Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG FEBRUARY SUCKS (SEQUEL)

CHAPTER 3
JEBAKAN



JIMMY POV

Siapa sangka kehidupan bisa memiliki banyak wajah. Pada sisi tertentu, kehidupan begitu menyenangkan. Sementara di sisi lain, kehidupan bisa begitu mengerikan. Di satu sudutnya tampak terang, sementara di sudut lain lagi begitu gelap. Di suatu kondisi ada berbagai keadaan yang melegakan, di kondisi lainnya ada situasi yang menyesakkan. Dan masih ada banyak lagi rupa-rupa kehidupan yang sering manusia temui dalam keseharian, semakin menegaskan bahwa kehidupan tidak pernah bisa dipahami hanya dari satu sudut pandang saja.

Aku tak pernah menyangka apabila peristiwa kecelakaan yang menimpaku membawa berkah luar biasa. Dulu, aku hanyalah seorang karyawan biasa di sebuah perusahaan kimia. Hidupku sederhana dan jauh dari gemerlap dunia hiburan. Namun, semua itu berubah drastis setelah aku mengalami kecelakaan kerja yang nyaris merenggut nyawaku. Saat itu, aku berusaha menyelamatkan Mr. Anderson, pemilik perusahaan, dari tersiram cairan kimia berbahaya. Akibatnya, aku sendiri terkena cairan tersebut dan mengalami luka bakar yang parah. Beruntung, Mr. Anderson dengan sigap menolongku dan membiayai seluruh pengobatanku. Tak hanya itu, Mr. Anderson juga membiayai operasi plastik untuk memulihkan wajahku yang rusak akibat kecelakaan. Tak disangka, operasi plastik tersebut mengubahku menjadi pria yang sangat tampan. Ketampananku ini menarik perhatian banyak wanita, dan bahkan membuka peluang baru dalam hidupku.

Suatu hari, seorang produser film ternama menawariku kesempatan untuk menjadi bintang film. Awalnya, aku ragu karena tak memiliki pengalaman akting sama sekali. Namun, produser tersebut yakin dengan potensiku dan bersedia memberiku pelatihan. Selama satu bulan, aku menjalani bimbingan dan latihan intensif untuk menjadi seorang aktor. Aku belajar berbagai teknik akting, mulai dari olah vokal, olah tubuh, hingga penghayatan karakter. Setelah itu, aku langsung terjun ke dunia film dan mendapat peran sebagai pemeran pembantu.

Siapa sangka, kecelakaan yang hampir merenggut nyawaku justru membuka jalan menuju kehidupan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Karirku di dunia akting bagaikan roket yang melesat ke luar angkasa. Dalam waktu singkat, aku menjelma menjadi bintang film ternama yang digemari banyak orang. Hanya dalam waktu tiga tahun, aku telah membintangi dua film box office yang melambungkan namaku. Wajahku menghiasi berbagai media massa dan papan iklan di seluruh negeri. Kehidupanku kini identik dengan kehidupan glamour dan penuh kemewahan.

Aku tinggal di penthouse mewah dengan pemandangan kota yang indah di London. Aku memiliki mobil sport terbaru dan selalu mengenakan pakaian dari desainer ternama. Aku diundang ke berbagai acara bergengsi dan dikelilingi oleh orang-orang terkenal. Tak kalah menariknya, aku yang sekarang banyak dikelilingi wanita cantik. Para penggemar wanita rela mengantri demi mendapatkan kesempatan merasakan kehangatan tempat tidurku. Banyak aktris terkenal yang terang-terangan menyatakan ketertarikan mereka padaku.

Lampu sorot menyilaukan mataku saat aku melangkah di atas karpet merah. Para penggemar meneriakkan namaku, Jim Fraser, sang idola dunia. Senyum tersungging di bibirku, meski di baliknya tersimpan rahasia yang tak seorang pun tahu. Nama Jim Fraser hanyalah sebuah topeng, sebuah identitas yang kubuat untuk menutupi masa laluku. Nama asliku adalah Jimmy Campbell, jauh dari gemerlap dunia hiburan yang kini kutempati. Masa laluku penuh dengan lika-liku, sesuatu yang tak ingin kubagi dengan publik. Aku membangun tembok tinggi antara Jimmy Campbell dan Jim Fraser, dua sisi diriku yang bertolak belakang.

Sore ini, sinar mentari London yang hangat menyapa Gedung Seni Trafalgar, tempat aku akan mengadakan acara jumpa fans. Gedung bersejarah yang sering menjadi tuan rumah acara seni dan budaya terkemuka ini kini dipadati oleh para penggemarku dari berbagai belahan dunia. Sejak siang hari, mereka telah setia menunggu dengan sabar di luar gedung untuk mendapatkan kesempatan bertemu denganku. Satu per satu, aku menyambut mereka dengan senyuman hangat. Aku mengobrol dengan mereka, mendengarkan cerita dan kekaguman mereka, berpose untuk foto, dan menandatangani poster, buku, dan berbagai barang yang mereka bawa. Kebahagiaan dan antusias mereka menular, menghangatkan hatiku di tengah kesibukan dunia hiburan yang penuh gemerlap.

Di tengah lautan wajah yang penuh semangat, tiba-tiba aku melihat Dee. Wajahnya yang familiar langsung menarik perhatianku. Walaupun sudah tiga tahun tak berjumpa, senyumnya yang khas tak pernah terlupakan. Aku berusaha bersikap santai saat menjawab pertanyaan-pertanyaannya dan berfoto dengannya. Sebelum ia pergi, aku menulis nomor kontakku di buku kecilnya dan menandatanganinya. Senyum tulus terukir di bibirku saat menyerahkan buku itu padanya. Ada rasa yang tak terlukiskan saat bertemu kembali dengannya, seseorang yang pernah membuatku menderita kini hanya berjarak beberapa senti saja.

Jumpa fans hari ini berakhir dengan sorak-sorai dan tepukan meriah dari para penggemar. Aku meninggalkan Gedung Seni Trafalgar dengan perasaan bahagia dan penuh rasa syukur. Di balik kesibukan dan gemerlap dunia entertainment, pertemuan singkat dengan Dee membangkitkan perasaanku yang lama terpendam. Langkah kakiku terasa ringan saat aku meninggalkan gedung. Di dalam hatiku, tersimpan rasa dendam untuk membalas rasa sakitku yang pernah ia perbuat padaku tiga tahun yang lalu.

Langit malam bagaikan permadani hitam yang dihiasi berlian berkilauan saat aku melangkah keluar dari lift menuju penthouseku. Ketenangan malam seakan kontras dengan gejolak di dalam hatiku. Segera aku melangkah masuk, tak sabar untuk menjalankan rencanaku. Hanya butuh beberapa menit untuk sampai di kamar tidur. Aku segera mengeluarkan beberapa kamera kecil. Dengan teliti, aku memasang kamera-kamera tersebut di sudut-sudut strategis, memastikan tak ada satu pun kamera yang terlihat dari pandangan.

Setelah itu, aku duduk bersantai di sofa, menyesap segelas wine sambil menunggu. Suasana sunyi menyelimuti ruangan, hanya dipecahkan oleh detak jam dinding yang terdengar samar. Sesekali, aku melirik ke arah ponselku yang tergeletak di atas meja, menanti dengan penuh harap. Dan benar saja, dugaanku tak meleset. Ponselku berdering. Sebuah senyuman puas terukir di bibirku saat aku melihat nama yang tertera di layar. Aku mengangkat telepon, siap untuk memainkan peran yang telah dirancang.

“Haloo …” Sapaku dengan suara yang kubuat seramah mungkin.

“Jim … Ka..kamu kah di..disana?” Tanya seorang wanita sangat gugup.

“Benar. Saya bicara dengan siapa ya?” Tanyaku pura-pura tidak tahu.

“A..aku … A..aku penggemarmu … Kamu mem..berikan nomor telepon, bukan?” Suaranya masih terdengar gugup.

“Oh ya, aku ingat. Tadi siang aku menulis nomor kontakku. Apakah kamu pemilik buku kecil itu?” Tanyaku lagi dengan senyum kemenangan.

“Be..benar, Jim … A..akulah orangnya.” Dia benar-benar tidak bisa menghilangkan kegugupannya.

“Terima kasih sudah mau menghubungiku. Jujur saja, aku sangat ingin berkenalan denganmu.” Kataku.

“OMG … Benarkah Jim?” Dia memekik terdengar kegirangan.

“Karena itulah aku menulis nomor kontakku. Sejak tadi aku berharap kamu mau meneleponku.”

“Oh Jim … Aku baru saja membuka buku itu. Maafkan aku kalau kamu menunggu.”

“Gak masalah … Em, bolehkah aku tahu namamu?”

“Dee … Namaku Dee …”

Sepuluh menit telah berlalu, dan aku merasakan Dee mulai luluh. Suaranya yang tadinya penuh kegugupan kini terdengar lebih tenang dan antusias. Rasa penasarannya terhadapku seakan terpancarkan melalui setiap kata yang diucapkannya. Percakapan kami mengalir dengan mulus, melompat dari satu topik ke topik lain. Aku banyak bercerita tentang kehidupan glamour seorang artis terkenal yang penuh dengan suka cita. Senyum tipis terukir di bibirku saat aku menyadari bahwa rencanaku berjalan dengan sempurna. Dee mulai terjerat oleh pesonaku, terperangkap dalam jaring-jaring yang telah aku ciptakan.

“Kalau kamu punya waktu, datanglah ke tempatku.” Akhirnya aku keluarkan jurus pamungkas.

“Be..benarkah? Ka..kamu mengundangku?” Tanya Dee seperti tak yakin.

“Ya … Aku ingin sekali mengenalmu lebih dekat, lebih intim.” Suaraku pelan namun penuh racun.

“Ba..baiklah … A..aku akan segera ke sana.”

“Ok … Aku tunggu kedatanganmu.”

Segelas wine merah yang telah dicampur viagra cair menemani aku di sofa ruang depan, menanti kedatangan Dee. Aku ingin membuat Dee kewalahan malam ini. Setengah jam berlalu, keheningan terhenti seketika saat bel pintu berbunyi. Aku melangkah menuju pintu, siap menyambut Dee dengan senyuman terhangat yang kumiliki. Di ambang pintu, Dee berdiri dengan anggunnya, ditemani oleh seorang security yang mengantarnya. Dalam balutan gaun malam berwarna biru tua, Dee tampak anggun dan cantik. Dengan penuh sukacita, aku membukakan pintu lebar-lebar dan menyambutnya dengan senyuman.

"Selamat datang di penthouseku." Ucapku dengan suara lembut.

“Terima kasih. Aku sangat senang bisa berada di sini.” Balasnya dengan mata berbinar-binar.

Setelah mengucapkan terima kasih kepada security yang mengantar Dee, aku mempersilahkannya masuk ke dalam penthouseku. Dee berjalan memasuki tempat tinggalku dengan langkah gemulai. Gaunnya yang sedikit ketat memperlihatkan lekuk tubuhnya yang mengundang. Melihat Dee seperti ini, hati seakan bergetar dalam ketenangan yang dalam, menarikku untuk merasakan keindahan dan kemolekan tubuhnya.

"Wow, Jim, penthousemu sungguh luar biasa! Ini benar-benar menakjubkan!” Ungkap Dee penuh kekaguman sambil mengitari ruangan.

"Terima kasih, Dee. Sederhana saja kok. Aku hanya beruntung bisa tinggal di sini." Responku sedikit merendah.

"Ini sungguh sangat mewah. Aku sangat terpesona. Betapa kamu beruntung bisa memiliki tempat seperti ini." Ungkapnya lagi kini sambil memandangku yang sedang mendekat padanya.

“Ah … Ini biasa saja …” Kataku.

“Bagaimana bisa kamu bilang biasa saja? Lihat saja pemandangannya dari sini! Sungguh luar biasa indahnya!" Kata Dee lagi sembari menunjuk pemandangan kota di luar sana.

"Ya, memang indah. Tapi bagiku, lebih indah dirimu dari pemandangan itu.” Kataku sambil merapatkan diri ke tubuhnya dengan kedua tanganku memegangi pinggulnya.

“Ah … Kamu bisa saja …” Dee mendesah sambil menunduk. Terlihat pipinya merona.

“Saat aku melihatmu tadi … Aku sangat tertarik padamu. Kamu begitu cantik dan menawan.” Kataku pelan mendayu.

Dee mengangkat kepalanya lalu berkata, “Aku sangat tersanjung sekali, Jim …”

Tanpa berkata, aku sambar bibirnya, tanpa perlawanan sama sekali, kami berkecupan mesra. Lalu tanganku meraba bokongnya yang padat dan kencang. Dee membalas dengan meraba kejantananku yang sudah keras di balik celana. Tak ada lagi kata yang terucap selain birahi yang semakin beranjak naik. Setelah beberapa menit kami berciuman dan saling meraba, aku yang sudah terangsang berat akibat viagra yang aku telan, segera menggendong Dee ala bridal style. Setelah sampai kamar, aku langsung merebahkan Dee di kasur dan aku pun ikut menidurkan tubuhku di sampingnya.

Kami bercinta seperti perkelahian macan yang lapar akan kasih sayang. Aku suka jeritan Dee saat aku memberinya orgasme yang luar biasa. Tidak ada kelembutan saat aku menyetubuhi Dee. Aku bergerak dengan sangat cepat dan kasar. Namun anehnya, Dee malah menyukai kebrutalanku, orgasme demi orgasme dia rasakan. Kami terus bercinta hingga larut malam dengan berbagai gaya, hingga Dee kehabisan tenaga dan tertidur pulas di ranjangku.

Aku melihat Dee yang sudah tertidur lelap meringkuk di atas kasurku, wajahnya begitu damai dan tenang. Kakiku mendarat di atas karpet bulu, meninggalkan jejak samar langkahku. Aku melangkah menuju tas tangan Dee yang tergeletak di lantai, lalu membukanya, dan jariku menemukan ponsel Dee yang tersembunyi di dalam, terbungkam dalam mode senyap. Layarnya yang menyala menampilkan beberapa pesan dan panggilan tak terjawab dari suaminya, Dave. Sebuah senyum tipis terukir di bibirku, penuh rasa puas dan kemenangan.

Aku membuka aplikasi kontak di ponsel Dee. Jariku menari di atas layar, mencatat beberapa nomor penting yang mungkin berguna di masa depan. Setelah itu, perlahan aku kembali ke atas tempat tidur, merasakan kehangatan tubuh Dee yang terlelap di sampingku. Aku memeluknya erat, merasakan aroma lavender yang menenangkan dari rambutnya. Tak lama aku pun tertidur menuju alam mimpi yang menyusul.

********

Sinar matahari pagi yang hangat menembus jendela penthouseku, menyapa wajahku dengan sentuhan lembut. Aku duduk di sofa, menyesap kopi pagi dengan aroma yang begitu menggoda. Di hadapanku, tergeletak ponsel dengan layar yang masih menyala, menampilkan beberapa nama kontak yang baru saja aku masukkan. Beberapa jam yang lalu, Dee meninggalkan penthouseku dengan terburu-buru, panik karena ketiduran di kamarku. Dia terus menggerutu tentang janji pada suaminya yang harus ditepati pagi ini, menyesali keputusannya untuk tinggal bersamaku semalam. Aku tak bisa menahan senyum saat mengingat kepanikannya. Ada rasa puas yang tersembunyi di balik kekhawatirannya. Dia milikku malam tadi, dan kenangan itu akan selalu melekat dalam ingatanku.

Jam berbentuk burung hantu di dinding berbunyi sepuluh kali. Aku segera mengambil ponsel dari atas meja. Jari-jemariku menari di atas layar ponsel, sesuatu terlintas dalam otak dan jariku mengarahkan pada nomor kontak teman artisku. Dia bernama Rocky Johnson yang telah sukses beberapa tahun sebelum aku menjadi aktor. Rocky adalah aktor yang sangat dikagumi oleh Jane. Aku tahu bahwa Jane akan rela mencium telapak kaki Rocky jika dia bertemu dengan temanku itu. Beberapa kali nada sambung terdengar sebelum akhirnya terdengar jawaban dari seberang.

“Ya, Jim …” Sapa Rocky bersemangat.

“Aku akan memberi nomor kontak perempuan itu.” Kataku pada Rocky.

“Berikan padaku segera, karena malam nanti aku ada acara. Aku akan mengeksekusinya sekarang juga,” Katanya.

“Baiklah …” Jawabku sambil mematikan sambungan telepon.

Aku memberikan nomor kontak Jane pada Rocky untuk Rocky menghubungi Jane dan mengajak wanita itu berkencan dengannya. Sebelumnya, aku telah menceritakan seluruh kekesalan dan dendamku atas perbuatan Jane pada Rocky. Aku ingin Jane merasakan sakit yang sama seperti yang dia berikan padaku saat dia membantu Linda meninggalkanku. Tanpa keraguan Rocky menawarkan bantuannya. Idenya adalah membuat video tentang adegan ranjang antara Rocky dan Jane. Aku yakin dengan bakat dan pesonanya, Rocky mampu menarik Jane ke tempat tidurnya.

Aku duduk di sofa dengan laptop di pangkuanku, jari-jariku menari di atas keyboard, mencari informasi tentang Marc LaValliere. Namun, Marc LaValliere adalah pria yang sempurna. Kehidupannya terlihat begitu indah dan tanpa cela. Dia adalah pesepak bola terkenal dengan bakat luar biasa, wajah tampan, dan kekayaan yang berlimpah. Aku tidak menemukan skandal atau kebusukan apa pun dalam hidupnya. Rasa frustrasi mulai menggerogoti diriku. Aku ingin membalas dendam atas apa yang telah dilakukan Marc padaku, tetapi aku tidak tahu harus mulai dari mana. Setelah puas browsing, aku menutup laptop tanpa menemukan apa pun.

########



LINDA POV

Tiga tahun telah berlalu sejak malam kelam itu, malam di mana aku menghancurkan kebahagiaanku dengan tanganku sendiri. Pengkhianatanku terhadap Jim, suamiku yang begitu mencintaiku, masih membayangi hari-hariku. Rasa penyesalan bagaikan duri yang menyelip di hatiku, tak henti-hentinya mengingatkan aku akan kebodohanku. Hingga kini, aku belum mampu menerima laki-laki lain sebagai pendamping hidupku. Hubunganku dengan laki-laki saat ini hanya sebatas teman kencan, dan itu pun tak pernah berlangsung lama. Aku tak ingin memberikan hatiku sepenuhnya kepada orang lain sebelum aku benar-benar berbicara dan meminta maaf kepada Jim.

Meskipun masih dihantui rasa bersalah, aku terus berusaha untuk melupakan semuanya. Perlahan-lahan, aku mulai merasa nyaman dengan kehidupanku yang sekarang. Aku sudah mulai terbiasa dengan rumah baruku, sebuah apartemen kecil yang jauh dari keramaian. Di sana, aku menemukan kedamaian dan ketenangan yang selama ini aku cari. Studiku menjadi tempat pelarian dari kenyataan pahit yang menghantui. Aku menenggelamkan diri dalam buku-buku dan penelitian. Pekerjaanku pun menjadi sumber kebahagiaan baru. Aku merasa puas dan bangga dengan apa yang aku kerjakan. Setiap hari, aku berusaha untuk menjadi versi terbaik diriku. Aku belajar untuk mencintai diriku sendiri, dengan segala kekurangan dan kesalahanku.

Sore itu mobilku memasuki area parkir bawah tanah apartemen, diselimuti oleh kegelapan dan cahaya lampu redup yang menyapa. Aku melangkah keluar dengan tas kerja di tangan, menavigasi koridor yang sunyi dengan sentuhan dingin udara bawah tanah. Sepi dan sunyi, hanya suara langkah kakiku yang memecah keheningan. Lift membawaku naik ke lantai apartemen, dan pintu terbuka di lantai yang dituju. Koridor di sini berbeda, terang benderang dengan lukisan dan tanaman hias yang menghiasi dinding. Aku berjalan dengan kunci di tangan, mendekati pintu apartemen yang tertutup rapat. Cahaya lembut menerobos dari bawah pintu, menghadirkan rasa nyaman dan tenang.

Aku membuka pintu dan melangkah masuk, disambut oleh aroma lilin aroma terapi yang menenangkan. Namun, ketenangan itu sirna ketika aku melihat Emma, putriku, duduk di sofa dengan ekspresi cemberut dan air mata mengalir di pipinya. Sebuah buku tergeletak di pangkuannya. Rasa cemas dan ingin tahu menyelimuti hatiku. Ada apa dengan Emma? Apa yang terjadi?

“Ada apa sayang?” Tanyaku segera menghampiri Emma dan duduk di sebelahnya.

Tiba-tiba Emma menggeser duduknya lalu menatapku tajam, “Helen mencemoohkan aku tadi di sekolah.”

Suara terdengar sangat tidak mengenakan, dan entah kenapa hatiku langsung merasa tidak enak. “Apa yang Helen katakan padamu?”

“Dia bilang, Daddy pergi karena Mommy selingkuh dengan pemain sepak bola bernama Marc. Apa itu benar?” Tanya Emma yang sukses membuat jantungku seperti ingin meloncat keluar.

Aku terpaku, hatiku berdegup kencang dan pikiranku bergejolak. Perkataan Emma bagaikan bom yang meledak di telingaku. Bagaimana dia bisa tahu tentang kejadian itu? Aku berusaha keras untuk menenangkan diri, tapi rasa panik dan kebingungan tak terelakkan. Aku tak siap untuk menjawab pertanyaan Emma tentang masa lalu yang menyakitkan ini. Luka lama yang berusaha aku kubur dalam-dalam, kini terbongkar kembali.

Aku berusaha untuk menjelaskan situasi tersebut dengan hati-hati, memilih kata-kata yang tepat agar tak semakin menyakiti hati Emma. Namun, penjelasan yang aku berikan tak sesuai dengan harapan. Emma, dengan air mata yang masih mengalir di pipinya, berdiri dan berlari ke kamar. Teriakannya, "AKU BENCI MOMMY!", menusuk hatiku bagaikan pisau bermata dua. Aku terduduk di sofa, lemas dan tak berdaya. Rasa bersalah menyelimuti diriku. Aku tak ingin Emma membenciku. Aku ingin dia tahu bahwa aku mencintai ayahnya, dan aku sangat menyesal karena telah menyakiti ayahnya.

Hatiku terasa berat, mencoba mengatasi kecemasan yang mulai menyelimuti pikiranku. Langkah kakiku terasa berat saat aku menuju kamar Emma, berharap bisa berbicara dengannya secara lebih pribadi. Saat aku mencoba membuka pintu kamar Emma, aku menyadari bahwa pintunya terkunci dengan kokoh. Hatiku berdegup kencang, khawatir tentang apa yang mungkin terjadi di dalam sana.

Dengan hati yang kacau, aku bangkit dari sofa. Kecemasan menyelimuti pikiranku, bagaikan kabut tebal yang menghalangi langkahku. Aku melangkah menuju kamar Emma, berharap bisa berbicara dengannya secara lebih pribadi, untuk menjelaskan semuanya dan meredakan lukanya. Langkah kakiku terasa berat seperti ada batu yang menempel di kakiku. Setiap langkah membawa rasa sakit dan penyesalan yang semakin dalam. Sesampainya di depan pintu kamar Emma, aku mencoba membukanya, namun terkunci rapat.

Jantungku berdegup kencang, diliputi rasa khawatir dan panik. Aku membayangkan apa yang mungkin terjadi di balik pintu itu. Apakah Emma menangis? Apakah dia marah? Apakah dia terluka? Aku berdiri di depan pintu, mengetuknya dengan lembut. Suaraku terdengar lirih, berusaha meredakan ketegangan yang mungkin menyelimuti Emma.

"Emma, Sayang, ini Mommy. Bisakah kamu membuka pintunya? Mommy ingin bicara denganmu," ujarku dengan penuh kasih sayang.

Namun, jawaban yang kudapatkan hanyalah keheningan. Tiba-tiba, terdengar teriakan keras dari balik pintu, "AKU MEMBENCI MOMMY!"

Kata-kata itu sungguh menusuk hatiku dan membuatku terluka. Rasa sakit dan penyesalan semakin menyelimuti diriku. Aku terus membujuk Emma, mencoba meredakan emosinya, tetapi pintu tetap terkunci rapat. Emma tak mau berbicara denganku.

Perasaan putus asa menyelimuti diriku. Aku tak bisa menembus tembok emosional yang memisahkan kami. Aku tak bisa menghapus rasa sakit dan kemarahan yang tertanam di hati Emma. Dengan perasaan sedih yang mendalam, aku meninggalkan pintu kamar Emma dan menuju kamarku sendiri. Di sana, aku duduk di atas tempat tidur, meratapi kejadian ini. Aku merasa hancur dan tak berdaya. Aku tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Dalam keheningan, aku duduk sendiri di pojok gelap kamarku, dikelilingi oleh bayang-bayang masa lalu yang menyelimuti diriku. Hatiku terasa berat, dipenuhi oleh rasa kesedihan yang tak terbendung. Air mata mengalir deras membasahi pipiku saat aku mengingat kembali kebodohanku di masa silam. Setiap detik yang berlalu membawa ingatan yang menyakitkan, menggiringku pada perjalanan yang penuh penyesalan. Aku menyesali keputusan bodoh yang pernah aku ambil. Begitu banyak kesempatan yang telah terlewatkan, begitu banyak kerugian yang telah kutebar. Dalam kehampaan ini, aku meratap tanpa suara, membiarkan rasa sesal itu menghantui setiap serat jiwaku.

“Mommy … Mommy …” Terdengar suara Tommy yang sungguh mengejutkan.

“Ada apa Tommy?” Tanyaku sembari beranjak dari sisi tempat tidur dan keluar kamar.

Tommy menabrakku saat di ambang pintu, lalu berkata, “Emma ke mana Mommy?” Katanya sambil menunjuk pintu kamarnya.

“Tadi ada di kamarnya.” Kataku sambil berjalan menuju kamarnya.

Kakiku berlari secepat kilat menuju kamar Emma, jantungku berdetak kencang diiringi rasa tegang yang mencekam. Kemarahan Emma barusan masih terngiang di telingaku, menambah rasa panik yang melanda. Saat pintu kamar terbuka, kekosongan ruangan itu menyapa mataku. Tempat tidur yang rapi, boneka-boneka yang tergeletak di atas karpet, dan meja belajar yang penuh dengan buku-buku. Tapi, Emma tak ada di sana.

Kepanikan melanda seperti tsunami, menenggelamkan rasioku dalam lautan kecemasan. Pikiran-pikiran buruk berputar di kepalaku. Kemana dia pergi? Apa yang terjadi padanya? Hatiku berdebar kencang, bagaikan drum yang ditabuh tanpa henti. Aku mencari Emma dengan tatapan panik, memeriksa setiap sudut apartemen dengan penuh harap. Aku ingin memeluknya, memastikan dia baik-baik saja. Dengan langkah cepat, aku menghampiri Tommy yang masih mematung di ruang tengah. Raut wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca.

“Kamu tunggu di rumah ya Nak …” Kataku pada Tommy yang dijawab dengan anggukannya.

Dengan panik aku segera berlari keluar apartemen, selanjutnya menyusuri koridor apartemen yang terasa sangat panjang. Rasa panik menyelimuti diriku, membayangkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi pada Emma. Aku terus berlari, mencari-cari sosoknya di setiap sudut dan celah. Sesampainya di area lift, aku melihat pintu lift terbuka. Pikiran bahwa Emma mungkin menggunakan tangga untuk melarikan diri terlintas di benakku. Tanpa ragu, aku memutuskan untuk mengejarnya melalui tangga, berharap bisa menemukannya sebelum dia pergi terlalu jauh.

Langkah kakiku semakin cepat, menuruni anak tangga demi anak tangga. Nafasku terengah-engah, namun adrenalin yang mengalir di tubuhku mendorongku untuk terus maju. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika aku kehilangan Emma. Akhirnya, aku mencapai lobi apartemen. Namun, rasa lega yang kubayangkan tak kunjung datang. Emma tak terlihat di sana. Kegelisahan dan panik semakin menggerogoti hatiku.

Tanpa pikir panjang, aku bergegas mendekati petugas keamanan yang berjaga di lobi. "Pak, tolong bantu saya! Anak saya hilang!" seruku dengan suara panik.

Petugas keamanan itu tampak terkejut dan segera menenangkanku. Dia memintaku untuk menjelaskan situasinya dengan lebih detail. Aku menceritakan tentang pertengkaran kami dan bagaimana Emma melarikan diri dari apartemen. Petugas keamanan itu mendengarkan dengan penuh perhatian. Setelah itu, dia dengan sigap menghubungi tim keamanan dan meminta mereka untuk mencari Emma di seluruh area apartemen.

Ruang security apartemen terasa begitu dingin dan mencekam. Aku duduk di kursi plastik, gelisah dan panik menyelimuti diriku. Hampir satu jam aku menunggu kabar dari para security yang mencari Emma. Rasa bersalah dan penyesalan menyiksaku, bayangan wajah Emma yang marah saat mengetahui pengkhianatanku terhadap ayahnya terus menghantui. Hatiku berdebar kencang saat melihat seorang security berjalan ke arahku. Aku menelan ludah dengan gugup, berharap dia membawa kabar baik. Namun, harapan itu sirna seketika saat melihat gelengan kepalanya. Raut wajahnya menunjukkan rasa prihatin.

"Maaf, Bu. Kami belum menemukan Nona Emma di seluruh area apartemen."

Dunia seakan runtuh di hadapanku. Lututku lemas dan tubuhku terasa rapuh. Aku jatuh terduduk di lantai, air mata tak terbendung mengalir dari mataku.

"Emma ... Emma ... di mana kamu nak?" panggilku dengan suara serak, penuh keputusasaan.

Air mata mengalir deras membasahi pipiku, menetes ke lantai kantor security yang dingin. Tubuhku terkulai lemas, bersimpuh di atas lantai. Rasa panik dan putus asa mencengkeram erat hatiku. Emma, putriku, hilang tanpa jejak. Pikiranku kacau balau, diliputi rasa bersalah dan penyesalan. Aku tak tahu di mana dia berada, dan rasa takut kehilangannya menyiksaku tanpa henti. Setiap detik terasa seperti berabad-abad. Bayangan wajah Emma yang marah dan kecewa terus menghantui. Aku membayangkan dia sendirian di luar sana, tersesat dan ketakutan.

Kelelahan emosional dan fisikku mencapai puncaknya. Tubuhku yang rapuh tak mampu lagi menahan beban rasa sakit dan keputusasaan. Pandanganku mulai kabur, dan rasa pusing yang hebat menyelimuti kepalaku. Perlahan, dunia di sekitarku memudar. Suara-suara di ruangan security menjadi samar-samar, dan rasa dingin menyelimuti seluruh tubuhku. Kegelapan menyapa, dan aku pun tak sadarkan diri.

########



JIMMY POV

Mobilku bergerak perlahan di jalanan yang lumayan sepi, ditemani alunan musik klasik yang menenangkan. Pikiran melayang, memikirkan dua insan kecil yang selalu kurindukan, Emma dan Tommy. Sudah begitu lama aku menahan diri untuk bertemu mereka, mencari waktu yang tepat, mencari kesempatan yang pas. Ada suatu rencana yang harus aku selesaikan terlebih dahulu, itu yang selalu aku katakan pada diriku sendiri. Aku masih menahan keinginan itu, meskipun hatiku terus merindu akan sentuhan mereka, tawa mereka, dan canda mereka. Wajahku yang telah berubah akibat operasi plastik dan ketenaran yang kusandang sebagai aktor ternama, membuatku ragu apakah Emma dan Tommy akan mengenali dan menerimaku sebagai ayahnya.

Tiba-tiba, mataku menangkap sesuatu yang mengejutkan. Di kejauhan, di bawah sinar lampu jalan yang remang-remang, aku melihat sosok mungil berlari di trotoar. Sekilas, aku mengenali rambut ikal coklatnya yang berkibar tertiup angin. Hatiku berdebar kencang. Ya, itu Emma. Tapi, kenapa dia berlari sendirian di malam yang dingin ini? Air mata mengalir di pipinya, dan rasa cemas serta khawatir langsung menyelimuti diriku.

Tanpa pikir panjang, aku putar arah mobil dengan kecepatan tinggi. Aku tak peduli dengan lampu merah yang meneriaki, atau tatapan heran dari pengendara lain. Yang terpenting bagiku saat ini adalah menemukan Emma dan memastikan dia baik-baik saja. Setelah berhasil menyusulnya, aku segera keluar dari mobil dan menghadang Emma. Jantungku berdetak kencang, di hadapanku, Emma berdiri dengan tatapan bingung dan ketakutan.

"Emma, Sayang," bisikku dengan suara serak. "Daddy di sini."

Emma menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Kamu bukan Daddy aku …”

“Emma … Ini Daddy sayang … Bukankan nama adikmu adalah Tommy?” Aku berusaha meyakinkannya.

“I..iya …” Jawabnya sambil membelalakan matanya.

“Nah … Sekarang jawab lagi. Apakah nama mommy kamu adalah Linda?” Aku terus mencoba lagi mengungkapkan fakta-fakta agar Emma percaya.

“I..iya …” Matanya semakin membulat.

“Apakah nama kakek dan nenekmu adalah Sam dan Sarah?”

“Iya …” Emma mulai mendekatiku.

“Dengarkan … Dulu, Daddy membelikanmu hadiah ulang tahun boneka beruang besar dan kamu menamakannya Teddy Bear.” Kataku sambil berjongkok di hadapannya.

"Hanya Daddy yang tahu tentang Teddy Bear! Daddy, apa itu kamu?" Emma mengusap wajahku.

Tidak bisa menahan kebahagiaan, aku memeluknya erat, "Ya, sayang. Daddy di sini sekarang. Daddy kembali untukmu."

Emma membalas pelukanku sangat erat, “Daddy … Aku senang Daddy kembali …”

“Ya, sayang … Daddy juga senang bisa bertemu lagi denganmu.”

"Daddy, aku merindukanmu," isaknya.

Aku tak bisa berkata-kata. Perasaan bahagia dan lega bercampur aduk dalam hatiku. Aku tak menyangka Emma akan menerimaku begitu saja.

"Daddy juga merindukanmu, Sayang," kataku dengan suara bergetar.

Kami berdiri di sana dalam pelukan yang erat, menikmati momen reuni yang tak ternilai ini. Aku tahu masih banyak hal yang harus dijelaskan, dan aku siap untuk menjawab semua pertanyaannya. Yang terpenting bagiku saat ini adalah dia ada di sini, bersamaku. Air mata kebahagiaan tak terbendung mengalir di pipiku saat memeluk Emma. Tubuh mungilnya terasa begitu hangat dalam pelukanku, rasa rindu yang selama ini terpendam kini sedikit terobati. Dengan penuh kasih sayang, aku gendong Emma dan membawanya ke mobilku. Dia duduk di kursi sampingku, sesekali melirikku dengan tatapan penuh tanya.

“Wajah Daddy kok berbeda?” Tanya Emma.

"Wajah Daddy memang berbeda, tapi hati dan cinta Daddy untukmu tak pernah berubah." Jawabku dengan suara yang berusaha tenang.

“Daddy … Apa benar Mommy meninggalkan Daddy, pergi dengan Marc, pemain sepak bola yang terkenal itu?” Tanya Emma yang membuatku terkejut hebat.

Aku menarik napas dalam-dalam, bersiap untuk menjelaskan semuanya. Aku ingin Emma tahu bahwa aku tak pernah meninggalkannya, dan aku akan selalu menjaganya.

"Ya, Emma," kataku dengan tegas. "Tapi, ada banyak hal yang harus Daddy jelaskan, dan Daddy ingin kamu tahu semuanya."

Mobil melaju di jalanan yang lengang, membawa kami berdua menuju rumah Sam dan Sarah. Sesekali Emma menoleh ke luar jendela, menikmati pemandangan di luar sana. Pertanyaan-pertanyaan polos pun mulai terlontar dari bibir mungilnya, tentang kehidupanku selama ini. Aku berusaha menjawabnya dengan bahasa yang mudah dimengerti, menceritakan pengalaman-pengalamanku selama aku meninggalkan dirinya. Ada rasa haru dan bahagia yang bercampur aduk dalam hatiku saat ini.

Deg-degan. Perasaan itu tak bisa kupungkiri saat melihat rumah Sam dan Sarah di kejauhan. Kenangan masa lalu bersama Linda, mantan istriku, kembali terbayang. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya memarkir mobil di dekat rumah mereka. Aku menoleh ke Emma dan senyum kecilnya membuatku yakin bahwa aku telah mengambil keputusan yang tepat untuk membawanya ke sini.

“Ayo Daddy!” Ajak Emma sambil menatapku.

Aku dan Emma keluar dari mobil, melangkahkan kaki ke halaman rumah Sam dan Sarah. Rasanya seperti deja vu, kembali ke tempat yang pernah menjadi bagian dari hidupku. Emma menggenggam erat tanganku, seakan merasakan ketegangan yang melanda diriku. Pintu rumah terbuka dengan tiba-tiba. Sarah, dengan wajah penuh kekhawatiran, berlari ke arah kami.

"Emma!" Teriak Sarah sambil berlari, lalu memeluk dan menggendong cucunya dengan erat. Ciuman bertubi-tubi mendarat di pipi Emma. “Ibumu bilang kamu hilang. Kami sangat khawatir, sayang …!” Ucap Sarah lagi.

Tak lama kemudian, Sam muncul dari dalam rumah. Raut wajahnya berubah dari kebingungan menjadi kegembiraan saat melihat Emma. Dia pun menyambut Emma dengan pelukan hangat, tak kalah antusias dari Sarah. Aku berdiri di sana, terpaku melihat interaksi antara Emma dan kakek-neneknya. Rasa haru dan bahagia menyelimuti hatiku.

“Oh … Teri …” Ucap Sam tak tuntas. Dia malah menatapku tajam. “Bukankah Anda ini adalah Jim Fraser?” Tanya Sam terkejut.

“Benar …” Jawabku singkat sambil tersenyum.

“OMG … Aku tak menyangka bisa bertemu dengan Anda di sini. Oh, terima kasih telah mengantarkan cucu kami ke sini.” Kini giliran Sarah yang terkejut.

“Grandma … Itu Daddy aku …” Celetuk Emma di gendongan neneknya.

“Daddy? Apa maksudmu?” Tanya Sarah pada Emma.

“Sarah … Sam … Aku adalah Jimmy Campbell …” Kataku langsung membuat mereka melongo dengan mulut menganga.

“Jim … Kaukah ini?” Tanya Sam tak percaya.

“Ya, Sam … Aku Jimmy Campbell … Aku tahu kalian tak percaya karena wajahku sudah berubah.” Jawabku.

Sam mendekatiku masih dengan tatapan tajamnya lalu berkata, “Tanggal berapa Sarah ulang tahun?”

Aku pun tersenyum mendengar pertanyaan Sam, karena aku selalu mengingatkan orang-orang saat ulang tahun Sarah dimana terkadang orang-orang lupa akan ulang tahunnya, “28 Maret.”

“OMG … Jim …” Tiba-tiba Sam memelukku tanda kalau dia percaya kalau aku adalah mantan menantunya.

“Jim … Kau …?” Suara Sarah terdengar bergetar.

“Apakabar kalian semua …?” Tanyaku sambil mengurai pelukan Sam.

“Ba..baik … Ayo masuk! Kita bicara di dalam.” Ajak Sam.

Kami melangkah masuk ke dalam rumah Sarah dan Sam. Aroma khas rumah yang hangat dan familiar menyambut kami. Suasana di dalam rumah terasa begitu tenang dan nyaman, berbeda dengan kegelisahan yang melanda hatiku. Setelah duduk bersama di ruang tengah, Sarah dan Sam menawarkan kami minuman dan makanan ringan. Sedikit demi sedikit, ketegangan yang menyelimuti mulai mencair. Suasana menjadi lebih santai dan akrab.

Aku menarik napas dalam-dalam, bersiap untuk memulai ceritaku. Aku mulai menceritakan tentang pengalaman hidupku sejak saat aku pergi meninggalkan daerah ini hingga sampai saat ini. Aku menjelaskan momen-momen penting dalam hidupku, tantangan-tantangan yang telah aku hadapi, dan pembelajaran yang aku peroleh dari setiap pengalaman. Mataku tertuju pada Sarah, Sam, dan Emma yang mendengarkan dengan seksama. Sarah dan Sam sesekali mengangguk dan memberikan komentar, sedangkan Emma menatapku dengan penuh perhatian, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.

Aku menceritakan tentang perjalananku, tentang orang-orang yang aku temui, dan tentang berbagai hal yang telah aku pelajari selama aku berpisah dengan mereka. Aku ingin mereka tahu bahwa aku telah berusaha untuk menjadi ayah yang terbaik bagi Emma, meskipun aku tidak selalu berada di sisinya. Aku terus bercerita, merasakan emosi yang bercampur aduk dalam hatiku. Ada rasa sedih, haru, bahagia, dan lega. Aku harap ceritaku ini dapat membantu mereka memahami perjalananku dan menjembatani kembali hubungan kami. Saat aku menceritakan pengalaman hidupku, aku mengamati reaksi mereka. Sarah dan Sam terlihat tersentuh oleh ceritaku, sesekali air mata membasahi pipinya. Emma, dengan matanya yang berbinar, tampak kagum dan bangga dengan ayahnya.

“Selama ini, aku selalu memantau Emma dan Tommy dari kejauhan. Tapi, saat aku melihat Emma lari-lari di trotoar tadi, akhirnya aku memutuskan untuk membuka identitasku pada kalian walaupun sesungguhnya belum waktunya. Aku sangat khawatir Emma celaka.” Aku mengakhiri cerita panjangku pada mereka.

“Kenapa kamu menyembunyikan dirimu, Jim?” Tanya Sarah.

“Maaf Sarah … Aku tidak bisa mengatakannya.” Jawabku.

“Jim …” Sam berkata, “Bagaimana bisa kamu bersembunyi begitu lama. Padahal kami di sini sudah meminta aparat untuk mencarimu?” Tanya Sam kemudian.

“Hhhhmm … Mereka menemukanku, Sam. Tapi aku meminta aparat untuk merahasiakannya pada kalian. Mereka setuju setelah aku menceritakan kejadian yang terjadi padaku dengan alasan-alasannya. Dan aku berjanji pada mereka kalau aku akan datang pada keluargaku, tapi tidak saat itu.” Jawabku.

“Oh, pantas saja.” Gumam Sam sembari manggut-manggut.

“Daddy … Apakah Daddy mau bersama Mommy lagi?” Tanya Emma penuh harap.

“Tidak Emma … Mommy telah memilih berpisah dengan Daddy sejak awal. Daddy tidak akan menghalangi keinginan Mommy kamu.” Jawabku lembut.

Aku melirik jam tangan di tanganku. Sudah hampir jam sepuluh malam. Aku harus segera pulang. Aku pun berpamitan kepada Sam dan Sarah. Pada waktu yang bersamaan, Emma ingin ikut bersamaku. Permintaannya membuat hatiku tersentuh. Aku tidak tega untuk menolaknya. Emma langsung melompat ke pelukanku dan memelukku erat. Aku membalas pelukannya dengan penuh kasih sayang. Sebelum pulang, aku sempat meminta Sam dan Sarah untuk menelepon Linda. Aku ingin mereka mengabarkan pada Linda bahwa Emma baik-baik saja, tapi tanpa memberitahukan bahwa aku bersama Emma. Aku masih belum siap untuk berbicara dengan Linda saat ini.

Kemudian kami pun berangkat pulang. Sepanjang perjalanan, Emma duduk di pangkuanku. Wajahnya ceria, menceritakan tentang semua hal yang dia lakukan selama ini. Aku mendengarkannya dengan penuh perhatian, sesekali tertawa mendengar ceritanya yang lucu. Melihat kebahagiaan Emma saat ini, aku merasa bersyukur telah memutuskan untuk membawanya pulang bersamaku. Aku tahu bahwa perceraianku dengan Linda telah memberikan dampak yang besar pada Emma, dan aku ingin dia tahu bahwa aku masih mencintainya dan akan selalu ada untuknya.

Sesampainya di penthouse tempat tinggalku, Emma langsung menjerit-jerit kesenangan dan mengagumi tempat tinggalku. Dia langsung berlari kesana kemari, menjelajahi setiap sudut ruangan dengan penuh kekaguman. Matanya yang berbinar dan senyum lebarnya tak pernah pudar, menunjukkan rasa takjubnya pada tempat tinggalku.

"Daddy, ini keren sekali!" teriaknya sambil melompat-lompat di atas sofa. "Lihat, kamarnya luas sekali! Ada kolam renang di sini juga! Aku ingin tinggal di sini bersama Daddy!" Aku hanya tersenyum mendengar permintaan polosnya. Perceraianku dengan Linda memang berat baginya, dan aku ingin memberikannya kebahagiaan.

Saat hari semakin malam, kelelahan mulai terlihat di wajah Emma. Dia pun tertidur di kamarku, memeluk guling dengan erat. Aku menatapnya dengan penuh kasih sayang, membayangkan masa depan di mana dia bisa tumbuh bahagia dan bebas.

Ruang kerja kembali menjadi tempat persembunyianku malam ini. Di atas meja kerja yang terbuat dari kaca tempered, komputer canggihku menyapa dengan layarnya yang penuh warna. Aku duduk dan menyalakannya, bersiap untuk melakukan rencanaku. Aku mulai mengedit video mesumku bersama Dee dan membuat file video baru yang berdurasi hanya empat menit. Aku pastikan video itu penuh dengan wajah Dee. Kemudian, aku beralih ke video yang dikirimkan Rocky melalui email. Di sana, terhampar video Rocky dan Jane, dua insan yang terlibat persetubuhan seru. Aku mengamati persenggamaan mereka, memperhatikan setiap ekspresi di wajah mereka. Dengan teliti, aku memotong video tersebut, menyoroti wajah Jane dan memastikan setiap emosinya terekam dengan jelas.

Dua file video baru tercipta di hadapanku. Sebelum aku mengirimnya pada Dave dan Phil, aku menulis surat terlebih dahulu untuk kedua orang tersebut di ponselku.


********

Kepada Dave dan Phil

Dulu kalian mengatakan kalau aku harus bangga saat Linda menjadi pelacur Marc LaValliere. Sekarang aku ingin membuktikan kata-kata kalian. Aku berharap kalian tidak menjilat ludah sendiri ketika istri-istri kalian menjadi pelacur aktor-aktor terkenal ini. Aku akan memantau kalian dan aku akan sangat kecewa bila kalian meninggalkan istri-istri kalian karena menjadi pelacur para artis terkenal ini.

Jimmy Campbell


********


Aku membuka aplikasi Whatsapp dan mencari kontak Dave dan Phil. Aku tak ingin identitasku terbongkar, maka kuputuskan untuk menggunakan nomor sekali pakai. Surat sudah tersusun dan dua file video, hasil editanku yang penuh makna, terlampir di sana. Aku tersenyum saat menekan tombol kirim. Sebuah rahasia besar telah kulepaskan, dan kini nasib Dee dan Jane berada di tangan Dave dan Phil.

Setelah memastikan pesan terkirim, aku pun membuang nomor kontak sekali pakai itu. Rasa lelah menyelimuti tubuhku, dan aku tak ingin memikirkan apa pun lagi. Aku melangkah menuju kamar, di mana Emma tertidur dengan damai. Di sampingnya, aku pun terlelap.

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd