.

"Yang curang duluan siapa coba?" katanya sambil menunjukku.

"Ya udah, gue ngaku kalah" kataku akhirnya.

"Kalo gitu, sekarang lo turutin omongan gue" katanya tiba-tiba.

"Hah? Apa'an? Kita kan gak taruhan" kataku tidak mau menurutinya.

"Heh, lo pikir gue gak tau jalan pikir lo. Kalo lo menang, lo juga bakal ngelakuin hal sama kan" katanya menuduhku.

"Mungkin" jawabku sambil sedikit memutar bola mataku.

"Nah, kan. Nah, kan" katanya dengan nada mengejek.

"Ya udah, lo mau nyuruh gue apa?" tanyaku.

"Duduk sini" perintah Shania menyuruhku untuk duduk di salah satu anak tangga.

"Sekarang apa?" tanyaku saat aku sudah duduk di salah satu anak tangga yang dia maksud.

"Sekarang lo santai aja, biar gue servis lo!" perintahnya.

"Maksud lo?" tanyaku bingung.

"Belom pernah diservice di air kan?" tanyanya dengan senyum nakal dan memegang penisku dari luar celana pendek ku.

Aku menggeleng. Tanpa banyak omong lagi Shania membuka celana pendek ku kemudian masuk ke air dan menangkap penisku dengan mulutnya.

"Uuuuhh!" erangku merasakan penisku dikulum di bawah air sana.

Lumayan lama juga Shania bisa bertahan sampai akhirnya ia mengeluarkan kepalanya dari air dengan nafas sedikit ngos-ngosan.

"Lagi?" tawarnya dengan senyum nakal.

"Boleh deh, Shan" kataku.

Shania tersenyum mengejek lalu kembali masuk ke dalam dan mengulum penisku. Kunikmati pelayanannya sambil merem-melek santai. Penisku pun kembali tenggelam di mulutnya, terasa hangat dan basah. Shania mulai menggerakan kepalanya naik turun dan bermain-main dengan kepala penisku. Lidahnya menyapu bagian bawah kepala penisku sehingga sensasi yang kurasakan sangat membius tubuh. Shania memasukan penisku lebih dalam lagi ke mulutnya. Kali ini ia di dalam air sedikit lebih lama dari sebelumnya.

Wah, kuat juga dia, batinku setelah ia muncul ke permukaan.

"Udah, Shan. Lo kayaknya udah abis nafas tuh" kataku saat melihatnya terengah-engah sambil mengambil udara.

"Beneran mau udahan?" tanyanya menggoda sambil sedikit mundur menjauh dan menarik kaos nya ke bawah hingga aku dapat melihat putingnya yang tercetak jelas dibalik kaos nya yang basah karena dia tidak memakai pakaian dalam.

Sialan! Melihat Shania berpose sexy seperti ini, membuatku tidak bisa berfikir jernih.

Aku menggerakkan dua jari ku mengisyaratkan untuk mendekat.

Secara perlahan, Shania mulai mendekat sambil tersenyum senang. Saat dia sudah berada di dekatku, aku langsung menyipratkan air padanya.

"Ehh!" dia kaget dengan reaksiku yang tiba-tiba dan seperti ingin marah.

Tapi dia mengurungkan niatnya saat melihatku turun dari tangga dan mendekat ke arahnya, Shania memejamkan matanya saat kudekatkan wajahnya.

"Lo yang nyari gara-gara duluan ya. Jadi,.. lo harus selesaiin apa yang udah lo mulai, Shan" bisikku di dekat telinganya.

Shania terbelalak mendengar perkataanku kemudian dia tersenyum yang kubalas dengan seringai 'jahat'. Kuputar tubuhnya dan ia menyandarkan punggungnya ke dadaku. Kuciumi pundak dan lehernya, tanganku meremas lembut payudara dari luar kaos nya dan menggerayangi tubuhnya. Shania memejamkan mata menikmati perlakuanku dan menggelinjang nikmat. Tangannya membelai wajahku dan tangan satunya meraih penisku. Perlahan ia mulai menggerakan tangannya dan mengocok penisku. Aku mulai terbang akan kenikmatan yang ia berikan padaku.

"Gue masukin aja ya, Shan" kataku di dekat telinganya.

"Eeemmm" ia mengangguk mengiyakan.

Aku menggerakkan tubuhnya agar sedikit menungging. Kurasakan penisku yang digenggamnya bersentuhan dengan vaginanya yang basah dan hangat dan mulai memasuki dirinya pelan-pelan. Setiap gerakan tubuhnya memberikan kenikmatan yang tak terlukiskan. Matanya setengah terpejam, mulutnya mengeluarkan desahan menggairahkan. Kami melakukannya dengan lembut agar tidak menimbulkan suara yang mencurigakan. Secara perlahan, aku bergerak maju mundur, yang dibalas oleh Shania dengan gerakan memutar sehingga penisku serasa dipijat dan dipelintir. Rintihannya memancing gairahku naik semakin tinggi sehingga kulampiaskan dengan memasukkan tanganku ke balik kaos nya untuk meremas payudaranya dan kupilin-pilin putingnya. Di tengah desahannya sesekali Shania menggumamkan namaku. Shania kemudian sedikit menegakkan badannya lalu tangannya kini memeluk leherku dan sesekali membelai pipiku. Pergumulan kami berlangsung begitu lembut dan kami saling menghayatinya. Tidak seperti saat pagi hari di rumahnya. Cukup lama juga kami berposisi seperti ini. Kulihat Shania mulai menggeleng-gelengkan kepalanya pertanda sebentar lagi ia akan klimaks.

"Uhhh... T-terus... gue mau... Ahhh...hah..." ucapnya terbata-bata karena erangannya.

Kuraih dagunya dan ia menengok ke belakang, bibir kami bertemu kembali. Penisku semakin merasakan nikmat di antara himpitan dinding vaginanya sehingga membuatku sedikit mempercepat gerakanku. Vagina Shania juga berkontraksi semakin cepat dan sesuatu yang hangat dan deras tiba-tiba menyelubungi penisku. Kusentakkan penisku kedepan hingga mentok menabrak dinding rahimnya.

"Aaahh....aaaaaaa!!" ia melepas ciuman dan mendesah sejadi-jadinya dengan tubuh menggelinjang.

Aku menggeser tubuhnya ke depan sambil tetap kudekap, aku menggerakan penisku secara perlahan, menunggu gairah Shania bangkit lagi.
Tapi secara tiba-tiba Shania menegakkan badannya dan bersandar didadaku.

"Bentar dong, Ian. Jangan digerakin dulu, masih ngilu nih" kata Shania.

Aku pun lalu beralih menciumi lehernya.

"Jangan dicupang" lirihnya pelan.

"Bodo. Biar nanti waktu lo HS, fans lo tau kelakuan idol nya kayak gimana. Biar mereka tau kalo lo itu punya gue" balasku.

"Jangan, Ian"

Tunggu,..
Apa dia sengaja?
Atau hanya keceplosan?
Barusan Shania memanggilku,..

Ian?
Shania memanggil ku dengan panggilan 'Ian' lagi?
Berarti yang tadi itu bukanlah tidak sengaja.
Tapi kenapa?

"Lain kali aja ya cupang nya, jangan sekarang. Soalnya nanti gue perform pake seifuku-" kata Shania menggantung.

Aku diam menunggu dia menyelesaikan kata-katanya.

"Udah lah, lo liat aja sendiri nanti. Pokoknya lo harus liat ya" katanya lagi.

"Harus banget?" tanyaku.

"Banget" jawabnya cepat.
.
.
.
.
.
.
.
"Cepetin kenapa sih,... shhh... ahhh..." kata Shania sambil mendesah.

"Gak bisa, Shan,.. shh.. Kalo gue cepetin bakal berisik entar.. aahh" balasku sambil tetap menggerakkan pinggul ku maju mundur secara perlahan.

Kenapa?
Iya memang iya, Shania berhasil memancing nafsuku lagi kali ini dan kami melakukannya sekali lagi. Tapi kali ini kami melakukannya ditempat yang berbeda, di bawah jembatan. Lagipula tadi aku memang belum keluar.

"Banyak.. aahhh.. alesan.. lo.. ssshh.." katanya.

Tunggu,..
Sial! Terpaksa aku harus menghentikannya sebentar,..

"Malah berh-"

Shania tidak melanjutkan kata-katanya saat menoleh ke belakang dan melihatku menaruh telunjukku di depan bibirku mengisyaratkan padanya untuk diam.

"Banyu ne jernih yo"

"Iyo. Onok iwak gatul e sisan"

"Ndelok iwak dadi luweh aku. Mangan sek, cok"

"Oh, asu"

"Lho, arep nak ndi awakmu"

"Ngeseng, su. Mules. Awakmu lak jek arep mangan seh"

"Janc*k! Telesmu nggateli cok. Yo wes ngeseng lho yo, ojok topo. Gak sabar aku pengen nyemplung"

"Iyo iyo, mesisan ganti klambi aku"

Terdengar suara orang-orang yang sepertinya baru datang.

Sial, apa gue udahin aja ya? Nanggung banget, pikirku.

Saat aku sedang berfikir, tiba-tiba Shania melepaskan diri dariku hingga penisku juga terlepas dari vaginanya. Apa mungkin dia juga berfikir untuk mengakhirinya saja.
Tapi nyatanya tidak, Shania malah berbalik badan menghadapku dan kemudian menciumku.

"Tuntasin. Keluarin aja. Cepetan" katanya saat ciuman kami terlepas.

"Tapi, Shan-"

"Ssttt,... Gak usah banyak mikir lagi" balasnya memotong perkataanku.

Shania kemudian sedikit membungkukkan badannya untuk melepaskan celananya yang sedari tadi menggantung di kakinya. Sama seperti celanaku yang juga menggantung di kakiku.
Setelah melepas celananya, Shania langsung mengangkat satu kakinya dan membimbing penisku agar masuk kembali ke dalam vaginanya. Aku juga membantunya dengan mendorong pinggul ku kedepan agar kami bisa segera menuntaskan hal ini.

"Aaahh,..." lenguh kami bersamaan.

Dan secara reflek, kami saling membungkam mulut satu sama lain dengan tangan kami.
Baru setelah sekian detik, akhirnya kami sadar.

"Apa'an sih" kata Shania.

"Hehehe" balasku cengengesan.

"Malah ketawa. Ayo, cepetan!" kata Shania sambil sedikit melompat.

Aku pun harus menangkap pantatnya agar tidak jatuh, kemudian dia memeluk belakang leherku dengan erat.

"Pokoknya kali ini lo harus keluar" kata Shania sambil menatap mataku.

Aku yang merasa tidak perlu menjawab kata-katanya pun langsung saja mulai menggerakkan pinggul ku maju mundur menggenjot vaginanya.

Aku sungguh sangat menikmati sensasi pijatan luar biasa yang diberikan vagina Shania pada penisku setiap kali aku menusuknya dan karena kami sedang berada di air, aku bisa menggenjotnya di posisi ini lebih lama dan lebih kuat daripada saat kami melakukannya di rumahnya.

Entah karena Shania memang sedang keenakan dengan genjotanku atau dia hanya sengaja melakukannya, tapi yang pasti saat ini Shania mengeluarkan berbagai macam ekspresi yang menggoda hingga membuatku semakin bernafsu menggenjotnya.

"Aahh... iyaa.. terussshh.. Gue... mau,.. aahhh..."

"Be..bentar, Shan... bareeenngg..."

"Gak bisaaa,.. Gue.. aahhh..."

Shania mencapai orgasmenya saat aku sedang sangat bernafsu menggenjotnya. Kurasakan penisku semakin diperas-peras di dalam vaginanya yang sedang berkontraksi. Aku sudah tidak tahan untuk menahan lagi, hingga,..

"Shan, gue.. gue... mau keluar..."

"Iyaaahh... ahh.. ke..keluarin aja"

"Gue.. ke..keluarin.. ahh... dimana...?" tanyaku sambil menggenjotnya semakin kencang.

"Da..dalem aja... aahhh" jawabnya sambil mengerang.

"Gu...gue keluaar... Niaaa,..." erangku saat mencapai orgasmeku.

Penisku benar-benar mengeluarkan amunisinya memenuhi rahim Shania dan kurasakan juga penisku juga seperti disiram cairan hangat didalam vaginanya.

"Gila,.. hah,.. hah,... Gue,.. Gue jadi keluar lagi,.. hah,..." katanya tersengal-sengal saat aku masih menikmati sisa-sisa orgasmeku.

Apa yang sudah kulakukan?
Kenapa aku sampai berbuat seperti itu barusan?

"Lo kenapa?" tanya Shania tiba-tiba. "Masih mau lagi?"

Aku tidak menjawabnya, melihat wajahnya yang seperti tanpa beban justru membuatku benar-benar merasa bersalah dan menyesal.

Setelah beberapa saat, aku bermaksud untuk mencabut penisku. Tapi Shania mencegahnya,..

"Biarin aja dulu. Daripada nanti peju lo ngambang terus diliat orang" katanya.

Aku hanya menganggukkan kepala. Shania lalu mencium bibirku lembut, aku tidak membalas ciumannya itu, tapi Shania masih saja menciumiku. Menyadari aku yang tidak menanggapi perlakuannya, Shania menghentikan ciumannya dan memalingkan wajahnya sambil berkata,..

"Lo gak suka ya kita begini?" tanyanya.

"M-maksud lo?" tanyaku balik.

"Lo kenapa murung gini? Lo kepikiran soal lo yang buang di dalem tadi?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk pelan. Hal itu memang sedikit menggangguku, tapi bukan itu yang sedari tadi kupikirkan. Melainkan karena,..

"Udah dong, jangan murung lagi. Ganteng lo ilang nanti eh, emang bisa ya?" katanya menggodaku sambil sedikit bercanda.

Sial, sekarang malah dia yang menggodaku. Padahal kemarin aku benar-benar menggodanya habis-habisan.
Melihatnya menggodaku seperti itu, ternyata bisa membuatku sedikit tersenyum.

"Nah, gitu dong" katanya. "Itu baru Ian aku" bisiknya di dekat telingaku.

"Lo beneran aman kan, Shan?" tanyaku memastikan.

"Hmm,.. Gak tau ya" jawabnya.

"Heeh,.. Shan. Jangan gitu, jawab dong. Sekiranya lo lagi gak aman, nanti kita beli obat di apotek" kataku khawatir.

"Gue, aman kok. Udah tenang aja. Udahan, yuk" ajaknya sambil turun dari gendonganku dan memakai kembali celananya.

Tunggu, aku baru sadar.
Barusan Shania sekali lagi memanggilku dengan panggilan 'Ian'.
Lalu apa masalahnya?
'Ian' adalah panggilan Shania padaku saat dulu kami bersahabat di SMP, dia memanggilku 'Ian' dan aku memanggilnya 'Nia'. Itu seperti menunjukkan persahabatan kami. Bahkan saat pindah sekolah dulu, aku meminta pada teman-temanku agar memanggilku 'Ian' karena saat itu aku sedang merindukan Shania, dan dipanggil 'Ian' sedikit membuatku mengingatnya. Dan 'kebiasaan' meminta agar dipanggil 'Ian' pun berlanjut sampai sekarang.
Mungkin itu sebenarnya tidak sopan, seharusnya panggilan 'Ian-Nia' hanya dilakukan oleh kami berdua.
Tapi, entah sejak kapan, entah siapa yang memulai, yang pasti saat kami tidak sengaja bertemu lagi beberapa bulan setelah aku pindah sekolah, kami sudah tidak memakai panggilan itu lagi.
Tunggu, aku sedang membicarakan apa?
Ya sudah lah, langsung masuk ke intinya saja.
Tadi,.. disaat-saat terakhir kami berhubungan badan, entah kenapa, aku secara reflek memanggilnya 'Nia'.
Aku,... aku secara tidak sadar, menganggap Shania sebagai seorang 'sahabat' disaat kami berhubungan badan, padahal sebelum-sebelumnya aku menganggap dia sebagai gadis biasa saat kami melakukannya.
Dan itulah yang membuatku menyesal saat ini. Mungkin sebaiknya aku tidak terlalu memikirkan ini, Shania sendiri tadi juga memanggilku 'Ian' lagi dan dia bersikap seperti itu adalah hal biasa.

"Hei!! Ayo!" panggil Shania lagi menyadarkanku, dia sekarang sudah naik keluar dari kolam dan bersiap untuk mandi.
.
.
.
.
.
.
.
"Nunggu apa, mas?" tanya si bapak-bapak penjaga kamar mandi.

"Oh, iki, pak. Isih ngantri" jawabku.

Saat ini aku sedang mengantri untuk menggunakan kamar mandi. Ada tiga bilik dan tiga-tiganya tertutup. Pakaianku sudah ku masukkan ke dalam tas dan hanya sepatu yang kutenteng di tangan.

"Lho, isok boso jowo ta, mas?" tanyanya.

"Saget, pak. Kulo wong Jogja" jawabku.

"Loalah. Tak kiro wong ibukota mas, habis muka mas nya kayak artis artis gitu. Ganteng"

"Saya memang dari Jakarta, pak. Tapi tinggalnya di Jakarta sih"

Pemikirannya bagaimana ya?
Tidak semua orang yang tinggal di Jakarta wajahnya ganteng/cantik seperti artis. Lagipula, tidak semua yang ganteng/cantik itu artis kan, ada juga artis yang tidak ganteng/cantik.

"Ning njero ae lho, mas. Gapopo" kata si bapak penjaga kamar mandi.

"Lho, Bukannya yang di dalem itu buat cewek ya pak?" tanyaku.

"Ancen mas, tapi daripada mas'e ngenteni suwi. Ambekan lek ning njero enten kloset e dadi iso BAB"

"Ya,... ya udah, pak" kataku sambil berjalan ke kamar mandi dalam.

Tapi baru beberapa langkah, aku kembali lagi.

"Oh iya, pak. Saya boleh nitip sepatu enggak pak?"

"Oleh, mas oleh. Ora opo-opo"

"Nuwun sewu, pak" kataku sambil berjalan masuk lagi setelah memberikan sepatuku.

Saat aku hendak memasuki salah satu bilik kamar mandi yang kosong, ada salah satu bilik yang pintunya terbuka. Saat aku menengok ternyata itu Shania, mungkin ada barangnya yang tertinggal dan dia ingin mengambilnya.
Tapi,.. tiba-tiba dia malah tersenyum mencurigakan lalu menarikku masuk ke biliknya tersebut kemudian menutup kembali pintunya.

"Apa'an sih, Shan" kataku saat kami sudah berada di dalam bilik, tentunya aku mengatakannya dengan suara pelan.

"Gue haus" jawab Shania yang kemudian berjongkok di depanku.

Dengan cepat, Shania sudah menurunkan celana pendek ku dan mengocok penisku.

"Nafsuan banget sih, jadi cewek. Tadi itu masih kurang? Lo udah keluar banyak kan" tanyaku sedikit menirukan kata-katanya dulu.

Shania tidak menjawab perkataanku, dia malah melotot kearah ku dan mempercepat kocokannya.

"Shan...."

Aku segera menutup mulutku sendiri menggunakan tangan saat menyadari suaraku tadi cukup keras.
Shania bereaksi dengan memberikan senyuman liciknya kemudian memasukkan penisku kedalam mulutnya dan mulai memaju-mundurkan kepalanya sambil lidahnya membelai-belai kasar kepala penisku.

Aku hanya bisa merem melek akan perlakuannya itu. Tidak lama kurasakan aku akan segera keluar.
Shania yang menyadari gelagatku, seperti berniat menghentikan pelayanannya. Tapi aku merespon lebih cepat, segera aku menahan kepalanya dan mulai menggerakkan pinggul ku maju mundur seakan aku sedang menyetubuhi mulutnya.
Saat sedang asyik menikmati kehangatan mulut Shania, tiba-tiba dia mencubit pahaku.

"Aww,.. Sakit, Shan" kataku sambil mengelus pahaku yang tadi dicubitnya.

"Gue hampir habis nafas, bego. Lo gila ya"

Aku hanya diam tidak menanggapi perkataannya. Saat Shania marah, semakin dibantah, dia akan semakin marah. Itu berbahaya mengingat keadaan kami yang berada di satu bilik kamar mandi.

"Udah, lo diem aja. Biar gue yang kerja" katanya lagi.

Tunggu, apa?
Shania masih ingin melanjutkannya?
Apa aku tidak salah dengar?

"Aah..." aku sedikit mendesah pelan saat Shania kembali mengulum penisku.

Kali ini Shania melakukannya dengan lembut, seperti dia sangat ingin merasakan setiap inchi penisku di dalam mulutnya.

"Iya,.. Shan.. ahh... Iya,... ahh.. terus.." desahku sambil memejamkan mata menikmati pelayanan Shania.

Saat sedang enak menikmati mulut Shania di penisku, tiba-tiba dia malah menghentikan kulumannya.

"Kok?"

"Udah, ah. Capek mulut gue" kata Shania lalu bangkit berdiri.

"Trus?" tanyaku bingung.

Shania tidak menjawabku, dia hanya menyandarkan punggungnya di dinding, menghadap ke arahku sambil mengedipkan sebelah matanya.

Aku yang mengerti maksudnya langsung mendekatinya dan mengangkat satu kakinya kemudian langsung memasukkan penisku kedalam vaginanya lagi setelah sebelumnya menggantung tas berisi barang-barang di gantungan yang ada di pintu.

"Aaahh,..." lenguh kami bersamaan.

Aku pun langsung menggerakkan pinggul ku menggenjot vagina Shania. Sedangkan Shania hanya bisa menganga menerima setiap sodokanku.

Entah sudah berapa lama kami berada di kamar mandi ini, entah apakah ada orang yang curiga atau tidak, aku sudah tidak peduli akan hal itu. Saat ini aku hanya ingin berfokus untuk memuaskan Shania dan diriku sendiri tentunya.
Shania sendiri sepertinya juga berfikir hal yang sama, dia kemudian merangkul belakang leherku dan menarik kepalaku untuk menciumku. Kami berciuman dengan lembut penuh dengan kasih sayang, tetapi gerakan tubuh bagian bawahku sama sekali tidak lembut. Semakin lama semakin cepat, hingga beberapa menit kemudian, aku merasakan vagina Shania menjepit erat penisku dan sedetik kemudian kurasakan cairan hangat membasahi penisku.

"Eemmmhhh...." erangan Shania sedikit tertahan bibirku yang masih menciumnya.

Aku masih menggenjot vagina Shania tanpa memberi jeda sedikitpun meski aku tahu bahwa vaginanya pasti masih merasa ngilu.
Shania hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya menerima apapun yang kulakukan terhadapnya.

"Bentar ya, Shan... Dikit lagi. Lo siap-siap aja,.. hah,... hah,.." kataku sambil meremas payudaranya dan sedikit memilin putingnya.

"Keluarin,.. di mulut gue.." balasnya.

Tak berlangsung lama, aku yang merasa spermaku sudah diujung, langsung menarik keluar penisku dari belenggu vaginanya dan mendorong bahu Shania agar dia berjongkok di depanku.

Saat Shania hendak memasukkan penisku kedalam mulutnya guna menampung spermaku yang akan dia gunakan untuk memuaskan rasa hausnya, ternyata dia sedikit terlambat. Satu tembakan sperma meluncur dan hampir sukses mengenai matanya, beruntung dia sempat menutup mata sehingga spermaku hanya mengenai kelopak matanya.
Sungguh lucu ekspresinya saat itu. Kemudian Shania memasukkan penisku dan menerima tembakan-tembakan spermaku yang berikutnya didalam mulutnya. Cukup banyak aku mengeluarkan spermaku di dalam mulut Shania tapi dia tidak membiarkan setetes pun keluar dari mulutnya.

Setelah tembakan spermaku mereda dan penisku mulai menyusut, Shania masih saja menjilat-jilati kepala penisku dan menggelitiki lubang kencingku dengan ujung lidahnya, seakan dia masih belum puas dan berharap agar spermaku keluar lagi. Sialnya, dia melakukannya benar-benar hanya menggunakan lidahnya tanpa bantuan tangan sama sekali. Sensasinya benar-benar tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Tapi jika dibiarkan, bisa-bisa ini tidak akan selesai.

"Udah kali, Shan" kataku.

Shania tidak menjawabku, dia hanya mendongakkan kepalanya menghadap ke arahku dan masih meneruskan kenakalan lidahnya pada penisku.

Aku lalu menariknya agar dia berdiri dan menghentikan kegiatannya pada penisku sebelum aku 'hilang kesabaran' lagi.
Tapi Shania malah kembali mencium bibirku. Sedangkan aku masih tidak menanggapi cumbuan.

"Kenapa sih?" tanyanya.

Kali ini aku beralih ke lehernya dan berusaha untuk meninggalkan bekas cupangan lagi.

"Jangan! Kok lo bandel sih" tolaknya.

"Ya udah lah" kataku sambil menghentikan cumbuan kami.

"Jangan ngambek dong" kata Shania .

"Siapa yang ngambek? Kita udah kelamaan disini. Kalo lebih lama lagi, bisa-bisa ada yang curiga"

"Bukannya bagus kalo kita digerebek? Kita bisa langsung disuruh nikah kan" katanya sambil tersenyum.

Nih anak mikirnya gimana sih?, pikirku sambil memasang wajah bingung.

"Hahaha. Gue bercanda kali" kata Shania sambil tertawa.

"Udah, gue mau mandi" kataku sambil mulai membasahi tubuhku dengan air.

"Adrian" panggil Shania tiba-tiba.

"Apa lagi?" tanyaku tanpa melihat ke arahnya.

"Gue boleh minta sabun sama shampoo gak?" tanyanya.

"Artinya lo,.."

"Iya. Tadi gue mau keluar, mau minta tolong sama lo soal sabun sama shampoo"

"Lo gak prepare apa-apa atau gimana sih?" tanyaku heran.

"Gue kemaren kecapekan, tadi pagi juga buru-buru. Jadi gak nyiapin apa-apa" jawabnya.

Aku bingung, dia yang minta untuk ditemani berenang tapi dia tidak mempersiapkan apa-apa seperti pakaian dalam ganti, sabun mandi, shampoo.

"Ya udah nih" kataku sambil menyerahkan sabun mandi dan shampoo yang kubawa. Sedangkan saat ini aku sedang menggosok gigi.

"Ini, kenapa shampoo nya diplastikin kayak beli batagor gini?" tanyanya heran.

"Iya, itu shampoo hotel gue plastikin. Lumayan kan. Sebenernya gue mau ngambil sabunnya juga, tapi gue takut ketuker yang mana shampoo yang mana sabun. Jadinya gue beli sabun mandi tadi pagi pas berangkat kesini" jawabku.

"Ihh,.. Gak modal banget sih, ngambil barang hotel. Jangan-jangan itu sikat gigi,.."

"Enak aja" potongku. "Ini sikat gigi gue beli sendiri tadi pagi barengan sama sabun"

"Ooh... Ehh! Artinya lo kemaren gak,.." Shania ragu untuk melanjutkan kalimatnya.

"Emang enggak" jawabku.

"Jorok banget sih" tuduhnya.

Aku tidak mau menanggapi perkataannya lagi, daripada kami ribut dan semakin lama di dalam bilik kamar mandi ini.

Jorokan mana sama orang yang sabun sama shampoo minta orang lain, batinku.

Tunggu dulu! Jangan-jangan dia juga tidak membawa,...

"Sekalian pinjem handuk ya" kata Shania kemudian.

Tuh, kan.
Ya ampun! Sahabat gue gini amat ya.
.
.
.
.
.
"Gue keluar duluan ya" kata Shania.

"Bentar" kataku mencegahnya.

"Kenapa?" tanyanya bingung.

Aku tidak menjawabnya, aku mengisyaratkannya untuk diam dengan menempelkan telunjukku pada bibirnya.
Aku mencoba mempertajam pendengaranku.
Untuk apa?
Siapa tahu ada orang diluar yang sedang mengantri, menunggu orang keluar dari bilik kamar mandi.
Jika misalnya Shania keluar bilik dan orang itu ingin masuk ke bilik ini dan melihatku bagaimana? Bisa repot kan.
Setelah memastikan tidak ada orang diluar, akhirnya kuputuskan untuk keluar bersama dengan Shania.

"Ngapain aja, mbak?" tanya bapak penjaga toilet.

Ini bapak-bapak pilih kasih ya. Kenapa yang dia tanya hanya Shania?
Padahal kan aku juga baru saja menggunakan fasilitas kamar mandi yang dia jaga.

"Ahh,.. itu,..." Shania kelihatan bingung ingin menjawab apa.

Jangan terlalu panik dong, Nia, batinku.

Tunggu!
Bahkan saat di dalam hati aku memanggilnya 'Nia'?
Ada apa ini sebenarnya?

"Saya habis mandi, pak. Buang air besar juga sih, otomatis kencing juga, dan yang pasti ganti baju" jelasku.

Masa mandi masih pake baju, ya enggak dong.

"Jadi berapa pak?" tanyaku.

"5 ribu aja mas" jawabnya.

"Oh, ini" kataku sambil menyerahkan selembar 20 ribuan. "Sekalian sama temen saya nih" kataku lagi sambil menunjuk Shania yang masih bengong.

"Duwit pas ae, mas. Mboten enten kembalinya" kata bapak itu.

"Yo wis, pak. Rejekinya bapak itu, anggep aja biaya saya nitip sepatu juga" balasku.

"Oh iya, iki sepatune, Mas" katanya sambil menyerahkan sepatuku. "Matur nuwun nggih, mas" tambahnya.

"Inggih, pak" kataku sambil menerima sepatuku.

Setelah aku memakai sepatu, aku segera mengajak Shania pergi.

"Yuk, Shan" ajakku sambil menggandeng tangan Shania yang masih bingung.

"Kalian ngomong apa sih tadi? Gue gak paham" tanya Shania.

"Gak penting kok" jawabku.

"Gue kaget tadi, gue kira bapak tadi curiga" kata Shania lagi.

"Mau makan dulu?" tanyaku tanpa memperdulikan perkataannya.

"Gak usah. Nanti kelamaan" jawabnya.

"Ya udah, gue pesenin Grab ya"

"Jangan!" teriaknya.

"Kenapa sih?" tanyaku bingung.

"Gue biasanya pake Uber" jawabnya.

"Ya elah, Shan. Sama aja kali" kataku. "Atau gini aja, gue naik Grab, lo naik Uber?" tawarku.

"Gak mau" tolaknya. "Gak bareng dong nanti. Ya udah, cepet lo pesenin Grab-nya" katanya.

"Nah gitu. Udah lah, lo nurut aja. Lagian bukannya lo kemaren naik Grab ya" kataku sambil mengambil HP dari kantung celanaku.

Shania tidak menjawabku, dia lebih memilih memperhatikan orang-orang yang sedang berenang. Sekarang sudah cukup ramai.

41440060-1007249389456380-3313562905177227264-o.jpg


Tunggu, artinya kami memang cukup lama berada di dalam kamar mandi tadi.

Harusnya kami datang sekitar jam segini saja agar Shania tidak minta untuk di ena2.
Bodo amat lah, gue juga dapet enak kok. Hehehe, pikirku.

Saat aku ingin memesan Grab, aku melihat,... aku,... aku melihat Shani. Iya, aku melihat Shani, di layar HP ku.
Seketika itu juga perasaan menyesal kembali menghampiriku.

"Kenapa rasa sesal selalu dateng belakangan ya?" tanyaku pada diri sendiri.

Kenapa dengan diriku hari ini?
Bukannya membicarakan soal hubunganku dengan Shani pada Shania, aku malah,...

"Shani, maafin aku ya" gumamku.

"Lo kenapa? Udah pesen Grab-nya" tanya Shania menyadarkanku.

"Ah,.. Eh,.. I-iya, i-ini baru mau pesen" jawabku.

"Lo kenapa banyak ngelamun sih hari ini?" tanyanya lagi.

Aku tidak menjawabnya dan lebih memilih untuk melanjutkan memesan Grab.

"Ngelamunin apa sih? Soal lo yang buang di dalem? Tenang aja Gue aman kok" katanya menyakinkanku.

Aku masih saja diam tidak menjawabnya.

"Ya udah, nanti gue kasih tau 'jadwal' gue. Biar lo lega" katanya lagi.

Jadwal?
Jadwal apa maksudnya?
Jadwal kegiatan?
Atau jangan-jangan,...

"Jadwal? Maksudnya? Buat apa?" tanyaku ingin memastikan.

"Gue kasih 'jadwal' gue biar kapan-kapan lo bisa tau kapan harus buang diluar, kapan lo boleh buang di dalem" bisiknya.

Kapan-kapan?
Maksudnya suatu saat nanti dia ingin melakukannya lagi denganku?

"Apa'an sih lo" kataku yang pada akhirnya kembali menanggapinya. "Gue gak mikirin itu kok"

"Trus?" tanyanya dengan wajah songong khas nya yang membuatku ingin selalu menampolnya kemudian berlanjut membuat dia 'pasrah'.

Tunggu tunggu. Mikir apa sih gue ini?, pikirku.

"Gue,.." aku bingung ingin menjawab apa.

Tidak mungkin aku menjawab 'Gue kepikiran calon istri gue, Shani'. Shania bisa marah besar, dan aku juga belum siap untuk memberitahunya.

Tunggu, kenapa aku belum siap?
Aku belum siap?
Atau aku memang tidak akan siap untuk memberitahu Shania perihal masalah ini?

"Gue masih gak enak kalo gak ngasih lo kado,... Shan" kataku sedikit berbohong.

"Ah elah, masih dipikirin aja. Lo dateng ke Malang, nemenin gue, itu aja udah bikin gue seneng kok" balasnya sambil tersenyum.

Sial!
Kenapa hari ini aku merasa senyuman Shania cantik sekali.

"Sekarang kita ngapain?" tanyanya menyadarkanku yang sempat melamun karena senyumannya.

"Oh,.. Y-ya balik, Shan. Ke atas lagi" jawabku.

"EHH?!" kagetnya. "Kita gak nungguin di sini aja?" tanyanya.

"Ribet, Shan. Kasihan juga harus turun kesini, puter balik mobilnya, naik lagi. Mendingan kita yang ke atas" jelasku.

Shania tidak menjawabku, dia hanya diam. Mungkin dia malas mengingat kemiringan jalan yang cukup curam pasti akan membuat cepat lelah.

"Yuk" ajakku pada Shania sambil berjalan duluan.

Tapi saat aku baru berjalan dua langkah, firasat ku merasa hal yang kurang bagus. Dan sedetik kemudian aku merasa ada yang menarik tas ku dan menaiki punggungku. Reflek tanganku harus menahan pahanya agar dia tidak jatuh ke bawah.

"Gendong ya" pinta Shania manja sambil kedua tangannya merangkul kedepan.

Ya, siapa lagi kalau bukan Shania pelaku nya.

"Aturan kalo minta gendong itu, lo ngomong dulu baru naik" kataku sedikit kesal.

"Ya udah lah. Sama aja" jawabnya cuek.

"Ini lo seriusan minta digendong keatas?" tanyaku memastikan.

"Iya lah. Biar gue gak capek, nanti gue masih ada banyak kegiatan. Lagian salah lo sendiri, ngajakin renang disini" jawabnya.

"T-tapi kan-"

"Kenapa?" potongnya. "Lo gak mau gendong gue?" tanyanya.

"Bukan gitu tapi-"

"Kenapa?" potongnya lagi. "Awas aja lo berani bilang kalo gue berat. Gue jambak lo!" ancamnya.

"Justru sekarang lo enteng banget, Shan" kataku yang membuatnya terdiam. "Lo kecapekan ya gara-gara jadwal kegiatan lo ini?" tanyaku.

Shania tidak menjawabku, dia malah mempererat rangkulan tangannya dan membenamkan wajahnya di punggungku.
Daripada terlalu lama diam disini sambil gendong-gendongan, lebih baik aku segera keatas.

Ini anak juga, pake minta digendong gini. Emangnya lagi perform 'Durian Shonen' atau gimana?, pikirku.

Lagipula di lagu itu kan dia yang gendong bukan digendong, batinku.

"Turun dulu!" perintahku.

"Gak mau!" tolaknya.

"Tas gue masa ditinggal, Shan" kataku.

"Ooohh,.." balasnya.

"Ya,... Turun dulu, Shan!" kataku lagi.

"Iya, iya"

Akhirnya Shania mau turun juga.

"Cepetan! Gue takut telat" bentak Shania saat aku sedang memakai tas di depan dadaku.

Setelah aku memakai tas, Shania langsung melompat ke punggungku.

"Oke, lo siap-siap ya. Pegangan yang kenceng biar gak jatuh" kataku sambil mulai berjalan naik.

Shania kembali diam, tapi bisa kurasakan kalau tadi dia sempat menganggukkan kepalanya.
.
.
.
"Mungkin" kata Shania tiba-tiba memecah keheningan saat aku masih berjalanv ke atas sambil menggendongnya.

Tapi aku bingung.
Apa maksud dari perkataannya barusan?
Apa maksudnya dengan 'mungkin'?

"Tapi kalo ngeliat lo, gue jadi semangat lagi jalanin jadwal kegiatan gue" tambahnya.

Oh, itu maksudnya.
Tapi apa hubungannya denganku?
Bukannya aku tidak peka ya, aku tahu kalau Shania menyukaiku.
Tapi apa memang bisa menghilangkan rasa lelah hanya dengan melihat orang yang disukai?

"Tapi lo jangan kegeeran ya" bentaknya di dekat telingaku.

"Kegeeran kenapa?" tanyaku pura-pura tidak tahu.

"Hah?! Gak peka banget sih?" bentaknya lagi mulai marah.

"Eh, Shan. Jangan gerak-gerak nanti jatuh" kataku memperingatkannya.

Setelah kuperingatkan, akhirnya Shania mau untuk kembali diam.

Gimana sih, tadi bilangnya 'jangan kegeeran', trus barusan bilang kalo gue 'gak peka'.
Maunya apa sih nih anak?

"Shan, gue boleh nanya sesuatu gak?" tanyaku.

"Itu udah nanya" balasnya dengan nada sewot.

"Tapi maksudnya bukan itu"

"Ya udah, kalo emang mau nanya ya nanya aja. Mau nanya apa sih?"

"Lo gak malu apa diliatin banyak orang gini?"

Shania diam saja tidak menjawabku seakan aku menanyakan hal yang tidak penting.

Jujur, aku sedikit merasa risih dilihat oleh orang-orang yang berpapasan dengan kami. Apalagi ada seorang anak kecil yang bertanya dengan polosnya padaku 'Pacaran ya mas?'.

"Atau lo seneng ya kalo orang-orang ngira kita pacaran?" tanyaku lagi.

Kali ini Shania tidak membentakku lagi, tapi dia langsung menjambak rambutku.

"Aduh, Shan. Sakit, Shan" kataku yang meringis kesakitan.

"Makanya jangan banyak omong, lagian rambut gak jelas banget sih warnanya" katanya lalu melepas jambakannya.

"Shan, gue boleh nanya lagi gak?"

Shania tidak menjawabku lagi, tapi sekarang dia sudah meletakkan tangannya di atas kepalaku seakan bersiap menjambakku lagi jika aku bertanya 'hal yang tidak penting' lagi.

"Eh, Shan dengerin gue dulu. Penting ini soalnya yang mau gue tanyain" kataku berusaha membujuknya agar menyingkirkan tangannya dari atas kepalaku.

"Apa?" tanyanya sewot setelah menyingkirkan tangannya.

"Sebenernya lo ada masalah apa sih sama Bobby waktu itu?" tanyaku. "Trus apa bener kalian putus gara-gara gue?" imbuhku.

Shania kali ini diam. Dia benar-benar hanya diam. Dia tidak menjawab pertanyaanku dan juga tidak bereaksi apapun. Aku pun mencoba memanggilnya.

"Shan.."
"Shan..."
"Nia,..."

Kampret, nih anak pake sok akting ketiduran lagi.

"Krook~"

Pake ditambah pura-pura ngorok?
Awas aja sampe pura-pura ngiler juga.
Niat banget sih itu.
.
.
.
.
.
"Mas Adrian?" tanya seorang bapak-bapak yang keluar dari dalam mobil sesaat setelah aku sampai di atas.

"Iya, pak" jawabku. "Bapak supir Grab-nya? Pak Bambang?" tanyaku.

"Iya, mas. Saya supir Grab-nya, tapi nama saya Heru, mas. Bukan Bambang. Jauh banget salahnya" jawab si bapak supir Grab.

"Hehehe, sengaja pak. Saya salah-salahin, takutnya situ ngaku-ngaku. Soalnya saya gak bisa liat HP, mastiin muka bapak"

"Oohhh,... iya-iya" katanya sambil mengangguk seakan mengerti, tapi wajahnya bingung.

Aku sebenarnya masih ingat nama supir Grab yang aku pesan tadi, tapi aku hanya ingin memastikan saja dengan asal menyebutkan nama yang salah. Takutnya orang ini hanya mengaku-ngaku.

"Shan, bangun Shan"

Aku berusaha membangunkan Shania yang 'pura-pura' tertidur. Tapi dia tidak merespon apapun.

Masa tidur beneran?, pikirku.

"Ya udah, saya bukain aja pintunya, mas" tawar si bapak supir Grab.

"Tolong ya, pak" jawabku.

Setelah aku memasukkan Shania ke dalam mobil dan aku juga sudah duduk di dalam mobil. Kami pun langsung menuju tempat event JKT Circus nanti.
.
.
.
.
.
.
.
Di perjalanan aku hanya diam memandang jalanan. Ya, karena tidak ada teman untuk diajak mengobrol. Maksudku, Shania sedang 'tidur' dan aku tidak mau mengganggu fokus bapak supir Grab yang sedang menyetir. Jadi suasana yang berlangsung saat ini adalah keheningan.

"Itu pacar nya kenapa, mas? Kok kayak kecapekan gitu" tanya si bapak supir Grab memecah keheningan.

"Ah,.. dia bukan-"

"Doain aja ya, pak" kata Shania tiba-tiba.

Saat aku menoleh ke arahnya, dia masih menutup matanya tapi sambil senyum-senyum sendiri.

"Lo daritadi pura-pura tidur?" tanyaku pada Shania.

"Hahaha. Saya paham, saya paham" kata si bapak supir Grab sambil tertawa.

Apanya yang paham?
Aku saja gagal paham.
.
.
.
.
.
"Kenapa gak pacaran aja sih, mas?" tanya si bapak supir Grab lagi.

Ini bapak kepo banget ya, batinku.

Aku diam saja, aku berharap Shania yang akan menjawabnya. Tapi beberapa saat aku diam, tidak ada suara. Saat kulihat kearah Shania, dia masih menutup matanya.
Mungkin kali ini dia benar-benar tertidur.
Si bapak supir Grab masih diam menunggu jawabanku atas pertanyaannya sambil sesekali melirik kearah spion tengah untuk melihatku.
Mungkin tidak ada salahnya aku sedikit curhat pada bapak ini, siapa tahu dia bisa memberi nasihat. Secara, dia memiliki pengalaman hidup yang lebih banyak.

"Gak tau ya, pak" jawabku akhirnya.

"Kenapa gak tau?" tanyanya lagi.

"Jujur, saya akuin dia ini cantik, pak. Saya juga sempet mikir buat pacaran sama dia,... dulu" jawabku.

"Udah pernah coba nembak, mas?" tanyanya lagi.

"Waktu itu saya takut ditolak, pak" jawabku.

Tunggu. Tunggu dulu.
Apa Shania tadi sedikit tersenyum?
Sialan, dia ingin mengerjaiku atau apa?
Akan kubalas nanti.

"Lagian dia waktu itu juga udah punya pacar, pak. Sekarang sih udah putus, tapi saya agak ragu buat nembaknya" tambahku.

"Ooohh,..." jawab si bapak supir Grab.

Heeh,...?
Oh doang?
Gak ngasih solusi atau apa gitu?

"Sekarang coba aja ditembak, mas. Siapa tau diterima, diliat-liat cocok kok, mas. Mas nya ganteng, mbak nya cantik. Cocok deh"

"Iya mungkin nanti saya coba, pak" kataku asal karena niatku yang awalnya curhat untuk mendapat solusi sekarang sudah berubah menjadi hanya ingin mengerjai Shania yang masih pura-pura tidur.

Aku melihat kearah Shania, dia masih menutup matanya dan pipinya sekarang berubah menjadi sedikit merah.
Itu membuatku benar-benar yakin kalau Shania selama ini hanya pura-pura tidur.

"Pak, jangan nengok belakang dulu ya" kataku pada si bapak supir Grab.

"Ah,.. iya, oke mas"

Aku sedikit menggeser tubuhku mendekati Shania. Kuelus kepalanya dan sedikit menyisipkan rambutnya ke belakang telinganya.

"Kenapa lo harus jadi cantik banget sih, Nia? Gue kan jadi kepikiran terus, pengen hubungan yang lebih dari sekedar temen" kataku pelan tapi ku pastikan Shania bisa mendengarnya.

Aku mengatakan itu hanya untuk mengerjai Shania saja ya. Jangan berfikir kalau aku,...

(Yang beneeer?)

Bodo amat lah, kalo gak percaya.

"Udah nyampe, mas" kata si bapak supir Grab saat kami sudah sampai di tempat tujuan.

"Ini, pak" kataku sambil menyerahkan selembar seratus ribuan.

"Kebanyakan, mas. Saya gak ada kembaliannya. Mas nya penumpang pertama saya"

"Ya udah, buat bapak aja. Anggep aja sedekah dari saya" balasku.

"Makasih ya, mas" kata si bapak supir Grab bersyukur.

Aku hanya menganggukkan kepalaku menanggapinya.

"Saya doain biar mas nya nanti diterima" katanya lagi.

Lah, ditanggepin serius ternyata, batinku.

"Shan, bangun Shan! Shania bangun! Shan,.. Shan,.." kataku berusaha membangunkan Shania sambil sedikit menggoyang-goyangkan bahunya.

Shania masih diam menutup matanya.

Udah kali aktingnya, batinku.

Karena Shania masih tidak mau bangun juga, akhirnya otak jahil ku bekerja.
Kudekati wajah Shania dan kubisikkan sesuatu di telinganya.

"Nia,.. Bangun dong. Apa perlu aku cium dulu kayak dongeng putri salju biar kamu mau bangun?"

Setelah mendengar bisikanku, Shania langsung membuka matanya dan mendorong dadaku agar menjauh lalu dia keluar dari mobil.

"Makasih ya, pak" kataku pada si bapak supir Grab sambil keluar menyusul Shania.
.
.
.
1e73d66e221d363650d6a19ad1f9db9d.jpg


"Lo tadi ngomongin apa aja sama bapaknya tadi?" tanyanya sok pura-pura tidak tahu.

"No Repeat" balasku.

Shania langsung mendengus kesal begitu mendengar jawabanku.

"Lo udah sarapan belum?"

Shania hanya menggeleng.

"Mau sarapan dulu?" tawarku sekali lagi karena sebenarnya aku juga belum sarapan. Jadi ya laper.

Shania kembali menggeleng.

"Yakin?" tanyaku

Kali ini Shania mengangguk.

Aku jadi kesal sendiri hanya ditanggapi dengan anggukan dan gelengan.

"Gue pengen bakso"

Akhirnya Shania berbicara lagi.

"Katanya gak mau sarapan?"

"Buat makan siang,... Beliin ya,... Ya! Ya! Nanti beliin ya! Oke makasih"

Kan aku belum jawab setuju.

"Oh iya, ini foto-foto lo di HP gue kemaren mau dikirim sekarang?" tanyaku.

"Gak usah" tolaknya. "Buat koleksi pribadi lo aja, kalo lo kangen tinggal liatin itu foto. Tapi jangan buat ngocok ya"

"Apa'an sih, Shan"

"Kalo lo pengen, hubungin gue aja" katanya lagi sambil mengedipkan sebelah matanya.

Aku hanya bisa geleng-geleng mendengar perkataannya.
Anehnya, Shania masih saja tidak langsung masuk kedalam tempat event. Dia hanya diam sambil mengatupkan bibirnya seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi bingung ingin memulai dari mana.
Sebenarnya apa maunya?

"Shan, lo mau ngomong sesuatu?" tanyaku.

Shania masih diam, kemudian dia memeluk tubuhnya sendiri dan sesekali saling menggesek kedua telapak tangannya lalu menepuk-nepukannya ke badannya.

Ya elah, bilang aja kenapa sih, batinku.

Aku lalu melepas jaketku dan memakaikannya ke pundaknya.

"Ehh?!" kagetnya.

"Lo kedinginan kan. Pengen pinjem jaket gue kan. Bilang aja, gak usah ngerasa gak enak gitu"

"Tapi gue gak maksud-"

"Udah gapapa, anggep aja ini jaket kado sementara dari gue" kataku lagi.

"Tapi, lo gimana?" tanyanya mengkhawatirkanku.

"Gampang lah itu" jawabku.

"Udah kan, sana! Tadi katanya takut telat, sekarang ngapain masih disini aja?"

"Adrian, sebenernya gue sa-"

"Hoodie-nya di pake juga, Shan" potongku. "Takutnya ada wota yang ngeliat lo nanti, bisa berabe"

"Tapi,..."

"Apa lagi?"

"Kok gue kayak pernah liat ini jaket sebelumnya ya" katanya sambil benar-benar memakai jaketku, memasukkan lengannya ke lengan jaketku.

Sial!
Aku lupa, ini jaket yang sama yang pernah ku pakai saat Handshake event kemarin.
Apa Shania sempat melihatku waktu itu.
Gawat jika dia sampai sadar.

"Pabrik gak bikin satu, Shan" jawabku sekenanya.

"Iya juga sih, tapi,.."

"Tapi apa lagi?" tanyaku.

"Tapi,.. meskipun jaket ini dari lo, ini bukan kado terbaik bagi gue" jawabnya.

"Maksudnya?" tanyaku bingung.

Shania tidak langsung menjawab, dia malah mendekatkan wajahnya dan mencium pipiku.

"Kado terbaik bagi gue adalah, lo dateng ke Malang buat gue" katanya setelah mencium pipiku.

Kemudian dia berbalik dan sedikit berlari kecil menuju tempat event.

Sial!
Sikap Shania hari ini membuatku mulai ragu memilih antara yang berakhiran huruf 'A' atau tidak.

aa7c53b871654479f4a3180f0902357e.jpg




-Pasti Bersambung-
 
Terakhir diubah:
Catatan Penulis:


Maaf ya, agak telat. Saya tadi ketiduran waktu mau revisi terakhir.
Maaf juga, Adrian nya kumat lagi gara-gara jauh dari pawangnya (Shani).
Lagian pake dimasukin ke 'daftar' sih.
Ya udah, sekalian aja.
Di update kali ini, gantian Adrian yang dibikin baper sama Shania. Hehehe.

Kalian #TeamShani atau #TeamShania?
Atau ada #Team yang lain lagi?
Tapi jangan #TeamJulie lho ya.

Update berikutnya, nunggu yang lagi di Jepang pulang.




Makasih.
• TTD H4N53N



*Tapi,... buat apa bikin #Team segala, cerita ini kan judulnya 'Finding Oshi' bukan 'Finding Girlfriend'.
Terserah kalian lah, bodo amat.
 
Catatan Penulis:


Maaf ya, agak telat. Saya tadi ketiduran waktu mau revisi terakhir.
Maaf juga, Adrian nya kumat lagi gara-gara jauh dari pawangnya (Shani).
Lagian pake dimasukin ke 'daftar' sih.
Ya udah, sekalian aja.
Di update kali ini, gantian Adrian yang dibikin baper sama Shania. Hehehe.

Kalian #TeamShani atau #TeamShania?
Atau ada #Team yang lain lagi?
Tapi jangan #TeamJulie lho ya.

Update berikutnya, nunggu yang lagi di Jepang pulang.




Makasih.
• TTD H4N53N



*Tapi,... buat apa bikin #Team segala, cerita ini kan judulnya 'Finding Oshi' bukan 'Finding Girlfriend'.
Terserah kalian lah, bodo amat.

Dimasukin ke daftar kampret, karena kelakuannya adrian itu sendiri.
 
Aduh Shania oshiku, bikin baper aja wkwkkw :((

Nice update suhuu

Hmm... jadi gerah gini ya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd